Anda di halaman 1dari 2

Cerpen Gabriel Garcia Marquez

Cinta pada Musim Kolera

IA tak pernah bepergian jauh sebelumnya. Ia membawa kopor seng berisi pakaian, novel-novel grafis yang
dibelinya setiap bulan, dan buku-buku berisi puisi cinta yang ia kutip dari ingatan dan nyaris rusak karena terlalu
sering dibaca. Ia tak membawa serta biola miliknya karena benda itu dekat dengan nasib sial, tetapi ibunya
memintanya membawa petate, sebuah tempat tidur gantung lipat dengan bantal, selimut, dan kelambu yang
terkemas rapi. Florentino Ariza tak ingin membawanya sebab menurutnya benda-benda itu tak akan berguna di
sebuah kamar yang menyediakan perlengkapan tidur. Namun, sejak malam pertama ia punya alasan untuk sekali
lagi bersyukur atas firasat tajam ibunya.

Pada saat terakhir sebelum keberangkatan, seorang penumpang berpakaian setelan malam naik ke atas kapal. Ia
baru datang pagi itu dari sebuah kapal yang bertolak dari Eropa dan ditemani oleh Gubernur. Orang itu ingin
langsung melanjutkan perjalanannya bersama istri dan putrinya, juga pelayan dan tujuh kopor berwarna emas yang
tampak terlalu berat untuk dibawa menaiki tangga. Untuk melayani para penumpang tak terduga ini, Kapten Kapal,
seorang lelaki bertubuh raksasa dari Curacao, mengimbau rasa patriotisme para penumpang.

Dalam bahasa campuran Spanyol dan Curacao, ia menerangkan kepada Florentina Ariza bahwa lelaki berpakaian
setelan malam itu adalah Duta Besar Inggris yang baru dan ia sedang menuju ibu kota Republik. Ia mengingatkan
Florentino betapa kerajaan itu telah banyak membantu perjuangan kemerdekaan mereka dari penjajahan Spanyol,
dan sebagai balasannya tak ada pengorbanan yang lebih besar selain mengizinkan sebuah keluarga merasa lebih
nyaman berada di negeri ini daripada di negeri mereka sendiri. Florentino Ariza, tentu saja, merelakan kamarnya.

Pada mulanya ia tak menyesali hal itu karena air sungai begitu melimpah dan kapal pun melaju tanpa kesulitan
pada dua malam pertama. Setelah makan malam, pada pukul lima sore, awak kapal membagikan tikar kanvas
kepada para penumpang dan masing-masing menggelar alas tidurnya di tempat kosong yang bisa mereka dapatkan.
Florentino memasang petate dan kelambu untuk melindunginya dari nyamuk. Ia tidur di atas tempat tidur gantung
itu, sementara mereka yang tak membawa perlengkapan apa pun tidur di atas meja ruang makan, berselimutkan
taplak meja yang tak diganti lebih dari dua kali selama perjalanan.

Florentino Ariza terjaga nyaris sepanjang malam, merasa seolah-olah mendengar suara perempuan yang
dicintainya, Fermina Daza, dalam embusan sepoi-sepoi angin sungai, menghanyutkan kesunyiannya bersama
kenangan tentang perempuan itu, mendengarnya bernyanyi di sela-sela deru suara kapal saat bergerak menyusuri
kegelapan seperti seekor binatang raksasa hingga semburat jingga pertama muncul di cakrawala saat hari baru
mekar tiba-tiba di atas tanah gersang dan rawa-rawa berkabut. Perjalanannya kembali menjadi sebuah bukti
kearifan ibunya dan ia mencoba tabah untuk melupakan semua rasa kecewanya.

Setelah tiga hari mengarungi sungai, perjalanan selanjutnya terasa lebih sulit karena mesti melewati celah sempit
berpasir. Sungai itu menjadi berlumpur dan semakin menyempit di tengah-tengah hutan belukar pepohonan
raksasa. Hanya sesekali tampak gubuk jerami di tepinya, tempat persinggahan untuk mengambil kayu. Kicau
burung dan suara monyet yang tak terlihat terasa menambah panas hawa siang hari.

Pada malam hari jangkar kapal diturunkan saat mereka tidur dan menghadapi kenyataan bahwa menjalani hidup
tidaklah mudah. Hawa panas dan nyamuk meningkahi bau busuk ikan asin yang dikeringkan di atas susuran
tangga. Kebanyakan penumpang, terutama orang-orang Eropa, tak tahan dengan bau busuk dalam kamar mereka
dan menghabiskan malam dengan berjalan-jalan di geladak, mengusiri nyamuk dengan handuk bekas mengelap
keringat. Saat terbit fajar, mereka sudah amat kelelahan dengan sekujur tubuh bentol-bentol oleh gigitan serangga.

Lebih buruk lagi, episode lain perang saudara antara kaum liberal dan konservatif pecah pada tahun itu dan Kapten
Kapal memberlakukan peraturan ketat untuk menjaga keselamatan para penumpang. Untuk menghindari salah
pengertian dan provokasi, ia melarang kegiatan favorit dalam perjalanan mengarungi sungai pada masa itu, yakni
menembaki buaya yang sedang berjemur di tepi sungai berlumpur. Lalu, ketika beberapa penumpang terbagi
menjadi dua kubu yang bermusuhan dalam sebuah perdebatan, ia memutuskan untuk menyita semua senjata yang
dimiliki para penumpang dengan jaminan bahwa semuanya akan dikembalikan pada akhir perjalanan.

Dia bersikap tegas, termasuk pada Duta Besar Inggris yang pada pagi hari sebelum meninggalkan kapal tampil
dalam pakaian berburu, lengkap dengan sebuah karaben dan sepucuk bedil untuk menembak macan. Pembatasan
lebih ditingkatkan di pelabuhan Tenerife ketika mereka berpapasan dengan sebuah kapal yang mengibarkan
bendera kuning pertanda ada serangan wabah penyakit.

Kapten Kapal tak memperoleh keterangan lebih lanjut berkaitan dengan tanda peringatan itu karena kapal itu tak
menyambut sinyal yang dikirimnya. Tetapi, pada hari yang sama, mereka berpapasan dengan kapal lain, sebuah
kapal barang yang mengangkut domba untuk dibawa ke Jamaika dan mereka memberi tahu bahwa kapal
berbendera kuning tadi membawa dua orang yang terserang penyakit kolera.

Wabah kolera tengah berkecamuk di daerah pelabuhan sepanjang sungai yang masih harus mereka lewati.
Akibatnya, para penumpang dilarang meninggalkan kapal itu, bukan hanya di pelabuhan, melainkan juga di
tempat-tempat perhentian untuk mengambil kayu. Hingga mereka mencapai pelabuhan terakhir, enam hari
perjalanan, para penumpang terpaksa berlaku seperti tahanan, termasuk menikmati segepok kartu Pos Belanda
bergambar porno yang diedarkan dari tangan ke tangan tanpa ada yang tahu dari mana benda-benda itu berasal.
Mereka tak sadar bahwa itu hanyalah bagian kecil dari koleksi legendaris Kapten Kapal. Namun, akhirnya,
selingan menyenangkan ini hanya menambah kebosanan mereka.

Florentino Ariza mencoba bertahan dalam perjalanan yang berat itu dengan kesabaran yang membawa kesedihan
pada ibunya dan kegusaran pada teman-temannya. Ia tak berbicara kepada seorang pun. Hari-hari begitu tenang
baginya saat ia duduk di dekat tangga, menatap buaya-buaya yang diam menjemur diri di tepi sungai berlumpur
dengan mulut terbuka untuk menangkap kupu-kupu. Ia memerhatikan sekawanan bangau yang muncul tanpa aba-
aba di rawa-rawa dan beruk yang menyusui anaknya, lalu mengejutkan para penumpang dengan lengking
jeritannya yang mirip suara tangisan perempuan.

Pada suatu hari ia melihat tiga sosok mayat manusia berwarna kehijauan terapung di permukaan sungai. Burung-
burung bangkai bertengger di atas mayat-mayat itu. Pertama, dua sosok mayat melintas dekat kapal, salah satunya
tanpa kepala, kemudian sesosok mayat perempuan muda mengapung, rambutnya yang panjang dan ikal terpilin
pada baling-baling kapal. Ia tak tahu, karena tak seorang pun pernah tahu, apakah mereka korban wabah kolera
atau perang, tetapi bau busuk yang memuakkan itu mengotori kenangannya pada Fermina Daza.

Selalu seperti itu: setiap peristiwa, baik atau buruk, selalu mengandung keterkaitan dengan perempuan itu. Pada
malam hari, saat kapal itu membuang sauh dan sebagian besar penumpang berjalan-jalan di geladak dengan putus
asa, ia menyimak novel-novel grafis yang telah ia kenali sepenuh hati di bawah penerangan lampu neon di ruang
makan, satu-satunya ruangan yang dibiarkan terang-benderang hingga fajar tiba. Kisah yang ia baca sering kali
membawa pengaruh magis saat ia mengganti tokoh-tokoh khayalan dengan orang-orang yang ia kenal dalam
kehidupan nyata, membuat dirinya dan Fermina Daza memainkan peranan sepasang kekasih yang terpisahkan.

Pada malam-malam yang lain ia menulis surat-surat penuh kesedihan dan kemudian mencabik-cabiknya, lalu
membuangnya ke dalam arus sungai yang terus mengalir ke arah perempuan itu tanpa pernah berhenti. Saat-saat
paling sulit baginya terkadang muncul dalam sosok seorang pangeran pemalu, atau seorang kekasih gelap yang
coba dilupakan, hingga akhirnya embusan angin mulai bertiup sepoi-sepoi dan ia pun tertidur di atas kursi dekat
tangga.

Pada suatu malam ia selesai membaca lebih awal daripada biasanya dan berjalan menuju kamar kecil. Sebuah pintu
terbuka saat ia melintasi ruang makan, lalu sesosok tangan mirip cakar seekor elang menyambar lengan bajunya
dan menariknya ke dalam sebuah kamar.

Dalam kegelapan ia bisa melihat sesosok tubuh perempuan telanjang. Tubuh muda itu berkilat oleh keringat yang
panas, napasnya terengah-engah. Perempuan itu mendorongnya terbaring menelentang, membuka ikat
pinggangnya, memelorotkan celananya, lalu menduduki tubuhnya seolah-olah sedang menunggang kuda dan
merampas keperjakaannya.

Mereka berdua terperosok ke dalam sebuah gairah yang menyakitkan, ke dalam sebuah lubang tanpa dasar yang
hampa dan beraroma seperti rawa-rawa asin penuh udang. Setelahnya, perempuan itu terbaring sejenak menindih
tubuhnya dengan napas terengah-engah, lalu bergegas pergi dalam kegelapan.Ae Lupakanlah semua ini,ae ujar
perempuan misterius itu sebelum menghilang. Ae Semua ini tak pernah terjadi.ae

Serangan itu terjadi amat cepat dan begitu mendadak sehingga hanya bisa dipahami sebagai sebuah kegiatan
terencana, buah dari sebuah persiapan matang hingga detail paling kecil, bukan sekadar perbuatan tak sengaja yang
disebabkan oleh rasa bosan.

Kesadaran akan hal ini menimbulkan kemarahan dalam diri Florentino Ariza. Rasa nikmat yang baru saja ia alami
menandakan sesuatu yang tak bisa ia percayai, bahkan menolak diakuinya: ternyata khayalan cintanya kepada
Fermina Daza ternyata bisa digusur oleh secuil nafsu duniawi.

Ia merasa penasaran ingin mengetahui siapakah sesungguhnya perempuan dengan naluri seekor macan kumbang
yang telah membawanya pada kenyataan getir itu. Namun, ia tak pernah berhasil.

Semakin gigih ia mencari, kian jauh ia dari kebenaran....

Anda mungkin juga menyukai