Anda di halaman 1dari 8

CERPEN

Senja di Daratan Rusa

Hidup adalah pilihan.

Apakah benar seperti itu?

Tetapi mengapa aku tidak bisa menentukan pilihan untuk hidupku sendiri?

Aku tidak diberi waktu untuk memilih. Saat hatiku berteriak ingin menjatuhkan pilihan, dengan
ego sekeras baja, waktu memilih bungkam.

Aku hanya gadis biasa, yang memiliki jalan hidup yang rumit. Aku adalah gadis peranakan, yang
mana ayahku adalah seorang pelaut dari tanah jawa, dan ibuku seorang guru daerah
pedalaman Merauke. Asli papua.

Tidak heran dengan rambut keriting dan kulit hitam manis yang aku dapatkan dari gen ibuku,
yang asli putri daerah. Dan aku cukup kecil untuk ukuran masyarakat Papua, tubuh mungil dari
ayahku. Yang entah dimana keberadaannya saat ini. Beliau meninggalkan ibu saat masih
mengandungku, dan hingga senja kini, aku tidak tahu bagaimana sosok ayah kandungku.

Ibu pernah bilang, bahwa tubuh mungil dan iris cokelat mataku, diturunkan dari gen ayahku.
Tapi aku tidak peduli. Yang aku butuhkan bukan fisik yang ada kemiripan dengannya, tetapi
keberadaannya.

Selama hampir sembilan belas tahun sejak aku lahir, sosok ayah tidak pernah hadir dalam
hidupku. Ibu memilih untuk tidak menikah lagi. Beliau hanya terfokus untuk menghidupiku,
tetapi bukan untuk membuatku bermimpi.

Awalnya, aku mengerti mengapa ibu membatasiku dari dunia luar, karena beliau tidak ingin aku
terluka, dan aku masih terlalu muda kala itu. Kini, aku sudah merasa cukup dewasa untuk
menghadapi dunia luar, tetapi ibu masih tetap mengukungku di desa terpencil ini. Dan aku
sudah tidak mengerti lagi dengan alasannya, mengapa.

Di saat semua teman seperjuanganku memilih untuk menuju dunia luar, demi meraih mimpi
mereka. Aku hanya terkungkung disini. Jangankan untuk memperjuangkan dan meraih
mimpiku, untuk bermimpi saja aku tidak bisa.

Kecewa. Sedih. Sesak..

Dan aku memilih untuk bungkam


***

Senja kini.

Aku memilih untuk membisikkan angan pada angin.

Meluapkan tangis dalam diam

Menjerit pilu dalam bisu

Hanya di pelabuhan aku bisa menjadi diriku sendiri. Aku bisa merangkai mimpi walau hanya
setitik debu yang tiada arti. Menunggu datangnya keajaiban. Siapa yang tahu? Akan ada
keajaiban yang ikut bertandang di sebuah kapal pesiar, iya kan?

Senja ini, aku sengaja berkunjung ke pelabuhan, setelah beberapa hari aku menyibukkan diri di
ternak. Aku mendengar kabar, bahwa sore ini akan ada kapal yang masuk dan akan berlabuh
untuk beberapa hari. Aku memang sering berkunjung ke pelabuhan, entah hanya sekedar
membunuh waktu ataupun ada suatu kepentingan. Tentu ibu tidak tahu perihal ini, aku
menyembunyikan kebiasaanku ini dari beliau. Karena kalau ibu tahu, sangat pasti bahwa beliau
akan melarangku. Bukan tanpa alasan sebenarnya.

Teeettt...teeettt...teeeetttt...

Baru beberapa menit aku duduk berselonjor dibibir dermaga, terdengar suara klakson kapal,
atau biasa orang-orang menyebutnya blast. Dari arah kali, yang luas seperti danau di depanku,
aku melihat kapal yang lumayan besar, perlahan mendekat ke bibir dermaga. Sontak aku berdiri
dan melangkah menjauhi bibir dermaga. Akan sangat berbahaya jika aku tetap pada posisiku,
saat ada kapal yang mau masuk dan sandar.

"KMP Muyu"

Aku bergumam, membaca plat nama yang terpasang jelas di deck bagian atas kapal.

Sebelum kapal benar-benar pada posisi sandar di bibir dermaga, sudah banyak masyarakat
pribumi sepertiku, mulai berbondong-bondong mendekati kapal. Entah mereka ingin
menjemput rekan yang berkunjung, menjadi kuli angkut, atau hanya sekedar ingin ikut
meramaikan.

