Anda di halaman 1dari 122

THE SACRED HOUSE

Ditulis oleh Suwoko Saiyan

Genre: Horor, Misteri, Petualangan, Remaja.

Total bagian: 12 bagian (1 Prolog, 10 Bab, 1 epilog).


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Berkat rahmat dan rida-
Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan novel bergenre horor ini.

Tidak lupa penulis ucapkan banyak terima kasih kepada seluruh teman,
sahabat, dan keluarga yang telah mendukung proses pengetikan naskah hingga selesai.
Tanpa dukungan mereka, karya ini mungkin masih terbengkalai dan akan terbuang
sia-sia.

Penulis sadar, dalam penyusunan novel ini masih banyak kesalahan dalam
kepenulisan maupun saltik yang mungkin mengganggu. Namun, saya berharap hal
tersebut tidak akan mengurangi rasa dalam membaca novel ini.

Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih dan selamat membaca.

Blitar, Sabtu, 29 September 2018

Suwoko Saiyan
SINOPSIS

Tahun 1996 di desa Sidojaya, telah terjadi tragedi kecil yang kemudian
memakan korban bernama Pak Joyo (45). Beliau dituduh oleh para tetangganya telah
memelihara tuyul untuk mencuri uang mereka. Pak Joyo sempat mengelak namun
tetangganya yang sudah marah tak dapat berpikir jernih. Mereka lalu membakar
rumah beserta Pak Joyo bersamaan. Hingga Pak Joyo mati mengenaskan dan
meninggalkan istri serta satu putranya yang masih kecil.

Satu tahun setelah kejadian itu, tanah bekas rumah Pak Joyo dibangun sebuah
gedung lantai dua tempat maksiat. 1 tahun berdiri, pada tahun 1998 awal, pemilik
gedung itu mati secara mengenaskan. Banyak yang berspekulasi bawah kematiannya
akibat dibunuh oleh arwah penunggu tanah itu, namun polisi berkata ia mati karena
murni bunuh diri.

Desa sidojaya yang sebelumnya sudah terkenal angker pun kini tambah
mencekam. Nyaris setiap hari teror terjadi entah itu siang maupun malam, bahkan
dapat dipastikan setiap satu minggu sekali pasti ada yang meninggal secara tragis.
Hingga puncaknya, seluruh penduduk yang sudah merasa tak aman pun memilih
pindah ke luar kota. Sampai kemudian desa itu menjadi desa mati tanpa penghuni.

***

Tahun 2015, Wawan (15) menemukan koran keluaran tahun 1998 yang berisi
tentang kematian pengusaha bisnis haram di desa Sidojaya. Kemudian memberitahu
keempat sahabatnya —Bayu(15), Ratih (15), Rio (15), dan Sari (15)— untuk
berkunjung ke desa Sidojaya demi menyelesaikan tugas mengarang aktivitas sewaktu
liburan yang disuruh Pak Budi(30) —guru Wawan dkk). Awalnya mereka menolak,
namun akhirnya sepakat untuk berangkat.

Sampai di desa Sidojaya. Mereka malah dikejutkan oleh serangan dari


makhluk aneh yang kemudian menyeka kelimanya ke sebuah ruangan kecil yang
gelap. Setelah sadar mereka berdiskusi singkat dan menyimpulkan bahwa ada dalang
di balik semua ini. Mereka lalu mencoba keluar lewat pintu yang terkunci, hingga
akhirnya jebol saat pocong tiba-tiba sudah berada di antara mereka.
Mereka jadi kalang kabut melarikan diri hingga terpisah dua sama lain.
Wawan dengan Ratih serta Bayu dengan Rio, sementara Sari hilang. Setelah berputar-
putar mereka akhirnya bertemu lagi dan keluar. Ternyata mereka disekap di rumah
sakral ujung jalan desa Sidojaya.

Sari datang dari dalam hutan, ia tampak linglung seperti orang kesurupan.
Diam lalu pingsan mendadak. Karena bingung, keempatnya langsung tancap gas dan
pulang. Tanpa disadari seorang wanita tengah mengawasi.

Pulang. Sampai di rumah mereka kena omelan kecuali Sari yang tak sadarkan
diri. Keeseokan harinya Wawan, Rio, Bayu dan Ratih berdiskusi mengenai Sari yang
bertingkah aneh. Rasanya dia bukanlah Sari yang asli.

Malamnya saat hujan lebat mendera Sari datang ke rumah Wawan. Tanpa
sepatah kata pun Sari langsung memojokan Wawan dan menggoda remaja itu di atas
ranjang. Namun, akhirnya berhasil dihentikan oleh Kakung (60) yang tiba-tiba
muncul. Ia langsung mengusir Sari yang sebenarnya bukanlah Sari yang asli,
melainkan jelmaan dari makhluk bernama genderuwo. Kehebohan terjadi saat Kakung
terserempet sepeda motor akibat mengejar genderuwo yang lari itu.

Mengetahui Sari kemungkinan masih ada di dalam rumah sakral, Wawan dkk
berencana untuk menyusul ke sana. Sebelum berangkat, Kakung memberikan sebuah
kalung dengan bandul batu hitam kepada Wawan. Lalu mereka berangkat.

Mereka kembali ke desa itu dengan tekad dan keberanian yang kuat.
Keempatnya langsung menerobos masuk ke dalam rumah sakral. Namun, langkah
mereka dihentikan oleh serangan makhluk-makhluk aneh dan berhasil menangkap
remaja-remaja itu kecuali Wawan. Ia diselamatka oleh sosok ghaib dan diundang ke
ruang Jiwa dan Kebenaran. Di sana Wawan banyak mendapat Wejangan oleh pria
misterius berjubah putih. Wawan mendapat hadiah kalung olehnya. Lalu Wawan
kembali tersadar dan menemukan dirinya seperti baru saja tidur dan bermimpi aneh.
Namun, antara percaya atau tidak kalung dari pemberian pria dalam mimpinya benar-
benar nyata. Ia juga membuang kalung pemberian Kakung yang dianggap berbahaya.

Wawan kembali beraksi untuk mencari empat sahabatnya yang disekap.


Berputar-putar di rumah sakral itu dengan sesekali bertahan setelah dapat serangan
dari makhluk mengerikan. Akhirnya Wawan menemukan mereka yang akan
dieksekusi oleh makhluk Kuyang. Wawan segera melempar palu di tangan hingga
mengenai Kuyang itu. Terjadi pertarungan kecil antara Wawan dan Kuyang hingga
berakhir dengan kekalahan Wawan. Rio dan Wawan kembali terpojok.

Di sisi lain, Pak Kardi (35)—Bapaknya Wawan— yang mengetahui bahwa


Wawan kembali ke desa angker untuk mencari Sari pun menyusul. Namun, nahasnya
beliau malah mengalami kecelakaan setelah dikejar hantu di jalanan hutan. Akan
tetapi ia sempat diselamatkan oleh roh utusan Pak Joyo dan dirasuki.

Pak Kardi kemudian sampai di rumah sakral. Ia langsung menghentikan


perkelahian antara Bayu (yang dirasuki) melawan Rio (sadar). Sementara Wawan
yang lemas setelah kalah melawan Kuyang cukup diam bersandar di tembok.

Pak Kardi yang dirasuki oleh arwah Pak Joyo pun berdebat dengan wanita
kuyang yang merupakan istri Pak Joyo, Tiyem (60). Sampai kemudian perdebatan itu
berakhir, Tiyem sadar ia telah melakukan kesalahan. Arwah Pak Joyo lalu keluar dari
tubuh Pak Kardi yang langsung ambruk.

Wawan yang penasaran akan masalah ini kemudian diseret ke ruang Jiwa dan
Kebanaran lagi. Di sana ia bertemu dengan Pak Joyo, pria misterius berjubah putih.
Seluruh kebenaran diungkapkan oleh Pak Joyo kepada Wawan. Semuanya tentang
masa lalu Tiyem dan Desa Sidojaya ini, bahkan kematiannya. Setelah dirasa sudah
cukup. Pak Joyo dengan dekapan hangatnya memulangkan Wawan. Saat tersadar
remaja itu sudah ada di kamarnya sendiri.

SELESAI
PROLOG

Tahun 1996

Bayangan gelap menutupi setiap sisi langit desa. Gumul awan kelabu juga
sudah siap menghujam bumi dengan air. Suara hewan malam bernyanyi ria
menyambut datangnya hujan yang sebentar lagi akan turun.

Angin dingin mengembus pelan melewati celah-celah dinding kayu rumah


bergaya joglo besar itu. Sentuhan hawa dinginnya mampu membuat setiap insan
bergidik, tak terkecuali seorang Pria setengah baya berpakaian gamis serta serban
putih yang melingkar di atas kepala itu.

Usai menunaikan ibadah kepada Yang Maha Kuasa, bibir Pria itu tak hentinya
merapalkan bacaan-bacaan Al Qur'an dengan lantunan nada-nada lembut. Tak terasa
rapalannya yang begitu merdu dapat didengar oleh dua orang yang berada di kamar.
Membuat anak laki-laki dan sang istri tersenyum tipis menikmati setiap lantunan
indah menentramkan jiwa.

Suasana malam yang tenang dan damai. Bulan sabit bersinar tak begitu terang
menghiasi langit malam. Di bawahnya, mendung hitam tipis merangkak menutupi
sinar pucat sang rembulan.

Perlahan tetapi pasti bumi menjadi sedikit gelap. Hewan malam semakin
lantang menyanyi menyambut datangnya air suci karunia Tuhan itu, tak terkecuali
suara rongrongan kodok sawah yang menggema bersahutan dan paling mendominasi
alunan orkestra alam. Malam yang ramai, tetapi menyejukan hati. Namun, semuanya
berubah saat suara derap puluhan langkah pasang kaki serta bisikan-bisikan ramai
membuyarkan hewan malam itu bernyanyi. Suaranya semakin mendekat.

Pria berserban menyudahi bacaannya lalu berdiri dan berjalan menuju ke


dinding kayu. Netra tuanya menelisik ke luar lewat celah-celah kecil. Dari jauh dan
semakin mendekat, tampak samar puluhan manusia dengan obor di tangan mereka
masing-masing. Tak ada yang asing dari wajah dan penampilan mereka, karena yah
memang tetangga.

Pria itu tertegun untuk sesaat dan mencoba mencari tahu ada masalah apa
hingga menimbulkan keributan di malam yang tenang ini.

“Ada apa toh, Pak. Kok di luar ramai begitu?” Seorang wanita paruh baya
keluar dari balik kelambu dengan seorang anak lak-laki di gendongan.

Pak Joyo menggelengkan kepala. “Tidak tau. Ayo kita pastikan aja.”

Pak Joyo segera enyah. Lelaki paruh baya itu khawatir kalau hal ini masih ada
kaitan dengan keluarganya.

Bukan tanpa alasan pak Joyo curiga. Belakangan ini beberapa tetangganya ada
yang menatap dengan sorot mematikan. Bahkan sapaan ramah pak Joyo pun tak
dipedulikan. Ibu-ibu berbadan gembrot yang disapanya malah mempercepat langkah
menjauh. Ada yang aneh? Bahkan pria yang dikenal sangat taat agama itu tidak
pernah tahu apa alasannya.

Setelah agak lama, suara percakapan yang terdengar ramai tadi akhirnya
sampai juga di tujuan. Puluhan warga itu berhenti tepat di beranda rumah bergaya
joglo magrong-magrong(1) dengan cat hijau yang melindungi dinding kayu tersebut.
Jika dilihat dari bukit hutan angker selatan timur desa Sidojaya, rumah pak Joyo
tampak lebih menonjol dibandingkan dengan rumah-rumah warga lain yang
cenderung lebih sederhana dan kecil. Bukan hanya karena besarnya, tempat yang agak
jauh dari jejeran rumah lain membuat rumah pak Joyo semakin kelihatan berbeda
sendiri, berdiri di antara sawah lebar dengan tanaman padinya yang mulai menguning.

"Pak Joyo!" seru salah seorang Pria dewasa dengan wajah penuh amarah.
Obor yang dipegang di tangan kirinya seakan menggambarkan emosi yang meluap
dan berkobar tak karuan.

Tergopoh-gopoh dengan langkah yang agak dipercepat, seorang Pria dewasa


dengan pakaian gamis dan seorang wanita yang tengah menggendong seorang anak
laki-laki, muncul dari balik pintu rumah yang sudah terkepung. Wajah pasutri itu

1Megah atau besar.


menatap puluhan orang tersebut satu persatu dan dibalas sorot mata tajam dengan raut
muka tak bersahabat.

"Ada apa toh, Pak, Buk. Malam-malam begini datang ramai-ramai? Apa ada
yang kemalingan?" tanya pak Joyo berusaha berbasa-basi. Namun, mereka malah
semakin tajam menatapnya. Sebagian bahkan mulai berbisik-bisik lagi dan sesekali
mencuri pandang ke arahnya dengan mata yang jelas menggambarkan kebencian.

"Halah, nggak usah berlagak sok tidak tahu! Sampeyan(2) kan, yang
memelihara tuyul untuk mencuri semua uang-uang kami?!" tuduh seorang Pria
dengan bersungut-sungut. Dia berdiri tak jauh dari muka Pak Joyo. Tatapan matanya
lebih tajam dari yang lainnya. Wajah dengan kulit gelap menambah kesan garang
yang menakutkan.

Pak Joyo menghela napas getir, mencoba menenangkan diri dengan mengelus
dada. Ternyata ini alasan mereka menjauhinya belakangan ini. Isu tentang uang hilang
kemalingan bangsa jin bernama tuyul ternyata disasarkan kepadanya. Sungguh
mengejutkan memang.

"Astaghfirullah, demi Allah, Pak Rudi! demi Allah! Suamiku tidak


memelihara tuyul seperti yang sampeyan tuduhkan," ujar istri Pak Joyo membela diri.
Ia tak bisa diam saja mendengar tuduhan omong kosong itu.

Mendengar ibunya yang berbicara dengan nada tinggi, bocah laki-laki dalam
dekapan semakin menguatkan genggaman. Dia bisa merasakan tubuh ibunya sedikit
bergetar dan napas yang memburu menahan amarah.

"Halah! Nggak usah mengelak lagi, Tiyem! sudah jelas kok.” Kini seorang
wanita paruh baya berbadan tambun menimpali. Tiyem sangat mengenali wanita
bernama Katinah, istrinya Pak Rudi. Dikenal sebagai sang pembawa kayu bakar dan
hobi bergosip.

"Jelas apanya?!" tanya Tiyem lagi bersungut-sungut menahan emosi. Ingin


rasanya menggetok kepala wanita yang lebih dewasa darinya itu dengan gayung.
Mulutnya memang gak bisa dijaga kalau bicara.

2Kamu
"Banyak uang warga yang hilang dicuri sejak beberapa hari ke belakang. Kata
mbah dukun Slamet, duit kami digondol tuyulnya sampeyan," jelas wanita tambun itu
tak mau kalah. "Apalagi lihat, ini rumahmu gede, kalau tidak dengan bantuan tuyul-
tuyulmu itu, terus siapa lagi? Iya tidak?!"

"Nah, benar itu! Sudah, nggak salah pokoknya!” sorak para warga yang
terdengar seperti racauan lebah. Berdengung tidak jelas.

Pak Joyo dan istrinya terdiam, mereka saling pandang. Tiyem melihat
suaminya tersenyum kecut seraya menggelengkan kepalanya pelan. Bibirnya keluh
menerima setiap tuduhan aneh ini. Mereka telah difitnah.

"Saya bisa menjelaskan kenapa saya bisa punya rumah yang besar. Kami tidak
pernah memelihara dedemit(3) tuyul seperti yang sampeyan semua tuduhkan." Pak
Joyo angkat bicara membuat puluhan tetangganya itu langsung diam. "Saya dapat
membangun rumah joglo sebesar ini, ya, karena hasil dari sawah. Hasil penjualan
padi-padi itu kami tabung dan saat sudah banyak kami gunakan untuk membangun
rumah ini."

Para warga saling pandang satu sama lain, mereka kembali berbisik-bisik
setelah mendengar penjelasan pak Joyo. Melihat hal itu, Pak Rudi dan Istrinya saling
tatap muka, lalu Katinah mengedipkan mata seperti memberikan kode ke arah
suaminya.

Pak Rudi menghela napas. Ia memutar tubuh dan menghadap warga di


belakangnya. Memandangi mereka sebentar lalu angkat bicara, "Kalian percaya
begitu saja dengan mereka berdua? Ingat! Maling ngaku, penjara penuh!"

Pak Joyo dan Tiyem saling bertukar pandang, apa maksud perkataan pak Rudi
itu. Seakan gentol sekali menuduh hingga apa pun alasannya seakan hanya bualan.

"Benar apa kata Rudi." Sebuah suara terdengar dari balik kegelapan. Lamat-
lamat seorang pria tua berpakaian serba hitam berjalan mendekati kerumunan. Wajah
yang tentu bagi mereka semua sangat kenal.

"Mbah Slamet," gumam pak Rudi seraya tersenyum sinis.

3Setan atau Jin yang jahat.


"Joyo berbohong! Dia sebenarnya memelihara tuyul tapi tidak mau mengaku!"
Lantang pria tua itu berteriak dengan tangan yang menunjuk-nunjuk ke arah pak Joyo
dan Tiyem di teras.

Warga seperti diyakinkan kembali oleh omongan dukun yang dikenal sakti
dan tak pernah meleset dalam menebak itu. Semuanya kembali bersorak penuh
amarah.

"Sampeyan sudah membohongi kami, Joyo!" Pak Rudi yang berada di garis
depan meninggikan suaranya. Ia kemudian mengangkat obor di tangannya dan
bersorak, "Ayo kita bakar saja rumah ini!"

Tunggu, apa?! Mereka sudah gila!

Pak Rudi melemparkan obor yang dari tadi dia genggam tepat ke arah Pak
Joyo. Seketika, pria dengan garis tua itu terjatuh. Tiyem tak tinggal diam, dia segera
membantu suaminya untuk berdiri. Namun, tak disangka sebuah tangan menariknya
dengan paksa dan membuat ia serta anaknya terjungkal ke tanah. Orang itu Katinah
yang memang sedari tadi sudah sangat ingin sekali menganiaya Tiyem.

"Ayo kalian semua! Lempar obor kalian! Bakar saja rumah ini!" teriak Mbah
Slamet penuh semangat. Warga tanpa pikir panjang lagi melemparkan obor di
genggaman ke arah rumah pak Joyo.

Sementara, Pak Joyo tak bisa melakukan apa-apa. Setelah terkena lemparan
obor itu, dia terjatuh, tubuhnya yang mulai menua tak mampu menahan rasa sakit ini.

Dengan beramai-ramai, satu persatu obor dilemparkan ke arah rumah pak


Joyo. Tiyem dan anaknya diseret oleh Katinah ke tempat yang agak jauh dari teras,
mereka kemudian dijeburkan ke sawah dengan air semata kaki. Tawa langsung pecah
melihat kedua orang itu belepotan dengan lumpur.

Tiyem hanya mampu menangis sebisanya, begitupun sang putra di pelukan.


Mereka tak cukup tenaga hanya untuk menyerang balik. Kenapa nasibnya bisa sesial
ini ya Gusti.

Sementara itu, api semakin membesar melalap rumah yang hampir seluruhnya
terbuat dari kayu jati. Seorang Pria setengah baya tanpa tenaga yang cukup hanya
sekadar untuk berdiri saja, tergeletak tak berdaya seraya merasakan panas yang
perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya. Samar tetapi pasti, dia bisa mendengar sorak
sorai penuh kemenangan. Hingga kemudian gelap yang hanya terlihat dan dengungan
yang menyumbat telinga. Meninggalkan sebuah duka yang tak pernah terbayangkan
sebelumnya. Pak Joyo, yang tak mengerti apa-apa harus tertidur untuk waktu yang
lama.

Mendung telah menutupi bumi sepenuhnya menghalau sinar pucat sang


rembulan. Rinai hujan perlahan mulai membasahi tanah bersamaan dengan jerit tangis
kedua insan yang kini harus menelan pil pahit. Kehilangan dua hal yang sangat
berharga dalam hidup mereka secara bersamaan. Tangis mereka meraung-raung
memecah hening malam itu. Semakin lama, hujan menelan suara mereka.

Akibat tragedi itu sebuah dendam menjadi alasan dibalik tragedi-tragedi


selanjutnya. Apakah dendam itu akan lenyap dimakan waktu? Atau malah abadi
selamanya di dunia fana ini? Menjadi misteri. Tanpa mereka sadari, segurat senyum
dari salah satu warga memberikan arti tak pasti yang akan menghantarkan
kebenarannya.

***

BAB 1 - TUGAS SEKOLAH


Saat ini, tahun 2015.

Koran keluaran tahun 1998.

Seorang pria pengusaha di desa bernama Sidojaya dilaporkan tewas


mengenaskan. Dikabarkan, meninggalnya akibat terjatuh dari lantai dua bangunan
tempat dia berbisnis. Menurut penyelidikan polisi, pria malang tersebut melakukan
tindakan bunuh diri dengan cara meloncat dari lantai dua hingga akhirnya tewas
setelah kepalanya menghantam bebatuan di tanah.

Namun, warga sekitar sepertinya tidak percaya begitu saja dengan alasan
bunuh diri tersebut. Mereka meyakini bahwa pengusaha bisnis haram itu telah
dibunuh oleh arwah Penunggu yang merasa terganggu dengan kebisingan musik
diskotik, serta kegiatan asusila lainnya.

Hal ini mungkin ada benarnya. Konon gedung besar yang ada di ujung jalan
desa Sidojaya tersebut merupakan lahan bekas kebakaran rumah dua tahun silam
yang memakan korban seluruh penghuninya. Setelah tragedi nahas itu, banyak
misteri-misteri yang cukup mengerikan menghantui para penduduk desa Sidojaya.

...

***

Seorang remaja bertubuh jangkung dan cungkring, berlari dengan tergesa


gesa. Dia tak peduli jika ruangan ini terlalu sesak dengan benda-benda perabot. Yang
pasti, ia harus segera sampai di ruang tamu dan menunjukan hasil penemuannya ini.

Di tangannya tergenggam kertas usang yang tergulung. Mata berbinar bak


telah menemukan harta karun berupa emas sepeti penuh.

"Woe! Coba lihat ini! Coba tebak apa yang sudah kutemukan!?"
Keempat remaja yang duduk santai mengelilingi meja, menatap remaja
energik itu dengan tatapan aneh. Ya, aneh. Melihat dia memegang sebuah kertas
usang tergulung yang entah apa itu isinya dan menyeringai puas.

"Apaan itu, Wan?" Bayu, remaja paling tambun angkat bicara. Dari cara
bicaranya ia cukup bosan. Sementara Wawan tetap mempertahankan senyumnya
dengan bangga.

"Ditanya kok malah mesam-mesem koyo wong gendeng anyaran(4)," ucap Rio
ketus dengan bahasa Jawa Timuran yang kental. Ia menyilangkan tangannya di dada
lalu mengalihkan pandangan ke arah lain. Bosan.

"Iya nih," sahut Ratih masih dengan tatapan heran. Gadis itu sesekali
membenahi rambutnya yang tersapu angin dari luar lewat jendela yang terbuka.

Sementara satu gadis lainnya yang mengenakan kacamata hanya mengangguk


membenarkan perkataan Ratih. Namanya Sari.

"Santai, Guys!" sahut Wawan sembari menarik kursi di samping Rio lalu
duduk. "Aku baru saja menemukan sebuah benda yang sangat berharga, benda yang
nantinya dapat membuat kita nggak bakalan dihukum sama Pak Budi!" jelas Wawan
dengan senangnya.

"Beneran?" Sari yang sejak tadi diam kini unjuk suara seraya membenarkan
kacamatanya. Mendengar pernyataan Wawan ia jadi sedikit bersemangat. Pasalnya,
mereka berlima berkumpul di sini karena ingin membicarakan tugas kelompok dari
guru SMP bahasa Indonesia mereka. Membuat karangan cerita semasa liburan.
Namun, berjam-jam mereka di sini tak kunjung menemukan jawabannya. Pernyataan
Wawan merupakan titik terang di dalam kebuntuan ini.

"Yaps," ujar Wawan dan tersenyum lebar ke arah Sari.

Gadis itu semakin bersemangat.

"Halah, mbelgedes(5) paling juga HOAX!" gerutu Rio dengan nada tak
percaya.

4Ditanya kok malah senyam-senyum seperti orang gila baru.


5Omong kosong.
"Ya sudah, terserah kamu! Yang penting kalian mau ikutan 'kan?" tanya
Wawan tiba-tiba membuat keempat temannya kembali dibuat bingung. Mereka saling
bertukar pandang.

"Ikut kemana, Wan? Dari tadi kamu kan belum memberi tahu semuanya, cuma
datang-datang dari gudang Kakungmu terus ke sini dengan wajah semringah kaya
orang gila baru." Ratih menghela napas kesal.

Wawan menepuk jidatnya sendiri dengan kasar. Saking senangnya ia sampai


lupa kalau belum menunjukan isi kertas yang ditemukannya tadi.

Bergegas ia membeber kertas itu ke atas meja. Mengganjalnya di setiap sisi


agar tak menggulung.

"Nah, ke sini loh tujuan kita untuk mengisi tugas liburan dari pak Budi." Jari
telunjuk Wawan mengarah ke sebuah artikel di koran itu. Tajuknya tertulis dengan
bahasa Indonesia yang tintanya mulai pudar akibat debu dan usia.

"MISTERI KEMATIAN SEORANG PENGUSAHA BISNIS PROSTISTUSI


DESA SIDOJAYA," ucap mereka berempat serempak, sementara Wawan melipat
tangan ke dada dan terus tersenyum, entahlah itu senyum jenis apa. Mungkin bisa
dibilang senyuman over proud(6).

Setelah selesai membaca tajuk di koran itu, mereka terdiam. Entahlah,


mungkin masih bingung ingin menanggapi apa. Membaca nama desa yang dimaksud
saja sudah cukup untuk membuat bulu kuduk mereka berdiri.

Bagaimana tidak, sejarah kelam desa mati tersebut membuat sebagian orang
enggan untuk membicarakannya apalagi mendatanginya. Sungguh konyol.

Banyak mitos yang beredar dan berkembang di tengah masyarakat tentang


keangkeran desa Sidojaya itu. Kematian masal pernah terjadi di sana, bahkan
penyebabnya hingga kini pun masih menjadi misteri. Konon, semua itu berawal satu
bulan setelah tragedi kebakaran rumah salah satu penduduk desa itu.

Penyakit aneh, penampakan hantu sinden, warga yang kesurupan masal,


hingga kematian tragis, adalah segelintir kasus mengerikan yang pernah terjadi di

6Bangga berlebihan.
sana. Bahkan, pihak kepolisian pun memilih angkat tangan jika ditawari untuk
menangani kasus di sana.

Menurut saksi mata seorang pria yang pernah tinggal di desa angker itu saat
diwawancarai wartawan koran lokal berkata, kalau dirinya pernah melihat sesosok
wanita cantik dengan pakaian mirip sinden. Biasanya tampak berputar-putar di sisa
rumah di ujung jalan itu. Dia meyakini kalau sosok tersebut merupakan arwah
penasaran yang beberapa tahun lalu pernah menjadi korban pembunuhan setelah
diperkosa oleh sekelompok orang mabuk.

Akhirnya, desa Sidojaya perlahan mulai ditinggalkan oleh penduduknya. Satu


persatu dari mereka yang diselimuti ketakutan setiap harinya memilih untuk pindah ke
luar kota. Jadilah kini desa tersebut tak memiliki penghuni, dan disebut-sebut sebagai
desa mati yang mematikan. Banyak orang yang mewanti-wanti siapapun untuk tidak
mendekati, atau bahkan masuk ke kawasan desa Sidojaya. Terlalu berbahaya.

Wawan bergidik mengingat kisah Urban Legend(7) yang mengerikan itu.


Sebuah kisah nyata yang pernah terjadi di tahun 90-an dan masih populer hingga
sekarang.

Namun, di balik ketakutan seseorang, pasti ada rasa penasaran tingkat tinggi
yang juga menyertainya. Tak dapat dimungkiri, remaja cungkring tersebut sebenarnya
sudah lama ingin menjejaki desa Sidojaya yang terkenal angker itu. Ia ingin
merasakan sendiri bagaimana sensasi hawa mistis yang katanya sangat kental di sana.
Apakah memang semenyeramkan cerita-cerita yang telah beredar, atau malah
hanyalah desa kosong biasa saja? Dia sangat penasaran.

Maka dari itu, ini adalah kesempatan yang sangat bagus. Tugas dari Ppak Budi
bisa menjadi alasan meski dirinya tahu meyakinkan mereka untuk ikut itu sulit.
Apalagi saat melihat raut wajah mereka yang pucat seketika.

"Jadi, bagaimana?" tanya Wawan memecah hening.

Mereka tetap bergeming, mungkin keempat sahabatnya itu juga teringat


dengan kisah legenda urban itu pastinya, lalu mereka ketakutan, pikir Wawan. Dia
malah tersenyum geli.

7 Legenda Urban
Masih hening. Wawan menunggu jawaban seraya menyangga kepalanya
dengan tangan kiri, dan jari tangan kanannya mengetuk-ketuk meja dengan pelan. Dia
tak ingin mengambil keputusan sendiri. Setidaknya, ada kata mufakat dari lima
sekawan ini. Jika tidak, maka dengan terpaksa ia harus membatalkannya. Kecewa itu
pasti.

Salah satu dari mereka mulai bereaksi. Ratih mengangkat kepala dan menatap
mata Wawan. Seketika ia dapat melihat binar penuh harap di pupil mata remaja
cungkring itu.

"Tapi ... risikonya terlalu tinggi, Wan. Apa tidak apa-apa?" tanya Ratih dengan
nada getir, takut.

Remaja cungkring itu menghela napas panjang, sedikit kecewa mendengar itu.
Dia tahu itu merupakan penolakan. Tentu saja teman-temannya tak ingin melakukan
ekspedisi ini karena memang cukup berisiko. Kemungkinan mereka akan kena
ceramah sepanjang hari dari kedua orang tua masing-masing. Bahkan, bisa saja
Wawan kena tampol bapaknya sendiri yang terkenal cukup galak. Namun, egonya
mengatakan kalau ini akan baik-baik saja.

"Entahlah, jika kalian tak mau, juga tidak apa-apa. Toh, kita juga bisa
mengarang tugas itu, bukan?" kata Wawan yang terdengar dipaksakan.

"Aku memang penakut, Wan. Tapi, entah mengapa ada rasa penasaran yang
tiba-tiba mengganjal di dalam kepala. Entahlah, aku sendiri juga ragu. Tapi, ini juga
bisa menjadi pengalaman berharga ketimbang cuma mengarang," ucap Rio dengan
nada lebih serius dari biasanya yang hanya suka menyela. Tiba-tiba dia juga merasa
seperti ada dorongan untuk pergi ke sana, desa Sidojaya.

"Ya, Kau benar. Memang ini akan menjadi pengalaman yang tak akan
terlupakan. Jadi ...." Wawan tak ingin melanjutkan kata-katanya, biar mereka saja
yang melanjutkan.

"Aku tak yakin kalau orang tua kita akan setuju kalau kita ke sana," ucap Sari
menyela pembicaraan. Ia menatap Wawan dan Rio bergantian. Ekspresi takut tak bisa
disembunyikan gadis berambut hitam sebahu itu.
"Tak apa, kita bisa berbohong, kan?" Bayu angkat bicara. Dia berdiri dan
membusungkan dada, ya mungkin pamer, tetapi bagaimanapun juga lemak di
tubuhnya tak bisa berbohong. Tidak gagah sama sekali.

"Nah, kau benar!" Wawan menepuk bokong Bayu dengan keras hingga si
tambun sedikit terkejut. Bayu hanya membalas dengan tatapan tajam ke arah Wawan.
Kemudian mereka cekikikan menahan tawa.

"Tapi ...." Sari menundukkan kepalanya. Ia tak ingin berdebat. Ia teringat kata-
kata ibunya, jika ragu lebih baik tidak usah dilakukan. Dan saat ini, gadis itu ragu dan
sangatlah ragu.

"Tenanglah, Sari. Aku pasti akan menjamin kesalamatanmu.” Bayu kembali


mengajukan usul seraya tersenyum lebar. Ia semakin bergaya bak pendekar yang siap
melindungi seorang putri mahkota. Sok drama!

Sari tersenyum simpul mendengar kata Bayu dan mencoba untuk


menyembunyikan rasa takutnya. Ia tak ingin mengecewakan teman-temannya,
setidaknya untuk kali ini saja.

"Baiklah, bagaimana kalau kita ambil suara saja? Yang ikut boleh, yang tak
ingin ikut juga boleh." Wawan mengajukan tangannya di atas meja. "Ayo."

Rio, Bayu dan Ratih mengikuti gerakan Wawan dan menumpuk tangan
mereka. Tapi, satu di antara mereka tak segera melakukannya.

"Sari, jika kamu ragu, tak apa-apa," ucap Wawan. Ia dapat melihat ekspresi
ragu bercampur ketakutan di wajah Sari. Gadis itu sesekali membenarkan kacamata,
mencoba 'tuk menghalau rasa ragu yang mengguncang dirinya.

Namun, secara tiba-tiba Sari menumpukan tangannya ke atas tangan teman-


teman lainnya. Dia ikut?!

Wawan dan yang lainnya tersenyum lebar, meski tahu bahwa Sari pasti sangat
terpaksa. Tampak dari keringat dingin di tangannya yang juga agak bergetar.

"Yosh!(8) Kita akan pergi ke desa mistis itu!" teriak Wawan antusias sekali
yang disambut sorakan yang lain.

8Baiklah!
"Woe! Jangan teriak-teriak! Ganggu orang tidur siang aja!" Sebuah teriakan
dari kamar, mungkin bapaknya Wawan yang sedang tidur.

Seketika mereka terdiam mematung.

Ups, hehe ....

***

Tiga kendaraan beroda dua melaju santai melewati jalan makadam yang rusak
dan licin. Sesekali salah satu dari ketiga motor bebek itu hampir terjerembap karena
sulitnya jalan. Namun, setelah hampir setengah jam mereka berjuang melewati,
akhirnya sampai juga di depan gapura selamat datang.

Selamat Datang di Desa Sidojaya

Tulisan berlumut itu terpampang jelas di atas papan melengkung puncak


gapura. Kelima sahabat tadi kemudian turun dari kendaraan. Lalu Wawan, Bayu dan
Rio memakirkan motornya masing-masing ke gardu rusak di samping gapura.

Setelah kemarin mereka merembukan soal rencana ini, akhirnya terlaksana


juga. Terpaksa mereka berbohong kepada orang tua masing-masing karena jika
berkata yang sebenarnya pasti tidak diperbolehkan pergi. Maka dari itu keberangkatan
ini pun mereka hanya izin untuk liburan ke tempat wisata alam.p

Lalu dengan tas berisi perlengkapan yang dibutuhkan, mereka berangkat ke


sini. Tempatnya sepi, singklu orang jawa bilang. Ditambah lagi dengan aura tidak
mengenakan yang langsung menyambut mereka.

Deretan bangunan rumah bergaya joglo klasik yang berjajar di kanan kiri jalan
utama tampak sudah rusak. Hanya ada beberapa rumah saja yang masih terlihat bagus
dari sisi luar.

"Kok dingin, ya, padahal matahari sudah hampir meninggi," gumam Bayu
yang kontan membuat keempat temannya menoleh ke arah dia.
"Lah, hangat kayak gini kok dibilang dingin," sahut Rio dengan nada dingin
bahkan mungkin melebihi dingin yang dirasakan oleh Bayu.

Bayu menghela napas gusar dan menyipitkan matanya kesal. Namun, rasa
dingin kian membekukan tubuhnya. Ia kemudian mencoba saling menggosokan kedua
telapak tangannya, berharap agar tubuhnya terasa lebih hangat. Namun, tampaknya
tak terlalu berpengaruh. Dingin yang aneh.

Mereka —Wawan, Ratih, Rio, Sari, dan Bayu, berjalan santai menelusuri jalan
makadam ini. Tak ada yang istimewa sejak mereka menginjakan kaki di desa
Sidojaya. Hanya sensasi aura-aura tak mengenakan saja yang lebih dominan terasa
agak mengganggu.

Hingga tiba-tiba langkah mereka terhenti. Saling pandang dan lalu menilik ke
sekitar. mata mereka mencoba menerawang ke sebuah rumah megah dengan cat putih
kusam di ujung jalan. Bangunannya lebih besar dan tak seperti bangunan rumah
lainnya yang bergaya joglo sederhana. Bangunan itu lebih mirip seperti sekolahan,
tetapi lebih kecil dengan balkon menghadap ke luar desa. Nyaris seperti desain rumah
orang Eropa.

"Wah, inikah tempat tragedi itu terjadi," gumam Wawan, membuat teman-
temannya sedikit bergidik ngeri. "Sari, kamu bawa pulpen dan buku, 'kan?"

Mendengar pertanyaan itu, gadis berambut hitam sebahu yang dipanggil


segera menggeledah isi tasnya. Setelah dapat, ia mengeluarkan sebuah pulpen hitam
dan buku diary(9) yang masih kosong.

Kegiatan ini sudah siap diabadikan dalam tulisan. Sekali lagi Wawan
memandangi satu persatu dari mereka yang masing-masing membawa tas punggung.
Menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya dengan kasar.

"Baiklah. Kita akan mencoba memasuki rumah itu sekarang. Dan kamu, Sari.
Nanti kamulah yang bakalan menulis semua petualangan yang akan kita lewati," jelas
Wawan dengan senyum di akhir kata. "Oh ya, Rio. Kamu bawa senter 'kan?"

Rio mengeluarkan lima buah senter kecil dari dalam tasnya. Sebenarnya
remaja berkulit gelap itu penasaran dengan benda yang satu ini. Mengapa ia harus

9 Buku harian
membawa senter, sedangkan hari masih terlalu pagi menjelang siang untuk
menggunakan penerangan. Ini masih terlalu terang.

"Buat apa, Wan, senter ini? Toh, kita kan nggak bakal lama di sini." Rio
mengalungkan lagi tasnya ke punggung. Wawan hanya tersenyum mendengar
pertanyaan Rio.

"Iya, bener kata Rio, kita nggak bakal lama kan di sini. Lagi pula sekarang
juga masih jam sembilan, masih pagi," Ratih menimpali.

"Iya, kalian benar, kita memang tak akan lama di desa ini, tapi…," Wawan tak
melanjutkan perkataannya.

"Tapi apa, Wan?"

"Tapi kita tidak tau apa yang akan terjadi, bukan?" jelas Wawan, "lebih baik
sedia payung sebelum hujan. Mempersiapkan segalanya jika hal buruk datang tiba-
tiba."

"Hush! Jangan ngomong yang aneh-aneh gitu!" Ratih bersungut-sungut.


Terlihat sekali ia mulai merasa takut.

"Sudahlah, kita mulai saja ekspedisi ini. Sari, kamu jangan lupa mencatat
seluruh kegiatan kita ini, ya!" Wawan tak lupa untuk mengingatkannya sekali lagi
pada Sari. Ya, dialah satu-satunya orang yang dapat menulis diksi dengan baik di
antara kelima sahabat ini.

"Baiklah–" Belum sempat Wawan melanjutkan perkataannya sebuah suara


mengejutkan mereka.

Kletak!

Kelima remaja itu terdiam seketika. Terdengar ada suara ranting diinjak tak
jauh dari arah mereka berdiri.

Mereka mengalihkan pandangan ke sebuah rumah bergaya joglo bercat hijau


di samping jalan ini. Rumahnya masih tampak bagus, hanya beberapa saja atap yang
bolong serta rumput liar yang melilit pilar dan dinding kayu.

Mereka tetap bergeming, sampai bunyi kedua terdengar.


Kletak!

"Wan!" Sari yang biasanya berdiam kini mulai menunjukan ketakutannya.


Namun, bukan hanya gadis berkacamata itu saja, keempat temannya yang lain juga
merasakan hal yang sama.

Wawan memicingkan matanya dan menajamkan pendengaran. Aneh jika ada


suara ranting diinjak dan tak ada orang lain di balik rumah itu. Namun, mana mungkin
ada ranting di dalam rumah. Mungkinkah itu kayu yang diinjak oleh hewan?

Pikiran Wawan berkecamuk hebat, berdebat dengan angan tanpa dasar yang
jelas, hanya asumsi dari orang yang sedikit ketakutan. Ya, dia sebenarnya takut.

"Ayo, kita lihat apa itu," ajak Wawan tiba-tiba. Bahkan, ia sendiri tak sadar
telah mengucapkan kalimat itu. Namun, entah dari mana asalnya, sebuah energi
keberanian menghinggap di tubuhnya.

Bayu dan Rio mengikuti langkah Wawan, meninggalkan Ratih dan Sari di
jalan makadam.

"Ka-kalian di-di situ aja dulu ... Brrr."

"Kamu kenapa sih, Bay? Kaya gemeter gitu." Ratih memicingkan mata yang
membuat Bayu serasa terintimidasi.

"Udah kubilang, kan, aku kedinginan ba-banget. Emang kalian gak merasa
dingin?"

Ratih dan Sari menggelengkan kepala bersamaan.

"Terserah." Bayu melengos pergi menyusul Wawan dan Rio. Sementara itu
Ratih dan Sari saling pandang dengan tatapan heran.

Bayu, Rio dan Wawan. Mereka bertiga memasuki beranda rumah joglo tua itu.
Kembali menelusuri ke sekitar hingga kemudian Wawan membuka pintunya.

"Assalamualaikum." Langkah mereka tampak menahan rasa takut.

"Hachi!"  Bayu tiba-tiba bersin dan mengagetkan Wawan dan Rio.

"Kamu ini kenapa sih, Bayu?!" Rio berteriak.


"Adem, Su!" sergah Bayu cepat.

Wawan juga heran, kenapa Bayu kaya kedinginan begitu. Apalagi saat ia
berbicara, mulutnya mengeluarkan asap persis seperti orang kedinginan karena hawa
dingin.

"Udahlah. Ayo masuk," ajak Wawan menghentikan perdebatan mereka.

Akhirnya mereka sampai di dalam. Ruangan yang sangat berantakan dan


sungguh berbeda jika tampak dari luar. Meja serta kursi kayu yang hancur dimakan
rayap serta tanaman liar yang berhasil masuk melilit apa saja. Serta beberapa genteng
hancur karena jatuh. Semburat cahaya matahari tampak mencorong dari lubang di
atap yang tak tertutupi genteng.

Ketiganya berjalan santai menelusuri ke dalam rumah itu. Tak ada yang aneh,
bahkan tak ada apa pun sebagai jawaban dari kasus suara tadi. Namun, yang pasti
ketiga remaja itu merasakan ada sentuhan-sentuhan lembut di lehernya. Seketika
mereka bergidik ngeri.

"Tak ada apa-apa di sini," ucap Rio memecah keheningan. Bayu dan Wawan
menatapnya lalu mengangguk pelan.

"Ayo kita ke,” belum sempat Bayu menyelesaikan perkataannya, suara jeritan
terdengar melengking dari luar. Jelas saja ketiga remaja laki-laki itu terkejut bukan
kepalang. Ketiganya cepat-cepat berlari ke luar. Dan apa yang mereka lihat sungguh
mencengangkan. Dua sosok bayangan hitam menahan tubuh Ratih dan Sari. Mereka
tertunduk lesu, mungkin sudah pingsan.

Bergegas ketiganya berlari ke arah dua gadis itu. Namun, sebuah tangan
berhasil mencekik ketiganya bersamaan. Cekikan itu sangat kuat sampai-sampai
mereka sulit bernapas. Semakin lama, semakin kuat, hingga sebuah bayangan gelap
perlahan mulai menutupi mata.

Namun, sebelum bayangan gelap itu berhasil menutupi seluruh pandangan,


sekilas Wawan melihat seorang wanita tua tersenyum menyeringai ke arahnya. Ia
bahkan mendengar suara kekehan Nenek itu meski lirih. Siapa dia?
Wawan berusaha menggapai sosok itu, sayangnya gelap terlebih dulu
menutupi pandangan. Tak ada yang tahu apa yang terjadi selanjutnya. Apakah mereka
mati, atau mereka beruntung dan masih hidup?

***

BAB 2 - TEROR DIMULAI


Secercah cahaya perlahan menerobos masuk ke mata. Bersamaan dengan itu,
terasa sebuah goyangan kecil yang mulai menyadarkan dirinya. Tak terlalu jelas, ia
bisa melihat ada sesuatu yang bergerak-gerak di depannya.

"Wan, woe! Bangun!" sahut Rio terdengar samar-samar dan berdengung di


telinga Wawan.

Remaja jangkung itu berusaha membuka kelopak matanya yang masih terasa
lengket. Tubuhnya lesu untuk diajak bergerak cepat. Perlahan tetapi pasti, akhirnya
dia dapat melihat keempat temannya tengah duduk berjejer di kanan-kirinya.

"Di mana kita?" tanya Wawan lirih sembari menyendarkan tubuhnya ke


dinding bercat putih pucat di belakang. Tangannya berusaha mengucek mata yang
terasa agak perih.

Mereka saling bertukar pandang, seakan seperti kode tak resmi untuk
menunjuk orang lain yang menjawabnya.

"Tidak tahu." Akhirnya Ratih yang angkat bicara, meski jawaban itu terdengar
tidak memiliki makna apa pun. "Saat terbangun, kita sudah berada di ruangan ini,"
lanjutnya.

Rio, Bayu dan Sari cukup mengangguk mengiyakan pernyataan Ratih.

Benar, saat tersadar mereka sudah berada di dalam sebuah ruangan yang tak
terlalu besar ini. Ruangan kosong yang hanya ada papan dan balok kayu kecil yang
berserakan di lantaiserta bohlam lampu yang menggantung di atas sana dan tidak
menyala. Andai saja tak ada cahaya senter, mungkin hanya gelap yang tampak di
pelupuk mata.

Wawan mencoba mengingat kembali apa yang terjadi sebelumnya. Namun,


semakin keras berusaha ia ingat-ingat, terasa pening kepala dan jawaban seakan
enggan untuk memihak. Akan tetapi, setidaknya Wawan masih ingat sedikit kejadian
yang berlangsung begitu cepat itu sebelum kemudian menjadi gelap gulita.

"Sialan! Siapa sih sebenarnya yang menyekap kita di sini?" umpat Rio
sekenanya.
"Setahuku hantu tak akan bisa menangkap manusia, 'kan?!" timpal Bayu,
geram.

Mereka berdua lanjut berceloteh tak jelas, macam ibu-ibu yang sedang
bergosip. Sementara Ratih, Sari dan Wawan hanya saling bertukar pandang. Sebelum
kemudian entah siapa yang memulai duluan, tawa ketiganya pecah. Kini gantian Rio
dan Bayu yang heran dan memasang muka masam.

"Sudah, sudah! Kita gak akan bisa tau kalau cuma ngedumel kaya gitu," ucap
Wawan masih mencoba menahan tawannya. Rio langsung mendengkus kasar dan
memalingkan wajahnya ke arah lain.

Tawa mereka kemudian terhenti. Ratih meraih senter yang dipegang oleh Rio.
Kemudian berdiri dan mengarahkan cahaya senter ke segala arah, menyapu kegelapan
dan berharap menemukan sesuatu yang berguna.

"Hei!"

Sari menoleh ke arah Wawan, tidak, tetapi semuanya.

"Sebenarnya apa yang telah terjadi tadi? Kenapa kalian berdua tiba-tiba
ditangkap oleh sosok mengerikan itu?"

Sari mengalihkan tatapannya, dan menengok ke arah Ratih. Gadis itu seakan
tau arti tatapan Sari, lalu memilih untuk ikut duduk di lantai lagi. Mereka kemudian
duduk melingkari senter yang dihadapkan ke atas agar terangnya merata.

Wawan masih menunggu jawaban, begitu pun dengan si tambun, Bayu dan si
tukang kritik, Rio. Karena yang mereka tahu, tiba-tiba saja kedua gadis itu berteriak
dan saat dilihat sudah dalam keadaan pingsan dalam dekapan makhluk mengerikan
berwujud seperti malaikat maut itu.

"Aku sendiri tidak tahu persis bagaimana kejadiannya, tiba-tiba saja aku dan
Sari didekap dari belakang.

"Entah karena apa, aku langsung merasa pusing dan akhirnya tak sadarkan
diri, tau-tau saat bangun sudah ada di sini. Rio yang membangunkanku." Gadis
bertubuh semampai itu menoleh ke arah Rio. Sementara remaja berkulit gelap
berambut agak ikal itu tetap dalam ekspresi datar.
"Begitu ya, kalau kamu, Sari. Apa kamu merasakan hal lain?" tanya Wawan
bergantian.

Gadis berkacamata itu mengetuk-ketuk kepala pelan seraya berusaha


mengingat-ingat kembali kejadiannya.

"Aku sudah agak lupa tapi … sepertinya aku mendengar sesuatu sebelum
akhirnya kami didekap dari belakang."

Spontan keempat sahabatnya menjadi antusias.

"Kamu mendengar apa, Sar?!" tanya Bayu dengan tiba-tiba meloncat ke


samping gadis itu, membuat Sari hampir terjatuh akibat kaget.

Pletak! Sebuah pukulan mendarat di kepala Bayu. Dia langsung menoleh ke


arah pelakunya, dan memasang muka masam.

"Bisa kalem, gak?!" Suara yang terdengar lebih menyeramkan dan seperti ada
efek api yang berkobar di belakang Ratih.

Bayu menelan ludah, lalu dengan gerakan perlahan ia meringkuk di pojokan.

Sari hanya tertawa kecil melihat tingkah kedua temannya itu, meski dalam
keadaan seperti ini, mereka sepertinya gak terlalu terpengaruh. Mungkin satu-satunya
yang paling ketakutan di sini hanya dirinya saja. Gadis itu membenarkan kacamatanya
lagi, lalu menghela napas pelan.

"Jadi, apa yang kamu dengar, Sar?" tanya Wawan lagi agar kembali ke
percakapan utama.

"Oh ya, soal itu ... aku tidak terlalu mengingatnya. Saat kalian bertiga masuk
ke rumah itu, kami di luar sedang berbincang mengenai dingin yang dirasakan oleh
Bayu."

Bayu mendongakkan kepalanya mendengar namanya disebut. Namun, saat


melihat kilatan di mata Ratih, dia kembali meringkuk dan membenamkan kepala di
antara kaki.

"Saat itulah, aku mendengar seperti ada suara seorang nenek-nenek agak serak
dan lirih. Suara itu seperti sedang mengusir kami.” Sari mengedarkan pandangannya.
"Terdengar seperti berbunyi, 'pergilah, atau kau akan mendapatkan akibatnya
....', begitu. Namun, aku tidak terlalu memedulikannya dan terus berbincang dengan
Ratih yang mungkin tidak mendengarnya?" Gadis itu menoleh ke arah Ratih,
bertanya.

"Eh, ya. A-aku memang tidak mendengarnya sama sekali ... hehe," ucap Ratih
sedikit tergagap dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Entah apa alasannya.

"Wuuu! Gak peka!" celoteh Bayu masih dengan posisi menelungkupnya.


Sebuah sandal terbang mengenai kepalanya.

Pletak! Aduh! Bayu mengangkat kepalanya, dan mendapati Ratih tampak


bersungut-sungut dengan efek api yang semakin berkobar.

"APA!?" jerit Ratih dengan penekanan kata yang tinggi. Bayu buru-buru
menyembunyikan kepalanya lagi.

"Sudah, sudah! Gak usah ribut," pinta Wawan agar mereka lekas berhenti.
Namun, seperti tidak akan berhasil. Mengingat Bayu adalah tipe yang jahil, dan Ratih
yang agak keras kepala dan pemarah.

"Sekarang kita fokus di permasalahan ini saja. Seperti yang kamu ceritakan,
Sari. Aku tiba-tiba mengingat sesuatu—"

"Kamu ingat sesuatu, apa itu?!" potong Rio cepat sangat tidak sabar. Wawan
menatap Rio dengan kasar seraya mendengus kesal. lalu melanjutkan.

"Seorang nenek!" kata Wawan, singkat, padat dan jelas, tetapi itu menurutnya
saja. Sorot mata heran langsung mengarah kepadanya.

"Seorang Nenek? Apa maksudmu?" Rio memicingkan mata tak mengerti.

"Ada apa dengan nenek, Wan?" tanya Ratih juga.

"Ya, benar, seorang Nenek. Aku memang melihatnya, meski tidak begitu
jelas," ucap Wawan lagi masih meninggalkan rasa penasaran di benak temannya.

"Apa sih, Wan? Kalau ngomong itu yang jelas dong!" sergah Ratih lagi.
"Sebelum pingsan, aku melihatnya! Ya, dia adalah sosok wanita tua yang
tengah menyeringai ke arahku. Mungkinkah dia dalang di balik semua ini?" jelas
Wawan.

Ia yakin dan masih tersimpan dalam memori otaknya terakhir kali sebelum ia
pingsan sepenuhnya. Tubuhnya didekap oleh sosok seperti penggambaran malaikat
maut berjubah hitam, berkepala tengkorak dan mata api menyala. Namun, yang paling
mencolok ada seorang wanita tua yang berada di sana sambil menyeringai lebar.
Mulutnya seperti sedang mengucapkan sesuatu, sayangnya Wawan tak bisa membaca
gerak bibir waktu itu. Lagipula, telinganya berdengung keras sekali.

Ratih mengerutkan dahi, ia masih bingung dengan yang dikatakan Wawan,


dan mungkin yang lainnya juga masih bingung. Seorang nenek, siapa dia?

"Maksudmu, yang menculik kita ini adalah seorang nenek-nenek, gitu?" tanya
Rio yang selalu tak bisa percaya begitu saja.

"Mendengar dari alasan Sari dan Wawan barusan, apa itu belum cukup bukti?"
terang Ratih.

Rio menghela napas. Lalu memilih diam saja.

"Yang terpenting kita tak perlu berlama-lama di tempat ini. Kita harus segera
keluar dari sini," ucap Wawan seraya berdiri dan diikuti oleh keempat sahabatnya itu.

"Tadi aku melihat pintu di sana." Ratih mengarahkan senter ke sebuah pintu
yang sepertinya terkunci.

"Yosh, ayo kita ke sana!"

Pintu itu ternyata memang terkunci, dan mereka harus memaksanya terbuka.
Dengan kasar Wawan menghantamkan tubuhnya ke pintu itu, berkali-kali ia mencoba
tetapi pintu itu tetap bergeming. Terlalu kuat, sampai lengannya yang sebagai
tumpuan terasa agak sakit.

"Minggir, Wan! Biar kucoba." Rio yang memiliki postur tubuh lebih besar
ganti mencoba mendobrak pintu itu. Namun, hasilnya tetap sama. Pintu kayu itu
sangat kokoh seperti terbuat dari besi.
"Ah sialan! Kuat sekali pintu ini!" gerutu Rio. Ia terus mencoba menabrakan
tubuhnya ke pintu kayu tersebut meski tak ada perubahan hasil.

Hingga tiba-tiba serbuan angin dingin menusuk tubuh terasa begitu mencekat.
Hawa tak mengenakan juga terasa begitu mengganggu. Bersamaan dengan itu,
bebauan anyir dan busuk menjadi perpaduan yang menyiksa indra penciuman.

"Bau apaan nih?" Bayu yang berdiri di paling belakang bergumam.

"Siapa yang kentut sembarangan ini?!" teriak Rio dengan nada kesal. Ia
menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke belakang.

Deg!

"Bukan aku," ucap Bayu segera membela diri.

Namun, sepertinya Rio tak memedulikan itu. Matanya tertuju pada arah lain di
belakang Bayu. Keringat dingin langsung terasa membasahi kepalanya.

Rio diam terpaku dengan mata melotot tak berkedip dan mulut menganga.
Wawan, Ratih, Bayu dan Sari kaget melihat ekspresi Rio yang mematung seketika.
Ada apa?

"Apaan sih, Rio? Gak lucu tau!" Ratih melotot tajam ke arah Rio, tetapi Rio
tak memedulikan hal itu.

Remaja berbadan besar itu hanya diam, perlahan tangannya mulai bergerak
dengan kaku. Dengan tangan yang bergetar ia menunjuk sesuatu di belakang mereka.
keempatnya—Wawan, Ratih, Sari, dan Bayu, menoleh ke mana arah Rio menunjuk.

Glek!

"SETAN!" Bersamaan kelima remaja itu berteriak dengan sangat lantang.

Bagaimana tidak, sosok yang tak diundang tiba-tiba bergabung di antara


mereka. Tersenyum menyeringai menampakan gigi-gigi runcing nan tajam dan wajah
hancur berwarna hitam serta mata berdarah yang hampir copot dan terbungkus rapi di
kafan yang sudah lusuh dan kotor karena tanah.
Entah kekuatan dari mana. Pintu kayu yang sedari tadi tak dapat di hancurkan,
kini sudah jebol berantakan. Berdesakan kelima remaja itu berlarian ke segala arah
bak kumpulan semut yang kejatuhan daun jalurnya. Bingung ingin menyelamatkan
diri masing-masing, padahal pocong itu hanya diam saja di tempat.

Sosok itu tetap berdiri, sembari memasang seringai lebar. Pocong sialan.

Sementara, berhamburan lima remaja itu berlari ke luar tanpa arah. Terkejut
setelah didatangi sesosok hantu bungkus dengan seringainya yang sangat
menyeramkan.

Wawan dan Ratih berlari beriringan melewati sebuah lorong yang cukup
gelap. Cahaya dari senter yang mereka berdua genggam menyinari secara kilat ke
segela arah.

Mereka menelusuri lorong yang cukup kecil hingga akhirnya langkah kaki
membawa mereka sampai ke ujung lorong. Cahaya senter menabrak dinding bercat
putih sedikit kusam. Mereka sudah berada di ujung lorong.

"Sial!"

Dengan napas menderu, Wawan mengarahkan pandang ke segala sudut


ruangan. Tak ada celah sedikit pun. Mereka benar-benar sudah terpojok di sini. Tak
ada jalan lain, satu-satunya jalan hanya kembali ke tempat tadi. Dengan kata lain,
mereka malah terjebak di sini? Ceroboh sekali.

"Gimana nih, Wan?" Ratih ketakutan, tubuhnya menggigil dengan keringat


dingin membasahi seluruh tubuh. Keringat karena lari barusan, dan keringat karena
ketakutan.

Wawan lebih kacau. Napasnya menderu tak teratur dan pandangannya agak
mengabur. Pikirannya acak adul, buntu. "Bayu, Rio, kalian ada ide?"

Lengang, Tak ada jawaban.

Wawan mengedarkan pandang, tak ada siapa-siapa kecuali hanya dirinya dan
Ratih saja. Di mana mereka berdua, mengapa sampai bisa terpisah seperti ini?
Keduanya lalu hanya termenung dalam gelap. Kondisi semakin memburuk
ditambah berpisah dengan tiga teman yang lain. Apakah tidak bisa lebih buruk lagi?!

***

Bayu dan Rio berlari tak tentu arah, ia melewati beberapa ruangan yang malah
terasa seperti labirin. Menyesatkan. Terdapat banyak pintu di setiap sisi ruangan
hingga mereka bingung harus lewat pintu yang mana. Rasanya seperti hanya berputar-
putar saja sejak tadi. Setiap ruangan yang dilewati tampak sama satu dengan yang
lainnya.

"Stop! kita istirahat dulu!" Bayu langsung jatuh terduduk. Napasnya berat dan
dadanya terasa begitu sesak. Sesekali remaja tambun itu terbatuk hampir muntah.

Rio berhenti, keadaannya sama seperti Bayu. Matanya jelalatan menerawang


ke sekitar dengan bantuan cahaya senter. Ia memandang temannya sebentar, Bayu
tampak sudah tak berdaya lagi untuk sekedar berdiri. Andai ini adalah pelajaran
olahraga di sekolah, mungkin tawanya bakalan yang paling lantang.

Remaja berkulit gelap itu ikut duduk. Ia bersandar ke dinding sembari


mengatur napas agar lebih tenang. Dalam keadaan seperti ini, ia harus tetap fokus.
Jangan sampai ketakutan yang menguasai dirinya, atau dirinya tak akan bisa berpikir
jernih lalu mati konyol di sini.

"Oh ya, di mana Wawan, Ratih dan Sari?"

Bayu yang ditanya menoleh ke segala arah. Tak ada, itu jawaban pastinya.
Mereka hanya berdua sejak si hantu bungkus sialan itu tiba-tiba muncul. Mereka
terpisah gara-gara kekalutan tadi.

"Sial," desis Rio. Mereka terduduk di antara gelap sembari menunggu stamina
kembali primalalu bersiap untuk berlari lagi.

***
"Ini gawat!" ucap Ratih dengan nada getir. Ia berjalan mondar-mandir di
depan Wawan yang memilih duduk bersandar di ujung lorong. Pasrah? Tidak! Dia
hanya sedang berpikir. Meski tetap saja otaknya buntu.

Sementara Ratih tak bisa diam. Gadis itu terus saja bergumam sambil berjalan
mondar-mandir di depan Wawan. Raut wajahnya pucat menahan rasa yang campur
aduk ini, takut, sedih dan kesal?

"Maaf," ujar Wawan yang kemudian sukses menghentikan langkah Ratih.

Gadis itu menoleh ke arah Wawan yang menunduk lesu. Ia menatap Wawan
dengan tatapan mata yang berkaca-kaca berusaha membendung air mata agak tak
tercurahkan. Dia pun memilih duduk bersimpuh di depan Wawan.

Wawan mengangkat kepalanya memerhatikan wajah Ratih yang pucat dengan


rambut yang sudah berantakan. Dia tahu kalau gadis itu sedang dalam mode ketakutan
tingkat dewa, tetapi dirinya juga tahu kalau ia tak bisa apa-apa sekarang. Ini semua
karena ulahnya, bukan? Gara-gara dirinya yang terlalu ambisius ingin pergi ke desa
terkutuk itu. Sekarang apa yang ditakutkan Sari terwujud. Desa itu benar-benar
mengerikan dan sekarang mereka terjebak di sini. Tempat yang bahkan dirinya tidak
tahu ini di mana.

Namun, penyesalan tak akan membawa perubahan, ia harus berbenah.


Berdiam diri seperti ini tak akan membuat mereka keluar dari masalah.

"Ini semua gara-gara kamu yang sangat gegabah, Wan!" celetuk Ratih tiba-
tiba, bibirnya gemetar, matanya sembap, terselip kejujuran di antara buliran air bening
yang perlahan merambati pipinya itu.

Wawan menghela napas kecewa. Benar apa yang dikatakan gadis berambut
hitam panjang agak bergelombang itu, ini memang salahnya. Andai saja ia tak
bersikukuh ingin ke sana, ia dan ketiga sahabatnya yang lain mungkin tak akan
mengalami hal buruk seperti ini.

"Maaf, hanya itu yang bisa kukatakan, Ratih." Wawan memandangi gadis
berkulit putih di depannya yang tengah tertunduk lesu. Dia gadis yang manis.
Tangis Ratih tak dapat dibendung lagi, terdengar dari isakan lirih yang
berusaha ia tahan. Ini adalah kali pertama Wawan melihat sahabatnya tersebut
menangis, ternyata seorang gadis hiperaktif dan rada pemberani itu bisa menangis
juga.

Wawan tersenyum simpul. Entah dorongan dari mana, saat sadar tubuh Ratih
sudah berada dalam peluknya. Ia bisa merasakan balasan pelukan Ratih yang begitu
erat melingkari tubuhnya yang kecil. Kini dengan jelas Wawan bisa mendengar isakan
tertahan gadis yang diam-diam ia sukai ini. Meski dalam keadaan yang kacau, Wawan
masih dapat mencium bau wangi khas gadis itu.

"Aku takut." Ratih semakin erat memeluk Wawan. Kali ini ia benar-benar tak
dapat menyembunyikan rasa takutnya.

"Iya, aku juga takut." Hanya kata itu yang mampu keluar dari mulut Wawan.
Ia tak tau harus berkata apa lagi untuk menenangkan Ratih.

"Sudah, jangan menangis lagi, Ratih. Soalnya kamu itu tidak cocok kalau lagi
nangis."

Ratih melepaskan pelukannya. Wajahnya yang sayu menatap mata Wawan


yang tampak berbeda dari biasanya. Ada binar aneh yang membuatnya tiba-tiba
merasa begitu nyaman. Dadanya juga berdebar hebat saat Wawan memeluknya. Ada
apa ini?

Wawan tersenyum tipis, lalu mengangkat tangannya dan mengusap air mata
Ratih. "Hey, sudah kubilangkan, kan, kamu nggak cocok kalau lagi nangis."

Deg! Ratih terdiam. Jantungnya semakin berdebar, ada perasaan aneh yang
terasa mengalir dalam tubuhnya. Dia lalu tersenyum mendengar ucapan itu. Rasa
takutnya perlahan lenyap.

Namun, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan bau busuk menyengat. Hawa


dingin perlahan menerpa tubuh keduanya. Wawan akhirnya bersiaga, ia mantap
berdiri diikuti Ratih yang bersembunyi di belakangnya.

"Bau ini?" gumam Wawan.


Remaja itu mencoba menajamkan indra penciumannya. Benar, bau ini tidak
asing lagi. Ini seperti yang terjadi sebelumnya. Mungkinkah pocong itu masih
mengejarnya.

Remaja laki-laki itu mengarahkan senternya ke lorong yang tadi dilewati. Tak
tampak apa-apa di depan sana. Namun, tunggu sebentar. Lamat-lamat dari kejauhan
seperti ada sesuatu yang bergerak. Agak pendek dan tak terlihat seperti sosok berbalut
kain kafan. Makhluk apa lagi itu?

"Apa itu, Wan?" Ratih menyipitkan mata mencoba melihat seraya memeluk
tangan Wawan erat-erat.

Dada Wawan berdebar-debar menantikan sosok apa itu. Semoga saja bukan
pocong lagi. Namun, meski bukan pocong lagi pun ia tidak yakin apakah makhluk itu
tidak menyeramkan.

Sosok itu tampak samar berjalan dengan agak kesulitan, langkah kecilnya
terdengar sedikit menggema di lorong ini. Semakin lama, sosok itu semakin terlihat
jelas. Hingga kedua remaja yang terpojok itu dapat melihatnya dengan sangat jelas
kali ini.

"Anak kecil?" gumam Ratih tak percaya. Ia semakin menguatkan


pegangannya.

Seorang bocah laki-laki yang berusia sekitar sepuluh tahunan tengah berjalan
mendekat. Wajahnya pucat dengan mata yang terus menatap gadis bertubuh
semampai tersebut. Ratih bergeming dan balas menatap mata bocah misterius.

"Dia menatapmu, Ratih," bisik Wawan sedikit bergetar. Ratih semakin


mengetatkan pegangan lagi.

Setelah berjarak sekitar lima meteran, bocah itu menghentikan langkahnya. Ia


tetap dalam posisi menatap Ratih.

"Hiii!” Tiba-tiba saja bocah berambut ikal itu tersenyum hingga menunjukan
gigi-gigi runcing yang sebagian menghitam. Putih matanya juga bersamaan
menghitam, sampai jelas keseluruhan bola matanya menjadi hitam legam. Kulitnya
perlahan dipenuhi oleh totol-totol berlubang dengan sekumpulan belatung kecil yang
berusaha menggerogoti kulitnya.

Entah kenapa, Wawan dan Ratih merasa seperti dipaksa untuk melihat
pemandangan menjijikan di hadapannya. Tubuh mereka terasa kaku tak dapat
digerakan. Rasa mual ditahan sebisanya agar tak muntah.

Sementara, bocah itu tetap tersenyum dan tertawa kecil. Ia juga menggoyang-
goyangkan badannya ke kanan dan ke kiri seperti menarik perhatian kedua remaja itu.

Mereka hanya diam terpaku.

"Main yuk, Kak," ucap bocah itu dengan suara khas anak kecil sambil
mengulurkan tangan kanannya yang dipenuhi oleh belatung dan nanah segar. Ia
kemudian berjalan lagi mendekati Wawan dan Ratih.

"Ayo, lari!"

Wawan dan Ratih meloncati lalu berlari. Hingga akhirnya mereka berhasil
menghindari si bocah setan. Namun, tak disangka suaranya terdengar menggema di
lorong.

"Kok Kakak pergi?"

Seketika, keduanya dibuat kembali terpaku. Dengan bersamaan mereka


menoleh ke belakang, di dapatinya bocah tadi yang kini tampak lebih hancur dengan
muka penuh darah. Hidung sobek setengah dan kepala yang hampir terbelah menjadi
dua. Darah dan nanah bercampur mengental menjadi satu.

"Sial! Ayo lari lagi!" Wawan ganti memegang tangan Ratih dan menariknya
berlari sekuat tenaga. Namun, dengan jelas ia dapat merasakan kehadiran bocah itu
dibelakangnya yang tengah berlari juga. Terdengar tawa-tawa kecil yang
menyeramkan.

Mereka terus berlari melewati lorong itu. Namun, entah kenapa lorong ini
terasa lebih panjang dan jauh dari sebelumnya ia berlari ke ujungnya. Ada yang aneh!

"Sial, kenapa lorong ini gak ada habisnya?!" gumam Wawan kesal sementara
bocah itu terus mengejarnya.
"Tunggu aku, Kak!"

Suara bocah itu menggema di lorong.

***

BAB 3 - SEORANG GADIS


Lima belas menit berlalu sejak mereka berpencar. Wawan dengan Ratih, Bayu
dengan Rio dan Sari? Tak ada yang tahu pasti. Kekacauan itu membuat mereka lebih
mementingkan keselamatan diri sendiri daripada keselamatan bersama.

"Ayo kita cari yang lainnya." Bayu mengangkat tubuh bulatnya kepayahan.
Keringat di sekujur badan belum juga mengering. Namun, tak ada alasan untuk tetap
bersantai, ia harus bergegas mencari jalan keluar.

Rio mengangkat tubuhnya berdiri. Sedikit menggoyangkan kepalanya untuk


meregangkan otot yang kaku.

Mata mereka langsung tertuju pada empat pintu di setiap sisi ruangan ini. Jika
sampai salah pilih lagi, mungkin kedua remaja itu akan terus berputar-putar saja.

"Ada dua pintu di ruangan ini. Kita pilih salah satunya," komando Rio
layaknya tentara, dan Bayu mengangguk mantap.

Kemudian Rio berjalan menuju ke pintu yang ada di dekatnya. Memutar


gagang pintu itu lalu dibuka perlahan. Cahaya senter mereka langsung menerawang
ke luar. Tak ada apa-apa, yang terlihat hanya sebuah pagar besi dan gelap. Tunggu,
pagar besi?

Mereka bertukar tatapan, sebelum akhirnya berlari ke arah pagar besi itu.
Benar, memang sebuah pagar. Berarti saat ini mereka ada di lantai atas.

Rio mengarahkan senternya ke lantai bawah. Tampak berantakan dan kotor


oleh benda perabot yang mungkin sudah sangat lama tak digunakan. Namun, yang
pasti lantai bawah cukup luas.

"Pintu!" teriak Bayu kegirangan sembari terus menyenter ke arah sebuah pintu
besar menutup di bawah sana.

Melihat itu, Rio pun ikut tersenyum lega. Akhirnya jalan keluar sudah ada di
depan mata. Tinggal bagaimana ia menuju ke sana. Butuh tangga, tak mungkin
mereka melompat. Terlalu tinggi, sekitar tiga meter atau mungkin malah lebih.
Mereka segera mencari tangga menurun. Celingukan ke kanan dan ke kiri,
akhirnya ketemu apa yang dicari. Dengan langkah penuh kelegaan kedua remaja itu
berjalan tergesa-gesa menuju ke tangga di sisi kiri mereka.

Namun, gerakan kaki keduanya tiba-tiba terhenti. Suara menggemuruh


terdengar di lorong sisi kanan mereka berdiri sekarang.

"Suara apa itu?" gumam Bayu.

Remaja berbadan tambun itu mengarahkan senternya ke dalam lorong gelap


sumber suara. Menunggu siapakah si pembuat keributan itu. Apakah hantu lagi?
Entahlah. Semoga saja bukan.

Semakin lama, suara itu terdengar semakin dekat. Ada sekelebatan cahaya
bersinar di sana.

Bayu dan Rio kontan mundur perlahan.

***

"Kakak! Tunggu! Tunggu aku!" Suara itu terdengar bertalun-talun di lorong.


Bukan hanya itu saja, bau anyir campur busuk bangkai terasa menyiksa indra
penciuman. Sementara kaki rasanya sudah sangat letih.

Wawan dan Ratih tak menghiraukan seruan itu. Mereka terus berlari
menyusuri lorong yang seakan tak memiliki ujung ini, semakin melelahkan saja.
Padahal, awal mereka ke pangkal buntu lorong ini terasa lebih dekat. Sepertinya para
hantu sialan itu sedang mempermainkanya.

"Cahaya!?" teriak Wawan tiba-tiba. Secercah cahaya tampak menyilaukan di


depan sana, mungkinkah itu surga? Hei, sejak kapan ia mati?!

Ia kembali mempercepat larinya sembari kuat-kuat memegang pergelangan


tangan Ratih agar tetap sejajar. Mereka berlari beriringan, nyaris seperti adegan
sepasang pengantin kawin lari yang sedang dikejar masa.
"Kakak!" Setan itu berteriak keras sekali. Seketika embusan angin besar
menerjang Wawan dan Ratih dari belakang.

Wuss! Kedua remaja itu terpental begitu cepat mengarah ke arah cahaya di
depan. Semakin dekat, retina mata Wawan menangkap dua sosok siluet yang berdiri
tegap. Sebelum akhirnya ....

Dubrak!

Blam!

Akh!

Wawan menabrak sosok tambun yang akhirnya juga ikut terjatuh. Bersamaan
keduanya jatuh mencium lantai, sementara pegangan Wawan terlepas semua, tangan
Ratih dan senternya. Entah ke mana.

"Hihihi ...." Terdengar suara tawa setan itu yang masih menggema namun
semakin lama semakin memudar. Hingga akhirnya benar-benar lenyap. Sunyi.

"Sialan!" gerutu Wawan sambil berusaha berdiri. Tubuhnya terasa seperti


remuk akibat hempasan barusan. Sepertinya dia menabrak sesuatu yang besar dan
agak lengket.

"Adududuh," rintih suara lainnya yang sangat dikenal oleh Wawan. Ia


menajamkan indra pendengarannya.

"B-Bayu?" tanya Wawan memastikan. Matanya sibuk mencari-cari sumber


suara di dalam gelap.

"Siapa itu? Wawan?" jawab Bayu yang juga tengah berusaha bangkit.

Remang-remang keduanya berusaha saling mengenali.

Bergegas remaja itu berdiri dan mengambil senter yang terlempar tadi.
Untunglah masih menyala. Wawan kemudian mengarahkan senternya ke Bayu yang
masih berusaha berdiri sempoyongan.

"Kenapa kamu menabrakku?" gerutu Bayu kesal.


"Maaf, tadi aku dan Ratih ...." Wawan menghentikan ucapannya. "Di mana
Ratih?!"

Wawan dan Bayu mengalihkan pandangan ke segala arah, mencari sosok


Ratih. Hingga kemudian sebuah suara menyahut.

"Di sini!"

Wawan mengarahkan senternya ke muka lorong yang baru ia lintasi. Dia


mendapati Ratih yang tengah terbaring lemas di atas badan Rio.

"Sepertinya Ratih pingsan," tutur Rio, tak juga segera berdiri dari posisinya,
dan memilih untuk tetap diam saja menjadi tumpuan tubuh Ratih.

"Kau pasti menikmati posisi itu, 'kan?" ucap Wawan datar dibarengi dengan
tatapan iri.

Rio hanya nyengir penuh kepuasan. Laki-laki.

***

"Ratih, Ratih!"

Wawan mengguncang-guncang tubuh gadis itu pelan, sembari berharap agar


segera sadar. Bertubrukan dengan Rio yang berbadan cukup besar, tak heran jika
Ratih sampai pingsan. Wawan tersenyum kecil betapa konyolnya adegan itu.

Perlahan, kelopak mata Ratih mulai bergerak ringan. Detik berikutnya, pelan
ia mulai membuka mata. Setengah sadar gadis itu berjingkat.

"Tenang, kamu sudah aman,” ucap Wawan berusaha menenangkan.

"Udah sadar?" Rio mendekat untuk memastikan.

Wawan cukup mengangguk.

"Syukurlah."
"Di mana aku?" gumam Ratih lirih seraya mengucek matanya dan melihat ke
sekitar. Gelap, hal kedua yang dia lihat setelah pingsan hari ini, namun gelap kali ini
berbeda.

Remang-remang, Ratih bisa melihat pepohonan dan rumah-rumah usang yang


berjajar rapi di depan sana. Dan dia serta ketiga sahabatnya yang lain juga sedang
berada di teras rumah kosong. Tunggu, itu berarti dia sudah keluar dari gedung tadi?

"Kita berhasil keluar," ucap Wawan saat melihat ekspresi bingung Ratih.

"Hah?"

"Benar, kita benar-benar sudah keluar dari tempat mengerikan itu."

Netra Ratih membulat, masih belum terlalu yakin apakah ini bukan halu.

"Dan apakah kamu tahu? Ternyata dari tadi kita terjebak di dalam sana."
Wawan menoleh ke sebuah rumah besar yang berdiri kokoh di ujung jalan. Rumah
lawas dengan arsitektur modern bercat putih yang mulai pudar, dan memiliki balkon
menghadap ke luar desa. Rumah yang tadi pagi mereka lihat. Rumah atau yang lebih
tepatnya disebut gedung.

Ratih menengoknya sekilas, dia tidak mengira kalau ternyata telah berada di
dalam rumah itu. Bangunan tua yang sangat bersejarah dan meninggalkan misteri
besar yang terselubung. Rumah dengan segala kemistisannya, sama dengan desa
Sidojaya ini.

"Rumah itu?" Ratih mengernyitkan dahi, dari nada bicaranya ia belum benar-
benar yakin.

Wawan hanya mengangguk mengiyakan.

Mereka saling beradu mata. Seperti ada percakapan batin yang seketika
meyakinkan Ratih. Gadis itu tersenyum tipis, sedikit lega ia bisa keluar.

"Bantu aku berdiri."

Wawan mengangkat tubuh Ratih yang masih lemas dan membopongnya. Baru
saja Ratih berdiri, sesuatu kembali mengejutkan mereka.
"Teman-teman, sepertinya aku melihat sesuatu," ucap Bayu yang kontan
membuat mereka —Wawan, Ratih dan Rio, menoleh ke arah yang ditunjuk olehnya.

Tepat di antara pepohonan yang tampak seperti pilar-pilar penyangga langit,


sosok bayangan manusia tampak tak begitu jelas berdiri di sana. Dia hanya diam saja,
yang membuat keempat remaja itu semakin penasaran.

"Coba aku cek." Bayu mendekati bayangan itu dengan hati-hati. Tubuhnya
gemetar menahan rasa takut.

Semakin dekat, cahaya dari senter yang dipegang oleh Bayu akhirnya dapat
menangkap sosok itu meski tak begitu jelas. Namun, setidaknya ia tahu siapa yang
berdiri di sana.

"Sari?"

"Sari?" Yang lain ikut berseru kaget.

Bayu bergegas mendekati sosok Sari yang masih terdiam membisu. Agak
kesulitan dia melangkah karena tempat ini terdapat banyak sekali batu-batu yang licin.

"Hei, ada apa denganmu, Sar? Kamu tidak apa-apa?"

Sari tetap diam. Bayu menautkan kedua alisnya, ada apa dengan dia? Kedua
tangannya spontan menggerak-gerakan tubuh gadis berkacamata itu. Namun, tetap tak
ada respon.

"Ada apa, Sar?" Ratih yang dibopong Wawan bertanya lirih. Ia kemudian
melepaskan tangan Wawan yang membopongnya dan tergopoh-gopoh mendekati Sari
yang tampak linglung.

Namun, pertanyaan Ratih tak digubris juga oleh gadis berkacamata itu. Dia
tetep bungkam.

"Wajahnya pucat," gumam Wawan hampir tak terdengar oleh siapapun.


"Apakah kamu —"

Belum sempat Wawan mengakhiri kalimatnya. Tiba-tiba tubuh Sari terhuyung


dan jatuh tepat ke pelukan Bayu yang ada di hadapan.
"Astaghfirullah!"

Bayu cekatan menahan tubuh Sari agar tak jatuh ke tanah. Kulitnya sangat
pucat, tubuhnya juga terasa dingin. Dan embusan napasnya, tidak terasa.

Deg! Bayu terdiam. Kenapa, napas Sari tidak terasa?

"Cepat, ayo kita bawa Sari pulang! Tidak! Tapi kita semua! Ayo segera
pulang," teriak Rio membuyarkan lamunan Bayu.

Bayu terlonjak dan kemudian segera menggendong tubuh Sari yang terasa
sangat lemas. Diiringi para sahabatnya, dia bergegas lari menuju ke tempat sepeda
motor mereka diparkir. Setelah sampai, mereka langsung ngebut di tengah kegelapan.
Tak ada waktu lagi untuk bermain-main di tempat ini.

Namun, tanpa mereka sadari. Seorang wanita, berdandan layaknya sinden,


tengah terkekeh riang di atas balkon rumah bergaya modern itu. Matanya merah
menyala menatap kelima remaja yang kini sudah lenyap ditelan kegelapan.

Rencananya berjalan dengan mulus.

***

Keesokan harinya.

Mereka telah pulang dari desa mistis itu. Meski akhirnya Sari yang harus
menjadi korban. Namun, setidaknya tak ada hal lain yang perlu dikhawatirkan untuk
saat ini

Akan tetapi, karena kejadian semalam Wawan harus kena omel sampai subuh
tadi. Memang hal itu pantas ia dapatkan. Gara-gara dirinya yang menyarankan tempat
angker itu untuk dikunjungi, teman-temannya yang menjadi korban. Mungkin yang
paling parah adalah Sari. Ya, sejak semalam dia masih tampak linglung seakan-akan
pikirannya sedang pergi entah kemana.

Terakhir kali dia menengok keadaan sahabatnya itu, Sari tidak mau bicara satu
patah katapun. Wajahnya juga pucat, dan saat disentuh kulitnya terasa dingin sekali.
Deru napasnya juga tak begitu terasa. Itu aneh.
Mungkinkah hal itu disebabkan oleh ketakutan yang berlebihan? Karena
sebelum mereka berangkat pun, gadis dengan rambut hitam sebahu itu adalah yang
paling merasa takut di antara kelimanya. Entahlah.

Ya, semoga saja dia lekas sembuh dan dapat segera menyelesaikan tugas dari
pak Budi. Meski akhirnya mereka harus mengarang cerita.

Huft.

Tok! Tok! Tok!

"Masuk aja." Wawan memutar kepalanya menghadap ke arah tiga temannya


yang sudah ada di muka pintu. Mereka lalu mengambil kursi dan duduk mengitari
meja. Waktunya rapat.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Wawan memulai percakapan, meski sudah


tahu bagaimana keadaan Sari saat ini.

"Masih seperti semalam," jawab Ratih tampak murung.

Wawan kembali memutar kepalanya. Memperhatikan sebuah rumah di


seberang jalan itu lewat jendela. Adalah rumahnya Sari, sebuah rumah sederhana
dengan halaman cukup luas yang ditumbuhi rumput pendek. semalam saat mereka
baru pulang, puluhan orang berkumpul di sana, menanti kedatangan lima remaja sok
pemberani yang mencoba bermain-main ke desa mati bernama Sidojaya.

Ada sebab, pasti ada akibat.

"Jadi, sekarang apa?" tanya Wawan mengusir kebisuan. Ketiga sahabatnya


diam. Menunggu ada yang berpendapat lebih dulu.

"Tidak ada, itu rencananya." Rio mendengkus kasar dan menyilangkan tangan
di dada seperti biasanya.

"Tapi, apa kalian tidak sadar kalau ada yang aneh dengan si Sari?" Bayu
angkat bicara. "Maksudku, apa kalian tidak sadar kalau tubuh Sari terasa dingin tapi
dingin yang nggak wajar?"

"Memang, aku sudah mencoba menyentuhnya kemarin," ucap Wawan, sengaja


ia tidak melanjutkan dengan opininya saat ini, agar Bayu lanjut menjelaskannya.
"Namun, apa kalian tahu kalau ...," ucap Bayu menggantung membuat
sahabatnya terdiam menanti kalimat selanjutnya. "Kalau, Sari tidak bernapas?"

"Apa?!" Ratih dan Rio berteriak hampir bersamaan, Wawan masih dengan
wajah datar. Ia sudah sadar sejak berada di desa itu.

"Sshh! Jangan berisik!" sergah Bayu cepat sembari mengangkat jari


telunjuknya di depan bibir. Yang lain segera menutup mulut. Sampai kemudian si
tambun lanjut bicara.

"Kalian ingat, saat aku menggendong Sari semalam?" Mereka mengiyakan,


Bayu melanjutkan. "Jujur aku ndak merasakan embusan napas Sari sedikit pun, begitu
pun detak jantungnya."

Rio dan Ratih bergeming.

"Tapi, bukankah saat itu Sari sedang pingsan?"

"Benar, memang pingsan. Namun, setahuku, orang pingsan pun tetap akan
bernapas dan jantungnya masih berdetak."

Kembali dibungkam mulut mereka mendengar pernyataan Bayu. Namun,


hipotesis itupun masih ambigu. Hingga mereka kembali terdiam bak patung yang
sedang mengelilingi meja diskusi.

"Jika benar jantung Sari tidak berdetak. Dengan kata lain, dia sudah ...
meninggal?" terang Wawan datar, tetap mencoba tenang. Namun, sampai saat ini, ia
hanya dapat menarik kesimpulan yang paling tidak diingkan.

"Entahlah ...."

Keheningan menyapu ruangan itu. Sementara, di seberang jalan sana.


Seseorang berdiri. Segurat senyum menghiasi bibir manisnya.

***
Pukul setengah delapan malam. Suasana dingin terasa begitu menggigit. Hujan
di luar sana juga begitu lebat. Kadang kilatan cahaya disusul suara menggelegar
terdengar mencekam.

Wawan memerhatikan langit gelap berselimut mendung pekat rata di atas


sana. Dari balik jendela ia masih berdiam diri. Tak ada bintang dan bulan untuk
malam ini, hanya rinai hujan yang menghiasi.

Laki-laki itu menghela napas. Matanya kembali menelusur ke sekitar.

Tanpa sengaja ia melihat ke arah rumah di seberang jalan. Rumah kecil


dengan tembok bercat biru muda yang tampak kusam, cahaya terlihat berpendar
terang dari dalam sana. Remaja jangkung itu menghela napas getir, sampai lalu
menutup kelambu jendela dan memutar tubuhnya.

"Ada apa, Wan?" Suara serak pria lanjut usia menyahut hampir membuat
Wawan berteriak karena terkejut.

Wawan menoleh ke belakang, menghadap ke arah seorang pria tua yang


setengah membungkuk. Terlihat raut senyum tipis tergambar di bibirnya yang keriput.

"Ndak, Kung." Wawan memilih duduk di kursi dan menyeruput wedang jahe
di atas meja. Menghangatkan tubuh dari dalam.

Sejak siang tadi, bapak dan ibunya pergi ke rumah saudara karena ada urusan
mendadak. Kemungkinan mereka akan pulang esok pagi. Jadilah malam ini Wawan
harus jaga rumah dengan kakungnya yang hampir berumur seabad itu.

"Kuberitahu, Wan. Mulai sekarang lebih baik kamu jaga jarak dengan si Sari,"
pinta sang Kakung.

Wawan mengerjap, tidak paham maksud hal itu. Menjauhi Sari? Apa
alasannya.

"Loh, kenapa, Kung?"

Pria tua itu tidak menjawab dan malah tersenyum kecil, sebelum akhirnya
ngeloyor pergi tanpa jawaban. Mungkin dia mau tidur di kamarnya.
Wawan masih termangu di ruang tamu. Dia menggelengkan kepalanya tak
paham apa yang dimaksud dari ucapan sang Kakung. Ia memilih untuk menyeruput
wedang jahe hangat lagi agar hawa dingin tak menyerang tubuhnya.

Namun, tiba-tiba terdengar suara ketukan ringan dari luar pintu. Wawan
hampir meloncat karena terkejut. Ia pun meletakan gelas ke atas meja lalu berdiri dan
berjalan ke arah pintu.

"Siapa sih, hujan-hujan begini kok keluyuran, gak kedinginan apa.”

Tok! Tok! Tok!

Pintu itu kembali diketuk pelan membuat Wawan semakin jengkel. Bergegas
ia pun membuka pintu. Siapa sih sebenarnya?! Wawan tak habis pikir.

Alangkah terkejutnya Wawan saat tahu kalau tamunya malam ini adalah gadis
berkacamata itu.

"Loh? Sari?"

***

BAB 4 -KEHANGATAN
Angin dingin langsung menyapa tubuh Wawan yang hanya memakai baju
lengan pendek dan celana boxer. Ia masih terpaku diam di muka pintu. Antara takut
dan tak percaya, dia sekarang benar-benar di hadapannya. Berdiri dengan raut wajah
datar namun tampak lebih menyeramkan. Gadis bernama Sari.

"Loh Sari?" ucapnya dengan nada getir tak menyangka kalau gadis itu tiba-
tiba datang. Apalagi, sekarang sedang hujan lebat. Apa dia tidak kedinginan
sementara ia hanya memakai pakaian yang minim. Baju lengan pendek, serta rok
hitam di atas lutut, bukan style biasa gadis itu. Dan entah mengapa, dia tampak begitu
sensual kali ini. Ah, goblok! Wawan memukul-mukul kepalanya sendiri.

Wawan menelan ludah, heran. Ia tetap memandangi Sari yang tetap diam
dengan tatapan menusuk mata itu. Mendadak gadis tersebut mencengkeram kerah
baju Wawan dan mendorongnya secara pelan tapi kuat.

"Loh, ada apa, Sar?" tanya Wawan heran mendapati gerakan tiba-tiba gadis
berbadan mungil itu.

Terus didorong hingga melewati pintu. Dengan cekatan tangan kiri Sari
menghempaskan daun pintu dengan keras hingga akhirnya tertutup rapat. Wawan
terlonjak kaget sembari terus berjalan mundur karena dorongan Sari. Dalam pikiran
Wawan kini hanya ada rasa takut yang semakin menjadi, bagaimana jika dia berusaha
membunuhnya seperti di film-film psikopat!? Akh! Tidak mungkin!

"Ada apa ini, Sar!?" Wawan sedikit meninggikan suaranya berusaha


menyadarkan Sari. Namun, ia tak bisa melawan, tangannya terasa sangat lemah untuk
sekadar diangkat saja. Kenapa harus disaat seperti ini!?

Sari dengan tanpa sepatah kata pun terus mendorong tubuh Wawan. Hingga
akhirnya mereka berada tepat di depan pintu kamar Wawan yang tak tertutup rapat.
Dengan gerakan ringan tapi kuat, Sari menekan tubuh Wawan sampai menerpa daun
pintu hingga terbuka.
Mereka berjalan melewati pintu itu. Dengan cekatan tangan Sari kembali
menghempas daun pintu kamar Wawan sangat keras hingga tertutup rapat. Mungkin
terkunci.

Wawan hanya bisa diam dengan tubuh gemetar. Ia sangat takut sekarang, dia
tidak bisa bohong. Namun, ia harus menerima fakta bahwa tenaganya seperti tak
berguna. Seluruh kekuatannya tiba-tiba terasa menguap begitu saja. Apakah ini sihir.
Bukan! Bisa saja dirinya terlalu gugup. Atau mungkin karena dirinya yang memang
tak bisa melawan perempuan. Semakin sulit saja.

"Ada apa ini, Sari?!” tanya Wawan lagi dengan bibir gemetar dan wajah pucat
dipenuhi keringat dingin. Jantungnya berdebar hebat saat Sari semakin tajam menatap
matanya.

Gadis itu tak lekas menghentikan gerakannya. Ia tetap mendorong tubuh lemas
Wawan. Sampai di samping ranjang, Sari dengan mudahnya mendorong tubuh
Wawan hingga terpental dan jatuh di tengah ranjang.

Blak!

"Shit!(10)" umpat remaja jangkung itu saat tubuhnya mendarat dengan kasar di
kasur yang tak terlalu empuk itu. Sekarang dia bebas dari cengkeraman Sari. Namun,
entah kenapa tubuhnya masih terasa lemas dan tak bisa digerakan. Rasanya seperti
tertindih sesuatu. Ya, seperti ada yang menindihnya kuat-kuat tapi tidak terlihat.

"Apa yang sebenarnya kau lakukan padaku, SARI?!" teriaknya. Sangat marah
dan kesal. Dirinya seperti sebuah boneka sekarang, yang dapat dimainkan sesuka hati
dan Wawan membenci itu.

Akan tetapi, gadis itu itu tetap bergeming. Matanya terus menatap tajam ke
arah Wawan yang terbaring paksa di ranjang kecil ini. Sekilas tampak kilatan merah
di hitam matanya.

Apa artinya itu? pikir Wawan.

10Sialan!
Sari kemudian melangkahkan kakinya pelan menuju ke bibir ranjang. Dengan
gerakan lembut perlahan ia menaiki petiduran itu. Tatapannya tak pernah lepas dari
mata sang ‘mangsa'. Sampai akhirnya gadis itu mulai melakukan hal gila yang tak
pernah terpikirkan oleh Wawan sebelumnya.

Dengan santai Sari naik ke atas perut Wawan. Wajahnya tetap datar tanpa
ekspresi. Lalu jari lentiknya perlahan memainkan wajah Wawan yang sudah dibasahi
oleh peluh.

"Apa kau sudah gila, Sari?! Ini sudah kelewatan!" teriakan Wawan hanya
terdengar seperti cicitan tikus yang ketakutan. Suaranya bahkan masih kalah dengan
derasnya suara hujan di luar sana.

Ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi. Setiap ucapan, pertanyaan
hingga teriakan tak digubris oleh dia. Apakah dia pura-pura tuli?! Tidak mungkin
juga.

"Cepat, Sari! Enyah dari atas tubuhku, sebelum ada yang melihat perbuatan
memalukan kita ini!"

"Ssst!" cekatan jari telunjuk Sari menahan bibir Wawan yang langsung
membuat diam.

Sari tersenyum kecil, senyum yang manis. Wawan termenung menikmati


setiap detil wajah gadis itu yang entah kenapa, ia seperti tersadar bahwa dia
sebenarnya adalah gadis yang cantik, bukan! Maksudnya manis. Cantik dan manis
adalah sesuatu yang berbeda. Begitulah kata seseorang padaku suatu ketika.

Sari membungkukan badannya. Tangan kanannya mulai menggerayangi dada


Wawan yang berdegup kencang. Perlahan, gerakannya berlanjut dengan melepaskan
satu persatu kancing baju berwarna biru itu. Ia mendekatkan bibir merah muda itu ke
daun telinga Wawan.

Napasnya menggoda.
"Hendra Irawan," bisik gadis itu dengan napas dingin yang menyertai. Ada
rasa berbeda yang entahlah, tak dapat digambarkan oleh Wawan. Terasa begitu
nyaman.

Wawan hanya mengulum ludah. Dadanya semakin berdegup kencang,


bibirnya kelu tak dapat berkata apa-apa lagi kali ini. Gadis itu baru saja membuatnya
terpaku diam dengan perasaan campur aduk tak karuan. Padahal gadis berkacamata
itu hanya menyebut namanya, Hendra Irawan.

Namun, desiran lembut dari napas gadis itu saat melafalkan namanya begitu
menggoda. Membuat ia semakin salah tingkah dan benar-benar bingung harus
bagaimana. Apakah harus menikmati ini?

"Kamu tak akan bisa menolak ini, Irawan," bisik gadis itu lagi. Wawan tetap
bergeming, menikmati? Bisa saja, tapi dia juga masih sadar kalau hal ini sangat
terlarang. Namun, sebagai laki-laki normal tak bisa menolaknya.

Sari menyibak baju Wawan dengan lembut. Kini gadis itu dapat memegang
dada Wawan secara langsung.

Terasa hangat telapak tangan Sari, tidak dingin seperti sebelumnya. Semakin
lama semakin menghangatkan dan membuat Wawan semakin nyaman dengan
perlakuan ini.

Aneh memang, tetapi begitulah faktanya. Ia tak bisa menepisnya lagi.


Sepertinya dentuman suara air hujan dan kehangatan tubuh gadis ini, terasa begitu
nikmat.

Sementara itu, Sari terus menggoda hasrat laki-laki ini. Sesekali ia meraba-
raba leher Wawan dan memainkannya penuh kelembutan.

Wawan, atau Irawan tak bisa menolak kenyataan ini. Ia merasakan hal di luar
nalar yang tak pernah ia sangka sebelumnya. Getaran di badannya perlahan mulai
tenang. Ia mulai menikmatanya. Ia hanya perlu diam dan memejamkan matanya.
Pasrah. Entah kenapa, ia merasa seperti di surga, meski dia sendiri belum pernah ke
sana.
Kuluman hangat kini menyambut bibir remaja itu. Kontan Irawan membuka
matanya perlahan. Dia merasakannya. Semakin nikmat saat gadis itu memainkan
peraduan mulut tersebut semakin liar.

Benar-benar gila. Mungkin itu yang bisa digambarkan di otak Wawan saat ini.
Segala ketakutan, kekalutan dan rasa penasaran yang sejak tadi ada, perlahan tapi
pasti kini mulai ia lupakan. Sebagai laki-laki normal, tentu saja ia menikmati ini.

Namun, semua itu harus berakhir saat gebrakan keras pada pintu mengejutkan
keduanya.

Brak!

“Enyah dari cucuku!" Suara serak berteriak keras menggetarkan jiwa bak
raungan singa.

Wawan yang juga terkejut hanya bisa diam karena tubuhnya masih terasa
sangat lemas. Sementara, Sari yang berada di atas tubuhnya cekatan meloncat ke arah
jendela dan keluar begitu saja. Hilang bak ditelan derasnya hujan yang baru terasa lagi
saat ini. Lenyap di balik rinai hujan deras di luar sana. Nyaris seperti bukan manusia,
dia bergerak begitu cepat.

Tergopoh-gopoh seorang pria tua dengan sarung yang dikalungkan ke tubuh,


mendatangi Wawan yang tetap terdiam di atas petiduran. Dia dengan cekatan
memegangi kepala Wawan, sementara mulutnya berkomat-kamit merapalkan sesuatu.

"Kamu nggak apa-apa, Nak?" tanya Kakung dengan nada getir, ia tampak
tidak tenang. Sesekali gerakan tangannya menyapu kening sang cucu.

Sementara Wawan, ia masih linglung. Matanya menatap ke luar lewat jendela


kamarnya yang terbuka.

"Kenapa kehangatan itu harus berakhir?" pikir Wawan seketika.

Tamparan keras mendarat di pipi Wawan. Seketika wajahnya terseok, hampir


saja ia tersungkur.

"Sadar!" Kakung berteriak dengan lantang.


Wawan mengerjapkan matanya berkali-kali. Ngilu baru terasa di pipinya yang
mungkin kini sudah memerah. Ia tak yakin. Tangannya mencoba mengelus pipinya
agar lekas sembuh.

"Kenapa?" gumam Wawan, sorot mata linglung menatap ke arah kakungnya


yang tampak tidak terlalu tenang. Hingga saat ini pun pikirannya masih jauh
melayang ke awang-awang.

"Kamu sudah sadar, Nak?" tanya pria tua itu lagi namun dengan nada yang
lebih lembut sekarang. Tangannya menilik ke pipi Wawan yang baru saja ia tampar.
Terasa hangat, untung saja belum terlambat. Bisa-bisa bakal lebih parah daripada ini
andai ia tak segera sadar.

"Ada apa, Kung?" tanya Wawan lirih, ia masih belum sadar sepenuhnya. Yang
masih segar dalam ingatannya adalah ia baru saja tidur dengan Sari. Hingga kemudian
gadis itu meloncat pergi lalu hilang di antara rinai hujan. Kejadiannya terasa begitu
cepat dan ... nikmat. Wawan tersenyum mengingatnya.

"Nanti kuceritakan apa yang terjadi." Kakung duduk di tepi ranjang.

Sekumpulan derap langkah terdengar dari luar kamar. Tiga remaja dengan
pasang muka penuh tanda tanya, berjalan perlahan mendekati. Ratih, Bayu dan Rio
berdiri dengan wajah khawatir.

"Kalian? Sejak kapan kalian ada di sini?" tanya Wawan penuh keraguan.
Sementara mereka tak segera menjawab. Namun, dari wajah-wajah mereka, Wawan
tau jawabannya.

"Begitu, ya," gumam Wawan paham.

***

Beberapa saat kemudian. Tak lama setelah kejadian itu. Mereka berkumpul
menengok Wawan yang baru saja hampir kerasukan jin.
Ratih menyodorkan gelas berisi air putih ke arah Wawan. Dengan lemas laki-
laki itu berusaha meminumnya. Ia masih terbaring di atas ranjang, keadaannya secara
berangsur mulai membaik.

"Kejadiannya begitu cepat dan aku tak bisa mengelak. Rasanya seperti seluruh
sendiku luruh, mati rasa, dan cuma mampu mengikuti setiap gerakannya." Sekali lagi
Wawan meminum air bening itu, sebelum akhirnya menyerahkannya kepada Ratih
dan diletakan di atas bufet.

"Tanganku seperti dipegang erat oleh sesuatu yang tak kasat mata, sementara
kakiku juga dipaksa untuk melangkah."

“Sebenarnya kamu tadi memang tengah dicengkeram oleh tiga jin secara
bersamaan. Kakungmu ini bisa melihatnya saat pertama kali masuk ruangan kamarmu
ini, Nak," jelas pria tua itu memberikan pernyataan baru yang cukup membuat bulu
kuduk berdiri. Dalam penglihatan kakek setengah bungkuk itu, memang tiga makhluk
tak kasat mata tengah mengekang tubuh Wawan. Mereka berperawakan cukup besar,
berdiri layaknya manusia dengan dua kaki, tetapi memiliki bulu lebat agak
kecokelatan layaknya monyet. Entah makhluk apakah itu. Namun, yang pasti
makhluk itu punya niatan buruk terhadapnya.

"Be-benarkah?!" Wawan tergagap setengah tak percaya, begitupun juga


dengan ketiga sahabatnya yang ikut mendengarkan.

"Bener, Nak. Kakungmu ini dapat melihat makhluk halus. Dan kamu tahu,
tebak siapa yang tadi kamu anggap Sari itu?"

"Siapa, Kung?" Bola mata Wawan membulat.

Kakek itu tersenyum kecil, lalu mulai berkata. "Itu Genderuwo. Genderuwo
yang sedang menjelma."

Terkejut? Itu pasti. Saat mendengar nama setan tersebut, rasanya isi perut
Wawan tengah dikocok hebat. Mual seketika. Jadi, yang sejak tadi menggodanya
adalah jelmaan genderuwo?! Padahal, ia melihatnya sebagai gadis bernama Sari itu!!
Gengamannya, kehangatannya, suaranya serta ... Semuanya.
"BANGSAT!" Wawan mengacak-acak rambutnya hingga berantakan.
Berteriak sekencang yang ia bisa dan melompat dari ranjang tempat ia berbaring. Lalu
berlari menuju ke jendela yang terbuka dan berusaha untuk muntah.

Bisa-bisanya ia diperkosa oleh makhluk halus jelmaan genderuwo itu. Ini


pengalaman terburuk yang tak pernah ia sangka sebelumnya. Apalagi bukankah
genderuwo itu laki-laki!? Anjay! Tambah jijik!

Kakung, Rio, Ratih dan Bayu, memilih diam melihat reaksi Wawan seperti itu.
Toh tak ada gunanya mencegah. Biarkan dia berpolah sampai mereda sendiri.

"Anu, bukankah genderuwo itu kalau menjelma cuma jadi laki-laki ya? Kok
ini bisa jadi perempuan?" tanya Bayu, mengabaikan Wawan yang masih muntah-
muntah ke luar jendela. Bayu sadar, menurut mitos yang beredar genderuwo biasanya
menjelma menjadi pria dan menyetubuhi wanita atau istri yang kesepian. Namun, apa
yang baru saja dialami oleh Wawan ini seperti menepis mitos tersebut. Adakah
konspirasi di balik semua ini?

"Entahlah, Yu. Kakung juga bingung. Mungkin—"

Belum sempat Kakung mengakhiri perkataannya, Wawan kembali berteriak


histeris. Telunjuknya mengarah ke luar sana.

"SIALAN! Dia! Di sana! SARI! Bukan, tapi genderuwo!"

Mereka berempat—Kakung, Bayu, Rio dan Ratih, berlari ke arah Wawan


yang masih histeris. Memerhatikan ke seberang jendela, di luar sana yang gelap
karena malam. Hujan telah berganti gerimis sedang.

"Ada apa, Wan!?"

"Di sana!" Wawan menunjuk ke seberang jalan. Sesosok makhluk bertubuh


besar dengan bulu hitam lebat tengah berdiri di seberang jalan. Matanya berpendar
merah menyala, tak tampak organ luar wajahnya yang lain. Namun, yang pasti dan
tidak salah lagi, itu adalah genderuwo yang baru saja mengelabuhi Wawan.
Menyamar menjadi sosok Sari, dan menggodanya hingga hampir kebablasan.

"Aaaa!" Semua berteriak histeris. Kalut dalam ketakutan.


Dengan cekatan Kakung dalam ruangan itu segera berlari sekencang yang ia
bisa. Tubuh senjanya tak mampu bergegas untuk berlari lebih cepat demi mengejar
makhluk berbulu lebat itu.

Namun, dengan usahanya, Kakung akhirnya dapat ke luar dari dalam rumah.
Mata tuanya segera mencari sosok genderuwo tadi. Dapat, ia masih berdiam diri di
seberang jalan, tatapannya kini tertuju pada pria tua itu. Tajam.

Kakung berlari tertatih-tatih menghampiri setan berbulu itu. Namun, nahas,


saat kaki pria itu baru menginjak aspal, sepeda motor dengan kecepatan lumayan
tinggi tiba-tiba muncul dan menyerempet tubuh pria tua itu. Kakung terpelanting dan
jatuh di aspal dengan cukup keras.

Wawan dan ketiga temannya yang melihat kejadian itu dari belakang, hanya
bisa melongo tidak percaya.

"Kakung!" seru Wawan ditelan kegelapan malam. Korban kedua, Kakung.

***

BAB 5 - PETUALANGAN DIMULAI KEMBALI!


Pagi menyambut. Cerah tetapi tidak secerah pikiran Wawan. Dalam semalam
saja, berbagai masalah menghampiri silih berganti. Namun, masih runtut dalam satu
garis permasalahan yang sama: gara-gara ekspedisi ke desa Sidojaya.

Akan tetapi, anehnya meski dia—Wawan— mengalami hal itu, bahkan saat ia
berteriak dengan lantang ketika melihat tubuh kakungnya menghempas jalanan,
seperti tak ada yang mendengar. Padahal saat itu malam belum terlalu larut, lampu-
lampu perumahan juga belum banyak yang dimatikan sebagai pertanda kalau masih
ada yang terjaga saat kejadian. Belum lagi, sepeda motor yang menyerempet
kakungnya, tiba-tiba saja lenyap dan tidak memiliki suara deru sedikit pun. Nyaris
seperti sepeda ontel.

Belum lagi, hari ini keluarga Sari sepertinya tidak menyadari kalau anaknya
itu bukanlah Sari yang asli. Namun, meski dirinya tahu hal tersebut, ia tak ingin
memberitahunya sekarang. Bisa-bisa dirinya malah diaanggap mengada-ada.

"Gimana kabar kakungmu, Wan?" Bayu menepuk bahu Wawan yang duduk
termenung di teras rumah. Pikirannya terus berkecamuk sampai-sampai ia tak sadar
jika temannya yang bertubuh tambun itu sudah di depan muka.

Wawan agak terkejut dengan kehadiran Bayu, tetapi ia cukup menyambutnya


dengan helaan napas ringan.

"Yah, gimana ya? Tidak bisa dikatakan baik juga," jawab Wawan sekenanya,
lalu ia meraih secangkir kopi di meja lalu menyeruputnya pelan.

"Sejak kapan kamu ngopi?" tanya Bayu heran, sebab baru kali ini ia melihat
Wawan minum kopi. Biasanya remaja jangkung tersebut selalu menghindari minuman
kopi, dan memilih minuman lain.

"Sejak tadi." Wawan menyeruput kopi yang masih mengeluarkan asap tipis
itu. "Kata orang, minum kopi dapat membuat pikiran kita tenang."
Bayu tersenyum simpul dan hanya mengangguk setuju. Ia lalu terdiam
mengikuti sahabatnya. Sebenarnya dirinya juga masih merasa kacau karena kejadian
semalam. Namun, ia memilih 'tuk menyembunyikan perasaannya itu.

"Yang lebih mengkhawatirkan itu, kondisi Sari. Jika yang ada di rumahnya
saat ini adalah sosok genderuwo, maka di mana sosok Sari yang asli berada
sekarang?" tanya Wawan membuka percakapan.

"Mungkinkah dia masih ada di rumah itu?"

Wawan menyemburkan kopinya saat mendengar kalimat itu meluncur lewat


mulut Bayu. Terlalu aneh memang, tetapi ada kemungkinan begitulah yang
sebenarnya. Kenapa ia hampir melupakan rumah ujung jalan itu.

"Apa itu mungkin?"

"Bisa saja! Dan jika terbukti, kemungkinan terbesar adalah, dia sudah hampir
dua hari lebih berada di sana, sendirian!"

"Sial!" Setangah memhempas cangkir yang ia pegang ke meja lalu Wawan


berdiri. Matanya tertuju pada sosok Sari di balik gorden jendela rumah seberang jalan
sana. Tampak seorang gadis bertubuh kecil berdiri santai menatap ke luar. Gadis itu
tersenyum sinis. Sekerjap matanya berkilau merah. Dia benar-benar bukan manusia.

"Benar! Apa yang kamu katakan memang benar!" ujar Wawan dengan nada
tinggi. "Cepat! Kamu panggil Ratih dan Rio! Kita harus melakukan rapat!"

"Baik!"

***

Sekitar pukul sepuluh siang.

Di dalam kamar Wawan.


"Baiklah, kita sudah berkumpul di sini, di kamar yang baru saja menjadi saksi
bisu atas kejadian mengerikan yang kita alami semalam." Wawan berjalan mondar-
mandir di depan ketiga sahabatnya yang duduk di tepi ranjang.

"Ya, mengerikan bagi kami, kenikmatan bagimu," ucap Rio ketus.

Plak!

Tamparan keras mendarat di pipi Rio dan membuat remaja berkulit gelap itu
meringis kesakitan. Ia langsung menoleh ke arah si penampar, Ratih.

"Jangan bercanda di situasi genting seperti ini!" jerit Ratih dengan tatapan
ganas.

"Hey! Bukankah memang begitulah faktanya!" balas Rio tak mau kalah.

"Sudah-sudah! Apa yang dikatakan Rio memang sedikit ada benarnya. Ya ...
Aku sempat menikmatinya waktu itu, hehe ...," ucap Wawan dengan cengiran
khasnya.

"Cih, dasar laki-laki!" gerutu Ratih memalingkan mukanya.

"Kita ini mau rapat atau cuma mau berdebat?" Tiba-tiba Bayu angkat bicara
dengan nada menyindir.

"Yaps, kamu benar, Bayu." Wawan menjentikan jari. "Baiklah, kasus ini tidak
main-main. Kita sudah memulainya, berarti kita juga harus sanggup mengakhirinya.

"Kalian pasti sudah tahu bagaimana faktanya dan kebenarannya. Yang sudah
beberapa hari ini kita anggap sebagai sosok asli seorang Sari, ternyata bukan.

"Sosok tersebut adalah jelmaan dari genderuwo yang entah siapa yang
menyuruhnya. Seharusnya, dengan kebenaran ini, kita bisa membuka mata lebar-
lebar, bahwasanya teman, tidak tetapi sahabat kita mungkin tengah dalam situasi yang
berbahaya.
"Sejak dua hari ini sosoknya digantikan oleh cloning(11) setan bernama
genderuwo. Berdasar kesimpulan yang diterangkan oleh Bayu padaku tadi pagi,
memang ada benarnya. Kemungkinan terbesar keberadaan Sari yang asli saat ini
masih ada di rumah itu. Dan kita harus segera menyelamatkannya.

"Dengan kata lain, kita harus kembali ke desa Sidojaya. Mencari Sari, dan
membawanya pulang untuk menyelesaikan masalah yang pernah kita buat
sebelumnya. Ralat, tapi masalah yang kubuat akibat ide konyol itu." Wawan
menghentikan pidatonya. Ruangan itu hening seperti tak ada satu pun makhluk di
dalamnya.

"Benar, kita harus kembali," ucap Wawan mengulanginya lagi. Ia


memerhatikan wajah ketiga sahabatnya bergantian. Hanya raut ketidakpastian yang
tergambar. Kembali ke desa dan rumah itu, rasanya seperti menonton lagi kenangan
terburuk untuk ditonton ulang.

Namun, apakah mereka harus menolaknya?

"Pergilah, dan jemput Sari. Meski harus mengulangi kenangan terburuk itu
lagi, tapi setidaknya itu adalah keputusan yang lebih baik ketimbang harus
menanggung rasa bersalah seumur hidup."

Wawan menoleh ke arah pintu, "Loh, Kakung?"

Pria tua itu tersenyum simpul, lalu mengangguk pelan dan berkata, "Pergilah,
Allah akan selalu menyertai kalian."

Seluruh pasang mata masih tertuju pada pria tua di muka pintu. Terkejut?
Tentu saja. Padahal baru semalam tadi ia harus mencium aspal akibat terserempet
sepeda motor 'ghaib'.  Tapi, pagi ini sudah nongol sambil tersenyum simpul tanpa
terlihat seperti orang yang baru mengalami kecelakaan.

"Kenapa malah diam? Katanya mau menyelamatkan Sari?" ucap Kakung


sembari berjalan pelan memasuki kamar. Dengan sangat berhati-hati ia kemudian
mengambil duduk di samping Rio.

11Kloning atau duplikat.


"Kakung tidak apa-apa?" tanya Wawan dengan raut wajah khawatir.
Bagaimanapun juga, kakungnya baru saja mengalami kecelakaan yang lumayan
parah. Apalagi tubuh pria itu tidak tergolong muda lagi.

"Wes(12), ndak usah mikirin kondisi kakungmu ini. Lanjutkan diskusi kalian,"
ujar Pria tua tersebut.

Wawan mengernyitkan dahi, lalu menghela napas. Sebentar ia memandangi


jam dinding, pukul sepuluh lewat beberapa menit. Cukup pagi untuk kembali ke sana.

"Baiklah, sekarang lebih baik kita berkemas dan bersiap. Ada rumah yang
harus kita datangi."

Rio, Ratih dan Bayu serta Kakung mengangguk tanda setuju. Bergegas kelima
orang itu melenggang pergi dan mulai mempersiapkan segala keperluannya.

Dua buah tas, diisi dengan senter, tambang hingga obat nyamuk tak lupa
dimasukan. Beberapa minuman, bahkan makanan ringan juga ikut masuk jikalau
nantinya diperlukan. Tak luput mereka juga membawa pisau belati milik ayahnya
Bayu, serta palu sebagai senjata.

Bak militer, keempat remaja itu berjajar rapi di ruang tamu rumah Wawan.
Wajah mereka terkesan tegas dengan tas sekolah di punggung. Keraguan harus
mereka kubur dalam-dalam dengan tekad dan keyakinan yang kuat serta dengan
dorongan 'keterpaksaan'.

Hari ini, operasi misi penyelamatan akan segera dilaksanakan. Lokasi Desa
Sidojaya, desa mati dengan berbagai kisah mistisnya. Misi ini sangat rahasia, tidak
boleh sampai orangtua mereka tahu, bisa gawat.

"Baiklah teman-teman, dengan diawali dengan membaca Al-Fatihah, kita akan


kembali ke sana." Wawan mengomando.

"Tunggu." Tiba-tiba Kakung muncul dari balik kelambu ruang belakang.


Sesaat menghentikan keempat remaja itu yang sudah ingin berangkat ke 'medan
perang'.

12Sudah.
Wawan menoleh ke belakang.

"Bawa ini."

Wawan menerima sebuah kalung dengan bandul batu hitam legam. Tidak
terlalu besar dan saat diangkat terasa cukup ringan. Mirip seperti batu apung. Dalam
benaknya ia berpikir, untuk apa?

"Ini jimat. Mudah-mudah nggak ada yang berani mengusik kalian, terutama
para makhluk halus," terang Kakung bak bisa membaca isi pikiran Wawan.

"Allah pasti melindungi kami, Kung. Aku percaya itu." Wawan tersenyum,
hendak mengembalikan kalung itu tapi cepat Kakung menolaknya.

"Iya, Kakung ngerti, Wan. Tapi, ini buat jaga-jaga aja. Kamu pake ya," pinta
Kakung lagi agak memaksa.

Wawan menghela napas. Sebenarnya ia tak ingin memakainya, tapi demi


menghormati sang Kakung, terpaksa ia memakainya juga.

"Sudah. Cepat kalian berangkat, nanti Mak sama bapakmu keburu pulang."

Mendengar hal itu, Wawan dan ketiga sahabatnya terhenyak sadar. Benar
juga, bisa gawat kalau mereka sampai pulang dan melihat dirinya akan kembali ke
desa itu.

"Ingat, Kung. Jangan bilang sama Mak dan Bapak soal ini!"

Pria tua itu tersenyum dan mengangguk pelan. Kemudian, dengan tergesa-gesa
Wawan me-stater sepeda motornya lalu segera melesat pergi.

Mereka baru memulainya. Namun, ada senyum sinis tanpa arti yang menyertai
kepergian mereka. Senyum itu dari Kakung.

***
Sementara itu, di tempat yang sangat gelap dan hanya pendar lilin yang
menerangi. Seorang gadis berkacamata tengah duduk terkulai di atas kursi kayu.
Tangan dan kakinya terikat oleh tali tambang yang mengekang kuat.

Angin dingin berhembus dan menjulur ke sela-sela pakaian gadis itu yang
hanya memakai kaos lengan pendek dan celana pendek pula. Dingin serasa menusuk
sampai ke tulang. Begitulah dua hari yang ia rasakan, sampai tubuhnya mulai terbiasa.

Derap langkah sepasang kaki terdengar pelan nan anggun. Dari balik
kegelapan perlahan tampak bayangan sosok manusia yang tengah berdiri tegap
dengan rambut digelung bak sinden Jawa.

"Sudah pagi, waktunya sarapan."

Gadis berkacamata mengangkat wajahnya. Nampak dengan jelas sisa-sisa


sungai air mata yang mulai mengering menghiasi pipinya yang putih pucat.

"Tolong, lepaskan aku," lirih suara gadis itu nyaris terdengar seperti anak
kucing yang kelaparan.

Perlahan sungai itu kembali merembaskan air hingga jatuh ke lantai. Untuk
yang kesekian ratus kali ia sudah memohon dengan kalimat yang sama. Namun,
hasilnya tak pernah berubah.

"Aku melepaskanmu? Hahahaha!" Tawa itu menggema, hampir sama seperti


suara-suara tawa hantu dalam sebuah film horor. "Jangan harap. Kau akan menjadi
tumbalku yang selanjutnya, gadis manis. Hahahaha!”

Hanya dua kalimat itu sebagai jawabannya.

"Kumohon, seseorang tolonglah aku." Buliran bening air mata itu kembali
jatuh ke lantai. Beginilah akhirnya, menjadi tumbal. Akhir yang tragis, atau mungkin
saja tidak. Karena mereka, sedang dalam perjalanan.

***
BAB 6 - SERANGAN

Perjalanan yang tidak memakan banyak waktu. Menempuh jarak tiga kilo
meter, melewati kurang lebih dua desa, hingga kemudian sampai di jalan makadam
buatan tahun 1960-an. Tak jauh di depan sana, di antara lumut dan akar yang
menggantung liar, terdapat desa mati bernama desa Sidojaya.

Masih teringat jelas saat terakhir kali dirinya berada di desa itu beberapa hari
yang lalu. Kesepian dan kengerian bercampur menjadi satu dalam lingkup sebuah
lingkungan yang andai dirawat sebenarnya cukup asri. Pepohonan rindang yang
nyaris tak tampak pernah disentuh manusia. Udara dingin nan segar juga sesekali
membuat dirinya lupa kalau tempat ini merupakan tempat terangker sekotamadya
Blitar. Aneh memang.

Andai saja, tak ada tragedi-tragedi memilukan yang pernah terjadi di sini.
Mungkin, Wawan akan betah untuk tinggal beberapa hari saja. Namun, itu hanya ada
dalam angan-angan. Tak akan mungkin tempat ini bisa hidup kembali. Terlalu
mustahil. Tidak, sampai ada yang berani mengambil langkah penuh resiko dengan
kembali membangun desa.

Tak terasa, akhirnya mereka—Wawan, Bayu, Rio & Ratih—sampai di depan


gapura selamat datang desa Sidojaya. Kondisinya masih sama dengan hari lalu, kusam
dan sudah hampir roboh gapura yang terbuat dari campuran semen dan bata tersebut.

"Kita parkirkan motor kita di pos itu,” komando Bayu.

Dengan hati-hati, dua motor bebek milik Bayu dan Wawan diparkirkan di
dekat pos kamling lengkap dengan kentongannya yang sudah cukup lapuk. Hari lalu,
mereka juga parkir di sana, untung tidak terjadi apa-apa. Sepertinya memang benar-
benar tak ada yang berani mendekati desa ini sejengkal pun.

Angin dingin langsung menyambut keempatnya saat sudah memasuki desa itu,
sama seperti saat terakhir kali mereka ke sini. Dinginnya terasa seperti tangan yang
tengah meraba kulit secara ambang. Bulu-bulu kecil di permukaan kulit seketika
berdiri.
"Teman-teman, kita sudah disambut oleh 'mereka'," kata Wawan saat
merasakan lehernya disentuh oleh sentuhan ghaib yang terasa seperti angin. Namun,
ia bisa membedakannya secara mudah itu bukanlah angin.

Bayu, Rio dan Ratih hanya diam. Yang tergambar di wajah mereka hanyalah
raut ketegangan, tetapi penuh kesiapan. Siap untuk memasuki rumah itu lagi, dan siap
dengan konsekuensi yang nantinya bakal mereka dapatkan. Mereka memang harus
siap untuk apa pun.

Dengan langkah percaya diri, memantapkan tekad untuk mencari sahabatnya


yang satu lagi, Sari. Mereka khawatir jika gadis polos itu sampai kenapa-kenapa,
terlebih kemungkinan besar yang menculiknya adalah bangsa jin yang mendiami
tempat ini.

Bangunan besar dengan cat putih kusam, ditambah lumut dan akar yang
merambat di dinding. Dedaunan kering juga tampak berserakan menghiasi beranda
rumah tersebut. Pepohonan rindang dengan gagah mengelilinginya dan bergoyang
tersapu angin. Sekali lagi mereka disambut oleh hawa dingin yang terasa seperti
mengajak bicara.

"Kalian siap?" Wawan menoleh ke sisi kiri dan kanannya, memastikan kalau
ketiga sahabatnya telah siap. Mereka balik memandang Wawan dan mengangguk
pelan. Mereka siap.

Wawan menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya kasar.


Jantungnya berdegup tak teratur. Keringat dingin juga membasahi pelipisnya.

Tap!

Tangan itu menyentuh gagang pintu. Dengan perasaan campur aduk, ia


mendorongnya pelan. Kali ini angin yang lumayan kencang menerpa dari dalam,
spontan membuat empat remaja itu sedikit mundur. Agak terkejut.

Bukan itu saja, bebauan anyir darah dan bangkai busuk langsung
menghinggapi hidung. Inikah sebuah ucapan selamat datang dari mereka? Tidak
sopan! pikir Wawan.
"Mau apa kalian datang lagi ke sini?" Suara itu menggema di dalam rumah.
Suara seorang wanita dewasa yang cukup lembut tetapi menyeramkan.

Mati langkah. Mereka tak berani bergerak. Tubuh bergetar, keringat dingin
tiba-tiba sudah membasahi seluruh tubuh. Bak patung manekin, mereka hanya
melotot.

"Sekali lagi kutanya. Mau apa kalian datang lagi ke sini?!" tanya gema suara
itu sekali lagi, kali ini dengan nada lebih tinggi.

Senyap, tak ada jawaban, hingga ....

"Di mana Sari?!" teriak Wawan dengan lantang, bibirnya bergetar. Ada
kekuatan yang tiba-tiba menyuruhnya angkat bicara. Meski sunyi, tak ada sahutan
dari suara wanita tadi. Ke mana perginya. Lama menanti jawaban, membuat Wawan
tak sabar.

"Kenapa?! Kenapa?! Kenapa kau diam?!" Untuk kali keduanya Wawan


berteriak lagi. Nyalinya tiba-tiba tumbuh seiring dengan detak jantungnya yang mulai
tak beraturan.

Namun, tetap sama, tak ada respon apa pun. Suara tadi seakan lenyap bak
ditelan oleh bumi. Mungkinkah dia takut mendengar keberanian Wawan? Konon,
memang jin itu sebenarnya sangat lemah dan terlampau lebih unggul manusia jika
bicara soal kekuatan.

Brak!

"Sialan!"

Tiba-tiba pintu tertutup sendiri. Gelap langsung menyerang. Keempat remaja


itu kalang kabut. Ratih segera merogoh isi tasnya, mencari-cari senter yang telah
disiapkannya tadi demi kondisi seperti ini.

"Senter! Di mana senternya?!"

"Sabar! Masih kucari!"


Ratih sibuk mencari-cari senternya. Namun, itu menjadi tak berguna saat
sebuah cahaya tiba-tiba menyala. Benderang, cahaya menyilaukan dari arah leher
Wawan, bukan, tetapi dari bandul kalung pemberian Kakung. Kalung itu
memancarkan cahaya pendar putih yang cukup menyilaukan.

Tanpa sengaja mereka menoleh ke atas demi menghindari cahaya silau itu.
Namun, mereka kembali terkejut saat melihat sosok di atas sana. Tangan dan kakinya
menempel di plafon, berjalan perlahan seperti cicak. Namun, bukan! Dia lebih mirip
manusia yang tengah merayap di plafon. Yang terlihat adalah punggung hitam
legamnya melepuh seperti habis terbakar. Kepalanya plontos nyaris terbelah menjadi
dua, dan menampakan otaknya yang hancur. Tetes darah berjatuhan.

"Makhluk apa itu?" gumam Bayu sembari perlahan mundur beberapa langkah,
hingga akhirnya terhenti saat tubuhnya menabrak sesuatu.

Lengket, dan baunya menjijikkan. Dengan perlahan Bayu menoleh ke


belakang, dia menelan ludah saat melihat siapa yang ada di belakangnya. Sesosok pria
bertubuh tinggi dengan kulit pucat dan tatapan mata merah menyala. Kulitnya
melepuh dan dipenuhi oleh belatung yang menggeliat sambil memakan setiap daging
yang tersisa.

"Bayu!" Wawan meloncat ke arah tubuh zombie itu dan dengan cekatan ia
mendorongnya dengan kaki hingga menabrak pintu.

Blak!

"Aaa!" kini ganti Ratih yang menjerit saat kakinya dililit oleh tentakel besar.
Tunggu, memang dari mana datangnya tentakel gurita sebesar itu?!

Rio tak ingin tinggal diam, tetapi saat ia berusaha menendang tentakel itu,
kakinya terlebih dahulu terkunci.  Tersandung, wajah Rio jatuh menghantam lantai
hingga hidungnya berbunyi ‘Kletak!’, patah.

"Asu!" Rio berusaha bangkit meski tentakel itu perlahan menyeretnya ke


bawah kolong bufet. Tangannya berusaha meraih tentakel itu, tetapi tentakel-tentakel
lain mengekang kedua lengannya. Kini dia terkunci sepenuhnya. "Persetan!"
Panik. Tangan dan kaki Ratih sudah dikunci oleh tentakel-tentakel itu,
sementara ia hanya bisa menangis tak bisa mengelak. Di sisi lain, Wawan dan Bayu
juga telah dililit oleh ular piton besar yang entah dari mana asalnya. Namun, yang
pasti mereka semua telah terkunci.

Untuk yang kedua kalinya, mereka harus kalah oleh lilitan. Mungkinkah kali
ini mereka akan disekap lagi? Siapa yang tau?

Sosok seperti spiderman tadi menjatuhkan diri tepat di hadapan Wawan dan
seketika hancur berserakan organ tubuhnya. Akan tetapi, perlahan organ-organ itu
kembali menjadi satu. Sempurna. Makhluk itu berdiri, matanya meleleh dan senyum
lebar mengembang. Bukan! Bukan senyum lebar biasa, tetapi senyum yang membelah
bagian atas kepala dan bawah makhluk itu.

Wawan beringsut. Matanya tak berani menatap pemandangan mengerikan di


hadapannya. Setelah sebelumnya ia harus melihat bocah mengerikan, kini sepertinya
naik level. Bukan bocah lagi, tetapi sosok dewasa yang jauh lebih mengerikan dengan
senyum lebarnya.

Remaja itu berusaha melepaskan diri dari lilitan, sayangnya semakin ia


meronta, semakin kuat dekapan tersebut. Sudah. Tak ada lagi yang dapat
diperbuatnya. Wawan membuka matanya sedikit, berusaha mengintip makhluk
mengerikan itu berharap sudah enyah. Akan tetapi, ia salah. Makhluk itu tetap dalam
posisinya. Menyeringai lebar dengan tatapan mata yang tak pernah pergi dari mata
Wawan.

"Sialan!"

Namun, tunggu ... ada satu sosok lagi di samping makhluk itu. Yang satu ini
terlihat seperti manusia, berdiri agak membungkuk, dengan pakaian hitam dukun serta
blankon. Ya ampun, Hendra maksudnya Wawan, mengenal siapa dia.

"Ka—" Tak bisa, suaranya tercekat. Lilitan itu mencekiknya kuat. Tubuhnya
semakin lama semakin melemas kehabisan tenaga. Matanya berkaca-kaca, semakin
sembap dan terus memudar pandangan. Sebelum akhirnya gelap total.

Tak sadarkan diri.


***

Gelap, itu yang pertama kali disimpulkan olehnya. Remaja jangkung berambut
rapi itu menelusur ke sekitar. Sesekali ia melangkah penuh hati-hati, berharap tak
menginjak sesuatu yang berbahaya.

"Kamu tak perlu banyak bergerak." Sebuah suara bergema. Terdengar seperti
suara seorang laki-laki yang cenderung berat tetapi nyaman di telinga.

Wawan menghentikan langkahnya. Celingak-celinguk mencari ke sekitar


berharap menemukan sumber suara. Namun, tetap saja nihil. Gelap tak bisa
membedakan apakah dirinnya sedang membuka atau menutup mata.

Pyar!

Pendar cahaya kekuningan redup tiba-tiba menyala di hadapan Wawan.


Sebuah lampu petromaks sudah berada di atas meja. Api di dalamnyalah yang
memancarkan sinar kekuningan menghalau gelap.

Remaja itu mengangkat satu alisnya. Dari mana datangnya lampu itu? Namun,
jika dipikir-pikir lagi itu bukanlah hal yang penting. Sekarang yang utama adalah,
dirinya sedang berada di mana?!

"Kamu ada di ruang jiwa dan kebenaran."

Suara itu kembali menyahut untuk yang kedua kalinya. Suara siapa
sebenarnya itu?! pikir Wawan dalam hati.

"Mungkin kamu belum mengenaliku, karena saat aku masih hidup kamu
belum lahir, Anak muda."

Wawan mundur beberapa langkah. Apa maksudnya ia masih hidup dan dirinya
belum lahir. Mungkinkah ia sekarang berbicara dengan mayat hidup? Akh, itu terlalu
fantasi.
"Si–Siapa kau?!" Wawan ambil suara memberanikan diri. Wajahnya tetap
menelusur ke sekitar berusaha mencari si pemilik suara berat itu.

"Kamu bisa memanggilku sebagai Jin pembantu."

Lamat-lamat dari seberang meja terlihat sosok yang bergerak mendekat.


Tampak dari pakaian yang dikenakannya berwarna putih. Mungkinkah itu pocong?
Wawan bergidik ngeri dan melangkah mundur perlahan.

"Tak usah takut."

Wawan menghentikan langkahnya. Sosok itu mulai terlihat jelas meski


wajahnya hanya tampak gelap. Namun, ia bisa menyimpulkan kalau sosok itu bukan
pocong. Ia memakai jubah, di kepalanya melingkar kain sorban berwarna putih bersih.
Wawan menelan ludah, rasa takutnya perlahan menghilang. Namun, denyut
jantungnya masih terasa berdebar cukup cepat.

"Siapa kamu sebenarnya?" tanya Wawan.

"Itu tidak terlalu penting, yang terpenting sekarang adalah bagaimana cara
agar kamu dan teman-temanmu bisa terlepas dari Istriku."

"Istrimu?" Wawan mengernyitkan dahi, tak paham. Namun, setelah


mendengar pernyataan pria itu ia menjadi sadar ia mungkin masih berada di dalam
rumah itu. Dan mungkin para sahabatnya sekarang mengalami kesulitan, entahlah ....

"Ya, seorang wanita yang menyekap teman gadismu."

"Sari?"

"Ya, mungkin itu namanya. Dan sekarang, Istriku tidak hanya menyekap Sari
saja, tapi seluruh temanmu."

"Tidak mungkin!" gumam Wawan seraya menundukan kepalanya.

"Itu mungkin, dan sangat memungkinkan."

Wawan kembali mendongak, memerhatikan pria misterius itu di balik


kegelapan.
"Namun, jangan khawatir. Setidaknya dirimu tidak berhasil disekap olehnya,
Hendra."

"Lalu, di mana aku sekarang! Maksudku, di mana ini?" Suara Wawan


meninggi mencoba setegar mungkin.

"Sudah kubilang bukan kalau kamu sedang berada di ruang jiwa dan
kebenaran?" balas pria itu. "Lupa?"

Wawan terhenyak diam, tak ingin melanjutkan perdebatan ini. Dia sekarang
berada di tempat yang disebut Ruang Jiwa dan Kebenaran. Mendengarnya, ia
menjadi ingat dengan nama ruangan yang serupa yakni Ruang Jiwa dan Waktu di
sebuah serial anime Bola Naga. Apakah ada kaitannya?

"Kurasa, sedikit banyak ada kaitannya," gumam Wawan.

"Itu tidak penting. Sebaiknya, kau dengarkan rencana yang kubuat ini.
Mendekatlah," pinta Pria misterius itu. Ia tetap bergeming di tempatnya, menunggu
Wawan yang mendekat.

Remaja itu kemudian melangkah mendekati meja. Bola matanya yang terus
bergerak melihat sekitar, menandakan kalau ia masih dalam keadaan yang masih
sangat waspada.

"Dengarkan ini, aku akan memberimu sebuah hadiah. Gunakan sebaik


mungkin."

Pria misterius itu melemparkan benda dengan tali melingkar. Wawan


menerimanya dengan mata menyipit sedikit was-was.

"Aku akan menjelaskannya kegunaannya padamu."

Wawan menoleh ke Pria misterius. Lalu sang Pria menjelaskannya secara


detail. Sementara Wawan hanya menggangguk dan sesekali berjingkat kaget saat
diberikan informasi yang di luar nalar.

***
Sekarang bertambah. Ada empat orang, dua remaja laki-laki dan dua remaja
perempuan. Semuanya duduk menunduk di atas kursi kayu dengan tangan dan kaki
diikat. Salah satu dari mereka kemudian tersadar juga.

Rio mendongakan kepalanya. Saat ia mencoba menggerakan tangannya, tidak


bisa. Tertahan kuat. Berdecik kesal. Lalu matanya menelusur ke sekitar, tempat yang
remang-remang dengan cahaya satu lilin di atas meja. Sorot matanya juga melihat
ketiga sahabatnya yang tertunduk lesu. "Bayu, Ratih dan Sari?" gumam Rio.

Ia menghadap ke bawah, keramik kusam. Disimpulkan, dirinya sedang berada


di dalam ruangan sebuah rumah. Mungkinkah sekarang dia berada di ruang
penyekapan yang berbau anyir dan busuk ini?

Derap langkah terdengar santai dari arah depan. Rio menjadi waspada. Ia
memicingkan mata menajamkan penglihatan, mencoba mencari tahu siapa yang akan
datang.

Langkahnya semakin mendekat, hingga kemudian berhenti. Selang beberapa


detik, suara jentikan jari terdengar nyaring dan bergema. Sekejap kemudian cahaya
benderang terpancar dari antah-berantah.

Rio menelan ludah, tak percaya dengan yang ia lihat sekarang ini. Seorang
wanita dewasa dengan pakaian kebaya yang nyaris seperti sinden. Beberapa makhluk
seperti zombie di belakang wanita itu.

"Ya Tuhan." Rio hanya bisa melongo tak percaya.

"Akhirnya kamu bangun juga," ucap Wanita itu seraya menyeringai lebar.

***

BAB 7 - KUYANG
Terbelalak kaget saat matanya melihat apa yang ada di hadapan. Paling depan,
seorang wanita dewasa, berwajah oriental berkulit kekuningan khas Asia Tenggara
dan rambut disanggul —konde. Memakai pakaian kebaya berwarna hijau tua, berdiri
tegap sembari menyilangkan tangan di dada. Senyum licik terlintas tampak dari
bibirnya yang bergincu merah ranum.

Tepat di belakang wanita itu, setidaknya ada empat makhluk mengerikan


menyerupai zombie. Berkepala plontos, mata hijau menyala, gigi-gigi runcing dan
yang paling menjijikan adalah kulitnya yang berlubang dan mengeluarkan nanah.
Pantas saja ruangan ini berbau sangat anyir.

Isi perut Rio seketika seperti dikocok hebat, mual-mual. Sekuat tenaga remaja
berkulit gelap itu menahan isi perutnya agar tidak keluar. Namun, bau busuk dan
anyir terus saja menyerobot masuk lewat hidung dan itu terasa sangat menyiksa.

"Ada apa?"

Rio mendongak, menatap Wanita itu. Alisnya saling bertautan.

"Siapa kamu sebenarnya?" tanya Rio tanpa basa-basi, lagi pula untuk apa
basa-basi.

"Tidak sopan!"

"Bodo amat! Siapa kamu sebenarnya?!"

"Kamu tak perlu tau, Anak muda!" teriak wanita itu akhirnya berhasil
membungkam nyali Rio. “Dasar anak zaman sekarang, gak punya sopan santun kalau
bicara dengan orang yang lebih tua.”

“Kamu bergumam?” tanya Rio.

“Lupakan soal itu!”

Rio tak paham dan lalu diam.


"Untuk apa mengerti siapa diriku, jika sebentar lagi kamu juga sudah tak akan
bernapas lagi." Wanita itu tersenyum picik.

Rio mendelik kaget. Apa maksudnya dengan tidak bernapas lagi? Mungkinkah
ia akan ….

"Tunggu sebentar! Apa maksudmu tidak bernapas lagi?"

Tak ada jawaban. Wanita tersebut hanya mengangkat satu alisnya. Sejurus
kemudian zombie-zombie di belakangnya berjalan terseok-seok mendekati keempat
remaja itu. Rio yang satu-satunya tersadar menggeram dan mencoba berteriak.
Namun, saat salah satu makhluk menjijikan itu mendekatinya, ia hanya bisa pasrah
seraya menutup matanya.

Ya ampun, baunya bikin orang langsung ingin mati saja!

***

Tubuhnya tiba-tiba seperti melayang dan kemudian jatuh menghempas tanah.


Bersamaan dengan itu ia langsung membuka matanya dan berteriak sekeras mungkin.

Remaja itu terlonjak kaget dan segera terduduk. Napasnya tak beraturan,
keringat dingin juga membasahi tubuhnya. Matanya jelalatan menelusur ke sekitar
berharap menemukan sesuatu ataupun seseorang. Namun, nihil. Tak ada siapa-siapa
di ruangan ini.

Wawan memegangi seluruh tubuhnya, masih utuh. Terakhir kali yang diingat
adalah ia terpeleset dari atas sebuah gedung pencakar langit, dan jatuh menghepas
tanah. Tubuhnya terasa telah hancur berserakan. Akan tetapi, semua itu tak pernah
benar-benar terjadi. Tubuhnya masih utuh tanpa cacat dan luka. Tadi hanya mimpi,
'kan? Lalu sejak kapan ia tertidur? Namun, jika itu cuma mimpi, seharusnya kalung
ini tidak ada di lehernya.
Wawan memegangi bandul yang mengalung di lehernya. Mirip sebuah batu,
berwarna putih bulat seukuran biji salak. Bukan, itu bukan kalung pemberian sang
Kakung karena kalung yang itu sudah di buang oleh ....

"Sosok itu? Siapa namanya?"

Seorang Pria misterius berpakaian seperti anggota Wali Songo, berjubah putih
dan bersorban. Hanya saja ia tak dapat melihat wajahnya dengan jelas. Pria itu telah
membuang kalung pemberian Kakung di dalam mimpinya. Katanya kalung itu
berbahaya. Jadi hal itu memang benar-benar terjadi. Kini kalung pemberian Kakung
hilang, ia tak yakin apakah itu bagus atau tidak.

Ini mustahil. Ini pasti hanya halu!

"Akh!" Wawan mengacak-acak rambut klimisnya hingga berantakan.


Pikirannya kacau. Antara percaya dan tidak, yang pasti kejadian tadi benar-benar
nyata, sepertinya.

Remaja itu menyandarkan tubuhnya ke tembok seraya mencoba mencerna apa


yang baru saja terjadi dengan logika. Namun, semakin dipikirkan, semakin aneh dan
tak masuk akal.

“Persetan!” teriak Wawan lalu memejamkan matanya sebentar. Menarik napas


lalu membuang. Mencoba menenangkan diri.

Saat kedua bola matanya melihat jauh ke depan. Sebuah cahaya terlihat
berpendar kecil di atas lantai di balik daun pintu yang terbuka setengah itu. Sepertinya
tak asing.

Ia kemudian berdiri. Melihat cahaya itu sepertinya masih ada harapan. Wawan
melangkah dengan hati-hati menuju ke arah pintu. Sesekali netranya melihat ke
sekitar memastikan tak ada makhluk aneh yang sedang mengawasi.

Akhirnya ia sampai. Kini dari situ dapat terlihat dengan jelas benda apa yang
menyala di sana. Ternyata adalah senter yang tergeletak di antara beberapa tas yang
sangat dikenal. Itu tas miliknya dan ketiga sahabatnya. Di mana mereka? Mungkinkah
mereka berhasil ditangkap dan hanya dirinya saja yang berhasil selamat? Tidak
mungkin.

Wawan bergelut dengan otaknya sendiri. Namun, hal itu tentu tidak akan
segera menyelesaikan masalah. Apabila benar ketiga sahabatnya berhasil ditangkap,
berarti tugasnya bertambah. Dari hanya mencari Sari, menjadi mencari semuanya.
Hey, sepertinya ia akan mendapat medali kehormatan atau gelar Most Valuable
Player(13) setelah semua ini selesai.

"Sialan," Wawan berdecik kesal. Ia kemudian melangkahkan kaki penuh


kewaspadaan menghampiri letak senter. Celingak-celinguk memastikan, nyaris seperti
maling atau mungkin dia memang berbakat menjadi maling? Halah! Maling bukan
bakat, tetapi hasrat.

Akhirnya dia sampai. Segera tangannya meraih senter yang masih menyala itu
dari lantai keramik. Tak lupa memeriksa isi tas di sana. Ia mengambil beberapa alat
seperti senter lain, tambang, palu ... tunggu, siapa yang membawa palu? Wawan
mengernyitkan dahi. Ah, Tidak terlalu penting. Ia memasukan palu itu ke dalam tas.
Sebelum ditutup, ia memasukan air mineral dalam botol yang dibawanya untuk
persiapan tadi. Selesai. Ia menyampirkan tas itu ke punggung. Terasa sedikit berat
akibat palu tadi. Tapi tak apa-apa, siapa tau penting.

Ia berdiri. Senternya di arahkan ke segala arah mata angin. Ada tangga di


depan sana. Oh ya, dia ingat. Seharusnya tempat ini adalah ruangan pertama yang
dimasukinya tadi. Berarti, pintu keluar berada tepat di belakangnya.

Namun, tiba-tiba bulu kuduk Wawan berdiri. Terasa hawa dingin menyapu
punggungnya perlahan. Remaja itu bergidik pelan. Sayang sekali ia tidak waspada
kali ini. Semoga saja yang ada di belakangnya tidak terlalu mengerikan. Ia hanya bisa
berharap.

Bau anyir dan tanah lembap menyerobot masuk ke dalam hidung. Ini bukan
bebauan yang asing di hidungnya. Tentu saja perasaannya tidak enak. Dengan
perlahan ia melangkah ke depan dengan hati-hati berusaha menghindari makhluk
yang entah apa di belakangnya. Yang pasti, makhluk itu menjijikan dan mengerikan.
13Pemain yang Paling Berharga (MVP), suatu gelar kehormatan yang biasa dipakai dalam bidang
olahraga atau permainan video.
Satu, dua, empat langkah kecil. Akhirnya remaja itu berhenti lagi. Dia
merasakan kalau makhluk di belakangnya juga ikut bergerak mengikuti. Wawan
memejamkan mata sebentar lalu membukanya lagi. Jantungnya berdebar hebat.
Napasnya memburu hingga sulit sekali diatur. Mau tak mau ia harus menengoknya,
mungkin itulah yang diinginkan oleh makhluk yang ada di belakangnya. Mungkin ia
ingin menunjukan eksistensinya.

Bau busuk, anyir darah, dan ditambah bau tanah lembap. Kira-kira makhluk
apa itu? Jika seperti zombie yang ia lihat beberapa kali tadi, sepertinya bukan. Lalu
apa? Pikiran Wawan berusaha menebak-nebak sosok apa di belakangnya.

Dengan ketakutan tingkat dewa dan peluh yang membasahi seluruh tubuhnya.
Wawan mencoba memberanikan dirinya sendiri hanya untuk sekadar menoleh ke
belakang. Ia melangkahkan kaki kanannya, kemudian mencoba membalikan badan
secara perlahan.

"Astagfirullah." Remaja itu hanya bisa beristighfar seraya menelan ludahnya


sendiri. Dunia seakan berhenti. Ia menatapnya tanpa berkedip.

Kali ini lebih tradisional dan lumrah di Indonesia. Tubuh tinggi terbungkus
kain kafan yang sudah kotor dengan tanah serta wajah hancur kehitaman. Pocong itu
setengah melayang di hadapan.

Ingin rasanya berteriak tetapi suara seakan tak ingin keluar. Tangan dan
tubuhnya kaku. Kini Wawan hanya bisa mematung. Saling tatap antara manusia dan
jin itu untuk beberapa saat. Sampai kemudian kilat cahaya dari arah kalung yang
dipakai Wawan tiba-tiba membakar sosok pocong di hadapannya. Ya, benar-benar
terbakar habis. Pocong itu tampak menggeliat, tubuhnya meleleh. Wawan hanya bisa
bergidik saat wajahnya meleleh dan matanya jatuh menggelinding mendekati kakinya,
sebelum kemudian lenyap menjadi abu.

"Apa yang terjadi?" gumam Wawan. Hantu yang ada di depannya telah lenyap
menjadi abu, akan tetapi sejumlah pertanyaan kemudian mengusik otaknya. Mengapa
pocong itu bisa lenyap? Dari mana asal cahaya kilat tadi? Dan , dan ….
Sekali lagi Wawan mengucek rambutnya yang sudah berantakan. Keanehan
demi keanehan semakin sering terjadi.

Kemudian ia melihat bandul kalung yang dipakai di leher. Masih tampak


sama, kecuali sebuah bintik hitam kecil di salah satu sisinya. Wawan mengernyitkan
dahi, bukankah tadi batu itu masih berwarna seputih susu, mungkinkah debu? Jarinya
mencoba mengelap batu itu, tetapi tidak terjadi apa-apa. Mungkinkah.

Brak!

Wawan menoleh sembari menyenter asal suara. Persetan. Ternyata sosok


mengerikan lain datang mendekati. Jalannya terseok-seok dengan geraman aneh yang
terus terdengar.

Tak ingin membuang waktu, ia kemudian berlari ke pintu utama dan ke luar.
Menuruni tangga depan rumah dan akhirnya sampai di jalanan makadam. Ia berlari
cukup jauh di gelapnya malam di tengah-tengah desa mati itu. Namun, larinya terhenti
saat ia merasakan ada yang tengah memerhatikannya dari jauh.

Remaja itu menoleh ke belakang. Memperhatikan setiap jengkal rumah di


ujung jalan itu sesaat. Matanya kemudian tertuju pada balkon lantai dua. Dua sosok
manusia berdiri mengawasi.

"Siapa mereka?" Wawan menyipitkan mata mencoba mengenali setidaknya


salah satu dari mereka. "Ya ampun!" Kembali Wawan berdecak kaget. Ia sesekali
mengucek matanya agar semakin yakin dengan apa yang matanya lihat."Sari?!”

Serunya mengancurkan keheningan malam. Namun, gadis di balkon itu tetap


bergeming. Raut wajahnya datar, mirip seperti boneka berkulit pucat yang
mengerikan.

"Hahahaha!" Tiba-tiba seorang Wanita dewasa di samping Sari tertawa begitu


renyah. Tawa puas.

"Sialan."
Wawan menengok ke sekitar, tak ada apa-apa selain deretan rumah kosong di
sisi jalan. Ia harus menyelamatkan Sari. Entah mengapa, sepertinya yang berada di
balkon itu adalah sosok Sari yang asli.

Wawan menggeledah isi tasnya sendiri. Mencari benda yang dapat dijadikan
senjata. Dapat. Sebuah palu yang ia simpan tadi.

Palu di tangan kanan dan senter di tangan kiri. Mungkin itulah senjata yang
setidaknya dapat membantu dia sementara ini.

Dengan langkah tegas, ia berlari-lari kecil kembali ke rumah itu. Tak lupa
sesekali ia melihat ke arah Sari. Namun, hanya senyum sinis Wanita dewasa di
samping Sari yang membalas tatapan Wawan.

Akhirnya remaja itu sampai di depan pintu yang beberapa menit lalu ia lewati
keluar. Kini, ia harus melewatinya lagi untuk masuk. Namun, sebelum ia benar-benar
masuk, Wawan memejamkan mata seraya menunduk. Mulutnya berkomat-kamit
merapal doa yang ia yakini dapat menghalau para makhluk halus itu.

Selesai.

"Baiklah." Wawan menghela napas kasar. Tangannya menguatkan


genggaman. Dengan sisa tenaganya, kaki kanan remaja itu menendang salah satu
daun pintu hingga berdebam dan terbuka.

Sorot cahaya senter menerawang ke depan. Tiga makhluk berwujud seperti


mayat hidup berdiri menanti Wawan di tengah ruang tamu. Remaja jangkung itu
bersiaga penuh. Palu di tangan kanan Wawan dipegang degan erat, siap menghantam
apa pun yang menghalangi.

Bergegas dia berlari menyerobot ke koloni makhluk mengerikan itu seraya


palunya diayunkan memukul. Dengan gesit, meski tak pernah berlatih bela diri, ia
mampu mengayunkan palu dengan cukup efektif. Terbukti dengan para zombie itu
yang kewalahan dan berhasil jatuh bangun.

Dag!
Palu menghantam kepala salah satu zombie yang membuat kepalanya
langsung hancur dan memuncratkan darah hitam, entah karena hitam asli atau efek
gelap. Wawan tak peduli. Darah dari makhluk itu sudah membasahi sebagian
pakaiannya. Menjijikan!

Pertarungan menjadi sangat sengit, ternyata zombie itu juga bisa memberi
perlawanan dengan gerakannya yang lamban. Sesekali hampir saja muka Wawan
terkena cakaran makhluk mengerikan tersebut. Akan tetapi, gerakan manusia normal
lebih cepat. Wawan terus menyerang dan menghantam.

Sadar pertarungan ini tak akan pernah selesai, Wawan segera mencari celah
untuk berlari. Tujuannya kali ini adalah lantai atas, kemungkinan besar para
sahabatnya disekap di sana. Urusan di mana letak tepatnya, itu dipikir belakangan.
Piker keri.

Wawan melayangkan palunya menghantam satu zombie yang masih berdiri.


Satu pukulan telak mengenai dagu zombie itu. Gigi-giginya yang runcing hancur
berantakan. Zombie itu ambruk.

Sebelum mereka bangun lagi, Wawan segera berlari menuju ke tangga.


Tergesa-gesa ia melangkah sampai beberapa kali hampir tersungkur. Namun,
usahanya tidak sia-sia. Akhirnya ia sampai di lantai atas. Sebelumnya, ia sempat
bertabrakan dengan Bayu di sini. Ingatannya masih terasa segar di kepala.

Baiklah, tidak ingin menunggu lama lagi. Wawan segera memilih dan
memilah dua lorong di sana. Yang di sisi kanan dan kirinya, tentu dia akan memilih
lorong yang kanan. Alasanya sederhana, karena sebelumnya ia pernah mencapai
ujung buntu lorong yang kiri.

Tancap gas, melesat berlari menelusuri lorong gelap itu. Sesekali ia melihat ke
kanan kiri lorong, mencari jikalau ada pintu. Tepat di ujung, ada satu pintu yang
tertutup. Wawan berhenti berlari di depan pintu tersebut. Untuk sebentar, ia ingin
bernapas dulu.

Menoleh ke belakang, tak ada yang mengejarnya. Aman. Ia kembali


membungkuk sembari mengatur napasnya. Mengangkat tubuhnya dan bersandar ke
tembok. Wawan memejamkan mata sebentar hanya untuk menarik napas lalu
mengembuskannya.

Akhirnya berangsur mulai tenang. Namun, ini belum berakhir. Ia tidak terlalu
yakin jika di balik pintu ini adalah jalan yang benar.

"Huft!" Menghela napas.

Dia siap. Tangannya memegang gagang pintu itu, perlahan dengan jantung
yang terus berdentang kasar, ia mendorongnya. Namun, siapa yang ada di balik pintu
itu membuatnya seakan kehabisan napas.

"Hah?!”

Wawan tercengang, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Mulut


menganga dan mata yang mendelik, palu di tangan kanannya hampir terjatuh. Ia
kemudian terhenyak kaget. Seperti nyawanya baru saja melayang.

Ia masih tidak percaya dengan yang dilihatnya sekarang. Sosok tua, sedikit
membungkuk, memakai pakaian serba hitam, dan ikat kepala blankon. Lebih mirip
dukun, tetapi tentu Wawan mengenali sosok itu.

"Kakung?" seru Wawan masih tak percaya. Ia melangkahkan kakinya mundur


saat Pria tua itu maju mendekat.

"Tidak! Kau bukan Kakung yang asli!" Tiba-tiba raut muka Wawan berubah
drastis. Ia mengetatkan rahang, sorot matanya tajam. Jika benar apa yang dikatakan
oleh Pria aneh yang memberinya kalung ini. Maka, Kakung memang patut dihindari.

Kakung berhenti melangkah. Ia memerhatikan Wawan tanpa sepatah kata pun


yang keluar dari mulutnya. Beberapa saat mereka berdua diam membisu saling tatap.

Wawan masih ingat pesan dari seseorang berjubah di mimpinya. Jika ia


bertemu dengan seorang Pria tua yang dikenal, sebaiknya hindari atau akan
mendapatkan masalah yang serius. Dengan kata lain, itu sebuah peringatan.

Tiba-tiba mata Kakung berkilat seperti ada api dalam bola mata tersebut.
Kemudian Pria itu tersenyum ke arah Wawan. Perlahan tetapi pasti, tubuhnya mulai
bergerak-gerak aneh. Semakin membesar, bahkan wajahnya mulai bermunculan bulu
kehitaman yang semakin lebat setiap detiknya.

Wawan hanya bisa melongo melihat perubahan wujud itu. Hingga kemudian
sosok Kakung telah berubah menjadi makhluk yang besar, berbulu hitam lebat,
dengan mata merah menyala. Jika saja bulunya berwarna putih, mungkin Wawan
akan mengira itu adalah makhluk mitologi di daratan kutub bernama Yeti. Atau jika
saja mukanya mirip kera, mungkin ia mengira itu Oozaru(14). Namun, bukan.
Warnanya hitam kecokelatan, mirip sosok monster berkaki besar alias Bigfoot.
Sayangnya, itu terdengar sangat konyol. Ini Indonesia, Kawan! Makhluk itu
bernama ....

"Genderuwo," gumam Wawan, ia hanya bisa jatuh terduduk. Kakinya tiba-tiba


terasa lemas, pun seluruh tubuh. Rasa takut yang berlebihan membuat ia tak kuasa
untuk sekadar berdiri.

Sementara sosok itu berdiri tepat di hadapan Wawan yang terkulai lemas,
meski matanya seakan terkunci untuk tetap terjaga. Namun, entah keajaiban yang ke
berapa didapat Wawan lagi. Sekonyong-konyong sinar putih berpendar cerah
menyilaukan mata. Hingga remaja itu harus menutupi wajahnya lekat-lekat agar tidak
buta.

Tiga detik cahaya tersebut berpendar sampai kemudian redup dan menghilang.
Bersamaan dengan itu, terdengar dengan erangan keras yang begitu menyiksa telinga.
Wawan membuka mata, Genderuwo di depannya tampak menggeliat kepanasan di
atas lantai. Menggeliat bak hewan kaki seribu yang ditetesi minyak tanah.

Remaja itu terkesiap, lalu saat tersadar ia segera meraih kalung di lehernya.
Batu seputih susu itu telah menghitam setengahnya. Mungkinkah yang mengeluarkan
cahaya dan kekuatan mistis barusan adalah batu aneh ini? Begitu pikir Wawan.
Namun, ia tak punya waktu lama. Ia harus segera pergi mencari para sahabatnya.

Dengan tenaga yang perlahan mulai pulih, ia bergegas meraih palu dan senter
yang sempat terlepas. Lalu, merangkak mendekati pintu ruangan di depannya.
Berhati-hati ia saat melewati Genderuwo yang terus menggeliat. Hingga akhirnya,

14Kera besar fiksi yang muncul di manga dan anime Dragon Ball.
beberapa meter sedikit jauh dari makhluk menyeramkan itu, tenaganya pulih. Wawan
berdiri dan segera mencari-cari jalan menuju ke lantai atas.

Senternya menangkap sebuah tangga. Itu pasti jalannya. Dengan sigap, ia


berjalan setengah berlari menuju ke sana.

***

Rio membuka matanya perlahan. Aroma busuk yang menyiksa hidung


memaksanya untuk tetap terjaga.

Pandangannya aneh, dunia seakan berputar. Lantai seperti atap dan atap
seperti lantai. Namun, tunggu. Sepertinya bukan dunia yang terbalik, tapi dirinya.

Ternyata dia tengah digantung dengan posisi kaki di atas. Kepalanya nyaris
menyentuh lantai kotor dengan noda bekas darah.

Rio menelan ludah meski itu terasa sulit. Ia menggeliat dan ingin berteriak
sekuat tenaga. Namun, apa daya. Kain bandana menyumpal mulutnya lebih kuat.
Hanya mata itu yang kini dapat bergerak bebas.

Pyarr!

Lampu tiba-tiba berpendar dari atas. Sedikit menyilaukan mata. Namun,


cahaya itu berhasil membuat Rio dapat melihat keempat sahabatnya yang juga tengah
di gantung terbalik. Posisi mereka berada di setiap sudut ruangan. Apakah ini
ruangan yang berbeda dengan yang tadi? pikir Rio sesaat.

Seorang Wanita dewasa yang duduk di tengah ruangan sepertinya baru


disadari oleh Rio. Wanita itu duduk bersila di tengah-tengah garis lingkaran berwarna
merah darah. Ia menunduk dan mulutnya mulai berkomat-kamit seperti merapalkan
sesuatu.
Rio hanya bisa memandangi Wanita itu seraya terus menggeliat dan
menggeram. Ya, setidaknya berusaha membuat ketiga sahabatnya terbangun dari
pingsan mereka.

Sementara Wanita itu terus berkomat-kamit. Bahkan gumamannya sampai


terdengar di telinga Rio. Memakai bahasa seperti Jawa, tetapi bukan. Sepertinya
hanya bisa dipahami oleh orang tertentu saja.

Hingga, detik berikutnya. Wanita itu diam. Tubuhnya tiba-tiba ambruk. Rio
mendelik terkejut melihatnya. Kira-kira apa yang akan terjadi selanjutnya? Hening.

Satu, dua, lima detik tak terjadi apa-apa. Jantung Rio semakin cepat berdetak.
Semoga setelah ini, Wanita itu tak bangkit lagi.

Akan tetapi, tubuh Wanita itu seperti bergelinjang pelan. Nyawanya seperti
ditarik paksa oleh Malaikat Maut. Namun, beberapa saat kemudian berhenti. Tenang,
bahkan kini tampak seperti mayat yang terbujur kaku.

Lagi-lagi Rio hanya mampu menelan ludah dengan mata melotot tajam.
Memerhatikan adegan demi adegan yang terjadi di depannya.

Tubuh itu kembali bergerak. Tampak darah keluar dari lehernya yang seperti
tergaris dan membuat lehernya seperti memanjang ... bukan, tetapi seperti ingin copot.
Perlahan kejadian itu berlangsung. Kepalanya mulai meninggalkan tubuhnya diikuti
dengan jeroan segar yang ikut keluar lewat leher. Darah tampak menetes tak terlalu
banyak melewati luka sebesar itu.

Huek! Ingin rasanya muntah sekarang.

Kepala dengan organ dalam itu akhirnya terlepas, dan kemudian melayang.

Makhluk itu bernama ....

"Kuyang." Rio menebak.

***
BAB 8 - TERPOJOK

Rio terkesiap. Kepalanya dipenuhi dengan peluh dingin. Matanya melotot


tajam.

Kepala Wanita itu kemudian melayang. Yang tadi wajahnya tampak segar dan
lumayan ayu. Kini berubah drastis menjadi sosok mengerikan berkulit keriput,
bertaring dan mata berwarna merah menyala. Organ tubuhnya menggantung dan
mengeluarkan darah kehitaman yang sangat menjijikan.

Sungguh mengerikan.

Tiba-tiba Rio ingat akan sesuatu tentang sosok kepala dan organ yang
menggantung di depannya. Dalam beberapa forum daring yang tanpa sengaja dulu ia
pernah buka dan baca salah satu artikelnya. Makhluk berwujud kepala terbang itu
bernama Kuyang, Leak, atau Palasik. Namanya berbeda di setiap daerah di Nusantara.

Namun, tak pentinglah sebuah nama. Yang pasti, sifat dan kebiasaan makhluk
itu sama. Menghisap darah untuk mendapatkan kekuatan keabadian dan kecantikan.

Rio terdiam sesaat. Lalu otaknya menimang-nimang sesuatu. Menghisap


darah.

Ia tersadar. Beberapa waktu yang lalu, Wanita itu berbicara untuk segera
mengakhiri hidupnya—hidup Rio. Dengan kata lain, ia akan menghisap darah satu
persatu dari empat remaja itu. Membayangkan makhluk itu menggigit dengan
taringnya yang tajam, sudah membuatnya hampir muntah. Apalagi jika hal itu benar-
benar terjadi. Berakhir sudah hidup mereka.

Rio mencoba melepaskan kekangan ini. Akan tetapi, keberuntungan sedang


tidak memihak. Dengan posisi terbalik dan mulut yang tersumpal kain, apalah daya
yang sudah cukup lemas karena kelelahan. Sekeras apa pun usahanya, pasti tak akan
membuahkan hasil yang diinginkan.
Matanya kini hanya bisa merembeskan air mata kegagalan. Ini aib. Namun,
siapa peduli, nyawanya ada di ujung tanduk sekarang. Lagi pula tak ada yang melihat
dirinya sekarang. Hanya hantu kepala melayang itu saja yang tampak menyeringai
lebar. Tunggu, dia disebut hantu atau siluman? Halah, bodo amat!

Mungkinkah begini akhirnya. Tanpa suara isakan, Rio menutup matanya.


Membiarkan air mata terus merembas dan jatuh ke lantai.

Hantu kepala itu mendekati tubuh Rio. Seketika bau anyir menyeruak
menyiksa indra penciuman.

Dari raut wajah Kuyang itu, terukir kepuasan yang sangat mendalam. Ia
mendapat buruan banyak malam ini.

Si Kuyang membuka mulutnya lebar-lebar. Mendekati leher Rio berniat


menyesap darah segar dari remaja berkulit gelap itu.

Namun,

BRAKK!

Pintu di salah satu sisi ruangan terdobrak dari luar. Hingga akhirnya terbuka
lebar. Kontan Wanita Kuyang itu menoleh ke arah suara dan menunda menghisap
minumannya.

"Hentikan, Kuyang sialan!"

Rio membuka matanya, sedikit terkejut karena organ-organ si Kuyang berada


di depan mata. Seketika ia menutup matanya kembali, tak kuasa melihat
pemandangan menjijikan itu.

Samar di gawang pintu, seseorang remaja berdiri tegap dengan senter


menyala. Terdengar napasnya memburu tak karuan.

Kuyang tersebut menyipitkan matanya, meyakinkan siapa yang di sana.


Namun, tanpa aba-aba. Sebuah palu melayang dan menghantam telak mukanya.
Alhasil, makhluk mengerikan tersebut terlempar mengikuti arah palu.
Kemudian menghantam tembok dinding dengan keras dan memuncratkan darah ke
mana-mana.

"Kena kau!"

Terdengar derap langkah mendekati. Segera Rio membuka matanya. Cekatan


tangan Wawan segera membuka tali pengekang kaki.

Bugh!

Rio terjatuh dengan posisi terbalik. Wawan tak peduli, bahkan saking tidak
pedulinya, sosok jasad tanpa kepala di tengah ruangan ini saja tak ia sadari
keberadaannya. Ia membiarkan Rio yang masih lemah terduduk, lalu memilih
menghampiri yang lain untuk melepaskan ikatan. Ia harus cepat-cepat sebelum si
hantu menjijikan itu sadar dan menyerang balik.

Selesai.

BRAK!

Pintu tempat Wawan lewat tadi tiba-tiba tertutup rapat sendiri. Segera remaja
itu menoleh, berlari ke arah pintu. Memastikan pintu itu terkunci atau tidak. Namun,
sialnya pintu itu telah terkunci secara sempurna.

Sosok yang baru saja ia lempar dengan palu itu, perlahan bangkit. Darah
terlihat mengalir di pelipisnya yang hancur. Kepala itu melayang. Raut wajahnya
tampak begitu memerah. Matanya berkilat, dan itu ... sungguh menakutkan.

Rio yang masih cukup lemas, berusaha mendekati Wawan yang tiba-tiba saja
mematung gaje.

"Sekarang apa?" tanya Rio. Wawan tak menjawab.

Mereka berdua saling bertukar pandang. Di luar rencana. Sementara, Wawan


hanya meringis. Rio mendengkus. Habislah sudah. Mereka berdua hanya mampu
bersandar di pintu. Sementara si Kuyang melayang mendekat dengan perlahan.
"Sama aja bodoh," gumam Wawan sendiri. Namun, entah mengapa matanya
malah menatap sosok tanpa kepala, tergeletak di lantai. Wawan menelan ludah.

***

Pukul 20.21 WIB,

Rumah Wawan.

Sepeda motor terparkir di halaman depan. Dua orang penumpangnya segera


turun dan masuk ke rumah. Hawa dingin malam ini membuat mereka ingin
menyegerakan memeluk selimut.

Mereka mendekati pintu rumah lalu mengetuknya.

"Assalamualakum ...," ucap Pria paruh baya itu sedikit menggigil. Namun, tak
ada yang menyahut dari dalam. Rumahnya tampak sepi sekali, seperti tak ada tanda-
tanda kehidupan di dalamnya.

"Assalamualaikum." Untuk yang kedua kalinya, tetap tak ada yang menyahut.

Pasutri itu saling bertukar pandang. Ke mana mereka semua. Bapak membuka
pintu rumahnya, tak dikunci. Padahal sebelumnya ia berpesan pada Hendra untuk
mengunci pintu jika sudah malam. Entahlah, mungkin bocah itu lupa lagi.

Namun, tiba-tiba perasaan khawatir dan was-was hinggap. Mengganggu


pikiran keduanya. Seperti ada yang tidak beres.

Tak ingin hanya mematung saja di tengah dingin malam. Mereka memasuki
rumah dengan sedikit mengendap-endap. Lalu mengintip ke kamar Wawan. Kosong,
tak ada siapa pun di sana. Tempat tidurnya juga tampak rapi.

"Loh, kok gak ada orang ya, Pak? Ke mana Wawan." Wanita setengah baya
itu bergumam sendiri.
"Coba tak tengok Kakung ada apa, gak?"

Bapak bergegas berjalan menuju ke kamar Kakung. Lalu menyibak tabir pintu
kamar Kakung. Gelap.

Ceklek! Lampu dinyalakan dan betapa terkejutnya mereka saat melihat kondisi
Pria tua itu.

"Astaghfirullah, Kakung."

Si Bapak menghambur ke arah Kakungnya yang tampak tidak biasa.


Kamarnya berantakan seperti habis kerampokan. Sementara Kakung sendiri tampak
terkapar tak berdaya dengan napas tersengal-sengal. Terlihat tubuhnya gemetar serta
matanya melotot tajam.

"Wawan."

"Wawan kenapa, Kung?!" sahut si Bapak.

"Wawan ...."

"Ada apa dengan Wawan, Kung?!"

Pria tua itu tak mampu menjelaskan lebih. Ia hanya semakin sulit bernapas.
Jantungnya berdebar cepat, dan itu sungguh menyiksa tubuh rentanya.

"Sudah, tenang dulu, Pak. Biar Kakung menenangkan dirinya dulu." Seorang
Wanita berjilbab hitam yang sedari tadi diam itu kini angkat bicara. Dengan perlahan
ia menarik tubuh suaminya agar menjauh, dan membaringkan sang Kakung agar cepat
lebih tenang.

"Aku tak ambil minum dulu." Wanita itu berlalu pergi ke luar, lalu beberapa
saat kemudian kembali dengan segelas air putih di tangan. Ia duduk di tepi ranjang
lalu menyuapi ayahnya dengan air.

"Kakung istirahat dulu, ya." Kakung kembali berbaring. Tanpa kata yang
menyertai. Namun, seolah sorot matanya ingin memberitahu hal yang sebenarnya
terjadi. Akan tetapi, sayangnya tak ada yang memerhatikan sedetail itu.
Pria dewasa bernama Pak Kardi yang merupakan Bapaknya Wawan itu
memilih duduk. Menarik kursi dan terduduk diam. Dalam pikirnya masih berkecamuk
hebat tentang banyak hal. Apa yang sebenarnya terjadi?

Hendra tak ada di rumah, serta kondisi kakungnya yang berantakan seperti ini.
Mungkinkah rumah ini baru saja dirampok?

Pak Kardi berdiri hendak ke luar ruangan, setidaknya memastikan apakah ada
barang yang hilang atau tidak. Namun, sebuah genggaman di lengannya membuat
Pria berkumis tipis itu berhenti. Ia menoleh ke arah Ayah mertuanya. Juga si Bu
Kardi  terkejut dengan gerak cepat tangan si Kakung.

Kakung sudah lebih membaik, terasa dari tangannya yang sudah tak gemetar.
Akan tetapi, raut wajah yang terlampau serius membuat Pak Kardi sedikit bergidik
ngeri. Ada apa kira-kira?

"Wawan kembali ke desa itu, untuk menjemput Sari."

Begitulah ucap sang Kakung. Pelan tetapi langsung mengena. Seketika mata
Pak Kardi melotot tajam, dan entah kenapa jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat.

"Apa?" teriak pasutri itu bersamaan.

***

Di tempat lain. Wawan dan Rio terpojok. Tubuh mereka bersandar di pintu
yang terkunci rapat.

Sari, Bayu dan Ratih terkulai lemas di lantai. Mereka belum juga sadar.
Namun, sepertinya Kuyang itu tak menghiraukan tiga mangsanya yang tak berdaya.
Justru sorot tajam tak hentinya menatap ke arah Wawan dan Rio.

Wawan mengulum ludahnya sendiri. Pikirnya berkecamuk hebat saat Kuyang


itu semakin mendekat. Apa yang harus dilakukan?!
Wuss!

Kuyang itu terbang dengan cepat menerjang Wawan hingga tubuh jakungnya
terlempar menabrak pintu hingga hancur. Benar-benar hancur berantakan. Rio
terkesiap melihat kejadian barusan. Ternyata jauh dari pikiran ia sebelumnya. Kuyang
itu memiliki kekuatan yang sangat besar.

Rio hanya mematung. Sementara Kuyang itu sudah berada tepat di atas tubuh
Wawan yang terkulai lemas. Tentu saja, ia baru saja menerjang pintu.

Wawan merasakan punggungnya seperti remuk. Sungguh sial. Apalagi saat ia


menyadari ada organ dalam manusia yang menggantung tepat di depan matanya.
Rasanya ingin pingsan tetapi tak bisa. Malahan, tatapan matanya tak lepas dari organ
menjijikan berbau anyir darah itu. Perutnya terkocok hebat, ingin segera muntah
rasanya.

Kuyang itu menyeringai. Namun, beberapa detik kemudian senyumnya


berubah menjadi raut muka ketakutan. Bola matanya yang merah menyala tampak
kelabakan. Seraya mengerang Kuyang itu melayang menjauhi tubuh Wawan dan
melewati Rio yang hanya mematung.

Mengapa Kuyang itu sampai ketakutan?!

Wawan terduduk bersandar di dinding yang remuk. Tubuhnya terasa sangat


sakit saat digerakan sedikit saja. Mungkin benar, tulang-tulangnya telah patah.

Rio yang hanya diam kemudian sadar Kuyang itu mendekati tubuh tanpa
kepala. Perlahan, organ-organ itu kembali masuk ke tubuh Wanita tersebut.

Melihat adegan demi adegan di depannya, seperti sedang menonton sebuah


film horor dengan kacamata 3D. Namun, sayanganya ini nyata, bukan fiktif.

Tak berapa lama kemudian, kepala dan badan sudah menyatu sempurna.
Kuyang itu menjadi Wanita utuh seperti sebelumnya. Dan, dengan sigap berdiri tegap
dengan raut wajah ketakutan. Terlihat jelas di pelipisnya tampak ada luka berdarah,
mungkin akibat hantaman palu Wawan tadi. Begitu pikir Rio.
"Rio!" Wawan mengerang menyerukan nama Rio. Yang dipanggil pun
terperanjat dan menoleh ke arah Wawan. Remaja berkulit gelap itu baru sadar kalau
temannya tak bisa bergerak di sana.

Ia berlari mendekati Wawan, dan kemudian duduk di sampingnya. Kini


terlihat jelas ada darah yang keluar dari mulut Wawan. Tubuh remajanya tak kuat
mendapat hantaman sekeras itu, bahkan sampai menjebolkan pintu kayu. Rio
menggeleng pelan.

Tanpa sadar. Wanita itu telah melakukan sesuatu kepada tubuh Sari, Bayu dan
Ratih. Hingga ketiganya kemudian mulai bergerak-gerak.

"Kenapa jadinya bisa separah ini," ucap Rio yang memilih duduk di samping
Wawan.

Wawan hanya tersenyum mendengar itu. Ia tak tau lagi harus menanggapi
bagaimana. Toh, memang seperti itulah kenyataannya, bukan? Dirinya sudah kalah,
mungkin ia akan lumpuh. Pandangannya buram, mungkinkah ada yang salah dengan
matanya? Mungkin saja.

Namun, setidaknya Wawan masih bisa melihat kalau ada tiga bayangan yang
mendekat. Berjalan terseok-seok dengan postur tubuh yang sangat dikenalinya.
Wawan mencoba melebarkan matanya, tapi tetap saja gambarnya buram, tak jelas.

"Rio, apa itu ketiga sahabat kita?"

Rio yang sedari tadi menunduk sambil memejamkan mata pun terperanjat
kaget. Ia menoleh ke sisi dalam ruangan itu. Benar. Tiga orang yang sangat
dikenalnya tengah berjalan santai mendekati.

Setengah tak percaya, Rio melonjak berdiri. Ia mengucek matanya berkali-kali


untuk meyakinkan. Namun, ini bukan halusinasi. INI NYATA!

"Kalian?" Mata Rio membesar dengan binar bahagia, begitupun Wawan yang
hanya bisa duduk.

Namun, binar di mata Wawan tiba-tiba lenyap saat menyadari seorang Wanita
tengah tersenyum licik di dalam ruangan itu.
"Oh, shit!"

***

BAB 9 - BANTUAN
Dingin angin malam terasa menusuk tubuh. Namun, bagi pria yang tengah
mengendarai sepeda motor GL 100 lawas itu dingin bukanlah halangan. Ia memacu
kuda besinya dengan kecepatan maksimal menembus gelap. Tak peduli pandangan
begitu kabur malam ini, cahaya dari lampu pinggir jalan hanya tampak bias saking
kencangnya. Beberapa kali roda karet itu terdengar berdecit saat mengerem mendadak
karena jalan rusak atau karena ada kucing yang melintas tiba-tiba. Namun, setelah itu
lanjut lagi menerjang gelap.

Pak Kardi tak peduli resiko yang harus ditanggungnya bila sampai tak
seimbang sedikit saja. Mungkin nyawanya yang menjadi taruhan. Ia memilih terus
memacu sepeda motornya secepat mungkin.

Masih teringat dalam benaknya saat sang mertua berkata bahwa Wawan dan
teman-temannya pergi ke desa angker itu lagi. Dan yang parah adalah, mereka
sepertinya telah ditipu oleh jin yang menyerupai sang Kakung. Apalagi sekarang
keadaannya sudah hampir mendekati tengah malam. Di sana pasti semua penghuninya
yang ghaib sudah mulai berkeliaran. Menambah kekhawatiran Pak Kardi.

Sepeda motor Pak Kardi terus melaju hingga kini sudah memasuki daerah
jalanan hutan. Tampak dari pepohonan yang berbaris di kanan kiri jalan. Kabut putih
tipis juga menyelimuti jalanan beraspal lurus ini.

Tiba-tiba perasaan Pak Kardi tidak enak. Pria itu merasa seperti ada yang
sedang mengikutinya dari belakang. Sesekali ia mengecek kaca spion, tak ada tanda-
tanda kehidupan dan kendaraan lain di belakang sana.

Akan tetapi, perasaannya semakin tidak karuan. Pak Kardi kemudian memilih
berhenti. Ia menepikan kendarannya ke bahu jalan. Pria itu membuka kaca helmnya
dan netra tuanya langsung menelusur ke sekitar. Kabut tipis hanya memperlihatkan
pepohonan yang tampak remang-remang karena hanya cahaya rembulan yang dapat
menyinari.
Pak Kardi menajamkan pendengarannya. Sepi, bahkan tak terdengar suara
deru kendaraan satupun yang mungkin ingin melintasi jalanan ini. Bulu kuduk pak
Kardi makin berdiri hingga Pria itu bergidik ngeri.

Setelah berdiam cukup lama dan yakin tak ada apa-apa. Pak Kardi kembali
menyalakan mesin motornya. Namun, baru sesaat mesin itu menyala, kuping pak
Kardi seperti mendengar suara jeritan yang melengking hebat. Ia pun buru-buru
mematikan mesin motornya dan menelusur ke sekitar. Tak ada apa-apa. Suara jeritan
tadi juga menghilang entah ke mana. Aneh. Ia pun menyalakan kembali motornya.
Untuk yang kedua kalinya jeritan itu terdengar, bahkan sekarang lebih keras dari yang
tadi. Kontan Pak Kardi mematikan suara mesinnya. Dan suara itupun juga ikut lenyap
bak ditelan kabut yang semakin pekat ini. Hening.

Pak Kardi turun dari motornya hanya untuk memenuhi rasa penasaran tentang
suara misterius itu. Ia berjalan menyeberangi jalan yang lebarnya hanya tiga meter ini.
Kemudian menyalakan senter yang ia bawa dan mengarahkan cahayanya ke arah
pepohonan hutan di depan sana. Beberapa saat melihat-lihat, tak ada hal-hal yang
mencurigakan sama sekali. Tampak seperti hutan biasa, tanpa kehidupan. Hanya suara
jangkrik dan beberapa burung malam yang terbang mengepakan sayapnya terdengar
dominan.

Pak Kardi memilih untuk kembali ke motornya. Ia memutar tubuhnya. Tiba-


tiba seperti ada bayangan hitam yang melintas di belakang. Kontan Pria itu menoleh
ke belakang. Tak ada apa-apa.

Namun, tunggu. Ada sesuatu di antara pepohonan itu. Pak Kardi menyalakan
senternya lagi dan mengarahkan ke sebuah bayangan hitam di kejauhan sana.
Perasaan tadi tidak ada apa pun di sana, tetapi kenapa sekarang ada benda itu? Pria
berbadan sedikit tambun tersebut menggelengkan kepalanya, dan lalu memerhatikan
bayangan itu lagi secara saksama. Betapa terkejutnya ia saat mengetahui kalau
bayangan itu kini memiliki sepasang mata merah menyala. Terang.

Bergetar seketika tubuh Pak Kardi melihatnya. Ternyata itu adalah setan yang
mungkin telah menerornya sejak tadi. Pria tersebut segera berlari ke arah motornya
dan bergegas menyalakan mesin. Sebuah suara jeritan melengking tiba-tiba terdengar
lagi, kini lebih keras dari yang tadi. Namun, Pak Kardi tak memedulikan hal itu. Ia
segera memacu sepeda motornya sesegera mungkin. Secepatnya kendaraan tersebut
sudah melesat pergi.

Perlahan tetapi pasti di antara suara deru mesin motor yang begitu berisik,
suara jeritan wanita tadi menghilang. Pak Kardi sedikit lega. Namun, kelegaannya
hilang saat ia melihat dari kaca spion sosok hitam tadi melayang mengikutinya. Ia pun
menjadi tak terkonsentrasi dalam menyetir.

Makhluk itu terus saja mengejar pak Kardi di belakang. Tampak hanya seperti
asap kelabu, tetapi memiliki sepasang mata dan ... mulut yang menyeringai. Entah itu
bisa disebut sebagai hantu bernama apa, yang pasti makhluk itu menyeramkan dan
hidup!

Pak Kardi terus memacu motornya secepat kilat. Jalanan yang sudah seperti
arena drag-race ini malah membuat laju motor tanpa disadari menjadi sangat cepat.
Hingga motor yang bukanlah motor balap tersebut bergetar hebat. Sampai kemudian
tiba-tiba muncul sosok bayangan putih melayang di depan sana yang menerjang tubuh
pak Kardi.

Ciitttt! Brak!

Kejadiannya begitu cepat.

Sepeda motor itu terpelanting jatuh menghantam aspal, percikan api tampak
menyala akibat gesekan panas. Terus berguling dan berguling hingga akhirnya
berhenti saat menghantam pohon di pinggir jalan. Sekejap kemudian hanya terdengar
geraman motor yang masih menyala tapi sudah remuk berkeping-keping.

Pak Kardi kecelakaan.

***

"Ka-kalian sudah sadar?"


Rio berdiri. Matanya berkaca-kaca melihat ketiga sahabatnya telah bangkit.
Akhirnya, mereka sadar juga. Remaja berkulit gelap itu hendak mendekati mereka.
Namun, ....

"JANGAN!" Wawan berteriak sekeras yang ia bisa untuk menghentikan


langkah Rio. Akan tetapi terlambat.

Rio menoleh ke arah Wawan. Saat itulah sebuah pukulan telak mendarat di
wajahnya. Remaja itu kemudian terhuyung hingga jatuh ke lantai.

"SIAL! Mereka telah dirasuki! Berhati-hatilah!" Wawan berteriak lagi seraya


mencoba berdiri meski itu mustahil. Tubuhnya benar-benar mati total. Apakah
lumpuh?

"Apa?" Rio mencoba duduk dan mengelus pipinya yang terkena pukulan itu.
Lumayan.

Bayu dengan tangannya yang masih mengepal, menunduk dan meraih kerah
baju Rio lalu mengangkatnya. Ini buruk. Rio diangkat tinggi-tinggi hingga kakinya
tak menyentuh lantai. Ia berusaha melepas cengkeraman itu, tetapi gagal. Bayu terlalu
kuat.

"Ke-kenapa?" ucap Rio tergagap. Ia tak percaya dengan pukulan telak itu.
Begitu sakit kali ini. Bayu tiba-tiba sangat kuat. Mungkinkah karena efek dirasuki.
Bisa saja. Rio mencoba melawan balik dengan menendang dan memukul tubuh Bayu,
tetapi ia tetap bergeming.

Seketika mata Bayu berkilat merah menyala seperti ada kobaran api kecil di
dalam bola matanya. Dia memang benar-benar telah dirasuki oleh roh sialan. Rio
dibuat tak berkutik. Padahal biasanya dialah yang paling kuat diantara lima sahabat
itu.

"He-hentikan, Goblok!" teriak Rio tetap berusaha menyadarkan.

Bayu mendengkus kasar dan malah melempar tubuh Rio dengan keras ke
lantai. Tubuh remaja itu menghantam lantai cukup keras. Namun, tak selesai sampai
di situ. Bayu kemudian menendang-nendang Rio yang sudah terkapar.
Sementara itu, Wawan yang tak bisa berbuat banyak, hanya terdiam melihat
Rio tersiksa oleh sahabat sendiri. Ini benar-benar buruk! Mereka harus dihentikan.
Tidak, tetapi Bayu-lah yang harus dihentikan sebelum ia benar-benar membunuh Rio.

Tiba-tiba Wawan sadar. Masih ada dua orang lagi yang telah dirasuki. Ratih
dan Sari. Mereka berjalan mendekatinya dengan tatapan mata tajam yang
menakutkan.

"Kalian sadarlah!” ucap Wawan pasrah. Ia tak tau harus menghentikan dengan
cara apa lagi.

Sementara kedua gadis itu mulai beraksi. Ratih mengangkat satu kakinya, dan
begitu pula dengan Sari. Tanpa aba-aba keduanya menyepak perut Wawan dengan
keras.

Blak! Crat!

Darah segar muncrat keluar lewat mulut Wawan. Namun, penyiksaan baru
dimulai. Ratih dan Sari mengambil ancang-ancang, kakinya secara bergantian
menendang kepala Wawan. Begitu terus tanpa henti.

"HAHAHAHA! Dengan ini kalian akan mati secara perlahan." Wanita itu
tertawa puas sembari berkacak pinggang. Tanpa perlu ia menjadi kuyang, ia akan
mendapatkan mayat segar siap saji. Apalagi saat melihat mereka tersiksa, begitu
menyenangkan. Meski dulu bukan mereka yang melakukan penyiksaan yang hampir
sama, tetapi tetap menyenangkan melihat ekspresi itu. Ada sedikit kepuasan dalam
dirinya.

"HENTIKAN!"

Sebuah suara lantang seketika menghentikan aksi Bayu, Ratih dan Sari.
Mereka bertiga menoleh ke arah sumber suara. Di ujung lorong, samar-samar tampak
seseorang berjalan mendekat. Sekilas tampak kilat cahaya dari kedua bola matanya.

Wanita kuyang itu keluar dan melihat siapa yang datang. Dari suaranya, ia
sangat kenal siapa. Wawan dan Rio yang masih sadar, berdebar-debar menanti
siapakah yang akan datang itu. Bantuan atau malah masalah baru.
Seorang pria, memakai jaket motor, wajah yang mulai menampakan keriput,
dan tubuh agak tambun. Raut muka yang tidak asing lagi. Tatapannya tajam tanpa ada
senyum yang mengembang.

"Ba-bapak?” tebak Wawan. Meski pandangannya tak terlalu jelas, tetapi ia


yakin sosok pria itu adalah bapaknya. Cara berdiri dan baunya sangat mirip, hanya
saja entah mengapa suaranya berbeda, tetapi ia seperti pernah mendengarnya sebelum
ini.

Pria itu menoleh ke arah Wawan sekilas, lalu kembali fokus pada wanita
kuyang yang bergeming di muka pintu. Dia mendengkus kasar, jelas ada rasa kecewa
yang terlihat dari sorot matanya.

Sikap Pak Kardi cukup aneh. Dia begitu dingin, bahkan saat melihat Wawan
dengan kondisinya yang parah seperti itu. Apalagi ditambah ia seperti sangat
mengenali sosok wanita kuyang itu. Pak Kardi juga lebih tenang dan berwibawa, tidak
seperti sosok ayah yang khawatir dengan kondisi anaknya yang hampir sekarat.

Sesaat suasana menjadi lengang setelah kedatangan pak Kardi yang sangat
misterius. Namun, seketika berubah saat Bayu tiba-tiba meninggalkan Rio yang
hampir sekarat, dan berlari ke arah Pak Kardi. Ia kemudian mengepalkan tangannya
dan melompat menerjang angin ke arah pria itu.

Blam! Dengan mudah tinjuan Bayu dihempaskan oleh pak Kardi. Tubuh Bayu
yang besar membuat bunyi berdebam saat menghantam lantai. Akan tetapi Bayu yang
kerasukan tak mudah menyerah, ia kembali bangkit dan menyerang Pak Kardi seraya
mengerang dengan suara aneh. Seperti suara serigala kelaparan.

Satu dua pukulan, atau lebih tepatnya gerakan menyakar dilancarkan Bayu.
Namun, lagi-lagi serangan remaja itu mudah ditepis oleh Pak Kardi. Bayu kembali
tersungkur ke lantai, tetapi sepertinya ia tak merasakan sakit sedikit pun meski darah
sudah keluar dari mulutnya.

"Su-sudah, hentikan!" teriak Wawan yang hanya terdengar seperti cicitan


tikus. Tak berdaya. Namun, ia harus menghentikan bapaknya yang juga bertingkah
aneh yang tanpa ampun menyerang Bayu. Meski dia kerasukan, tubuh itu teteplah
tubuh Bayu yang asli. Jadi, jika sampai ada luka pasti Bayu sendiri nanti yang akan
merasakan akibatnya.

"Sial!" Wawan menahan air matanya yang hampir menetes. Ia tak sanggup
saat harus melihat temannya teraniaya. Apalagi saat melihat Rio yang juga tampak
terkapar tak berdaya.

Meski begitu Wawan tetap bisa melihat Rio tersenyum kecut. Ia sepertinya
sadar, semua ini tak akan bisa berakhir tanpa sebuah pengorbanan. Entah siapa nanti
yang akan menjadi korbannya. Tanpa sadar, buliran bening itu akhirnya meluncur
juga di pipi Wawan. Namun, bersamaan dengan itu, ia juga tersenyum simpul.
Entahlah, saat melihat temannya tersenyum dalam keadaan setengah hidup ini, ia juga
ingin melakukannya.

"Hey, kau mau kehangatan lagi?" kata Sari yang tiba-tiba sudah berada tepat
di depan wajahnya, wajah Wawan. Remaja itu terkejut tetapi tak bisa banyak
berkutik. Dengan cekatan tangan Sari meraih dagu Wawan. Dia akan melakukannya
lagi, di depan mereka?!

Tanpa banyak bicara lagi Sari mengecup bibir Wawan begitu mesra. Ya,
mesra tetapi membunuh perlahan. Untuk yang kedua kalinya, Wawan merasakan
kecupan mulut Sari, rasanya sama hanya saja kali ini adalah Sari yang asli.
Setidaknya bukan genderuwo yang asli, pikir Wawan.

Sari terus melumat bibir Wawan dengan lembut. Namun, ia juga perlahan
tetapi pasti menghisap sedikit demi sedikit kekuatan roh dalam tubuh Wawan. Remaja
itu dapat merasakan seperti ada sesuatu yang ditarik dari dalam tubuhnya. Seperti ada
aliran yang keluar akibat hisapan mulut Sari.

Wawan memejamkan matanya. Ia tak tau harus berbuat apa. Seluruh


sendirinya seperti lumpuh tak mampu digerakan. Inilah akhirnya, mati karena
ciuman? Romantis.

"PERGI KAU!"

“PERGI KAU!”
Teriakan itu membuat Sari melepaskan peraduan mulutnya. Ia menoleh ke
sumber suara, seorang pria menghampirinya. Tampak Ratih mencoba menahan tetapi
ia terlempar dengan mudah. Langsung lemas setelah menghantam dinding.

"KUBILANG PERGI!" Pak Kardi mendorong tubuh Sari hingga gadis itu
terlempar dari atas tubuh Wawan. Terseret jauh beberapa meter di lantai.

"Bapak?" tanya Wawan dengan mata berkaca-kaca.

Mata pak Kardi berkilat merah menyala. Sorot mata tajamnya tak pernah lepas
menatap wanita kuyang itu.

"Tiyem, hentikan semua ini. Kau sudah kelewatan!" ujar Pak Kardi seraya
menghela napas gusar. Sesaat ia memejamkan mata dan membukanya kembali, lalu
menoleh ke sekitar memperhatikan lima anak remaja yang kini semuanya tergeletak
di lantai.

Setengah tak sadar, Wawan terus memerhatikan Bapaknya yang bertingkah


aneh sejak kedatangannya tadi. Entah mengapa sosok pria yang ada di depannya itu
seperti bukanlah sosok Bapaknya yang asli. Nada bicaranya bahkan suaranya pun
berbeda. Lebih berwibawa seperti seseorang yang berwawasan tinggi. Sebenarnya
siapa dia?

Sebuah tangan memegang lengan Wawan yang seketika membuat remaja itu
menoleh. Ternyata itu Rio yang dengan sisa tenaganya berusaha duduk di samping
Wawan. Bayu yang menyerangnya tampaknya sudah pingsan, begitupun dengan
Ratih dan Sari.

Kini mereka berdualah yang masih bisa sadar dalam keaadan hidup dan mati
ini.

"Kurasa, dia tidak seperti Bapakmu, Wan." Rio berbisik.

Sementara Wawan hanya mengangguk pelan. Berarti bukan hanya dirinya saja
yang merasa ada yang aneh.

"Sampeyan sebaiknya gak usah ikut campur, Mas," kata wanita kuyang yang
bernama Tiyem itu.
Mendengar kata 'Mas’ membuat Wawan serta Rio terbelalak kaget. Kenapa
tiba-tiba wanita itu memanggil pak Kardi dengan sebutan 'Mas'? Ada hubungan apa di
antara mereka berdua?!

"Apa maksudmu memanggil bapakku dengan sebutan Mas?!” teriak Wawan


sebisanya membuat Tiyem dan pak Kardi menoleh ke arahnya. Wawan benar-benar
terkejut.

"Aku bukan bapakmu, Hendra."

"APA?" teriak Wawan dan Rio bersamaan.

Seperti ada petir yang menyambar di siang bolong, fakta apa lagi ini? Jika pak
Kardi bukan bapaknya Wawan. Lalu siapa bapaknya Wawan? Mungkinkah Wawan
bukan anak kandung? Apakah apakah ....

Tiba-tiba sederet pertanyaan bergulat sengit di otak Wawan. Satu persatu


pertanyaan itu perlahan menggerogoti kesadaran remaja itu hingga ia bengong. Rio
segera menepuk punggung Wawan agar tersadar.

"Apa maksudnya ini? Aku tidak paham!"

"Aku adalah orang yang kau temui dalam mimpimu beberapa waktu yang lalu,
Hendra. Akulah yang memberimu kalung itu." Pak Kardi menunjuk ke arah kalung
yang dipakai Wawan. Dari yang awalnya kalung batu itu berwarna seputih susu, kini
sudah menghitam legam seluruhnya.

"Hah?" desah Wawan dengan mulut menganga tak percaya. Orang dalam
mimpinya yang memberi kalung ini adalah seorang pria tua berpakaian serba putih,
memakai sorban dan lebih tampak seperti seorang Kyai. "Ta-tapi ...."

"Sudahlah, aku bisa menjelaskannya padamu nanti. Sekarang ...." Pak Kardi
kembali menatap wanita bernama Tiyem itu dan berkata, "Aku ingin menyelesaikan
ini sekarang juga, mumpung ada raga yang tepat."

Wawan dan Rio saling bertukar pandang. Mereka kemudian terdiam karena
mulai tak paham dengan situasi rumit seperti ini.
"Apa maksudmu dengan kata mumpung ada raga yang tepat?!" Tiyem
meninggikan suaranya. Ia tampak bersungut-sungut. Terdengar napasnya menggebu,
entahlah mungkin dia sedang marah atau malah ketakutan.

"Jika kau tidak bisa menghentikan semua ini secara baik-baik, maka aku akan
menghentikanmu secara paksa. Lagi pula, sedari dulu aku sudah tidak suka dengan
jalan yang kau pilih ini, Istriku," kata pak Kardi tegas. Ia yakin anak-anak itu pasti
terkejut lagi mendengar ucapannya. Ya, Tiyem adalah istrinya.

Sementara Wawan dan Rio tetap bergeming. Mereka bak patung tak berguna
sebagai penontom drama keluarga ini, mungkin. Sebenarnya ada hubungan apa di
antara mereka?!

"Sialan!" Tiyem mendengkus kasar. Ia kemudian mengangkat tangan


kanannya dan menunjuk ke arah pak Kardi. "Kalian semua, serang dia!”

Wuss! Angin kencang tiba-tiba muncul dari segala penjuru arah lorong ini.
Bersamaan dengan itu tampak cahaya berkedip cepat layaknya lampu diskotik
berkelip-kelip. Dari dua ujung lorong tampak tergopoh-gopoh sosok besar berjalan
mendekat.

Pak Kardi sedikit gelisah. Ia menoleh ke arah sekitar. Wanita itu benar-benar
melakukannya.

Di tengah kekalutan Pak Kardi kemudian memilih berdiri tegak dan


menghadap Tiyem lagi. Ia memasang senyum kecil seraya berkata, "Apa kamu benar-
benar ingin membunuhku untuk yang kedua kalinya? Apa kamu ingin aku merasakan
sakit untuk yang kedua kalinya? Ingatlah ... sakit karena pembunuhan yang lalu saja
belum bisa kulupakan."

Dalam benaknya masih teringat jelas tragedi itu. Api yang dilemparkan ke
arahnya kemudian membakar dirinya dan rumah besar itu. Panas, begitulah rasanya.
Apalagi saat merasakan sekujur tubuh meleleh seperti lilin yang terbakar perlahan.
Lalu harus terus tersiksa hingga nyawanya benar-benar melayang.

Saat itu ia masih bisa mendengar teriakan kedua anggota keluarganya, istri dan
anaknya yang masih kecil. Saat itu benar-benar kalut. Hingga dunia menjadi gelap
gulita dan tiba-tiba ia seperti ditarik lagi oleh sesuatu. Saat itulah ia dapat melihat
dunia kembali sebagai jiwa yang penasaran.

Blar! Angin kencang itu tiba-tiba berhenti. Tak ada sosok di ujung lorong
sana, sudah menghilang. Dan suasana kembali menjadi seperti sebelumnya. Lengang
dan penuh ketegangan.

Wanita bertubuh jenjang itu jatuh bersimpuh di lantai. Ia hampir melupakan


kenangan itu. Kenangan paling menyiksa batinnya karena harus kehilangan seseorang
yang sangat dicintai. Perlahan air mata merembes dan membentuk lajur sungai air
mata di pipinya. Ia kembali merasakan sesak yang dulu ia pernah rasakan.

"Sudahlah, hentikan semua ini. Aku ikhlas."

Suara itu menggema di lorong. Perlahan ada sosok bayangan putih yang keluar
dari tubuh pak Kardi. Sosok itu kemudian melayang ke udara sebelum akhirnya
lenyap.

Tubuh pak Kardi kemudian ambruk. Wawan dan Rio yang melihat rentetan
kejadian barusan hanya bisa melongo. Entahlah, mereka tak banyak memberi
komentar. Seperti adegan film dengan efek CGI yang mumpuni, kedua remaja itu
dibuat terbungkam.

"Bapak?" gumam Wawan saat tersadar drama itu sudah berakhir. Ia berusaha
berdiri untuk mendekat ke tubuh bapaknya. Namun, ia tetap tak bisa bergerak.
Melihat itu, Rio inisiatif yang mendekati pak Kardi.

"Pak, pak Kardi, Sampeyan tidak apa-apa, Pak?" seru Rio seraya
menggoyang-goyangkan tubuh lemas pak Kardi. Akan tetapi, tak ada jawaban.

"Dia baik-baik saja. Hanya pingsan," ucap Tiyem membuat Rio terlonjak
kaget.

"Be-benarkah?" tanya Rio memberanikan diri. Ia tetap bersiaga penuh apabila


tiba-tiba wanita itu ingin menyerangnya lagi.

Namun, wanita itu tampak lebih tenang dari sebelumnya. Suaranya juga
bernada lebih lembut.
"Benar, begitupun dengan ketiga teman kalian," kata Tiyem datar tanpa
ekspresi. Ia kemudian berdiri dengan mata terus menyorot Rio yang jelas tampak tak
bisa menyembunyikan ketakutannya.

***
BAB 10 - KEBENARAN

Wanita bernama Tiyem itu berdiri. Terlukis di wajahnya yang sayu, ada
kesedihan yang berusaha ia sembunyikan. Entah kenapa rasanya ia berbeda sekali dari
sebelumnya yang lebih tampak seperti psikopat. Haus darah dan brutal. Kini wanita
bertubuh jenjang dengan pakaian kebaya itu lebih tenang.

"Apa yang sebenarnya terjadi, aku sama sekali tidak paham," tanya Wawan
membuyarkan hening di antara mereka yang masih sadar.

Tiyem menatap Wawan sekilas. Bahkan dari tatapannya kini remaja itu tidak
melihat kilat amarah yang berkobar. Wanita tersebut memang sudah berubah.

"Ceritanya panjang, dan aku tak berencana untuk menceritakannya padamu,"


ucap Tiyem dengan sedikit meninggikan suaranya.

Wawan mendecak kesal.

"Namun, mungkin suamiku mau menjelaskannya padamu," sambung Tiyem.

"Suamimu?"

Tiyem berjalan mendekat ke arah Wawan. Ia kemudian mengulurkan tangan


kanannya, sekilas tampak cahaya kemerahan muncul dari telapak tangan itu. Wawan
tak tau apa yang akan dilakukan wanita itu padanya.

"Woe! Apa yang kaulakukan?!" teriak Rio saat melihat cahaya di telapak
tangan wanita itu semakin membesar. Seperti bola psi yang berputar-putar terlihat
bukanlah hal yang bagus.

"Hentikan! Apa kau ingin membunuhnya?! Sialan! Kukira kau sudah


berubah!" Rio dengan sisa tenaganya berdiri dan berusaha mengganggu Tiyem.
Namun, dengan sekali dorongan gaib dari tangan kiri wanita itu, Rio terlempar jauh.

"RIO!" teriak Wawan sebisanya. Ia menggeliat berusaha bangkit meski


sebenarnya ia tau itu sia-sia saja.
"Apa yang sebenarnya sedang kamu lakukan padaku?!"

"DIAMLAH! Kau ingin tau apa yang terjadi, kan? Kalau iya maka diamlah!"
Wanita itu meninggikan suaranya. Tampak amarahnya kali ini berbeda dari yang
sebelumnya, tetapi, tetap saja firasat Wawan mengatakan ini buruk.

"Sialan!" Remaja cungkring itu hanya bisa pasrah. Bola cahaya berputar-putar
tepat di depan wajahnya. Cekatan Tiyem menekan bola itu ke arah wajah Wawan.

"AKHH!!!"

Gelap.

***

Tubuh cungkringnya terasa seperti melayang. Sekejap kemudian tubuhnya


terhempas ke sebuah tempat yang sangat padat. Saat itulah ia dengan cepat membuka
matanya.

Seberkas cahaya tampak redup memancar ke atas. Wawan mencoba bangkit,


entah kenapa ia kini bisa menggerakan anggota badannya. Terakhir kali dia sadar,
dirinya lumpuh total.

Wawan tak percaya dengan keajaiban ini. Dia berdiri dan meloncat-loncat
kegirangan. Tubuhnya sehat seperti sedia kala.

Namun, remaja itu tersadar. Tempat ini berbeda dari sebelumnya. Terakhir
yang diingatnya adalah wanita kuyang seperti menghentak kepalanya dengan bola
energi berwarna merah. Kemudian dunia menjadi gelap gulita dan tubuhnya sudah
terbang lalu jatuh di sini. Tempat asing yang gelap dengan hanya satu sumber cahaya.

Cahaya, ya dia melihat cahaya. Wawan memutar tubuhnya dan melihat ke


arah cahaya. Jauh di depan sana, tampak sebuah api kecil yang berpendar membuat
sekelilingnya tampak sedikit terang. Jika dilihat dengan saksama itu seperti lilin di
atas meja.
"Itu, kan? Sepertinya aku pernah ke sini," gumam Wawan seraya mencoba
mengingat-ingat tempat ini. Dia rasa sebelumnya pernah ke sini, tempat yang penuh
dengan kegelapan dengan cahaya redup di tengah ruangan.

Namun, semakin Wawan mengingatnya kepalanya menjadi pusing. Aneh


sekali, seperti ada sekat gaib yang menahan otaknya untuk mengingat kejadian
sebelumnya. Sudahlah, yang terpenting adalah ia harus keluar dari tempat ini.

Wawan melangkahkan kaki mendekati cahaya hendak mengambil lilin itu


untuk dipakai berkeliling. Dengan langkah hati-hati, Wawan menapak lantai yang
entah apa, tanah atau lantai marmer. Dia tak peduli.

Sampai di tujuan. Wawan segera mengambil lilin di atas meja itu. Akan tetapi
mustahil. Lilin itu terlalu kuat menempel di meja.

"Tak perlu kau melakukan itu, Hendra."

Sebuah suara nyaris membuat Wawan lari andai saja kakinya tidak kaku tiba-
tiba.

"Si-siapa itu?!"

Remang-remang ada sesuatu bergerak di seberang meja. Semakin lama


semakin mendekat dan terlihat jelas. Seorang pria berpakaian serba putih, bahkan
jenggotnya pun juga berwarna putih. Cara berdirinya tegap dengan wajah yang sudah
menampakan garis tua. Senyuman ramah langsung menyambut Wawan dengan
hangat.

"Masih ingat denganku, kan, Nak Hendra?" tanya pria setengah baya itu
mencoba mengungkit kembali ingatan Wawan.

Sedangkan Wawan masih mematung. Dia memerhatikan setiap jengkal pria


itu. Sementara otaknya mencoba mengobrak-abrik memori sebelumnya yang mungkin
dia akan ingat siapa pria di sana.

"Tunggu, Anda orang yang waktu itu?" Wawan menebak sambil terus
mencoba mengingat-ingat.
"Iya."

"Ya Tuhan. Mungkinkah ini tempat yang sama dengan sebelumnya. Ruang,
ruang ... Akh! aku lupa namanya!" Wawan mengetuk-ketuk kepalanya sendiri pelan
mencoba mengingat nama tempat ini.

"Ruang Jiwa dan Kebenaran," tukas pria itu menghentikan usaha Wawan
dalam mengingat.

"Nah, itu dia. Ruang Jiwa dan Kebenaran. Hampir mirip dengan nama Ruang
Jiwa dan Waktu hahaha!" Wawan terkekeh pelan sebelum akhirnya kembali berwajah
tegang.

"Jadi, kenapa aku di sini lagi, Tuan ... oh ya, siapa nama Anda? Sejak pertama
bertemu aku bahkan tak tau nama Anda."

"Panggil aku Pak Joyo."

"Pak Joyo?" Wawan terbelalak. Nama itu terdengar tidak asing di telinganya.
Namun, dia tidak tahu pasti itu nama siapa.

"Tak ada waktu untuk basa-basi. Panggil aku Pak Joyo, dan istriku, wanita tadi
bernama Tiyem. Sebenarnya bisa dibilang aku ini bukan benar-benar manusia."

Sudah kuduga sebelumnya, pikir Wawan.

"Benar, kau pasti sudah menduganya."

"Eh?" Wawan berjingkat.

"Aku adalah sosok roh dari orang bernama Joyo. Aku sendiri juga tidak tau
kenapa rohku masih ada di dunia ini, bahkan sampai bertahun-tahun lamanya
semenjak tragedi itu."

"Tragedi?"

Pak Joyo menghela napas getir, lalu melanjutkan, "Iya, sebuah tragedi yang
kemudian menjadikan semua alasan-alasan selanjutnya lebih masuk akal."
Wawan tak paham. Ia hanya menatap pak Joyo dengan wajah heran. Pak Joyo
bisa mengerti kenapa remaja itu cuma diam saja.

"Kamu tau alasan mengapa desa Sidojaya ini dikenal sangat angker dan
mematikan, Nak Hendra?"

Wawan menggelengkan kepalanya.Pak Joyo melanjutkan, "Itu karena ulah


Tiyem, istriku."

"Hah? Maksudnya?"

"Tragedi tahun 1998, bahkan tragedi sebelum-sebelumnya, kematian massal,


penyakit aneh, teror makhluk halus dan berbagai hal lain yang kemudian membuat
warga desa Sidojaya akhirnya pergi. Semua ulah Tiyem, istriku."

Wawan membisu mendengar pernyataan itu. Mendengar alasan ini, kenapa


seperti tidak masuk akal? Jika seluruh kejadian itu dilakukan oleh wanita bernama
Tiyem tersebut, jadi berapa umurnya sekarang? Bukankah dia tampak masih muda?

"Aku sudah menduga kamu akan memikirkan itu, Nak Hendra. Bagi manusia
biasa, itu terdengar tak masuk akal. Namun, bagi manusia yang tidak biasa, itu adalah
hal yang wajar," tukas pak Joyo lagi-lagi dapat membaca isi pikiran Wawan.
Sementara Wawan hanya melongo tak mampu berkata-kata lagi.

"Jadi?"

"Istriku merupakan keturunan orang Bali asli. Memiliki ilmu keabadian


bukanlah hal yang sulit ia dapatkan. Bukankah kamu sendiri sudah melihatnya, wujud
itu?"

Wawan tak mengerti dengan apa yang dimaksud 'wujud itu'. Remaja
cungkring itu lalu menggeleng. Pak Joyo tersenyum simpul, tentu Wawan tak akan
mengerti maksudnya.

"Sosok kepala dengan organ dalam manusia yang melayang,"

"Kuyang?!" sergah Wawan memotong pembicaraan pak Joyo.


"Iya, orang-orang ada yang menyebutnya sebagai kuyang. Namun, warga Bali
biasa menyebutnya dengan nama Leak."

Wawan mengangguk paham, dia ingin mendengar kisah ini lebih terperinci
lagi. Sepertinya seru.

"Ilmu hitam itu mengharuskan penggunanya untuk berburu darah segar setiap
malam demi menyempurnakan ilmunya. Biasanya darah yang dihisap adalah jenis
darah kotor manusia, darah orang bersalin, atau darah haid perempuan."

Entah kenapa tiba-tiba perut Wawan seperti terkocok hebat saat mendengar
kata darah kotor. Ia segera menghentikan penjelasan pak Joyo. "Sudah, untuk yang
ritualnya gak usah dijelasin, Pak! Aku gak kuat! Mendengarnya saja sudah bikin mau
muntah!"

Pak Joyo lagi-lagi hanya tersenyum melihat tanggapan seperti itu. Lalu dengan
kibasan pelan tangan kanannya, muncul sebuah kursi kayu tepat di belakang Wawan.
"Duduklah, Nak. Cerita ini akan panjang."

Tanpa banyak bicara Wawan langsung menduduki kursi yang muncul secara
ajaib itu. Mendengarkan orang yang lebih tua berbicara sambil duduk adalah pilihan
yang sopan. Apalagi jika disuguhi secangkir kopi dan cemilan, rasanya seperti sedang
bertamu, pikir Wawan.

"Sayangnya aku tidak punya cemilan sama kopi, Nak Hendra," sela pak Joyo
yang untuk kesekian kalinya membaca isi pikiran Wawan, ia menahan tawa melihat
ekspresi Wawan yang cukup kesal dengan mata menatap tajam ke arahnya.

"Bisakah Anda tidak membaca pikiranku lagi, Pak Joyo?!" ujar Wawan
meninggikan suaranya.

"Tidak bisa, ruangan ini terhubung langsung dengan otakku, jadi semuanya
yang ada di sini, bisa kurasakan apa yang dipikirkannya. Makanya nama tempat ini
adalah Ruang Jiwa dan Kebenaran. Karena memang tak akan ada yang bisa
berbohong di tempat ini," jelas Pak Joyo berhasil membungkam Wawan. "Boleh
kulanjutkan, Nak?"
Wawan menghela napas gusar lalu mengangguk pelan. Pak Joyo kemudian
menarik kursi yang entah sejak kapan sudah ada di belakangnya. Jadilah mereka
seperti di ruangan interogasi yang bercahaya minim.

"Kami memiliki masa lalu yang cukup kelam dan tragis. Tahun 1996, di suatu
malam yang entah hari apa aku sendiri sudah lupa. Kejadian itu bermula, puluhan
warga desa Sidojaya atau lebih tepatnya tetanggaku sendiri melakukan hal yang tak
pernah kami duga. Mereka membumihanguskan rumah kami dan ...." Pak Joyo
menggantung kata-katanya.

"Dan?" tanya Wawan tak sabar.

"Dan diriku. Aku mati terbakar."

Glek! Wawan menelan ludah. Keringat dingin keluar dari pelipisnya. Ada rasa
takut yang tiba-tiba menyerangnya. Meski sedari awal dirinya tahu kalau manusia
bernama Pak Joyo ini bukanlah makhluk hidup, tetapi membayangkan caranya mati
membuat bulu kuduknya berdiri seketika. Dia tak bisa membayangkan bagaimana
rasa sakit yang menyiksa dengan api yang membakar perlahan, nyaris seperti
singkong bakar. Padahal, tangan yang terkena api kecil dari korek saja sudah melepuh
dan terasa perih jika tak segera diolesi pasta gigi.

"Rasanya seperti tubuhku meleleh, terbakar perlahan sampai menunggu nyawa


benar-benar telah lepas dari ragaku, itu cukup untuk membuatku ingat bahwa api
neraka itu lebih panas daripada ini …."

Wawan terdiam mendengar kata demi kata yang terlontar dari mulut pria tua
itu. Otaknya seperti tercekat oleh gambaran kengerian yang silih berganti seperti
gulungan film yang berputar menayangkan frame by frame(15) secara dinamis.
Memikirkan hal itu tiba-tiba tubuhnya merinding. Kaki menjadi kaku, dan keringat
tak hanya membasahi pelipis saja, sekujur tubuh sudah basah oleh keringat.

"Lebih sakit lagi saat kedua orang yang paling kucintai harus melihatku
dilalap api, dan melihat orang-orang keji akibat hasutan fitnah itu bersorak bahagia.
Saat itu benar-benar kalut.”

15Bingkai demi bingkai


Mata pak Joyo menerawang jauh.

***

Puluhan orang itu beramai-ramai bersorak kegirangan. Membakar rumah dan


pemiliknya dengan tuduhan tanpa dasar yang jelas. Tindakan yang sangat tidak
manusiawi.

Dalam waktu singkat rumah Joglo besar itu telah rata dengan tanah bersamaan
dengan hujan deras yang kemudian mengguyur bumi. Seolah semesta tau
kebenarannya, hujan yang turun setidaknya berhasil membuat perkumpulan orang-
orang bar-bar itu kalang kabut lari menghindari setiap butir air langit ini.

Kini tinggalah seorang wanita dengan putera semata wayangnya yang masih
berumur sepuluh tahunan. Dengan langkah gontai keduanya menghampiri tubuh
gosong kaku tak bernyawa yang sebelumnya mereka panggil, Suami dan Ayah. Kini
pria tua itu sudah meringkuk dalam kematian yang tragis.

"Duh Gusti ... kenapa semua ini terjadi?" ucap wanita seraya duduk bersimpuh
di samping jasad suaminya. Kemudian tangisnya pecah bersamaan dengan sebuah
janji pembalasan yang tak terdengar karena derasnya suara hujan dan petir yang
menyambar langit.

Kematian itu membuat Tiyem berubah. Dia pergi ke hutan keramat yang
letaknya ada di kaki gunung tak bernama di desa Sidojaya. Dalam pelariannya
tersebut, putranya yang saat itu mengalami demam hebat akhirnya mengembuskan
napas terakhir. Semakin marah wanita itu dibuatnya dan mengutuk seluruh penduduk
desa Sidojaya dengan keras!

Tiyem yang merupakan keturunan orang Bali kemudian mendalami ilmu


Leak. Dalam waktu beberapa bulan akhirnya dia bisa menguasai ilmu itu dan meneror
penduduk desa Sidojaya demi membalaskan dendam. Tak segan dia membunuh siapa
pun yang dulu ikut serta dalam membakar suaminya. Entah dengan cara apapun itu, ia
pasti berhasil membunuh mereka.

Dalam kurun waktu beberapa tahun, desa Sidojaya akhirnya menjadi desa
mati. Seluruh penduduknya memilih pindah ke desa lain. Namun, kutukan Tiyem
tetap mengejar. Siapa pun yang pernah tinggal di desa Sidojaya akan mati di
tangannya.

***

"Begitulah awal kisah kenapa desa ini menjadi desa mati." Pak Joyo
menghentikan ucapannya. Dia berdiri membelakangi Wawan yang hanya terdiam
dalam ketidakpastian.

"Aku harus menghentikannya! Karena aku ingin rohku ini tidak terikat lagi di
dunia ini. Kupikir sekarang adalah waktu yang tepat untuk melakukannya." Pak Joyo
menoleh ke arah Wawan yang mukanya sudah pucat pasi.

"Aku tidak pernah tahu kisah itu sebelumnya ... yang kutahu, hanya desa ini
menjadi angker karena teror misterius yang menghantui setiap harinya. Kukira ... tak
ada kisah yang lebih menyakitkan di belakang itu." Wawan menunduk lesu,
memperhatikan kakinya yang tak beralas. Tak terasa setetes air mata jatuh bagai rinai
hujan. Mendengar kisah itu entah kenapa hatinya terasa pilu, seperti ada puluhan
belati yang menyobek-nyobeknya hingga terasa begitu sakit dan menyakitkan. Entah
kenapa dia kini malah merasa kasihan kepada wanita bernama Tiyem itu. Kehilangan
keluarganya sama dengan kehilangan harta paling berharga dalam kehidupan ini.
Wawan merasa jika dirinya berada di posisi wanita itu, ia mungkin akan melakukan
hal yang sama.

"Kadang ada sejarah penting yang ditutup-tutupi demi mendukung satu belah
pihak yang dibenarkan." Mata Pak Joyo menerawang jauh, sebelum akhirnya ia
tersadar kembali.
"Baiklah, sebaiknya kamu segera pulang, Nak. Urusan di sini lebih baik
kutangani sendiri. Pesanku, lebih baik kalian tak kesini lagi."

Wawan berdiri, matanya sembap. Dia tersenyum ke arah pria tua itu. Pak Joyo
juga tersenyum simpul dan berjalan mendekat ke arah Wawan. Ia kemudian memeluk
remaja cungkring itu. Terasa dekapannya begitu menenangkan.

"Bangunlah, Nak." Suara itu terdengar samar di telinga Wawan. Dan dunia
seketika menjadi gelap gulita. Terasa tubuh Pak Joyo perlahan seperti melebur
menjadi butiran pasir kemudian lenyap.

Secercah cahaya tampak menyilaukan mata di depan sana. Dia berpikir


mungkin dirinya sudah mati dan sedang menuju ke alam baka jika saja cahaya itu
tidak berubah menjadi bentuk plafon kusam yang sangat ia kenali.

Sayup-sayup gendang telingannya menangkap suara desiran angin dan burung


berkicau yang khas. Kemudian ia membuka matanya lebih lebar dan berusaha
bangkit. Kepalanya terasa berdenyut pelan membuatnya merintih menahan rasa sakit.

Cahaya hangat langsung menyambutnya.

"Tempat ini." Mata Wawan menelusur ke sekitar. Meja belajar, lemari, jendela
dengan gorden terbuka dan pintu yang tertutup di sana. "Kamarku?"

Seorang wanita dewasa membuka pintu kamar. Kedua netranya langsung


tertuju pada seorang anak laki-laki yang duduk di tengah ranjang. Putranya telah
sadar. Ia berlari menghamburkan pelukan ke putranya itu dengan tangis yang kembali
pecah. Sementara Wawan hanya tersenyum mendengar berbagai pertanyaan yang
hanya terdengar seperti racauan dari mulut Ibunya itu. Dia yakin bahwa ....

"Aku pulang."

***
EPILOG
Beberapa hari berlalu sejak kejadian mengerikan di rumah sakral ujung desa
Sidojaya. Syukurlah, mereka akhirnya bisa pulang dengan selamat. Meski saat itu
kondisi Wawan dalam keadaan terluka parah. Butuh waktu satu minggu hingga
kondisi remaja bertubuh kecil itu dapat pulih kembali.

Pak Kardi juga tampaknya tidak ingat apa pun perihal apa yang terjadi saat
tubuhnya dijadikan sebagai wadah roh Pak Joyo. Satu hal yang sangat diingat oleh
Pak Kardi hanyalah saat dirinya terpelanting jatuh dari atas motor dan tubuhnya
menghempas aspal. Untuk sesaat dia masih dapat merasakan sakit hingga kemudian
hanya tampak gelap. Setelah terbangun dirinya sudah berada di petiduran rumah dan
dikelilingi wajah-wajah khawatir dari para tetangga. Sementara istrinya tengah terisak
seraya memeluk erat.

Kehebohan malam itu kemudian dijelaskan oleh Pak RT. Mereka dapat pulang
karena diselamatkan oleh para bapak-bapak yang diprovokasi oleh Bu Kardi. Ya,
meski awalnya banyak yang menolak, tetapi akhirnya dengan sedikit paksaan mereka
mau membantu.

Begitulah kisah singkatnya hingga kemudian menjadi bahan perbincangan


seluruh orang dalam beberapa hari ke depan. Kisah-kisah horor tentang rumah sakral
dan desa Sidojaya kembali menjadi Trending Topic dan bahkan beberapa wartawan
lokal mulai mengulik kembali tentang sejarah kelam desa tersebut.

Heboh untuk sesaat. Seminggu kemudian, kisahnya hanya menjadi bungkus


gorengan. Tak banyak yang tertarik lebih dalam mengulas kisah ini. Mungkin akan
terlupakan dalam beberapa minggu ke depan, berganti dengan berita menghebohkan
yang lain. Ya, begitulah media masa bekerja.

Namun, bagi sebagian orang rumor itu merupakan bahan yang menarik untuk
ditelusuri lagi. Hingga beberapa orang malah mencoba untuk ke desa Sidojaya.

***
Senin. Hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang ujian tengah
semester tahun ini. Rutinitas seorang murid dimulai hari ini. Dari sang surya yang
masih malu-malu menampakan dirinya, mereka sudah harus bangun menyapa pagi
dan bersiap untuk menimba ilmu. Ada yang bersemangat, tetapi ada juga yang malah
sebaliknya.

Tampak masih bermalas-malasan, seorang remaja laki-laki bertubuh jangkung


berjalan menyusuri trotoar. Berpakaian seragam putih biru dengan tas di punggung.
Wawan. Sebenarnya dia tak semalas kelihatannya. Jika lebih diperhatikan lebih
saksama, tampak hidungnya berusaha mengirup dalam-dalam udara pagi ini. Sejuk,
khas daerah pegunungan.

Tiba-tiba saja terlintas dalam benaknya, bayangan kelas yang riuh oleh canda
dan tawa, membuatnya sedikit bersemangat. Ah ... masa muda.

Namun, otaknya kembali berputar. Kini ia dapat melihat bayangan


mengerikan yang ia alami beberapa hari kebelakang. Darah, makhluk aneh, hantu ...
tak ada alasan untuk bisa melupakan kejadian itu dengan segera. Pengalaman yang
berharga. Bahkan, ia juga ingat saat ia hampir saja tidur dengan Sari, meski itu
hanyalah jelmaan. Akan tetapi, saat Sari yang di rumah sakral itu, ia yakin dia asli.
Saat bibir mereka bersatu … rasanya nikmat. Ah, mungkinkan ciuman pertama selalu
semenyenangkan ini? Wawan tersenyum kecil mengingat hal itu.

Dari belakang empat remaja dengan pakaian seragam berlari-lari kecil untuk
menyusul.

"Hola!"

Sebuah tepukan keras menampar punggung. Kontan membuat Wawan


terkejut. Bayu terkekeh senang.

"Nggak biasanya kamu duluan, Wan," ucap Bayu sembari merangkul pundak
Wawan.

Wawan menghela napas, dan menoleh ke belakang. Rio, Ratih dan …Sari, dia
tampak tersipu saat netranya saling bertemu dengan Wawan. Wajahnya memerah.
Mungkin ada yang cerita soal ciuman itu kepadanya. Akh! Apa aku harus meminta
maaf? pikir Wawan dalam hati.
“Woe!” Bayu kembali menepuk Wawan yang malah bengong.

Wawan agak terkejut segera membalas. "Ah Iya ... so-soalnya kukira tadi
kalian udah duluan."

Wawan mengusap keningnya yang mulai berminyak. Tiba-tiba saja ia jadi


gugup.

"Aelah, baru juga jam 6, Wan. Masih pagi," hardik Rio menyamai langkah
Bayu dan Wawan. Tampak tubuh remaja berkulit gelap itu lebih tinggi dari yang lain.

Wawan hanya tersenyum simpul. Bayu curiga dengan tingkah sahabatnya itu.

“Kamu kenapa, Wan? Kok kaya murung gitu?”

“Eh, aku murung? Mungkin cuman perasaanmu aja, hahaha.”

Bayu menyipitkan matanya semakin curiga dengan tawa yang terdengar


dipaksakan itu. “Yakin?”

“Sumpah, aku jijik kalau kamu terus tanya gitu!”

“Anjay!” tawa Rio pecah.

Sementara dua gadis di belakang mereka tampak sibuk membicarakan hal


serius. Tidak memedulikan perdebatan tiga remaja laki-laki di depannya yang tengah
beradu argumen.

Bayu menghela napas lalu kembali berceloteh seperti tadi.

"Kalian tau! Aku sudah tidak sabar ingin bertemu lagi dengan kawan-kawan di
sekolah, hahaha." Bayu meloncat-loncat bahagia. Hey, dia tampak seperti anak kecil
sekarang.

"Bocah.”

Pletak! Sebuah pukulan keras mendarat di kepala Rio, membuat remaja itu
geram. Hingga mereka—Bayu dan Rio— akhirnya bertengkar di sepanjang jalan.
Yang satu sifatnya usil dan yang satunya lagi keras kepala. Namun, yang pasti
keduanya bukan tipe orang suka mengalah.
Perjalanan tak terasa begitu melelahkan, itu setidaknya bagi Wawan. Namun,
Rio dan Bayu tampak sudah ngos-ngosan akibat sibuk beradu argumen dan sesekali
saling coba memukul.

Akhirnya kelima remaja itu sampai di depan gerbang Sekolah Menengah


Pertama berbasis swasta ini. Di dalam area sekolahan tampak beberapa anak lain
sudah banyak yang berkumpul dan bercanda ria. Namun, kebanyakan dari mereka
lebih suka berbincang soal liburan kemarin. Begitulah.

“Hey, mungkin kisah kita lebih seru dibanding kisah mereka saat liburan
kemarin,” kata Wawan. Sekilas angin menyapu mereka, daun-daun bertebaran, dan
tunggu. Sepertinya itu terlalu drama. Tidak. Mereka hanya berdiam di depan gerbang
sekolah.

Bayu dan Rio berhenti beradu argumen, begitu pun Ratih dan Sari. Mereka
bersamaan menatap Wawan yang tersenyum tipis. Kisah kelima remaja ini mungkin
memanglah yang terbaik dan yang paling menghebohkan. Kisah yang berawal dari
sebuah kecerobohan dan berakhir dengan kehebohan.

Untunglah kisah itu sudah terabadikan dengan baik oleh permainan diksi indah
yang ditulis oleh gadis berkacamata itu. Sari. Dia tersenyum kecil saat Wawan
menoleh ke arahnya.

Teman-teman di seluruh kelasnya harus mendengarkan kisah itu bermula.

Bel berbunyi, seluruh siswa menuju ke kelasnya masing-masing. Memasuki


rumah kedua setelah berlibur dua minggu lamanya, rasanya seperti ada sesuatu yang
berbeda. Masih terasa asing.

Wawan memilih duduk di bangku paling belakang pojok kanan. Dia bersama
dengan Rio. Bayu duduk sendiri di samping mejanya. Serta Ratih dan Sari duduk satu
meja di depan meja Wawan. Mereka memang sengaja mengambil tempat
bersebelahan, karena memudahkan jika sewaktu-waktu ada pembagian kelompok
tugas.

Suasana kelas masih seriuh yang tadi. Masih banyak dari para siswa yang
tampaknya belum puas bertegur sapa setelah lama tak berjumpa. Namun, semua
celotehan itu berganti hening saat seorang pria paruh baya memasuki ruangan.
Memakai pakaian bermotif batik, kopiah di atas kepala, dan tubuh agak
tambun tak terlalu tinggi. Ciri paling mencolok dari pria itu adalah wajahnya yang
kalem meski fakta sebenarnya mengatakan bahwa beliau masuk pada jajaran guru
Killer. Namanya adalah Pak Budi, guru bahasa Indonesia.

“Berdiri! Beri salam!” teriak seorang siswa yang merupakan ketua kelas
mengomando. Semua siswa berdiri dan setelah mengucap salam, kembali duduk.

Pak Budi membuka percakapan. Dia banyak bicara soal liburan kemarin dan
itu cukup membosankan. Terbukti dari banyaknya siswa yang menguap, mengantuk.
Hingga kemudian waktunya presentasi tiba.

Pak Budi berdiri, ia menatap satu persatu muridnya. Hingga netranya berhenti
tepat ke arah Wawan, membuat remaja jangkung tersebut terhenyak kaget.

“Hendra Irawan, coba ceritakan mengenai liburanmu!”

Wawan masih terdiam. Ia mencolek lengan Rio dan memberi kode. Mereka
berdua mengangguk dan berdiri bersamaan. Bayu, Ratih dan Sari juga berdiri.

Pak Budi tampak bingung, apa maksudnya? “Kenapa kalian berdiri?”

Wawan tersenyum simpul seraya berkata, “Karena kisah saya, adalah kisah
kami berlima.”

Seluruh pasang mata menatap Wawan, tak paham. Namun, saat Wawan mulai
mengisahkan petualangan seru itu, mereka memilih diam dan mendengarkan. Hingga
kisah berakhir, seluruh siswa bertepuk tangan begitu meriah.

Ini adalah kisah tentang kecerobohan dan keingintahuan sekelompok remaja.


Terdengar seperti fiksi, namun sayangnya kisah itu nyata.

Sementara itu, di sisi lain. Tempat yang begitu sepi. Hampir tak ada tanda-
tanda kehidupan apa pun jika saja tidak ada suara burung yang dengan riang
bernyanyi bersahutan di dahan pohon. Tak jauh di sana terdengar deru mesin ringan.
Beberapa saat kemudian muncul di balik jalanan hutan yang rindang, sebuah mobil
4x4 berwarna merah mencolok berjalan perlahan memasuki desa. Lalu berhenti
setelah melewati gapura selamat datang.
Seorang pria tambun turun dari mobil diikuti ketiga lainnya. Mereka dua laki-
laki dan dua wanita dewasa muda. Dari beberapa benda yang dikeluarkan dari dalam
tas masing-masing, bisa dipastikan mereka adalah wartawan. Sebuah kamera
handicam, tripod dan beberapa benda penunjang pengambilan gambar digital lainnya.
Siap dipakai.

“Aku ambil gambar di sini dulu, buat opening.” Seorang pria yang berbadan
agak tambun dengan topi di atas kepala tengah menata tripod.

“Kalian bertiga, coba cari sesuatu yang menarik di sini. Kita butuh banyak
bahan untuk video kali ini,” pintanya.

Mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing, hingga tanpa sadar


seseorang tengah mengawasi dari atas balkon di rumah ujung jalan. Mata wanita
dengan pakaian kebaya yang khas itu berkilat merah menyala. Senyum tersungging di
bibirnya yang ranum. Ada mangsa baru.

“Selamat datang di desa Sidojaya.” Tiyem akan beraksi kembali.

~oOo~

BIODATA NARASI
Suwoko, atau yang lebih dikenal dengan
nama pena Suwoko Saiyan, lahir di Blitar, 29 Juli
2000. Berdomisili di Blitar, Jawa Timur. Laki-
laki lulusan SMP tersebut mulai menyukai dunia
kepenulisan sejak pertama kali mengenal yang
namanya blogging. Dari sana penulis berkulit
gelap ini mulai mempelajari literasi lebih
mendalam.

Selain menulis, Suwoko juga mendalami


ilmu seni menggambar yang merupakan keahliannya semenjak kecil. Bahkan, selain
bercita-cita ingin menjadi penulis hebat, dia juga ingin menjadi komikus.

Anda dapat menghubungi Suwoko Saiyan lewat e-mail:


suwokogamer@gmail.com atau Facebook: Suwoko Saiyan.

Anda mungkin juga menyukai