Anda di halaman 1dari 55

1.

Mendaras Sijjin

kuucapkan ini, sahabatku lalu menulisnya.


kemudian disampaikannya kepada tuannya.
lalu dia memintaku membacanya.

sahabatku atid
dia lebih mengenalku daripada aku mengingat diriku
sendiri

di kubangan lumpur, tubuhku terjerat


tidak seperti ternak, tahu di mana rumah
pekat, malam yang lama

kecuali sepotong hatiku


lepas tak berdaya
semoga diambil elang
lalu dibawa pulang ke sarangnya.
jauh di atas sana
sehingga jarak ke arsymu kian dekat

jika seorang berjalan kepadamu, engkau berlari


menyambutnya
jika hatiku pasrah dimakan anak-anak burung lapar,
bolehkah kuteguk cintamu,
sesaat sebelum,
jiwaku pulang?

kuucapkan ini, sahabatku lalu menulisnya.


kemudian disampaikannya kepada tuannya.
lalu dia memintaku mendarasnya.
kekasihmu dari seorang tua renta,
doanya membikin gurun-gurun berdesir iba
tiap langit sedang berhias
saat pelataran maqdis dilalui sunyi

kekasihmu itu, tiada sekalipun,


membalik muka

rupaku telah busuk dimakan ulat


mandikan aku dalam api sucimu
biarlah hangus bersama sekam

di padang luas nanti

ketika tiap umat berlutut


ketika tangan dan kaki menjadi saksi

tuhanku,
bolehkah,
aku..
berdoa?

Makassar, 16 November 2017


2.
(Aku Ingin) Bilur

Setiap pagi, setelah mentari menemukan kita


dari kedua sudut bibirmu kehangatan itu terbit.

Aku ingin,
mendekapmu seumpama bayang-bayang
yang jatuh di atas jalan-jalan kota,
hujan tak henti-hentinya menertawaiku.

kecuali mengizinkan kesunyian menelan setiap


kehendak yang belum terucap.
Percakapan membuat waktu bosan berlama-lama
kau membiarkanku menerka-nerka apa yang tidak
berbentuk masa depan
hidup yang lebih pekat menetap sunyi di matamu

Bagaimana caranya menenangkan kicauan di kepalaku


ketika kau selalu memelihara seekor merpati di
lenganmu?

Aku ingin,
memelukmu bagai kelopak yang setia
menjaga melati.
Menopang cita-cita yang selalu kau gemakan, membiarkan
dirimu membagi aroma kebahagiaan yang sedang kau
perjuangkan.

Kau bagai mentari yang menarik seluruh duniaku


mengelilingimu.
Ketika senja, majalah dan koran-koran mulai menebarkan
rasa takut.
Kamarku lengang; sunyi menjadi sepi menghantui
lalu kenangan tumbuh merubungi hari libur
yang tak mampu kusentuh

Aku ingin,
merangkulmu seperti tebu yang merelakan
tubuhnya berakhir menjadi debu di atas perapian.

Bagaimana mungkin akumenolakmuterlelap dalam puisi ini?

Aku ingin menghadiahkan sekuntum bunga yang tumbuh subur


di hatiku.

Tapi setiap kali aku menemuimu, kata-kata telah


berkembangbiak menjadi anak kalimat yang senang
bermain petakumpet.

Andai kau menumbuhkan keinginan menikmati langit biru


sebelum petang kala itu.

Kau kan terbangun dan mendapatiku tenggelam terlalu


dalam.

Makassar, 16 Februari 2016 – Januari 2019


3.
Jendela

hidup itu curiga


kalau kau mau,
aku bisa mengajakmu ke rumah

kita bisa banyak melihat


asal penuhi syarat

biarkan semua jendela


itu tetap terbuka

supaya,
sesak dan bahaya
urung bertamu

Makassar, 2018
4.
Resonansi Eros

V.

malam ini,

hanya kita berdua

aku meneduh dalam dekapan

kulitmu sehangat sinar mentari pagi

menyentuh seluruh kesadaranku

gairah kian meluap, bagaikan

lautan menari-nari saat

purnama merona

Λ.

kataku ini malam,

milik kita sesuntuknya

sepi dan sunyi di sangkar

sahut-menyahut dalam harmoni,

seperti birahi menyambut tiap desahanmu

V.

malam ini,

tatapanmu menjelma mantera

ampuh, buat sukmaku ibarat permaisuri

kau merasuki tubuhku

menuangkan anggur pada cawan suci

lalu kita sama dimabuk cinta, dibelai angin surga

Λ.

ini malam,

kekal kan kita satu


kusaksikan keajaiban Tuhan

memahat keindahan rusuk yang direnggut

kulit selembut sutera, bibir memerah ceri masak,

dua buah dada yang ranum, melampaui Venus yang dielu-

elukan para pelukis yang tercerahkan

ΛV.

di tepi samudera kehidupan,

kuturunkan jangkarku

lalu kau dan aku,

mengerang

hingga

pikiran menanggalkan

jubahnya, satu demi satu lagi,

tarian ritmis yang sakral mengulang dirinya

sampai kesadaran mencapai frekuensi yang sama

saat itu, kita benar-benar melebur menjadi satu seutuhnya

15 April 2018 Makassar


5.
Bernyanyilah Cinta

Angin musim gugur menyisih air laut ke tepi


Engkau bersiul memanggil rembulan dari
celah bebatuan,
namun aku memilih redup sebagai
kehidupan.

Angin musim gugur menyanggit serumpun


kemuning ilalang
ia membawa merdu mendung yang gelisah
hingga benang-benang cahaya menjuntai
seperti jemari yang saling merajut asa

Di museum hari itu, rona senja melebur


pada sekat-sekat dan jendela.
Seperti sebuah cermin retak yang
direkatkan kembali,
engkau berdiri tersenyum di tengah
ruangan.

Seekor lumba-lumba berenang di dalam


lukisan
ketika laut begitu menawan seperti
menabur butiran berlian

Sejak cahaya tembok kota metropolitan


berkelap-kelip menghiasi kedua matamu,
aku mulai berandai
memelihara cuaca di pertemuan langit dan
hati,
aku mulai bermimpi
menanam beberapa ungkapan dan baja dari
rak buku pustaka.

14 November 2018, Makassar


6.
Epilog

Senja kesumba merenung di ujung dermaga.


Ketika riak laut mengarak kapal tua.
Di balik jendela yang mengiba.
Rangkaian kenangan tergenang di pelupuk mata.
Lebih jauh, surat itu menghanyutkan jiwa.

Segera, malam kan menelan layar terkembang,


menahan pertemuan berbuah asmara
seperti api menghanguskan ranting kering
kusuma merekah, lenyap sudah

pujangga mengumpulkan perih,


satu per satu ke tepian
Dalam jiwa yang sepi, cinta
kan terus bersemi.
Puisi pun sunyi, kekasih
kini t’lah pergi.

suara hati dari seberang lautan


membisu di atas kertas
“I love you simply, without
problems or
pride.”