Dalam keadaan terdesak dan terhimpit, aku mencoba untuk melangkah mendekati kapal, juga.
Aku tidak menjemput siapapun, aku tidak menjadi kuli angkut, dan aku juga bukan termasuk
orang yang kurang kerjaan untuk menambah kesesakan di sini. Satu tujuanku, berburu es krim.

Ya seperti itu lah aku jika ada kapal yang masuk ke wilayah ini. Mendengar kabar ada kapal yang
akan masuk, aku akan dengan semangat menunggu di pelabuhan, di temani senja berburu es
krim, dan menghabiskan senja sambil menikmati es krim. Tidak heran, jika sudan banyak anak
buah kapal yang mengenaliku.

***

"Hai patricia!"

"Hai paman Robin!" senyumku merekah, mendapati paman Robin yang telah berdiri di dekat
lemari pendingin, tempat yang didalamnya penuh dengan es krim berbagai rasa.

"seperti biasa, kamu sangat bersemangat jika kami masuk ke daerah sini" paman Robin mulai
membuka pintu lemari pendingin dan memberiku kode untuk mendekat.

"iya, paman sudah sangat tahu tentang itu kan" cengirku.

"es krim vanila stroberi. Seperti biasa, benar?" paman Robin menyodorkan ku satu bungkus es
krim berwarna merah muda.

"tidak paman. Hari ini aku ingin mencoba rasa yang berbeda, boleh kah?"

"tentu, kenapa tidak? Ambillah sendiri"

Mendengarnya, aku dengan perasaan senang mengambil satu bungkus es krim yang berwarna
hijau.

"melon susu?"

"hehe iya paman. Aku sudah merasa bosan dengan rasa vanila stroberi" cengirku memamerkan
lesung pipi, yang membuat senyumanku terlihat lebih manis, begitu yang kebanyakan orang
bilang.
Setelah mendapatkan es krim, aku pamit kepada paman Robin untuk melangkah keluar dari
kapal. Tidak lupa aku berterima kasih padanya dan bertukar kabar sebentar.

Dari apa yang paman Robin beritahukan, kapal ini hanya dua hari berlabuh di pelabuhan Bade.
Entah ada masalah apa sehingga mereka hanya sebentar disini. Itu tandanya, setelah dua hari
kedepan, aku akan menunggu satu bulan lagi untuk bisa menikmati es krim ditemani senja di
pelabuhan ini.

***

Hari semakin larut, dan aku masih betah duduk lebih lama lagi di bibir dermaga. Senja telah
tiada, kini aku hanya ditemani bintang. Aku memilih duduk di sudut dermaga, lumayan jauh dari
kapal yang tengah ramai oleh masyarakat. Aku tidak suka keramaian.

Semakin bertambah usiaku, hidupku semakin monoton saja. Tidak ada gairah untuk menjalani
hari yang selalu sama. Tidak ada alasan untuk tetap bertahan, ingin mengakhiripun rasanya
berat.

Perlahan aku menghembuskan napas, berat. Seakan-akan aku mencoba untuk melepaskan
beban berat yang ku emban sendiri. Ku arahkan pandangan ku ke kapal, orang-orang berangsur
sepi. Pemandangan yang selalu sama.

Baru aku ingin kembali mengalihkan pandanganku ke arah kali, tidak sengaja retinaku
menangkap sosok lelaki asing yang juga tengah melihat kearah ku. Aku memfokuskan
penglihatanku, apakah aku mengenalnya? Ia tersenyum ramah kearahku, sontak aku terkejut.

Ia melambaikan tangan kearahku, seolah-olah ia memberi isyarat, agar aku mendekatinya.

Aku bergeming. Enggan beranjak dari posisi dudukku.

Mungkin terlalu lama menunggu, dan tidak ada tanda bahwa aku akan mendekatinya, akhirnya
ia memilih untuk mendatangiku langsung. Belum sempat aku berdiri untuk menghindarinya, ia
sudah duduk terlebih dahulu di dekatku.

"Hai, Patricia" mendengar ia mengetahui namaku, sontak aku menoleh kearahnya. Saat aku
menoleh, ternyata ia telah menatapku sedari tadi.
Dia.. Tampan. Dan juga manis

***

Kringg...kriinggg...kriiingggg...

Akh!!

