Anda di halaman 1dari 4

Senangnya aku kembali menginjakkan kaki di belahan bumi bagian ujung timur.

Hebatnya negara ini daratannya terbelah menjadi 5 pulau terbesar. Kau tidak akan terbayang
betapa banyak pulau-pulau kecil bertebaran menghias Samudra Hindia dan Pasifik, bahkan
banyak diantaranya belum dinamakan juga tidak berpenghuni. Tanahnya subur karena dilalui
rangkaian cincin gunung berapi. Di setiap daratan yang kau jelajahi pastilah tertanam sayur-
sayuran hingga buah-buahan khas tropis yang membuat beraneka ragam hewan betah tinggal.
Disinilah tempat dimana semua hal tersedia bak surga yang diangan-angankan orang selama
ini. Tidak heran banyak para penjelajah samudra ingin menguasai kepulauan nusantara yang
kekayaannya melimpah ruah. Inilah tanah airku, Indonesia.

Dari jauh, terlihat papan nama besar bertuliskan Selamat Datang di Pelabuhan
Penyeberangan Merak yang terletak di Banten. Tidak perlu terlalu lama mengantri, akhirnya
mobilku masuk ke sebuah kapal ferry yang akan menyeberangkan kami menuju Pelabuhan
Bakauheni, Lampung.

Setelah memakirkan mobilku di parkiran bawah kapal, seseorang mengimbau para


penumpang kendaraan untuk segera masuk ke ruang penumpang kapal. Mengingat kasus
tenggelamnya beberapa kapal ferry yang pernah terjadi beberapa tahun silam, hal ini menjadi
peraturan wajib. Aku keluar berjalan sambil menyelipkan badan di sela-sela badan kendaraan
yang terparkir di sana. Maklum ruangan deck kapal ini tidaklah terlalu besar, sehingga mobil
yang terparkir agak berhimpitan. Hanya ada celah selebar badan orang dewasa saja yang bisa
dilewati, sehingga terasa tidak nyaman dan agak merepotkan bagi penumpang yang
melewatinya.

Persis di sisi kiri dan kanan lambung kapal ferry ini terdapat tangga menuju ke ruang
penumpang kapal. Semua orang yang berasal dari kendaraan yang terparkir di deck
berduyun-duyun bergerak menuju ke ruang penumpang yang letaknya di atas. Kami berjalan
agak tersendat karena jumlah orang yang naik cukup banyak.

Penumpang kapal bebas memilih tempat istirahat di kapal ferry tersebut. Tersedia ruang
AC yang menyediakan tempat duduk cukup nyaman dan ada juga lesehan buat penumpang
yang mau istirahat sambil tidur-tiduran. Dengan hanya mengeluarkan uang sebesar
Rp.10.000, penumpang bisa beristirahat di tempat ini. Aku sendiri memilih ke ruang lain
yang tidak ber-AC, naik satu lantai lagi ke atas, melalui tangga kecil yang sempit. Di sini
penumpang tidak dipungut bayaran alias gratis.
Beberapa penumpang yang sudah duluan  datang terlihat sedang beristirahat sambil
duduk-duduk di sana. Ada juga yang tidur-tiduran di kursi tanpa merasa risih dan tidak ambil
peduli terhadap penumpang lainnya. Sebagian lagi tampak sedang asik menikmati asap
tembakau, sehingga ruangan terasa pengap karena penuh asap.

Aku celingak-celinguk hati-hati, kepalaku diam, tapi mataku bolak-balik


memperhatikan juga mengamati bulat-bulat orang-orang di sekitaran deck kapal. Orang-
orang sibuk beradu jari dengan ponsel, tidak mengindahkan seorang gadis yang sedang
bermain alat musik mirip seruling. Jari-jari rampingnya bergoyang lihai naik turun,
bergantian menutup dan membuka lubang seruling. Alunan musik yang keluar dari corong
menari-nari di telingaku, hingga tanpa sadar aku sudah berdiri tak jauh di dekatnya.

Musik berhenti, dan suara hembusan angin mengambil alih kembali. Tidak ada yang
memperhatikan penampilan hebatnya kecuali diriku, dan aku menyesal tidak bertepuk tangan
demi secuil senyuman terukir di wajahnya itu.

Aku menghampirinya dan berkata, “Kau tadi sangat hebat. Bolehkah aku
mendengarnya sekali lagi?”

