Anda di halaman 1dari 4

Ingatanku berkeliaran di hutan waktu, semoga tidak tersesat ke sungai air mata.

Ada yang tergenang di wajahku, ada yang terngiang di telingaku. Entah apa, entah bagaimana. Mungkin ini namanya mati rasa. Kita tidak lagi berdansa. Di bawah matahari, hujan, atau senja. Kumatikan sejenak melodi, biar hening menghinggapi. Bahagia itu kamu. Ikut berbahagia itu aku. Jelaga tawa terkumpul di mata. Keduanya tumpah melebur satu. (di)selamat(kan) malam. Semoga mentari mengajakku kembali menari. Malam sebentar lagi habis. Mimpi belum juga datang.

Ada rentetan huruf yang belum ku-eja. Tersimpan dalam buku waktu. Kutelusuri satu per satu halamannya. Hingga kutemukan namamu. Buku waktu.. Aku tau bab awal, tapi aku tak tahu kapan bab terakhir. Yang kutahu aku harus terus membuka satu per satu. Pada suatu halaman, aku beri pembatas buku berupa pita berwarna merah. Aku terhenti. Aku berhenti. Di situ. Enggan membaca lagi. Kutinggalkan di rak buku. Setiap kutengok, yang aku lihat jelas hanya seutas pita merah itu. Terantuk di satu masa, ingin kusobek halaman berpembatas merah itu. Kuremas-remas dan kucabik, lalu kubuang saja di sampah. Karena di halaman itu, kata kata yang tertulis terlalu tajam seperti belati. Ceritanya menyakitiku. Huruf-hurufnya menerjang akal sehatku. Setiap paragrafnya melumpuhkanku. Aku terduduk di lembah bisu. Tak ada yang kubaca lagi. Kemudian angin sepi menyepoi poniku. Keheningan merambati kulitku. Aku bergidik. Kusentuh lagi buku waktu itu. Kupegang pita pembatas berwarna merah di sela halaman yang kubenci. Warna yang cantik. Tapi bukankah itu, yang menjerujiku. Pita itu selalu menjadi pengingat akan alur yang tak kuingin kubaca, tapi bukankah buku ini belum selesai? Kutarik dan kuenyahkan pita itu, dengan segenap tenaga kubalik lagi halaman baru. Berhenti terlalu lama membuatku lupa aksara. Kini aku kembali belajar membaca.. dan akan ku-eja namamu segera. Di halaman - halaman setelahnya.

Jangan sampai sepi melahirkan hampa. Karena riuh yang paling gemuruh pun akan susah menimangnya. Kalau hampa lahir, dia akan merangkak & belajar berjalan mengelilingi hati, lalu berlari-lari di kepalamu. Kamu akan lelah dan mendekati mati rasa. Bulan akan menangis di setiap tidurmu dan matahari gelisah di setiap pagimu. Untuk itu, sebelum hampa. Kusegerakan menuju kamu.

Kamu lari dari hati ke kepala. Mengobrak-abrik lagi apa apa saja yang masih tersisa. Perjalananmu mengalir bersama darah. Mendesir gelisah ke segala arah. Sesampainya di kepala kamu bingung. Ada kamu di dalamnya. Bukan satu, tapi seribu, dua ribu, entah kau sendiri tak sanggup menghitungnya.

Di hati kamu hanya satu, di kepala kamu sejuta, menempati luas rasa yang sebesar luar angkasa dikali dua. Tak peduli, kau ajak semua kamu di kepala memporak porandakan semua. Lalu banjir air meluapi mata. Menggenangi pipi lalu ke hati. Lalu kamu pergi, namun sedikitmu terus kembali. Kaulempar sendiri bayanganmu kesini. Bisa tolong berhenti. Bukankah aku sudah tidak punya apa apa lagi? Kapan aku bisa membenahi diri?

Tak cukup kau buru aku lewat kenangan, kau tikam pula aku lewat mimpi. Maumu apa? hatiku sudah terkoyak, aku tak punya lagi. Bagaimana menghilangkanmu?

Saraf di kepala bagian mana yang harus kuputus untuk mengenyahkan kamu yang terus menggerogoti. Seperti Yang enggan meninggalkan kayu. Sudah cukup kau jajahi aku seperti itu. rayap

Kapan kau berhenti jadi fatamorgana? Kenapa kau tak mewujud saja. Hingga nyata. Keluar dari cakrawala. Jawaban semua kapan adalah waktu. Kubuka koleksi arloji di laci kepala, kubenahi satu persatu, mungkin ada yang salah, pada semua detikku.

Sungguh jenaka sekali, bagaimana aku yang pelupa ini butuh jutaan waktu untuk melupamu. Menghapus senyummu butuh jutaan liter air mata. Merepih jejakmu butuh melewati ratusan mimpi. Sungguh jenaka kamu membuat aku seperti ini, kamu mungkin sudah berada di jalan yang tak lagi sama, tapi aku terus melewati jalan itu untuk mencarimu. Tuhan aku hanya ingin lupa.

Buatlah dia seperi kabut yang perlahan menghilang saat siang dan tak akan kembali esok pagi. Boleh aku amnesia?

Di sini
Kalau kamu ada di sini. Aku harap pintu itu menghilang, agar kau menetap dan tak kembali pulang. Kalau kamu ada di sini. Aku harap hujan tak akan pernah berhenti, agar senyummu tetap bisa menyelimuti hati. Kalau kamu ada di sini. Aku harap waktu berhenti, agar detik bersamamu terasa abadi. Kalau kamu ada di sini. Berceritalah semaumu. Setiap pori dinding akan merekam. Gemanya akan terngiang, tertabung di ingatanku. Kalau kamu ada di sini. Aku tak akan takut pada gelap lagi. Kalau kamu ada di sini. Tempat ini akan menjadi lokasi ternyaman di dunia yang pernah dimiliki bumi. Kini, kuharap segala kalau itu menghilang dan terlebur bersama sepi. Kamu. Aku. Benar benar ada di sini. Jika rindu itu peluru, kulepas dalam bising yang menderu. Kuterjam habis menembus peparu.

Jika rindu itu peluru. Kutembakkan ke awan. Pecah ia menjadi hujan, dan membasahimu dengan kecupan.

Jika rindu itu peluru. Kutembaki sendiri kepalaku, yang terlalu penuh kamu.

Jika rindu itu peluru. Jangan bunuh aku dengan itu.

Jika rindu itu peluru, kuharap ia tak akan melukaimu.

Tapi semua itu semu.

Karena, Rinduku ini hanya peluru, tanpa senjata. Terakar di tangan, diam dan tak akan menujumu. Tenang saja aku tahu itu maumu.

Peluru ini kupengan di tangan, kusimpan hanya dalam angan.

Jakarta, 26 Hatiku ini hanya senjata tanpa pelatuk.

Mei

2011

Halo wajah yang akan aku cinta Boleh aku tahu rupamu seperti apa? Segala kanvas sudah siap Langit pun sudah bersedia kuwarnai Terduduk ku disini memegang kuas Dan terselip doa di setiap reruas Dengan senyum yang meluap luap Parasmu akan selalu kunanti Hingga nanti terlekat dan tak akan terganti.

Kamu adalah yang terakhir dengan rasa yang tak akan berakhir Kamu adalah yang pertama yang membuat senyummu di kepala berlipat-lipat ganda. Kamu adalah yang pertama, yang membuat kedua dan ketiga tidak pernah ada Kamu adalah masa, dimana kuharap waktu akan terhenti selamanya

Anda mungkin juga menyukai