Anda di halaman 1dari 6

Kisah Afonso

Karya : Dea Anugerah

Modifikasi : Festilia Narulita Dieyade

Seekor buaya adalah seekor buaya adalah seekor buaya, dan seorang manusia adalah
seorang manusia adalah seorang manusia adalah seorang manusia. Apakah itu truisme?
Tidak. Afonso Gracia de Solis, misalnya, adalah seekor buaya adalah seorang manusia
adalah penjelajah Eropa dan, menurut seorang antropolog, adalah seekor ikan baung
yang—karena kesialan murni—berakhir sebagai lauk makan siang anak-anaknya
sendiri.

Kami, teman-temanku, dan aku, datang ke Tulang Bawang Barat, Lampung, atas
undangan bupati. Ia baru berusia 35 tahun dan punya cita-cita untuk menjadikan
daerahnya tidak hanya makmur dan tenteram dan bebas dari flu babi, melainkan juga
pelopor dalam menjalankan urusan-urusan asyik. Perkara terakhir itulah yang membuat
jalan kami bertemu. Pak Bupati menginginkan kisah-kisah tertulis yang bagus dan
bukan semata artefak yang dilalap untuk Tulang Bawang Barat, dan kami, teman-
temanku dan aku, menggotong keterampilan masing-masing ke tempat itu untuk
memenuhi keinginannya.

Sewaktu teman-temanku berkumpul di kediaman seorang tetua adat di dusun


Penumangan untuk mewawancarai dua pria pikun dan kemudian melihat-lihat sepucuk
meriam yang konon punya hobi ganjil, yaitu menangis, sejak menmbak jatuh sejadah
terbang yang dikendarai oleh seorang penyebar agama asal Banten enam abad silam,
aku menyelinapkeluar dan mengobrol dnegan seorang pedagang bensin eceran bernama
Danil. Tampang Danil mirip Clint Eatwood semasa menyutradarai film Mystic River
dan ia menjual bensin dalam botol-botol yang mirip botol susu berukuran besar. Dari
dialah aku mendengar tentang Afonso untuk pertama kalinya.

Afonso Gracia de Solis membaca Rihla karya Ibn Battuta pada usia empat belas tahun.
Dua tahun kemudian, ia dan seorang misannya dari pihak ibu mendaftar di angkatan laut
kerajaan. Pada umur tiga puluh empat tahun, atau setengah windu setelah kebarangkatan
sepupunya yang kedua kali mencari dunia baru, Afonso mendapat mandat untuk
memimpin salah satu kapal dalam ekspedisi. Hanya, kali ini tujuannya adalah dunia
lama juga, tepatanya di belahan yang masih kaya.

Sudah lama benar Afonso membayangkan negeri-negeri di Kepulauan Rempah. Bulan


demi bulan terlewat. Badai dan angin mati. Kesialan dan kesialan berat. Pelbagai kota
pelabuhan dengan daya tarik dan keganjilan masing-masing. Pelayaran itu memperkaya
pengetahuannya, tapi tak sedikit yang membikin luntur khayalan tentang pulau-pualu
yang berlimpahan tari-tarian dan cahaya matahari, tentang para pria pemilik harga diri
tinggi yang mengenakan gelang bahu bergambar kuda terbang dan ikat kepala dari kulit
harimau, perempuan-perempuan molek terbalut kemben sutra yang menyembunyikan
perhiasan istimewa: anting emas dan perak berbandul batu-batu mulia pada tepi pusar
dan bibir farji masing-masing.

Bukan perbedaan impian dan kenyataan benar yang membikin Afonso kecewa,
melainkan perintah sang laksamana. Santa Clarina, kapal Afonso, mesti tinggal di
kawasan paling selatan Pulau Samudera bersama sejumlah kapal lain berikut awak
masing-masing. Afonso ditetapkan sebagai pemimpin. Tugasnya: memastikan
kesinambuangan perdagangan rempah dengan Kesultanan Banten dan, lewat jalur lain
yang agak rahasia, dengan sejumlah bangsawan Kesultanan Palembang, seta menjaga
keseimbangan kekuasaan di kawasan tersebut.

Mereka mendirikan tangsi selama enam hari. Pada hari ketujuh, pasangan pria tua
lumpuh dan gadis buta berbadan tegap menghampiri Afonso. Pria itu punya jendol
sebesar kepalan bayi di keningnya dan tampak seperti nabi yang kelelahan. Si gadis
mengaku pernah ikut sejumlah kapal dagang dan telah ujung dunia dan sudah
mempelajari apa-apa yang perlu ia perlajari di dunia fana ini, termasuk bermacam-
macam bahasa asing, sebelum menggores kedua bola matanya dengan kuku. Pria tua itu
memperkenalkan diri sebagai Menak Kapala Tringgiling dan menyampaikan ramalnnya
bahwa Afonso akan berperan besar dalam sejarah Kawasan itu dan ia berkepentingan
menolong dengan cara menyerahkan gadis yang menggendongnya buat kawini Afonso,
ditambah sebuah azimat, yaitu sebutir benda kecil yang mirip gumpalan daki, untuk
ditelan oleh sang penerima dalam keadaan tersedak.