Makassar, 9 April 2016


PS: kalimat terakhir dikutip dari puisi Pablo Neruda “100 Love Sonnets”
7.
(Celeng)an Rindu

suatu pagi yang perawan, seorang dengan jarum pentul di pertemuan keduai juntai kerudungnya,
melangkah ke ruang kelas. seperti dia menggantungkan rahasia di ujung matanya. seperti dia punya
kuasa. sebatang kapur terselip di jumput tangan kanan. mengacak-ngacak yang polos. papan tulis dan
ingatan anak kecil. (jangan serius begitu, katamu). kata-kata, mereka melekat dan melatah. (papan
tulis dan ingatan anak kecil, lagi-lagi imbuhmu, kali inipun kau bersembunyi di rak sepatu). kata-kata
itu sederhana saja seperti atap rumbia sekolah. manusia itu menulis ini, “menabung pangkal kaya”.
apa yang akan membuat kaya? sesuatu itu mesti berharga. seperti akal-budi. (masa bodoh! uanglah
yang paling menentukan harga diri hari ini. bentakmu yang mulai mencuri perhatian). harga diri hari
ini. hormati yang berduit. dia (itu kita, tanpa diminta kau bicara seenaknya, seperti manusia rakus
jabatan) mulai menyisihkan uang jajan ke celengan.

manusia tumbuhnya sporadis. dari orok sampai tak henti-hentinya ngorok. belum sempat bersuka cita,
dia mulai menjamah cinta sesuka hati.

bertemu. bertegur-sapa basa-basi. lalu jinak seperti merpati kelaparan disuguhi beras. berpisah. lalu
berpapasan lagi. bertegur-sapa yang berapi-api. berlepas diri. kacau. burung-burung berjenis lovebird
itu dibeli satu-satu untuk berkicau di teras kenangan. satunya yang mengundang musim semi lebih
awal.

deru waktu memukul mundur. tamu memupuk belukar resah. gelisah seperti babi dikejar-kejar anjing
pemburu. hari-hari hanya setipis kertas dari imaji (akan tetapi sejauh timur-barat dari kesempatan,
penyair misterius menggenapi). manusia mulai menabung untuk menuntaskan hutang. yang terpisah
didera ribuan kali cambuk. seperti derita orang yang merindu. (tapi rindu menyulut cinta yang kian
redup. kembali berkobar. penyair itu mengakhiri bait ini dalam nada mengejek. seperti ringkikan
celeng.)
8.
Terasing

di persimpangan jalan,
telingaku tanggal
dia berlari seharian,
menaunginya bulan merah.
dari mesin mobil-motor,
jeritan bergema mencari semua matanya

sedangkan pasangannya yang setia,


kekasihku dari masa ke masa.

anak kecil berlarian di padang rambut, berbisik


“kit a t e r a s i n g”

ada tujuan terpasung lama di lorong yang sempit


huruf-huruf konsonan terjatuh di tong sampah,
kehilangan makna

kalau sudah pagi, seorang kan datang


kepada telingaku, ia meyakinkan
cukupkah, cukuplah, cukupkan
Ah cupu kau!

2-3 Juni 2018 Makassar


9.
Setelah Perdebatan

Yang tinggal hanya rimbunan daun


enggan menemui takdirnya
bunga-bunga taman mekar di daunmu
Sesuatu yang kau ketahui itu
kawanmu mengira aku bajingan

Ada yang lebih derita dari ketidaktahuan yang kau


tinggalkan
Mempercayai kebohongan,
tak setabah laut dan langit
Malaikat membisikkan ketakutan
tiap kali cahayamu meredup

Menyanyilah bersamaku
Barangkali pikiran kusut akan susut di antara
petikan gitar
Kita akan tersadar
malam ini begitu beku dan kaku

14 Februari 2018
10.
Tragedi Penciptaan Khalifah

Bulan meletus seperti balon gas

atau hanya dentuman keras lampu

yang jatuh

datanglah ia merajutnya lagi

Tapi, dari bekas jahitan susu mengalir deras

dan mengapunglah ia di langit angkasa

Kau tahu

Tak pernah musim panas lewat situ

sejak itu

bulan Juli menggigil

bongkahan putih raksasa membeku

lalu satu sama lain bertubrukan

hingga darah menetes

terus-terusan, bahkan

kini terbentuk genangan

yang kian meluas

jadi danau

jadi lautan darah

padahal ia datang dari rahim yang satu

setelah semuanya menenggelamkan diri

apa yang di kenangan

apa yang bersisa itu

ia sebut kemenangan

seperti menamai putranya sendiri

Makassar, 29-30 Januari 2019


11.
Museum

alangkah indahnya tubuhku terbaring di tepian danau Tanralili

jauh dari siapa pun

sebelah mataku bernaung di paruh seekor induk rajawali

ia terbang mengitari garis cahaya

jejak lelaki tadi menjemputku dari celah awan

kulit yang pucat berangsur-angsur menghijau

kupersilakan serangga-serangga kecil menari di atas

permadani

ragaku adalah surga

kenikmatan bagi hamparan tanah dan

kehidupan yang bergantung padanya

jauh dari ratapan

kekal dalam kesunyian

Tak ada nisan yang menjadi tujuan ziarah

Tak ada pilu yang disimpan bersanding ingatan

Tak ada isak yang bersarang dalam rak buku

kelak seorang pengembara kan bersandar di punggungku

berlindung dari terik di bawah lebat rambutku

meneguk dahaga dari telagaku

alangkah nikmatnya mendengarkan nyanyian sekalian alam

di akhir hayatku.

Enrekang, 9 Oktober 2018


12.
Tiga Kata

Pukul 16:00
Sore penuh sukacita
Sambut jiwa-jiwa lelah
Bermandikan matahari ramah

Seluruh hadirku diembus ingatan


ombak pecah membentuk kepingan
kedua kaki ku dicumbui mesra
butiran kristal halus-hangat
Degup ku, detak-detak tak keruan

Pukul 17:00
anak-anak kehidupan
tiada jenuh membangun istana pasir
beberapa saat, terserak air

Di alam bawah sadar kita


Hujannya melankolis,
bisikmu tersipu malu.
semanis aren, senyum yang tumpah
di sepiring pisang epe

Pukul 18:00
sang ratu berangsur-angsur,
kembali ke peraduan
pesonanya masih disimpan
langit dan laut

Sebuah keluarga, sekumpulan remaja, dan sepasang


kekasih ikut menenggelamkan diri. Damai
langit jingga dan laut diterpa cahaya redup. Khidmat

Katakita... kata yang lahir diantara senja


tak perlu kuatir disisihkan waktu
jika ku secerah pagi,
hatimu setentram malam.

Makassar, 21 November 2016


13.
Soneta L’Homme Blesse

Sebuah pohon bersaksi untuk dirinya


Di bibir sungai Loue dedaunan berarak
Musim semi akhir Mei 1844 menerpa
Bunga mekar keunguan dari pucuk-daun
Terik arahkan gembala berteduh
Di bar-bar mereka menenggak anggur
Mentari-lari ke Cleron, bayang-memanjang
Mengatup sepucat daging kukus
Raut khidmat mengiringi kepergian
Pemuda bersandar di rindang-Jacaranda
Rahang, puncak wajahnya tegas-bersiluet
Pedang terbaring di kanan Gustave
Jemari kiri erat di juntai jubah
Jantungnya utuh dilarikan seekor-nazar

Makassar, 14 November 2017


14.
Ziarah

Assalamu’alaikum, Buya.
Maafkan ananda bertamu di pagi buta ini
ada perihal genting sudah dasawarsa menetap di bilik
kesadaranku.
Buya, kiranya engkau titipkan nasihat
Mengapa?
Sudah bertahun-tahun ananda ruku’ dan sujud bersama orang-orang
beriman...
Bukan daku menjadi tenteram, malah diliputi angkara muram
di kepala dan tanganku
Mengapa?
Setelah-lelah tak jua menyingkap tabir kesulitan hidup.
Ananda... diri kita mestilah paham terlebih dahulu.
Siapa kita ini,
sebelum bunga-mengapa mekar-mekar di taman hati?
Kita ini ciptaanNya. Kalau mau berhitung bilangan,
tak cukup apa yang kita sadari meliputi
nikmat Tuhan yang Dia karuniai
Ananda... kita ini shalat bukan untuk memperoleh materi.
Kita ini tidak pantaslah menuntut banyak, sehari pun
tak lepas dari dosa, kita.
Ibadahlah yang ikhlas.
Benar-benar mengharap ridhaNya.
Tanpa pamrih, tanpa tedeng-alih.
Terik matahari pukul sebelas mulai menusuk kulit. Pemuda itu membuka matanya.
Tadi itu seperti mimpi. Barangkali potongan khayalan akibat kaset ceramah
Buya Hamka yang ia putar. Getaran-getaran itu memantik vesikel sinaptiknya pecah.
Serotonin di otaknya melimpah bagai air bah.
Makassar, 1 Oktober 2017
15.
Mendengarkan Kisah Beruang Yang Dikhianati Saat Mendung Mengurung Kota

Katanya, malam ialah nama


seekor beruang putih.
Di antara kawanan makhluk buas
hidup di belantara rimba.
Beruang berambut perak, hitam bak
mutiara kedua bola matanya.
Beruang barang buruan,
jiwa-jiwa tamak,
ber-uang.
Rambutnya disisir seorang diri.
Matanya hitam, geligi seputih susu.
Beruang seorang saja diciptakan.
Sebelum pagi diselamati, malam tak pernah
mengunjungi kota.
Tuan kota dengan angka kesepian
saat lonceng balai kota dibunyikan
akan ada teater di tepian
kawan kan diajak berdesakan.
sahut-sahutan, denting
hentak-hentakan, kaki
Orang datang memencar
hinggaspasidipenuhikata
kota menjelma tubuh
Semua melihat sekelebat layar,
suara-suara mulai dimainkan,
layar tetap putih. Mereka menyaksikan
suara.
Beruang merontokkan rambutnya,
setiap helai,
setitik cahaya hilang di langit kota.
Beruang mengerang,
seluruh langit ditelan gelap.
Orang-orang teater tenggelam
sukacita bersorak,
“malam!”
“malam!!”
“malam!!!”
Perhatian tanpa kompromi
jatuh di atas layar berbayang-bayang.
Menoleh pun tidak.
Membuang senyum pada tempatnya.
Beruang putih
terbaring kesakitan.
Kini berbalut kulit tubuhnya hitam.
Rambut perak serak-serakan,
bak lalat hinggap pada bangkai,
dikerubuti orang.
Penyesalan memeluknya sesak.
Matanya jingga seakan petang yang terbakar.
Dari kedua celahnya, sedih meleleh.
Hujan membasahi aspal-kota.
Lolongannya bergemuruh di atas atap rumah.
Katanya, jika hujan sedang lebat-lebatnya
di malam hari, beruang-putih sedang
merekatkan rambut-rambutnya dengan putus asa.

Makassar, 13 November 2017


16.
lalu peluklah waktu, luka
Tatapan yang sayu, seakan selama ini dia hidup tanpa harapan. Bibirnya tampak pucat di bawah gincu
merah-jingga yang segar. Sejelas sepotong matahari senja di atas cakrawala. Sesekali tangan
kanannya mengepal, dan gerahamnya bergidik pilu. Menjadi korban sekaligus hakim atas deritanya,
mencari-cari siapa yang paling berhak disalahkan. Saat seperti ini, tidak ada yang kuasa mencegah
cetakan anak sungai dari hulu kedua matanya.

Di panggung kedukaan, orang-orang lalu-lalang seperti pasar. Tapi tak bersuara. Mungkin, kekata di
dalam kepalanya terlalu busuk. Seperti lalat mengerumuni bangkai yang terlalu ramai. Bukankah
orang yang pendiam punya segudang hal yang hendak dia ungkapkan, tetapi tumpang-tindih berebut
siapa yang terbaik, hingga kesempatan berkata-kata sudah menguap. Bagai asap dupa yang dibakar
ratapan.

Makassar, Jumat 15 September 2017

17.
Lamunan Sardhana

Di samping ranjang, panjang


Keramik kaki ku dua dingin
Hitam di atas kepala luas
Pengap tanpa kipas

Segiempat layar sempit


Listrik, data, informasi
Dunia tanpa busana
Bajuku biru muda

Sabtu 26 November 2016


18.
Pikiran, Aku, dan Kawanku

Cikcikcik
Ramai bagai anai-anai
merayap, menjijikkan.

Eerrgghh
Siul susul-menyusul
pekak teriak-keras.

Di mana kah kau bercokol?


Jika waktu tenang, tampak lagi
Apa kita ini?

Rambutku hangus terbakar


Hidungku lepuh terbakar
Tanganku bergetar kumat

Untung kata-kata tak sudi dusta

Satu per satu


tokoh-cerita
bubar-jalan

Tamat! sebelum Tuntas


Apa kita ini?

Jumat, 6 Oktober 2017


19.
Sendal

duhai...
jadikan aku kataMu
alas kaki bagi ibu

tidakkah hancur hatinya,

diusir dari Rumah


dituduh berzina

tidakkah keluh tubuhnya,

ke mana-mana membawa sukacita


oh, kembang itu tengah mekar
berseri-seri, menanti
hatinya berbuah

kepada butir-butir pasir


aku serukan,

“hei, janganlah kalian sentuh kulit ibu yang lembut itu


dengan tangan kalian yang panas!”

aku ingin menemani ibu


melindungi langkahnya

menuju Bait-al-Lahm

Enrekang, 18-01-2019
20.
Ode Untuk Nethel

tubuh mungil adinda berlumuran anggur


waktu mematut, segalanya hening
di dalam ruangan yang dingin
dahi yang putih berpeluh
minyak mawar

malam kota ini


langit merpati menari
mendekati jemari malaikat
keduanya bergerak bagai kilat
mengantarkan jiwa ke taman Ibrahim.

Makassar, 14 Mei 2018


21.
Selera Makan

Para lidah menyelip dalam dompet


di kantong pantat,
rajin menjilat keringat rakyat pasar
menelan ludah pasar rakyat.
Kalender menanggalkan daun-daun waktu.

D negeri ini matahari mulai berputus-asa,


mangkir sejak fajar di tepi barat.
Kelam seperti melahap mimpi dengan rakusnya.
Ketika ditanya, kuping matahari susut
jargon para mafia lidah pekak
“...”
lidah menebal seperti tambalan ban
keluh menyuarakan menu
keadilan
sosial
bagi
seluruh
lambung negeri ini
22.
Mabuk Asmara

seperti apa rasanya menjadi piala,


meminum ciumanmu sampai
tuntas dahaga

di perjalanan tak jua menemu,


jiwaku zamzam keletihanmu

seperti apa gema perkabungan mengalun


setelah penghabisan ibu
nan beku

di kehampaan kosong menghampar,


senyummu kelegaan lenaku

seperti perjamuanku kini dalam perut


Santa Maria mengabadi
rayakanlah, kekasih!

Makassar, 8 Maret 2019


23.
Roh Hewan Yang Menolak Kau Bunuh

Kau pernah bubuhkan jeda


ketakutan dan kekhawatiran menjerit kelaparan
memangsa rusa dan segala bentuk yang kau sebut tubuh
kau mengira masa depan bayi yang harus
diperbudak
ikan di kolam rebutan menawarkan harganya ke penjual
di warkop
di warkop
halaman ensiklopedi yang terlalu sok tahu urung mengerti

bayi-bayi yang lahir, memutuskan pergi


dunia ibarat wahana hiburan tanpa aturan main
jangan khianati diri yang lain
apapun yang terjadi, biar seluruh membenci

Makassar, 16 Februari 2019


24.
Memo

semua bergerak begitu cepat, apa telah kita kehabisan waktu


jarak kian melentur seperti karet
seperti tikus tanah yang kehujanan, apakah saat ia putus sudah dekat
kita menunda, tapi bilakah ia tiba

aduh!
betapa palung kita jauh terjatuh dalam
keadaan yang diciptakan
apa kenangan pun hanya saling bertaruh
mengingat atau melupakan

tidak!
sebab ia tak dibelenggu waktu
ada saja pilihan itu,
jejak digital

ada hal yang begitu akrab,


bukan lagi bentuk
bukan pula ruang punya batas
kita mengenalnya, bukan?

kita menamai dunia itu sebagai ruang tamu


lengan pagi mengetuk pintu
sesiapa melawat melukisi wajah kita,
meletak bulan sabit atau hanya celurit
lalu larutlah kita dalam debat sengit

Apakah yang hilang di antara kita?


Apakah yang tidak ada itu, ada kita kenali?

mengendap di dasar pelukan yang kau tinggalkan


dadaku perih didera puisi, bacalah

Malua-Makassar, 15 Desember 2018 - 31 Januari 2019


25.
Quo Vadis?

Pagi ini aku mencoba menyebutkan warna telaga hatimu,


ketika mimpi semalam yang sirkus itu
berbaris dalam line
adakah ikan-ikan koi berdansa dalam balutan gaun tahun baru?

tapi, belum lagi rintik hujan menjelang di hadapanmu,


mendung segera lekas tercerai-berai.
Kini, bagaimana aku menyanggupi kunjunganmu
seperti kitab suci,
mengapa kau menyimpan maksudmu rapat-rapat diam yang dalam?

Telah kuhentikan menyeduh ketakutan


Tetapi, setiap kali aku berangkat ke rumah itu
gelas-gelas penuh pertanyaan telah tersaji di teras depan
apa yang harus kulakukan untuk menghalau
hantu-hantu masalalu?

minumlah! Oh, jiwa. Sungguh kau akan mabuk.


saat itu semua kan mengabur.
jawaban itu, kau kubur.

Enrekang, 21-22 Januari 2019

26.
Femme Fatale

Tadi pagi, matahari riang dan ringan di papan


pengumuman. Terselip di lima rupa jariku.
Aku mengganti arah angin. Agar matahari
tidak putus.
Tapi, jalan berliku melerai rambutku.
Prang!
Meletus balon kuning. Apa twitter berkicau?
Unggah saja.

aku mencari pikiran yang terjebak di beranda kaca


mungkin kelelahan untuk
menggali yang
sering ditinggali
barangkali ada sepasang sayap burung.
Dan sebagian kita membidik salah sepasang itu
hingga jatuh di bawah kaki meregang nyeri
dengan kengerian.

Lalu beberapa waktu lampau, tidak sedikit yang menjadi


keras dan
beringas. Sebab beberapa
meneriakkan haknya di jalanan yang pengap dengan
tatapan tajam para hantu
masa kelam.

Aku ingin mendengarkan dinding kota yang sudah reot itu


runtuh!
saat engkau yang mengandung kasih dan kelembutan itu
bersatu-padu.

Makassar 19-20 Desember 2018


27.
Seperti Melerai Badai

kutanya Kabarmu, “...” Dia diam,

diam-diam lalu
pergi
jauh sekali
di seluruh nadiku
berlarian seperti anak kucing di celah syarafku

bagaimana membunuh rindu


yang tumbuh kepadamu
jika sudah seperti itu

mereka kemudian berdoa katanya,


semoga api membakarku
seperti Hutan Dumai

Makassar, 7 Agustus 2018


28.
Tigris Yang Hitam

1
tersisa oleh sebatang rumput yang memotong dirinya,
melayang-layang di permukaan sungai,
lengan daun yang kurus, butiran embun yang bersisian
bola kaca, sayap kupu-kupu dibelai cahaya
menjangkau tiang pusaran
berangsur-angsur kuyup

rubuhlah ia bersama keruhnya pasir


lambat-laut layu seperti pemabuk berayun-ayun

sungai senantiasa berkecamuk,


sejak buah Pohon langit dipetik
gelegar aum singa yang mengamuk

pori-pori mendidih, musim panas menyorot


wajah air
kamar rumput menggembung
meletus
awut-awutan
tubuhnya musnah
dirinya dicecar,
hingga ke mana, sampai kehilangan

2
akarnya terperam
dalam tanah yang gelap
pembulu dari jantung sungai seperti suara
ia menyerapnya
saripati yang manis
sesekali cahaya mengintip rekahan rahim
keringat meretas
mengaliri guratan hingga ujung tudung
ia merunduk terhampar di punggungnya

tunas-tunas kecil dilahirkan bumi


mengelilingi lubang yang menganga
bekas rumput tercerabut

Makassar, 22 Maret 2019


*Di tahun 1258 pasukan Mongol pimpinan Hulagu Khan menyerbu kota Baghdad dan menghancurkan Bait al-Hikmah,
perpustakaan paling lengkap yang dimiliki dinasti Abbasiyah. Banyak buku dan dokumen penting dibuang ke sungai,
sehingga aliran Tigris berubah menjadi sehitam tinta. Bahkan para penunggang kuda dapat menyeberangi sungai itu
dengan menapaki tumpukan buku yang sudah seperti pijakan batu. Mercusuar pengetahuan abad ke-13 seketika padam
dengan pemandangan ratusan ribu mayat bergelimpangan di jalanan kota.
29.
Riwayat Negeri Pesisir

Dahulu aku dengar cerita dari sebuah lagu

tentang pantai Losari

Beberapa tanggul dibangun menahan

deru laut yang merengsek ke jalan raya

masih ada pohon kelapa yang berlomba memanjati langit

Udara yang selalu lembap dan beraroma garam

Ombak yang menghantam bebatuan kokoh pecah berkeping-keping

menghadirkan kengerian melalui sepasang telinga

jalan setapak bertabur pasir seperti langit malam di atas kota

Ujungpandang akhir tahun

Alunan petikan kecapi beradu electone yang menyaringkan

biduan di peraduan panggung dangdut

bergoyang lidah dalam semangkuk bakmie

semilir sore nan lembut melukis kilatan cahaya kemerahan

di batas awan dan langit,

punggung senja bersimpuh di permadani laut

Sewaktu duduk di bangku bus berwarna kelabu

Sebuah majalah wisata membeberkan rahasia kota yang tengah mengganti namanya

Beberapa butir air sisa gerimis menempel di kaca jendela

membiaskan lampu neon reklame, seakan-akan mewujud berkas cahaya prisma

Di bawah penerang jalanan, kendaraan berjejer memenuhi bahu jalan

Mesin dimatikan, orang-orang pun berhamburan ke trotoar

Nun jauh di sana, terdengar suara berat seorang lelaki

melantunkan nyanyian yang sering diputar siaran MTV

Aku menyusuri jalanan tembok yang tak ada habisnya

lautan di ujung pandang ku begitu senyap

tidak mungkin ia masih terlelap

Knalpot dan bakaran penuhi udara pengap


Losari seperti dikebiri

langkah kaki yang bergegas ramai

angkuh tugu berdiri

sebentar lagi menyodok bulan yang ketakutan

orang-orang hilir-mudik dengan kepala tertunduk

gedung baru membayang, menggulma dari tanah seberang

bayang-bayang gelap di kubah langit magrib

ia lenyap

matahari losari menghilang, gelap tiba tergesa-gesa

patung dan beton menemani kesepian manusia digital dalam

layar telpon pintar

Pepohonan musti mengurus izin bertumbuh di sesak semen

yang kaku dan beku

di bawah batang yang kurus itu berserakan

bukan dedaunan layu, tetapi bekas kemasan makan dan

minum yang ditinggal sambil lalu

ikan-ikan yang hidup di bawah laut itu

setiap malam,

mengutuk manusia yang menyembunyikan pagi mereka

Hari ini beberapa orang menggantungkan rindunya pada

angin dalam syair itu

Meskipun mereka tahu atas nama kemajuan,

kesederhanaan selalu dijadikan tumbal

E…aule…

Mangerang nakku

Nalo’lorang… nalo’lorang je’ne mata

Bait terakhir berasal dari syair karya Bora DG Irate berjudul Anging Mamiri

Makassar, 15 Desember 2018


30.
Monolog

Ada perempuan dalam benakku,


khawatir.
Dia takut suatu waktu,
yang melamar,
datang menawar janji dan mahar.

Ada perempuan dalam benakku,


sendu.
Dia bisik dengan mata yang mendung,
nanti tak rela dimadu, hingga
menjadi benalu.

Ada perempuan dalam benakku,


merana.
Bagaimana dia kelak menyemai cinta,
jika yang saat ini meminang,
karena takut jatuh ke zina.

Ada perempuan dalam benakku,


ragu-ragu
lalu
mengadu
malu
“Apakah kau seperti itu?”

Makassar, 30 Oktober 2017


31.

Oh Maryam, apa yang engkau katakan ketika mereka mulai merendahkanmu?


Oh Maryam, bagaimana engkau menyembuhkan luka yang mereka goreskan di dalam hatimu?
Oh Maryam, siapakah yang menemanimu saat orang jahat menghakimi?
Oh Maryam, mengapa engkau tidak membenci orang-orang yang mengejekmu?
Oh Maryam, mengapa engkau tidak marah saat tak seorang pun yang membukakan pintunya
untukmu?

Saat engkau sedang mengandung berita kebenaran, orang-orang justru menghardikmu. Mengapa
manusia bisa sekejam itu? Mereka mencabut perasaan dari dalam dirimu sehingga dapat
menggulungnya seperti gumpalan wol. Lalu di hadapan pegunungan Yudea, mereka menyepak
gulungan itu dari satu kaki ke kaki lain. Hanya embusan angin yang lirih berusaha menangkapnya.
Hanya gumukan pasir yang merebahkan tubuh untuk meredam benturannya. Orang-orang hanya
mempercayai apa yang ingin mereka percaya. Mengapa mereka tidak mempertimbangkan apa yang
nurani tawarkan?

Tapi para rahib khawatir kuasa mereka akan direbut. Mereka menghinakan seorang agar tak ada yang
menghidu kebusukan yang tersembunyi. Orang-orang yang menghina mengira yang terpuruk adalah
makhluk yang malang. Tetapi, sejauh mana pun cela yang mereka tuduhkan tidak akan pernah
melampaui keburukan yang mereka pelihara. Orang-orang takut dengan jiwa yang jujur. Orang-orang
khawatir akan ungkapan yang terdengar asing namun terasa akrab, sebab kata-kata demikian dapat
meruntuhkan benteng kokoh sekalipun, apatah lagi perasaan angkuh yang selama ini telah mereka
bangun.

Para malaikat membawakanmu buah musim dingin saat musim panas sedang membakar Yerusalem.
Orang-orang yang mudah terhasut menuangkan air cuka di atas luka yang kau derita. Mereka
membakar taman bunga yang damai dalam hidupmu. Orang-orang yang di hatinya ada penyakit
mendendangkan hinaan dan menenggak anggur yang mengalir dari kedua matamu, mengusap pasir
jejak langkahmu yang terusir ke wajah mereka yang menyeringai. Seperti hewan buas yang
kegirangannya tak mampu ditampung oleh tawa ketika mendapati mangsanya jatuh tak berkutik.

Setiap malam dan siang yang silih berganti, matahari dan bulan bergerak dalam lintasan edarannya.
Petani dan penggembala mengamati bintang juga merasakan ke mana arah angin menetapkan waktu
untuk bercocok tanam dan melepaskan ternak di padang rumput. Engkau senantiasa menggemakan
Taurat dalam mihrab hingga menghunjam kuat dalam sanubarimu. Andai hati manusia seumpama
daun. Maka engkau memiliki hati selapang daun talas, cercaan dan rasa dendam yang hendak
membasahinya, lantas tergelincir. Pun tidak membekaskan samasekali. Meskipun hanya setetes air
kekesalan. Sedangkan hati para pendengki yang gemar merendahkan laksana daun kaktus. Sangat
sempit serupa jarum. Ujungnya yang runcing tak segan menusuk siapa pun guna melindungi limpahan
iri yang mendekam dan mengendap di bawahnya.

Makassar, 30 Maret 2019


32.
Ada api yang mengubur dirinya dalam sekam,
kehangatan lembut dibelai angin lembah
yang menepi di kala bulir cahaya meretas
keremangan malam.

Jarak selintas kilat, debar yang dibenamkan


di bawah kaki gunung
membawa getir yang menghias sandaran kursi.

Kereta melaju ke eprhentian terakhir


melenyapkan tanya yang berkhotbah
sepanjang jalan,
tentang mengapa nyalanya tidak dirayakan
dan bagaimana segera mematikannya
sebelum serigala gunung mengetahui
keberadaannya.

Ada hangat yang tersisa pada bekas


genggaman
kaca jendela mengaburkan
pepohonan saling berkejaran
seperti bayangan hitam yang bersembunyi.

33.
Tukang Jahit

.ia mestilah menjadi pengunjung terakhir yang mengenal baik terakhir yang mengenal baik taman
tuan Wernick. Setengah pengamat pun pendengar menghabiskan waktu bermain jungkat-jungkit: apa
yang akan dilahirkan mahir? Sebab itu, realitas dikumpulkannya satu per satu. Untuk dicerai-beraikan
hingga tak lagi berbentuk sebermulanya utuh. Lalu di tepian dunia mana-bermakna, diperhadapkanlah
kata. Ia meletakkan bunga dan pedang di sisinya. Kepada tabir yang dirajut hitam, ia berdiri tak
bergeming. Menunggu gerbang dunia itu direbahkan perlahan-lahan: menjadi jembatan atau ranjang
pembaringan. Sembari mencipta, dirajutnya mahkota bunga pada bangunan yang berlubang itu. Ia
mencintai bunga seperti pedang yang mengincar nadi di lehernya. Kadang-kadang di pergelangan
tangan kanannya memancar sesuatu yang dicarinya. Bisu namun penuh kuasa. Ia tidak lagi bertanya,
soal kapan ini pengantaran samp-ai.

Malino, 7-12-2018
makassar, 6-2-2019
34.
Wasiat Bagi Kawan

Hujan menepuk punggung kita


seorang menghentikan taksi, aku bertanya pada
matanya
waktu ingin kembali

Di kedai ini, malam merangkul pagi


bayangan kita menerawang
anak lugu bermain tanah di belakang kening

Lima menit pertama sebuah film diputar


aku, bertanya pada matanya
kita sedang mengunduh patung Liberty dan Arc de Triomphe

di sudut waktu
sebuah kota membentuk dirinya

berlayarlah senantiasa
di atas gelak tawa dan aroma cahaya.

Makassar, 21-12-2018
35.
Haiku
binar Mintaka
embun melungguh kalbu
di kening surau

Makassar, 4 April 2019

36.
Anatomi Erotika

malam menyadur ruhm, pacci menenun tubuh kapas


daun logam berpijar
pui-pui gemetar di napas putih, kepulan nasi ketan

telah digilirkan bosara,


gadis bugis mengepit garis sutera cobo
bolu-gulung, bedak-gincu
bertatakan gelang emas dan baju bodo

secangkir susu dengan madu malam yang larut,


lelehan cahaya pori-pori kelambu
rusa di tubuh hutan mengibas-ngibaskan tungkainya,
labirin melegenda kuncup mawar peta

dua lembar labia melipat bumi


mutiara mengintip dari dalam kerang,
nelayan menyelam ke dasar laut
sarang sepasang dara di musim kawin,
nyanyian menyelimuti ain

labia merah dan muda, yang merah muda


delima telah masak dan tanggal dari pohon
terbelah, mendedahkan wewangian heksagonal

deru resusitasi susuri langit berahi


ciuman ibarat azimat melumat kalimat,
mekar mahkota mawar
embun membasahi kening daun,
kecipak telaga riuh-rendah di lembah nirmala

bulir-bulir keringat
meluncur di xiphoideus malam kritis
subuh dalam toples, sianosis
37.
Hari Hampir Berakhir dan Aku Menjemur Diriku

melengkunglah tali itu bagai resah bergelantungan di ujung bibir dan kedua mataku/

butiran air melesat ke langit mengendarai doa yang usang/

matahari bersembunyi ketika bintang-bintang kelelahan melanjutkan rodinya/

menggantunglah bayanganku yang berkubang sepi/

detik-detik mengembus letih/

hujan tak datang, kemarau tak henti-hentinya meniup angin kebekuan pada lumpur//

upah dikirim dari kantornya, jam-jam kabisat bulan tua/

tubuhku berlumur emas/

kilaunya hendak menandingi yang memancar dari tivi dan hape/

jeritan mesin cetak menandai langkah gelisah/

sesekali berlari seperti seekor tikus di jalur rodanya, kupelihara ia dalam kotak kaca/

terkurung dalam bilik rumah/

surat kabar menyisipkan tanah lapang yang mengitari bintang lain/

aku mengeja setiap kata bidadari, sungai, dan istana/

tak ada alamat redaksi, tak ada narahubung/

seperti alkohol, begitu saja aku lupa dan tenggelam dalam air bah kehidupan//
38.
Di Hadapan Obituarium

kalau saja kita kumpulkan


itu kesepian yang menggantung
berati kiranya belati di tiang pancung
apa lacur!
yang liar
yang hancur

itu kepala lekas kan lepas


kita bertanya siapa punya

ribuan semut berkabung


hidangan tersisa di pesta
apartemen yang lengang
ada melesat
sangat cepat tanpa siasat
orang-orang memotong lengan
tiada mendoa, satu tubuh telanjang
itu ngeri tergeletak

tak-tak-tak
takkk. takkk. takkk.

kita berdebat siapa duka


hidup seramai ini
mati sendiri

di pasar hiruk-pikuk
bersinggah beli segenggam daging
orang-orang menyebut Tuhan
seperti menghitung langkah pulang

kita membisiki siapa guna


‘oh ini. yang hilang di s(ajak)ini.’

Makassar, 5 februari 2019


39.
Kolom yang tidak pernah diterbitkan karena dilupakan foto

Umurku akan
Senyap
Seperti kamar
Di tubuh ibuku.
Sungai dan
Muara meminta
Seutas karam di
Hatiku.
Aku
Memintal aroma
Kesedihan
Yang hidup
Di pundak mereka
Agar telanjang
Seperti bayi.
Kupetik dalam
Keranjang bunga
Doa
Yang gugur.
Sesuatu basah
Dan hangat
Menggantung
Di mata
Teman-temanku.
Daun pagi
Menetaskan embun.
perih mengentaskan
Jarak yang
Kau rentangkan
Setiap hari.
Kini terlipat
rapi bersama
Kehilangan
Yang tak dikenali.
40.
segelas kopi
malam melayang

O Kafein!
pecahan kata,
terlontar bagai muntah

seteguk: pahit ubun-ubun meresap


berbaur: asam belimbing menguap
tersusuri rumput syaraf sekencang
embusan choanae kian terguncang

