Anda di halaman 1dari 6

NUSANTARA MAHARDIKA

Karya: Hilma Ameera Syahida

Angin berhembus di tempat ini, sebuah perbukitan yang dikelilingi oleh


hutan-hutan hijau penjaga bumi. Di tempat ini aku berdiri, desiran angin membuat
rambut pendekku sedikit melayang-layang. Walau begitu, angin takkan
membuatku goyah, yang mematung disini sejak tadi, pandanganku pun masih
terpaku pada tanah, elemen sejatinya manusia tercipta.
Di Nusantara, makhluk Tuhan hidup bersama-sama, seperti manusia,
hewan, tumbuhan, dan berbagai makhluk yang tak pernah nampak di dunia. kami
hidup damai disini, saling melengkapi dan saling menghargai. Menurut garis
keturunan, manusia dibedakan menjadi tiga klan, air, angin dan juga bumi.
Klan air bertugas untuk menjaga dan memastikan sumber air dan
pengairan di nusantara tetap berjalan sebagaimana seharusnya. Dan para klan air
biasanya tinggal di dekat-dekat sungai. Sedangkan klan angin sangat senang
berada di alam, berburu, berkebun, dan juga mendaki gunung. Mereka tinggal di
perbukitan, pada rumah yang mereka tinggali terdapat menara-menara tinggi
dengan sebuah kincir besar di puncaknya.
Yang terakhir adalah klanku, klan bumi, klan kami sering disebut juga
klan juru kunci gunung, dituntut untuk selalu memahami kondisi alam nusantara.
Jiwa kami sudah terikat dengan tanah nusantara.
“Semua itu saling bersinggungan satu sama lain, menciptakan suatu
kedamaian yang tentram, beratus-ratus tahun kondisi ini terjadi, membuat
makhluk sang penjaga negeri tertidur dengan damai,” ucapku pada diri sendiri,
menghela nafas, merutuki apa yang telah terjadi.
Ku angkat wajahku menatap sang bumitara yang sedari tadi muram, tak
lagi menatap tanah. Merenungi apa yang telah terjadi, membuatku tersadar akan
anganku yang sudah hancur, kondisi itu telah berakhir sekarang, yang hanya
menyisakan puing-puing kenangan di masyarakat. Kapan waktu itu akan kembali?
Kekacauan dimana-mana, membuat kedamaian berakhir ditelan hampa.
Sama sepertiku, terombang ambing di kenyataan yang hampa. Meski
begitu, di negeri ini aku tak akan goyah, meski hanya diriku yang tersisa. Hawa
panas menjalar melalui kakiku yang tak beralas, meski sedari tadi angin
berhembus begitu kuat, tapi sepertinya itu tak berpengaruh.