Suara itu sangat menggangguku. Mengabaikannya, aku menutup telingaku dengan bantal. Aku
baru bisa tidur pukul 2 dini hari. Semalam, pukul 9 baru aku pulang dari pelabuhan. Tidak
seperti biasanya, sebelum ini, aku selalu pulang pukul 7, setelah senja pergi terlebih dahulu.

Sepulang dari pelabuhan, aku tidak langsung tidur. Aku terus kepikiran tentang lelaki yang ku
temui semalam. Lelaki tampan yang memiliki senyum semanis madu, Thalib. Thalib merupakan
anak buah kapal transfer, yang artinya, ia hanya sementara bekerja di KMP Muyu. Mengingat
itu, entah mengapa membuatku resah.

Pagi ini adalah hari yang berbeda. Jika di hari-hari sebelumnya aku akan langsung menuju
ternak setelah sarapan, maka pagi ini tujuanku adalah pelabuhan, lagi. Setelah sebelumnya
bersiap-siap dan sarapan, aku bergegas menuju halaman rumah untuk mengambil sepeda butut
kesayanganku di dalam gudang di sudut halaman. Pagi ini aku tidak bertemu ibu. Tadi, pagi-pagi
sekali, ibu pergi ke distrik sebelah, ada tugas katanya, dan aku tidak begitu peduli.

Aku mengayuh sepeda butut kesayanganku dengan perasaan riang, baru kali ini aku merasa
sangat bersemangat untuk bertemu seseorang, apa lagi seorang pria. Iya, kemarin malam,
Thalib mengajakku untuk bertemu pagi ini. Ia ingin mengajakku berkeliling di dalam kapal,
karena dari apa yang ku beritahu, aku tidak pernah betul-betul naik ke kapal, hanya sekedar
berburu es krim, dan menghabiskannya di bibir dermaga.

"Hei, Patricia!"

Belum masuk aku melewati gerbang pelabuhan, ku lihat Thalib telah menunggu di bibir
dermaga. Dengan lebih semangat, aku berlari ke arahnya, setelah ku parkirkan sepeda bututku
di dekat pos penjaga.

"hei, hei.. Pelan-pelan, kamu begitu bersemangat sekali" kekehnya sembari menepuk
punggungku begitu aku sampai dan mencoba mengatur ritme jantungku.
Aku sangat bersemangat, sampai aku lupa bahwa aku tidak boleh berlari seperti tadi. Dan
karena itulah, saat ini dadaku terasa sakit sekali. Aku mencoba mengatur nafas pelan-pelan,
dan mengusap dadaku secara perlahan.

Tarik...lepas..

Tarik...lepas...

Huftt akhrinya..

"apakah kamu baik-baik saja?" tanya Thalib, dapat ku lihat kernyitan halus di jidatnya. Apakah
ia khawatir padaku?

"y..ya, aku baik-baik saja"

Rasanya aneh. Baru kali ini merasakan perasaan senang, saat ada pria yang begitu
menghawatirkanku. Sebelum ini, aku tidak pernah benar-benar dekat dengan siapa-pun.
Sepertinya, aku mulai menyukainya :)

***

"apakah kamu senang hari ini, Patricia?"

"ya. Aku sangat senang, Thalib. Belum pernah sesenang ini." jawabku dengan senyuman yang
tak pernah hilang dari bibirku. Tanpa malu, aku memandang wajahnya yang begitu menawan
terpapar cahaya matahari di senja kini.

Aku sangat senang, bahagia.

Tidak pernah ada seorang-pun yang menemaniku menghabiskan senja-ku di pelabuhan ini. Dan
ini adalah untuk yang pertama kalinya, dengannya. Thalib, pria yang aku sukai di pertemuan
keduaku hari ini.

"aku juga senang, Patricia" berkata seperti itu sambil memandang ke arahku, membuat
wajahku panas seketika. Jantungku berdegup begitu keras. Ada apa ini? Apakah aku kambuh?

"apa yang membuat mu senang, Thalib?" kami saling menatap satu sama lain, moment yang
begitu indah ditemani senja, yang terasa masih ingin lebih lama menemani ku dengan pria
tampan nan manis ini.

"kamu"
Ya Tuhan..

Ritme detakan jantungku semakin menggila. Perasaan apa ini? Aku benar-benar terharu dengan
ucapannya. Cepat, aku mengalihkan pandanganku. Perasaanku semakin gila.