Kurasa cerita itu kacau dan terkesan mengada-ada. Meskiku paham demikianlah sifat
cerita-cerita lisan, aku tetap menanyakan dari mana Danil tahu semua itu. “Aku
keturunannya,” katanya. Ia lalu mencondongkan badan ke arahku membuka dan
menahan kelopak mata kanannya dengan telunjuk dan ibu jari.

Aku mengangguk.

“Ada semburat biru, kan?” tanyanya.

“Biru seperti laut,” kataku.

Saat itulah teman-temanku keluar dan menuruni tangga rumah panggung. Aku pamit
kepada Danil dan menghampiri mereka. Salah seorang temanku bilang aku sungguh
rugi karena melewatkan cerita tentang pepadun-singgasana yang dipakai warga untuk
mengambil gelar adat-paling tua dikampung itu. Konon usianya sudah emapat adat dan,
kata temanku, empu yang membuat pepuduan itu moksa, naik ke langit, puf, begitu
pekerjaannya selesai. Temanku yang lain merekam pohon-pohon papaya, reongsokan
perahu yang tertelungkup di atas got, kadang ayam, lubang sumur, bungkus-bungkus
rokok local, dan apa saja yang ada di sekitarnya sejak kami tiba di kabupaten itu dengan
ponselnya. Ia tentu sudah tahu apa yang hendak dia tulis. Kecuali aku, semua orang
tampak sudah tahu apa yang hendak mereka tulis atau setidaknya sudah menggenggam
sebuah plot, sejumlah karakter, atau satu suasana. Aku merasa bersalah sudah sudah
menghabiskan bayaran tahap pertama yang kuterima dari penyelenggara kegiatan ini.

II

Kami berangkat ke desa Pagar Dewa lewat jalan air. Beberapa temanku tampak
keberatan saat usul itu dilontarkan dalam rapat, tapi jadi ringan kembali begitu panitia
bilang mereka sudah menyiapkan pelampung untuk semua orang. Kenyataannya, aku
tidak kebagian pelampung dan naik perahu motor paling kecil bersama dua orang
teman, plus pengemudi perahu yang mengenakan helm sebagai ganti pelampung. Begitu
kakiku menjejak perahu, batas air membuat jantungku oleng seakan pemiliknya sedang
merancap untuk kali pertama.

Lebar sungai itu kira-kira dua puluh meter. Kedalaman, dilihat dari beteng dangkal di
kedua tapinya, kemungkinan besar tak sampai sepuluh meter. Selain eceng gondok dan
semak belukar, tumbuhan di tempat itu hanya pohon-pohon berkulit abu-abu gelap
dengan buah-buah cokelat tua yang jika terendam air tampak seperti kotoran manusia.
Setiap kali perahu kami berpapasan atau disusul oleh perahu lain, air meluap dan
membasahi celanaku. Aku banyak menengadah, berharap ada raja udang atau elang ular
bido atau kuntul putih atau cangak merah melintas. Tapi tak ada burung burung. Kakiku
terendam air butek dan leherku pegal dan pemandangan terbaik yang kudapat adalah
buah-buah mirip kotoran manusia.

Perahu kami sampai di kuala yang mempertemukan Way Kiri, Way Kanan, dan Way
Tulangbawang. Tanpa diminta, si pengemudi perahu berinisiatif mengehentikan laju
perahu dan mengisahkan sebuah cerita rakyat yang dianggap terjadi di sekitar ambang
itu.

Alkisah seorang resi bernama Menak Kepala Tringgiling dan para pengikutnya yang
selama berpuluh- puluh tahun tinggal di tepi kuala menyingkir ke daratan tinggi karena
kedatangan orang-orang bersenjata dari Banten. Orang-orang itu mengaku datang
dengan damai dan tidak akan memaksakan keyakinan mereka kepada siapa pun. Mereka
bicara benar. Yang mereka lakukan hanya mengubah padepokan Menak Kepala
Tringgiling menjadi masjid, mendirikan tangsi, serta menetapkan pajak empat bulanan
senilai sekarung lada untuk tiap-tiap kepala apabila sang resi dan para pengikutnya tetap
ingin tinggal di wilayah tersebut.