Bahwa firasatku juga mengatakan…

Bahwa dia sudah bangun dari tidurnya…

“TENG! TENG! TENG!!!” suara lonceng meraung-raung ke seluruh


pelosok negeri, membuatku tersadar. Ini dia, mereka sudah datang.
“Batara! Batara Bumi!” Teriak seseorang memanggilku dari jauh. Aku
menoleh, melihatnya berlari ke arahku, samar-samar aku bisa melihat siapa yang
datang. Dia Epikarma, dia teman baikku salah satu klan angin, terengah-engah
berlari ke arahku, aku menangkap air mukanya, cemas.
“Mereka sudah datang! Kembali berbuat kekacauan, sudah tak ada waktu
lagi, mereka harus segera dihentikan,” beritahunya beberapa saat setelah dia
sampai di hadapanku. Suaranya tegas memekik hampir berteriak, aku melihat
amarah berang dari sorot matanya.
Aku mengangguk dengan penuh keyakinan, memang sudah tak ada waktu
lagi, aku mengikutinya menerobos rindangnya hutan.
“Mereka dimana?!” tanyaku padanya.
“Di sana! Di pelabuhan kita hampir sampai!” ujarnya menunjuk ke arah
pelabuhan, sesaat setelah keluar dari hutan, berlari menuju pelabuhan. Kami sudah
hampir sampai.
Sudah sejak lama para klan asing itu berbuat kekacauan di bumi nusantara.
Pada awalnya rakyat nusantara menerima kedatangan mereka dengan baik, juga
pada awalnya mereka tak berbuat macam-macam di negeri ini. Maka dari itu saat
mereka berlabuh di pelabuhan nusantara, tak ada satu pihak pun yang memprotes,
toh awalnya mereka hanya berniat untuk berdagang.
Namun, sepertinya ini bukanlah sebuah awal yang baik, kekacauan
dimulai ketika mereka mulai ikut campur dalam urusan pemerintahan kerajaan
dan juga mulai menghasut berbagai pihak, seolah-olah ingin mengadu domba.
Mereka mendapat teguran keras dari pemerintah kerajaan karena ini, di sini
mereka hanya diizinkan berdagang dan tidak berhak sama sekali untuk ikut
campur persoalan negeri.
Peringatan itu awalnya dipatuhi oleh para klan asing. Namun, seiring
berjalannya waktu peringatan tersebut sepertinya hanya dianggap angin berlalu
oleh mereka. Keadaan semakin memburuk saat mereka memonopoli perdagangan,
adu domba dimana-mana, membuat kesengsaraan di kalangan rakyat jelata.
Mereka seakan-akan sengaja melakukan ini pada nusantara. Mereka benar-benar
keterlaluan! Dengan teganya memanfaatkan kebaikan dan kepolosan warga
nusantara untuk kepentingan klan mereka sendiri.
Kekacauan besar sebenarnya terjadi, kembali terputar peristiwa berdarah
itu dibenakku. Pada saat itu adalah malam yang sendu, dentingan senjata dimana-
mana di temani sorak-sorai yang memilukan, membuat siapapun yang mendengar
murka. Telah kulihat dengan penuh amarah tubuh manusia yang bersimbah darah,
keluargaku, sanak saudaraku, seluruh klan bumi telah habis, meninggalkanku
seorang diri.
Setibanya aku dan Epikarma di tempat ini, kami disambut oleh jeritan
warga-warga yang panik, nampak jelas armada-armada musuh sudah berdiri tegak
memenuhi pelabuhan. kami mencabut sebilah kujang dari saku celana, bersama
berlari menyongsong musuh. bergabung bersama para pemuda-pemuda nusantara
lain.
Matahari sudah turun tak ada tanda-tanda pihak manapun yang akan
menang, keduanya memiliki kekuatan seimbang, warga nusantara yang
mempertahankan negerinya, sedangkan para klan asing yang congkak bertempur
demi menguasai rempah-rempah.
Malam telah tiba dan pertempuran selesai tanpa menyisakan pemenang. Di
sebuah rumah yang diterangi pelita, aku berdiri di pinggir jendela yang terbuka,
merenung, sedari tadi mataku menatap bejana perunggu tempat abu keluargaku
disimpan, di sudut ruangan, tanganku mengepal membendung dendam.
“Kau ternyata masih belum melupakan peristiwa itu,” suara Epikarma
membuyarkan lamunanku, berjalan menyeret kaki menghampiriku.
“Dengar! Aku tahu kau masih terpukul dengan pembantaian itu. Tapi
percayalah padaku, kita masih punya sesuatu yang lebih penting untuk
diperhatikan.”
Aku berdecih sedikit terkejut dengan kata-katanya “Kau kira semudah
itu?! Apa kau pikir nyawa klanku sebanding dengan pala dan cengkeh! Itu kan
yang mereka inginkan!” suaraku meninggi beberapa oktaf, berusaha menahan