Pupil matanya membesar bersamaan dengan sudut bibirnya yang mulai naik ke atas.
Dia berucap dengan riang, “Benarkah? Kau mendengarnya daritadi?”

Aku tersenyum mengiyakan, “Iya, tapi alat musik apa ini? Aku baru melihat seruling
yang bentuknya seperti ini.”

“Oh, ini namanya serunai,” katanya sambil menunjukkan lebih dekat. “Alat musik tiup
dari Bengkulu.”

“Bengkulu? Dimana pula itu?”

“Bengkulu itu salah satu provinsi Indonesia, pecahan dari provinsi Sumatera Selatan.”
dia tersenyum melihatku yang masih kebingungan, dan melanjutkan bercerita, “Tempat Ibu
Fatmawati menjahit bendera merah putih. Emm… Mas tahu Bunga Raflesia?”

“Ooo, aku tahu. Bunga paling besar di dunia itu kan?”

“Iya. Kalau mas darimana? Mau pulang kampong?”

“Iya, saya mau pulang ke Minangkabau.”


Dia mengalihkan kepalanya ke samping sambil menutup mulutnya. Bahunya juga ikut
bergetar, berusaha menyembuyikan tawanya. Aku bertanya-tanya apa yang lucu. Apakah ada
sesuatu di wajahku? Atau suaraku terdengar lucu? Rasanya tidak.

“Maaf… maaf mas. Saya hanya berpikir bahwa mas harus belajar lebih banyak lagi
tentang geografi Indonesia. Maksudku, Bengkulu dan Sumatra Barat benar-benar
bersebelahan. Tepat di bawahnya itu adalah Bengkulu. Bahkan di Minangkabau juga terkenal
akan alat musik serunainya. Saya jadi curiga mas bukan asli orang minang.”

Mataku bergetar mendengar tamparannya. Sungguh bodoh aku tidak mengetahuinya.


Aku mengulang sejenak masa lalu sekolahku. Kenapa aku tidak tahu hal sesederhana ini?
Kurasa inilah akibatnya tertidur di jam pelajaran geografi.

Aku membersihkan tenggorokkanku, dan berkata canggung, “Sebenarnya aku sedang


belajar di luar negeri, dan jarang pulang,” kataku mencari alasan. “Oh, ya. Kau bilang tadi
serunai terkenal juga di Minangkabau. Jadi serunai itu dari Bengkulu atau Minang?”

“Sederhananya itu hasil asimilasi budaya Rejang dan Minangkabau. Kalau menurut
cerita turun menurun nenek moyangku, dulu sekali, suku Minangkabau pernah menetap di
Mukomuko dan menjalin hubungan yang erat sehingga kedua budaya tercampur. Bahkan jika
melirik lebih luas lagi, serunai aslinya dibawa dari para imigran India.”

“Wah, ternyata hanya dengan sebuah serunai bisa menyatukan beberapa budaya yang
berjauhan.”

“Iya, kau harus bangga dengan sukumu yang memperkenalkan serunai ke seluruh
penjuru negeri. Tanpa mereka, tidak akan ada sambutan musik ketika kedua pengantin
memasuki pelaminan.”

“Iya benar. Di mukomuko, serunai dilambangkan sebagai pemersatu keberagaman

Tunggu, jadi… serunai itu awalnya dari India, kemudian dibawa ke Minangkabau, dan
dibawa lagi ke rejang?”

Serius? Aku juga dari Minangkabau. Tapi aku tidak pernah lihat serunai ini. Jadi kamu
dari Minangkabau juga?” tanyaku penasaran.

“Tidak,” tawanya kecil. “Aku gadis dari Bengkulu.”


Aku mengerutkan alisku tidak mengerti.

“Serunai juga dikenal oleh masyarakat Bengkulu, khususnya di muko-muko. Bedanya

Bentuknya berbeda dari seruling yang pernah kupelajari waktu sekolah dulu. Suara
yang dihasilkan juga

Gang sempit ini di kedua sisinya berjejer panjang berbagai macam jualan, begitu juga
penjualnya.

Kulewati pedagang sayur sawi dan ia menawarkan dengan logat jawanya yang khas,
“Sawi, Pak. Kabeh seger!”

Mataku tersenyum, begitu pula pipiku, dan melewatinya dengan ramah.

Jangan kau tanya tentang pemandangannya, laut bagiku inilah gambaran sederhana
seperti apa surga itu.

Anda mungkin juga menyukai