Selama beberapa bulan, orang-orang Banten bertahan dengan cara tersebut. Menjadi
raja baru di daerah orang lain dalam sekejap. Merasa muak dengan kelakuan orang-
orang Banten, Menak Kepala Tringgiling marah besar. Ia berusaha sekuat tenaga untuk
berbicara dengan pimpinan orang-orang Banten supaya warga asli daerah itu
mendapatkan keringanan. Tetapi, apa daya. Pimpinan orang Banten adalah orang paling
keras kepala yang pernah berhadapan dengan Menak Kepala Tringgiling.

Afonso, yang saat itu sedang memerintahkan anak buah kapalnya untuk membenarkan
bagian kapal yang rusak terhantam batuan saat merapat di pelabuhan, mendengar keluh
kesah Menak Kepala Tringgiling yang tidak biasanya misuh-misuh sambil berjalan.
Beragam cacian dikeluarkan Menak Kepala Tringgiling. Tak satupun kata yang
dipahami oleh Afonso. Tapi Afonso yakin, itu semua kata makian.

Sepekan setelahnya, Menak Kepala Tringgiling berdiri di pinggir sungai persimpangan


Way Kanan, Way Kiri, dan Way Tulangbawag pada malam bulan purnama yang
bertepatan dengan datangnya air pasang di sungai. Menak Kepala Tringgiling berkomat-
kamit membacakan mantera sambil megorek lobang hidungnya. Menyentil kotoran
hidungnya dan membuangnya ke sungai yang sedang pasang. Tak lama kemudian,
datang angin yang tiba-tiba berhembus kencang dan terasa dingin yang mengikristalkan
pori-pori kulit memunculkan kabut tebal yang menutupi pandangan. Menak Kepala
Tringgiling mulai hilang diculik kabut.

Di tengah sungai, muncul buih-buih air. Semakin lama semakin banyak dan luas
daerahnya nyaris memenuhi seluruh persimpangan Way Kanan, Way Kiri dan Way
Tulangbawang. Buih yang terus bermunculan semakin cepat seperti air mendidih,
disertai suara krek, krek, krek bagai tulang yang bersinggungan dengan batuan. Seketika
hening. Tanpa buih bermunculan. Digantikan banyaknya pasang mata biru yang
menyala di balik lebatnya kabut yang menyeimutii daerah itu.

Satu per satu, sepasang mata biru yang menyala merangkak ke arah kerumunan orang-
orang Banten. Orang-orang Banten yang asyik terbuai mimpi tak satupun yang
menyadari kedatangan makhluk berkerangka yang merangkak dan memiliki mata biru
menyala dari dalam kabut. Makhluk-makhluk yang akan menghabisi nyawa mereka,
yang memerahkan kabut dengan darah mereka.

Saat fajar menyembul menendang pergi bulan purnama dari kursi kekuaasan langit,
langit mulai memerah mengeluarkan hangatnya sinar mentari, kabut perlahan tapi pasti
teruarai oleh angin yang berhembus membersihkan pandangan mata. Terlihat
banyaknya bagian-bagian tubuh manusia yang habis terkoyak suatu benda tajam. Dilihat
dari robekan lukanya, dapat disimpulkan luka tersebut dibuat oleh gigi predator. Satu
bagian tubuh yang mencolok adalah bagian tubuh berkulit putih dengan rambut pirang
dan mata biru. Ditemukan dalam wujud setengah sadar dengan darah segar yang masih
menetes disela-sela koyakan luka. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi buff dan
jasad itu lenyap.
“Orang-orang di sekitar sini menyebutnya Afonso si Aligator” ujar si pengemudi
perahu. “dan di kawasan ini tabu menggunakan sesuatu yang berwarna merah”
tambahnya.

“Mengapa?” pancing salah satu temanku.

“Seketika, suhu udara menurun dan kabut datang entah darimana, tercium bau anyir
darah dari dalam kabut” jelas pengemudi perahu.

Aku berpikir, karena ada sesuatu yang menurutku familier. “Pak, bukankah Afonso si
Buaya?”

“Bukan, yang benar itu, aligator, sama seperti yang hidup di China”

III

Kami tiba di daerah bernama Pagar Dewa setelah mendengar seluruh kisah-kisah yang
terjadi di Tulang Bawang Barat. Meyeramkan dan sedikit di luar nalar. Kami, teman-
temanku dan aku, melanjutkan perjalanan kami menuju rumah tetua adat di sini guna
menanyakan beberapa hal yang menganjal di kepala kami, bahkan sejak sebelum
kedatangan kami di Tulang Bawang Barat.

Tetua daerah Pagar Dewa, adalah seorang tua yang memiliki banyak keriput di hadi dan
pipi, pupil mata yang mengabu dan telinga yang sedikit bolot. Berbicara dengannya
butuh tenaga ekstra dipusatkan di altikulator manusia. Ia bercerita ngalor-ngidul jauh
dari apa yang kami pertanyakan. Butuh sekitar lima kali pengulangan pertanyaan yang
sama untuk mendapatkan jawaban yang kami butuhkan.

