dari kota Yogyakarta dengan luas areal 2,5 Ha. Berawal dari sebuah petilasan yang awalnya
dikelola oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan yang diserahkan oleh ahli waris Pangeran
Diponegoro, Raden Ayu Kanjengteng Diponegoro bersama Nyi Hadjar Dewantara dan Kanjeng
Selanjutnya petilasan yang berada di tanah milik keraton ini mulai tahun 1968 – 1969 dibangun
sebuah monumen pada bangunan pringgitan yang menyatu dengan pendopo. Pembangunan
monumen ini sebelumnya di prakarsai oleh Mayjen Surono yang waktu itu sebagai Panglima
Kodam dan selanjutnya diresmikan oleh Presiden Suharto yang dinamakan Wiratama yang
Monumen Sasana Pangeran Diponegoro dibangun dengan panjang 20 m dan tinggi 4 m yang
merupakan pahatan relief pada dinding pringgitan. Relief tersebut menceritakan situasi Desa
Tegalrejo yang damai sampai terjadinya perang Pangeran Diponegoro melawan penjajahan
Belanda hingga akhirnya tertangkap di Magelang. Monumen ini dipahat oleh beberapa seniman
patung seperti Drs Saptoto dari Akademi Seni Rupa Indonesia ( ASRI ) dibantu oleh beberap
seniman lainnya seperti Sutoto, Askabul dan Sokodiharjo. Pada sisi monumen sebelah barat
terdapat lukisan diri Pangeran Diponegoro dan pada sebelah sisi timur monumen terdapat lukisan
Kalau ditelusuri setelah masuk gerbang utama, dan berjalan memutar kearah barat, pendopo ini
dikelilingi oleh museum, perpustakaan, mess dan tembok yang jebol. Peninggalan yang cukup
banyak menarik perhatian adalah tembok jebol, padasan ( tempat berwudhu Pangeran ) di depan
pendopo dan batu Comboran ( tempat makan dan minum kuda Pangeran ) di sebelah tenggara
pendopo. Sebuah tembok yang jebol menjadi saksi bisu kejadian pada waktu itu tempat tersebut
Laskar yang pada waktu itu dipimpin Joyomustopo dan Joyoprawiro terdesak mundur masuk
ke dalam tembok tersebut. Untuk menyelamatkan pasukan dan keluarganya, akhirnya Pangeran
Diponegoro memilih menjebol tembok sisi Barat tempat tersebut. Selanjutnya seluruh
pasukannya mundur menjauh ke barat. Sebuah keputusan yang tepat untuk menyusun strategi
Dapat ditemukan juga patung Letjend Urip Soemohardjo yang bertuliskan “Orde. Contre-Orde.
Desordre !” pada sisi timur dan patung Panglima Besar Jendral Sudirman yang bertuliskan
“Jangan Lengah” di sisi barat. Setelah memasuki pintu gerbang akan kita lihat sebuah dinding
setinggi 2 meter yang berbentuk menyerupai kubah masjid dan dibagian atasnya bergambar
sosok raksasa sedang melawan seekor naga. “Makna dari gambar tersebut Butho Mekso Basuki
ning Bawono yang berupa Suryo Sengkolo Memet, sengkalan yang mamakai gambar” ungkap
seorang narasumber. Sengkalan yang telah diketahui artinya dibaca terbalik. Sengkalan yang
artinya 5281 bermakna 1825 sebagai pertanda pecahnya perang Pangeran Diponegoro.
Museum Pangeran Diponegoro yang terletak di kompleks mempunyai koleksi sekitar 100 jenis
Beberapa senjata yang menjadi koleksi museum tersebut seperti pedang, panah, keris, patrem,
tombak, bandil (martil dari besi), patrem (senjata prajurit perempuan), candrasa (senjata mirip
tusuk konde) yang sering digunakan telik sandi atau prajurit perempuan yang menjadi mata-
mata. Terdapat juga sepasang meriam didepan dan sebuah meriam di sebelah timur museum.
Sejumlah alat rumah tangga buatan tahun 1700-an yang terbuat dari besi kuningan untuk tempat
daun sirih dan “kecohan”nya (tempat membuang ludah), canting (tempat membatik), teko
“bingsing”, bokor, dan kacip (alat belah pinang untuk makan sirih)
Terdapat juga sebuah patung Ganesha yang berukuran kecil, sepasang patung loro blonyo, tali
kuda untuk menarik kuda pemberian Sultan HB VIII dan lampu hias. Koleksi lainnya berupa
seperangkat gamelan buatan tahun 1752 milik Sultan HB II yang terdiri dari ketipung (gendang
kecil) dan wilahan boning penembung yang dibuat dari kayu dan perunggu berwarna kuning dan
merah. Semua wilahan dan besinya masih asli, hanya pada kayu gamelan yang terbuat dari kayu
Peninggalan lainya berupa sebuah Kitab Suci Al Qur’an, teko, cangkir, jubah pangeran dan 4
kursi dan satu meja. Peninggalan lainya yang tidak tersimpan disini adalah Pelana Kuda dan
Tombak yang tersimpan di Museum Satria Mandala Jakarta dan sebuah keris yang sampai saat
Karena dalam kurun waktu 5 tahun belum bisa menangkap Pangeran Diponegoro maka Belanda
mulai menggunakan taktik, dimulai dari menjanjikan bagi siapa saja yang bisa menangkap
Pangeran Diponegoro akan diberi imbalan sebesar 50.000 Golden. Berikut ini serangkaian
Pada tanggal 28 Maret 1830 Pangeran Diponegoro dan Laskarnya menemui Letnan
oleh Pangeran. Belanda tersebut ternyata sebelumnya menyiapkan taktik melalui Kolonel
Diponegoro dan laskarnya. Setelah berhasil ditangkap, hari itu juga Pangeran Diponegoro
Pada tanggal 5 April 1830 Pangeran Diponegoro dibawa ke Batavia menaiki kapal
Pollux.
Pada tanggal 11 April 1830 Gubernur Jenderal Van den Bosch memutuskan hukuman
istrinya serta pengikut setia lainya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng dan Nyai
Sotaruno ke Manado.
Pada tanggal 3 Mei 1830 Pangeran Diponegoro dan rombangan dengan menggunakan
kapal Pollux menuju Benteng Amsterdam untuk ditawan disana. Tetapi Belanda merasa
Pada tanggal 1834 Pangeran Diponegoro diasingkan secara terpisah. Pangeran dan
bersama Retnaningsih.
Pada tanggal 8 Januari 1855 Pangeran Diponegoro mengembuskan nafas terakhirnya dan
Retnaningsih.
Dinding yang bersejarah itu berada di kompleks Museum Sasana Wiratawa di Kota
Bupati Pacitan), selir dari Sri Sultan Hamengku Buwono III. yang lahir di Kraton Yogyakarta
Beliau bernama kecil Bandoro Raden Mas Ontowiryo dan seetelah dewasa kemudian bergelar
Kanjeng Pangeran Diponegoro. Walau berdarah ningrat, namun karena ingin menekuni
keagamaan dan dekat dengan rakyat biasa, Kanjeng Pangeran Diponegoro lebih memilih tinggal
pelajaran Sejarah atau melalui foto dan poster-posternya. Namun mungkin ada banyak yang
belum tahu tentang kediaman dan Benda-benda peninggalan Pahlawan nasional itu. Untunglah
ada sebuah museum yang dibangun dengan bertujuan untuk mengenang sosok
Museum itu adalah Museum Sasana Wiratama / Monumen Diponegoro yang berlokasi di Jl.
KotaJogjakarta.Museum ini berada di lahan seluas 2 hektar. Dulunya merupakan puri kediaman
Pangeran Diponegoro. Oleh ahli waris Pangeran Diponegoro yaitu Raden Ayu Kanjangteng
Diponegoro, lahan berserta segala segala seuatu di atasnya itu kemudian diserahkan kepada
monumen pada bangunan pringgitan. Letaknya menyatu dengan pendopo yang berada di tengah
komplek. Pembangunannya diprakarsai oleh Mayjen Surono yang saat itu menjabat Panglima
Kodam serta diresmikan oleh Presiden Soeharto. Tempat ini kemudian dinamakan Sasana
Berkunjung ke museum ini terasa membawa kita mengenang perjuangan Pangeran Diponegoro
dalam melawan penjajah Belanda. Ini bermula ketika pada masa kepemimpinan Hamengku
Buwono V yang berkuasa pada tahun , Pangeran Diponegoro tidak menyetujui jika sistem
Diponegoro dengan laskar-laskarnya pada tahun 1825, akibat tanpa seizin Pangeran Diponegoro
Belanda membuat Jalan yang menghubungkan Yogyakarta dan Magelang melewati halaman
rumah beliau. Belanda kemudian mengerahkan pasukannya untuk menyerang dan menangkap
Ketika perang itu dimulai, pada sisi utara, timur dan selatan halaman rumah Pangeran
Diponegoro telah dikepung pasukan Belanda. Laskar atau prajurit Pangeran Diponegoro yang
tinggal di sisi Barat tetap bertahan dengan melakukan perlawanan keras. Di bawah pimpinan
Joyomustopo dan Joyoprawiro, laskar terdesak mundur karena kekuatan berbeda jauh.
Mengetahui hal itu, Pangeran Diponegoro yang berjubah putih dengan sorban putih yang terlilit
di kepalanya memilih menjebol tembok barat puri dan menyelamatkan diri dengan menjauh ke
arah barat. Itu dilakukannya untuk menyelamatkan keluarga dan laskarnya yang masih tersisa
Karena bagi Pangeran Diponegoro, penyerangan pada dirinya itu justru merupakan awal dari
perang yang sebenarnya. Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan
diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo. Ia kemudian meneruskan ke
arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang berada di Dusun Kentolan Lor, Guwosari
Pajangan – Bantul. Sekitar lima kilometer arah barat dari Kota Bantul.
