Anda di halaman 1dari 5

Nama M.

Miftahul Falaah

NIM 3101415061

Rombel 6B

Mata Kuliah Sejarah Maritim

Senja dan Bidadari di Kota Bahari

Kota kecil yang terletak tak jauh dari bibir manis deburan ombak, seakan membuat hati
tenang dikala senja datang. Rasanya seperti suatu kehangatan secangkir teh dengan takaran
gula yang pas. Saat itu kunikmati separuh soreku dengan wanita yang bersanding di sebelah
kanan persis kemeja biru ku. Deburan ombak yang pelan, serta aroma laut yang khas seakan
menjadi orang ketiga diantara percakapanku dengannya. Kuanggap suara ombak itu sebagai
alunan musik penghantar dialog senja kala itu, adapun suasana santai kala itupun kuanggap
sebagai bonus dari keihklasan hati mengagumi ciptaan tuhan.

Sambil berbicang ringan yang tak sungkan diselingi basa basi, terkadang juga diselingi
berbagai canda untuk mencairkan hati dan mood nya. Sambil berharap dalam hati agar orang
yang berada disampingku bahagia dengan suasana senja yang sederhana ini.

Sambil ku bertanya. “senja hari ini sangatlah indah, mungkin kita bisa melupakan rumah jika
senja ini akan lebih lama daripada siang atau malam”

“iya memang indah, tapi sayang mengapa senja tak datang dua kali dalam satu hari?”
ucapnya sambil bertanya pelan kepadaku.

Aku hanya tersenyum tulus sebagai refleks dari pertanyaanya. Setelah itu ku mulai menjawab
dengan santai “senja itu bagai coklat yang hanya pantas kita nikmati dalam beberapa waktu
saja, karena jika terlalu sering mungkin senja itu bisa bersedih dan bahkan tak mau datang ke
sore kita lagi”

“Mengapa seperti itu?” tanyanya membalas jawabanku

“Memang seperti itu, jika coklat bisa dinikmati olehmu setiap hari pasti kau akan bosan dan
mungkin tak akan menikmati coklat itu esok hari” jawabku dengan pikiran yang spontan.

Dia kemudian tertawa kecil sembari menengok dermaga kecil yang ada di sebalah timur
kening nya. Rasanya bahagia bisa melihatnya tertawa atas perkataan yang keluar dari
mulutku. Tak lama kemudian sesusai pembicaraan tentang senja itu, dia menarik tangan
kiriku sembari berbicara lembut meminta untuk menghampiri dermaga itu.

Sambil melangkahkan kaki, dia tak lepas memegang tangan kiriku sembari tersenyum indah
yang bahkan tak kalah indah dari matari yang akan terbenam di tengah laut itu. Tak lama
sampailah di dermaga kecil yang bersih di sebelah timur pantai. Sederhana, sama seperti
pakaian yang dia kenakan sore itu. Membuat mata tak ingin cepat-cepat berpaling untuk
melihat pedagang makanan ringan ataupun lampu-lampu penerangan yang mulai dinyalakan.

Tak terasa sore akan berlalu sebentar lagi, tetapi yang kulihat ceria nya dia belum mau pergi
dari indahnya senja itu atau mungkin waktu yang satu zona denganku. “Ah, mungkin itu
hanya pikiranku saja yang terlalu gede rasa” sambil menggaruk kepalaku ini. Tetapi mungkin
saja itu benar, karena sekana dia selalu melihatku dengan senyum sama seperti senyumnya
saat melihat matahari yang nampak ingin pamit dari sore kala itu.

Tak sungkan terus memanggil namaku disaat kaki dan matanya ingin berpindah dari satu sisi
ke sisi lain di pantai itu. Hati dan mulutku sangat singkron rasanya kala itu, tanpa sungkan ku
langsung mengiyakan setiap ajakannya yang dia mau. Detik itu dia ingin duduk-duduk saja
sembari menunggu matahari kembali untuk berpindah di tempat lain. Pilihlah di suatu kursi
bambu tepat dibawah lampu yang cukup terang menerangi bayanganku dengannya.

“Yaah, matahari sepertinya tak lama akan mulai menggelapkan pantai ini” katanya sambil
memegang tangan kananku.

“Tak apa, kan esok sore pun kita masih bisa menikmati senja yang sama seperti sore ini”
jawabku sambil mengelus rambut wanginya itu.

Angin yang cukup berirama sore itu seakan membuat hatiku semakin nyaman berada
disampingnya. Seakan tak mau kalah, indahnya mentari senja yang membalut tubuhnya
dengan jingga ingin memamerka dirinya kehadapanku kala itu. Memang betul mentari kala
itu cukuplah indah di mataku, tetapi mangapa waktu seakan tak mau pergi ketika mataku ini
memilih menghadap kearah wajahmu yang cantik kala itu.

Sore kala itu seakan mulai membiasakanku untuk selalu menghabiskan senja di pinggir pantai
yang penuh dengan keindahan disetiap arah angin nya. “Mengapa tak dari hari-hari kemarin
kuhabiskan senjaku bersamanya disini” ucap dalam hatiku. Untung suatu hari hanya
memakan 24 jam di waktunya, seakan kuingin kembali menikmati suasana ini lagi di esok
hari.

Tak lama kemudian dia melabuhkan kepalanya ke pundak kananku, sembari tersenyum kecil
seakan meledek kearah wajahku. “Oh manisnya sore ini, seakan mendapat dua hadiah dari
keindahan Tuhan. Rambutnya yang beraroma wangi yang khasnya itu seakan mampu
mengalahkan aroma laut yang sejak kudatang terus menetap di hidungku.

“mengapa ombak itu datang dan langsung pergi kembali?” tanyanya sambil menolehkan
wajah lucunya itu kepadaku.
Dalam hatiku menjawab, pertanyaan macam apa lagi ini. Tetapi dengan tersenyum ku tak
lama menjawab pertanyaan darinya.

“karena ombak tak datang hanya untuk menetap, tetapi hanya singgah sekedar untuk
menghidupkan laut dari kesunyiannya” jawabku sambil tersenyum.

Dia pun seakan semakin bertanya-tanya kepadaku. “Mengapa seperti itu? Hanya datang
untuk singgah dan lalu pergi lagi, berharap untuk singgah dan tak pergi kepada ombak itu.”

“Bukannya ombak sama seperti kita ( manusia ) yang terkadang hanya terburu-buru ingin
mencari tempat singgah tanpa ingin menetap?” jawabku dengan santai.

Seakan dia mulai terjebak dengan dialog santai ini, sembari menjawab terus setiap dialognya
denganku. “ apakah tepat manusia disamakan dengan ombak di lautan ini?”

“Setiap manusia memilih pasangannya sebagai tempat berlabuh atau singgah, tetapi
tergantung berapa lama waktu ia ingin bersinggah pada suatu hati. Selain itu, bagaimana pula
cara ia ingin pergi dari tempat singgahnya itu. Ada beberapa definisi pergi dalam suatu
persinggahan hati manusia, baik itu kemauan pikiran, ataupun pergi karena tuhan yang
memanggilnya atau berkehandak.” Jawabku sambil menatap mata indahnya itu.

“Bukankah mungkin aku hanya menjadi tempat singgahmu sesaat sebelum kau mencari
tempat singgah yang baru?” tanyanya dengan nada menjebakku.

“Alur perasaanku tak seperti itu, bersinggah dan mencari tempat lain yang baru di kemudian
hari, inginku jika memang harus pergi yaitu karena takdir yang memerintahkannya, bukan
keinginan pikiran sesatku ini”. Jawabku dengan nada meyakinkannya.

Dia tak menjawab balasan jawaban dariku dengan perkataan, tetapi hanya sambil tersenyum
dan kembali meletakkan kepalanya di pundak kiriku ini dengan penuh rahasia di hatinya.
Seakan membuat ku bertanya-tanya apa yang ia simpan di hatinya itu. Hanya tersenyum dan
meletakkan kepalanya itu seakan tak cukup membuatku tahu dengan ras apensaranku ini.

Tetapi tak lama berselang, ia berkata “tetaplah menajdi ombak, dan jangan pergi kembali ke
samudra jauh itu”

Sontak hanya senyuman sembari tersipu sedikit malu yang hanya meraut diwajahku ini. Dan
ku menjawab”jika memang itu jalur takdirnya, tak akan kusia-siakan perkataanmu tadi”

Mentari mulai menenggalamkan separuh badannya kedalam laut dari penglihatan di pinggir
pantai ini. Seakan memberi pertanda jika waktu kita disini tak lama lagi. Mungkin senja
memang akan pamit sesaat lagi, tetapi dirinya masih ingin terus berbincang denganku.

“jika memang aku hanya ombak, lantas apakah kau juga ombak?” tanyanya sambil tertawa
kecil.

“Ombak itu kamu, aku ini pantai nya” jawabku di sela senja kala itu.

“Loh kok bisa?” tanyanya sambil memasang wajah penuh keheranan.


“Karena kamu yang hadir bagaikan ombak ke dalam diriku, yang selalu kuharapkan tak
pernah pergi untuk mencari pantai yang baru apalagi kembali ke tengah lautan dan
menghilang begitu saja”. Balasanku sembari menunjuk ombak yang terus menghempas ke
pinggiran pantai.

“Ah aku jadi malu” jawabnya sambil memerahkan pipi yang berlesung itu.

“Apa jadinya jika pantai tanpa ombak, sungguh kasihan nasib pantai itu karena menjadi tak
hidup dan seakan sunyi tanpa suara deburan ombak yang selalu mengiringi setiap saat”.
Kataku dengan santai.

Sudah hampir penuh badan mentari ingin pamit dari senja kala itu, aku pun lantas mengajak
dirinya untuk meninggalakan pantai itu dengan rasa yang cukup bahagia hinggap di
pikiranku. Lampu-lampu di pinngir pantai semakin memancarkan cahanyanya sembari
menggantikan peran dari mentari yang telah pamit dari senja itu.

Langkah kaki mengarah ke tempat parkiran yang berada di ujung barat pantai itu. Sambil
memikirkan dalam hati jika tak salah memang Kota Tegal layak dijuluki sebagai kota bahari
selama ini. Selain karena sejarahnya yang memang erat dengan laut atau maritim itu, Tegal
juga memiliki banyak pantai yang selalu menempel erat dengan sisi tubuh daratan Tegal.

Kala itu diriku menikmati rasanya senja di pantai yang menempel erat di pinggiran Kota
Bahari. Selain mendalam di Kota Bahari, seseorang yang menemaniku pun kuanggap sebagai
bidadari yang menemani senjaku kala itu dengan ceria dan menutup manis bahagia di setiap
senyumannya. Bahagia rasanya menjadi salah satu penetap di kota yang lekat dengan sebutan
bahari di setiap rangkaian katanya. Seakan punya sejarah sendiri yang tak kalah hebat dari
kota-kota besar lainnya di Indonesia.

Sesampainya di tempat parkiran, seakan kita harus berpamit meninggalkan senja yang telah
pergi dan menunngu malam untuk berganti mengisi waktu kala itu. Sembari ku menjalankan
motor untuk hendak pergi keluar dari pantai itu, ku sempat melirik sesaat kembali ke lautan
yang berada di belakang penglihatanku sambil berkata dalam hati “semoga orang yang
dibelakangku ini selalu menjadi ombak, dan jika memang harus berganti malam, jadilah
rembulan yang setia menerangi tanpa harus dicari”

Senja dan bidadari kala itu, di pantai Kota Bahari. Sedikit cerita sederhana yang seakan
sangat mewah di pikiranku.

Anda mungkin juga menyukai