Telah seminggu Haji Rakhmad (Pak Haji), Wak Katok, Sutan, Talib, Sanip, Buyung, dan
Pak Balam berada di hutan mengumpulkan damar, tidak jauh dari pondok Wak Hitam. Pak Haji
yang tertua di antara mereka telah berumur 60 tahun. Meskipun umurnya telah tua seperti itu
tetapi badannya masih tetap sehat dan kuat. Wak Katok yang berumur 50 tahun memiliki
perawakan yang kukuh dan keras, senang berpakaian serba hitam dan masih terlihat seperti
berumur 40 tahunan.
Ia juga merupakan ahli pencak dan dukun hebat di desa. Yang muda diantara mereka,
Sutan berumur 22 tahun, telah berkeluarga. Talib yang berumur 27 tahun telah beristri dan
beranak tiga. Sanip berumur 25 tahun juga telah beristri dan mempunyai empat anak. Buyung
adalah yang termuda berumur 19 tahun.
Semua anak anak muda itu adalah murid pencak Wak Katok. Mereka juga belajar ilmu
sihir dan gaib padanya. Dan anggota rombongan yang ketujuh dan terakhir ialah Pak Bayam
yang sebaya dengan Wak Katok. Orangnya pendiam dan kurus namun ia masih kuat untuk
bekerja. Mereka bertujuh paling disenangi dan dihormati oleh orang orang kampung karena
mereka dikenal sebagai orang orang sopan, mau bergaul, mau bergotong royong, dan taat
dalam agama. Selain orang orang terpandang, mereka juga sudah berkeluarga semua kecuali
Buyung.
Wak Katok mempunyai sebuah senapan yang paling ampuh di dalam kelompok tersebut.
Senapan ini tidak jarang dipinjamkan kepada Buyung karena tahu bahwa ia sangat senang dan
bahkan pandai menggunakan senapan. Karena mempunyai senapan itu, mereka sering berburu
rusa dan babi. Babi ini sering masuk ke rumah Wak Hitam. Karena itu pula terjadi perkenalan
dengan Wak Hitam, bahkan mereka sering memgimap di pondok Wak Hitam ini. Wak Hitam
adalah seorang laki laki yang berusia 70 tahun. Orangnya kurus, berkulit hitam, menyukai
celana dan baju hitam. Ia senang tinggal berbulan bulan di hutan atau di ladangnya bersama
Siti Rubiyah, istri keempatnya yang cantik dan masih muda belia. Wak Hitam pandai
menggunakan sihir dan memiliki ilmu gaib. Menurut Wak Katok dalam hal ilmu gaib, Wak
Hitam adalah gurunya. Wak Hitam gemar mencari perawan muda untuk penyegar dirinya. Bila
ia sakit dimintanya pada istrinya untuk mendekap pada tubuhnya, agar darah muda istrinya
mengalir ke tubuhnya dan ia akan lekas sembuh kembali. Orang orang percaya bahwa Wak
Hitam senang tinggal di hutan karena ia memelihara jin, setan, iblis, dan harimau jadi jadian.
Ada pula yang mengatakan bahwa Wak Hitam mempunyai anak buah bekas pemberontak
yang menjadi perampok dan penyamim yamg tinggal di hutan. Di samping itu ada pula yang
mengatakan bahwa Wak Hitam mempunyai tambang yang dirahasiakannya di dekat ladangnya.
Mereka bertujuh sampai di pondok Wak Hitam sebelum malam tiba. Dengan gembira mereka
menyantap masakan Rubiyah karena selama di hutan mereka tidak menikmati masakan yang
enak. Merekapun tertarik akan keindahan tubuh Rubiyah. Buyung si rombongan anggota
termuda dan satu satunya yang masih bujangan, tergila gila akan kecantikan Rubiyah. Dalam
hatinya, ia membandingkan kelebihan Rubiyah dan Zaitun tunangannya di kampung. Sanip,
Talib, dan Wak Katok sering tidak dapat menahan diri jika duduk berdekatan dengan Siti
Rubiyah.
Pada suatu hari mereka melihat hal hal yang aneh ketika Wak Hitam sakit. Banyak
orang yang berpakaian serba hitam datang ke pondok dan menyerahkan bungkusan rahasia
kepada Wak Hitam. Mereka juga menjumpai seorang tukang cerita dan juru ramal di pondok
tersebut. Berbagai ramalan disampaikan peramal itu tentang jalan hidup Buyung, Sutan, Talib,
dan Sanip.
Pada suatu hari Wak Katok berkesempatan mengintai Rubiyah mandi di sungai. Hampir
tak tertahankan berahi Wak Katok menyaksikan Rubiyah berkecipung mandi tanpa busana.
Dalam perjalanan pulang ke pondok, dengan dalih memberi manik manik ditariknya Rubiyah
masuk ke dalam semak belukar
Pada kesempatan lain, Buyung pun mengintai Rubiyah mandi di sungai. Hampir tak
terkendalikan gejolak batinnya menyaksikan tubuh Rubiyah yang menawan. Diberanikannya
menghampiri Rubiyah yang sedang mandi. Akhirnya terjadilah hubungan intim antara keduanya.
Rubiyah pun menceritakan kalau dirinya juga jatuh ke tangan Wak Hitam dan penderitaan yang
ditanggungnya. Buyung merasa telah jatuh cinta dan merasa wajib melindungi menyelamatkan
Rubiyah dari tangan Wak Hitam. Hati dan perasaan keduanya terpadu dan membeku.
Terjadilah perbuatan terlarang yang tak dapat mereka kendalikan lagi. Mereka melalap
kepuasan masing masing. Setelah Buyung kembali ke tempat rombongan bermalam di hutan ia
merasa bimbang dan menyesal telah berbuat dosa. Ia ingin membebaskan Rubiyah dengan
menjadikannya sebagai istri tapi ia masih tetap mencintai Zaitun.
Setelah bermalam, paginya mereka pergi berburu ke tempat kumpulan rusa yang
sekaligus juga kumpulan harimau. Setelah menunggu beberapa saat, Buyung berhasil membidik
seekor rusa jantan. Mereka pun langsung ke tempat bermalam dan menguliti rusa tersebut di situ.
Tapi tiba tiba, mereka semua mendengar auman seekor harimau. Dengan cepat mereka
memasak rusa tersebut dan langsung pergi. Setelah perjalanan setengah hari dan tak lagi
mendengar suara harimau, mereka beristirahat untuk makan dan setelah selesai semuanya
mereka langsung saja melanjutkan perjalanan untuk mencari tempat bermalam. Lalu mereka
membuat sebuah pondok dan api unggun. Ketika Pak Balam buang hajat, harimau menerkam
dan membawanya masuk ke dalam hutan.
Setelah mereka sadar, dengan cepat Wak Katok menembak ke arah harimau dan harimau
tersebut akhirnya lari dan meninggalkan Pak Balam. Tubuhnya penuh luka, goresan, dan darah.
Setelah sadar Pak Balam lalu berkata bahwa ia telah memiliki firasat sebelumnya. Lalu ia
menceritakan mimpi mimpi buruknya ketika masih di kampung dan di rumah Wak Hitam. Lalu
Pak Balam meminta mereka semua untuk bertobat dan mengakui semua dosa dosanya. Tapi
tak ada satu orangpun yang mau mengakui dosa dosanya.
Setelah sembahyang, mengobati luka Pak Balam dan membuat usungan mereka lantas
pergi. Keranjang damar mereka tinggalkan. Selama perjalanan, panas Pak Balam tak juga reda,
mereka ingin cepat cepat sampai kampung agar Pak Balam dapat segera diobati. Talib berada
di barisan paling belakang, ketika ia hendak membuang air seni harimau telah membawanya lari.
Mereka mengikuti jejak harimau tersebut, dan ia di tempat terbuka di dalam hutan
mereka menemukan Talib yang sudah berlumuran darah. Karena kaget akan serangan
rombongan itu, harimau lantas pergi. Semua ikut membantu menyembuhkan Talib dengan
kekuatan lima orang itu walaupun akhirnya ia sendiri meninggal. Semua ikut membantu kecuali
Wak Katok karena ia adalah seorang pemimpin.
Esok paginya Talib dikuburkan, Pak Haji dan sutan menjaga pondok serta Pak Balam.
Sedangkan yang lain pergi memburu harimau. Sutan tak tahan mendengar igauan Pak Balam
yang meminta untuk mengaku dosa. Ia pun pergi meninggalkan Pak Haji dan Pak Balam yang
sedang sakit dan pergi menyusul kawan kawan yang lainnya.
Sedangkan di tempat lain, di dalam hutan Wak Katok dan Pasukannya terus mengikuti
jejak harimau. Pada saat mereka merasa sudah dekat dengan sang harimau, mereka menyusun
rencana sedemikian rupa. Mereka lantas bersembunyi di belakang pohon yang besar dan
menunggu sang harimau tiba. Malam pun tiba, saat itu juga mereka mendengar jeritan manusia,
dan auman harimau seecara bersamaan.
Tapi mereka tak hendak untuk menolongnya, dan memutuskan kembali ke tempat mereka
bermalam. Ketika sampai di tempat bermalam, Pak Haji menanyakan keberadaan Sutan. Mereka
menggeleng, dan menceritakan apa yang terjadi pada dua tempat yang berbeda, mereka pun
menyimpulkan bahwa yang menjadi korban harimau tersebut ialah Sutan. Pagi pagi ketika
mereka bangun, mereka terkejut karena Pak Balam akhirnya meninggalkan dunia. Setelah selesai
mengubur Pak Balam, mereka semua memutuskan untuk pergi berburu.
Wak Katok memutuskan mengambil jalan pintas, ternyata jalan pintas itu melewati hutan
yang sangat lembab. Hutan ini pun seperti tak pernah disentuh makhluk hidup kecuali babi dan
badak. Mereka ingin keluar dari rimba jahat tersebut, tetapi Wak Katok yang menjadi pemimpin
rombongan tersebut hanya membuat mereka berputar putar di jalan yang sama karena
sebenarnya Wak Katok takut memburu harimau. Setelah itu, Wak Katok malah marah marah
sendiri, dan memaksa satu persatu orang untuk mengakui dosa dosanya. Semuanya mau
menurut kecuali Buyung. Wak Katok memaksa Buyung dengan cara meletakkan senapan di
dadanya, dan saat itu pula suara auman harimau terdengar. Setelah harimau pergi, Wak Katok
tak dapat diajak berbicara lagi yang akhirnya Wak Katok pun mengusir mereka.
Buyung, Pak Haji, dan Sanip menyusun rencana untuk mengambil senapan. Senapan
berhasil diambil setelah melalui perkelahian. Wak Katok akhirnya pingsan dan akhirnya Pak
Haji meninggal karena luka yang disebabkan oleh Wak Katok. Setelah sihir yang dimiliki oleh
Wak Katok, Buyung menyusun rencana yang sangat bagus hingga akhirnya dapat membunuh
harimau tersebut.
Ia membunuh dengan cara melepaskan bidikan tepat mengenai sasaran dan harimaupun
mati. Ketika itu ia menggunakan Wak Katok sebagai umpan dan Wak Katok diikat di sebuah
batang pohon yang besar. Kini mengertilah Buyung maksud kata kata Pak Haji bahwa untuk
keselamatan kita hendaklah dibunuh dahulu harimau yang ada di dalam diri kita. Untuk membina
kemanusiaan perlu kecintaan sesama manusia. Seorang diri tidak dapat hidup sebagai manusia.
Buyung menyadari bahwa ia harus mencintai sesama manusia dan ia akan sungguh sungguh
mencintai Zaitun. Buyung merasa lega bahwa ia terbebas dari hal hal yang bersifat takhayul,
mantera mantera, jimat yang penuh kepalsuan dari Wak Katok. Sekeluar dari hutan Buyung
dan Sanip berencana melaporkan Wak Katok ke polisi.
KOMENTAR :
Tuti adalah putri sulung Raden Wiriatmadja. Dia dikenal sebagai seorang gadis yang
pendiam teguh dan aktif dalam berbagai kegiatan organisasi wanita. Watak Tuti yang selalu
serius dan cenderung pendiam sangat berbeda dengan adiknya Maria. Ia seorang gadis yang
lincah dan periang.
Suatu hari, keduanya pergi ke gedung akuarium. Ketika sedang asyik melihat-lihat ikan,
mereka bertemu dengan seorang pemuda. Pertemuan itu berlanjut dengan perkenalan. Pemuda
itu bernama Yusuf, seorang Mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta. Ayahnya adalah
Demang Munaf, tinggap di Martapura, Sumatra Selatan.
Perkenalan yang tiba-tiba itu menjadi semakin akrab dengan diantarnya Tuti dan Maria
pulang. Bagi yusuf, perteman itu ternyata berkesan cukup mendalam. Ia selalu teringat kepada
kedua gadis itu, dan terutama Maria. Kepada gadis lincah inilah perhatian Yusuf lebih banyak
tertumpah. Menurutnya wajah Maria yang cerah dan berseri-seri serta bibirnya yang selalu
tersenyum itu, memancarkan semangat hidup yang dinamis.
Esok harinya, ketika Yusuf pergi ke sekolah, tanpa disangka-sangka ia bertemu lagi
dengan Tuti dan Maria di depan Hotel Des Indes. Yusuf pun kemudian dengan senang hati
menemani keduanya berjalan-jalan. Cukup hangat mereka bercakap-cakap mengenai berbagai
hal.
Sejak itu, pertemuan antara Yusuf dan Maria berlangsung lebih kerap. Sementara itu Tuti
dan ayahnya melihat hubungan kedua remaja itu tampak sudah bukan lagi hubungan
persahabatan biasa.
Tuti sendiri terus disibuki oleh berbagai kegiatannya. Dalam kongres Putri Sedar yang
berlangsung di Jakarta, ia sempat berpidato yang isinya membicarakan emansipasi wanita. Suatu
petunjuk yang memperlihatkan cita-cita Tuti untuk memajukan kaumnya.
Pada masa liburan, Yusuf pulang ke rumah orang tuanya di Martapura. Sesungguhnya ia
bermaksud menghabiskan masa liburannya bersama keindahan tanah leluhurnya, namun ternyata
ia tak dapat menghilangkan rasa rindunya kepada Maria. Dalam keadaan demikian, datang pula
kartu pos dari Maria yang justru membuatnya makin diserbu rindu. Berikutnya, surat Maria
datang lagi. Kali ini mengabarkan perihal perjalannya bersama Rukamah, saudara sepupunya
yang tinggal di Bandung. Setelah membaca surat itu, Yusuf memutuskan untuk kembali ke
Jakarta, kemudian menyusul sang pujaan hati ke Bandung. Setelah mendapat restu ibunya,
pemuda itu pun segera meninggalkan Martapura.
Kedatangan Yusuf tentu saja disambut hangat oleh Maria dan Tuti. Kedua sejoli itu pun
melepas rindu masing-masing dengan berjalan-jalan di sekitar air terjun di Dago. Dalam
kesempatan itulah, Yusuf menyatakan cintanya kepada Maria.
Sementara hari-hari Maria penuh dengan kehangatan bersama Yusuf, Tuti sendiri lebih
banyak menghabiskan waktunya dengan membaca buku. Sesungguhpun demikian pikiran Tuti
tidak urung diganggu oleh keinginannya untuk merasakan kemesraan cinta. Ingat pula ia pada
teman sejawatnya, Supomo. Lelaki itu pernah mengirimkan surat cintanya kepada Tuti.
Ketika Maria mendadak terkena demam malaria, Tuti menjaganya dengan sabar. Saat
itulah tiba adik Supomo yang ternyata disuruh Supomo untuk meminta jawaban Tuti perihal
keinginandsnya untuk menjalin cinta dengannya. Sesungguhpun gadis itu sebenarnya sedang
merindukan cinta kasih seorang, Supomo dipandangnya sebagai bukan lelaki idamannya. Maka
ia menulis surat penolakannya.
Sementara itu, keadaan Maria makin bertambah parah. Kemudian diputuskan untuk
merawatnya di rumah sakit. Ternyata menurut keterangan dokter, Maria mengidap penyakit
TBC. Dokter yang merawatnya menyarankan agar Maria dibawa ke rumah sakit TBC di Pacet,
Sindanglaya JawaBarat.
Perawatan terhadap Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya. Namun keadaannya
tidak juga mengalami perubahan. Lebih daripada itu, Maria mulai merasakan kondisi kesehatan
yang makin lemah. Tampaknya ia sudah pasrah menerima kenyataan.
Pada suatu kesempatan, disaat Tuti dan Yusuf berlibur di rumah Ratna dan Saleh di
Sindanglaya, disitulah mata Tuti mulai terbuka dalam memandang kehidupan di pedesaan.
Kehidupan suami istri yang melewati hari-harinya dengan bercocok tanam itu, ternyata juga
mampu membimbing masyarakat sekitarnya menjadi sadar akan pentingnya pendidikan.
Keadaan tersebut benar-benar telah menggugah alam pikiran Tuti. Ia menyadari bahwa
kehidupan mulia, mengabdi kepada masyarakat tidak hanya dapat dilakukan di kota atau dalam
kegiatan-kegiatan organisasi, sebagaimana yang selama ini ia lakukan, tetapi juga di desa atau di
masyarakat mana pun, pengabdian itu dapat dilakukan.
Sejalan dengan keadaan hubungan Yusuf dan Tuti yang belakangan ini tampak makin
akrab, kondisi kesehatan Maria sendiri justru kian mengkhawatirkan. Dokter yang merawatnya
pun rupanya sudah tak dapat berbuat lebih banyak lagi. Kemudian setelah Maria sempat
berpesan kepada Tuti dan Yusuf agar keduanya tetap bersatu dan menjalin hubungan rumah
tangga, Maria mengjhembuskan napasnya yang terakhir. Alangkah bahagianya saya di akhirat
nanti, kalau saya tahu, bahwa kakandaku berdua hidup rukun dan berkasih-kasihan seperti
kelihatan kepada saya dalam beberapa hari ini. Inilah permintaan saya yang penghabisan dan
saya, saya tidak rela selama-lamanya kalau kakandaku masing-masing mencari peruntungan
pada orang lain. Demikianlah pesan terakhir almarhum Maria. Lalu sesuai dengan pesan
tersebut Yusuf dan Tuti akhirnya tidak dapat berbuat lain, kecuali melangsungkan perkawinan
karena cinta keduanya memang sudah mulai tumbuh bersemi.