Begitu cepat aku merasakan perasaan melambung akan ucapannya, sepersekian detik, aku juga
merasakan perasaan sakit di hatiku, sesak. Bukan, aku tidak kambuh. Rasanya seperti sebuah
tamparan kenyataan yang begitu keras.

"tidak, Thalib" aku mulai merasakan mataku yang memanas, aku menahan desakan air mata
yang ingin keluar.

"apa maksudmu, Patricia?"

"k..ka..kamu.. Apakah kamu menyukaiku?" apa maksud ucapanmu, Patricia!? Apakah aku sudah
gila, menanyakan sesuatu yang kemungkinan kebenerannya sangat kecil. Aku sadar, perasaan
ini tidak bisa aku lanjutkan.

"hum.. Ya aku menyukaimu, Patricia. Mungkin ini terlalu cepat. Tapi aku bersungguh-sungguh,
Patricia" ujarnya begitu yakin. Aku terkejut, sungguh. Tapi aku juga merasa bimbang akan hal
ini.

"tidak seharusnya itu terjadi. Kamu tahu sendiri alasannya, Thalib"

"ya aku tahu betul itu, Patricia. Tapi, apakah kamu tidak ingin ikut bersamaku?"

'aku mau, sangat mau!' aku hanya mampu menjawabnya dalam hati. Karena aku tahu, hal
tersebut tidak sepatutnya terjadi.

Aku hanya diam membisu menatapnya, mengapa senja terasa begitu lama?

"mungkin menurutmu aku sudah gila, Patricia. Mengajakmu untuk ikut denganku, padahal aku
tahu betul kamu tidak akan bisa. Kamu lahir dan dibesarkan di sini. Ras kita berbeda, agama
juga. Aku juga sebenarnya merasa bingung dengan perasaanku sendiri, tapi aku yakin bahwa
aku benar-benar mencintaimu, Patricia. Dan aku-pun yakin, kamu juga begitu kan?" aku
mencoba mencari kebohongan dalam ucapannya, tidak ada sama sekali. Bahkan matanya-pun
memancarkan kejujuran.

"satu hal yang harus kamu ketahui, Thalib. Aku juga mencintaimu. Tapi, aku tidak bisa berharap
lebih dari itu. Takdirku berada disini. Seperti uacapanmu, aku lahir dan dibesarkan disini.
Perbedaan diantara kita, sudah cukup sebagai bukti jarak diantara kita. Mungkin benar,
perasaan yang hadir diantara kita hadir terlalu cepat, dan itu terlalu dini bila diartikan sebagai
'cinta'." aku sudah tidak mampu menahan air mataku lebih lama lagi. Aku menangis dalam
diam.

"apakah tidak ada kesempatan untukku, Patricia?" suaranya terdengar seperti orang yang
tengah berputus asa. Ia mencoba mendekatiku, lebih dekat lagi. Sontak aku berdiri dan
mencoba menghapus air mata di pipiku.

"perasaan itu terlalu cepat timbul, Thalib. Jadi ku rasa, ia akan begitu cepat tenggelam, juga.
Maaf. Aku harus pergi." setelah mengucapkannya, aku membalikkan tubuhku dan berlari
sekuat yang aku bisa.

Perasaan ini sangat gila. Sangat berat meninggalkannya, tapi aku tidak bisa untuk tetap berada
di sisinya. Mengetahui akan perasaan yang sama diantara aku dengan Thalib, membuatku
teringat akan ibuku. Ya, ibu. Aku ingat betul, ibu pernah berada di posisiku saat ini. Dari apa
yang pernah nenek ceritakan padaku, sebelum pada akhirnya ia meninggalkanku di dunia ini.
Ibu, yang dulunya gadis penyayang, bertemu dengan sosok pria yang bernotabene sebagai
seorang kapten kapal pada zamannya, ayah kandungku. Mereka tidak benar-benar menikah,
hanya ada perasaan cinta diantara keduanya. Hingga pada akhirnya, ibu hamil. Dan ayah
memilih untuk meninggalkan ibu dalam keadaan mengandungku. Meninggalkan ibu tanpa
adanya salam perpisahan, hanya karena perbedaan ras dan agama.

Dan kini, hal tersebut terjadi lagi padaku. Tapi bedanya, aku tidak benar-benar sebodoh itu
akan perasaan cinta. Aku lebih memilih untuk melepas dan membiarkan perasaan itu akan
hilang dengan sendirinya. Aku tidak ingin, hanya karena cinta, aku akan menyesal nantinya.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai