Anda di halaman 1dari 2

“Dindatelah di drop out.”, kabar yang kudapatkan dari Aldo yang baru saja melewati ruang bk.

Kabar ini menjadi kabar yang meyayat hati kami sekelas karena ketua kelas kami yang terkenal
akan kedisiplinannya bisa ketahuan mencontek. Perasaanku cukup tercampur aduk sekaligus
keheranan bagai ayam dibawa ke lampok mengingat dia sudah seperti saudaraku di tanah
perantauan ini. Aku yang masih terbawa suasana disadarkan oleh suara lonceng sekolah yang
sudah berbunyi menandakan pembelajaran dimulai.
Kulihat raut muka Bu Weni yang masuk ke kelas dengan muka seperti muka anyelir
kuning dan kemudian menceramahi kami selama satu jam penuh. Percakapan yang penuh rasa
kecewa menemani hari selasa yang suram itu. Kegiatan pembelajaran pun berjalan tidak lancar
dan kondusif karena guru guru terus saja menyinggung Son. Saat pembelajaran berakhir, kami
mencari Dinda namun hasilnya nihil. Dia sudah pergi duluan saat kami sedang kbm tadi. Entah
apa maksudnya meninggalkan kami tanpa salam perpisahan. Mungkin karena malu atau rasa
sombongnya itu. Aku juga berusaha menghubunginya melalui Whatsapp dan Instagram namun
tak kunjung dibalas.
Jika kita kuputar waktu ke beberapa bulan lalu, saat dimana kita melalui kegiatan pra
asrama bersama dan disiksa oleh para senior yang tak pandang bulu itu. Itulah perkenalan
pertama kita yang ditemani rasa asam pahit kehidupan. Mengingat kita diperkenalkan saat
bersama sama dihukum fisik saat terlambat masuk ke barisan. Kemudian saat kita bersama sama
berlari mengitari lapangan upacara di siang terik itu. Rasa panas yang menusuk menembus
lapisan kain yang tebal itu menjadi teman kita. Memang indah untuk dikenang namun tidak
untuk diulang.
Kemudian saat kondisi sekolah ini sedang genting digempari oleh cluster covid yang
menjangkit asrama. Dimana kita sama sama terjangkit dan diharuskan beristirahat di asrama
tanpa memegang teknologi dan hanya dihibur oleh alkitab. Dimana kita sama sama berdoa
kepada Tuhan untuk kesehatan kita dan para senior itu agar tidak “bertamu” ke kamar kita. Lalu
kita bersama sama memakan pisang dari sanak saudaramu itu.
Lalu aku kembali disuruh kembali ke rumah oleh orang tuaku karena mereka khawatir
akan keadaanku yang terjangkit covid disini. Sehingga kita berpisah dan kau mengantarku
sampai ke entrance. Aku yang kembali mengikuti pembelajaran daring dan kau tetap mengikuti
pembelajaran normal seperti biasa. Kita sempat berdiam diaman karena adanya perbedaan kubu
antara siswa online dan offline.
Namun saat kembali ke asrama di Juli itu, seperti merasa nostalgia akan memori itu. Lalu
kita bertemu kembali dan saling melepas rindu seakan tak ada tembok membatasi kita. Hingga
aku pun merasa rasa gejolak asing menggempar di dadaku. Hingga ada rasa ingin diriku
memilikimu.
Kemudian kita ditempatkan sebaris dan saling berdekatan di kelas, yang membuat hatiku
bergejolak senang dan penuh perasaan bahagia. Dimana kita saling bercerita dan bertukar pikiran
akan masalah hidup kita. Mulai dari pergumulan mu tentang nilai, orang tua, bahkan hal hal tak
jelas sekalipun menjadi semangat dalam menjalani hariku. Hari hari itu adalah waktu ternyaman
yang aku rasakan di masa SMA ini.
Hingga saat aku mengetahui bahwa ada ada seseorang yang menyukaimu dan
membuatku dikuasai oleh api cemburu. Berhari hari aku terjebak dalam pemikiran abstrak dan
tak berdasar mengenai kejelasan ubunganmu dengannya, sampai sampai aku jatuh demam dan
tak fokus belajar. Aku pun akhirnya mencoba mengungkapkan dan bertanya akan kejelasan
hubunganmu itu dengan Aldo karena aku terlalu malu untuk memasang muka payahku
dihadapan bungamu yang indah itu.
Ternyata itu semua hanyalah delusi dan halusinasiku yang penuh prasangka saja, setelah
aku mengetaui bahwa kau tidak membalas perasaanya itu. Aku dipenuhi rasa bahagia yang hina
seperti para pejabat yang korupsi uang rakyat itu. Aku memutuskan untuk berjalan maju dan
mencoba mendapatkan mu dengan tulus.

Mengingat itu semua masih tak habis pikir apa alasan sebenarnya kau meninggalkan
kami tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Kami terus bersikeras ke Bu Weni agar bisa
menghubunginya. Namun, Bu Weni terus mengabaikan dan tak menganggapnya serius. Aku pun
menco

Anda mungkin juga menyukai