Di Goa Selarong itulah Pangeran Diponegoro mengatur dan merancang strategi penyerangan dan
menyatakan perang terhadap Belanda. Pasukan Belanda yang saat itu tidak berhasil menangkap
Sejak saat itu, peperangan dan penyerangan terhadap Belanda terus dilakukan oleh Pangeran
Dipoengoro dan laskarnya.Perang Diponegoro yang dalam buku-buku sejarah karangan penulis
Belanda disebut Java Oorlog ( Perang Jawa ) itu berlangsung sejak tahun 1825 hingga tahun
1830.
Dalam perang selama lima tahun itu, kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara
serta menghabiskan dana hingga 20 juta gulden. Walau Belanda menderita kerugian besar serta
menjanjikan imbalan 50.000 gulden bagi yang bisa menangkap Pangeran Diponegoro itu
ternyata, Belanda belum juga mampu menangkap Pangeran Diponegoro. Pada Tanggal 28 Maret
1830, bersama pengikutnya , Pangeran Diponegoro menemui Letnan Gubernur Jenderal Markus
de Kock karena sebelumnya beliau ditemui oleh utusan Belanda untuk berunding di
Permintaan itu ditolak Pangeran Diponegoro. Tetapi Belanda memang licik.Melalui Kolonel Du
Perron sebelumnya Belanda telah menyiapkan rencana penyergapan dan penangkapan Pangeran
Diponegoro dan para pengikutnya.. Hari itu juga Pangeran Diponegoro ditangkap yang
Pada tanggal 5 April 1830 Pangeran Dipoengoro dibawa ke Batavia menggunakan Kapal Pollux
dan sesampainya di Batavia, beliau ditahan di Stadhuis (sekarang Gedung Museum Fatahillah).
Gubernur Jenderal Van den Bosch pada tanggal 30 April 1830, menjatuhkan hukuman
pengasingan atas Pangeran Diponegoro, keluarga dan beberapa pengikutnya ke Manado. Karena
Belanda menganggap Pangeran Diponegoro masih menjadi ancaman dan bahaya besar , pada
tanggal 3 Mei 1830, Pangeran Diponegoro diberangkatkan dengan Kapal Pollux dan ditawan di
Benteng Amsterdam. Pangeran Diponegoro dibawa kembali ke Indonesia pada tahun 1834 untuk
diasingkan ke Makassar, Sulawesi Selatan, dan di tahan dalam pengawasan ketat di Benteng
Roterdam.
berdampingan dengan makam istrinya, Retnaningsih. Walau berada di lahan yang sangat luas,
bangunan Museum Sasana Wiratama tidak begitu luas. Di Bangunan yang terbagi dalam
beberapa ruangan itu pada ruangan pertama yang juga berfungsi sebagai kantor itu
Pangeran Diponegoro oleh pasukan Belanda. Berbagai jenis jimat pelindung dan senjata yang
digunakan oleh laskar atau prajurit Pangeran Diponegoro. Seperti senapan Kuno, panah,
pedang,Tombak, keris, bandil ( martil dari besi ) dan jenis senjata tajam lainnnya juga bisa
dijumpai disana.
Selain itu ada juga ‘ candrasa ‘ dan ‘ patrem ‘, senjata rahasia yang khusus digunakan oleh
prajurit perempuan. Yang menarik juga terdapat koleksi berupa tiga buah Tameng yang terbuat
dari bahan perunggu dengan goresan-goresan bekas sabetan benda-benda tajam di permukaan
tameng.
Ada juga sepasang Patung Loro Blonyo dan sepasang lampu hias. perangkat gamelan dan
perabotan sehari-hari seperti kendi, periuk, dan gerabah dari tanah liat
Beberapa koleksi museum berupa alat rumah tangga yang terbuat dari kuningan sekitar tahun
1700 terdiri dari tempat sirih , canting untuk membatik , teko , bokor hingga berbagai bentuk "
kacip " ( alat membelah pinang untuk makan sirih). Pada ruangan yang terakhir terdapat koleksi
berupa kereta kuda ala kerajaan pemberian Pemberian HB VIII yang disebut dengan nama Kyai
Sedayu
Pada halaman luar terdapat dua buah meriam kuno, tembok yang jebol dan dulunya menjadi
jalan keluar bagi Pangeran Diponegoro, keluarga dan pengikutnya saat menyelamatkan diri dari
sergapan Belanda.
Pada bagian depan pintu masuk kompleks ini terdapat sebuah dinding setinggi dua setengah
meter lebih dengan relief bergambar sesosok raksasa melawan seekor Naga.
Relief itu ternyata adalah Sengkalan Memet ( Candra Sengkala ) yang berarti 5281 dan aturan
membacanya secara terbalik ini mempunyai makna 1825 sebagai tanda pecahnya perang
perjuangan Pangeran Diponegoro ini membuat kita bisa lebih menghargai jasa-jasa para pejuang.