Anda di halaman 1dari 4

Cerpen : Seingatku Kita Pernah ....

Seingatku Kita Pernah ….

Aku berdiri diujung dermaga. Tubuhku lemah jika dibandingkan dengan kayu – kayu
tua yang masih sanggup menantang ribuan ombak yang tak ingin berhenti menghentaknya. Saat
senja mengukir warna indah pada langit yang sebelumnya biru. Dengan kuas kasat mata saling
beradu dengan tinta tak terhingga. Pada jingga senja yang tergores sempurna. Tangan kananku
menggenggam secarik kertas coklat yang usang dengan kalimat yang tak pernah nyata. Tapi tak
sekalipun berhasil membuat hatiku letih menunggu.

“Tunggu aku. Aku pasti kembali padamu…..”

Surat yang terlalu singkat, dan segelintir janji yang terlalu padat. Seakan tak ingin
memberi ruang kosong pada sosok yang baru. Hati dan pikiranku setuju menjadi sekutu dalam
hidupku. Dan hanya ini yang mampu kulakukan untuk dia yang membuatku menunggu. Entah
harus berapa lama lagi. Tapi aku tak ingin mengenal kata lelah. Tidak sekalipun. Dia pasti
kembali. Pasti!

“Rinai…… Pulang nak. Senja sudah tenggelam.” Teriak wanita setengah baya diujung
dermaga dekat pantai. Suaranya samar tertiup angin yang berhembus terlalu kencang.
Memaksa mataku yang berlinang untuk menangkap sosoknya. Sosok yang terlalu jauh, hingga
gurat – gurat keriput itu tak terlihat dalam hantaman jarak.

“Iya Ibu. Nanti aku pulang”. Dengan suara setengah getar, aku mencoba berbicara pada
angin untuk disampaikan pada Ibu yang berperan sebagai malaikat hidupku. Belum tuntas ku
seka air mataku. Kini Ibu sudah berdiri disampingku dan menangkap linangan kristal – kristal
air yang menggenang hingga sudut mataku. Seperti gemuruh ombak laut berpindah dihatiku.

“Masih menunggu lagi Nak ? Mau sampai kapan ? Kamu harus bisa buat cerita baru.
Dan berhenti terjebak dalam detik masalalu”. Sahut Ibu sambil meletakkan tangannya pada
pundakku yang bergetar karena guncangan ombak yang bergumul dalam hati. Namun aku
tidak sekuat kayu – kayu tua yang sedang kupijak sembari menantang ombak yang lain. Tapi
aku sudah terlanjur rapuh.

“Tidak Ibu. Dia bukan masalalu. Aku yakin, waktu akan membuat kami bersatu
kembali.” Bantahku dengan perkataan yang sama setiap Ibu melontarkan pertanyaan yang
sama. Dan aku tidak akan pernah lelah menjawabnya. Juga tak akan pernah mengubah
jawabanku.

“Coba dengarkan suara ombak yang terlalu riuh itu. Seperti itulah hatimu Nak,
bergerak kesegala arah tanpa tahu kapan saatmu berhenti. Kamu butuh angin. Ia yang akan
membawamu pergi dan menghilangkan masa yang sudah seharusnya pergi”. Suara Ibu
terdengar sembari melontarkan nasehat yang tak pernah sama. Tetapi jawabanku tetap tidak
berubah. “Biar aku menjadi ombaknya Ibu. Hingga dia kembali kemari bersama dengan
ombak yang aku buat.”

“Betapa keras kepalanya dirimu Nak. Tidakkah kau sadar ? Nyawa yang sudah pergi.
Tak pernah sekalipun bisa kembali”. Ucapan terakhir Ibu sambil membalikkan badan dan
menjauh dibalik punggungku. “Tidak Ibu. Aku yakin Dia pasti kembali. Karena itu yang
dijanjikannya”. Jawabku lirih dan Ibu tak akan sekalipun mendengarnya. Bahkan anginpun
enggan menyampaikannya. Aku yakin dia ada disini. Didalam kalung hati yang ia berikan
padaku saat itu.

“Seingatku kita pernah menjadi pelaut yang penuh mimpi dan menunjuk pelabuhan yang
sama…”

Tangan kami saling menggenggam, tanpa peduli meski bumi ingin memisahkan kita.
Berlari mengejar bahagia yang tak kunjung tampak. Karena dimatanya aku menemukan sinar
matahari. Tidak ada yang secerah itu. Dentuman kaki pada kayu dermaga menjadi instrument
bahagia dalam tawa kita. “Rinai… Kupu – kupu kita sudah terbang tinggi”, Katanya sembari
memegang seuntai benang ditangan kanannya. Pandangan kami tertuju pada layang – layang
yang terbang indah. Akupun bergelayut manja padanya. Aku seperti layang – layang yang ia
pegang. Aku percaya, dia tak akan melepasku. Dan ia akan terus berlari mengejarku jika aku
terlepas.

“Terus manja seperti ini ya ? Dan aku tidak akan pernah bosan memanjakanmu”. Kata
– katanya yang terlalu singkat itu diakhiri dengan sekilas ciuman pada kening. Tempat
favoritnya mendaratkan bibir tipis itu. “Berjanjilah bahwa kamu akan terus mencintaiku”.
Harsa diam tidak pernah menjawab. Seakan takut ia tak mampu menjadi yang abadi bagiku.
Tapi senyumnya selalu menjadi jawaban terkuat.

“Tutup matamu Rinai. Dan jangan pernah sekalipun kamu membukanya sebelum aku
menyuruhmu”. Tanpa menunggu persetujuan, mataku mengikuti perintahnya. Semua menjadi
gelap. Yang kurasa hanya desiran angin yang mengelus lembut rambutku. “Jika aku tidak abadi
bersamamu. Biarkan kalung ini yang selalu menemani hatimu”. Kurasakan Harsa selesai
mengkaitkan seuntai kalung pada leherku yang sepi. Mataku masih saja tertutup saat ia
mengulum lembut bibirku. “Aku mencintaimu, Rinai. Sampai kapanpun itu”. Kata terakhir itu
kudengar terlalu jelas ditelingaku. Wajah Harsa seperti malaikat yang berdiri didepanku.
Dengan kemeja putih yang ia kenakan. Tanpa pernah kusangka, saat itulah terakhir kali aku
bisa melihat dan menyentuhnya.

“Harsaa…. Harsaaaaaa…….” Teriakku seketika ketika laki – laki yang aku sayang itu
terjatuh dan pingsan dihadapanku. Dan layang – layang indah itu terlepas dari tangannya,
terbang entah kemana. Wajahnya pucat seketika, dan darah segar meluncur terlalu kencang
dari hidungnya. Aku sudah lama mengetahui penyakit Acute Myelogeneus Leukimia
menggerogoti tubuhnya. Harsa terlalu lihai menutupi kerapuhannya. Untuk selalu tampil
seperti pangeran yang selamanya melindungiku. Tanganku terlalu penuh dengan lelehan
darahnya. Dan aku tak peduli.

“Jangan, jangan sekarang Harsa. Pelabuhan kita masih jauh. Jangan tinggalkan aku
sendiri. Harsaaaaa banguuuunnn..” itu teriakan terakhirku seraya berusaha membangunkan
Harsa yang sudah tertidur panjang. Harsa tertidur lelap. Sejenak dermaga dan senja menjadi
duka yang dalam bagiku. Kutemukan secarik kertas pada saku kemeja Harsa. Ia hanya
menulis “Tunggu aku. Aku pasti kembali padamu…..”. aku percaya Harsa akan menepati
janjinya. Karena itulah aku selalu berdiri diujung dermaga seakan ingin menyambut kedatangan
laki – laki yang aku sayangi.

Airmataku sudah tak sanggup berdiri diujung mataku. Kini ia jatuh dan membaur
dengan ombak laut. Kali ini aku kembali menutup mataku, tanpa menunggu Harsa
menyuruhku melakukannya. Dan entah pada hitungan keberapa. Tubuhku sudah menyatu
dengan air – air yang bergumul menjadi ombak. Tubuhku tergulung dalam air yang berusaha
menelanku. Dan sudah tak mampu aku mencari oksigen untuk ku hirup.

“Rinaaaiiiii…. Rinaaaiiiii….” Saat itulah terakhir kali aku mendengar suara Ibu
menjeritkan namaku. Tetapi aku sudah menyatu dengan lautan. Tak akan pernah ada lagi
sahutan diriku.

Kurasakan seseorang menggenggam tanganku. Menarikku dari ombak yang keras.


Genggaman sangat aku kenal. “Rinai apa yang kamu lakukan ?” kulihat Harsa dihadapanku.
Dan kami berada pada dunia yang cukup asing. “Aku ingin menemuimu Harsa”. Hanya
kalimat itu yang menjadi alasan terkuatku. Jika dibumi kita tidak bisa menyatu. Biarkan kita
menyatu di dunia yang bukan bumi. Genggam aku, ajak aku menyatu bersamamu. Menjadi
bintang yang kekal dilangit.

Puisi Bernard Batubara,


Seingatku Kita Pernah

seingatku kita pernah jadi pelaut


yang penuh dengan mimpi-mimpi

seingatku dulu kau dan aku


menunjuk pelabuhan yang sama

mengapa sekarang kau menggenggam erat jemarimu

menepis tanganku?

seingatku dulu matamu menyimpan matahari


mengapa sekarang kau enggan

melihatku lagi?

kita pelaut yang lugu. kita pengembara


yang saling membutakan mata masing-masing

apa kau butuh istirahat? berapa lama?


kau ingin berdiam saja di sini menunggu

hantaman ombak yang berikutnya?

angin hanya menonton. kita sungguh pelaut yang buruk


kita tak ubahnya pengembara yang kehilangan kaki

aku lelah mengemudi. kau lelah menunjukkan arah

akan ke mana perginya kapal kita?


mengambang di tengah samudera?

Diposkan 1 week ago oleh Gistii Riza Adistie

Anda mungkin juga menyukai