Anda di halaman 1dari 7

Gadis Kursi Roda

Cerpen: Nasrullah Thaleb

SELEPAS GEMPA, pagi itu perasaanku tidak tenang. Ibu


datang menghibur. Tidak ada yang perlu dirisaukan,
gempa sudah menjadi fenomena yang lumrah di negeri
kita. Namun, meski Ibu berkata begitu, entah mengapa
hatiku dirasuk gundah. Sejenak aku terpaku di depan
cermin dengan tatapan kosong. Lamunanku buyar kala
Kakak menyentuh bahuku.

“Kamu sangat cantik hari ini,” bisiknya dari


belakang.
Aku bergeming, menyungging senyum kecil,
berusaha menyembuyikan kegalauan.
“Pram pasti tertegun melihatmu pagi ini,” lanjut
Kakak kemudian.
“Setiap hari dia memang begitu,” jawabku
sekenanya. Kakak tertawa, tapi tidak berlebihan.
“Semoga kamu bahagia, Sayang,” ucap Kakak
seraya memelukku dari belakang.
Aku kembali diam. Hanya mata ini yang masih
tertuju dalam pantulan cermin. Kakak bergerak mengecup
lembut pipiku. Seketika rasa haru menyelimuti hatiku.
Setelah menunggu bertahun-tahun, hari ini Pram
menepati janjinya; dia menikahiku. Pernikahan adalah
momen paling besar yang ditunggu-tunggu oleh setiap
gadis dalam hidupnya. Tanpa harus kujelaskan pada
setiap orang, dari mataku mereka akan tahu betapa
bahagianya aku saat ini.
“Ayo!” ajak Kak Ira seraya menggandeng
tanganku keluar, selepas dia merapikan lipstik di bibirku.
Ini adalah hari pernikahanku dengan Pram Ajiseno,
lelaki yang kukenal lima tahun lalu di Pelabuhan
International Ferri Terminal-Batam, sebuah
pelabuhan yang selalu sibuk oleh kapal-kapal yang keluar
masuk dermaga.
Ketika itu aku hampir saja menabrak seorang
lelaki berkulit cokelat di antara kerumunan manusia yang
menuruni tangga kapal karena kurang hati-hati. Sesampai
di bawah, aku berdiri sejenak sebelum menjauh dari
bahtera pengarung samudera itu. Kubalikkan badan,
menatap ke arah laut, berdecak kagum akan kemampuan
mesin pengarung yang sudah mengantarku dari Singapura
kembali ke Indonesia hanya dalam 50 menit.
Merasa menghalang pergerakannya, seorang lelaki
berbadan tegap memakai jas double breast, tersenyum
ramah ke arahku. Dia adalah lelaki yang hampir
menubrukku tadi saat akan menuruni tangga.
“Bangunan di atas air yang tinggi, akan memaksa
kita menengadah dengan takjub,” ujarnya lebih mirip
basa-basi.
Aku tersenyum, bergeser dari tempatku berdiri
memberikan jalan padanya. Namun, dia tidak berusaha
melewatiku yang masih berdiri menatap kapal tinggi itu,
berdiri serupa perempuan yang sedang mengantarkan
kekasihnya.
“Kamu suka laut,” lanjut lelaki asing itu bertanya.
“Iya,” jawabku.
“Aku bahkan menyukai pernak-perniknya. Kapal-
kapal yang mengarunginya, juga lampu-lampu yang
menghiasi mereka pada malam hari.”
“Laut adalah keindahan Tuhan yang penuh misteri,
yang paling mendominasi jagat ini,” ujar laki-laki itu
dengan gaya sok tahu.
“Coba kamu bayangkan bila ia murka kemudian
menumpahkan isinya ke daratan, kita semua harus
menjadi ikan—bernapas dengan insang kalau tidak!
Krrak..! Kita semua akan mati,” ujarnya ngacau.
Namun, membayangkan itu membuatku merinding.
“Aku tidak takut,” jawabku acuh.
“Laut tidak akan murka bila kita bersikap baik dan
ramah padanya,” imbuhku.
“Hmm.”
“Cukup,” sanggahku.
Sebelum lelaki itu melanjutkan membual.
“Aku mau pergi. Aku tidak mau mendengar
ocehanmu lagi.”
“Mau ngopi denganku?”
Tawarannya membuka lebar kupil mataku pagi itu,
lebih lebar daripada perasaan takjup pada kapal laut yang
berlabuh di laut sana.
“Tidak!” jawabku sebal.
Sebuah basa-basi dari seorang asing yang
kebanyakan bersikap ramah hanya untuk sekedar
menyapa, pikirku. Dan mereka menghilang selepas
menawarkan kemudian tak pernah kembali selamanya.
Aku menjinjing dua tas-ku kemudian berlalu
meninggalkannya dengan berlagak buru-buru.
“Bagaimana?” tanyanya lagi, mengejarku dari
belakang.
“Apanya?” tanyaku acuh.
Lelaki asing itu menghadang langkahku, aku menatapnya
bengis.
“Mau sarapan pagi denganku,” tawarnya lagi.
Aku membalas tawarannya dengan senyuman sinis.
Dan dia membalas senyum sinisku dengan sebuah
senyum manis yang hampir sempurna indahnya. Untuk
pertama kali sikap acuhhku runtuh pada seorang asing.
Aku menatap wajah rupawan itu sekilas kemudian segera
berpaling ke laut seolah-olah aku sudah terbiasa dengan
sikap ramah seseorang.
Beberapa orang berjalan melewati kami dengan
buru-buru. Dengan berlagak keberatan aku menerima
tawaran lelaki asing itu. Pagi itu, sembari sarapan aku
pun berbincang-bincang dengannya tentang hal-hal yang
tidak terlalu penting. Dia memperkenalkan namanya,
Pram Ajiseno. Berdarah Jawa-Sunda, berkerja di sebuah
perusahaan swasta di Batam.
Kemudian aku menyebut namaku dengan anggun.
“Cut Liza Artika.”
Itu adalah hari pertamaku bertemu dengan Pram,
yang kelak menjadi calon suamiku.