Total sepuluh jam kami habiskan hanya untuk bertanya dengan tetua bolot tukang
ngalor-ngidul pembicaraan. Dilanjutkan dengan acara penerimaan tamu yang biasa ada
di daerah-daerah di Indonesia secara umum dengan bagian spesifik yang beragam akibat
perbedaan budaya, adat dan norma yang ada. Setelah penyambutan, kami menghabiskan
makan malam dengan menu khas Pagar Dewa. Ikan baung yang dimasak dengan
beragam metode berbeda. Mulai dari sup ikan baung, kari ikan baung, ikang baung
bakar bumbu kecap, sampai nasi lemang ikan baung.

Konon katanya, Tetua bolot tukang ngalor-ngidul pembicaraan ini, saat dirinya masih
berjaya dengan kulit cokelat yang kencang, memancing di sungai persimpangan Way
Kanan, Way Kiri, dan Way Tulangbawang. Ia berhasil menjerat sesuatu yang amat
sangat berat. Ketika diangkat, betapa kagetnya, ia melihat kerangka makhluk
bermoncong yang memiliki gigi-gigi tajam bagai predator air. Dikatakannya saat
terjerat pancingnya, tulang kerangka itu berwarna putih bersih, tanpa noda lumpur.
Keanehan dirasakan dirinya, ketika memanggul tulang tersebut untuk dibawa ke Pagar
Dewa. Terasa berat diawal perjalanan dan terasa ringan saat diakhir-akhir jarak yang
ditempuhnya. Terdengar sayup-sayup suara berhembus di telinganya memanggil sebuah
nama. Nama yang jarang ada di daerah itu. Alfonso? Aponso? Alponso? Entahlah, ia
lupa karena faktor usia membuat sel-sel memori jangka panjang di otaknya mulai
pensiun. Sepanjang perjalanan kembali ke Pagar Dewa, merasa sedang diikuti langkah
kaki yang lebar. Semakin menjauh dari dirinya. Betapa kagetnya ia mengetahui bahwa
kerangka yang dipanggulnya tidak ada di punggungnya.

Tiba waktunya kami, teman-temanku dan aku, untuk kembali ke Ibukota Jakarta.
Melalui jalan yang melelahkan dengan membawa pulang oleh-oleh kisah yang lucu ini.
aku membayangkan bagaimana nanti, setibanya kami, teman-temanku dan aku, di
Jakarta dan menceritakan kisah ini kepada kawan-kawan kami masing-masing. Tawa
macam apa yang menanti kami di sana.

Memasuki kawasan persimpangan antara sungai Way Kanan, Way Kiri, dan Way
Tulangbawang. Perahu yang mengantar kami, telah menanti. Perahu berjalan seperti
biasa, tanpa hambatan ketika mentari mulai lelah menyinari dunia. Kami menikmati
pemandangan yang indah ini. Udara sore tergantikan dengan angin dingin yang mulai
terasa menurun lebih cepat di setiap detiknya. Nyaris saja mengkristalkan pori-pori kulit
kami. Seketika kabut turun. Tercium bau-bau yang aneh dari dalam kabut. Anyir.
Seperti bau darah.

Tiga pekan berlalu, diberitakan di sebuah saluran televisi nasional, berita tentang
hilangnya “Sekelompok mahasiswa asal Jakarta yang sedang melakukan penelitian
etnografi di daerah Tulang Bawang Barat sejak tiga minggu lalu. Mahasiswa terdiri atas
Suharmoko Ferdiantoni 22 tahun asal Jakarta selaku ketua kelompok penelitian,
Desrianto Yusil 22 tahun asal Jakarta, Gustaf Ertyo 20 tahun asal Bekasi, dan Riko
Antonio 21 tahun asal Karawang. Diketahui, keempat korban hilang teakhir terlihat di
daerah Pagar Dewa dekat persimpangan sungai Way Kanan, Way Kiri, dan Way
Tulangbawang. Saksi mata yang kami wawancarai, Danielo Michaelo Angeliono,
seorang pedagang bahan bakar eceran, mengatakan bahwa sempat bercengkrama
dengan keempat korban sebelum korban dinyatakan menghilang. Saksi menerangkan,
keempat korban hendak menuju desa Pagar Dewa dengan melalui jalur sungai di
persimpangan Way Kanan, Way Kiri, dan Way Tulangbawang. Berikut adalah foto-foto
terkini keempat orban. Bila Anda merasa pernah melihatnya, Anda dapat melapor
kepada narahubung kami, di 087346049XX. Demikian sekilas info-”—bib—seketika
televisi dimatikan.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai