Mendaras Sijjin
sahabatku atid
dia lebih mengenalku daripada aku mengingat diriku
sendiri
tuhanku,
bolehkah,
aku..
berdoa?
Aku ingin,
mendekapmu seumpama bayang-bayang
yang jatuh di atas jalan-jalan kota,
hujan tak henti-hentinya menertawaiku.
Aku ingin,
memelukmu bagai kelopak yang setia
menjaga melati.
Menopang cita-cita yang selalu kau gemakan, membiarkan
dirimu membagi aroma kebahagiaan yang sedang kau
perjuangkan.
Aku ingin,
merangkulmu seperti tebu yang merelakan
tubuhnya berakhir menjadi debu di atas perapian.
supaya,
sesak dan bahaya
urung bertamu
Makassar, 2018
4.
Resonansi Eros
V.
malam ini,
purnama merona
Λ.
V.
malam ini,
Λ.
ini malam,
ΛV.
kuturunkan jangkarku
mengerang
hingga
pikiran menanggalkan
suatu pagi yang perawan, seorang dengan jarum pentul di pertemuan keduai juntai kerudungnya,
melangkah ke ruang kelas. seperti dia menggantungkan rahasia di ujung matanya. seperti dia punya
kuasa. sebatang kapur terselip di jumput tangan kanan. mengacak-ngacak yang polos. papan tulis dan
ingatan anak kecil. (jangan serius begitu, katamu). kata-kata, mereka melekat dan melatah. (papan
tulis dan ingatan anak kecil, lagi-lagi imbuhmu, kali inipun kau bersembunyi di rak sepatu). kata-kata
itu sederhana saja seperti atap rumbia sekolah. manusia itu menulis ini, “menabung pangkal kaya”.
apa yang akan membuat kaya? sesuatu itu mesti berharga. seperti akal-budi. (masa bodoh! uanglah
yang paling menentukan harga diri hari ini. bentakmu yang mulai mencuri perhatian). harga diri hari
ini. hormati yang berduit. dia (itu kita, tanpa diminta kau bicara seenaknya, seperti manusia rakus
jabatan) mulai menyisihkan uang jajan ke celengan.
manusia tumbuhnya sporadis. dari orok sampai tak henti-hentinya ngorok. belum sempat bersuka cita,
dia mulai menjamah cinta sesuka hati.
bertemu. bertegur-sapa basa-basi. lalu jinak seperti merpati kelaparan disuguhi beras. berpisah. lalu
berpapasan lagi. bertegur-sapa yang berapi-api. berlepas diri. kacau. burung-burung berjenis lovebird
itu dibeli satu-satu untuk berkicau di teras kenangan. satunya yang mengundang musim semi lebih
awal.
deru waktu memukul mundur. tamu memupuk belukar resah. gelisah seperti babi dikejar-kejar anjing
pemburu. hari-hari hanya setipis kertas dari imaji (akan tetapi sejauh timur-barat dari kesempatan,
penyair misterius menggenapi). manusia mulai menabung untuk menuntaskan hutang. yang terpisah
didera ribuan kali cambuk. seperti derita orang yang merindu. (tapi rindu menyulut cinta yang kian
redup. kembali berkobar. penyair itu mengakhiri bait ini dalam nada mengejek. seperti ringkikan
celeng.)
8.
Terasing
di persimpangan jalan,
telingaku tanggal
dia berlari seharian,
menaunginya bulan merah.
dari mesin mobil-motor,
jeritan bergema mencari semua matanya
Menyanyilah bersamaku
Barangkali pikiran kusut akan susut di antara
petikan gitar
Kita akan tersadar
malam ini begitu beku dan kaku
14 Februari 2018
10.
Tragedi Penciptaan Khalifah
yang jatuh
Kau tahu
sejak itu
terus-terusan, bahkan
jadi danau
ia sebut kemenangan
permadani
di akhir hayatku.
Pukul 16:00
Sore penuh sukacita
Sambut jiwa-jiwa lelah
Bermandikan matahari ramah
Pukul 17:00
anak-anak kehidupan
tiada jenuh membangun istana pasir
beberapa saat, terserak air
Pukul 18:00
sang ratu berangsur-angsur,
kembali ke peraduan
pesonanya masih disimpan
langit dan laut
Assalamu’alaikum, Buya.
Maafkan ananda bertamu di pagi buta ini
ada perihal genting sudah dasawarsa menetap di bilik
kesadaranku.
Buya, kiranya engkau titipkan nasihat
Mengapa?
Sudah bertahun-tahun ananda ruku’ dan sujud bersama orang-orang
beriman...
Bukan daku menjadi tenteram, malah diliputi angkara muram
di kepala dan tanganku
Mengapa?
Setelah-lelah tak jua menyingkap tabir kesulitan hidup.
Ananda... diri kita mestilah paham terlebih dahulu.
Siapa kita ini,
sebelum bunga-mengapa mekar-mekar di taman hati?
Kita ini ciptaanNya. Kalau mau berhitung bilangan,
tak cukup apa yang kita sadari meliputi
nikmat Tuhan yang Dia karuniai
Ananda... kita ini shalat bukan untuk memperoleh materi.
Kita ini tidak pantaslah menuntut banyak, sehari pun
tak lepas dari dosa, kita.
Ibadahlah yang ikhlas.
Benar-benar mengharap ridhaNya.
Tanpa pamrih, tanpa tedeng-alih.
Terik matahari pukul sebelas mulai menusuk kulit. Pemuda itu membuka matanya.
Tadi itu seperti mimpi. Barangkali potongan khayalan akibat kaset ceramah
Buya Hamka yang ia putar. Getaran-getaran itu memantik vesikel sinaptiknya pecah.
Serotonin di otaknya melimpah bagai air bah.
Makassar, 1 Oktober 2017
15.
Mendengarkan Kisah Beruang Yang Dikhianati Saat Mendung Mengurung Kota
Di panggung kedukaan, orang-orang lalu-lalang seperti pasar. Tapi tak bersuara. Mungkin, kekata di
dalam kepalanya terlalu busuk. Seperti lalat mengerumuni bangkai yang terlalu ramai. Bukankah
orang yang pendiam punya segudang hal yang hendak dia ungkapkan, tetapi tumpang-tindih berebut
siapa yang terbaik, hingga kesempatan berkata-kata sudah menguap. Bagai asap dupa yang dibakar
ratapan.
17.
Lamunan Sardhana
Cikcikcik
Ramai bagai anai-anai
merayap, menjijikkan.
Eerrgghh
Siul susul-menyusul
pekak teriak-keras.
duhai...
jadikan aku kataMu
alas kaki bagi ibu
menuju Bait-al-Lahm
Enrekang, 18-01-2019
20.
Ode Untuk Nethel
aduh!
betapa palung kita jauh terjatuh dalam
keadaan yang diciptakan
apa kenangan pun hanya saling bertaruh
mengingat atau melupakan
tidak!
sebab ia tak dibelenggu waktu
ada saja pilihan itu,
jejak digital
26.
Femme Fatale
diam-diam lalu
pergi
jauh sekali
di seluruh nadiku
berlarian seperti anak kucing di celah syarafku
1
tersisa oleh sebatang rumput yang memotong dirinya,
melayang-layang di permukaan sungai,
lengan daun yang kurus, butiran embun yang bersisian
bola kaca, sayap kupu-kupu dibelai cahaya
menjangkau tiang pusaran
berangsur-angsur kuyup
2
akarnya terperam
dalam tanah yang gelap
pembulu dari jantung sungai seperti suara
ia menyerapnya
saripati yang manis
sesekali cahaya mengintip rekahan rahim
keringat meretas
mengaliri guratan hingga ujung tudung
ia merunduk terhampar di punggungnya
Sebuah majalah wisata membeberkan rahasia kota yang tengah mengganti namanya
ia lenyap
setiap malam,
E…aule…
Mangerang nakku
Bait terakhir berasal dari syair karya Bora DG Irate berjudul Anging Mamiri
Saat engkau sedang mengandung berita kebenaran, orang-orang justru menghardikmu. Mengapa
manusia bisa sekejam itu? Mereka mencabut perasaan dari dalam dirimu sehingga dapat
menggulungnya seperti gumpalan wol. Lalu di hadapan pegunungan Yudea, mereka menyepak
gulungan itu dari satu kaki ke kaki lain. Hanya embusan angin yang lirih berusaha menangkapnya.
Hanya gumukan pasir yang merebahkan tubuh untuk meredam benturannya. Orang-orang hanya
mempercayai apa yang ingin mereka percaya. Mengapa mereka tidak mempertimbangkan apa yang
nurani tawarkan?
Tapi para rahib khawatir kuasa mereka akan direbut. Mereka menghinakan seorang agar tak ada yang
menghidu kebusukan yang tersembunyi. Orang-orang yang menghina mengira yang terpuruk adalah
makhluk yang malang. Tetapi, sejauh mana pun cela yang mereka tuduhkan tidak akan pernah
melampaui keburukan yang mereka pelihara. Orang-orang takut dengan jiwa yang jujur. Orang-orang
khawatir akan ungkapan yang terdengar asing namun terasa akrab, sebab kata-kata demikian dapat
meruntuhkan benteng kokoh sekalipun, apatah lagi perasaan angkuh yang selama ini telah mereka
bangun.
Para malaikat membawakanmu buah musim dingin saat musim panas sedang membakar Yerusalem.
Orang-orang yang mudah terhasut menuangkan air cuka di atas luka yang kau derita. Mereka
membakar taman bunga yang damai dalam hidupmu. Orang-orang yang di hatinya ada penyakit
mendendangkan hinaan dan menenggak anggur yang mengalir dari kedua matamu, mengusap pasir
jejak langkahmu yang terusir ke wajah mereka yang menyeringai. Seperti hewan buas yang
kegirangannya tak mampu ditampung oleh tawa ketika mendapati mangsanya jatuh tak berkutik.
Setiap malam dan siang yang silih berganti, matahari dan bulan bergerak dalam lintasan edarannya.
Petani dan penggembala mengamati bintang juga merasakan ke mana arah angin menetapkan waktu
untuk bercocok tanam dan melepaskan ternak di padang rumput. Engkau senantiasa menggemakan
Taurat dalam mihrab hingga menghunjam kuat dalam sanubarimu. Andai hati manusia seumpama
daun. Maka engkau memiliki hati selapang daun talas, cercaan dan rasa dendam yang hendak
membasahinya, lantas tergelincir. Pun tidak membekaskan samasekali. Meskipun hanya setetes air
kekesalan. Sedangkan hati para pendengki yang gemar merendahkan laksana daun kaktus. Sangat
sempit serupa jarum. Ujungnya yang runcing tak segan menusuk siapa pun guna melindungi limpahan
iri yang mendekam dan mengendap di bawahnya.
33.
Tukang Jahit
.ia mestilah menjadi pengunjung terakhir yang mengenal baik terakhir yang mengenal baik taman
tuan Wernick. Setengah pengamat pun pendengar menghabiskan waktu bermain jungkat-jungkit: apa
yang akan dilahirkan mahir? Sebab itu, realitas dikumpulkannya satu per satu. Untuk dicerai-beraikan
hingga tak lagi berbentuk sebermulanya utuh. Lalu di tepian dunia mana-bermakna, diperhadapkanlah
kata. Ia meletakkan bunga dan pedang di sisinya. Kepada tabir yang dirajut hitam, ia berdiri tak
bergeming. Menunggu gerbang dunia itu direbahkan perlahan-lahan: menjadi jembatan atau ranjang
pembaringan. Sembari mencipta, dirajutnya mahkota bunga pada bangunan yang berlubang itu. Ia
mencintai bunga seperti pedang yang mengincar nadi di lehernya. Kadang-kadang di pergelangan
tangan kanannya memancar sesuatu yang dicarinya. Bisu namun penuh kuasa. Ia tidak lagi bertanya,
soal kapan ini pengantaran samp-ai.
Malino, 7-12-2018
makassar, 6-2-2019
34.
Wasiat Bagi Kawan
di sudut waktu
sebuah kota membentuk dirinya
berlayarlah senantiasa
di atas gelak tawa dan aroma cahaya.
Makassar, 21-12-2018
35.
Haiku
binar Mintaka
embun melungguh kalbu
di kening surau
36.
Anatomi Erotika
bulir-bulir keringat
meluncur di xiphoideus malam kritis
subuh dalam toples, sianosis
37.
Hari Hampir Berakhir dan Aku Menjemur Diriku
melengkunglah tali itu bagai resah bergelantungan di ujung bibir dan kedua mataku/
hujan tak datang, kemarau tak henti-hentinya meniup angin kebekuan pada lumpur//
sesekali berlari seperti seekor tikus di jalur rodanya, kupelihara ia dalam kotak kaca/
seperti alkohol, begitu saja aku lupa dan tenggelam dalam air bah kehidupan//
38.
Di Hadapan Obituarium
tak-tak-tak
takkk. takkk. takkk.
di pasar hiruk-pikuk
bersinggah beli segenggam daging
orang-orang menyebut Tuhan
seperti menghitung langkah pulang
Umurku akan
Senyap
Seperti kamar
Di tubuh ibuku.
Sungai dan
Muara meminta
Seutas karam di
Hatiku.
Aku
Memintal aroma
Kesedihan
Yang hidup
Di pundak mereka
Agar telanjang
Seperti bayi.
Kupetik dalam
Keranjang bunga
Doa
Yang gugur.
Sesuatu basah
Dan hangat
Menggantung
Di mata
Teman-temanku.
Daun pagi
Menetaskan embun.
perih mengentaskan
Jarak yang
Kau rentangkan
Setiap hari.
Kini terlipat
rapi bersama
Kehilangan
Yang tak dikenali.
40.
segelas kopi
malam melayang
O Kafein!
pecahan kata,
terlontar bagai muntah
O Jumat!
detik yang sulung
bolak-balik, di bilik
tanpa apapun,
yang ditanya tak bergema
tanpa ampun
di dalam kamarku
(ya di tubuh rahasiamu)
buah-buahan semalam suntuk
berbincang-bincang
: dispepsia-insomnia-takikardia
(dan sia-sia)
41.
Ketika Aku Terbangun Di Kasur Pelacur
42.
menginjak jejak Arak Terakhir*
45.
46.
47.
0
phi
cinta
merokok
dering alarm
bagai sang surya
mengeruhkan udara,
itu kau sulut rindu begitu
mengiringi kremasi sebiji janji
supaya upaya setia tiada daya saya
puisi semusim di neraka semakin gemuk
tiap celah beton meretak jeritan penyesalan
48.
49.
Binasalah burung-burung yang terkurung dalam dirimu. Dengan asap beracun yang melambung dari
musim kecemasan. Kemudian berdirilah di atas singgasana tumpukan bangkai itu dengan kedua
telapak tanganmu. Pandanglah ke mana mata-mata itu menyalang. Tegakkan kakimu menopang
langit. Hiruplah aroma sengit seperti saat itu adalah kelahiranmu yang kedua. Sebab engkau bukan
milik hutan tapaan. Engkau bukan seonggok daging yang tersengat internet. Engkau bukan kepolosan
yang tersenyum di titian sanjungan dan senggama.
Engkaulah ketidakaturan
Engkaulah ketidakpenuhan
Engkaulah ketidakjenuhan
Engkaulah ketidakpatuhan
Engkaulah hasrat hidup tuan
Mari kita singkirkan tulisan cengeng yang berhamburan di sosial media. Kata-kata yang tidak
bertenaga dan yang mengelabui kita dari peliknya hidup, yang memperbudak kita kepada kepastian
masa lalu, yang melenakan dan menarik tangan ini menggenggam penghayatan hidup yang merdeka.
Kita harus menyiapkan pisau yang runcing untuk mencabik-cabik kemasan cantik agar gagasan-
gagasan tidak tertelan begitu saja.
Jangan-jangan selama bakti penantian pada kematian, engkau hanya tergolek mengkonsumsi
romantisasi sabun: seperti ruangan ini tidak berterima gugatan, dijaga dari desakan manusia kemarau,
lebih lanjut mendikte di ujung ketubuhanmu.
50.
Kidung Duka
sepertinya
begitu.
O hujan
kurebahkan doa ke selam genanganmu
yang terbilang sungguh
menguntai ke tak hingga
aroma kelabu menyeruak dari pori-pori dinding kamar, ketika video itu berlayar di udara.
hiroshima nekrosis di gulungan film, sedangkan aku adalah rombongan anak-yatim dalam kabut
kemurungan pengungsian di tepi sungai yang berwarna putus asa. tiada sejenak berhenti sejak vonis
mati dilaksanakan. getir ini berlarut-larut ibarat terowongan panjang yang pandai mencipta setiap kali
kutanyakan kapan akan berakhir. episode terulang berlipat-lipat kali biar aku jatuh sakit dan kau pergi
agar aku tidak jatuh cinta dan kau tidak kembali
ia yang mengembara seperti cahaya di inti gravitasi semestinya memejamkan mata biar bisa meraba
kaki elektron yang telah pincang. momentum berdiri di dapur di atas sisa-sisa pecahan gelas yang
jatuh. gelombang melayarkan dirinya yang telah menyerah ke semesta tak kasat rasa. partikel cinta
mengemban cahaya. cukupkanlah kekacauan ini.
engkau mengasihi harmoni chopin yang menyelip dalam komposisi kecupan embun pada daun
kenangan di puncak bulusaraung. istirahatlah, kegelisahan telah membalikkan titik keseimbangan.
bintang-bintang akan menari mengganti muda-mudi di dalam dirimu.
51.
aku ditawari kejahatan
kunang-kunang yang bersembunyi
dialiri api dosa mendarahkan
kendati kelinci di atas bukit
52.
(Di) Negeriku Tidak Ada
di bumi?
dan tuan
dan puan
terpingkal-pingkal
menyaksikan dunia perhantuan ini begitu
komedi
Makassar, 2019
54.
Kita Bukan Astronot
aku ingin mengirimkan potongan telinga ini untuk presiden, agar ia juga mendengar sisa
kelembutanmu. aku tahu ini mengada-ada, mana bisa tuan dari 271 juta hati langsung menerbitkan
surat perintah buatkan kita dua orang ini sebuah roket. namun kau bisikkan negara asing ingin
membunuh presiden. sore itu pula kita bisa menyelinap ke pangkalan militer. kita lihat pesawat kecil
tanpa awak terparkir. kau daratkan bibirmu agar aku menghitung semenit seperti waktu-paruh di
samping mesin yang mendesing. lalu kita memandang senja lewat kaca pesawat di atas gulungan
awan. seperti kapsul waktu, sepanjang cakrawala bercerita. itu kita, lihat. duababi bergumul dengan
jerami emas. kita sedang mengirim cinta ke tanahmimpi. orang-orang keluar rumah merentangkan
lengan. kekasihku bukankah akan menyebalkan. saat rudal ini menghantam rumah mereka. kita
menjadi manusia. tapi kau memelukku dan aku sadar bahwa kita telah mati di negeri sendiri.
55.
Pneumonia Wuhan
57.
Musim hujan sudah patah
Pohon-pohon apel mulai dipetik
Sekeranjang penuh bahagia merah
Siap diantar ke tempat asing jauh