Pada mulanya usaha perdagangan Baginda Sulaiman mendapat kemajuan pesat. Hal itu
tidak dikehendaki oleh rentenir seperti Datuk Maringgih. Maka untuk melampiaskan
keserakahannya Datuk Maringgih menyuruh kaki tangannya membakar semua kios milik
Baginda Sulaiman. Maka dengan seluruh orang suruhanya, yaitu pendekar lima, pendekar empat
serta pendekar tiga, serta yang lainnya Datuk Maringgih memerintahkan untuk membakar toko
Baginda Sulaiman. Dengan demikian hancurlah usaha Baginda Sulaiman. Ia jatuh miskin dan tak
sanggup membayar hutang-hutangnya pada Datuk Maringgih. Dan inilah kesempatan yang
dinanti-nantikan oleh Datuk Maringgih. Datuk Maringgih mendesak Baginda Sulaiman yang
sudah tidak berdaya agar melunasi semua hutangnya. Hutang tersebut dapat dianggap lunas,
asalkan Baginda Sulaiman mau menyerahkan Siti Nurbaya kepada Datuk Maringgih.
Menghadapi kenyataan seperti itu Baginda Sulaiman yang memang sudah tak sanggup
lagi membayar hutang-hutangnya tidak menemukan pilihan lain selain yang ditawarkan oleh
Datuk Maringgih. Yaitu menyarahkan puterinya Siti Nurbaya kepada Datuk Maringgih untuk
dijadikan istri.
Siti Nurbaya menangis menghadapi kenyataan bahwa dirinya yang cantik dan muda belia
harus menikah dengan Datuk Maringgih yang tua bangka dan berkulit kasar. Lebih sedih lagi
ketika ia teringat Samsulbahri, kekasihnya yang sedang sekolah di stovia, Jakarta. Sungguh berat
memang, namun demi keselamatan dan kebahagiaan ayahandanya ia mau mengorbankan
kehormatan dirinya dengan Datuk Maringgih.
Samsulbahri yang berada di Jakata mengetahui peristiwa yang terjadi di desanya, terlebih
karena Siti Nurbaya mengirimkan surat yang menceritakan tentang nasib yang dialami
keluarganya. Dia sangat terpukul oleh kenyataan itu. Cintanya yang menggebu-gebu padanya
kandas sudah. Dan begitupun dengan Siti Nurbaya sendiri, hatinya pun begitu hancur pula,
kasihnya yang begitu dalam pada Samsulbahri kandas sudah akibat petaka yang menimpa
keluarganya.
Pada suatu hari ketika Samsulbahri sedang liburan kembali ke Padang, ia dapat bertemu
empat mata dengan Siti Nurbaya yang telah resmi menjadi istri Datuk Maringgih. Pertemuan itu
diketahui oleh Datuk Maringgih sehingga terjadi keributan. Datuk Maringgih sangat marah
melihat mereka berdua yang sedang duduk bersenda gurau itu, sehingga Datuk maringgih
berusaha menganiaya Siti Nurbaya. Samsulbahri tidak mau membiarkan kekasihnya dianiaya,
maka Datuk Maringgih dia pukul hingga terjerembab jatuh ketanah. Karena saking kaget dan
takut, Siti Nurbaya berteriak-teriak keras hingga teriakan Siti Nurbaya terdengar oleh ayahnya
yang tengah terbaring karena sakit keras karena derita beruntun yang menimpanya. Mendengar
teriakan anak yang sangat dicinatianya itu baginda Sulaiman berusaha bangkit, tetapi akhirnya
jatuh tersungkur dan menghembuskan nafas terakhir.
Mendengar itu, ayah Samsulbahri yaitu Sultan Mahmud yang kebetulan menjadi
penghulu kota Padang, malu atas perbuatan anaknya. Sehingga Samsulbahri diusir dan harus
kembali ke Jakarta dan ia benrjanji untuk tidak kembali lagi kepada keluargannya di Padang.
Datuk Maringgih juga tidak tinggal diam, oleh karena itu Siti Nurbaya diusirnya, karena
dianggap telah mencoreng nama baik keluarganya dan adat istiadat. Siti Nurbaya kembali ke
kampunyanya dan tinggal bersama bibinya. Sementara itu Samsulbahri yang ada di Jakarta
hatinya hancur dan penuh dendam kepada Datuk Maringgih yang telah merebut kekasihnya.
Siti Nurbaya yang mendengar bahwa kekasihnya diusir orang tuanya, timbul niatnya
untuk pergi menyusul Samsulbahri ke Jakarta. naumun di tengah perjalanan dia hampir
meninggal dunia, ia terjatuh kelaut karena ada seseorang yang mendorongnya. Tetapi Siti
Nurbaya diselamatkan oleh seseorang yang telah memegang bajunya hingga dia tidak jadi jatuh
ke laut.
Tetapi, walaupun dia selamat dari marabahaya tersebut, tetapi marabahaya berikutnya
menunggunya di daratan. Setibanya di Jakarta,Karena dengan siasat dan fitnah dari Datuk
Mariggih Siti Nurbaya ditangkap polisi, karena surat telegram Datuk Maringgih yang memfitnah
Siti Nurbaya, bahwa dia ke Jakarta telah membawa lari emasnya atau hartanya. Sehingga
memaksa Siti Nurbaya kembali dengan perantaraan polisi.
Tak lama kemudian Siti Nurbaya meninggal dunia karena memakan lemang beracun
yang sengaja diberikan oleh kaki tangan Datuk Maringgih. Kematian Siti Nurbaya itu terdengar
oleh Samsulbahri sehingga ia menjadi putus asa dan mencoba melakukan bunuh diri. Akan tetapi
mujurlah karena ia tak meninggal. Sejak saat itu Samsulbahri tidak meneruskan sekolahnya dan
memasuki dinas militer.
Sepuluh tahun kemudian, dikisahkan dikota Padang sering terjadi huru-hara dan tindak
kejahatan akibat ulah Datuk Maringgih dan orang-orangnya. Samsulbahri yang telah berpangkat
Letnan dikirim untuk melakukan pengamanan. Samsulbahri yang mengubah namanya menjadi
Letnan Mas segera menyerbu kota Padang. Ketika bertemu dengan Datuk Maringgih dalam
suatu keributan tanpa berpikir panjang lagi Samsulbahri menembaknya. Datuk Maringgih jatuh
tersungkur, namun sebelum tewas ia sempat membacok kepala Samsulbahri dengan parangnya.
Samsulbahri alias Letnan Mas segera dilarikan ke rumah sakit. Sewaktu di rumah sakit,
sebelum dia meninggal dunia, dia minta agar dipertemukan dengan ayahnya untuk minta maaf
atas segala kesalahannya. Ayah Samsulbahri juga sangat menyesal telah mengata-ngatai dia
tempo dulu, yaitu ketika kejadian Samsulbahri memukul Datuk Maringgih dan mengacau
keluarga orang, yang sangat melanggar adat istiadat dan memalukan itu. Setelah berhasil betemu
dengan ayahnya, Samsulbahripun meninggal dunia. Namun, sebelum meninggal dia minta
kepada orangtuanya agar nanti di kuburkan di Gunung Padang dekat kekasihnya Siti Nurbaya.
Perminataan itu dikabulkan oleh ayahnya, dia dikuburkan di Gunung Padang dekat dengan
kuburan kekasihnya Siti Nurbaya. Dan di situlah kedua kekasih ini bertemu terakhir dan bersama
untuk selama-lamanya.
KOMENTAR :
Novel Siti Nurbaya mengambil tema kawin paksa yang tren pada karya sastra saat itu,
dan berbentuk roman. Masih menggunakan bahasa melayu dan bersifat kedaerahan. Kalimat-
kalimatnya panjang-panjang dan terkadang menggunakan perbandingan-perbandingan. Setting
tempatnya berada di Kota Padang, dan Jakarta. Alur yang digunakan adalah alur maju. Sudut
pandang yang digunakan adlah orang ketiga, dibuktikan dengan pemberian nama pada tokoh-
tokohnya. Amanat yang disampaikan dalam novel ini adalah Menjadi orang tua hendaknya lebih
bijaksana, tidak memutuskan suatu persoalan hanya untuk menutupi perasaan malu belaka
sehingga mungkin berakibat penyesalan yang tak terhingga.
Menginjak usia dewasa, Lasi kemudian menikah.Ia menjadi istri Darsa, pemanjat yang
memiliki dua belas pohon kelapa. Sekaligus juga keponakan Wiryaji, ayah tirinya. Kehidupan
pasangan muda ini berbahagia, meskipun dalam jerat kemiskinan dan bayangan masa depan
tidak menentu. Sampai tiga tahun pernikahan, mereka belum juga memiliki keturunan.
Suatu ketika Darsa jatuh dari pohon kelapa, tidak mati tetapi mengalami luka parah, terus
menerus buang air kecil tanpa henti. Dengan sabar Lasi merawatnya. Bahkan sampai
menggadaikan tanah pada tengkulak untuk menutup biaya pengobatan Darsa di Rumah Sakit.
Meskipun Ia tahu konsekuensinya, harga gula produksinya akan dipermainkan dengan seenak
hati oleh tengkulak. Tapi Darsa belum sembuh benar, terpaksa dibawa pulang karena ketiadaan
biaya.
Sampai di rumah, Darsa kemudian berobat pada dukun pijat, Bunek. Perlahan tapi pasti,
Ia kemudian sembuh. Hingga suatu pagi, Ia mendatangi istrinya bercerita bahwa Ia sudah tidak
ngompol lagi. Sejenak kebahagian dirasakan pasangan muda ini. Gairah yang sekian lama
terpendam dapat disalurkan. Darsa kembali utuh sebagai lelaki.
Tetapi disinilah justru permasalahan dan konflik mulai terbangun. Tidak berapa lama
semenjak kesembuhan Darsa. Sipah, anak Bunek meminta pertanggungjawaban. Ia mengaku
hamil oleh perbuatan Darsa. Lasi kemudian kalut, bercampur sedih dan jengkel karena suami
yang dirawat dengan penuh kasih dan pengorbanan semasa sakit ternyata berbuat tidak
semestinya dengan perempuan lain. Lasi kemudian lari ke Jakarta, menumpang truk Pardi,
tetangganya mengantarkan gula kelapa.
Petualangan Lasi berlanjut. Karena keluguannya, Ia tidak sadar kalau masuk dalam
perangkap perdagangan perempuan. Lepas dari Bu Koneng, Ia kemudian dibawa oleh Bu
Lanting, yang terkagum akan kecantikan Lasi. Sekali lagi, Bu Lanting adalah orang baik di mata
Lasi, sementara Lasi berprinsip bahwa ketika menerima kebaikan seseorang, Ia seperti berhutang
sehingga harus dibayar dengan kebaikan pula. Karena itu ia menurut saja ketika diajak ikut Bu
Lanting ke rumahnya. Perempuan bermata sipit pada masa itu memang sedang tren.
Oleh Bu Lanting, Lasi dipoles sedemikian rupa sehingga menjadi kian cantik. Ia juga
dibiasakan dengan budaya kota, termasuk dalam hal berpakaian dan gaya hidup. Sampai
dianggap siap, Ia kemudian dikenalkan dengan Handarbeni, lelaki tua yang kaya raya, yang
sedang mencari perempuan bermata sipit untuk dijadikan istri.
Dengan kegundahan hatinya, namun tidak kuasa menolak karena hutang budinya kepada
bu Lanting, akhirnya lasi bersedia menikah dengan pak Han. Sebelum menikah, Lasi ingin
terlebih dahulu menyelesaikan perceraiannya dengan Darsa di Karangsoga, Lasi kembali ke
Karangsoga sebagai sosok berbeda. Lasi yang sangat kaya dan kian cantik Dengan bantuan pak
Han, akhirnya dalam sekejap tuntas sudah perceraian Darsa dan Lasi.
Lasi kemudian menikah dengan pak Han yang sebenarnya lebih cocok jadi ayahnya.
Pernikahan itu terkesan seperti pernikahan pura-pura dan tanpa makna. Meskipun setiap hari pak
Han selalu memanjakan lasi dengan kepuasan lahiriah dan semua kebutuhannya serba tercukupi.
Namun, pak Han tidak bisa memberikan kepuasan secara batin kepada lasi karena usianya yang
sudah tua. Karena kasihan kepada Lasi pak Han bersedia mencarikan laki-laki untuk memenuhi
kepuasan batin Lasi, namun dengan syarat Lasi tetap harus menjadi istrinya dan mampu menjaga
rahasia. Karena lasi orang yang setia, dia merasa tersinggung dengan perkataan pak Han yang
menurutnya adalah sebuah pelecehan.
Lasi kembali lagi ke Karangsoga untuk menjenguk orang tuanya dan tinggal disana
untuk beberapa waktu. Di sana ia bertemu dengan Kanjat yang sudah menjadi sarjana dan ia
menceritakan kepada Kanjat tentang kehidupan pernikahannya yang hanya terkesan man-main.
Namun kanjat juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dua insan ini ternyata saling menyukai. Namun
masing-masing harus menjalani takdirnya, Lasi kembali ke Jakarta dan menjalani pernikahan
semu dengan Handarbeni. Sementara hatinya tetap untuk Kanjat.
KOMENTAR :
Novel Bekisar merah ini sangat mencerminkan karakteristik karya sastra tahun 90 an.
Tema yang diangkat adalah kemiskinan, sosial, budaya, dan percintaan. Hal-hal yang
diungkapkan realistis dan kritis, mengandung ungkapan atau sindiran. Bahasa yang digunakan
adalah bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa kelompok, pemilihan diksinya juga sudah
tepat. Latar tempat yang di gunakan diantaranya adalah desa Karangsoga( rumah Lasi dan Darsa,
rumah Wiryaji, Rumah Bunek, surau eyang Mus, Rumah Pak Tir), di Jakarta ( rumah bu
Koneng, rumah bu Lanting, rumah Handarbeni/ Pak Han). Sudut pandang yang digunakan
adalah orang ketiga yang ditandai pemberian nama dalam menyebutkan tokoh-tokohnya, alur
yang digunakan dalam novel ini adalah alur maju. Amanat yang disampaikan dalam novel ini
adalah janganlah terlalu mudah percaya kepada orang yang baru dikenal dan menerima dengan
mudah kebaikannya, karena ada kemungkinan bahwa orang tersebut menginginkan sesuatu.
Wanagalih adalah sebuah ibukota kabupaten. Kota itu lahir sejak pertengahan abad ke-19. Di kota
itu Lantip sering teringat akan Mbah guru Sastrodarsono yang selalu memberikan nasihat pada
seisi rumah setiap kali ia pulang dari pertemuan pagi.
Pada waktu hari semakin terang iring-iringan penjual berbagai dagangan semakin ramai menuju
pasar, suara cring-cring-cring dari dokar yang ditarik kuda semakin sering dan bising pertemuan
para pensiunan itu akan bubar, masing-masing akan pulang ke rumah untuk menyeropot kopi
panas, mengganyang pisang goreng dan ubi rebus untuk kemudian disusul dengan mandi pagi
dengan air hangat dan istirahat tidur atau duduk di kursi goyang.
Lantip, nama aslinya adalah Wage karena lahir pada hari Sabtu Wage. Nama Lantip itu adalah
sebuah nama pemberian dari keluarga Sastrodarsono saat Lantip tinggal di keluarga itu, yaitu di
jalan Satenan di kota Wanagalih. Sebelumnya Lantip tinggal bersama Emboknya Desa Wanalawas
yang hanya beberapa kilometer dari kota Wanagalih.
Hubungan Embok Lantip dengan keluarga Sastrodarsono itu dimulai dari penjualan tempe. Rupanya
tempe buatan Embok Lantip itu berkenan di hati keluarga Sastrodarsono. Buktinya kemudian tempe
Embok itu jadi langganan keluarga tersebut.
Lantip selalu ikut membantu menyiapkan dagangan tempe, dan ikut menjajakan nya berjalan di
samping atau di belakang Mboknya menyelusuri jalan dan lorong kota. Lantip ingat bahwa dalam
perjalan itu sengatan terik matahari Wanagalih. Wanagalih memang terkenal sangat panas dan rasa
haus yang benar-benar mengeringkan tengorokan. Sekali waktu Lantip pernah merengek kepada
Emboknya untuk dibelikan jajanan. Dengan ketus Emboknya menjawab dengan Hesy! Ora usah,
dan Lantip pun terdiam. Lantip tahu Emboknya, meskipun murah hati juga sangat hemat dan tegas.
Dia akan lebih senang bila kami melepas haus di sumur pojok alun-alun atau bila beruntung dapat
sekedar air teh di rumah langganan Emboknya. Salah satu langganan Emboknya yang murah hati
itu adalah keluarga Sastrodarsono. Mereka dipanggil oleh keluarga Sastrodarsono. Mereka
menyebutnya dengan Ndoro Guru dan Ndoro Guru Putri. Waktu mereka melihat Embok datang
membawa Lantip, Ndoro Guru menanyakan dengan nada suara sangatlah ulem-nya dan penuh
wibawa.
Lantip ingat bagaimana kedua suami-istri itu memandang mereka lama-lama. Lantip hanya
menundukkan kepala saat percakapan berlangsung. Untuk seorang anak desa yang baru berumur
enam tahun, dan anak bakul tempe yang sederhana, tidak mungkin ada keberanian baginya untuk
mendongak ke atas, menatap muka priyayi-priyayi itu.
Sejak itu rumah keluarga Sastrodarsono menjadi tempat persinggahan mereka, hubungan mereka
dengan keluarga itu menjadi akrab, bahkan lama-lama rumah itu menjadi semacam rumah kedua
bagi mereka. Tetapi sangatlah tidak pantas rumah gebyok itu terlalu besar dan bagus untuk
dikatakan rumah kedua mereka bila disejajarkan dengan rumah mereka yang terbuat dari gedek
atau anyaman bambu di desa Wanalawas. Juga bila diingat bahwa rumah itu adalah rumah milik
seorang priyayi, seorang mantri guru sekolah desa, yang pada zaman itu mempunyai kedudukan
cukup tinggi di mata masyarakat seperti Wanagalih. Mantri guru sudah jelas didudukan masyarakat
dan pemerintah sebagai priyayi, ia punya jabatan dan juga punya gaji.
Dalam rumah tangga Ndoro guru, di samping harus membesarkan anak-anaknya, juga menampung
beberapa kemenakan. Dengan kata lain rumah tangga Ndoro guru adalah rumah tangga khas
priyayi jawa. Sang priyayi adalah juga soko guru keluarga besar yang berkewajiban menampung
sebanyak mungkin anggota keluarga jaringan itu ke dalam rumah tangganya. Rezeki dan pangkat
itu jangan dimakan sendiri, tidak pantas, saru, bila ada seseorang anggota keluarga besar priyayi
sampai kleleran, terbengkalai, jadi gelandangan, tidak menikmati pendidikan. Begitu sering saya
dengar Ndoro guru menasehati anak-anaknya dan siapa saja.
Pada suatu sore sesudah persinggahan rutin mereka di jalan Setenan, mereka duduk di amben di
depan rumah mereka di Wanalas. Emboknya kemudian mendudukan Lantip dihadapannya.
Wage, Le, anakku yo, engger. Kamu sekarang sudah besar sudah enam tahun. Sudah waktunya
kamu pergi dari desa yang kecil dan sumpek ini.
Suatu hari sesudah Lantip tinggal bersama keluarga Sastrodarsono, Mbok berkunjung untuk
menengok Lantip. Trdengar Ndoro Guru kakung menyatakan keinginannya agar Lantip
disekolahkan karena waktu itu Lantip sudah berusia hampir tujuh tahun. Mereka juga mengusulkan
agar mengganti nama Wage menjadi Lantip yang artinya cerdas, tajam otaknya.
Tidak terasa Lantip sudah duduk di kelas lima dan sudah membayangkan setahun lagi akan
tamat sekolah Desa Karangdompol. Setamat sekolah akan banyak kesempatan meneruskan
sekolah ke sekakel, schakel school kata orang Belanda, yaitu sekolah peralihan yang tujuh tahun
lamanya. Lantip membayangkan setelah tamat sekolah akan bekerja dan dapat membalas budi
Emboknya dan keluarga Ndoro Guru Sastrodarsono. Tapi, tiba-tiba datang kegoncangan itu! Pak
dukuh datang dari Wanalawas dengan tergopoh-gopoh mengabarkan Emboknya meninggal karena
keracunan jamur. Saat itu bagaimana hancur dan sedihnya hati Lantip.
Sastrodarsono, adalah anak tunggal Mas Atmokasan seorang anak petani desa Kedung
Simo. Sebelumya ia hanya bekerja sebagai guru bantu di Ploso. Dengan janbatan guru bantu itu,
berarti Sastrodarsono adalah orang pertama dalam keluarganya yang berhasil menjadi priyayi.
Sastrodarsono dijodohkan dengan Ngaisah yang nama aslinya Aisah putri tunggalnya seorang
mantri candu di Jogorogo. Dik Ngaisah, begitu ia memanggil istrinya, ia seorang istri yang
mumpunyai lengkap akan kecakapan dan keprigelannya bukan hanya pandai mamasak ia juga
memimpin para pembantu di dapur, karena memang sejak lahir ia sudah menjadi anak priyayi
dibandingkan dengan Sastrodarsono yang baru akan menjadi priyayi.
Mereka tinggal setahun di Ploso yang kemudian membeli rumah kecil di jalan Satenan.
Segera setelah mereka menempati rumah itu, Mereka dengan para pembantunya mulai
mengembangkan tempat tinggal itu sebagaimana rumah tangga yang mereka inginkan yaitu rumah
tangga priyayi. Akan tetapi bagaimanapun, naluri petani Sastrodarsono, dan juga Dik Ngaisah masih
hadir juga dalam tubuh mereka. Mereka memilih untuk menggaji para buruh-buruh sawah untuk
mengolah tegalan dan sawah yang ada di belakang rumahnya berbagai macam tanaman. Walaupun
rumah tangga priyayi, mereka tidak boleh tergantung pada gaji. Jadi priyayi itu adalah menjadi orang
terpandang kedudukannya di masyarakat bukan jadi orang kaya, tapi karena kepinterannya.
Anak-anak mereka lahir dalam jarak dua tahun antara seorang dengan yang lain. Noegroho anak
yang paling tua, kemudian menyusul kelahiran adik-adik Noegroho, Hardojo dan Soemini. Anak-
anaknya mereka masukan ke sekolah HIS, sekolah dasar untuk anak-anak priyayi, kemudian
meneruskan pelajaran ke sekolah menengah atas priyayi, seperti MULO, AMS atau sekolah-sekolah
guru menengah, seperti Sekolah Normaal, Kweek Sekul dan sebagainya. Menurut meneer
Soetardjo dan meneer Soerojo di sekolahnya anak-anak mereka itu rata-rata bagus dalam bahasa
Belanda dan berhitung, anak-anak meraka maju dan pintar di sekolah. Noegroho sangat senang
dan kuat dalam sejarah dan ilmu bumi, Hardojo kuat dalam bahasa Belanda, mengarang dan
berhitung, Soemini sangat fasih dalam bahasa Belandanya.
Soenandar, yang masih kemenakan Dik Ngaisah mempunyai sifat yang sangat buruk walaupun
berkali-kali sering dipukuli oleh Sastrodarsono dengan bambu agar kapok akan perbuatannya yang
sering mencuri, dia juga sering mengganggu Sri dan Darmin saat mereka sedang sembahyang.
Soenandar yang jatuh cinta pada Ngadiyem ternyata adalah ayah Lantip, tetapi ia tidak mau
mengakui kahamilan Ngadiyem Emboknya Lantip, bahkan ia minggat meninggalkan rumah
Sastrodarsono yang akhirnya dapat diketahui dari laporan mantri polisi, Soenandar bergabung
dengan gerombolan perampok yang dipimpin oleh Samin Genjik yang markasnya telah dibakar
termasuk Seonandar yang dititipkan keluarganya kepada Sastrodarsono untuk menjadi priyayi juga
hangus terbakar.
Semenjak Lantip mengetahui perihal ayahnya, ia merasa kecewa dan malu karena ia hanya anak
jadah dan haram meskipun jelas bapaknya tetapi tidak mau menikah dengan Emboknya. Ternyata
bapaknya adalah gerombolan perampok. Selain itu juga sekarang Lantip mengerti mengapa
keluarga Sastrodarsono sangat memperhatikan kehidupannya dan Ngadiyem Emboknya, karena
Soenandar, yang ayahnya Lantip itu, adalah masih tergolong keluarga dari Sastrodarsono.
Soemini yang sudah berumur dua belas tahun dan baru duduk di kelas lima. Dua tahun lagi dia
sudah kelas tujuh umurnya empat balas tahun, dan sesudah tamat umurnya sudah dekat dengan
lima belas tahun. Maka sudah sepantasnya dicarikan jodoh yang pantas buat Soemini. Soemini
menikah dengan Raden Harjono, seorang mantri polisi, anak tunggal Kamas Soemodiwongso.
Keluarga Sastrodarsono sangat terkesan dengan perilaku Raden Harjono yang sopan, luwes,
ngganteng, baik hati, dan cerdas.
Dalam rumah tangganya Soemini mendapat goncangan karena mengetahui suaminya Harjono
selingkuh dengan perempuan yang bekerja sebagai penyanyi keroncong Sri Asih. Ia mengadu
kepada Sastrodarsono. Tetapi akhirnya dapat terselesaikan.
Hardojo anak kedua Sastrodarsono, anak yang paling cerdas dan yang paling banyak disenangi
orang. Sekarang seperti adiknya, Soemini, sudah mapan mau membangun rumah tangga di
tempatnya ia mengajar di Yogya dengan seorang guru tamatan kweekschool tetapi beragama
Katholik. Orang tuanya, orang baik-baik, priyayi, guru di sekolah HIS katolik di Solo. Tetapi
keinginan menikah dengan Dik Nunuk yang nama lengkapnya adalah Maria Magdalena Sri
Moerniati begitu nama calon istri Nugroho, guru sekolah dasar khusus untuk anak perempuan di
kampung Beskalan ditolak oleh keluarga Sastrodarsono yang keluarganya beragama Islam.
Setelah kegagalan menikah dengan Dik Nunuk hidup Nugroho merasa tidak bergairah lagi.
Prilaku dan sifat Dik Nunuk selalu membayangi kehidupannya dan apabila ia teringat dengan Nunuk
ia selalu mampir kepada Bude Suminah di Penumping, sekedar membicarakan masa lalunya
dengan Nunuk, karena berkat Bude Suminah itulah kedekatannya dengan Nunuk.
Pada suatu sore Nugroho sedang memimpin murid-murid kelas tujuh bermain kasti. Seperti
biasa mereka bermain dengan gembira dan penuh gurauan. Kemudian giliran Soemarti yang
memukul bola, tetapi saat berlari menuju hong kakinya terporosok dan jatuh. Soemarti mengaduh
kesakitan dan cepat mendapat pertolongan Noegroho. Sejak kejadian itu Nugroho lebih sering
berkunjung ke rumah Soemarti anak tunggal keluarga priyayi Brotodinomo seorang pensiunan
panewu, kira-kira sederajat dengan asisten wedana di Wonogiri. Yang akhirnya mereka menikah
dan mempunyai seorang anak tunggal laki-laki yang bernama Harimurti.
Sesudah Noegroho kembali ke Wanagalih untuk menghibur bapaknya yang merasa sangat terpukul
oleh tempelengan tuan Nippon, hal ini dikarena bapaknya dituduh mendirikan sekolah liar, padahal
Sastrodarsono mendirikan sekolah hanya untuk menolong orang-orang desa yang tidak bisa
membaca dan menulis, yang disebut sekolah di Wanalas itu usaha kami sekeluarga. Kami
pengagum Raden Adjeng Kartini, Ndoro. Kami Cuma meniru beliau, Ndoro. Begitu ucapan
bapaknya masih terngiang di telinga Noegroho saat beralasan pada tuan Nippon.
Seperti biasa Noegroho kembali bekerja di Sekolah Rakyat Sempurna di Jetis sekolah pada
jaman Jepang gouverments HIS Jetis. Tetapi tanpa di duga Noegroho mendapat panggilan terpilih
untuk ikut tentara peta atau Pembela tanah Air, dan segera berangkat ke Bogor untuk menjalani
latihan dan saringan yang nantinya dapat ditempatkan di daidan-daidan atau batalyon-batalyon di
Jawa.
Dalam mengurus rumah tangganya Noegroho tidak berhasil seperti kedudukannya yang
priyayi yang terhormat dikalangan masyarakat seperti yang diharapkan oleh Sastrodarsono, karena
Marie anak perempuan Noegroho hamil sebelum menikah. Maridjan, laki-laki yang menghamilinya,
adalah laki-laki miskin, orang desa, kehidupannya pun cukup dengan mengontrak. Yang lebih
parahnya lagi Maridjan itu pernah memperkosa pembantu rumah kost-nya sampai akhirnya menikah
dan pada saat kenal dengan Marie, Maridjan dalam kasus perceraian. Tetapi berkat bantuan Lantip
dan Hari akhirnya Maridjan menikahi Marie.
Persiapan pernikahan Marie dikalutkan dengan meninggalnya Mbah Putri. Saat pernikahan
Marie, Sastrodarsono tidak dapat menghadirnya karena masih terlihat lemas (mengurusi
meninggalknya Mbah Putri).
***
Gus Hari anak tunggalnya Hardojo sudah diduga sejak kecil tumbuh sebagai pemuda yang
peka, gampang menaruh belas kepada penderitaan orang. Dia sangat cerdas dan banyak menaruh
perhatian pada bidang kesenian. Tetapi walaupun ia keluaran dari suatu perguruan tinggi dalam
kehidupannya tidak memanfaatkan hasil kuliahnya itu tetapi ia bergabung dengan lekra kesenian
wayang.
Dalam kesempatan itulah Hari pun berkenalan dengan Gadis seorang penulis nama aslinya
Retno Dumilah yang menjadi pacarnya, karena kedekatannya itu sampai mereka pun melakukan
perbuatan yang dilarang agama sampai akhirnya Gadis pun hamil. Mengetahui hal itu Hari sangat
ingin segera menikahi Gadis. Pada waktu pertunangan Lantip dengan Halimah kesempatan itu
dipergunakan Hari untuk memperkenalkan calon istrinya itu pada keluarga besar Sastrodarsono.
Pada suatu waktu mereka mengadakan pawai yang meneriakan dukungannya kepada Dewan
Revolusi, Hari bersama Gadis yang sama-sama tergabung dalam kesenian terperangkap, karena
pada saat itu ABRI sedang mengambil alih mengadakan pembersihan terhadap semua anggota PKI
dan ormas-ormasnya.
Hari, kamu dalam bahaya. Sebaiknya kamu jangan lari. Nanti kita cari jalan yang sebaiknya
agar kau bisa selamat.
Saya memang tidak akan lari. Saya akan jelaskan semuanya jika ditangkap, saya kan
bukan anggota PKI?
Dalam keadaan gawat seperti itu Lantip memberikan saran agar sebaiknya Hari meyerahkan
dirinya, dan nanti bisa meminta bantuan pada Pakde Nugroho untuk pembebasannya.
Sementara Gadis pun tertangkap dan dianggapnya sebagai gerwani, ia hamil dalam penjara
sampai akhirnya meninggal saat akan melahirkan bayi kembar laki-laki dan perempuan.
Sepeninggalannya Mbah putri kesehatan Eyang kakung semakin memburuk yang aampai
akhirnya ia meninggal dunia. Dalam upacara sambutan selamat tinggal untuk Mbah kakung
Sastrodarsono semua anggota keluarga Sastrodarsono tidak ada yang berani memberikan pidato
kata-kata terakhir, pada akhirnya Lantip yang dijadikan wakil dari keluarga besar Sastrodarsono
yang menyampaikan pidato selamat jalan kepada Embah kakung di makam itu.
Lantip teringat akan Mboknya dan ia pun menggandeng Halimah untuk pergi ke Wanalawas untuk
berziarah ke makam Mboknya.
Novel karya Mochtar Lubis ini berkisah tentang Sadeli seorang anggota dinas rahasia
TNI berpangkat mayor. Ia menyamar sebagai pedagang penjual hasil bumi ke luar negeri. Ia
bertugas mengumpulkan dana, mencari senjata, alat-alat komunikasi dan membuka hubungan
udara bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan kembali oleh Belanda.
Sadeli menemui Umar Yunus bawahannya yang mengenyam hidup mewah dan berfoya-
foya. Umar Yunus lupa daratan karena terjebak oleh Mr. Yo yang menyodorkan wanita cantik,
Ritalu. Dikemukakannya tentang tugasnya oleh Sadeli bahwa ia menyamar sebagai pedagang
untuk membantu perjuangan RI. Diperintahkannya supaya Umar Yunus mengirim senjata, obat-
obatan, dan alat-alat komunikasi ke Indonesia. Ia sendiri akan ke Bangkok untuk mencari
seorang penerbang Amerika yang berpengalaman, untuk membuka jalur penerbangan luar negeri
ke Indonesia.
Sadeli tidak mudah mendapatkan orang yang dicarinya. Namun akhirnya ia berhasil
meyakinkan Dave Wayne, seorang pendeta dan penerbang. Sadeli dapat membuktikan bahwa
perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah mutlak, bangsa mana pun tidak boleh menindas
bangsa lain, walaupun itu bangsanya sendiri. Sadeli pun berhasil meyakinkan Dave tentang
agama, komunikasi, nazi, dan tata kehidupan dunia masa datang, termasuk Indonesia.
Sadeli menyusun rute penerbangan beserta tiga orang wartawan asing untuk
memberitahukan dunia luar tentang revolusi Indonesia. Sementara itu ia menuntut agar Umar
Yunus mengembalikan uang negara yang telah disalahgunakannya sebanyak 500 dolar dan
berhenti dari dinas intelijen karena ia menyalahgunakan jabatannya. Namun Umar Yunus tetap
membangkang kepada Sadeli, atasannya.
Dalam tugas mengantarkan senjata dan alat komunikasi ke Riau Sadeli membawa Umar
Yunus dengan speedboat dan bermaksud menghadapkan Umar Yunus ke Pengadilan Militer. Di
tengah laut mereka mendapat serangan convert Belanda. Berjatuhan kurban dalam speedboat dan
mereka terdesak ke pantai. Peristiwa ini sangat berkesan dan menyadarkan Umar Yunus. Di
hadapannya sendiri ia menyaksikan temannya mati tertembak dalam suasana yang sangat kritis.
Sadeli mendengar kata-kata pengakuan Umar Yunus, bahwa Sadeli memang benar. Ia
bersedia menjadi apa saja untuk membantu Sadeli membela tanah air.
Umar Yunus kembali bertugas aktif dan sebaik-baiknya sebagai anggota dinas rahasia
TNI sekalipun pangkatnya diturunkan menjadi letnan.
Sadeli mendapat perintah untuk membeli Catarina, pesawat terbang yang dapat mendarat
di permukaan air. Untuk itu ia harus pergi ke Hongkong. Dalam tugas itu ia berjumpa dengan
Maria, seorang gadis cantik dan menarik. Kalau selama ini kasih mesra Sadeli belum tersentuh,
kali ini ia terpikat kepada Maria. Mereka pun sama-sama jatuh cinta. Setelah selesai mengurus
pembelian Catarina, Sadeli kembali ke Singapura dan melangsungkan pernikahan dengan Maria.
1. Abdul Muis:
a. SALAH ASUHAN
Tahun : 1928
Hanafi, laki-laki muda asli minangkabau, berpendidikan tinggi dan berpandangan kebarat-
baratan. Bahkan ia cenderung memandang rendah bangsanya sendiri. Dari kecil hanafi
berteman dengan Corrie du Busse, gadis indo-Belanda yang amat cantik parasnya. Karena
selalu bersama-sama merekapun saling mencintai. Tapi cinta mereka tidak dapat disatukan
karena perbedaan bangsa. Jika orang Bumiputera menikah dengan keturunan Belanda maka
mereka akan dijauhi oleh para sahabatnya dan orang lain. Untuk itu Corrie pun meninggalkan
minangkabau dan pergi ke Betawi. Perpindahan itu sengaja ia lakukan untuk menghindar dari
hanafi dan sekaligus untuk meneruskan sekolahnya. Akhirnya ibu hanafi ingin menikahkan
hanafi dengan Rapiah. Rapiah adalah sepupu hanafi, gadis minangkabau sederhana yang
berperangai halus, taat pada tradisi dan adatnya. Ibu hanafi ingin menikahkan hanafi dengan
Rapiah yaitu untuk membalas budi pada ayah Rapiah yang telah membantu membiayai sekolah
hanafi. Awalnya hanafi tidak mau karena cintanya hanya untuk Corrie saja. Tapi dengan
bujukan ibunya walaupun terpaksa ia menikah juga dengan Rapiah. Karena hanafi tidak
mencintai Rapiah, di rumah Rapiah hanya diperlakukan seperti babu, mungkin hanafi
menganggap bahwa Rapiah itu seperti tidak ada apabila banyak temannya orang Belanda yang
datang kerumahnya. Hanafi dan Rapiah dikaruniai seorang anak laki-laki, yaitu Syafei. Suatu
hari hanafi digigit anjing gila, maka ia harus berobat ke Betawi agar sembuh. Di Betawi hanafi
dipertemukan kembali dengan Corrie. Disana, hanafi menikah dengan Corrie dan mengirim
surat pada ibunya bahwa dia menceraikan Rapiah. Ibu hanafi dan Rapiah pun sangat sedih
tetapi walaupun hanafi seperti itu, Rapiah tetap sabar dan tetap tinggal dengan ibu hanafi.
Perkawinwnnya dengan Corrie ternyata tidak bahagia, samapai-sampai Corrie dituduh suka
melayani laki-laki lain oleh hanafi. Akhirnya Corrie pun sakit hati dan pergi dari rumah menuju
Semarang. Corrie sakit kholera dan meninggal dunia, hanafi sangat menyesal telah menyakiti
hati Corrie dan sangat sedih atas kematian Corrie, hanafi pun pulang kembali kekampung
halamannya dan menemui ibunya. Disana hanafi hanya diam saja. Seakan-akan hidupnya
sudah tidak ada artinya lagi. Hanafi sakit, kata dokter ia minum sublimat (racun) untuk
Ratna, berkenalan dengan pemuda bernama Suparta di kereta, dalam perjalanan dari Jakarta
ke Bandung. Perkenalan Ratna dan Suparta cukup berkesan bagi sepasang anak muda itu.
membalasnya dan menyambut baik niat Suparta.Sambutan Ibu Suparta ternyata tidak begitu
ramah. Ratna kecewa terhadap sikap Nyai Raden Tedja Ningrum yang memandangnya dengan
sinis, Setelah kejadian itu, Ratna bertekad untuk melupakan Suparta. Berita pertunangan
Suparta dengan Nyai Raden Siti Halimah tidak membuatnya putus asa. Namun kemalangan
lain terpaksa harus ia terima. Usaha pembakaran kapur milik ayahnya, Tuan Atmaja, bangkrut.
Akibatnya Ratna memutuskan untuk keluar dari sekolahnya karena tidak ada biaya.Ia pun
kemudian berusaha mencari pekerjaan. Namun baru empat bulan ia bekerja, toko itu harus
ditutup atas perintah pengadilan. Akhirnya ia menjadi pembantu Tuan dan Nyonya
Kornel.Selama Ratna menjadi pembantu keluarga Kornel, berbagai cobaan harus diterimanya
dengan tabah. Kehadirannya dalam keluarga itu tidak luput dari rasa iri Jene, pembantu yang
juga bekerja pada keluarga Kornel. Suatu ketika Ratna sakit dan dirawat di Rumah sakit,
Secara kebetulan dokter yang merawat Ratna adalah Suparta. Pertemuan itu tentu saja
membesarkan hati keduanya. Keyakinan Suparta bahwa Ratna tidak bersalah, ikut
mempercepat kesembuhan wanita muda itu. Untuk memulihkan nama baik Ratna, Suparta
Ratna tidak bersalah. Pencuri perhiasan Nyonya Kornel ternyata adalah Amat, kekasih Jene.
Pembantu keluarga Kornel yang bernama Jene itu diduga diperalat oleh kekasihnya.
Pengadilan juga memutuskan bahwa Amat bersalah dan diganjar 5 tahun penjara. Sementara
itu, Jene tidak dikenakan hukuman walaupun sebenarnya harus dituntut.Sidang pengadilan juga
telah mempertemukan Ratna dengan Sudarma, adiknya, schatter pegadaian Purwakarta yang
bertindak sebagai saksi pertama. Lalu atas kesepakatan Suparta dan Sudarma, Ratna disuruh
beristirahat di sebuah paviliun Bidara Cina. Gadis itu tidak diizinkan bertemu dengan
sembarang orang, kecuali Suparta yang setiap sore datang memeriksa kesehatannya. Lambat
laun, kesehatan Ratna mulai pulih. Ia juga mulai dapat mengingat-ingat segala sesuatunya
baru itu bertambah lagi ketika mereka pulang ke Tagogapu. Rumah ayah Ratna kini lebih besar
dibandingkan sebelumnya. Keadaan Tuan Atmaja sekarang sudah lebih baik berkat bantuan
kedua anaknya.
2. Marah Rusli
a. SITI NURBAYA
Penerbit : 20- an (Balai Pustaka) Tahun :1920
Novel ini boleh jadi merupakan salah satu karya terbesar anak bangsa bahkan sampai saat ini.
Harus diakui bahwa Marah Rusli telah menyusupkan karyanya bahkan ke dalam sistem budaya
bangsa Indonesia. Anda tentu mengerti jika orang-orang berkata Jangan seperti Sitti Nurbaya
atau Aku bukan Sitti Nurbaya. Tokoh Sitti Nurbaya juga kisahnya memang melekat erat dalam
benak masyarakat Indonesia. Ia seolah menjadi simbol abadi kasih yang terpaksa, kasih yang
tak sampai, kasih yang penuh pertentangan keluarga. Pernah membaca novel apik ini?Patut
disayangkan jika Anda belum pernah melahap abjad demi abjad dalam buku ini. Kisahnya
klasik memang, tentang cinta remaja tokoh Sitti Nurbaya dengan seorang pemuda minang
bernama Samsulbahri. Sitti Nurbaya sendiri merupakan anak dari seorang bangsawan Baginda
Sulaiman sementara itu Samsulbahri adalah anak pembesar bernama Sutan Mahmud Syah.
Mereka saling mencintai diam-diam. Pengakuan baru muncul saat Samsulbahri hendak pergi ke
Batavia untuk menuntut ilmu. Mereka menghabiskan waktu lama berdua di perbukitan dan saat
hendak berpisah Samsulbahri mencium Sitti Nurbaya di depan rumahnya. Hal ini tertangkap
oleh ayah Sitti Nurbaya yang seketika berang. Demikian pula dengan masyarakat sekitar.
Samsulbahri kemudian dikejar dan keluar dari Padang menuju Batavia.
Tokoh lainnya bernama Datuk Maringgih. Ia seorang yang terpandang di desanya. Bahkan
merupakan saingan ayah Siti Nurbaya, Baginda Sulaiman. Datuk Maringgih menyimpan rasa
dengki atas keberhasilan bisnis Ayah Sitti Nurbaya. Ia kemudian berbuat hal jahat menjatuhkan
usaha Baginda Sulaiman dan membuatnya bangkrut tak berdaya. Tak berhenti sampai di situ,
Datuk Maringgih juga membuat ayah Sitti Nurbaya berutang banyak padanya. Saat Datuk
Maringgih datang memaksa keluarga Sitti Nurbaya membayar utang, ia kemudian menawarkan
diri untuk menikah dengan sang Datuk asalkan semua utang ayahnya dianggap lunas tanpa
sisa. Dengan beberapa pertimbangan, akhirnya Datuk Maringgih menerima penawaran
tersebut.Sitti Nurbaya dan Datuk Maringgih akhirnya menikah jua, namun karena perlakuan
sang suami yang dianggap kasar, akhirnya Sitti Nurbaya lari ke Batavia dan bertemu dengan
Samsulbahri di sana. Mereka kembali jatuh cinta sampai suatu saat Siti Nurbaya menerima
surat dari desa yang menyatakan bahwa ayahnya telah meninggal. Ia akhirnya kembali ke
Padang dan meninggal di sana akibat keracunan kue yang diberikan oleh Datuk Maringgih.
Samsulbahri sangat terpukul dan mencoba bunuh diri tetapi tak bisa. Pada akhirnya, di suatu
kesempatan, ia berhasil membalaskan dendamnya.Menurut bebrapa pengamat sastra, novel ini
tidak menggunakan gaya penuturan Marah Rusli yang sebenarnya sebab pada jaman tersebut
semua penulis yang bukunya hendak diterbitkan oleh Balai Pustaka harus mematuhi gaya
yang telah mereka tetapkan. Meski demikian, pemilihan kata Marah Rusli dalam novel ini
sangat memikat meski ia terkesan memilih bahasa yang aman. Dalam novel ini, ia juga banyak
menggunakan pantun untuk menyampaikan persaan, salah satunya adalah:Padang Panjang
dilingkari bukit,bukit dilingkari kayu jati,Kasih sayang bukan sedikitdari mulut sampai ke hati
b. Judul : La Hami
Angkatan : 20- an
Telah dua bulan lamanya, Ompu Keli dan istrinya menunggu dengan cemas keberadaan anak
angkatnya La Hami yang telah disuruh pergi olehnya bertandang ke Gunung Donggo.
Perjalanannya mengendarai kuda Sumba dengan senjata parang, tombak, panah, jerat, dan
tanpa membawa bekal makanan. Perjalanannya dari sini ke Kempo melalui Sanggar, dompo,
padende, lalu ke Gunung Soromandi. Di Sanggar, La Hami di sambut senang oleh Ompu Ito
bahkan La Hami diberi bekal makanan olehnya. Selain perjalanannya ke Gunung Donggo, La
Hami juga melakukan perjalanan ke Bima. Ketika perjalanan ke Bima La Hami mengalami
beberapa halangan, La Hami turun dari Gunung Soromandi ke Bima tanpa menunggang
Sumba. Ketika menyeberang menuju Bima, ikutlah nelayan yang bernama Kifa dan dia
menginap di rumahnya. Di tempat tinggal Kifa kebetulan sedang ada perayaan Maulid Nabi dan
upacara perayaan Sirih Puan yang diramaikan dengan permainan Kuraci (berpukul-pukulan
badan dengan rotan) dan permainan bersepak kaki. Melihat permainan bersepak kaki La Hami
tampaknya pingin mencoba, setelah diladeni jago Wera ternyata roboh oleh La Hami. Datang
orang tinggi besar menahannya untuk berlawanan, dengan terpaksa karena La Hami
dilecehkan, akhirnya dia menuruti tantangan jago dari Sape tersebut dan akhirnya Sape
tersebut kalah. La Hami dipanggil Sultan Bima yakni Sultan Kamarudin. Di depan pramesuri
Sultan, putri-putrinya, dan para punggawa untuk diberi pekerjaan. Namun, La Hami mohon
untuk pulang kampung Sanggar pamit pada kedua orang tuanya.Malam hari Ompu Keli
bercerita kepada La Hami tentang asal-usulnya. Diceritakan pada 24 tahun yang lalu, yang
menjadi Datuk Rangga di negeri Sumbawa adalah Raja Ajong atau Ompu Keli dan didampingi
sang istri Putri Nakia. Saat itu Raja Sumbawa adalah Sultan Badrunsyah. Kepergiannya karena
keadaan pemerintahan saat itu tidak stabil. Terjadilah fitnah dari Daeng Matita yang haus
jabatan. Ia bekerja sama dengan Ponto Wanike, seorang pimpinan bajak dari pulau Ragi. Pada
suatu hari, Ompu Keli pergi memancing ke pantai, di situlah, Dewa mendengar tangisan bayi.
