SELEPAS GEMPA, pagi itu perasaanku tidak tenang. Ibu
datang menghibur. Tidak ada yang perlu dirisaukan, gempa sudah menjadi fenomena yang lumrah di negeri kita. Namun, meski Ibu berkata begitu, entah mengapa hatiku dirasuk gundah. Sejenak aku terpaku di depan cermin dengan tatapan kosong. Lamunanku buyar kala Kakak menyentuh bahuku.
“Kamu sangat cantik hari ini,” bisiknya dari
belakang. Aku bergeming, menyungging senyum kecil, berusaha menyembuyikan kegalauan. “Pram pasti tertegun melihatmu pagi ini,” lanjut Kakak kemudian. “Setiap hari dia memang begitu,” jawabku sekenanya. Kakak tertawa, tapi tidak berlebihan. “Semoga kamu bahagia, Sayang,” ucap Kakak seraya memelukku dari belakang. Aku kembali diam. Hanya mata ini yang masih tertuju dalam pantulan cermin. Kakak bergerak mengecup lembut pipiku. Seketika rasa haru menyelimuti hatiku. Setelah menunggu bertahun-tahun, hari ini Pram menepati janjinya; dia menikahiku. Pernikahan adalah momen paling besar yang ditunggu-tunggu oleh setiap gadis dalam hidupnya. Tanpa harus kujelaskan pada setiap orang, dari mataku mereka akan tahu betapa bahagianya aku saat ini. “Ayo!” ajak Kak Ira seraya menggandeng tanganku keluar, selepas dia merapikan lipstik di bibirku. Ini adalah hari pernikahanku dengan Pram Ajiseno, lelaki yang kukenal lima tahun lalu di Pelabuhan International Ferri Terminal-Batam, sebuah pelabuhan yang selalu sibuk oleh kapal-kapal yang keluar masuk dermaga. Ketika itu aku hampir saja menabrak seorang lelaki berkulit cokelat di antara kerumunan manusia yang menuruni tangga kapal karena kurang hati-hati. Sesampai di bawah, aku berdiri sejenak sebelum menjauh dari bahtera pengarung samudera itu. Kubalikkan badan, menatap ke arah laut, berdecak kagum akan kemampuan mesin pengarung yang sudah mengantarku dari Singapura kembali ke Indonesia hanya dalam 50 menit. Merasa menghalang pergerakannya, seorang lelaki berbadan tegap memakai jas double breast, tersenyum ramah ke arahku. Dia adalah lelaki yang hampir menubrukku tadi saat akan menuruni tangga. “Bangunan di atas air yang tinggi, akan memaksa kita menengadah dengan takjub,” ujarnya lebih mirip basa-basi. Aku tersenyum, bergeser dari tempatku berdiri memberikan jalan padanya. Namun, dia tidak berusaha melewatiku yang masih berdiri menatap kapal tinggi itu, berdiri serupa perempuan yang sedang mengantarkan kekasihnya. “Kamu suka laut,” lanjut lelaki asing itu bertanya. “Iya,” jawabku. “Aku bahkan menyukai pernak-perniknya. Kapal- kapal yang mengarunginya, juga lampu-lampu yang menghiasi mereka pada malam hari.” “Laut adalah keindahan Tuhan yang penuh misteri, yang paling mendominasi jagat ini,” ujar laki-laki itu dengan gaya sok tahu. “Coba kamu bayangkan bila ia murka kemudian menumpahkan isinya ke daratan, kita semua harus menjadi ikan—bernapas dengan insang kalau tidak! Krrak..! Kita semua akan mati,” ujarnya ngacau. Namun, membayangkan itu membuatku merinding. “Aku tidak takut,” jawabku acuh. “Laut tidak akan murka bila kita bersikap baik dan ramah padanya,” imbuhku. “Hmm.” “Cukup,” sanggahku. Sebelum lelaki itu melanjutkan membual. “Aku mau pergi. Aku tidak mau mendengar ocehanmu lagi.” “Mau ngopi denganku?” Tawarannya membuka lebar kupil mataku pagi itu, lebih lebar daripada perasaan takjup pada kapal laut yang berlabuh di laut sana. “Tidak!” jawabku sebal. Sebuah basa-basi dari seorang asing yang kebanyakan bersikap ramah hanya untuk sekedar menyapa, pikirku. Dan mereka menghilang selepas menawarkan kemudian tak pernah kembali selamanya. Aku menjinjing dua tas-ku kemudian berlalu meninggalkannya dengan berlagak buru-buru. “Bagaimana?” tanyanya lagi, mengejarku dari belakang. “Apanya?” tanyaku acuh. Lelaki asing itu menghadang langkahku, aku menatapnya bengis. “Mau sarapan pagi denganku,” tawarnya lagi. Aku membalas tawarannya dengan senyuman sinis. Dan dia membalas senyum sinisku dengan sebuah senyum manis yang hampir sempurna indahnya. Untuk pertama kali sikap acuhhku runtuh pada seorang asing. Aku menatap wajah rupawan itu sekilas kemudian segera berpaling ke laut seolah-olah aku sudah terbiasa dengan sikap ramah seseorang. Beberapa orang berjalan melewati kami dengan buru-buru. Dengan berlagak keberatan aku menerima tawaran lelaki asing itu. Pagi itu, sembari sarapan aku pun berbincang-bincang dengannya tentang hal-hal yang tidak terlalu penting. Dia memperkenalkan namanya, Pram Ajiseno. Berdarah Jawa-Sunda, berkerja di sebuah perusahaan swasta di Batam. Kemudian aku menyebut namaku dengan anggun. “Cut Liza Artika.” Itu adalah hari pertamaku bertemu dengan Pram, yang kelak menjadi calon suamiku.
