Anda di halaman 1dari 7

-Mardyana-

“Tergapainya Impian”

Kicauan burung dipagi hari yang akrab di telinga dengan udara sejuk yang masuk dari
jendela yang terbuka, aku masih tertidur pulas, padahal hari ini hari pertama aku masuk sekolah
SMA. Jam terus berjalan, tak lama kemudian alarm terus berbunyi yang mengganggu tidur ku
dan memaksa aku untuk segera bersiap berangkat ke sekolah. Aku masuk ke sekolah terbaik di
Jakarta dengan jalur prestasi dan beasiswa dari pemerintah, bisa dibilang aku ini cukup pintar
dan cerdas. Tapi, aku merupakan orang yang kurang percaya diri dalam hal pertemanan atau
berhubungan sosial. Setelah sampai di depan gerbang sekolah, aku berharap hari ini dapat
berjalan dengan lancar, agar mendapat teman yang memahami keadaan diriku, bukan hanya bisa
mencaci dan memaki saja. Aku ingin kehidupan sekolahku normal seperti orang lain, bercanda
tawa, kemana-mana selalu dengan teman, dan memiliki seorang kekasih. Kehidupan sekolahku
sebelumnya tidak begitu baik, aku memiliki sifat pendiam dan susah berkomunikasi atau biasa
disebut introvert.

Bunyi bel masuk terdengar, semua siswa berbaris di depan kelas dan segera masuk ke
dalam kelas. Seperti biasa, pertemuan pertama adalah perkenalan diri. Dengan rasa yang sangat
gugup aku pun mencoba memberanikan diri untuk memperkenalkan diriku. “Perkenalkan nama
saya Deka Saputra, lulusan dari SMPN 1 Jakarta.” Dengan suara pelan dan menunduk, aku
masih merasa malu sampai ketempat duduk. Salah satu teman yang duduk di depanku berbisik
padaku. “Istirahat nanti kekantin bareng yuk!” ajak Vito. Aku menganggukkan kepala. Tak lama
kemudian, bel istirahat berbunyi, kami berdua berjalan menuju kantin, kami mengobrol dan
ingin saling mengenal lagi. “Deka, rumah kamu dimana?” Tanya Vito dengan akrabnya. “di jalan
tanjung wangi” jawabku singkat. Dengan sikapnya yang humble, Vito menceritakan dirinya di
sepanjang perjalanan menuju kantin. Aku hanya terdiam mendengar cerita hidupnya yang sangat
mewah. Ia seorang anak dari konglomerat, dapat keluar daerah kapan saja ia mau, bahkan keluar
negeri sekalipun ia mampu. Vito Nugroho orang yang sangat memukau bagiku, walaupun ia
anak orang kaya tapi ia tidak sombong, bahkan orang yang sangat ramah dan memiliki percaya
diri yang tinggi. Aku sedikit iri dengannya, karena kepercayaan dirinya, ia mempunyai banyak
teman laki-laki maupun perempuan, Sedangkan aku hanya berteman dengannya saja.

Banjarmasin, 2022
-Mardyana-

Setelah sampai di kantin, semua mata perempuan tertuju kepada kami, lebih tepatnya
kepada Vito. Ternyata Vito anak yang popular pada kalangan perempuan di sekolah. mungkin
karena bukan hanya ganteng, ia memiliki daya tarik tersendiri dengan kulitnya yang hitam
manis, bulu mata panjang, alis tebal, hidung sedikit agak mancung, dan tinggi, sehingga para
perempuan terpana dengan Vito. Aku bingung harus melakukan apa saat menjadi perhatian
banyak orang. Lalu, Vito yang melihat aku kebingungan berkata, “tidak usah bingung Ka, angkat
kepalamu, jangan takut, biasa aja.” Aku mencoba mengikuti kata-katanya, karena ada Vito, aku
lebih percaya diri mengangkat kepalaku yang selalu aku tundukan.

Minggu ketiga masuk sekolah, Vito dan aku menjadi semakin akrab seperti sahabat.
Sedikit demi sedikit kepercayaan diri dan keberanianku dalam kehidupan sosial mulai
berkembang, hal tersebut karena dukungan dan bantuan dari Vito, sahabatku. Melihat
keakrabanku dengan Vito, Alesha yang merupakan teman lama Vito tidak suka melihat kami
terlalu akrab karena ia merasa tersingkirkan. Alesha menghampiri kami dan melihatku dengan
tajam sehingga membuatku risih dan ia berkata “Siapa, Vit?” tanyanya kepada Vito sambil
menunjuk aku dengan muka sinis. Vito mengenalkan kami satu sama lain, tapi dia tetap dengan
mata sinisnya. “Oh, sekarang dengan teman baru nih, teman lama dibuang?” Alesha menyindir
Vito dengan sedikit candaannya yang sebenarnya dia cemburu. Tapi, Vito mengetahui bahwa
Alesha cemburu jika ia berteman dengan yang lain. “Nggak, bukan begitu. Aku mau kita bertiga
berhubungan baik sebagai teman. Ya?” Vito mencoba menghibur Alesha dan meyakinkannya
untuk menerimaku sebagai teman mereka. Dia hanya diam mendengar perkataan Vito dan
langsung pergi, dan kami pun langsung kembali ke kelas.

Hari ini hari yang membingungkan dan membahagiakan bagiku, dua peristiwa yang
terjadi dalam satu hari. Mendapat teman dan mendapat saingan. Bagaimana tidak, ternyata
Alesha juga murid berprestasi. Di sekolah itu hanya 5 orang saja yang diterima melalui jalur
prestasi, sisanya jalur tes dan jalur mandiri. Aku yang mengetahui itupun merasa memiliki
saingan, baik dalam hal akademik maupun dalam pertemanan. Keesokan harinya, aku terlambat
datang ke sekolah. selain aku, ada beberapa murid yang lain juga terlambat. Tak lama kemudian,
Alesha baru saja datang dan terlambat juga. Aku sedikit kesal melihat Alesha karena kejadian
kemarin, tapi aku juga merasa kasian melihatnya dimarahi guru BK yang menjaga dan
menghukum murid-murid yang terlambat. “Kalau kamu terlambat lagi besok, kamu Bapak

Banjarmasin, 2022
-Mardyana-

skorsing. Kamu sudah satu minggu terlambat terus, kamu niat sekolah tidak! Nilai kamu bagus,
sayang jika kamu tutupi dengan sikap tidak disiplin. Ingat pesan bapak tadi!” Kata pak Hasan
dengan tegas. Alesha hanya diam, tapi sangat santai saat dimarahi bapak. Kami yang terlambat
dihukum dengan lari tiga putaran mengelilingi lapangan, dilanjutkan dengan membaca Al-Qur,an
sampai bel berbunyi yang menandakan mata pelajaran pertama telah habis. Setelah itu, kami
diberpolehkan masuk kelas masing-masing.

Saat masuk kelas, semua orang melihat kearahku, termasuk Bu guru dan Vito dengan
wajah yang penuh tanda tanya. Bu guru langsung menyuruhku duduk, aku bergegas menuju ke
tempat duduk. Setelah pelajaran selesai, Vito bertanya kepadaku, “Kenapa terlambat?” “Jalanan
macet bro, dan aku tadi bangun kesiangan hehe...” Jawabku dengan nada yang santai. Kemudian,
kami keluar kelas dan jajan di kantin berdua. Aku dan Vito kemana-mana selalu bersama, seperti
anak kembar yang tidak bisa dipisahkan. Aku merasa bersyukur dengan kehidupan SMA ku yang
aku inginkan tercapai, walaupun belum semua. Tapi, setelah mendengar perkataan Vito, seketika
perasaanku campur aduk, marah, takut, khawatir, terkejut, dan cemas. “Aku akan pindah sekolah
ke luar negeri dua minggu lagi. Karena orangtuaku ada pekerjaan disana yang lumayan lama, aku
terpaksa ikut dan harus pindah sekolah.” jelas Vito dengan nada suara yang agak sedih. Dengan
rasa yang campur aduk aku mencoba untuk tenang dan memberikan dukungan pada Vito agar ia
tidak merasa bersalah. Tiba-tiba Alesha datang dengan wajah yang serius dan berteriak marah
memanggil Vito serta dengan mata yang berkaca-kaca. “VITO! Kenapa nggak bilang langsung
kalo mau ke luar negeri? Kenapa hanya lewat chat,Vit? Kesal banget aku, aku ini teman kamu
bukan sih. Kapan kamu pergi?” Alesha bertanya dengan kesal kepada Vito. “Iyaa, aku minta
maaf kalo aku memberitahu hanya lewat chat, aku ingin kamu yang pertama tahu kalo aku akan
pergi, aku akan pergi dua minggu lagi Sha.” Jawab Vito dengan suara lembut dan kalem.
Mendengar jawaban dari Vito, Alesha pecah dengan tangisnya yang ia tahan, entah itu menangis
terharu atau sedih, mungkin perasaannya juga campur aduk sama sepertiku. Aku dan Vito
mencoba menenangkan Alesha. Setelah Alesha tenang, ia berkata “Baiklah, aku akan menerima
kenyataan kalau kau akan pergi dalam waktu yang lama. Dengan waktu yang tersisa dua minggu
ini, aku ada permintaan terakhir.” “apa itu?” Tanya Vito. “Aku ingin kita menghabiskan waktu
bersama, cuma berdua saja, agar ada kenangan yang tersisa dari persahabatan kita ini.” Jawab
Alesha dengan penuh harapan agar Vito mengabulkan permintaannya. Tapi, aku tidak bisa
terima karena Vito akan tidak ada waktu berteman dan bermain denganku. “Aku tidak setuju!

Banjarmasin, 2022
-Mardyana-

Vito juga harus bermain bersamaku!” Sahutku dengan tegas di tengah percakapan mereka. Aku
dan Alesha sama-sama melotot, Vito melihat hal itu mencoba untuk mendamaikan kami.
“Baiklah, baiklah.., karena aku memiliki hanya sedikit waktu, bagaimana kalau main bersama
saja, kayanya asyik juga kalo bertiga. Lagipula aku nggak bisa juga setiap hari bersama kalian,
aku harus membereskan barang-barangku.” Setelah dipikir-pikir, benar juga yang dikatakan
Vito, aku menyetujui yang dikatakan Vito. Sepertinya, Alesha juga setuju dari raut wajahnya.
Selama dua minggu kami main bersama, bercanda tawa, perkelahian kecil antara aku dan Alesha,
sampai membicarakan hal yang mendalam dari persahabatan. Ya, kini Vito telah berhasil
membuat aku dan Alesha berdamai. Di hari keberangkatan Vito, kami ke rumahnya untuk
menyampaikan salam perpisahan. Alesha menangis lagi, tapi ia sudah menerima Vito pergi, dan
aku juga meneteskan air mata tanpa ku sadari. Begitu berartinya Vito bagiku, ia telah mengubah
hidupku menjadi lebih baik, aku berharap kami akan bertemu lagi di lain waktu.

Vito pergi sudah dua tahun lamanya, tapi rasa sedih masih tersisa di dada. Kini aku sudah
kelas 12 IPA 2 di SMAN 1 Jakarta, yang harus memikirkan rencana kedepan pendidikanku.
Karena setiap tahun kelas diacak, tahun ini Alesha satu kelas dengan ku. Kami tetap masih
bersaing dalam hal akademik, walaupun pertemanan kami sudah cukup baik karena Vito. Kami
masih berhubungan dengan Vito, meski lewat online. Vito terlihat lancar dalam pendidikannya
disana, semoga kami juga lancar dalam menjalankan sekolah kami. Alesha dan aku kini sering
main bersama, membahas pelajaran. Kami saling membantu jika ada yang kesulitan dalam
memahami materi pembelajaran, tapi kalo soal nilai kami tetap berbalap-balapan agar menjadi
yang terbaik. Pada hari senin, selesai upacara kepala sekolah memanggil kami berdua untuk ke
ruang kepala sekolah. Bapak kepala sekolah memberitahukan info tentang beasiswa penuh
perguruan tinggi favorit di luar negeri. “Beasiswa ini hanya untuk murid yang berprestasi seperti
kalian bedua. Tapi, sayangnya hanya ada satu beasiswa. Jadi, salah satu diantara kalian yang
akan mendapatkannya.” Penjelasan dari Bapak Hendra. “ bagaimana kami bisa mendapatkan
beasiswa itu pak?” Tanya Deka. “Yang mendapatkan beasiswa tersebut harus ada surat
rekomendasi dari sekolah. Nah, untuk mendapatkan surat rekomendasi sekolah, kalian harus
memenangkan lomba cerdas cermat sains tingkat provinsi yang akan dilaksanakan bulan depan.
Juara yang tertinggi, ia yang akan mendapatkan surat dan beasiswa ini.” Kepala sekolah
menjelaskan syarat agar bisa mendapatkan beasiswa tersebut. “Baik, terima kasih Pak,
pemberitahuannya.” Ucap Alesha.

Banjarmasin, 2022
-Mardyana-

Saat kami keluar ruangan, kami bertatapan dengan wajah yang mengerut dan menantang,
seolah-olah kami memulai sebuah pertarungan. Dengan semangat dan kegigihan untuk
memperebutkan beasiswa itu, aku selalu belajar giat setiap hari. Ini adalah kesempatan yang
sangat bagus bagiku, aku tidak mungkin bisa melanjutkan ke perguruan tinggi dengan gaji
orangtuaku yang tidak begitu banyak, dan hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari saja. Aku
sangat berharap bisa mendapatkan beasiswa itu. Disisi lain, Alesha juga menginginkan beasiswa
itu, karena ia ingin melanjutkan studinya yang sangat ia impikan. Kalau tidak dengan beasiswa,
ia tidak sanggup dengan biaya yang sangat banyak, sedangkan ia hanya tinggal bersama kakak
perempuannya yang bekerja sebagai pelayan kafe dengan gaji yang tidak memungkinkan untuk
membayar biaya kuliah Alesha.

Dalam proses persiapan lomba, kami hanya belajar mandiri karena kami tidak mau
berbagi ilmu atau informasi apapun satu sama lain. Kepala sekolah yang melihat hal itu
menggelengkan kepala dan menasehati kami saat dipanggil ke ruangannya. “Bapak tahu kalian
berlomba-lomba untuk menjadi juara dalam lomba cerdas cermat ini. Tapi, lomba kali ini
berbeda dengan tahun lalu yang hanya memiliki satu babak. Kali ini ada dua babak, yaitu babak
yang bekerja tim dan babak yang individu. Maka dari itu, bapak ingin kalian bekerja sama dalam
lomba tersebut. Bapak sudah menemukan guru sains untuk kalian belajar dari beliau, bapak
harap kalian kompak dalam lomba nanti.” Kami berdua terkejut mendengar bahwa kami akan
menjadi satu tim dalam lomba nanti. “Aku tak mau satu tim dengan Deka, Pak.” Protes Alesha
kepada kepsek. “Kalau kamu tidak mengikuti lomba, maka beasiswa Deka yang
mendapatkannya. Jadi, bagaimana Alesha?” Kepala sekolah menyanggah protes dari Alesha.
“Baiklah, saya akan mengikuti lomba itu Pak.” Jawab Alesha dengan lemas dan pasrah.

Hari demi hari kami lalui dengan belajar bersama, Alesha yang serius belajar terlihat
sangat cantik menurutku, entah mengapa aku mengaguminya saat dia menulis. Apakah aku suka
dia? atau hanya sekedar suka saja? Entahlah, saat ini dia adalah musuhku dalam perlombaan ini.
Aku tidak boleh lengah hanya dengan pesonanya itu, aku harus fokus. Tapi, suatu ketika ada rasa
yang aneh dalam dadaku saat Alesha kebingungan dengan salah satu soal dan bertanya padaku
dengan lembut. “Deka, ini maksudnya apa ya? Aku tidak mengerti, boleh kamu jelaskan?” Aku
hanya terpaku dengan matanya yang indah dan suara lembutnya yang tidak biasanya ia begitu.
“DEKA! Kamu kenapa sih liatin aku begitu. Jadi bagaimana ini, aku tidak mengerti.” Teriak

Banjarmasin, 2022
-Mardyana-

Alesha yang kesal karena tidak direspon olehku yang hanya melihat dirinya saja. “Ah iya, maaf
tadi aku tidak fokus.” Jawabku kaget. Dan aku menjelaskan apa yang tidak dipahaminya. Setelah
itu, aku merasa hanya ingin memandanginya terus-menerus. Tapi, sesekali aku sadar kalau
Alesha adalah sainganku dalam memperebutkan beasiswa.

Hari perlombaan tinggal 1 hari lagi. Besok, aku dan Alesha akan memulai pertempuran
yang sebenarnya. Berarti hari ini hari terakhir kami belajar bersama, entah mengapa aku menjadi
sedih karena tidak bersamanya lagi. Hari ini pembelajaran untuk lomba selesai lebih lambat,
bahkan sampai malam. Saat sudah selesai, aku bersiap untuk pulang dan berpikir untuk
mengajak Alesha pulang bersama. Alesha langsung mengiyakan ajakanku, karena tidak ada
pilihan lain. Kakaknya tidak bisa menjemput karena hari ini menggantikan Shif kerja temannya
yang sedang sakit. Kami pun pulang bersama menaiki sepeda yang biasa aku bawa ke sekolah.
Alesha berdiri dibelakangku dengan berpegangan dibahuku dan aku merasakan sensasi itu lagi
dari dalam dadaku, aku hanya bisa terdiam tidak dapat berbicara karena merasa canggung.
“Terima kasih ya kamu mau nganterin aku pulang, aku bingung tadi bagaimana pulang. Aku
takut pulang sendiri kalau malam-malam begini.” Alesha memulai pembicaraan dengan suara
yang lembut itu lagi dan memegang bahuku dengan erat seolah ia memelukku. Hatiku sangat
senang dengan perlakuan Alesha kepadaku malam itu, aku sempat berpikir kalau dia juga suka
denganku. “Iya, sama-sama” jawabku singkat karena kehabisan kata-kata.

Keesokan harinya, lomba cerdas cermat dimulai. Pada babak pertama, yaitu babak yang
dilakukan dengan tim, aku dan Alesha menjawab dengan cepat dan tepat, sehingga kita
memenangkan babak pertama. Sebelum melanjutkan babak kedua, semua peserta beristirahat
terlebih dahulu. Ketika kami sedang istirahat, Alesha mendapat kabar dari guru kalau kakaknya
kecelakaan dan sudah dibawa ke rumah sakit. Setelah mendengar berita tersebut, Alesha
langsung lemas, aku dan guru-guru membantu menenangkan Alesha. Alesha ingin pulang,
namun tidak bisa, karena dia harus menyelesaikan lomba ini. Alesha dengan pasrah melanjutkan
babak kedua, walaupun tidak begitu semangat seperti pada babak pertama tadi. Babak kedua
yaitu babak yang dilakukan dengan individu. Di babak kedua ini persaingan sangat ketat, karena
semua yang ada disana merupakan orang yang cerdas-cerdas. Aku sangat empati melihat Alesha,
tapi kami harus tetap mengerjakan soal cerdas cermat ini. Setelah selesai, Alesha langsung
bergegas minta izin untuk pergi ke rumah sakit tanpa mempedulikan hasilnya. Alesha pergi

Banjarmasin, 2022
-Mardyana-

bersama salah satu guru, dan aku menunggu hasil pengumuman pemenangnya. Setelah
pemenang diumumkan, ternyata aku menjadi juara harapan 1 dan Alesha tidak juara. Aku merasa
sedih dan juga senang, senang karena menjadi juara dan akan mendapatkan beasiswa ke luar
negeri. Tapi juga sedih, karena seharusnya Alesha yang memenangkan ini, kuakui bahwa Alesha
lebih cerdas daripada aku, hal tersebut dapat aku lihat pada babak pertama tadi. Namun, karena
ia memikirkan kakaknya yang terbaring di rumah sakit, akhirnya membuat ia tidak fokus.

Pada hari libur, aku menjenguk kakak Alesha dan membawa buah tangan. Alhamdulillah
Kakaknya sudah sadar dan boleh pulang besok. Alesha yang duduk disamping kasur kakaknya
langsung berdiri sambil menyuruhku duduk di kursi panjang luar ruangan. Sepanjang kami
berbincang membahas lomba kemarin, Alesha menyerah dengan beasiswa tersebut, dan
mengikhlaskannya padaku. Tapi, aku berniat untuk memberikan beasiswa itu untuk Alesha dan
aku juga ingin menyampaikan perasaan suka yang selama ini aku simpan. “Tidak, sebenarnya
kamu yang menang, sha. Aku akan memberikannya padamu.” Ujarku. “Jangan, kamu sangat
menginginkan beasiswa itu. Aku tidak mau merebut kebahagiaanmu yang sudah kau dapat.”
Sahutnya melarangku untuk memberikan beasiswa itu. “Aku bahagia kok, walaupun tidak
mendapatkan beasiswa itu. Karena bahagiaku ada di tempat ini.” Sahutku dengan menyampaikan
perasaanku. “maksudnya apa, Deka?” Tanyanya memastikan. “Aku sudah lama memendam rasa
ini, sejak kita belajar bersama di tempat les. Aku suka kamu, Sha.” Jawabku langsung to the
point. Alesha terkejut dan tidak bisa berkata apa-apa, tapi terlihat dari matanya kalau dia juga
menyukaiku. “Kenapa kamu baru bilang, ya! Aku juga suka kamu.” Jawabnya dengan sangat
bahagia. Tapi, ia masih tidak mau menerima beasiswa yang aku berikan. Aku memikirkan cara
agar ia mau menerimanya, yaitu memberikan beasiswa itu sebagai hadiah pertama dari hari
jadian kami. Karena berupa hadiah, akhirnya Alesha mau menerimanya. Dan yang paling
penting, dia juga mau menerima rasaku.

Banjarmasin, 2022

Anda mungkin juga menyukai