Anda di halaman 1dari 4

3. Contoh Cerpen Panjang berjudul Badai yang Reda karya Fauzia.

Puluhan layang-layang yang berada di atas kepalaku terlihat seperti rangkaian burung yang
sedang bermigrasi. Angin pantai yang berhembus kencang membuat mereka terbang lebih jauh
dan tinggi, tapi tetap di bawah kendali kekangan tali kenur. Aku ingin seperti layang-layang.
Walau beberapa orang yang kukenal mengatakan, hidup seperti layang-layang tidak sepenuhnya
bebas. Sekilas terlihat bebas, tapi sebuah tali tipis namun kuat mengaturnya.

Tapi aku tetap ingin menjadi layang-layang yang terbang tinggi di langit Pangandaran yang
cerah ini.

Aku melihat sekeliling, pertengahan bulan Juli memang puncak liburan di mana-mana. Banyak
wisatawan asing yang sedang bermain di Pantai Selatan ini. Entah itu bermain layang-layang
atau hanya sekadar duduk-duduk menikmati pemandangan Pantai Pangandaran yang cerah ini.
Aku sendiri sedang duduk di depan kios Uwak Imas yang berjualan pakaian. Bau amis khas laut
(dan juga karena pabrik ikan asin yang tidak jauh dari tempatku sekarang) sudah menjadi udara
sehari-hari yang kuhirup. Sinar matahari yang terik menyentuh kulitku dengan ganas, tapi aku
tetap bertahan duduk di luar kios. Pasalnya, Uwak Imas tengah sibuk melayani turis asing yang
ingin membeli dagangannya. Aku tidak mau masuk, karena pasti Uwak Imas akan menyuruhku
untuk melayani turis-turis itu, walaupun dia tahu kalau aku hanya bisa “yes” dan “no”.

Ketika aku mengalihkan pandangan dari layang-layang, aku melihat Bapak dan tiga orang
lainnya berada di bibir pantai, bersiap untuk berlayar. Seingatku, Bapak sudah berlayar tadi
malam, dan baru kembali tadi subuh. Kenapa sekarang mereka siap-siap ingin berlayar lagi? Apa
tiba-tiba radar di kapal milik Haji Miun menangkap segerombolan ikan tuna di tengah laut sana?
Eiy … itu pemikiran bodoh! Satu-satunya alat canggih yang mereka gunakan adalah naluri
nelayan mereka yang sudah berpuluh-puluh tahun lamanya.

Kakiku bergerak ke arah mereka. Angin berhembus sangat keras di telingaku. Dibesarkan di
pesisir pantai membuat aku memiliki ketakutan yang berbeda dari orang lain. Di saat orang lain
ketakutan melihat keluarganya terombang-ambing ombak, aku merasakan hal yang jauh daripada
itu. Aku takut membenci laut. Aku takut jika laut yang selama ini kuanggap teman, berbalik
menjadi musuhku dan melenyapkan segala yang kucintai.

Bagiku laut adalah rumah, dan rumahku adalah laut.

Saat aku sudah berada dekat dengan bibir pantai, Bapak melambai padaku sambil tersenyum.
Kulitnya hitam karena terbakar matahari, rambutnya sudah memudar—bukan karena uban tapi
karena sering terkena air laut. Bapakku masih terlihat segar, meski wajahnya sudah dipenuhi
keriput. Mata Bapak yang berwarna hitam pekat tampak bercahaya saat melihatku, seperti air
laut yang memantulkan sinar matahari. Aku selalu suka Bapak yang tersenyum seperti itu, tapi
entah kenapa kakiku bergetar melihat Beliau sekarang.

“Bapak bade ka laut deui (Bapak mau ngelaut lagi)?”


Bapak meletakkan jaring yang baru selesai ia rapikan ke dalam perahu. “Sanes, Jang. Iyeu Pak
Sudir ngajak museup, mempeung cuacana sae (enggak, Jang. Ini Pak Sudir ngajak mancing,
mumpung cerah katanya).”

“Ujang bade ngiring moal (Ujang mau ikut juga)?”

Sejenak aku ragu dengan ajakan Pak Sudir itu. Tidak, bukannya aku takut laut, hanya saja…
seperti ada yang mengganjal di hatiku. Jujur saja, perasaan seperti ini sudah sangat sering
kurasakan—terutama saat melihat Bapak pergi berlayar tengah malam. Tapi tetap saja aku
merasa asing dengan rasa takut ini. Seperti perahu di tengah badai, di tengah laut.

“Ah… atos wae, atuh maneh jaga kios Uwak bae lah (udah, kamu jagain kios Uwak-mu sana).”

Aku tidak bisa menjawab kata-kata terakhir Bapak sebelum Beliau naik ke atas perahu dan
berlayar bersama tiga orang pria lainnya. Rasanya… sama seperti melihat Ibu meninggalkan
rumah di hari itu. Umurku saat itu sudah menginjak dua belas tahun, cukup mengerti tentang
situasi macam itu. Dan sejak saat itu aku tidak pernah menangis lagi untuk Ibu, karena air mata
ini tidak cukup untuk membawanya kembali.

Tapi, apakah aku harus menangis hari ini? Untuk membuat perahu yang ditumpangi Bapak
berbalik lagi?

Konyol! Harusnya aku ingat, umurku sudah menginjak tujuh belas tahun.

Aku tidak meninggalkan bibir pantai dan terus menatap perahu Bapak yang sudah tidak terlihat
mata. Sesekali ombak menerpa kakiku. Tidak peduli dengan sinar menyengat matahari Pantai
Selatan dan turis-turis yang masih memadati sisi pantai sebelah sana, aku tetap duduk di atas
bebatuan. Sesekali mataku menangkap keluarga yang asik bermain air atau hanya duduk-duduk
di atas pasir. Aku mungkin sama seperti mereka jika tidak dibesarkan di laut—menganggap laut
sebagai tempat menyenangkan. Tapi aku tidak bisa tertawa seperti itu, sekalipun aku
menganggap laut adalah rumah dan temanku. Laut menyimpan banyak ketakutan dan
kekhawatiran.