SATU SEDAN silver dan tiga mobil lainnya berkilap di
terpa sinar pagi yang cemerlang, menunggu kami di parkiran rumah. Pak Syamaun tersenyum menyambutku di depan mobil. Dia adalah sopir yang telah berkerja pada Ayah sejak aku kecil. Bahkan, dia sudah Ayah anggap bagian dari keluarga besar kami. Aku mengangguk kecil seraya menuruni teras yang licin dengan hati-hati karena barusan dipel. Tidak lama kemudian Ayah dan Ibu ditemani yang lain menyusul dari belakang. Pak Syamaun membuka pintu mobil mempersilahkan aku masuk. Aku menoleh sejenak ke belakang, Kakak tersenyum ke arahku dengan mengangguk. Ibu bergegas mendekat mencium dan memelukku. Entah mengapa ada rasa pilu dalam batin ini kala Ibu memberi selamat untukku seakan-akan ini adalah perpisahan yang panjang. Kalau saja aku tidak berusaha menahan keharuan ini, air mataku sedikit lagi akan terbit dan itu akan merusak make-up-ku. Mobil meluncur ke arah Kota Banda Aceh yang padat. Angin berhembus kencang dari arah laut. Beberapa camar menyeberangi jalan dengan riuh. Aku memalingkan wajah ke belakang mencari mobil Ayah dan Ibu. Kakak ditemani Abang ipar di jok belakang tersenyum ke arahku, seraya mengangguk memberi isyarat tenang. Sebulir keringat dingin menetes dari keningku. Entah mengapa tiba-tiba hati ini gelisah. Deringan telepon membuatku terperanjat. Lekas-lekas aku merongoh tas dan mengeluarkan sebuah ponsel yang sedang menyala. “Assalamualaikum, Sayang!” suara Pram di seberang sana. “Waalaikumsalam.” “Sudah sampai di mana, Sayang?” “Lagi di jalan,” jawabku. “Abang sekeluarga juga akan segera berangkat ke sana, Mesjid Raya” jawabnya. “Kemarin, setiba di Aceh, Paman meminta pada Ibu untuk menginap di rumahnya, di Ulee Lheu. Kami menerima tawaran itu karena tidak baik menolak kemurahannya.” “Hati-hati ya, Sayang!” ucapku. “Iya, Kamu juga!” Terdengar suara Pram dari sana, berakhir dengan salam. Aku dan Pram Sudah setahun lebih tidak bertemu, sebelumnya Pram selalu mengunjungiku setiap ada kesempatan. Namun, akhir-akhir ini kesibukannya semakin bertambah dan aku tidak ingin merepotkanya dengan memaksanya harus selalu menjengukku di Aceh. Semalam dia hampir tidak mau menutup teleponnya karena rindu sudah setahun. Begitu dia beralasan tapi akhirnya dia harus menyerah sebab kami harus beristirahat untuk besok. Belum jauh mobil kami melaju meninggalkan Krueng Kaya, entah dari mana suara gemuruh dan jeritan manusia terdengar. Suara itu laksana keluar dari perut bumi. Seketika jantungku seakan berhenti berdetak. Pak Syamaun beristigfar lirih. Aku menyebut nama Allah dengan lidahku yang hampir kelu. Entah darimana, di depan sana terlihat air tinggi menjulang kokoh menuju ke arah kami, meliat-liat serupa ular raksasa yang sedang mengamuk—menakutkan— kami semua menjerit. Dan, seketika itu serasa berliter-liter air masuk memenuhi paru-paruku. Air itu menggulung kami. Dunia pun menjadi gelap-pekat.
*****
DAUN-DAUN ketapang seluruhnya menguning di
pohonnya yang berdiri lesu. Satu-satu daun itu luruh di terpa angin laut yang sejuk. Sebuah kota kecil terlihat memilukan, porak-poranda serupa kota yang baru dilanda perang dahsyat. Di sana-sini tangisan manusia terdengar lirih dan pedih. Aku terbangun di bawah tenda sempit yang dipenuhi manusia, lalat dan bau busuk. Aku tidak bisa ingat berapa lama sudah aku berada di bawah tenda ini. Ketika terbatuk cairan lumpur yang perih keluar dari mulut dan lubang hidungku. Aku berusaha bangun, namun gagal. Bahu dan kakiku terkulai lemah tanpa bisa kugerakkan. “Agrh,” aku meringis kesakitan. Saat aku menyadari kakiku patah dan terluka serius, aku benar-benar tak berdaya. Dengan keberanian yang tinggal sedikit aku menyisir ruang tenda yang pengap ini dengan mataku yang perih. Aku mendapati beberapa manusia terbaring menyedihkan. Sebagiannya sedang dikerumuni lalat dan sisanya terbungkus plastik kumal. Seluruhnya mengeluh, merintih dalam tangisan pilu. Beberapa orang keluar masuk tenda dengan tatapan putus asa. Mereka seolah-olah sedang mencari sesuatu yang tak kunjung mereka temui selamanya. Hari itu takdir menggores kesan perih, serupa luka yang tidak bisa disembuhkan sepanjang hidup. Sejak hari bencana itu, mataku berubah menjadi sungai yang tidak pernah kering. Air mata ini mengalir deras tiada henti memerihkan mata dan hati. Kini aku hanyalah gadis pesakitan di sebuah kursi roda yang malang. Berhari-hari, aku mencari keluargaku. Aku selalu berharap bisa bertemu mereka kembali, Ayah, Ibu, Kakak seluruh keluargaku. Aku tidak pernah menyerah untuk mencari mereka. Meski kadang hanya air mata ini yang kerap menjadi jawaban—pelampiasan kerinduan. Putus asa kadang menghempasku dalam kerterpurukan kala aku menyaksikan truk-truk besar melaju mengangkut mayat- mayat manusia yang menghitam menuju liang massal. Hari-hari berubah sepi, lirih dan mencekam. Takdir Tuhan telah merubah segalanya. Aku hanya bisa pasrah dan berusaha terlihat tegar sekalipun hati ini menjerit. Bertahun-tahun sudah aku hidup di barak pengungsian. Namun, tidak ada kabar tentang Pram. Aku tidak tahu dia masih hidup atau sebaliknya. Rumahku telah hancur diterjang Tsunami, seluruh keluargaku telah hilang dan hanya aku yang tersisa dalam hidup yang larat. Bila pun Pram masih hidup kurasa dia juga tidak bakal mengenaliku lagi. Terakhir aku menerima kabar, pesisir Ulee lheu telah rata dengan tanah hanya beberapa mesjid kosong yang tersisa. Sekarang apa yang harus kuharapkan dari asa yang hampa ini. Hanya satu tekadku, ketika itu aku harus bangkit dan melupakan semua kenangan masa lalu —seindah apapun itu. Berkumpul dengan keluarga seperti dulu, menikah dengan Pram. Itu hanyalah luka yang harus kumpulkan kemudian aku kubur dalam-dalam.
SEPULUH TAHUN sudah berlalu. Aku telah merelakan
semua, orang-orang yang aku sayangi dan juga mereka yang menyayangiku. Selamat jalan semuanya, Ayah, Ibu, Kakakku, Adik dan Pram. Aku sudah mengihklaskan kalian semua. Semoga kalian tenang di alam sana. Angin bertiup menyapu rumput hijau, mengayunkan dahan kamboja ketika Aku meninggalkan pemakaman massal tempat korban Tsunami disemayamkan. Setiap tahun aku kerap menziarahi kuburan massal ini. Ketika tiba di depan pintu pagar seorang lelaki berkulit cokelat hampir menabrak kursi rodaku. Aku mendongak menatap ke arah lelaki yang berdiri di hadapanku itu. Dia tidak berusaha menghidar untuk melewati. Ketika mata kami bertemu, lidahku kelu dan mataku mulai basah. Dia adalah Pram Ajiseno, kekasih yang hilang bertahun-tahun lalu. Lelaki itu tersungkur di depan kursi rodaku. Dia terisak di sana, di depan sebelah kakiku yang puntung. “Aku sangat merindukanmu,” teriaknya. “Liza! Aku sudah mencarimu bertahun-tahun.” Aku tidak bisa menjawab apa-apa, hanya air mata ini yang kian deras. Saat ini aku hanyalah seorang perempuan cacat. Aku bukanlah Liza yang dia kenal dulu. Dua tahun yang lalu, aku memutuskan menikah dengan laki-laki yang selalu setia mendorong kursi rodaku ini. Yang selama ini merawatku. Dia adalah Pak Syamaun, sopir keluargaku yang dulu, dia juga telah kehilangan seluruh keluarganya. Begitu pejelasanku yang singkat pada Pram. Kemudian kami berlalu meninggalkannya. Kursi roda yang kutumpangi berderik melintasi aspal yang panas. Di situ air mataku berjatuhan tak terbendung. Meskipun aku berusaha tegar, namun di sudut hatiku yang paling dalam ada luka yang kembali menganga, luka ini lebih perih daripada pertama kali takdir memisahkanku dengannya.[]