Anda di halaman 1dari 2

Rayuan Pulau Kelapa

Amrizal Aufar Divisi Penelitian


Selamat malam Indonesia. Wah Penulis masih belum merasakan kantuk, dan mendadak benak
penulis teringat akan lagu-lagu nasional Indonesia, karena teringat lagu Rayuan Pulau Kelapa yang dulu
penulis nyanyikan saat penyambutan mahasiswa baru 2010. Jadi penulis memutuskan untuk menulis
beberapa patah kata saja deh. Tampaknya membahas lagu itu dan kondisi realita Indonesia sekarang
menarik juga.
Tanah airku Indonesia, Tanah Airku Indonesia, Negeri Elok Amat Ku Cinta, Tanah Tumpah
DarahKu yg Mulia, Yang Ku Puja Sepanjang Masa. Ah Itu bagian awal dari lagu tersebut. Lirik lagu
yang indah. Setidaknya masih sesuai dengan apa yang ada saat ini.
Tanah Airku Aman Dan Makmur, Pulau Kelapa nan Amat Subur, Pulau Melati Pujaan Bangsa
Sejak Dulu Kala. Ya Itu adalah lanjutan dari lagu tersebut. Sebentar Ada yang salah dengan
liriknya. Aman dan makmur? Indonesia aman? Wah Kalau ada kondisi di mana orang yang tidak
sepaham, yang berbeda keyakinan dan aliran, atau bahkan juga yang berbeda dalam hal tim sepakbola
yang didukung dikejar-kejar, lalu dipukuli hingga tewas, sedangkan pengeroyoknya tidak diadili dengan
adil itu bukan masalah keamanan, hmmm maka lirik lagu itu benar. Indonesia aman bagi seluruh
masyarakatnya. Paling-paling kalau mencuri ayam, hanya akan dibakar saja. Yah masih bisa dibilang
aman lah. Kalau misalnya penulis bilang hindarkan khutbah-khutbah salah kamar, misalnya politik di
tempat ibadah, lalu penulis juga bilang kita harus mulai memiliki rasa saling memiliki, takutnya akan
merusak rasa aman itu. Mendingan tidak usah bilang deh. Supaya tetap aman.
Tanah Airku Aman dan Makmur. Hmm Makmur ya Kalau masih banyak korupsi di
Indonesia, itu makmur ya? Kalau masih banyak orang yang hidup di bawah taraf kemiskinan, itu makmur
ya? Kalau masih banyak pekerja yang digaji di bawah Upah Minimum Regional, itu makmur ya? Dan
tindakan tegas atas koruptor, serta pendidikan dasar dari bangku sekolah untuk menanggulangi korupsi itu
tidak diperlukan ya? Pemimpin yang tidak hanya mengumbar janji untuk mensejahterakan masyarakat
tapi juga memberikan bukti itu tidak diperlukan ya? Hmm Kalau iya, maka bagian lagu ini masih
benar. Ya, mari lanjutkan lagu ini.
Melambai-lambai Nyiur di Pantai, Berbisik-bisik Raja Klana, Memuja Pulau nan Indah Permai,
Tanah Airku Indonesia. Wah pulau nan indah permai. Tampaknya benar. Kita kan punya Bali. Punya
Raja Ampat. Kita juga punya banyak tempat wisata budaya, seperti beraneka macam candi dan pura.

Memang indah sih. Yah walaupun sekarang sampah berserakan di mana-mana. Walaupun sekarang air
dan pasir pantai tidak sebersih dulu karena banyak kotoran dan sampah. Walaupun sekarang coret-coretan
yang bertuliskan Budi love Ani dan semacamnya ada di tembok-tembok situs purbakala. Walaupun
sekarang bagian-bagian dari patung-patung dan artefak-artefak purbakala kita mulai hilang-hilangan,
sebagian malahan ada yang diperdagangkan ilegal di luar negeri. Yah tapi tampaknya warga Indonesia
terlalu terbuai dengan anggapan kalau Indonesia itu indah. Dan memilih mengabaikan fakta-fakta di
atas. Ah Karena mayoritas orang Indonesia masih beranggapan Indonesia itu indah dan tidak berbuat
apa-apa untuk mempertahankan atau memperbaiki masalah-masalah yang ada, penulis ikut saja deh.
Takut kalau punya pendapat berbeda nanti dikejar-kejar. Indonesia aman dan makmur! Indonesia nan
indah permai, yeah!
Wah Walaupun lagu ini ditulis pada 1940-an, ternyata lagu ini masih menggambarkan
Indonesia saat ini secara akurat. Ngomong-ngomong soal lagu, penulis mendadak terpikirkan soal
kesenian Indonesia. Kira-kira ada banyak nggak ya orang Indonesia sekarang yang hafal lagu ini? Atau
hafal lagu daerah deh. Hmm Penulis pernah mencoba menyetel lagu campursari, dan malah diomeli
teman-teman penulis yang bilang apaan sih lo nyetel lagu beginian. Lalu mereka menyetel lagu barat,
Jepang, atau Korea. Wah Pasti karena mereka sudah terlalu hafal dan menghayati soal kesenian
Indonesia ya, makanya mereka memarahi penulis karena berpikir semestinya itu sudah dipahami sedari
kecil, kalau ketika mahasiswa penulis baru menghayati maka itu terlalu terlambat. Wah penulis jadi malu.
Hebatnya teman-teman penulis ini. Pasti orang-orang di luar sana juga seperti ini. Penulis semakin malu.
Apalagi orang-orang lain begitu murah hati, seringkali kesenian Indonesia diberikan cuma-cuma ke
negeri jiran, pasti karena sudah terlalu banyak kebudayaan ya, sehingga dirasa tidak perlu dilestarikan,
dan lebih baik diberikan ke negara lain yang membutuhkan. Rasa saling memiliki tidak dibutuhkan
tampaknya, takut kalau kita merasa memiliki tempat budaya, lalu berhenti mencoret-coretnya, hilang deh
keindahannya. Kalau kita merasa memiliki kesenian daerah, hilang deh kedermawanan kita pada negara
lain.
Wah penulis sudah mulai merasa mengantuk. Setidaknya penulis begitu bangga tinggal di negeri
yang aman, makmur, indah, permai, lalu orang-orangnya juga begitu menghargai budayanya, sudah
begitu murah hati pula. Oke, esok hari penulis akan mulai mencoba mempertahankan budaya di atas,
setidaknya kalau ada orang lain yang berpendapat beda, penulis sudah bisa mengejar dan memukulinya.
Oke, waktunya tidur. Selamat malam Indonesia-ku.

Anda mungkin juga menyukai