O Jumat!
detik yang sulung
bolak-balik, di bilik

di dasar kaca, setan tak tersisa


asbak sunyi sejaktadi berkilah
tanpa ditanya, tampak mengelak
apapun yang tak berusia

tanpa apapun,
yang ditanya tak bergema
tanpa ampun

di dalam kamarku
(ya di tubuh rahasiamu)
buah-buahan semalam suntuk
berbincang-bincang
: dispepsia-insomnia-takikardia
(dan sia-sia)
41.
Ketika Aku Terbangun Di Kasur Pelacur

Seekor lalat hijaukah yang terlepas itu?


mengapa terbang menembus kelambu hujan
bernoulli merasuki matanya
proyektil air mendebam bagai dendam
ratusan jarum menusuk sayapnya
kejatuhan semakin cepat dan mengerikan
oh terkutuklah segala sesuatu yang bermassa
adakah tubuhnya ditemukan lagi
sungguh celaka
adakah yang memikirkan nasib serangga
kecil setiap awal tahun

Malam-malam akhirnya berani bersaksi,


tiada kesengsaraan yang jernih
bulan biru yang meleleh
seperti lilin kue pesta
keliaran api di udara
hirup busuknya
kesepian

42.
menginjak jejak Arak Terakhir*

noktah di pucuk aksara,


seperti tumit gadis penari yang berjinjit,
gendhing kebogiro mengiring Dewi Ratih
bulir-bulir restu meruap di pundak
permaisuriku rengkuh
nestapaku

beginilah nanti malam,


suamimu mengembara di belantara
tubuhmu,

tak mati-matinya aku terbakar


tak sepadan seperti ini bohemian

Makassar, 9 November 2019


*Judul puisi Aslan Abidin
43.
Pagi Di Luar Jendela* bergerak abu-abu

Satu-satunya hidup yang kodrat,


& bentuk-bentuk menyusupi
& nama-nama kewalahan untuk dikenali
Aku dan pikiranku seperti kupu-kupu yang terbang
bebas di akhir tahun
langit-langit menghablur hasrat
melilit tangkai hidrogen
di antara yang berjarak,
kabut senantiasa bermimpi
cermin di kedua sisi
dua rupa dirinya mengutub
Jauh
tidak kusangka aku melahirkan setiap detik
Jentera

Makassar, 27 Desember 2019


*Judul puisi Aan Mansyur
44.

45.
46.

47.
0
phi
cinta
merokok
dering alarm
bagai sang surya
mengeruhkan udara,
itu kau sulut rindu begitu
mengiringi kremasi sebiji janji
supaya upaya setia tiada daya saya
puisi semusim di neraka semakin gemuk
tiap celah beton meretak jeritan penyesalan
48.

49.
Binasalah burung-burung yang terkurung dalam dirimu. Dengan asap beracun yang melambung dari
musim kecemasan. Kemudian berdirilah di atas singgasana tumpukan bangkai itu dengan kedua
telapak tanganmu. Pandanglah ke mana mata-mata itu menyalang. Tegakkan kakimu menopang
langit. Hiruplah aroma sengit seperti saat itu adalah kelahiranmu yang kedua. Sebab engkau bukan
milik hutan tapaan. Engkau bukan seonggok daging yang tersengat internet. Engkau bukan kepolosan
yang tersenyum di titian sanjungan dan senggama.

Engkaulah ketidakaturan
Engkaulah ketidakpenuhan
Engkaulah ketidakjenuhan
Engkaulah ketidakpatuhan
Engkaulah hasrat hidup tuan

Mari kita singkirkan tulisan cengeng yang berhamburan di sosial media. Kata-kata yang tidak
bertenaga dan yang mengelabui kita dari peliknya hidup, yang memperbudak kita kepada kepastian
masa lalu, yang melenakan dan menarik tangan ini menggenggam penghayatan hidup yang merdeka.
Kita harus menyiapkan pisau yang runcing untuk mencabik-cabik kemasan cantik agar gagasan-
gagasan tidak tertelan begitu saja.

Jangan-jangan selama bakti penantian pada kematian, engkau hanya tergolek mengkonsumsi
romantisasi sabun: seperti ruangan ini tidak berterima gugatan, dijaga dari desakan manusia kemarau,
lebih lanjut mendikte di ujung ketubuhanmu.
50.
Kidung Duka

gelas ini kusampaikan dalam kulkas


di saku karnaval kolam ikan
jam 3:21

mata bersenang jelang hati bersulang


igauan burung di balik rimbun bantal.
waktu meranum di gerai rambutmu
seperti buah dada ibuku yang harum
ketika gerahamku belum
juga tumbuh.

alkahfiku sendiri bermula dalam


senyapnya purnama lenganmu
seekor lebah hinggap di putik
senja mengeja
kita selalu.

sepertinya
begitu.

O hujan
kurebahkan doa ke selam genanganmu
yang terbilang sungguh
menguntai ke tak hingga

ini bukan malam pergumulan cinta


meskipun selangkangan kata menegang
bedil mengarah antara kedua mata
itukah pituitari yang ia bidik pongah

kicauan burung kian bedebah


itukah binasa yang ia alamatkan
seperti menyembelih cerita

dentingan waltz menggamit pinggul


muda-mudi di lantai dansa
ledakan beralih ledekan

tersisakah denyut detik menzikirkan rindu?


--kau candu yang mengirim belukar endorfin
--kau kesturi yang ditaburkan tiga bidadari di
atas langkah syuhada mendaki tangga langit

kaubukan kebahagiaan, bagi


padang gersang urban sepertiku:
manusia kota tidak pernah menetap,
kumpulkan gaji dan pulang
entah ke mana

kiamat di sekujur tubuhku begitu kacau dengan ngarai yang menganga


anak sungai yang dilahirkan prasangka dan ketakutanmu berbuat cinta
aku tidak membutuhkan remah-remah hati lagi
aku lelah menerka arti di bilik pandangmu

kau tidak layak bercumbu di dalam pulau ini:


aku bukan pegawai negeri syair
aku tak menerima jasa rayuan orang asing

aroma kelabu menyeruak dari pori-pori dinding kamar, ketika video itu berlayar di udara.
hiroshima nekrosis di gulungan film, sedangkan aku adalah rombongan anak-yatim dalam kabut
kemurungan pengungsian di tepi sungai yang berwarna putus asa. tiada sejenak berhenti sejak vonis
mati dilaksanakan. getir ini berlarut-larut ibarat terowongan panjang yang pandai mencipta setiap kali
kutanyakan kapan akan berakhir. episode terulang berlipat-lipat kali biar aku jatuh sakit dan kau pergi
agar aku tidak jatuh cinta dan kau tidak kembali

aku ingin malino menghitung helai awan yang berguguran,


ia sesali darahku yang dingin dan putih
andai algojo telah lama merajamku

aku ingin malino menginjakkan keangkuhannya:


--tubuh sunyi, kaku
--rusuk remuk, aku
tidakkah ia merasakan betapa cerewet kidung duka ini?

dan kusaksikan kesejahteraannya


dalam tabur kehangatan cuaca kota

angkasa yang paling retak berkata:

ia yang mengembara seperti cahaya di inti gravitasi semestinya memejamkan mata biar bisa meraba
kaki elektron yang telah pincang. momentum berdiri di dapur di atas sisa-sisa pecahan gelas yang
jatuh. gelombang melayarkan dirinya yang telah menyerah ke semesta tak kasat rasa. partikel cinta
mengemban cahaya. cukupkanlah kekacauan ini.

engkau mengasihi harmoni chopin yang menyelip dalam komposisi kecupan embun pada daun
kenangan di puncak bulusaraung. istirahatlah, kegelisahan telah membalikkan titik keseimbangan.
bintang-bintang akan menari mengganti muda-mudi di dalam dirimu.
51.
aku ditawari kejahatan
kunang-kunang yang bersembunyi
dialiri api dosa mendarahkan
kendati kelinci di atas bukit

ia mafhum seekor kijang yang liar dan kurang ajar


dimintalah mengganti telinga dengan sepasang tanduk atau
aku harus berlari menghindari nasib

bagaimana dapat dikuliti kenyataan dari kamar gelap yang hangat


kelinci di atas bukit adalah kelinci yang harus pergi

ia melompat-lompat dengan kaki belakang yang panjang


ke kawanan kijang yang dirayakan rerumputan
ia masih memakan wortel sama
sepertiku

52.
(Di) Negeriku Tidak Ada

Di negeriku tidak ada gandum dan angin musim dingin.


Tiap sore kulipat baju baru sambil kulihat asap biru meruncing dari menara jauh.
Anakku menangis karena rumah bonekanya patah.
Di udara beku ratapan melengkung seperti kubah.

Di negeriku tidak ada gandum dan angin musim dingin.


Istriku selalu murung di depan tagihan bulanan.
Kesejahteraan semakin mahal dan para tetangga saling curiga.
Ada serpihan semen mengapung pada genangan darah.
Kaki yang robek kabur dari satu kematian.

Di negeriku tidak ada gandum dan angin musim dingin.


Aku harus gila bekerja agar bisa meledakkan tawa di sepanjang tahun kami.
Meteor melintas membidik rumah yang kedinginan.
Besok pagi ada lahan untuk bercocok tanam.
Tapi orang-orang kehabisan gandum.
Hanya mayat yang berlimpah di negeri itu.

Di negeriku tidak ada gandum dan angin musim dingin.


Aku meminum perdebatan tentang konflik agama atau politik di jalan kantor menuju rumah ibadah.
Saat alasanku benar aku senang dan cerita beralih.
Anak lelaki menyiram peluru di perut orangtuanya barangkali besok segera tumbuh pohon kokoh
menghalau badai dan buah-buah manis yang menggantung itu.
Jatuh dibidk kerikil ketapel.
Keisengan pun bersemi lagi.
53.
kepada
puan yang takut kehilangan tuhan
adakah surga
bagi para korban

di bumi?

tuan-tuan yang memlihara moralitas


sendal
dari dunia tak kasat mata
hantu-hantu adalah protes masa lalu yang
tidak bisa menyentuh

telinga kami kenyang


kabar pelecehan begitu meradang
di jalanan, di kelas, di ruang kerja, di rumah, di kamar
di mana-mana pokoknya di sekitar
selangkangan pasti rawan
tubuh ini milik siapa sebenarnya?

haruskah mereka mati sekali lagi


dan menjadi dedemit penghuni jembatan
lalu menjadi cerita urban
lalu dijual ke layar lebar

dan tuan
dan puan
terpingkal-pingkal
menyaksikan dunia perhantuan ini begitu
komedi

dan ketika anakmu mulai bertanya,


maka kaupun dendangkan ninabobo
: itu cuma mitos. tidak boleh dipercaya.

sementara itu, hantu yang sesungguhnya


masih menjajah hak-hak kita

Makassar, 2019
54.
Kita Bukan Astronot

aku ingin mengirimkan potongan telinga ini untuk presiden, agar ia juga mendengar sisa
kelembutanmu. aku tahu ini mengada-ada, mana bisa tuan dari 271 juta hati langsung menerbitkan
surat perintah buatkan kita dua orang ini sebuah roket. namun kau bisikkan negara asing ingin
membunuh presiden. sore itu pula kita bisa menyelinap ke pangkalan militer. kita lihat pesawat kecil
tanpa awak terparkir. kau daratkan bibirmu agar aku menghitung semenit seperti waktu-paruh di
samping mesin yang mendesing. lalu kita memandang senja lewat kaca pesawat di atas gulungan
awan. seperti kapsul waktu, sepanjang cakrawala bercerita. itu kita, lihat. duababi bergumul dengan
jerami emas. kita sedang mengirim cinta ke tanahmimpi. orang-orang keluar rumah merentangkan
lengan. kekasihku bukankah akan menyebalkan. saat rudal ini menghantam rumah mereka. kita
menjadi manusia. tapi kau memelukku dan aku sadar bahwa kita telah mati di negeri sendiri.

55.
Pneumonia Wuhan

Jika aku oksigen yang mengorbankan diri di dalam tungku dapur.


Jika aku air segar yang mengucur ke dalam lambung dengan nyaring.
Jika aku takut yang mengeringkan harapan yang lembab di pangkal mata.

Apakah kabar itu telah menjadi rumput liar


di pekarangan rumah orang-orang kelaparan?

Aku telah mengukir nisannya


dengan tidak melakukan apa-apa.
Tenanglah.

Mengapa menggelisahkan penyakit baru itu


bila sehari-hari aku cukup khawatir tertular
kecemasan mereka yang tertidur dengan
perut kosong.

Aku sungguh bernasib baik memiliki televisi


yang pandai mengulang keberuntungan lalu
menumpuk entah di mana kesialan yang
sesungguhnya.

Bungkusan yang setiap hari kubuang


bukan bekas kemasan cemilan, tetapi
kecurigaan yang merundungi nurani.
Mengapa aku memilih mencari berita K
dan menghindari mengetahui derita A.

Kecemasanku ini adalah suatu kemewahan.


Seperti membayangkan aku akan terbaring sakit
dan dirawat dengan penjagaan ketat.
Sementara ada yang meringkuk dalam antrian
melepas kesengsaraan hidupnya tanpa pernah
diwartakan.
56.
Kesepian

Kesepian bukan pisau guillotine yang


merindukan lehermu. Atau bau busuk
yang menghimpitkan dada. Atau orang
asing yang kau tak ingin sapa saat sedih.

Kesepian adalah pisau bedah yang mau


memisahkanmu dari hal yang sungguh
asing. Atau aroma jeruk yang meminta
ingatan kembali diberi muatan makna.
Atau seorang sahabat yang merindukan
kejujuran yang tanggal dan ditinggalkan
di bawah kasur setiap kali keluar kamar.

57.
Musim hujan sudah patah
Pohon-pohon apel mulai dipetik
Sekeranjang penuh bahagia merah
Siap diantar ke tempat asing jauh

Meski begitu di gurun pasir akar


Kaktus menggali tanah kering
Seperti membikin jalan sunyi
Dengan keras hati
Maka tak apa dilewatinya
Sebagai nisan yang beduri

(sebab aku tetap (di sini) dengan gelora hidup)

Anda mungkin juga menyukai