Anda di halaman 1dari 4

Berjuta Buih Di Lautan Sang

Samudera
Laut Biru Samudera, itu namaku. Ayahku adalah seorang pengagum lautan luas, karena rasa
obsesi dirinya terhadap laut, ia ingin mengabadikan nama laut itu di darah dagingnya sendiri.
Iya benar dari situlah nama Laut itu berasal. Ayahku senang memanggilku dengan nama
“samudera”. Kata ayahku samudera itu dalam sekali maknanya. Aku bukanlah seorang anak
Tunggal, aku mempunyai seorang kakak yang amat spesial. Dia tak dapat berbicara, iya benar
dia adalah seorang tunanetra. Namanya indah sekali, Taruna Karang Biru. arti dari namanya
sendiri adalah seseorang yang kuat seperti karang tua di pedalaman laut biru. lihatlah begitu
kagumnya ayahku akan lautan luas, seakan ayah menjadikan lautan samudera sebagai bagian
dari keluarga kami.
Kami bertiga tanpa seorang ibu tinggal di sebuah daerah terpencil di pesisir laut. Keberadaan
laut ini tak begitu banyak orang yang tahu akan kehadirannya, itu yang menjadi alasan
mengapa ayah lebih memilih tinggal di daerah ini. Selain hanya kami yang menghuni di sini,
lautan ini juga masih aman dari tangan tangan manusia. Andai aku bisa menunjukkan kalian
betapa indahnya laut ini aku akan mengajak kalian bermain seharian disini. Keindahannya
tidak bisa diungkapkan hanya dengan kata kata, Indah sekali.
Subuh, sekitar pukul 4 ayah membangunkan kami untuk sembahyang, mataku masih ingin
terus menutup tapi belaian tangan ayah yang mengusap rambut dengan mudahnya
mengalahkan rasa kantukku, aku terbangun begitu juga dengan kakakku. Kami bergegas
mengambil wudhu di luar rumah. Seusai sembahyang, ayah biasanya tak langsung
membiarkan kami bubar begitu saja, kami selalu diajak ayah berbincang sejenak walaupun
hanya bertopik ringan namun bagi ayah menghabiskan waktu untuk mengobrol dengan kedua
anak laki lakinya sangat mahal sekali. Obrolan kali ini topiknya sedikit berbeda, ayah
sepertinya ingin membicarakan suatu hal yang penting. Kami berdua mulai mendekati ayah
untuk menyimak. Ayah mulai membuka pembicaraan dengan menatap wajah kami satu
persatu, mengusap kedua rambut kami lalu menghembuskan nafas berat. Ayah mulai
berbicara.
“samudera, apakah kamu mempunyai mimpi?”
Ayah menatapku sambil tersenyum, suaranya sedikit bergetar.
“tentu saja samudera punya !”
“apakah mimpimu itu samudera?”
Ayah menatapku dengan rasa penasaran begitu juga kak Taruna, mungkin ayah dan kak
Taruna tidak menyangka, aku yang kadang nakal ini faham untuk bermimpi.
“mimpi samudera, ingin membuat kapal besar agar bisa menjelajahi lautan seperti yang ayah
suka ceritakan setiap malam, apa itu namanya..., oh iya bajak laut !”.
“menjelajahi laut ya?, keren sekali” ayah tersenyum kecil.
Dan mulai dari sinilah topik serius ini mulai masuk, ayah mulai menatap serius kami berdua
mungkin obrolan singkat tadi hanya untuk basa basi?.
“samudera, mengapa kau ingin sekali menjelajahi lautan?”
“karena samudera ingin menjelajahi tempat tempat baru diluar sana, yah !”
“bagus sekali, tapi sebelum kamu memulai perjalanan hebatmu itu, ada yang perlu kamu
siapkan terlebih dahulu, samudera”.
“apa itu, ayah?”
“ilmu, samudera. Itu adalah bekal penting untuk perjalanan hebatmu.”
“oh, seperti yang ayah selalu katakan pada samudera dan kak Taruna setiap hari ya, yaitu
untuk menuntut ilmu setinggi langit, dan mempunyai pengetahuan seluas laut samudera”.
“tepat sekali Samudera, kalian berdua harus menuntut ilmu terlebih dahulu karena ilmu itu
penting sekali untuk setiap perjalanan hebat kalian. Tanamlah bibit bibit mimpi kalian dari
sekarang, lalu belajarlah sungguh sungguh, nak.”
Hampir setiap hari ayah selalu memberi nasihat kepada aku dan kak Taruna soal menuntut
ilmu, entah kami sedang memancing, mengumpulkan kerang, atau melakukan kegiatan kami
lainnya. Sampai aku dan kak Taruna hafal kata kata ayah yang selalu berulang kali beliau
katakan tanpa mengubah kalimatnya sedikit pun. Kami berdua mengangguk. Percakapan
kami memang cukup singkat, namun sangat berarti dan penuh makna bagi kami.
Matahari mulai terbit dari timur, sinarnya masuk ke lubang jendela bolong kami. Ini
waktunya kami beraktivitas, ayah selalu melarang kami tidur setelah subuh ataupun pagi hari,
itu bisa membuat kami malas. Aku dan kak Taruna diajak ayah untuk memperbaiki
perahunya yang rusak akibat ombak besar, tidak terlalu parah tapi harus sesegera mungkin di
perbaiki. Saat memperbaiki perahu, pandanganku teralihkan oleh wajah kak Taruna yang
murung sejak pembicaraan kami tadi subuh. Tampak sekali sepertinya dia lagi sedih atau ada
sesuatu yang ia pendam?, ayah menepuk pundakku memberi isyarat kepadaku untuk fokus.
Mungkin aku akan mengobrol dengan kak Taruna nanti saja.
Akhirnya selesai juga kini perahu ayah bisa kembali berlayar lagi, sekarang giliran tugas ayah
lagi untuk memperbaiki mesin perahunya, jangan salah meskipun kami jauh dari kata modern
namun ilmu kami tidak tertinggal zaman. Apalagi ayah, beliau tahu jawaban setiap
pertanyaan aneh kami baik yang masuk akal sampai diluar nalar. Ayah langsung sibuk
mengurus perbaikan mesin perahunya, ini waktunya aku berbicara dengan kak Taruna. Kak
Taruna yang tadi berdiri di sampingku langsung pergi duduk di tepi garis pantai sambil
mengumbar ngumbar pasir di dekatnya, itulah yang ia suka lakukan setiap dia ingin
menenangkan diri, seperti waktu khusus untuk dirinya sendiri. Aku langsung menghampiri
kak Taruna, ya walaupun aku tahu dia mungkin tidak mau diganggu sekarang.
“kak, bisa samudera ngobrol dengan kakak sebentar?”
Kak Taruna menatapku sekilas, lalu mengangguk mengiyakan.
“mengapa tadi wajah kakak terlihat murung, apakah ada masalah?”
“itu hanya perasaan mu saja, aku baik baik saja” itu arti bahasa isyaratnya.
“kakak yakin?”
Kak Taruna terdiam, sepertinya memang ada yang ia sembunyikan, namun ia enggan untuk
menceritakannya kepadaku. Aku menatap kak Taruna memastikan apakah iya benar benar
yakin bahwa ia baik baik saja?. Kak Taruna memanglah seorang anak laki laki, tapi apakah
seorang laki laki tidak boleh mengungkapkan perasaannya? dibalik itu semua kak Taruna
juga mempunyai hati yang lembut. Sebab itu aku yakin di setiap wajah murung kak Taruna
pasti ada masalah yang membuatnya menjadi seperti itu, tak mungkin tanpa alasan.
“iya, aku tidak apa apa” jari jari kak Taruna berisyarat.