Setelah didekati ternyata seorang bayi laki-laki yang berumur sekitar satu bulan. Diletakan di
atas sampan beralaskan tikar jontal yang baik anyamannya, berkalung dokoh yang terbuat dari
mas, berselimutkan sutera bertekad emas dan semuanya berciri dari Bima. Lalu dibawanya
pulang dan di beri nama La Hami, Ina Rinda atau Putri Nakia merasakan senang karena
selama ini tak berketurunan.Terdengar kabar oleh Daeng Matita bahwa Raja Ajong yang
menyingkirkan diri dari Sumbawa kini ada di pantai Sanggar dengan mengganti nama Ompu
Keli dan akhirnya timbul kembali dendam lamanya yang sudah 24 tahun. Daeng Matita akan
segera menyerang Sanggar. Di bagilah tugas mereka dengan Ponto Wanike menyerang pantai
Sanggar dan Daeng Matita menyerang dari arah darat yakni di Lembah Jambu. Perang belum
dimulai namun rencana serangan pasukan sumba telah tercium oleh pasukan Sanggar
sehingga Sanggar telah bersiap-siap. Di kedua belah pihak terdapat pasukan yang mati dan
luka-luka, namun jumlah yang celaka lebih banyak di pihak Sumba. Dengan gagah berani,
Ponto Wanike bisa dibunuh oleh La Hami. Kemudian pasukan Sanggar menuju lembah Jambu
untuk membabantu Raja Ajong dan Lalu Jala, di tengah perjalanan pasukan yang dipimpin
Daeng Matita dihadang oleh pasukan Sanggar dan peperangan terjadi dengan dahsyatnya.
Pasukan Sumba terlihat kewalahan karena harapan bantuan dari pasukan lain tidak kunjung
datang sementara pasukan Sanggar mendapat bantuan dari Dompo dan Kempo. Semakin
paniklah Daeng Matita. Datanglah pasukan La Hami tambahlah kacau pasukan Sumba.
Sebagian besar pasukan Sumba terbunuh, Daeng Matita melarikan diri setelah menebas rusuk
Raja Ajong. Namun setelah dikejar oleh pasukan Sanggar yang terpencar akhirnya Daeng
Matita bisa dilumpuhkan, sedangkan pasukan yang tersisa diampuni dan kembali ke
Sumba.Sultan Komarudin yang sedang asik bercengkerama dengan permaisuri Cahya Amin
dan putrinya Putri Sari Langkas, teringatlah bahwa suatu saat tak ada lagi yang bisa
menggantikan baginda karena tak punya anak putra. Anak sulungnya telah diculiknya 24 tahun
yang lalu, sedangkan Putri Sari Langkas adalah putri kedua. Akhirnya teringatlah sang
permaisuri kepada pemuda yang bernama La Hami karena umur dan perawakannya mirip
dengan putra sulungnya bahkan mirip dengan Sultan Komarudin. Khayalannya dengan La Hami
akhirnya membuat penasaran yang semakin mendalam. Namun, permaisuri tidaklah yakin
karena pemuda itu bernama La Hami yang telah membinasakan Daeng Matita dan Ponto
Wanike dari Sumbawa. Cahya Amin lalu membayangkan dan mencari-cari sebab Ompu Keli
ternyata Raja Ajong atau Datu Ranga Sumbawa dulu yang menyingkir ke pantai Sanggar 24
tahun lalu. Namun, permaisuri ragu karena Raja Ajong seingat permaisuri tidak punya anak.
Akhirnya permaisuri mengutus pengawal untuk mencari tahu tentang La Hami ke Sanggar.
Beberapa hari kemudian, utusan itu pulang memberi kabar bahwa yang sebenarnya La Hami
adalah anak Ompu keli, Raja Ajong Sanggar yang dulu adalah Datu Ranga Sumbawa. La Hami
adalah anak angkat yang ditemukan di pantai Sanggar ketika masih berumur sekitar satu bulan
dengan tanda-tanda ada sehelai tilam daun jontal, sehelai selimut buatan Bima, dan dokoh mas
yang amat permainya. Mendengar kabar Cahya Amin sangat gembira karena pastilah La Hami
itu putranya dan dengan segera beberapa hari kemudian menyuruh utusan untuk menjemput La
Hami.Kabar yang menyenangkan seisi istana Sanggar ini membuat Raja Sanggar, Sultan
Amarullah, Raja Ajong, Lalu Jala, La Hami, dan Putri Nakia datang menghadap Sultan Abdul
Azis untuk mengabarkan perihal yang sebenarnya. Sebelum datang rombongan dari Sanggar,
terdengarlah kabar kalau Sultan Bima Sultan Kamaruddin akan datang ke Dompo untuk
menjemput putranya La Hami. Perjalanan dari Dompo ke Sanggar, Sultan Kamaruddin diiring
oleh Raja Ajong, Permaisuri Cahya Amin dan Putri Sari Langkas diiring oleh Putri Nakia, dan La
Hami dengan Lalu Jala. Dalam perjalanan menuju Sanggar terlihatlah pula kalau Lalu Jala
menyukai adik La Hami yakni Putri Sari Langkas. Pada suatu hari, Sultan Bima menyampaikan
maksudnya melamar Putri Nila Kanti untuk La Hami dan Raja Sanggar Sultan Amarullah
melamar Putri Sari Langkas kepada Sultan Bima Sultan Kamaruddin untuk Lalu Jala. Pada hari
yang telah ditentukan, dilangsungkanlah perkawinan keempat sejolo ini dengan meriah.
Beberapa bulan kemudian, La Hami dinobatkan menjadi Sultan Bima dengan gelar Sultan
Abdul Hamid dan Lalu Jala dinobatkan menjadi Sultan Sanggar dengan gelar Sultan Abdul
Jalal.
c. ANAK DAN KEMENAKAN
Angkatan : 20- an (Balai Pustaka)
Mr. Muhammad Yatim, dr.Aziz, Puti Bidasari, dan Sitti Nurmala adalah empat orang yang sudah
menjalin persahabatan dari kecil, mereka semua berasal dari keluarga bangsawan. Selain
hubungan persahabtan, diantara kedua pasangan anak muda itu juga terjalin hubungan antara
kekasih. Mr. Muhammad Yatim mencintai Puti Bidasari, yang merupakan adik angkatnya dan
dibesarkan dalam satu keluarga yaitu keluarga Sutan Alamsyah dan istrinya Sitti Maryam.
Sedangkan Sitti Nurmala menjalin hubungan dengan dr.Aziz. Sitti Nurmala merupakan putri dari
saudagar kaya di Padang yaitu Baginda Mais dan istinya Upik Bunngsu. Sutan Alamsyah
sangat bahagia atas kedatangan anaknya Mr. Yatim dari negeri Belanda yang sudah
menyelesaikan sekolahnya sebagai Hakim Tinggi sehingga dia mendapat gelar Master Doktor,
yang pada saat itu adalah gelar tertinggi di Padang, dan hanya Mr. Yatim yang mendapat gelar
tersebut.Sutan Alamsyah Hopjaksa ingin mempersandingkan anaknya Mr. yatim dengan
keponakannya Puti Bidasari yang merupakan anak kakak perempuannya yaitu Putri Renosari
dan Sutan Baheram, tapi lamaran Sutan Alamsyah ditolak, karena mereka tahu asal-usul Mr.
Yatim yang bukan anak kandung Sutan Alamsyah. Mereka kira Mr. Yatim adalah anak tukang
pedati yang miskin, meskipun dibesarkan dan diangkat anak oleh Sutan Alamsyah bahkan
sampai disekolahkan dan mendapat gelar Mester Doktor di Negeri Belanda.Adat tetap adat dan
selalu membelenggu, mengukung dan membagi dalam tingkat kehidupan masyarakat, seperti
halnya Putri Renosari yang ingin menikahkan anaknya dengan seorang bangsawan lagi.
Bidasari akan dikawinkan dengan turunan bangsawan tinggi Sutan Malik, kemenakan Sutan
Pamenan yang gemar berjudi dan menyabung ayam.Biaya pernikahan Puti Bidasari dengan
Sutan Malik ditanggung oleh Baginda Mais yang merasa diuntungkan dengan pernikahan Puti
Bidasari dan Sutan Malik, karena kesempatan untuk menikahkan putrinya Sitti Nurmala dengan
Mr. Yatim terbuka lebar. Akankah Mr. Yatim menikah dengan Bidasari ataukah akan bersanding
dengan Sitti Nurmala sebagaimana permintaan ayah angkatnya Sutan Alamsyah, sedangkan
Sitti Nurmala adalah kekasih dr. Aziz yang merupakan sahabat karibnya dari kecil.
3. HAMKA