SATU SEDAN silver dan tiga mobil lainnya berkilap di


terpa sinar pagi yang cemerlang, menunggu kami di
parkiran rumah. Pak Syamaun tersenyum menyambutku
di depan mobil. Dia adalah sopir yang telah berkerja pada
Ayah sejak aku kecil. Bahkan, dia sudah Ayah anggap
bagian dari keluarga besar kami.
Aku mengangguk kecil seraya menuruni teras yang
licin dengan hati-hati karena barusan dipel. Tidak lama
kemudian Ayah dan Ibu ditemani yang lain menyusul dari
belakang. Pak Syamaun membuka pintu mobil
mempersilahkan aku masuk. Aku menoleh sejenak ke
belakang, Kakak tersenyum ke arahku dengan
mengangguk. Ibu bergegas mendekat mencium dan
memelukku.
Entah mengapa ada rasa pilu dalam batin ini kala
Ibu memberi selamat untukku seakan-akan ini adalah
perpisahan yang panjang. Kalau saja aku tidak berusaha
menahan keharuan ini, air mataku sedikit lagi akan terbit
dan itu akan merusak make-up-ku.
Mobil meluncur ke arah Kota Banda Aceh yang
padat. Angin berhembus kencang dari arah laut. Beberapa
camar menyeberangi jalan dengan riuh. Aku
memalingkan wajah ke belakang mencari mobil Ayah
dan Ibu. Kakak ditemani Abang ipar di jok belakang
tersenyum ke arahku, seraya mengangguk memberi
isyarat tenang.
Sebulir keringat dingin menetes dari keningku.
Entah mengapa tiba-tiba hati ini gelisah. Deringan
telepon membuatku terperanjat. Lekas-lekas aku
merongoh tas dan mengeluarkan sebuah ponsel yang
sedang menyala.
“Assalamualaikum, Sayang!” suara Pram di
seberang sana.
“Waalaikumsalam.”
“Sudah sampai di mana, Sayang?”
“Lagi di jalan,” jawabku.
“Abang sekeluarga juga akan segera berangkat ke
sana, Mesjid Raya” jawabnya.
“Kemarin, setiba di Aceh, Paman meminta pada
Ibu untuk menginap di rumahnya, di Ulee Lheu. Kami
menerima tawaran itu karena tidak baik menolak
kemurahannya.”
“Hati-hati ya, Sayang!” ucapku.
“Iya, Kamu juga!” Terdengar suara Pram dari sana,
berakhir dengan salam.
Aku dan Pram Sudah setahun lebih tidak bertemu,
sebelumnya Pram selalu mengunjungiku setiap ada
kesempatan. Namun, akhir-akhir ini kesibukannya
semakin bertambah dan aku tidak ingin merepotkanya
dengan memaksanya harus selalu menjengukku di Aceh.
Semalam dia hampir tidak mau menutup teleponnya
karena rindu sudah setahun. Begitu dia beralasan tapi
akhirnya dia harus menyerah sebab kami harus
beristirahat untuk besok.
Belum jauh mobil kami melaju meninggalkan
Krueng Kaya, entah dari mana suara gemuruh dan jeritan
manusia terdengar. Suara itu laksana keluar dari perut
bumi. Seketika jantungku seakan berhenti berdetak. Pak
Syamaun beristigfar lirih. Aku menyebut nama Allah
dengan lidahku yang hampir kelu.
Entah darimana, di depan sana terlihat air tinggi
menjulang kokoh menuju ke arah kami, meliat-liat serupa
ular raksasa yang sedang mengamuk—menakutkan—
kami semua menjerit.
Dan, seketika itu serasa berliter-liter air masuk
memenuhi paru-paruku. Air itu menggulung kami. Dunia
pun menjadi gelap-pekat.

*****

DAUN-DAUN ketapang seluruhnya menguning di


pohonnya yang berdiri lesu. Satu-satu daun itu luruh di
terpa angin laut yang sejuk. Sebuah kota kecil terlihat
memilukan, porak-poranda serupa kota yang baru dilanda
perang dahsyat. Di sana-sini tangisan manusia terdengar
lirih dan pedih.
Aku terbangun di bawah tenda sempit yang
dipenuhi manusia, lalat dan bau busuk. Aku tidak bisa
ingat berapa lama sudah aku berada di bawah tenda ini.
Ketika terbatuk cairan lumpur yang perih keluar dari
mulut dan lubang hidungku. Aku berusaha bangun,
namun gagal. Bahu dan kakiku terkulai lemah tanpa bisa
kugerakkan.
“Agrh,” aku meringis kesakitan.
Saat aku menyadari kakiku patah dan terluka
serius, aku benar-benar tak berdaya. Dengan keberanian
yang tinggal sedikit aku menyisir ruang tenda yang
pengap ini dengan mataku yang perih. Aku mendapati
beberapa manusia terbaring menyedihkan. Sebagiannya
sedang dikerumuni lalat dan sisanya terbungkus plastik
kumal. Seluruhnya mengeluh, merintih dalam tangisan
pilu.
Beberapa orang keluar masuk tenda dengan tatapan
putus asa. Mereka seolah-olah sedang mencari sesuatu
yang tak kunjung mereka temui selamanya. Hari itu
takdir menggores kesan perih, serupa luka yang tidak bisa
disembuhkan sepanjang hidup. Sejak hari bencana itu,
mataku berubah menjadi sungai yang tidak pernah kering.
Air mata ini mengalir deras tiada henti memerihkan mata
dan hati.
Kini aku hanyalah gadis pesakitan di sebuah kursi
roda yang malang. Berhari-hari, aku mencari keluargaku.
Aku selalu berharap bisa bertemu mereka kembali, Ayah,
Ibu, Kakak seluruh keluargaku. Aku tidak pernah
menyerah untuk mencari mereka.
Meski kadang hanya air mata ini yang kerap
menjadi jawaban—pelampiasan kerinduan. Putus asa
kadang menghempasku dalam kerterpurukan kala aku
menyaksikan truk-truk besar melaju mengangkut mayat-
mayat manusia yang menghitam menuju liang massal.
Hari-hari berubah sepi, lirih dan mencekam. Takdir
Tuhan telah merubah segalanya. Aku hanya bisa pasrah
dan berusaha terlihat tegar sekalipun hati ini menjerit.
Bertahun-tahun sudah aku hidup di barak
pengungsian. Namun, tidak ada kabar tentang Pram. Aku
tidak tahu dia masih hidup atau sebaliknya. Rumahku
telah hancur diterjang Tsunami, seluruh keluargaku telah
hilang dan hanya aku yang tersisa dalam hidup yang larat.
Bila pun Pram masih hidup kurasa dia juga tidak bakal
mengenaliku lagi.
Terakhir aku menerima kabar, pesisir Ulee lheu
telah rata dengan tanah hanya beberapa mesjid kosong
yang tersisa. Sekarang apa yang harus kuharapkan dari
asa yang hampa ini. Hanya satu tekadku, ketika itu aku
harus bangkit dan melupakan semua kenangan masa lalu
—seindah apapun itu. Berkumpul dengan keluarga seperti
dulu, menikah dengan Pram. Itu hanyalah luka yang harus
kumpulkan kemudian aku kubur dalam-dalam.

SEPULUH TAHUN sudah berlalu. Aku telah merelakan


semua, orang-orang yang aku sayangi dan juga mereka
yang menyayangiku. Selamat jalan semuanya, Ayah, Ibu,
Kakakku, Adik dan Pram. Aku sudah mengihklaskan
kalian semua. Semoga kalian tenang di alam sana.
Angin bertiup menyapu rumput hijau,
mengayunkan dahan kamboja ketika Aku meninggalkan
pemakaman massal tempat korban Tsunami
disemayamkan. Setiap tahun aku kerap menziarahi
kuburan massal ini.
Ketika tiba di depan pintu pagar seorang lelaki
berkulit cokelat hampir menabrak kursi rodaku. Aku
mendongak menatap ke arah lelaki yang berdiri di
hadapanku itu. Dia tidak berusaha menghidar untuk
melewati. Ketika mata kami bertemu, lidahku kelu dan
mataku mulai basah. Dia adalah Pram Ajiseno, kekasih
yang hilang bertahun-tahun lalu.
Lelaki itu tersungkur di depan kursi rodaku. Dia
terisak di sana, di depan sebelah kakiku yang puntung.
“Aku sangat merindukanmu,” teriaknya. “Liza!
Aku sudah mencarimu bertahun-tahun.”
Aku tidak bisa menjawab apa-apa, hanya air mata
ini yang kian deras. Saat ini aku hanyalah seorang
perempuan cacat. Aku bukanlah Liza yang dia kenal dulu.
Dua tahun yang lalu, aku memutuskan menikah dengan
laki-laki yang selalu setia mendorong kursi rodaku ini.
Yang selama ini merawatku.
Dia adalah Pak Syamaun, sopir keluargaku yang
dulu, dia juga telah kehilangan seluruh keluarganya.
Begitu pejelasanku yang singkat pada Pram. Kemudian
kami berlalu meninggalkannya.
Kursi roda yang kutumpangi berderik melintasi
aspal yang panas. Di situ air mataku berjatuhan tak
terbendung. Meskipun aku berusaha tegar, namun di
sudut hatiku yang paling dalam ada luka yang kembali
menganga, luka ini lebih perih daripada pertama kali
takdir memisahkanku dengannya.[]

Nasrullah Thaleb adalah Ketua Komunitas Sastra


Lhokseumawe (KSL), Aceh.

Anda mungkin juga menyukai