Aku menutup mata, berdoa sambil merasakan angin menerpa tubuhku dan ombak yang terus
membasahi kakiku. Kumohon… kali ini pun, jaga Bapak.

Hari semakin sore, matahari pun sudah tidak seterik sebelumnya. Meski kekhawatiran itu masih
ada, aku beranjak dari bebatuan dan kembali ke kios Uwak Imas. Begitu aku sampai di sana,
Uwak Imas langsung menyambutku dengan semprotan mulut bawelnya. Aku hanya nyengir,
tidak mau melawan sekaligus menutupi kekhawatiranku. Aku baru akan merasa lega kalau sudah
melihat Bapak kembali.

Karena sudah tidak ada lagi orang bule yang mendatangi kios Uwak, hanya turis domestik, aku
pun mulai membantunya di kios. Aku hampir melempar uang koin lima ratusan ke wajah
pembeli yang baru selesai membayar ini saat suara Uwak Imas tiba-tiba memekik keras di depan
kios. Aku dan pembeli itu pun melihat ke arah luar, dan kemudian menghampiri Uwak Imas.
Ternyata Uwak Imas tidak sendiri, ada Bi Iyah dan Mang Satya—penjual pakaian lainnya
sekaligus tetanggaku—juga.

“Suara naon eta? Saumur hirup nembe ngadangu sora ombak sepertos kitu (suara apa itu?
seumur hidup baru dengar suara ombak seperti itu).”

Ucapan Uwak Imas ditanggapi dua orang lainnya dengan heboh. Aku mengabaikan mereka dan
memilih memandangi pantai dari tempatku. Tadi di kios Uwak suara radio dipasang keras-keras,
jadi aku tidak bisa mendengar jelas suara yang Uwak bilang. Benarkah suara ombak sekeras itu?

Mataku memicing. Kios ini tidak jauh dari titik keramaian pantai, oleh sebab itu Uwak tidak
pernah sepi pembeli. Keramaian di sana tidak jauh berbeda dari beberapa saat lalu, saat aku
duduk di atas bebatuan. Suara teriakan bahagia terdengar sampai sini. Namun beberapa detik
kemudian, teriakan bahagia itu menjadi pekikkan ketakutan.

“Allahu Akbar! Ombak! Ombak!”

Teriakan itu bersahut-sahutan. Gemuruh yang—mungkin—hanya didengar Uwak Imas, kini aku
bisa mendengarnya juga. Orang-orang berlari ke arah kami. Tidak, lebih tepatnya menjauh dari
bibir pantai ke tempat sejauh mungkin. Tapi aku tidak bisa bergerak meski keadaan sangat kacau
di sekitarku. Suaraku hanya tertahan sampai tenggorokan, dan mataku hanya bergerak ke atas,
mengikuti gerakkan ombak di atas kepalaku. Telingaku teredam. Seluruh tubuhku bergerak
mengikuti alur, terhempas. Nafasku terasa begitu perih, dan itu menjulur ke semua bagian
tubuhku.

“Bapak…”

Dengan sisa kekuatanku, aku berucap pada diri sendiri.

Di dalam kegelapan pandanganku.

***

Suara pedih mengelilingiku. Bagai asap pekat yang menyesakkan dada, tidak mudah hilang
meski aku meniupnya terus menerus, tetap menyerang paru-paru, serapat apapun aku menutup
hidung. Suara orang-orang bersahutan, saling berteriak. Seolah waktu terus mengejar mereka
tanpa lelah, mereka pun tidak berhenti bergerak.

Dalam kericuhan itu, kulihat sosok ringkih yang kusayangi berdiri dengan mata memerah di
ujung sana. Aku tahu Beliau menangis, tapi aku tidak bisa mendengar suaranya. Kaos belel yang
ia dapat dari kampanye partai politik beberapa tahun yang lalu tampak basah kuyup, begitu juga
dengan celana kain hitamnya. Ia meremas topi yang tadi siang ia kenakan.

Langit malam di belakangnya, seperti latar belakang yang menggambarkan kehampaannya. Dan
aku hanya bisa berdiri di sini, tanpa bisa mengucapkan kata atau bahkan menggerakan kaki
untuk mendekatinya. Kakinya yang gemetar, perlahan menekuk, berjongkok di depan sosok
kurus yang terbujur kaku. Lalu, seluruh tubuhnya bergetar, tanpa terkecuali. Bapak terus
menunduk, tidak mengucapkan apapun, dan lama kelamaan aku bisa merasakan hujan
membasahi tubuhku sangat deras, seperti air mata Bapak yang tidak bisa berhenti. Tangannya
menggapai-gapai sesuatu dengan isak tangis pilunya memenuhi paru-paru.

Seseorang datang setelahnya, berusaha menghentikan Bapak yang seperti rela berbaring di sana
untuk menemani sosok itu. Sekuat apapun Bapak berteriak, semua tidak akan kembali. Dan
bodohnya, aku hanya bisa berdiri di sini.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Hanya membiarkan mereka menutup kantong kuning yang membungkus tubuhku, menyisakan
tangis pedih Bapak di antara huru-hara yang terjadi di sana. Kegelapan itu pun berubah menjadi
cahaya terang.

Berjalan menuju cahaya menyilaukan itu, sekali lagi aku berharap. Laut, kumohon kali ini—
tidak, maksudku selamanya—jaga Bapak.

Anda mungkin juga menyukai