emosi.
“Aku tahu, tapi ku yakin mereka pasti menginginkan lebih dari itu, dan
sialnya para keparat-keparat congkak itu telah menguasai setengah pelabuhan, jika
kita tidak cepat, kita bisa kehilangan seluruh wilayah pelabuhan,” ujarnya lebih
prihatin.
“Dan…kau adalah klan bumi terakhir di nusantara, jadi jangan
membuang-buang waktumu bung!, negeri ini harus segera bebas” tambahnya
berusaha meyakinkanku.
“Tapi ada yang lebih dikhawatirkan, kau ingat kekacauan telah lama
berkecamuk, membuat keseimbangan dan kedamaian lenyap, membuat poros
yang selama ini berjalan terhambat,” aku merendahkan nada bicaraku mulai
merasa gundah.
Epikarma tampak tak mengerti.
“Dia…telah terbangun dari tidurnya, bangun dengan segenap amarah, dia
jawaban dari masalah ini, dia… Naga besukih, makhluk pelindung nusantara.”
Samar-samar sinar bulan meredup, digantikan oleh mentari. Ini masih dini
hari, saat kami sudah berkumpul di pelabuhan, beberapa waktu lalu kami
mendapat informasi tentang musuh yang sudah bergerak kembali untuk
menguasai pelabuhan. Aku dan Epikarma berada pada barisan yang berbeda.
Aku melirik saku celana, di sana terdapat sebuah kujang yang sudah
menempel, dan… Ini dia, aku mengeluarkan sebuah kantung yang berisi abu-abu
klan bumi. Telah kutanamkan dalam hati, hari ini nusantara akan bebas, dan tidak
akan ku biarkan abu mereka bebas melepaskannya di lautan.
“SERANG! SERANG!”
“Jangan biarkan mereka menguasai pelabuhan!” Suara dentingan senjata
di mana-mana, ricuh tak terkira.
Kami menyerbu musuh dengan membabi buta. Pertempuran berkecamuk,
dengan menggunakan kujang, rencong, golok, dan bambu runcing. Penduduk
nusantara menyongsong senjata mereka yang berupa alat tembak yang aku tak
tahu namanya, ditambah lagi dengan meriam-meriam yang tertempel di dinding
kapal armada mereka. Semakin memporak-porandakan seisi pelabuhan.
Anyir darah memenuhi indra penciumanku, setengah dari kami tumbang
terkena alat tembak mereka. Aku tetap bertahan menyerbu mereka dengan sebilah
kujang, mereka harus binasa.
“DUAR!” Hantaman meriam meruntuhkan bagian pinggir pelabuhan,
menjatuhkan orang-orang yang berada di atasnya, termasuk Epikarma yang
berada di sana. Aku terkesiap saat melihatnya terpelanting ke air lepas.
“Byur!”
“Tidak!” Aku berlari ke arah pinggir pelabuhan yang masih tersisa,
melihatnya menghilang ditelan air.
“Tidak, dasar keparat-keparat sialan!!” pekikku membabi buta
mengepalkan tangan. Sebelum aku berbuat apapun, tanah berguncang kuat seperti
gempa, tanah bergeser menghasilkan rasa ngilu bagi siapapun yang
mendengarnya. mentari tertutupi awan mendung kelabu.
“KRAKK! BLARRR!!” Sebuah makhluk raksasa keluar dari mulut lautan,
matanya merah hewan ini seperti ular, keluar dengan amarah memunculkan dua
kepalanya yang berayun-ayun diterpa angin, sisik berwarna keemasan dengan
hembusan panasnya.
“GRUOAAHHHHHH!!!!” Ekornya dengan mudah menghancurkan
armada-armada musuh hingga tak tersisa, orang-orang yang berada di pelabuhan,
kalang kabut berlari kemanapun yang mereka bisa. sementara makhluk itu dengan
cepat mengapung mendekati pelabuhan. menyibakkan ekornya menyapu barisan
klan musuh hingga terjun ke lautan.
Ini dia saatnya, saatnya mengakhiri semua ini untuk membebaskan negeri.
Aku berlari menerobos lautan manusia, mengeluarkan sebilah kujang yang sudah
berlumuran darah, berlari ke ujung pelabuhan melompat sekuat tenaga
menancapkan kujang di puncak kepala makhluk itu.
“BYURR!!!” dengan makhluk itu tubuhku terjun ke lautan lepas, bersama
abu klanku terkubur di kehampaan lautan, klan bumi telah habis berakhir. Tidak
ini belum berakhir, setelah melepaskan belenggunya menjadikan nusantara negeri
yang mahardika berkarya.

Hilma Ameera Syahida sering dipanggil Hilma oleh orang sekitarnya, penyuka
musik, mulai menulis sejak kelas satu SMP, mengikuti ekstrakurikuler panahan
dan bengkel sastra. Pembaca webtoon, genre favoritnya yaitu aksi. Menulis dan
menggambar adalah salah satu caranya untuk memperlihatkan imajinasi anehnya.

Anda mungkin juga menyukai