Kak Taruna pergi meninggalkanku yang tepat duduk disampingnya. Ada apa dengan kak
Taruna?, mungkin dia tidak ingin menceritakannya sekarang. Tapi aku yakin kak Taruna
pasti mempunyai sesuatu yang ia pendam, aku yakin itu.
Sore ini adalah jadwal kak Taruna melaut bersama ayah, giliranku sudah kemarin. Ayah
selalu mengajak kami melaut secara bergantian, karena terkendala kapasitas perahu kami
yang kecil. Ayah tak hanya mengajari kami cara menangkap ikan, ayah juga mengajari kami
tentang rahasia alam yang belum kami ketahui. Cara ayah mengajari kami itulah yang
membuat kami tak pernah bosan melaut bersama beliau. Ayah dan kak Taruna sudah bersiap,
tak banyak yang perlu disiapkan hanya perahu, dayung dan makanan untuk dimakan selama
melaut. Biasanya kegiatan melaut ini berlangsung sampai malam tiba karena disebabkan
ombak yang tak menentu dan mungkin ayah masih ingin banyak bercerita tentang rahasia laut
yang kami belum ketahui, belum lagi kalau ayah menemukan tempat unik saat melaut. Jadi
ayah dan kak Taruna mungkin akan kembali malam nanti.
Perahu sudah disiapkan begitupun dengan dayungnya. Kak taruna sudah duduk diatas perahu
dengan kotak nasi di pangkuannya, menunggu ayah berpamitan denganku.
“Samudera, ayah dan kak Taruna pergi dulu ya”
“iya ayah, hati hati”
“jaga diri baik baik dirumah, jangan kemana mana!”
“tenang ayah, samudera kan sudah besar bisa jaga diri sendiri”
“bisa saja, kau” ayah tertawa sambil mengusap rambutku.
Ayah dan kak Taruna melambaikan tangan kepadaku. Senyum kak Taruna bisa terlihat jelas
di wajahnya, mungkin masalahnya sudah ia selesaikan?. Entahlah, yang penting kak Taruna
tidak murung lagi itu sudah membuatku bahagia. Perahu ayah dan kak Taruna perlahan lahan
mulai terlelap kabut, tak terlihat.
Matahari mulai tenggelam dari arah timur, suasana perlahan mulai gelap, obor sudah daritadi
ku nyalakan karena takut akan kegelapan. Sebentar lagi ayah dan kak Taruna akan pulang
membawa ikan untuk makan malam, aku harus segera menyiapkan baskom untuk ikan ikan
itu. Menit demi menit terlewati, jam terus berputar, detik terus bergerak, ayah dan kak Taruna
belum datang juga?. Mengapa lama sekali, apakah kak Taruna mendapatkan bonus tambahan
jalan jalan ke tempat baru bersama ayah?. Hoaam...., aku ngantuk sekali. Aku mau tidur
sebentar, nanti kalau ayah dan kak Taruna datang pasti akan membangunkan ku untuk makan
malam.
Angin berhembus kencang menusuk kulit, aku terbangun karena kedinginan. Aduh
selimutnya kan dibawa kak Taruna melaut karena kak Taruna gampang sekali masuk angin.
Eh jam berapa ini?, sudah larut sekali mengapa ayah dan kak Taruna belum pulang?. Aku
beranjak turun dari dipan bergegas lari keluar rumah. Kalau memberi bonus kak Taruna
jangan terlalu lama juga dong, apalagi sampai larut begini. Harusnya jam segini ayah sudah
membantuku mengerjakan tugas sekolah. Aku bersekolah di desa ujung lautan, perlu
menyebrangi laut untuk sampai di desa itu. Besok juga aku harus sekolah, aku harus
mengerjakan tugas ini segera. aku kembali masuk kerumah untuk mengerjakan tugas sekolah
yang harus dikumpullkan besok. Aku membuka buku tulis, mulai mengerjakan tugasku.

Anda mungkin juga menyukai