Anda di halaman 1dari 17

BAB 4

BEATRICE

Tanpa bertemu dengan temanku lagi, pada akhir dari liburan, aku melakukan
perjalanan ke St_. Kedua orang tuaku ikut bersamaku dan dengan penuh kehati-
hatian mempercayakanku ke dalam perlindungan dari asrama laki-laki yang
dijalankan oleh seorang guru di sekolah menengah. Mereka akan terbujur
ketakutan jika saja mereka tahu kehidupan seperti apa yang mereka kini biarkan
aku masuk ke dalamnya.

Pertanyaan itu masih saja berkisar mengenai apakah aku dapat menjadi anak
laki-laki yang baik dan anggota masyarakat yang berguna, atau apakah kodratku
akan mendorongku ke jalan yang lain. Usaha terakhirku adalah berbahagia
dibawah bayangan rumah ayahku dan jiwa tersebut bertahan cukup lama, telah
sering kali nyaris berhasil, namun kemudian pada akhirnya kembal gagal.

Kekosongan yang asing dan kesendirian yang kurasakan pertama kali datang
sepanjang liburan setelah upacara Penguatanku (betapa aku menjadi tidak asing
dengannya setelahitu, pada kekosongan itu, suasana penjernihan itu!) tidak berlalu
dengan cepat. Mengucapkan selamat tinggal pada rumahku terasa sangat mudah
untukku hingga terasa janggal, sesungguhnya aku merasa malu tidak menjadi lebih
sedih, saudari-saudariku menangis tanpa alasan tapi aku tidak bisa melakukannya.
Aku terkejut mengenai diriku sendiri. Aku selalu merupakan anak yang penuh
perasaan dan lebih kepada anak yang baik. Sekarang aku berubah total.

Aku bersikap tak acuh pada dunia luar dan selama berhari-hari hanya berpikir
untuk mendengarkan diriku sendiri, dengan mendengarkan aliran, aliran-aliran
terlarang yang kelam yang bergema di atas permukaan di dalamku. Aku telah
tumbuh lebih tinggi dengan cepat sepanjang setengah tahun belakangan dan aku
53
terlihat seperti seorang pemuda setengah matang yang kurus kering yang
memandang ke dunia. Pesona kekanakan telah menghilang dariku, aku sendiri
merasa bahwa tidak ada yang dapat mencintaiku seperti bagaimana diriku, dan aku
pun tidak menyukai diriku sedikit pun.

Aku sering sangat merindukan Max Demian, tapi tidak jarang pula aku
membencinya pula, menyalahkannya karena telah memiskinkan kehidupanku yang
mana kuanggap sebagai sebuah penyakit yang menjijikkan.

Di dalam asrama sekolah khusus laki-laki, pertama kali aku tidaklah disukai
maupun dihormati, pertama kali aku dikerjai kemudian mereka meninggalkanku
sendiri dan merasa aku adalah seseorang yang munafik dan orang asing yang tidak
menyenangkan. Aku menikmati peran tersebut dan bahkan melebih-lebihkannya,
menjadi penyendiri hanya karena kesal, di luar dari kesendirianku yang terus-terus
menyerupai sindiran terjantan terhadap dunia, diam-diam sering menjadikanku
subjek dari serangan melankoli dan keterpurukan yang melemahkan. Di sekolah,
aku dapat mempergunakan pengetahuan yang telah kukumpulkan di rumah,
kelasku sekarang sangat ketinggalan jika dibandingkan yang lama, dan aku terbiasa
mengatai pemuda seusiaku sebagai anak-anak.

Hal-hal berlanjut seperti itu untuk setahun dan lebih, bahkan dalam perjalanan
pulangku pertama selama liburan tidak menambahkan hal baru lainnya, aku merasa
senang dapat pergi lagi.

Itu adalah awal November ketika aku menjadi terbiasa untuk berjalan-jalan
singkat untuk memikirkan hal-hal, tidak peduli seperti apa pun cuaca, dalam
perjalanan-perjalanan ini aku sering menikmati sebuah gairah, gairah yang
dipenuhi melankoli dan sindiran untuk dunia dan untuk diriku sendiri. Jadi aku
berjalan santai di suatu sore di dalam senja yang basah dan berkabut menyusuri
perbatasan kota, jalan besar yang luas dan dijajari oleh pepohonan di taman kota
terlihat sangat sepi dan mengundangku untuk berjalan di sana, jalanannya ditutupi
oleh setumpuk tinggi daun gugur, di sana aku memendam ujung kakiku dengan

54
hasrat yang kabur, ada aroma basah yang pahit, pepohonan di kejauhan muncul di
antara kabut yang setinggi dan segelap hantu.

Di ujung dari jalan aku berhenti ragu, menatap pada dedaunan hitam dan
menghirup rakus pada aroma basah dari kebusukan dan kematian yang mana
sesuatu di dalam diriku merespons terhadapnya dan menerimanya dengan tangan
terbuka. Oh, betapa hambar hidup terasa! Di jalan samping ada seseorang dengan
mantel berkerah yang berkibar mendekat, aku hendak berjalan pergi ketika dia
memanggilku.

Beck bertanggung jawab atasku meskipun dia memakiku pahit sebagai orang
baru yang tidak berpengalaman, dan setengah membopongku, dia membawaku
masuk ke rumah, di mana dia berhasil untuk menyelinapkanku dan dirinya lewat
jendela ruang depan yang terbuka.

Tapi ketika aku tersadar dan bangun setelah tidur mati yang sangat singkat,
sebuah rasa penyesalan tak tertahankan menguasaiku. Aku duduk di tempat tidur,
masih mengenakan kaos semalam, pakaian dan sepatuku berserakan di atas lantai
dan beraroma tembakau dan muntahan dan di antara sakit kepala, mual, dan rasa
haus yang teramat sangat sebuahgambaran muncul di benakku yang sudah lama
tidak pernah kuhadapi.

Aku melihat kampung halaman dan rumah orang tuaku, ayah dan ibuku, saudari-
saudari dan taman, aku melihat ruang tidurku yang tenang dannyaman, aku melihat
sekolah dan pasar, aku melihat Demian dan kelas Penguatan kami -dan semua itu
terlihat terang, itu dilingkupi oleh cahaya, itu semua luar biasa, Ilahi, dan murni,
dan semua, semua itu-aku tahu sekarang-pernah menjadi milikku dan sudah sedang
menantiku kemarin, beberapa jam lalu, dan sekarang, baru saja pada saat itu, itu
telah menghilang dari pandanganku dan terkutuk, itu tidak lagi menjadi milikku,
itu telah menyingkirkanku, itu melihatku dengan jijik! Semua cinta dan kehangatan
yangtelah orang tuaku tunjukkan semenjak masa keemasan kanak-kanakku yang
terlama, semua kecupan dari ibuku, semua natal, semua iman, Minggu pagi yang
terang di rumah, seluruh bunga di taman-semua itu telah dibinasakan, aku telah

55
menginjak-injak semua itu! Jika petugas pengadilan datang pada saat itu, mengikat
kedua tanganku, dan membawaku ke tiang gantungan sebagai seorang ter-asing
dan seorang pencemar kuil, aku akan menyetujuinya, aku akan pergi dengan
senang hati, aku akan menganggapnya hal yang sepatutnya dan sewajarnya.

Kemudian itu adalah bagaimana aku melihat dari dalam! Aku, yang berkeliaran
membenci dunia! Aku, yang memiliki kesombongan di dalam benak dan berbagai
ide dengan Demian! Itulah bagaimana aku terlihat, seorang terasing, babi kotor,
pemabuk dan tidak berharga, menjijikkan dan awam, monster keji yang tertangkap
tidak siap oleh impulsku yang mengerikan! Itu bagaimana aku terlihat, aku yang
datang dari taman-taman di mana semua terlihat suci, bercahaya, dan lembut penuh
kasih itu, aku yang pernah menyukai musik Bach dan puisi-puisi indah! Dengan
perasaan jijik dan amarah aku masih mendengar suara tawaku sendiri, tawa mabuk
yang tak terkontrol yang terdengar bodoh. Itulah siapa diriku! Tapi di luar semua
hal, itu nyaris menyenangkan untuk merasakan penderitaan atas siksaan-siksaan
itu.

Aku harus merangkak melalui hidup dalam kebutaan dan kejemuan untuk waktu
yang sangat lama, hatiku terus berdiam diri, semakin miskin, di suatu sudut sekian
lama, dan tuduhan atas diri sendiri ini, kengerian ini, dan seluruh emosi yang
mengerikan di dalam jiwaku ini kuterima dengan tangan terbuka. Bagaimanapun
juga itu adalah sebuah emosi, kobaran yang masih muncul, itu menunjukkan
bahwa hatiku masih hidup. Di dalam kebingungan, di tengah kesedihanku, aku
merasakan sesuatu seperti kebebasan dan musim semi.

Sementara itu, jika dilihat dari luar, semua hal memutuskan untuk menuruni
jurang bersamaku. Acara minum-minum hingga mabuk pertamaku segera tidak
lagi menjadi yang satu-satunya. Di sekolah kami ada banyak orang yang suka pergi
ke kedai minuman dan bertingkah laku dungu, aku adalah salah satu yang termuda
di antara mereka yang bergabung, dan segera aku tidak lagi menjadi anak muda
yang hanya ditoleransi melainkan pemimpin dan ketua, seorang yang suka pergi
kedai minuman yang badung dan nekat. Sekali lagi aku sepenuhnya menjadi
bagian dari dunia gelap, kepada sang Iblis, dan di dalam dunia itu aku terhitung
sebagai orang hebat.Tapi selagi aku melakukannya, aku merasa sangat buruk.
Kehidupanku berbelok ke dalam pesta liar penghancuran diri, dan selagi aku

56
dipandang oleh teman-teman sekolahku sebagai ketua dan laki-laki jahanam, si
berani yang terkutuk dan anak yang cerdik, jauh di dalam jiwaku yang ditunggangi
oleh kecemasan bergetar penuh peringatan. Aku masih mengingat air mata yang
hinggap di mataku ketika aku berjalan keluar darikedai minuman di suatu Minggu
pagi dan melihat anak-anak bermain di jalanan, ceria dan bahagia, dengan rambut
tersisir dan pakaian Minggu terbaik mereka. Dan sementara aku duduk di antara
genangan bir di meja yang kotor di dalam kedai minuman murahan, menghibur dan
sering kali menakuti temanku dengan ucapan sinis yang tidak biasa, jauh di dalam
hatiku aku menghormati semua yang kuejek, dan di dalam benakku aku sedang
menangis sambil berlutut kepada jiwaku, kepada masa laluku, kepada ibuku, dan
Tuhan.

Di taman yang sama dengan tempat aku bertemu Alfons Beck di musim gugur, di
permulaan musim semi, tepat ketika semak lindung mulai menghijau, seorang
gadis menarik perhatianku. Aku keluar untuk berjalan sendiri, dipenuhi pemikiran
yang menjijikkan dan kecemasan, karena kesehatanku semakin memburuk dan
ditambah, aku terus-terusan berada dalam kesulitan keuangan, aku berhutang
sejumlah uang pada teman sekolah, aku harus mengarang alasan mendesak untuk
membeli peralatan sekolah supaya dapat meminta tambahan uang dari rumah, dan
aku harus menyediakan uang untuk rokok dan aku telah membiarkan banyak
tagihan untuk rokok dan itu menumpuk di beberapa toko. Tidak hanya itu,
kecemasan-kecemasan ini menjadi semakin dalam-kapan pun, di masa yang akan
datang, masa tinggalku di sini sudah tinggal sebentar lagi dan pilihanku hanya
menenggelamkan diriku atau dikirim ke sekolah rehabilitasi, Sedikit dari hal-hal
sepele ini tidak lagi menjadi penting. Tapi, di saat yang sama, aku hidup dalam
pemandangan tetap akan ketidak bahagiaan dan aku menderita karenanya.

Di hari musim semi itu di taman, aku bertemu dengan seorang perempuan muda
yang sangat menarik perhatianku. Dia tinggi, langsing, berpakaian elegan, dan
memiliki wajah cerdas yang menyerupai laki-laki. Aku sekejap menyukainya, dia
adalah tipe yang kukagumi, dan dia mulai menghiasi lamunanku. Dia mungkin
hampir tidak lebih tua dariku, tapi lebih dewasa, elegan dan dengan lekukan yang
jelas,nyaris sepenuhnya wanita, tapi dengan semangat tinggi dan kesan laki-laki di
wajahnya adalah hal yang secara khusus kusukai.

57
Aku tidak pernah berhasil dalam mendekati seorang perempuan yang menarik
perhatianku, dan aku pun tidak berhasil mengenainya. Tapi kesan yang dia buat
lebih kuat daripada peristiwa sebelumnya dan pengaruh yang dimiliki perasaan
tergila-gila ini dalam hidupku sangat kuat.

Mendadak aku sekali lagi mendapat sebuah gambaran, sebuah gambaran yang
mulia dan terhormat-dan oh! Tidak ada kebutuhan, dorongan di dalamku yang
sekuat dan sebergelora harapanku untuk menghargai dan menghormati sesuatu!
Aku menamainya Beatrice, karena, tanpa pernah menafsirkan Dante, aku
mengetahuinya dari sebuah lukisan Inggris.

***

Aku tidak pernah berkata sepatah kata pun pada Beatrice. Dan dia telah menarik
pengaruh yang paling kuat terhadapku di hari-hari itu. Dia menampakkan citranya
di depanku, dia membuka sebuah kuil penyembahan untukku, dia membuatku
pengikut setia di dalam kuil tersebut. Dari hari pertama hingga selanjutnya, aku
mulai menghindari pergi ke kedai minuman dan berjalan-jalan di jalanan di malam
hari di sebuah gang. Aku dapat menjadi sendirian lagi. Sekali lagi aku menikmati
membaca dan berjalan-jalan.

Perubahan mendadak ini membuatku menjadi bahan pembicaraan banyak


lelucon. Tapi sekarang, aku memiliki sesuatu untuk kucintai dan kukagumi, sekali
lagi aku memiliki sesuatu yang ideal, hidup sekali lagi dipenuhi pergerakan batin
dan beraneka ragam sinar senja. Dan itu membuatku tak acuh pada cemoohan.
Sekali lagi aku merasa berada di rumah dengan diriku, meskipun hanya sebagai
seorang budak dan pelayan dari sebuah gambaran terhormat.

58
Aku tidak dapat mengenang masaitu tanpa emosi penuh kasih, aku mencoba lagi
dengan usaha penuh kekhusyukan untuk membangun sebuah "dunia terang" untuk
diriku sendiri dari reruntuhan periode hidupku yang telah tumbang, sekali lagi aku
menjalani hidup di dalam sebuah hasrat satu-satunya untuk menyingkirkan apa
yang suram dan jahat di dalamku, dan untuk beradu di dalam cahaya, berlutut di
hadapan para dewa.

"Dunia terang" yang hadir kali ini adalah ciptaanku, itu tidak lagi berarti
pencarian perlindungan dan merangkak kembali kepada ibuku dan kehidupan aman
tanpa tanggung jawab, tapi sebuah kebaktian yang aku sendiri buat dan inginkan,
dengan tanggung jawab dan kedisiplinan diri. Seksualitasku yang mana selalu
kuderita dan selalu coba kabur darinya, kini menjelma ke dalam jiwa dan
penyembahan pada api suci ini.

Tidak boleh ada lagi kegelapan, keburukan, malam-malam yang dihabiskan


dengan rintihan, debaran jantung ketika melihat lukisan jorok, menguping di pintu-
pintu terlarang, nafsu apa pun. Di atas semua itu, aku membangun altarku, dengan
lukisan dari Beatrice, dan selagi aku menyucikan diriku padanya, aku menyucikan
diriku pada jiwa dan dewa-dewa. Porsi kehidupanku yang telah kurebut kembali
dari kekuatan kegelapan, aku persembahkan kepada kekuatan terang. Tujuanku
bukanlah kesenangan melainkan kesucian, bukan kebahagiaan tapi keindahan dan
kecerdasan.

Penyembahan terhadap Beatrice ini mengubah hidupku sepenuhnya. Baru saja


kemarin menjadi seorang sinis yang dewasa sebelum waktunya, aku sekarang
menjadi seorang pelayan kuil yang memiliki tujuan untuk menjadi orang suci.

Aku tidak hanya menyingkirkan jalan kejahatan aku juga telah terbiasa dengan
hal itu, aku mencoba mengubah segalanya, mencoba untuk meletakkan kesucian,
keluhuran, dan martabat ke dalam semua hal, terus mengingatnya setiap aku
makan, minum, berbicara, dan berpakaian. Aku memulai hari dengan pencucian
diri yang dingin, aku memastikan diriku berdiri tegak dan berjalan dengan langkah

59
yang lebih pelan dan lebih bermartabat. Itu terlihat lucu untuk siapa pun yang
melihat-di dalam benakku itu adalah persembahan Ilahi semata.

Dalam semua praktik baru yang menjadi pencarianku atas kondisi mental baruku
itu, seseorang menjadi penting untukku Aku mulai melukis.

Itu di mulai ketika aku menemukan bahwa lukisan Inggris Beatrice yang
kumiliki tidak benar-benar mirip dengan gadis yang pernah kulihat. Aku ingin
mencoba melukisnya untuk diriku sendiri. Dengan kesenangan dan harapan baru,
aku menata kamarku -akhir-akhir ini aku pindah ke kamar untukku seorang -
dengan kertas-kertas berkualitas tinggi, cat-cat, dan kuas-kuas, dan aku
mempersiapkan sebuah palet, gelas, piring-piring porselen, dan pensil-pensil. Cat-
cat tempera di dalam botol kecil yang kubeli membuatku senang. Di antara cat-cat
itu ada sebuah warna hijau krom menyala yang masih sama seperti pertama kali
kulihat dia berkilau di atas sebuah piring putih kecil.

Aku memulai dengan hati-hati. Untuk menggambar sebuah wajah sangatlah sulit,
aku ingin mencoba sesuatu yang lain lebih dahulu. Aku melukis pajangan, bunga,
dan sedikit pemandangan imajiner, pohon di kapel, jembatan Roman dengan
pepohonan cemara. Saat itu aku menjadi tersedot sepenuhnya dalam aktivitas
menyenangkan itu, aku sebahagia seorang anak kecil dengan sekotak cat. Dan
akhirnya aku mulai melukis Beatrice.

Beberapa kertas merupakan kegagalan dan harus kubuang. Semakin keras aku
berusaha membayangkan di dalam diriku wajah dari perempuan yang kutemui di
jalan dari waktu ke waktu semakin aku tidak berhasil. Akhirnya aku menyerah dan
hanya sekadar mulai menggambar sebuah wajah, mengikuti imajinasiku dan
arahan itu secara spontan terbentuk oleh goresan pertamaku, oleh cat dan kuas.
Yang terbentuk adalah sebuah wajah impian, dan aku tidak merasa kecewa dengan
itu. Aku melanjutkan percobaan itu sekali lagi, dan setiap lembaran baru
membuatnya yang semakin jelas, semakin mendekati sebuah tipikal meskipun
tidak mendekati kenyataan.

60
Aku semakin terbiasa untuk menggores garis dan memenuhi latar dengan
goresan yang surreal, garis-garis dan latar-latar ini tidak memiliki contoh tapi
diproduksi oleh goresan meraba-raba yang bebas, dari alam bawah sadarku.
Akhirnya, suatu hari, nyaris tanpa kusadari aku menyelesaikan sebuah wajah yang
berbicara padaku lebih mendesak dari yang sebelumnya lakukan. Itu bukan sebuah
lukisan wajah perempuan itu, untuk beberapa waktu itu bukanlah tujuanku. Itu
adalah sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tidak nyata, tapi tidak kurang berharga.
Itu terlihat lebih mirip wajah seorang pria muda daripada seorang gadis, rambutnya
tidak pirang seperti gadis cantikku melainkan cokelat sedikit kemerahan, dagunya
kokoh dan keras tapi bibirnya terlihat seperti sebuah bunga merah, seluruh hal
terlihat sedikit kaku dan seperti topeng namun mengesankan dan penuh rahasia
kehidupan. Ketika aku duduk di depan lukisanyang telah selesai, dia membuat
impresi janggal padaku.

Untukku dia terlihat semacam gambaran Ilahi atau topeng keramat, setengah
laki-laki, setengah perempuan, tak lekang oleh waktu, sama-sama memiliki
kemauan kuat dan kabur, kaku namun juga diam-diam hidup. Wajah itu memiliki
sesuatu untuk dikatakan padaku. Dan dia mirip seseorang, aku tidak tahu siapa.

Untuk beberapa saat setelah itu lukisan wajah itu menemani seluruh pemikiran
dan berbagi kehidupan denganku. Aku menyimpannya di dalam sebuah lemari, aku
tidak ingin siapa pun menyentuhnya dan menggunakannya untuk mengejekku.
Tapi segera setelah aku berada sendiridi kamar kecilku, aku menarik lukisan itu
keluar dan dia menemaniku.

Di sore hari aku akan menempelkannya pada kertas dinding di atas tempat
tidurku, menghadapku, aku akan memandanginya hingga tertidur, dan itu menjadi
hal pertama yang kulihat di pagi hari.

Di periode yang sama aku mulai banyak bermimpi lagi, seperti yang sering
kudapat di masa kanak-kanakku. Rasanya aku telah lama tidak bermimpi.
Sekarang mimpi-mimpi telah kembali, sekelompok gambaran baru yang
sepenuhnya berbeda, seringkali lukisan yang kulukis muncul di dalam mereka,

61
hidup dan berbicara, ramah atau bermusuhan denganku, sesekali menyeringai dan
sesekali sangat indah, penuh harmoni, dan martabat.

   Dan suatu pagi, ketika aku bangun dari mimpi semacam itu, mendadak aku
mengenalinya. Untukku itu terlihat seperti sebuah wajah yang sangat kukenali, dia
terlihat memanggil namaku. Dia terlihat mengetahuiku seperti seorang ibu, dia
terlihat seperti telah lama tertarik pada hal yang kulakukan sepanjang waktu.
Jantungku berdebar, aku menatap kertas itu, pada rambut cokelat tebal, bibir
setengah feminin, dahi kokoh yang bersinar janggal (dia telah mengering dengan
sendirinya), dan aku merasakan pengenalan, penemuan kembali, pengetahuan
tumbuh semakin mendekatiku.

   Aku meloncat turun dari tempat tidur, berdiri di depan wajah itu, dan
menatapnya sedekat mungkin, tepat ke dalam mata kehijauan yang terbuka lebar,
yang mana sebelah kanan lebih tinggi daripada yang sebelah kiri. Dan sekejap
mata kanan berkedut, kedutan ringan dan halus, tapi cukup jelas, dan ketika dia
berkedut aku mengenali lukisan itu. Mengapa baru sangat lama kusadari hal itu?
Itu adalah wajah Demian.

   Kemudian aku sering kali membandingkan wajah itu dengan wajah Demian
sesungguhnya yang kutemukan dalam ingatanku. Mereka tidak sama tapi serupa.
Tapi itu adalah Demian.

   Di suatu sore di awal musim panas, matahari bersinar kemerahan menyeruak


masuk ke dalam jendelakuyang menghadap barat. Senja berkumpul di dalam
kamar. Kemudian aku mendapat ide untuk menempelkan lukisan Beatrice, atau
Demian, pada garis menyilang yang dibentuk oleh kusen jendela, dan menatapnya
selagi matahari sore bersinar menembusnya. Wajah itu terlihat kabur dan tanpa
lekukan, tapi mata kemerahan, dan bibir merah menyala bersinar terang dan liar
dari permukaan. Aku duduk menghadapnya sesekali, bahkan ketika hari telah
gelap. Dan perlahan aku mendapat firasat bahwa itu bukan Beatrice atau Demian,
tapi—diriku sendiri. Lukisan itu tidak mirip denganku—tidak dibuat dengan
maksud seperti itu pula, kupikir—tapi itu menggambarkan apa yang merupakan

62
hidupku, itu adalah batinku, takdirku, atau daemon-ku. Itulah bagaimana temanku
terlihat jikaaku pernah menemukan satu lagi. Itu adalah bagaimana kekasihku
terlihat jika aku pernah memenangkannya. Itu adalah bagaimana kehidupan dan
kematianku akan menjadi, ini adalah bebunyian dan ritme dari takdirku.

   Di minggu-minggu itu aku mulai membaca sebuah buku yang membuatkesan


yang lebih kuat padaku daripada apa pun yang pernah kubaca sebelumnya. Bahkan
di kemudian hari, aku jarang memiliki pengalaman serupa dengan buku, kecuali
mungkin dengan Nietzche, itu adalah serial dari Novalis, dengan surat-surat dan
peribahasa, banyak darinya yang tidak kupahami, meskipun begitu mereka
memiliki atraksi yang mengagumkan dan menyihir untukku. Aku menuliskannya
dengan tinta di bawah lukisan, "Takdir seorang manusia dan karakternya adalah
dua nama untuk konsep yang sama." Sekarang aku telah memahaminya.

   Aku masih sering berpapasan dengan gadis yang kupanggil Beatrice. Aku tidak
lagi merasakan pergolakan apa pun ketika bertemu, tapi sering kali itu berupa
harmoni lembut dari pikiran, sebuah firasat yang emosional, kau terhubung
padaku, tapi bukan dirimu sendiri, hanya lukisanmu, kau adalah bagian dari
takdirku.

***

   Kerinduanku pada Max Demian semakin kuat lagi. Aku tidak tahu apa pun
mengenai kabarnya, dan sudah bertahun-tahun. Hanya sekali aku pernah bertemu
dengannya sewaktu liburan. Sekarang aku ingat bahwa akutelah menghilangkan
pertemuan singkat ini dari dalam kenangan-kenangan ini, dan aku melihat bahwa
aku melakukannya karena malu dan keangkuhan.

63
   Aku harus memperbaikinya dan mengisahkannya sekarang.Baiklah kalau begitu,
sekali sewaktu liburan, dengan mengenakan ekspresi bosan dan seakan telah terlalu
lelah dengan dunia yang kubuat-buat semasa hari-hari minum-minumku, aku
sedang berjalan santai di sekitar kampung halamanku, mengayunkan tongkat
berjalanku dan melihat wajah penghuni kota yang sama tua dan tak berubah, ketika
aku berpapasan dengan teman lamaku. Dan, dalam sekejap, aku dipaksa untuk
mengingat Franz Kromer. Jika saja Demian sudah benar-benar melupakan kisah
itu! Itu sangat tidak menyenangkan untuk berada di sebuah keharusan seperti itu
dengannya, itu sesungguhnya hanya kisah bodoh dari tingkah laku anak-anak tapi
meskipun demikian, itu adalah sebuah keharusan.

   Dia terlihat menanti dan melihat apakah aku akan menyapanya, dan ketika aku
melakukannya sesantai mungkin, dia mengulurkan tangannya. Itu adalah jabatan
tangannya lagi! Sangat kokoh dan hangat, juga tanpa perasaan dan jantan! Dia
menatap wajahku penuh perhatian dan berkata, "Kau semakin tinggi, Sinclair." Dia
sendiri terlihat tidak terlalu banyak berubah, hanya setua dan hanya semuda
biasanya.Dia bergabung denganku, kami berjalan bersama dan hanya
membicarakan tentang hal yang tidak penting, tidak ada mengenai hari-hari yang
telah lalu.

   Aku ingat itu pada suatu waktu aku telah menulis padanya lebih dari sekali tanpa
menerima sebuah balasan. Oh, jika saja dia juga telah melupakan itu, surat-surat
bodoh itu! Dia tidak mengungkit mengenai mereka! Ketika ini terjadi, tidak ada
Beatrice dan tidak ada lukisan, aku masih berada di tengah periode bertingkah laku
tidak senonoh. Di perbatasan kota aku mengundangnya untuk pergi ke sebuah
kedai minuman bersamaku.

  Dia mengikuti. Dengan menyombongkan diri aku memesan sebotol wine,


menuangnya, membenturkan gelas dengannya, dan menunjukkan bahwa aku cukup
familier dengan kebiasaan minum para siswa, kenyataannya, aku menghabiskan
gelas pertamaku dalamsekali teguk. "Kau sering ke kedai minuman?" dia bertanya
padaku. "Oh, ya," aku berkata malas, "Apa lagi yang orang-orang lakukan? Ketika
kau datang ke sana, itu masih hal yangpaling menarik untuk dilakukan." "Kau
berpikir seperti itu? Mungkin iya. Ada sesuatu mengenai itu yang meracunimu
dengan halus, aspek memabukkan dari itu! Tapi aku merasa bahwa untuk

64
kebanyakan orang yang sering menghabiskan waktu di kedai minuman sama-sama
tersesat. Menurutku, seolah-orang sering mengunjungi kedai minuman, terutama,
adalah sesuatu yang benar-benar Filistin. Bolehlah, untuk satu malam, dengan obor
berkobar, menghidupkan hiruk pikuk dan igauan yang nyata dan indah! Tapi,
untuk pergi lagi dan lagi dengan cara yang sama, satu gelas disusul dengan gelas
yang lain, itu tidak mungkin kenyataan-kan? Dalam sekejap, apa kau bisa
membayangkan Faust duduk malam demi malam di sebuah meja yang direservasi
untuk pelanggan?" Aku minum dan menatapnya dengan tidak bersahabat. "Ya, tapi
tidak semua orang adalah Faust," aku mengatakannya dengan ketus.Dia
menatapku, entah mengapa kebingungan.

   Kemudian dia tertawa dengan semangat lamanya dan keunggulannya. "Baiklah,


untuk apa berdebat mengenai itu? Dalam tahap apa pun, hidup dari seorang
pemabuk atau pemikir bebas agaknya lebih hidup daripada masyarakat yang tidak
bersalah. Kemudian—aku membacanya sekali—Hidup seorang pemikir bebas
adalah salah satu persiapan terbaik untuk menjadi penganut ilmu kebatinan. Selalu
saja orang-orang seperti Santo Augustine yang menjadi peramal. Di awal
kehidupannya, dia pun adalah seorang penggemar makanan dan playboy." Aku
curiga dan tidak ingin dia berkuasa atasku. Jadi aku berkata dengan sikap bosanku,
"Ya, setiap orang punya selera masing-masing! Sejujurnya ya, aku sama sekali
tidak tertarik untuk menjadi seorang peramal atau apa pun yang seperti itu." Mata
penuh pengetahuan Demian sedikit memicing, berkilat ke arahku.

   "Temanku, Sinclair," dia berkata pelan, "Bukan maksudku untuk mengatakan hal
apa pun yang tidak menyenangkan padamu. Selain itu, baik aku maupun kau tidak
tahu untuk tujuan apa kau meminum gelas berisi winemu sekarang. Hal yang ada
di dalammu yang merupakan hidupmu telah mengetahui alasannya. Itu sangat
bagus untuk mengetahui ini, bahwa di dalam kita ada diri yang mengetahui
segalanya, mengharapkan segalanya, melakukan semua hal lebih baik daripada
yang kita sendiri lakukan. –tapi maafkan aku, aku harus pulang." Perpisahan kami
sangat singkat. Aku terus duduk di sana, sangat merasa tidak pada tempatnya,
menyelesaikan botol minumanku, dan menemukan ketika aku hendak pergi,
Demian telah membayar tagihannya. Itu membuatku lebih jengkel. Pemikiranku
sekali lagi terpusat pada insiden kecil itu. Mereka dipenuhi oleh Demian.

65
   Dan perkataan yang dia ucapkan di kedai minuman pinggiran kota kembali
menyeruak di dalam kenanganku, dengan aneh terasa segar dan tak terlupakan. –
"Sangat baik untuk mengetahui bahwa di dalam kita ada diri yang mengetahui
segalanya!" Aku menatap lukisan yang tergantung dinding dan sekarang
langitsudah benar-benar gelap. Tapi aku melihat matanya masih bersinar. Itu
adalah sorot mata Demian. Atau sosokdi dalam diriku. Sosok yang mengetahui
segalanya. Betapa aku merindukan Demian! Aku tidak tahu satu hal pun
mengenainya, dia tidak terjangkau olehku.

Aku hanya tahu bahwa agaknya dia adalah mahasiswa di sebuah universitas dan
bahwa setelah dia menyelesaikan sekolah menengahnya, ibunya pindah dari kota
kami.

  Kembali pada hubunganku dengan Kromer, aku mencari setiap kenangan tentang
Max Demian. Betapa banyak hal yang dia pernah katakan padaku dan sekarang
aku mendengarnya sekali lagi! Dan semuanya masih terasa bermakna, taklekang
oleh waktu, dan kepedulian terhadapku! Bahkan apa yang dia katakan di
pertemuan terakhir kami yang tidak menyenangkan, tentang pemikir bebas dan
santo, yang tiba-tiba dengan jelas hadir dalam jiwaku.

   Tidakkah semua hal sejalan bersamaku seperti itu? Tidakkah aku hidup dalam
kemabukan dan kekotoran, kehampaan dan ketersesatan, hingga dengan impuls
baru dalam hidupku, sesuatu yang bertolak belakang memasuki kehidupan di
dalamku, kerinduan akankemurnian, hasrat tak terpenuhi akan kekeramatan?
Kemudian aku kembali mengorek ingatanku, malam telah semakin larut, di luar
sedang hujan. Di dalam ingatanku pun, aku mendengarnya turun hujan, itu adalah
waktu di bawahpohon kastanya ketika dia menanyaiku mengenai Franz Kromer
dan telah menebak rahasia-rahasia pertamaku.

   Satu hal diikuti oleh hal lain memasuki benak, percakapan sewaktu perjalanan ke
sekolah, kelas Penguatan. Dan akhirnya aku mengingat pertemuan paling
pertamaku dengan Max Demian. Sekarang, apa yang itu tadi? Aku tidak langsung
menyambarnya, tapi aku memberi diriku waktu, aku sepenuhnya tenggelam dalam

66
persoalan itu. Dan sekarang aku mengingatnya pula. Kami telah berdiri di depan
rumahku, setelah dia memberitahuku opininya mengenai Kain. Kemudian dia
berbicara mengenai lambang tua yang telah musnah yang terletak di atas pintu
masuk rumahku, di atas batu penutup yang melebar dari bawah ke atas. Dia bilang
dia tertarik padanya, dan orang-orang harus memperhatikan hal seperti itu.

   Malam itu aku bermimpi mengenai Demian dan lambang. Itu terus-terus berubah
bentuk, Demian memegangnya di dalam tangan, seringkali itu terlihat kecil dan
abu-abu, sering juga luar biasa besar dan beragam warna, tapi dia menjelaskan
padaku bahwa meskipun demikian itu adalah satu dan sama. Tapi akhirnya dia
membujukku untuk menelan lambang itu. Setelah aku menelannya, aku merasakan
ketakutan yang sangat buruk bahwa burung dari lambang yang kutelan hidup di
dalamku, memenuhi ruang di dalamnya, dan mulai menghabisiku dari dalam.
Dipenuhi oleh ketakutan yang mematikan aku terbangun dengan kaget.

   Benakku menjadi jelas, itu adalah di tengah malam, dan aku mendengar hujan
memasuki ruangan. Aku bangkit untuk menutup pintu dan selagi aku
melakukannya, aku menginjak benda berwarna cerah yang tergeletak di lantai. Di
pagi hari aku menemukan bahwa itu adalah lukisan yang kulukis. Lukisan itu
tergeletak di atas lantai basah dan telah mengeriting. Aku memaparkannya di
antara dua lembar kertas pengering dan menekannya di dalam buku yang berat
untuk mengering. Ketika aku menengoknya esok hari, lukisan itu mengering. Tapi
lukisan itu telah berubah. Bibir merahnya menjadi semakin pucat dan sedikit lebih
kecil. Sekarang itu semakin mirip bibir Demian.

   Aku sekarang hendak menggambar lukisan baru, burung pada lambang. Aku
tidak lagi ingat jelas seperti apa dia terlihat, dan, setahuku, beberapa detailnya
bahkan tidak dapat diketahui meskipun dilihat dari dekat, karena benda itu sudah
tuadan sering dicat ulang. Burung itu sedang berdiri atau duduk di atas sesuatu,
mungkin di atas sebuah bunga, atau sebuah keranjang, atau sarang, atau di atas
pohon. Aku tidak mengkhawatirkan hal itu, tapi memulai dengan sebuah elemen
yang idenya cukup jelas untukku. Dikuasai oleh kebutuhan yang kabur, aku
memulainya dalam warna yang kuat, kepala burung di dalam lukisanku berwarna
kuning keemasan. Selagi suasana hati menguasaiku, aku lanjut mengerjakannya
dan menyelesaikannya dalam beberapa hari.

67
   Sekarang itu terlihat seperti burung pemangsa dengan kepala yangtebal dan tajam
dari seekor Elang Alap Eurasia. Di bagian bawah tubuhnya dilingkupi oleh bola
duniawi yang gelap, darinya dia mencoba membebaskan diri, seakan itu berasal
dari sebuah telur raksasa, latar belakangnya merupakan biru langit. Selagi aku
mempelajari lukisan lebih lama, semakin dia terlihat untukku seakan dia adalah
lambang berwarna cerah yang muncul di dalam mimpiku.

   Aku tidak akan dapat menulis sebuah surat pada Demian bahkan meski aku tahu
harus mengirimnya ke mana. Tapi dengan firasat surreal yangsama dengan yang
membimbing semua aksiku saat itu, aku memutuskan untuk mengiriminya lukisan
Elang Alap Eurasia itu, entah apakah itu akan mencapainya atau tidak. Aku tidak
menuliskan pesan padanya, bahkan tidak namaku, aku merapikan ujungnya dengan
hati-hati, membeli sebuah amplop besar dan menuliskan alamat lama temanku.
Kemudian aku mengirimkannya.

   Sebuah ujian sedang menjelang, dan aku menghabiskan waktu lebih banyak pada
pekerjaan sekolah lebih dari biasanya. Aku telah kembali pada sisi baik para guru
semenjak aku tiba-tiba mengubah sikapku yang kurang sopan. Bahkan meskipun
aku mungkin bukan siswa yang baik, tapi baik aku maupun siapa pun tidak ada
yang masih memikirkan mengenai fakta bahwa enam bulan sebelumnya hukuman
pengeluaranku dari sekolah telah dipastikan oleh semua orang.

   Ayahku kini kembali menulis kepadaku lebih dalam nadanya yang sebelumnya
lagi, tanpa celaan atau ancaman. Tapi aku tidak lagi memiliki dorongan untuk
menjelaskan padanya atau siapa pun mengenai apa yang berubah dariku. Itu hanya
sebuah kebetulan bahwa perubahan ini bertepatan dengan harapan dari orangtua
dan para guruku. Perubahan ini tidak membawaku lebih dekat pada yang lainnya
atau membuatku lebih intim dengan siapa pun, itu hanya membuatku semakin
kesepian. Itu tertuju pada tujuan yang sama, pada Demian, pada takdir yang jauh.
Aku sendiri tidak tahu apa itu, untuk apa aku berdiri di tengah hal tersebut.

68
   Itu dimulai dengan Beatrice, tapi untuk beberapa waktu aku telah hidup dengan
lukisan-lukisan dan pemikiran-pemikiranku mengenai Demian di dunia yang
sepenuhnya tidak nyata yang bahkan perempuan itu telah hilang dari pandangan
dan pemikiranku. Aku tidak dapat mengatakan apa pun pada siapa pun mengenai
mimpi-mimpiku, ekspektasiku, perubahan dalam diriku, bahkan meskipun aku
menginginkannya. Tapi bagaimana aku bisa menginginkannya?

69

Anda mungkin juga menyukai