Anda di halaman 1dari 106

NASKAH TEMA : CINTA SEGITIGA

BUKU : SEUJUNG PENA IMPIAN

CINTA PERTAMA

Anisah

Jatuh cinta adalah suatu rasa yang indah yang bisa di rasakan oleh siapa saja orang di dunia tanpa
terkecuali. Namun perjalanan jatuh cinta tidak selalu mulus seperti apa yang aku rasakan dulu ketika
pertama kali jatuh cinta. Namaku Ghea Putri Mayangsari, Ibu rumah tangga yang dulu cinta
pertamanya bertepuk sebelah tangan pada sahabatnya sendiri yang sekarang jadi adik iparnya.

___

Dulu aku bersahabat dengan 3 orang, yang pertama namanya Viona Oki Rosalia, yang kedua Kevin
Setyawan dan yang ketiga Bayu Ageng Dwi Prasetyo. Kami berteman sejak kami kelas 4 SD, karena
aku pindahan dari Bandung ke Yogyakarta ikut nenek. Menemani masa- masa tua nenek di kampung
kelahiran mama. Di antara mereka bertiga, aku paling dekat dengan Bayu apalagi sejak kelulusan SD.
Kami berpisah beda SMP sedangkan aku dengan Bayu satu kelas. Aku dan Bayu sangat dekat bahkan
kemanapun pergi sering bersama Bayu daripada dengan ke-dua sahabatku itu. Sering juga di kira
kami berpacaran karena memang saking dekatnya. Layaknya seorang lelaki dan perempuan jika
terus bersama maka salah satu diantaranya ada yang menyimpan rasa, katanya. Seiring berjalannya
waktu aku mengalami masa pubertas, aku mulai timbul rasa suka, rasa penasaran dan rasa ingin
terus dekat dekat Bayu. Jantung seolah berdetak lebih kencang pada momen-momen tertentu jika
bersama Bayu.

__

Bayu adalah cinta pertamaku. Bayu terkenal anak yang pendiam, manis, pintar, dan juga tampan
makanya banyak cewek-cewek yang tertarik. Sedangkan aku, aku gadis biasa yang bertubuh sedikit
gembul dan introvert cemas. Introvert cemas adalah pemalu, grogi, cenderung tertutup dan merasa
tidak nyaman jika berdekatan dengan orang lain. Jika di sandingkan dengan Bayu memang aku
bukanlah bandingannya. Bayu juga memperlakukan aku sangat baik maka lama kelamaan aku mulai
timbullah rasa suka. Hingga pada suatu hari sedang liburan sekolah, aku pulang ke Bandung, dan
Bayu chat

[“Put, gimana kabarnya? Aku kangen. Kamu kesini lagi kapan? Kalau sudah datang kabari ya aku mau
ngomong sesuatu. Liburannya Udah seminggu jangan kelamaan di sertai emot ketawa.”]

Aku yang memang sudah mencintainya tentu saja sangat senang karena merasa di kangeni dan hati
juga berdebar tidak karuan.

[“Baik Bay, ok. Aku pulang besok pagi, nyampe stasiun sore, jemput aku ya ahahahaa”]

[“Ok”]

[“Ajak juga vio dan Kevin, udah kangen banget lama tidak jumpa”.]

[“Iya.. kamu libur sekolah 3 Minggu di habiskan di Bandung, harusnya waktu kita lepas rindu”.]
[“Iya, besok ya... Jangan telat emot ketawa”.]

__

Pukul 15.00 benar saja Bayu, Viona dan Kevin menjemput tepat waktu. Tapi ada yang aneh tidak
biasanya, kali ini ada Tika. Tika adalah kakak kelas yang populer, pintar, cantik mudah bergaul dan
sekaligus ketua OSIS di sekolah kami. Aku yang memang tidak dekat dengan Tika dan tidak biasanya
ada bersama diantara kami timbul tanda tanya.

Bayu: “ kenalin Put, ini Tika kamu udah tau kan?”

Aku:” iya, kenalin aku Putri (sambil berjabat tangan)”

Ada rasa canggung diantara kami karena memang tidak terbiasa. Tiba-tiba saja Viona memecah
kecanggungan.

Viona:” eehh makan yuk, kangen tau. Makan baso langganan kita.”

Aku, dan Kevin serentak :”hayuuk.”

Bayu: “ikut sajalah.”

Makan selesai Viona dan Kevin pulang katanya mau ngerjain tugas, juga karena udah ke sore-an.
Tersisa aku, Bayu dan juga Tika. Bayu dan Tika terlihat tidak biasa seperti ada sesuatu, aku yang
melihat panas mungkin ini yang di katakan orang-orang cemburu tapi sebisa mungkin ku tahan.

Aku: “ habis ini aku langsung pulang aja ya”

Bayu: “ iya, antar Tika dulu tapi ke sekolah katanya mau ambil tugas”.

Aku:”hmm”

__

Aku:” Bay, katanya mau ngomong sesuatu? Apaan tu?”

Bayu:” mmm menurutmu gimana aku sama Tika? Cocok tidak? Aku sudah lama suka sama Tika, tapi
gak tau Tika suka aku apa tidak. Baiknya tembak apa gimana ya Put?

Bagai bunga layu di tepi sungai yang siap melambai dan ingin hanyut di derasnya air, ketika ia benar-
benar tak lagi dapat bertahan di tangkainya dengan sendirinya ia akan jatuh dan pergi untuk
selamanya. Tiba-tiba saja Bayu bertanya yang tidak seharusnya aku dengar. Memang aku adalah
sahabatnya dan dia adalah sahabatku, tapi mengapa yang kurasakan ini melebihi apa yang
seharusnya?. Padahal aku tahu perlakuan yang dia berikan, dan perlakuan manis itu pada seorang
sahabat, tapi mengapa aku berharap lebih dari sekedar persahabatan. Aku tahu ini salah, dan aku
tahu bahkan ini jauh lebih menyiksa dan menyakitkan di bandingkan harus mencintai orang lain
selain sahabat baikku. Aku harus berpura-pura seolah aku adalah sahabatnya saja, seolah-olah tidak
merasakan sesuatu yang spesial di hati. Benar perasaan ini memang tidak salah yang salah hanya
untuk siapa perasaan ini.

Aku:” ya kalau kamu memang suka kenapa tidak. Aku lihat juga kayaknya Tika suka kamu, dilihat dari
caranya dia bicara. Coba aja kamu tembak. Kamu udah kenal Tika sejak kapan? Kok aku baru tahu”.

Bayu:” Besok kali ya tembaknya? Udah lama juga si ya Cuma dekat karena chat lewat reply story
haha. Kamu setuju tidak, aku sama Tika”?.

Aku:” iya coba aja. Kelihatan cocok si, tapi masa lebih tua an ceweknya?”.

Bayu:” Gak apalah gak kelihatan banget juga”. Bagusnya kapan ya Put?. Kok deg-degan gini”.

Aku:” Besok pulang sekolah, mungkin. Aku bantu doa aja ya hahaa”.

__

Seminggu berlalu terdengar kabar Bayu dan Tika resmi berpacaran. Aku yang memang sudah tahu
berusaha terlihat biasa saja walaupun menyakitkan. Ketika malam hari Bayu chating

[“ Put, lebih baik kita sedikit menjaga jarak. Tika kurang suka kalau kita terus bareng.”]

Berisiknya sound hajatan tetangga menyamarkan suara tangisku. Aku merasa sangat bodoh
mencintai sahabat sendiri dan sangat terpukul atas pengakuannya.

[“Iya Bay, memang sebaiknya kita tidak terlalu dekat.”]

Baru beberapa hari Bayu jadian dengan Tika sudah terlihat jelas sekali bahwa Bayu menjauh bahkan
mengerjakan tugas sekolah pun jaga jarak. Aku yang memang tidak punya teman selain Bayu merasa
sangat kesepian dan merasa kehilangan semangat. Hari-hariku habiskan di kamar jika tidak sekolah,
jarang sekali keluar apalagi sekarang Bayu jadi anggota OSIS katanya biar selalu dekat dengan Tika.
Aku kesal dengan Tika tapi juga aku harus mengikhlaskan. Kenaikan kelas aku memutuskan untuk
pindah ke asal tanah kelahiranku. Sebelum berangkat tentu saja aku berpamitan kepada ketiga
sahabat baikku itu. Viona dan Kevin ku kabari lewat chat karena tidak ada waktu luang untuk ketemu
katanya, sedangkan Bayu ku kabari secara langsung. Hingga saat ini aku tidak pernah komunikasi lagi
dengan Bayu, tapi masih komunikasi dengan Viona dan Kevin, walaupun jarang. Sakitnya percintaan
ku, jadi membuat aku lebih terbuka dan mudah bergaul dengan teman-teman seusiaku. Hingga
lambat laun perpisahan itu aku bisa melupakan cinta di hati untuk Bayu. Sejak saat itu akupun sadar
bahwa perasaan seseorang tidak selamanya abadi. Setelah pindahan sekolah, baru ketemu sekali
dengan Bayu satu tahun yang lalu pas hari nikahan kakaknya yang tak lain suamiku. Jangan tanya
bagaimana bisa menikah dengan kakak cinta pertamaku, aku juga tidak tahu. Pas kunjungan ke
rumah ada fotonya suamiku dan Bayu. Aku tidak tahu kalau suamiku kakaknya Bayu karena aku asli
Bandung dan aku ketemu dengan suamiku di Bandung juga makanya tidak menyangka. Benar-benar
dunia ini sempit.
END

7 February 2022

Namaku Anisah Kartini lahir di Kebumen 21 April 1999. Selain aku suka makan aku juga suka
membaca, makanya aku lagi belajar menulis. Tulisan ini adalah karangan pertama ku setelah dulu
masih di bangku sekolah. Aku sekarang bertempat tinggal di kota orang, kota Surabaya karena
tuntutan kerjaan.
LEPAS

Muhyal khoiriyah

Kenyataannya aku tidak disuruh memilih tetapi memang seharusnya aku melepaskannya dan tanpa
aku melepaskannya pun dia sudah lepas.

Hari ini adalah hari pertamaku untuk masuk ke sekolah SMA yang baru.

Hmm...aku baru saja pindah dari Bandung, dan sekarang aku tinggal di Jakarta, karena ayahku
dipindah tugas kesini.

Sesampainya didepan kelas aku hanya berdiam didepan pintu, belum berniat masuk.

Sampai seorang wanita yang ku tebak adalah seorang guru, datang.

“Kamu anak baru?” tanya wanita itu.

“Iya buk, saya anak baru di kelas ini” jawabku.

“Mari ikut saya masuk” katanya sambil berlalu masuk ke kelas, diikuti olehku.

“Selamat pagi anak-anak” sapa wanita itu.

“Pagi Bu” jawabjawab seisi kelas.

“Hari ini ada anak baru yang datang, silahkan perkenalkan nama mu” sambungta, kuketahui dari
namebagnya.

“Hai semua, namaku Stella Cornelia Agatha, biasa dipanggil Ella, aku pindahan dari Bandung.

“Nama panjang, pas manggil pendek banget, kaya cintanya padaku” ujar seorang cowok.

Seisi kelas tertawa mendengar itu.

“Sudah-sudah, Ella silahkan duduk didekat Elang” kata Bu meta, karena melihat hanya ada satu kursi
yang kosong, yaitu disamping Elang.

“Sini aja buk, samping aku aja, Do Lo pindah gih” ujar cowok tadi.

“Tidak ada yang akan pindah” ujar buk Meta.

Aku berjalan menuju meja yang tadi disuruh buk Meta. Sesampainya aku langsung duduk di salah
satu kursi kosong.

“Hai kenalan dong...Aku Ella, Stella Cornelia Agatha”aku mengulurkan tanganku.


Dan ya, tanganku tidak dijabat cowok itu.

“Elang” singkat.

*bel istirahat berbunyi.

“Kamu gak ke kantin” tanya ku pada Elang.

“Gk” jawabnya

“Ke kantin bareng yok, oh iya nama gue Chika” Seorang cewek mengajakku.

“Ella” jawabku menjabat tangannya.

“Yok ke kantin”katanya lagi.

“Ya udah ayok, aku duluan ya Elang” kataku.

Di perjalanan menuju kantin aku memperhatikan lapangan basket, disana aku memperhatikan
seseorang yang bermain basket dengan lihai.

“Wah ganteng, sumpah” batinku.

“Terpesona ya?” itu suara dari Chika.

“Hehehe”

“Dia Brayen, ketua basket, plus ketua geng motor disini dan plus lagi idaman ciwi-ciwi” ujar Chika
menambah kekaguman ku pada sosok bernama Brayen itu.

Tak kusadari sebuah bola menuju kearahku.

“Lo gak papa?, Maafin gue ya” tanya seseorang yang berlari kearah ku.

“Lo gimana sih, teman lo jatuh dan lo Cuma merhatiin aja” marahnya kepada Chika.

Chika tersadar dan langsung membantu aku untuk berdiri.

Aku mendongak melihat cowok yang tadi memarahi Chika.

Dag Dig Dug

Begitulah mungkin suara jantungku. Dia tepat berada di depanku, aku jadi melupakan sakit di
kepalaku, karena hatiku sudah tidak karuan.

“Ayo gue antar ke UKS” itu adalah suara terakhir yang aku dengar sebelum aku kehilangan kesadaran
ku.
“Emhh” aku menggeliat, saat aku membuka mataku orang yang pertama kulihat di situ adalah
Brayen.

“Minum dulu” katanya.

“Kamu kok banyak memar di muka sih” tanya ku melihat dia.

“Ga papa kok...Maafin aku ya, aku gak sengaja, aku janji mulai hari ini aku akan jagain kamu. Kamu
mau kan aku jagain?”Ucapan Brayen membuatku tertegun. Aku hanya mengangguk saja sebagai
jawaban.

“Fiks mulai hari ini kita jadian” sambungnya.

Ting

Suara notifikasi dari handphoneku

+62813*****

Gw Elang

Turun Lo

Aku tidak paham membaca pesan itu. Tetapi, aku tetap turun ke bawah.

Aku menemukan Elang tengah duduk di ruang tamu bersama ibuku.

“Ella liat nih, Elang datang” ujar mamaku

“Iya ma, Ella liat kok”

“Mama ke dapur dulu ya”

“Iya ma”

Sepeninggal mama ke dapur aku duduk di salah satu kursi ruang tamu.

“Kamu kok kesini?”

“Disuruh”

“Sama siapa?”

“Buk Meta”

“Ngapain”

“Ngajarin lo”

“Oh ternyata kamu, orang suruhan buk meta untuk ngajarin aku”
“Hmm”

“Ya udah tunggu ya, aku ambil buku dulu”

“Hm”

“Hmmmmm hmmm hmmmmm” aku menyanyikan lagu Nisa sabyan, sambil menyindir Elang.

“Huh akhirnya aku ngerti” kataku sambil menutup satu persatu buku di depan ku..

“Tadi Brayen nembak aku, pas di UKS”

“Trus lo terima gak?” jawabnya antusias.

“Alhamdulillah”

“Lo kok malah bersyukur”

“Ternyata kamu bisa ngomong lebih dari tiga kata”

“Gaje lo,ya bisa lah”

“Terima gak?” mungkin mengalihkan pembicaraan.

“Ya iya lah masa nggak”jawab ku.

“Bego lo, baru kenal gak tau seluk beluk, langsung diterima, padahal lo kan gak tau dia tulus apa
nggak”

“Ya Gusti, aku gak bisa lagi berkata-kata, aku hanya bisa bersyukur, 18 kata loh”

Seketika Elang menghitung jarinya. Ternyata dia tidak seburuk yang kupikirkan, dia sedikit lucu.

Ting

Suara notifikasi hp ku.

Brayen️

Sayang, jalan yuk

Anda

Boleh

Brayen️

Aku otw ke rumah kamu


Aku meloncat-loncat kegirangan saat itu juga.

“Gila lo”

“Aku mau jalan sama Brayen dulu, kamu gapapa kan aku tinggal”

“Ya nggak lah”

“Oke aku siap-siap dulu”

“Gue balik”

“Oke, hati-hati”.

“Sayang, hari ini acara ulang tahun Chika, kita ke sana” ujar Brayen.

“Iya, kamu jemput aku kan”jawabku.

“Maaf ya mungkin gak bisa, kamu berangkatnya sendiri aja ya, pulang nanti kita bareng”.

“Iya deh gapapa”.

“Aduh, aku lupa lagi, aku masih ada urusan penting tentang geng motorku”pamit brayen

“Tumben sendiri” ucap Elang ketika datang.

“Brayen baru pergi”

“Oh”

“Nanti kamu ikut ke pesta ultah Chika”

“Hm”.

“Mulai deh kambuh Nisa sabyan nya”

“Iya Stella”

“Ok Fiks kamu jemput aku”

“Cowok lo”

“Gak bisa jemput, pulangnya dianter kok”

“Ok”

Ting
Es batu

Turun lo

Anda

Iya bentar

Aku menuruni anak tangga dan menuju ke depan rumah.

Aku memperhatikan penampilan Elang dari atas sampai bawah. Aku tertegun, karena baru pertama
aku melihat dia dengan style yang seperti ini. Dia memakai Hoodie berwarna hitam, dengan celana
hitam juga dan memakai sepatu putih.

Kalau kata cewek-cewek sih, cowok akan bertambah ganteng dengan style hitam.

Aku dan Elang memasuki sebuah ruangan yang menjadi tempat berlangsungnya pesta ultah Chika.

Aku menghampiri Brayen

“Hai sayang” sapaku.

Dia diam saja, aku heran biasanya dia akan menyambut kedatanganku dengan pelukan.

“Lepasin deh” katanya

“Eh...siapa nih” tanya cowok yang ku tebak adalah teman se geng Brayen.

“Cantik ya” timpal cowok yang lain.

“Gak tau, datang-datang manggil sayang, jalang kalik”ucap Brayen

Jeb

Seperti ada jarum tak kasat mata menghantam hatiku.

Aku mencoba menahan agar air mata ku tidak luruh.

Aku berlari menemui Elang dan langsung memeluknya dan menangis di pelukannya.

Brayen dan teman-temannya kembali datang.

“Liat aja tuh... baru aja meluk gue, terus meluk si Elang”

“Kita ceburin aja kalik ya” kata seorang cowok.

Brayen menarik ku dengan kasar dan menceburkan aku ke dalam kolam.

“LO PADA BEGO YA?!” bentak Elang

Dia langsung membuka Hoodienya dan masuk kedalam kolam dan menggendongku keluar kolam.

Elang memakaikan Hoodienya padaku dan menggendongku kembali membawaku keluar gedung.
“Aku minta maaf ya” ujar Brayen.

“Iya”

“Kamu tau kan aku tuh Cuma cemburu liat kamu sama Elang”.

“Iya, Brayen”

Pulang sekolah aku diantar oleh Brayen, diperjalanan pulang tiba-tiba kami di serang oleng
segerombolan orang.

“Kamu turun Ella” suruh Brayen.

“Tapi aku takut” ujarku

“TURUN!” bentak Brayen.

Aku turun dari mobil Brayen dengan gemetar.

“Mana cowok lo?” Tanya seorang di depanku.

“Banci banget, nyerahin ceweknya. Tapi tenang kita gak akan apa-apain Lo, karna Lo gk salah apa-
apa di sini”sambungnya.

Aku bernafas lega, akhirnya mereka memaksa Brayen keluar dan aku berdiri dibelakang Brayen.

Saat pria tadi menembakkan pistol pada Brayen, Brayen langsung menarikku kedepannya dan peluru
tepat pada jantungku.

Samar-samar aku melihat Elang entah datang dari mana tengah menggendongku, tetapi terdengar
kembali suara pistol dan ternyata pelakunya adalah Brayen yang menembak punggung Elang.

Elang tidak memperdulikannya dan aku merasakan setetes air mata jatuh dipipiku.

Itu bukan air mataku, tapi air mata Elang.

Aku merasakan sakit disekujur tubuhku, tetapi tidak sesakit hatiku, ketika mengetahui kenyataan
yang sangat mematahkan semangatku untuk hidup.

Falsback

“Elang”panggil ku ketika bangun.

“Mama....bunda kok disini?” aku melihat ibu dari sahabat kecilku.

“Jadi sebenarnya Elang adalah Tara sahabat kecilmu” to the point bunda.

“Jadi ke mana sekarang Elang bunda?”tanyaku antusias.

“Kok bunda sama mama nangis sih”tanyaku.

Dan aku menyesali mempertanyakan,mengapa mereka menangis.


Sekarang Elang tinggal kenangan, Elang sudah pergi dia meninggalkan kami semua.

Bodoh sekali dia mendonorkan jantungnya kepadaku. Dia berkata “aku tidak akan hidup lebih lama,
jadi kenapa tidak sekarang”.

Elang mengidap kanker leukemia akut stadium 4 dan dia memberi alasan itu untuk mendonorkan
jantungnya padaku. Kenapa dia pergi setelah aku menemukannya lagi. “Dilgaku” (Elang Dirgantara)

“Hai dilga” sapaku pada gundukan tanah di depanku.

“Kamu baik-baik ya disana, tunggu aku, cerita dari orang-orang kamu sangat mencintaiku. Kalau itu
bener, kamu harus nunggu aku, jangan kepincut sama bidadari surga”aku tidak bisa menahan air
mataku.

Aku tak sadar ternyata di sampingku ada seseorang.

“Gue mau ngomong sama Lo” ujarnya

“Nanti aja, aku capek” jawab ku.

“Ini soal Elang” katanya.

“Oke bicaralah”

“Sebenarnya, waktu lo kena bola, disitu Elang marah-marah sama anak basket, terus dia gebukin
Brayen, dan yang bawa lo UKS itu Elang, bukan Brayen” jelas Chika.

“Terus kenapa pas aku bangun yang ada di situ Brayen”.

“Itu karena, sebelum lo bangun Elang udah pergi. Brayen memang nggak suka sama Elang makanya
dia gunain lu, untuk buat Elang sakit hati”.

Aku hanya tersenyum kecut, menahan pedih di hatiku.

Dari sini aku belajar,Tidak semua yang terlihat baik, itu baik untuk kita dan tidak semua yang terlihat
buruk, seburuk yang kita pikirkan.

-Stella Cornelia Agatha

END

Muhyal Khoiriyah adalah seorang gadis berumur 17 tahun, yang sekarang tangah duduk di kursi
kelas XI IPA 1, MAN 1 INOVASI SUBULUSSALAM. Mungkin sekarang adalah waktunya untuk fokus
belajar. Tetapi dia tetap mengekspresikan hobi menulisnya. Dia tinggal di daerah penanggalan, Aceh.
Lahir pada tanggal 14 Januari 2005
WORST

Jeane Louis

Orang yang paling rawan untuk menghancurkan kita biasanya datang dari orang terdekat.
Itu juga yang sedang di alami oleh Nadia. Calon tunangannya memilih memutuskan
hubungan mereka karna memilih untuk bersama dengan sahabatnya sendiri. Dan bagian
terparahnya ia baru mengetahui jika sahabatnya sejak awal memang mencintai calon
tunangannya hingga mereka berdua bermain dibelakang dirinya. Nadia hanya tak
menyangka semuanya terjadi begitu cepat bahkan rasa-rasanya ia tak diberikan nafas
barang satu detik pun. Kini ia harus mengubur dalam-dalam pernikahan impiannya. Rasanya
baru kemarin ia berbahagia namun kini ia harus menelan pil pahit itu. Nadia berulang kali
menghela nafas. Meyakinkan jika pilihan nya sudah benar

"Nad.. " Panggil seseorang yang berhasil menyentak Nadia dari lamunannya

"Eh.. Bunda.. Ada apa bun" Ucap Nadia ketika mengetahui ternyata ada sosok bunda nya

"Kamu yakin besok mau datang.. Bunda gapapa kok kalau semisal kamu masih mau
nenangin diri.. Bunda paham semuanya mendadak untuk kamu" Ucap bunda nya seraya
mengelus rambut anak semata wayangnya

"Nadia gapapa bun.. Lagian masa Nadia gak hadir dihari bahagia sahabat Nadia sendiri"
Nadia berusaha memberikan senyumnya

"Yasudah kalau itu memang keputusan kamu.. Bunda hanya bisa memberikan dukungan
untuk kamu" Bunda nya paham anaknya hanya tak ingin ia mencemaskan keadaannya

"Makasih ya bun" Ungkap Nadia tulus

"Sama-sama sayang.. Yaudah kalau gitu kamu tidur gih udah malem banget ini"

"Iya bunda juga tidur.. Night bun"

"Night sayang.. "


Setelah bundanya keluar dari dalam kamarnya. Nadia tak langsung tidur. Melainkan ia
membuka sebuah kotak yang sebenarnya ingin ia berikan kepada calon tunangannya karna

berisi perjalanan hubungan mereka. Namun takdir berkata lain. Calon tunangannya lebih
memilih sahabatnya

Dan seperti yang dibicarakan. Besok adalah hari pernikahan mantan calon tunangannya
bersama dengan sahabatnya.

"Gapapa mungkin emang belum jodoh"

Ia berusaha mengikhlaskan semuanya. Cinta tulus yang ia berikan dibalas dengan sebuah
pengkhianatan

********

Keesokannya sesuai percakapannya dengan bundanya semalam kini Nadia menginjakan


kakinya didalam sebuah aula dimana sedang diadakannya pernikahan mantan calon
tunangannya dengan sahabatnya.

Satu lagi hal miris yang harus Nadia rasakan. Pernikahan impiannya kini digunakan oleh
kedua orang tersebut. Tapi Nadia bisa apa selain belajar untuk mengikhlaskan semuanya.
Kini yang bisa ia lakukan hanya berdoa kelak dipertemukan oleh seseorang yang benar-
benar mencintai nya

Nadia berjalan kearah pelaminan untuk memberikan ucapan selamat. Namun sebelum itu
tak sengaja mata nya menatap seseorang perempuan yang berjalan kearahnya

"Hai mbak" Sapa Nadia kepada perempuan di depannya

"Lohh Nadia.. Kamu dateng" Ucap perempuan tersebut terkejut

"Dateng dong mba.. Bagaimapun mas anji dan Hanum itu sahabat ku" Balas Nadia

"Nadia padahal sebenarnya kalau kamu gak mau datang pun mba gapapa.. Kelakuan Anji
memang keterlaluan.. Mba sebagai kakak dari Anji bahkan malu punya adik seperti dia"
Ucap perempuan tersebut yang ternyata adalah kakak perempuan dari Anji
"Aku gapapa mba.. Lagipula mungkin emang aku dan mas Anji tidak berjodoh" Ucap Nadia
tulus

"Mba masih heran mengapa bisa-bisa nya Anji memilih wanita itu ketimbang kamu"

"Hanum baik kok mba.. Dia juga pasti bisa jadi pendamping bagi mas Anji" Ucap Nadia

"Kamu bahkan terlalu baik Nad.. Untuk ade mba" Ucap perempuan tersebut

"Gak kok mba.. Bahkan kalau aku gak nge ikhlasin mas Anji dengan Hanum aku bakalan jadi
orang yang jahat" Ucap Nadia sambil tersenyum miris

"Ya tapi kan itu salah dia sendiri kan gak ngomong dari awal" Ucap nya masih tak Terima

"Udalah mba.. Ikhlasin semuanya.. Aku aja udah ikhlas kok" Ucap Nadia

"Tapi k-" Ucapan kakak dari Anji tersebut terpotong

"Mba aku ke altar dulu ya.. Mau ngucapin selamat" Pamit Nadia sebelum semuanya jadi
panjang

Setelahnya Nadia segera menuju altar dimana sudah ada Anji dan Hanum sebagai
pengantinnya. Sebelum itu Nadia menarik nafas untuk menguatkan dirinya sekali lagi

"Selamat ya untuk kalian berdua.. Aku turut berbahagia" Ucap Nadia ketika sudah berada di
depan pasangan pengantin tersebut

"Nadia.. Aku benar-benar minta maaf.. Aku harap kita masih bisa sahabatan" Ungkap
Hanum yang masih merasa bersalah

"Gapapa aku udah ikhlas kok.. Semoga cepet dapet momongan ya.. " Ucap Nadia

"Amin.. Semoga kamu juga cepet nyusul ya.. " Balas Anji

"Do'ain aja" Ucap Nadia tersenyum tulus

Setelah ia memberikan selamat ia segera pulang. Bohong jika dirinya baik-baik saja. Namun
jika ditanya apakah ia dendam dengan Anji dan Hanum. Ia akan dengan tegas menjawab jika
ia tak ada dendam sedikit pun

Lagipula rasanya dirinya yang menjadi orang ketiga dalam hubungan Hanum dan Anji. Karna
ternyata Hanum telah menyimpan perasaan untuk Anji.karna memang yang mengenalkan
Anji kepada Nadia adalah dirinya. awalnya Hanum tidak menyangka jika Anji tertarik kepada
Nadia. Ia mengetahui nya ketika Anji yang bercerita jika ia tertarik dengan Nadia. Dan
keesokannya juga Nadia bercerita jika tertarik dengan Anji.

Saat itu Hanum memilih untuk memendam karna ia tak mau terlibat cinta segitiga dengan
Anji dan Hanum. Namun sepertinya takdir memang senang mempermainkan mereka bertiga

Semua berawal dari pertengkaran Anji dan Nadia hingga Anji memilih pergi ke club dan
bertemu dengan Hanum. Lalu Hanum yang mabuk malah membocorkan semuanya
termasuk tentang perasaannya kepada Anji

Anji tentu saja saat itu terkejut dengan fakta yang ia dengar. Awalnya ia tak mau ambil
pusing karna ia ingat jika ia dan Nadia adalah sepasang kekasih.

Namun renggang nya hubungan dirinya dengan Nadia saat itu membuat dirinya sedikit
goyah. Ditambah pada saat itu Hanum begitu perhatian terhadap dirinya. Sementara Nadia
saat itu sibuk dengan dunia karir nya sehingga ia merasa di kesampingkan

Dan seperti yang sudah di duga perasaan nya pada Nadia menjadi berpindah pada Hanum.
Awalnya Hanum tak mau karna ia tak ingin di cap sebagai perebut calon tunangan
sahabatnya. Namun kegigihan Anji membuat dirinya goyah dan mengiyakan ajakan Anji
untuk menjalin hubungan dibelakang Nadia

Dan puncaknya adalah satu minggu yang lalu. Nadia mengetahui semua perselingkuhan
mereka. Tentu saja Nadia shock calon tunangannya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri

Dan saat ia bertanya alasan dari perselingkuhan mereka. Disitu lah ia tau jika memang
Hanum lebih dahulu mencintai Anji jauh sebelum dirinya menjalin hubungan dengan Anji

Disitu juga ia merasa menjadi sahabat yang buruk. Bagaimana bisa ia menjalin hubungan
dengan lelaki yang di cintai oleh sahabatnya sendiri. Itu juga yang menjadi alasan Nadia
memilih mundur

Tentu saja keputusan itu mengejutkan kedua belah pihak keluarga. Terutama bagi kakak
perempuan Anji yang langsung membatalkan pertemuannya dan memilih untuk pulang
Dan kini Nadia lega dirinya tak lagi menjadi penghalang bagi cinta mereka berdua. Meskipun
dengan cara yang menyakitkan namun Nadia bersyukur ia belum terlambat untuk
menyadari cinta antara Anji dan Nadia

Ia tak bisa membayangkan bagaimana bisa Hanum menyimpan perasaan untuk Anji selama
7 tahun lamanya dan bersikap baik-baik saja saat melihat dirinya dengan Anji yang
bermesraan

Kini ia mendoakan kebahagiaan atas Anji dan Hanum. Semoga kedua orang tersayang nya
itu langgeng hingga ajak memisahkan mereka. Dan kini giliran dirinya yang harus mencari
kembali pasangan. Dan sepertinya liburan sejenak tak akan menjadi masalah.

"Oke Nadia now let's play again"

END

14 Februari 2021

Jeane louis Angela, seorang penulis asal kota Yogyakarta yang memiliki nama pena
jeanelouis96
LUPAKAN SOAL CINTA ?

Maya Indah

Apakah kamu pernah menjadi korban cinta segitiga seperti Vera ?

Lidya Vera adalah seorang gadis yang sangat hobi memasak. Ia juga sedang berpacaran dengan Ardi.

“Sore my love” sapa Vera, manis.

“Sore juga” balas Ardi, ramah.

“Lo gak marah kan kalau gue ajak Lo jalan jalan sore ?” Tanya Vera.

“Santai aja, Lo kayak sama orang lain aja” jawab Ardi santai.

“Lo masih kerja di restoran Cinta ?” Tanya Ardi.

“Ia dong, gue berharap suatu saat nanti gue bisa bangun restoran sendiri dan Lo harus jadi
pelanggan pertama gue” ujar Vera.

“Gue janji, gue akan jadi pelanggan pertama dan setia di restoran Lo” balas Ardi geli.

“Gue juga akan masak makanan yang spesial buat Lo kalau kita nikah nanti” lanjut Vera lagi.

Wajah Ardi berubah menjadi datar.

Hari sudah semakin gelap, Ardi mengantar Vera pulang.

KEESOKAN HARINYA

Pagi yang begitu cerah membuat Vera tambah semangat pergi ke kantor untuk memberikan Ardi
sarapan.
Namun saat Vera masuk ke ruang kerja Ardi, Ardi sedang berbicara dengan seorang gadis.
Pembicaraan mereka tampaknya sangat serius dan mesra. Gadis itu adalah Naomi, sahabat
terbaiknya.

Vera kini sadar kenapa Ardi sangat cuek kepadanya belakangan ini. Vera yakin Ardi pasti mencintai
Naomi.

“Apakah ini yang dinamakan cinta segitiga ?, Gue mencintai dan pacaran dengan orang yang sama
sekali tidak mencintai gue. Ia malah mencintai sahabat gue sendiri” ujar Vera pada dirinya sendiri.

Ia segera pergi dari kantor Ardi. Ia menangis dan berlari kecil hingga tak sadar sebuah mobil hampir
menabraknya.

Pemilik mobil itu segera keluar karena khawatir dengan keadaan orang yang hampir ia tabrak.

“Lo gak papa ?” tanya pria itu

Vera hanya diam dan menyembunyikan tangisnya.

“Kenalin, gue Dian. Kalau ada apa apa Lo bisa hubungi gue, maaf gue lagi buru buru jadi gak bisa
lama lama” ujar Dian sambil memberikan Vera kartu namanya.

Setelah berkata begitu pria itu pergi begitu saja. Vera tertawa kecil karena cara bicara Dian sangat
cepat dan datar. Seperti robot yang kehabisan baterai.

SORE ITU

Naomi pergi ke restoran Cinta karena Vera memanggilnya.

“Hai ver, katanya ada yang mau Lo omongin ?” Tanya Naomi.

“Ardi cinta sama gue atau sama Lo sih ?” Tanya Vera serius.

“Gue minta maaf ver, gue tau Ardi pacar Lo, dia adalah orang yang Lo cintai selama ini, tapi gue gak
bisa bohongin hati gue, gue suka sama Ardi” ungkap Naomi sedih.

“Gue ngerti perasaan Lo, tapi Lo sadar gak sih, Lo itu udah hancurin hati gue” ujar Vera sedikit
meninggi.

Naomi merasa tersinggung.

“VER, LO YAKIN ARDI MASIH CINTA SAMA LO, DARI DULU DIA GAK PERNAH SUKAK SAMA LO, DIA ITU
CUMAN GAK MAU BIKIN LO KECEWA,” bentak Naomi.

“Tapi hati gue merasa kalau lo yang cinta sama dia, bukan dia yang cinta sama Lo” balas Vera
menahan air matanya.

“Tapi sayangnya kita saling mencintai” sambung Naomi.

“Mulai sekarang persahabatan kita putus” ketus Vera.

“Ok, gue juga gak mau punya sahabat yang egois kayak Lo” balas Naomi kasar.

Setelah berkata demikian ia pergi meninggalkan Vera yang menangis.


MALAM ITU

Vera mengajak Ardi bertemu di taman kota. Ia ingin tahu apakah pria yang ia cintai malah
mencintai orang lain apa lagi orang itu adalah sahabatnya.

“Naomi marah sama gue” ujar Vera pelan.

“Kenapa ?” tanya Ardi.

Dapat Vera saksikan ekpresi Ardi saat mendengar nama Naomi di sebutkan tidak seperti biasanya.

“Dia cinta sama Lo” jawab Vera dengan tatapan kosong.

“karena dia suka sama gue, kalian berantem ?” tanya Ardi.

“Masalahnya adalah Lo cinta kan sama dia, kalian saling cinta kan ?” tanya Vera serius.

“Mungkin dia aja yang suka sama gue, tapi gue gak” jawab Ardi.

“Tapi gue merasa kalau Lo berusaha jauhi gue dan dekati Naomi” Bantah Vera.

“Lo gak percaya sama pacar Lo sendiri ?” tanya Ardi sedikit meninggi.

“Gue sayang sama Lo Ver” tutur Ardi.

“Gue percaya kok sama Lo, setidaknya gue lega udah dengar dari mulut Lo sendiri kalau Lo gak suka
sama Naomi” ujar Vera tersenyum kecil.

Ardi memeluk Vera.

“Gue gak akan ninggalin Lo” bisik Ardi.

Vera tersenyum senang.

KEESOKAN HARINYA

Pagi ini Ardi pergi sangat pagi karena ia ingin mengantar Vera ke restoran Cinta. Vera sengaja
melakukan itu karena ia akan berusaha membuat Ardi cinta dengannya. Ia tau kalau Ardi berbohong
malam itu. Meski begitu ia berusaha untuk menerbitkan cinta di hati Ardi untuknya.

“Makasih my love” ucap Vera manis.

“Sama sama” balas Ardi, kemudian ia pergi ke kantor.

“Bahkan Lo gak mau panggil gue my love, itu artinya gue bukan your love” lirih Vera dalam hati.

Vera berusaha melupakan cinta, ia harus fokus dengan impiannya yaitu membangun restoran.

“Gue harus kerja dan ngumpulin uang untuk mewujudkan impian gue” ujar Vera pada dirinya
sendiri.

KEESOKAN HARINYA.
Hari ini hari libur, Vera joging pagi di taman sport kota. Di sana ia melihat Ardi yang tengah asik
meregangkan otot-ototnya. Vera berniat untuk mendekati Ardi. Akan tetapi Naomi sudah diluan
mendekati Ardi dengan membawa sebotol air mineral.

“Lo haus kan ?” tanya Naomi.

“Banget dong” jawab Ardi sambil meneguk air dari Naomi.

“Kaki gue keseleo nih” ujar Naomi manja.

“Sini gue pijitin” pinta Ardi.

Vera merasa hancur sekarang, ternyata benar apa yang ia takuti selama ini. Ia hanya korban cinta
segitiga.

“ARDI” teriak Vera.

Naomi dan Ardi terkejut, mereka baru menyadari kalau sedari tadi Vera sudah memerhatikan
mereka.

“vera ?” tanya Ardi dan Naomi bersamaan.

“Cukup selama ini Lo udah bohongin gue Ar, Lo udah hancurin hati gue” lirih Vera sedih.

“MANA JANJI LO MAU NIKAHIN GUE, MANA JANJ LO AKAN SETIA SAMA GUE...?” tanya Vera dengan
suara keras.

“Ok ok, gue emang cinta sama Naomi, gue gak cinta sama Lo, tapi gue akan buktikan janji gue”
potong Ardi.

Naomi tidak terima apa yang dikatakan Ardi. Naomi menjadi semakin benci dengan Vera.

“Lo mau nikahin Vera ?” tanya Naomi pelan.

Ardi hanya diam.

SEBULAN KEMUDIAN

Hari ini adalah hari pernikahan Vera dan Ardi. Naomi hanya bisa menangis menatap pernikahan
orang yang ia cintai.

“Maafin gue Naomi, gue cinta sama Lo, tapi vera adalah orang yang selalu ada buat gue, dia yang
selalu sabar hadapi sikap gue, gue cinta sama Lo Naomi” lirih Ardi dalam hatinya.

Vera melihat Ardi dan Naomi yang saling bertatapan. Ia merasa bersalah.

“Gue bukan orang yang egois” tutur Vera pada dirinya sendiri.

“baiklah bisa kita mulai ?” tanya penghulu di hadapan Vera dan Ardi.

“Saya rasa bukan saya yang duduk di sini pak, Naomi adalah orang yang pantas menjadi pasangan
Ardi” ujar Vera mengejutkan semua orang yang ada di sana.

DUA MINGGU KEMUDIAN


Vera memutuskan untuk melupakan soal cinta, ia yakin jodoh pasti akan datang dengan
sendirinya. Vera juga sudah mewujudkan impiannya. Ia sudah memiliki restoran sendiri, restoran
Lidya baru di buka pagi ini. Beberapa pekerja di restoran itu mulai bekerja dengan semangatnya.

“Semangat Ver, lupakan soal cinta, mungkin dia bukan jodoh kita” ujar Vera dalam hati.

“Permisi, pesan jus jeruknya dua ya” pesan seorang pria bersama istrinya.

“Ardi, Naomi ?” Tanya Vera terkejut.

“Gue kan udah pernah janji sama Lo, gue akan jadi pelanggan pertama di restoran Lo” ujar Ardi.

Vera tersenyum senang.

“Lo mau kan kita jadi sahabat lagi ?” Tanya Naomi.

“Gue mau mi, maafin gue ya, gue egois selama ini” sesal Vera.

“Gue juga, akhirnya kita bisa menemukan jalan yang terbaik” ujar Naomi senang.

Vera dan Naomi saling berpelukan dan menjatuhkan air mata bahagia mereka.

Ardi tersenyum lega.

“Jadi kita dapat makanan geratisan gak nih ?” tanya Ardi menggoda.

“Karena kalian pelanggan pertama gue, kalian juga sahabat terbaik gue, kalain boleh makan
sepuasnya di sini, geratis. Tapi besok besok bayar dong” jawab Vera.

Mereka bertiga tertawa bersama.

“Hai semuanya” sapa seseorang.

“Dian ?” tanya Ardi dan Naomi bersamaan.

“Gue mau ketemu pemilik restoran ini” ujar Dian.

“Gue Vera pemilik toko ini,Gue orang yang hampir Lo tabrak waktu itu” tutur Vera.

“Dian, orang yang hampir nabrak Lo waktu itu” balas Dian.

Mereka saling bertatapan dan tersenyum malu.

“Cieeee....” sorak Ardi dan Naomi heboh.

Dian dan Vera hanya tersenyum malu. Mereka semua tertawa bahagia. Akhirnya mereka
menemukan kebahagiaan mereka masing masing.

Restoran Lidya kini mulai ramai. Ardi, Naomi, dan Dian juga ikut membantu Vera.

END

Nama saya Maya indah. Saya tinggal di Riau kab. Kampar. Saya hobi membaca dan menulis cerita
sejak kecil. Namun saya mengembangkan hobi saya mulai saya kelas 9. Membaca dan menulis
sangat menyenangkan bagi saya. Saya harap Kakak suka dengan cerita saya. Terimakasih kakak.
Semangat untuk hal apapun.

PILIHAN DIA BUKAN AKU

Acha

Aku dan Ismed berteman sejak menduduki bangku sekolah dasar. Walapun, setelah SMP aku dan
Ismed memilih sekolah yang berbeda dan mendapatkan banyak teman, hal itu tidak membuat aku
dan Ismed saling melupakan. Namun, membuat kami lebih dekat bahkan kami saling menyayangi
seperti saudara. Saat bersama Ismed, aku merasa sangat nyaman dan terlindungi dari apapun, dan
hanya bersama Ismed aku selalu ingin di manja. Perlakuan Ismed terhadap ku sangat berbeda
dengan teman perempuan yang lain, apa yang aku inginkan akan di penuhi. Setelah kenaikan kelas 9,
ada perasaan aneh dan asing yang baru pertama kali aku rasakan. Hati ku berdebar saat bersama
Ismed, aku tidak suka saat melihat Ismed berbicara dan tertawa bersama perempuan lain, bahkan
aku selalu ingin Ismed menatap ku namun saat Ismed menatap ku, aku merasa malu dan bingung
harus melakukan apa. Ini aneh apakah aku salah tingkah? Tidak mungkin. Karena tidak tau apa yang
sebenarnya terjadi pada ku akhirnya aku memutuskan untuk menceritakan perasaan aneh yang aku
rasakan saat ini kepada Citra dan Aisyah teman ku yang sudah seperti saudariku sendiri. Citra dan
Aisyah mengatakan bahwa itu adalah cinta, aku sangat terkejut bagaimana mungkin aku mencintai
Ismed teman ku yang sudah ku anggap Saudara sendiri. Namun, Citra dan Aisyah mengatakan bahwa
itu sangat mungkin mengingat perlakuan Ismed terhadap ku yang membuat orang-orang berfikir aku
dan Ismed berpacaran.

Setelah lulus SMP aku dan Ismed sudah jarang sekali berkomunikasi itu karena kami memilih sekolah
yang berbeda, bahkan aku memilih bersekolah di luar kota. Setahun sekali aku akan pulang ke
rumah dan bertemu dengan Ismed karena kita tetangga, setiap hari aku merindukan Ismed, rindu
senyumnya, pokoknya aku merindukan semua yang hal yang berkaitan dengan Ismed. Hari ini
setelah menerima raport kenaikan kelas 11 aku langsung bergegas pulang ke rumah paman ku
karena selama bersekolah di luar kota aku tinggal bersama paman dan istrinya. Paman adalah adik
dari papa ku, paman dan istrinya sangat menyayangi ku seperti anak mereka. Paman dan bibi sudah
2 tahun menikah sekarang mereka memiliki 1 anak perempuan yang masih berumur 1 tahun, bibi
juga sedang mengandung anak ke-2 mereka.

“Assalamu’alaikum “ Salam ku saat memasuki rumah, aku langsung salim pada paman dan bibi yang
sedang menonton TV di ruang santai keluarga.

“Wa’alaikumsalam Nak” Ucap paman dan bibi, tidak ada Indah mungkin dia sudah tidur di kamarnya.

“ Gimana hasilnya, naik nggak?” Tanya paman

“Naik dong, keponakan paman yang manis ini kan pintar tapi nggak masuk lima besar hehe” Ucap ku
sambil cengir, lalu memberikan raport kepada paman untuk melihat nya langsung.

“Alhamdulillah, sudah sana ke kamar ganti baju” Ucap paman lalu fokus menonton TV lagi

“Udah bibi masakin makanan favorit kamu loh” Ucap bibi saat aku berjalan ke kamar ku

“Wih, makasih banyak bibi ku yang cantik” Ucap ku menunjukkan senyum yang paling manis

“Sama-sama sayang” Ucap bibi lalu fokus menonton TV.

Aku tertidur karena sudah sangat lelah karena perjalanan jauh. Saat bangun aku langsung siap-siap
untuk sarapan bersama keluarga ku.

Setelah sarapan aku kak Raka pergi jalan-jalan pagi, Kak Raka adalah kakak kelas ku yang sangat
menyayangi ku. Entahlah kata kak Raka aku sangat Istimewa baginya, aku sudah menganggap kak
Raka seperti kakak ku sendiri.

“Rara” Panggil kak Raka

“ Iya kak” Jawab ku masih fokus ke jalanan yang mulai ramai

“Jangan suka dia ya” Ucap kak Raka membuat ku membeku. ‘Dia’ apakah yang di maksud kak Raka
‘Dia’ adalah Ismed? Tapi sejak kapan kak Raka tau.

“Apa sih yang kakak nggak tau tentang kamu Ra” Ucap kak Raka seolah tau apa yang aku pikirkan. Iya
benar apa sih yang kak Raka nggak tau tentang aku, bahkan saat aku ulang tahun kak Raka yang
pertama kali mengucapkan.

“Tapi kenapa kak, bukanya kak Raka juga udah kenal Ismed? “ Tanya ku berusaha tenang

“Iya Ra, makanya itu kak Ija nggak mau kamu suka sama dia” Ucap kak Ija membuat ku ingin
menangis

“Kak Raka kan tau Rara udah lama suka sama Ismed bahkan Rara cinta sama Ismed, tapi kenapa kak
Raka nggak mau? “ Ucap ku berusaha menahan agar tidak menangis

“Padahal kakak tau baru pertama kali ini Rara suka sama orang” Lanjut ku sudah menangis

“Ra, kenapa kamu nggak bisa liat bahwa ada orang yang bisa membalas cinta kamu? “ Ucap kak Raka
llembu.
“Tapi kak” Ucap ku menatap mata kak Raka

“Nanti ya Ra, kalau memang udah waktunya kamu tau pasti kakak bakalan kasih tau. Kakak nggak
mau kamu sakit” Ucap kak Raka mengusap rambut ku. Aku mengangguk saja

“Kakak tau ini sulit tapi kakak yakin kamu bisa move on dari Ismed dan mencintai orang yang benar-
benar bisa membalas cinta kamu” Ucap kak Raka menatap ku penuh arti

“Iya kak. Rara bakalan coba” Ucap ku menghapus sisa air mata

“Nah gitu dong. Senyum Ra biar tambah cantik” Ucap kak Raka mencubit pipi ku

“Ih apaan sih kak, sakit tau” Ucap ku kesal

“Hehe sorry Ra, nih minum dulu” Ucap kak Raka menyodorkan Lee mineral padaku

“Iya-iya” Ucap ku mengambil air yang di berikan kak Al

“Ya sudah ayo pulang udah mau panas nih” ajak kak Raka langsung menarik tangan ku

“Yok” Seru ku.

Malam ini aku bertekad akan mengungkapkan isi hati ku pada Ismed, aku merasa sangat deg-
degkan. Ini akan menjadi malam yang sangat istimewa dalam hidup ku dan malam yang sangat unik
karena menembak laki-laki. Sekarang aku sedang menunggu Ismed di bangku yang ada di taman,
tidak perlu waktu lama Ismed pun sampai di hadapan ku.

“Hay Ra” Sapa Ismed seperti biasa dengan senyum manisnya

“Ehm ha-y juga Ismed” Ucap ku gugup

“ Udah nunggu lama ya Ra? Maaf ya tadi aku baru dari rumah Lea” Ucap Ismed yang langsung duduk
di samping ku.

“Lea? “ Tanya ku penasaran siapa itu Lea

“Iya Lea, pacar baru aku Ra” Ucap Ismed tersenyum bahagia. Apa itu, pacar? Ya Tuhan ini sakit sekali

“Pacar ya, pasti cantik hehe” Ucap ku berusaha agar tidak menangis

“Iya dong. Oh ya, kamu kenapa ajak aku ke sini?” Tanya Ismed, aku masih diam berusaha menahan
sesak di hati ku. Kenapa sesakit ini? Aku tidak kuat

“Ra, Hey kamu kenapa?” Tanya Ismed yang melihat ku menunduk , aku menangis ini sangat sakit
selama 2 tahun aku mencintai orang yang tidak membalas cinta ku.

“Aduh seperti nya aku kelilipan” Aku menghapus air mata ku dan berusaha kuat

“Udah? Coba sini aku liat” Ucap Ismed mengangkat wajah ku

“Udah kok” Ucapku tersenyum kaku

“Oh ya, kamu mau ngomong apa? “ Tanya Ismed. Aku suka sama kamu tapi ternyata kamu udah
milik orang

“Aku cuman mau ajak kamu keliling kota” Kenapa aku mengatakan hal lain , ini sangat sakit

“Ya ampun Ra kirain apaan, maaf ya aku nggak bisa” Tolak Ismed
“Kenapa? “ Aku merutuki pertanyaan ku. Hey tentu saja tidak bisa nanti pacarnya marah

“Pacar aku tuh cemburuan Ra” Ucap Ismed lembut

“Tapi, aku kan sahabat kamu masa nggak bisa sih? Ayo kali ini aja “ Ucap ku sedikit kesal, ya ampun
padahal aku bukan siapa-siapa.

“Rara, jangan paksa. Kalau gue nggak bisa itu artinya nggak bisa, ngerti bahasa manusia nggak sih? “
Bentak Ismed. Ya ampun apa lagi ini Ismed membentakku?

“Kamu bentak aku?” Ujar ku berusaha menahan air mata

“Iya kenapa, lo nggak suka? “ Tanya Ismed menatapku sinis

“Kamu bukan Ismed yang aku kenal” Ucap ku lirih

“ Kenapa, kaget?” Ucap Ismed dengan nada mengejek

Bugh

“Berengs*k, Maksud lo apa bentak-bentak Rara kayak gitu” Ucap kak Raka yang memukul rahang
Ismed

“Kasih tau kek Rara jangan suka maksa-maksa gue” Ucap Ismed lalu pergi dari taman, aku ingin
mengejar Ismed namun di tahan sama kak Raka

“ Sudah Ra laki-laki kayak gitu nggak pantas di kejar” Ucap kak Raka menahan pergelangan tangan
ku. Kak Raka membawa ku dalam pelukan nya, aku semakin menangis ini sangat sakit

“Nangis aja Ra, kakak tau ini sakit buat kamu” Ucap kak Raka sambil mengusap-usap rambut ku saat
aku merasa lebih baik aku melepaskan pelukan kak Raka

“Hm kok kak Raka bisa ada di sini?” Tanya ku

“Tadi kakak mau ajak Rara jalan tapi kakak liat Rara mau pergi jadi kakak ikutin deh “ Ucap kak Raka
lembut

“Makasih ya kak untung ada kakak” Ucap ku tulus

“Nggak perlu berterimakasih Ra, ini udah jadi tugas kakak untuk melindungi kamu” Ucap kak Raka
yang lembut sambil mengusap-usap rambut ku

“Iya kak” Ucap ku. Setelah selesai menenangkan diri kak Raka mengantarku pulang karena lusa aku
harus balik lagi ke rumah paman dan bibi.

Setelah lulus SMA aku sangat sibuk mempersiapkan diri untuk masuk ke Universitas favorit ku,
akhirnya aku bisa move on juga setelah setahun lebih aku selalu menangis saat mengingat semua
kenangan bersama Ismed. Aku juga sangat terkejut saat mengetahui bahwa kak Raka juga
mencintaiku, tapi hati ku tidak bisa membalas cinta kak Raka,

END
Maluku Utara, 13 Februari 2022

Namaku Asriaini Fahrudin, biasa di sapa Rara atau Acha. Aku lahir di Bacan pada 16 April 2003 , aku
masih tinggal bersama orang tua ku di Maluku Utara daerah Halmahera selatan. Hobi ku membaca
Dan bermain game Online. Nama Ig : achaa043_

STUPID LOVE

Kayla Aprilia Salsabilah

Cinta beda segalanya itu menyakitkan, tapi pernah kah kalian mendengar cinta beda dunia??.

Nana adalah wanita Reakarnasi dari putri helena jaman mesir kuno dulu. Kecantikan bak seorang
bidadari yg turun dari khayangan.

Dulu ia pernah mencintai seorang pengembara yg ekonomi tidak sesuai standar mesir dulu,lelaki itu
berasal dari keluarga yg kurang mampu. Tapi sayangnya hubungan mereka berdua tidak direstui oleh
ayahnya nana, karena ia tidak mau mempunyai menantu miskin seperti ravindra. Ravindra yg
mendengar itu terkejut dan ia sadar ia tidak pantas untuk bersanding dengan putri nana.

Kisah cinta mereka berdua sampai tercatat oleh sejarah karena ada suatu kejadian yang membuat
nana yaitu putri helena ia dapat Reakarnasi kembali.

“Helena, kamu tidak pantas bersanding dengan pria yg tidak memiliki bibit bobotnya, jadi ayah ingin
menjodohkan kamu dengan anak teman ayah yaitu gion.”

Helena yg mendengar itu awal ia menolak mentah-mentah perjodohan itu tapi karena ayah
mengancam keluarga lelaki itu maupun lelaki yg dicintai nana akan di bunuh didepan nana sendiri.
Nana yg mendengar itu akhirnya mau tidak mau ia harus mengikuti permintaan ayah itu karena
setiap lontaran ayahnya itu akan menjadi kenyataan.

Di hari pernikahannya ia tidak seperti putri-putri lainnya yang bahagia. Karena ia tidak mau menikah
dengan pria pilihan ayahnya, Nana kabur ketempat ravindra. Gion yg melihat dari kejauhan nana
berusaha kabur, ia langsung menyuruh semua prajuritnya untuk mengejar putri Nana.

“sampai seperti itu putri Helena, kau tidak mau menikah dgnku? Seburuk itukah aku di mata
mu?”Ucar pangeran Gion yg melihat orang yang di cintai itu lebih lebih memilih pria yang di
cintainya daripada pada pria pilihan ayahnya sendiri.
Nana terus berlari tanpa ia sadar jika pria yang ia cintai itu juga di nikahkan pada hari itu juga.

Nana berhenti melihat orang-orang yg berlalu lalang itu. Ia penasaran dan ia menerobos orang-orang
itu. Bagaikan tersambar petir, ia melihat orang yang di cintainya juga dinikahkan pada hari ini juga.

Ia pergi dari kerumunan tersebut dan memilih ke tebing. Keadaan Nana sudah tidak karuan lagi
rambut sudah acak-acakkan, baju sudah terkena lumpur keadaan nya sudah seperti orang yang
kehilangan ingatan.

“putri Helena, aku tau kau mencintai ravindra, tapi bisakah kau membuka hati untuk ku ini? Apakah
kau tau aku sangat mencintaimu dari acara perjamuan 1 tahun yang lalu. Wajah mu, senyuman mu,
keramahanmu, ketulusanmu, kebaikanmu, dan lain lainnya itu semuanya ku suka.” Ucap Gion
dengan perasaan dada yang sudah sesak.

Nana yg mendengar itu hanya diam, ia tidak bisa berkata apa apa. Karena ia tanpa sadar sudah
membuat 1 orqng berharap cint nya itu. Karena ia sudah frustasi ia langsung lompat dari tebing itu.
Gion yg melihat itu juga langsung ikut lompat untuk menyelamatkan Nana.

“Gion, maaf jika aku tidak bisa membalas cinta mu saat ini, tapi aku meminta kepada Tuhan supaya
kau adalah jodohku di masa mendatang nanti.” Ucap Nana dalam hati.

“Woiiiiii Nana bangun kamprett hari ini hari pertama kita kuliah, jangan sampai terlambat prenn”
ujar seorang wanita yang sudah seperti mama Nana.

Nana terbangun, ia teringat akan masa lalu nya, semuanya dan ia sadar kalau dia Reakarnasi kembali
di masa ini. Nana sangat senang karena ia pasti memiliki harapan untuk bertemu Gion.

Di kelas ia mengingat seseorang yg akan menjadi calon suaminya akan tetapi itu tidak terlaksanakan
di masa lalu akibatnya kebodohan nya sendiri.

“Nana lo tau engga? Kalau nanti bakalan ada murid baru itu yaitu kalau engga salah nama nya
eumm siapa? Hah nya Gion Ravindra.” Ucap kiye.

Nana yg mendengar gabungan nama Gion dan ravindra sangat-sangat terkejut.

“Hah yg benar lo kiye, jangan-jangan lo hanya ngawur aja” ucap Nana yang belum percaya sama
sekali.

“Benar Nana, nanti kau lihat sendiri aja biar kau percaya.”

Selang beberapa menit datang dosen mereka dengan seorang pria yang mengikuti dosen
tersebut.”anak-anak saya Jian, dosen yang akan mengajar kalian. Semoga kalian betah bersama saya
ya. Dan ini saya membawa mahasiswa pertukaran kuliah dari negara Mesir, nak perkenalkan diri mu
kesemua teman-temanmu.”

“Halo semua saya Gion ravindra, saya mahasiswa pertukaran kuliah dari negara sebrang, yaitu mesir.
Semoga kalian betah berteman dengan saya ya.” Ucap pria tersebut sambil terus menatap Nana.

Nana yg melihat itu pun langsung bingung dan heran. Apakah Gion ravindra mengingat masa lalunya
dulu? Atau bagaimana hm entahlah, semuanya itu tidak ada yang tau.

Setelah pulang dari kuliah, Nana ia tidak langsung pulang kerumah melainkan pergi ke sebuah
tempat yg sangat jarang ada orang yang lalu lalang di tempat itu.
Disaat yang bersamaan ada seorang pria yang sedang duduk di tempat biasanya Nana duduk. Mau
tak mau Nana pun harus duduk bersama pria tersebut.

Saat Nana mau duduk, betapa terkejutnya melihat wajah pria tersebut mirip sekali seperti wajah
orang yang di cintainya dulu tapi tidak direstui cinta mereka berdua oleh ayahnya Nana.

Dari kejadian tersebut, Nana dan Ravindra kembali bersatu. Bagaimana dengan Gion?? Eumm Nana
dan Gion hanya sebatas teman saja, ya kalau lagi butuh salah satu di antara mereka akan datang.

Sampai di satu titik Nana baru sadar kenapa pria tersebut selalu datang di tempat itu.

“Ravindra, kenapa engkau selalu mengajak ke sini? Kenapa tidak di cafe atau sebagainya?” Ucap
Nana yang heran.

Ravindra yang mendengar itu langsung menghela nafas dan ia mengajak Nana ketempatnya. Nana yg
dari tadi dengan perasaan heran pun mau-mau aja ikut.

SINGGG !?.

Nana kembali pada abad 90 an ia melihat Ravindra di situ dikejar-kejar oleh seseorang, dan sampai
di mana nana melihat adegan mengerikan itu terjadi. Yap Nana melihat Ravindra di bunuh oleh pria
tersebut. Sebelum pria itu membunuh Ravindra,Nana mendengar percakapan Ravindra dan pria
tersebut.

“RAVINDRA engkau harus mati supaya kelak putri ku nanti Helena lahir, dia tidak kan pernah menjadi
istri mu sampai kehidupan selanjutnya.” Ucap pria tersebut yang melainkan adalah ayah Helena. Iya
kemabli Reakarnasi dan iya mengingat masa lalu menjadi raja paling berjaya pada mesir kuno dulu.

Ravindra terus berlari sampai lah iya di danau tempat yg selalu nana datangi. Ia dibunuh secara keji
oleh ayahnya Nana dan mayatnya di buang ke dasar danau tersebut.

Nana yg melihat kejadian itu syok berat dan ia menyadari kalau Ravindra yg selalu bersama nya saat
ini adalah arwah yang sudah meninggal berrtepatan Nana lahir pada tahun itu.

Ia pingsan dan sudah berada di rumah sakit.

Ia masih tidak percaya atas kejadian yg menimpa nya tadi.

“Nana, ini aku Gion. Hufttt aku tau tadi engkau di bawa ke jaman 90an, pasti kau masih tidak percaya
atas kejadian yg menimpa mu barusan tadi,tapi kau sudah tau kan kalau Ravindra dia sudah
meninggal sudah lama. Kau selama 3 tahun ini tidak menyadari kalau ravindra yg selalu bersama itu
dia sudah menjadi arwah.” Ujar Giotad

Ya Ravindra merahasiakan ini kepada Nana sudah cukup lama. 3 tahun Nana tidak mengetahui
identitas Ravindra, ia tinggal dimana, apa dia masih kuliah seperti Nana atau sudah bekerja, di mana
ibu dan ayah nya, kenapa asal Nana berjumpa dengan Ravindra ia selalu sudah berada di sekitar
danau itu.

Dari kejadian itu kabar Ravindra tidak diketahui lagi, dan keadaan Nana semakin memburuk.

Satu tahun kemudian kelulusan kuliah Gion sudah selesai dan di rumahnya ia kedatangan keluarga
kiye dan kiye. Maksud kedatangan mereka yaitu ingin menjodohkan kiye dengan Gion, Tetapi Gion
tidak mau menerima perjodohan itu dan ia lebih memilih menikah dengan Nana. Awalnya kedua
orang tua Gion tidak mau menerima menantu yang gila di bilang orang-orang nanti, tetapi Gion
tidak menggubris omongan kedua orang tuanya itu. Ia tetap kekeh dengan pendiriannya itu dan
alhasil mau tidak mau kedua orang tua Gion mau menerima Nana sebagai menantu mereka.

Nana sebenarnya masih normal hanya saja iya sering menangis,dan marah-marah tanpa sebab itu
lah yang membuat diri nya di cap sebagai orang gila. Nana sadar akan seseorang yang menanti cinta
nya dari dulu sampai sekarang dan Nana berusaha mencintai Gion sebagai suaminya.

“Kata orang memang benar, kalau cinta itu akan membuat seseorang buta akan kehidupan nya dan
merugikan semua orang yg ada di kehidupan mereka.tanpa sadar ada seseorang yg menanti cinta
kita kepada nya walaupun ia tau pasti kita tidak kan membalas nya cinta nya tersebut.”

-Nana

END

Nama:Kayla aprilia salsabilah

Nama sapaan/pena:Kayla, kelas, dan key

Tempat/tgl lahir:medan, 22-04-2007

Alamat domisii:tanjung anom, medan, Sumatra Utara

Cita-cita:penulis

Motto hidup:teruslah berusaha walaupun pasti banyak rintangan yg kita hadapi di kehidupan ini
sampai kita bisa mencapai tujuan dari hidup kita ini
1 TITIK 2 GARIS

Tsabita Reva Labibah

Kisah ini berawal dari saat Bulan SMP kelas 7, Bulan suka sama tuh orang awalnya Bulan hanya
penasaran. Tapi, makin lama Bulan makin tertarik sama tuh orang. Bulan mendem perasaan dia
kurang lebih 3 tahun dan Bulan confess pada saat Bulan kelas 10 di semester 1.

“Gua suka sama lu.”

“Maaf tapi kita sahabatan aja ya gua lebih nyaman kaya gini.”

Hubungan kita terhalang oleh kata “Sahabat“ akankah seterusnya bakal seperti ini? Apa memang
sudah tidak ada harapan lagi untuk lebih dari ini?

“Bulan.” Panggil winter.

“Ada apa win?”

“Lu kenal kan sama Cahaya anak SMA 1 itu.”

“Iya kenal dia kan temen SMP gua.”

“SMA 1 itu sekolah crush kamu kan?”

“Iya, emang ada apa sih win?”

“Itu ada rumor kalo mereka lagi deket.”

“Gua tau dan itu dari SMP mereka deket.”

Sayangnya Bulan sudah mengetahui rumor itu dari SMP sejak saat itu Bulan ragu untuk
menyatakan perasannya walaupun kabarnya Cahaya dan Bintang tidak ada hubungan yang lebih dari
teman. Rasa yang campur aduk ini selalu menghantui Bulan.
Bulan selalu bertanya pada dirinya sendiri apakah Cahaya dan Bintang sudah menjalin hubungan
sekarang ini? Kenapa gua rasanya tidak tenang begini. Karena bulan penasaran jadi Bulan
memutuskan untuk chat Bintang.

“Assalamualaikum Bintang.”

“Waalaikumsalam ada apa Bulan?”

“Lu masih deket sama Cahaya?”

“Iya emang kenapa lu nanya gitu?”

“hmm gpp cuman nanya doang.”

“Jangan percaya sama rumor gak jelas itu gua sama Cahaya cuman sebatas sahabat doang gak
lebih.”

“Hmm okey.”

Bulan cukup terkejut bagaimana Bintang bisa tau apa yang ingin dia tanyakan, maksudnya inti dari
tujuan Bulan ngechat dia. Sedangkan di balik percakapan itu ada Bintang yang sedikit khawatir
dengan Bulan.

“Dia marah gak ya gua masih deket sama Cahaya.” Gumam Bintang dalam batin.

“Ah tapi Bulan bukan orang yang seperti itu dia pasti bakal ngertiin gua.” Lanjut Bintang.

Sedangkan di balik pintu rooftop Bulan terlihat pasrah tentang nasibnya yang berada di 2 garis ini
dan tujuan kedua garis itupun menuju pada titik yang sama yaitu Bintang.

“Apa yang harus gua lakuin.” Gumam Bulan.

“Apa mundur aja ya, Cahaya kan juga suka sama Bintang tapi gua gak tau Bintang lebih nyaman
dengan siapa.”

Jika semesta merestui hubungan kami maka yang akan bersatu adalah Bintang dan Bulan karena
mereka selalu bertemu di malam hari, sedangkan Cahaya dia tidak akan pernah bersatu dengan
Bintang karena keduanya di patahkan oleh takdir. Cahaya yang di takdirkan dengan matahari
sedangkan Bintang di takdirkan oleh Bulan.

“Bulan gua tau lu disitu tolong buka pintunya.” Ujar Winter.

Namun Winter sama sekali tidak mendapatkan respon dari Bulan, tetapi Winter tidak akan putus
asa ia bakal lakuin apa saja demi sahabatnya.

“Baiklah jika kau ingin sendiri maka aku akan pergi tapi ingatlah Bulan kau tidak harus jadian
dengannya kau nyaman nyaman saja kan menjalankan hubungan persahabatan dengannya.”

“Gua paham apa yang lu rasain sekarang karena gua juga dulu pernah ngalaminya ingat kau tidak
sendiri Bulan.”

Setelah Winter bicara Panjang lebar akhirnya Winter meninggalkan Bulan yang masih bersedih di
balik pintu rooftop.
“Winter benar mau sampai kapan aku akan kaya gini terus, lagian aku nyaman nyaman saja
dengannya walaupun sebatas sahabat.”

“Gua harus lupain dia tapi gimana caranya gua gak tau.”

Daripada mikir sendirian akhirnya Bulan memutuskan untuk bertemu dengan Winter namun, saat
Bulan ke kelas ternyata Winter tidak ada.

“Pasti ke kantin tuh anak.” Ujar Bulan yang langsung menyusul pergi ke kantin.

Cukup lama Bulan memutari kantin namun Bulan sama sekali tak menemukan Winter.

“Gua tunggu di kelas aja deh kalo gitu.”

Bulan pergi ke kelas dengan sedikit rasa khawatir kira-kira kemana tuh bocah pergi. Sudah
setengah jam Winter pergi dan sebentar lagi adalah waktunya bel masuk.

TENGGGGGG

Singkat cerita saat pulang sekolah Bulan di jemput oleh Bintang tanpa mengabarinya terlebih
dahulu.

“Loh Bintang lu ngapain disini?” tanya Bulan.

“Ngapain lagi kalo gak jemput lu.”

“Loh emangnya lu gak pulang bareng Cahaya?”

“Gak, hari ini gua mau pulang bareng lu.” Karena Bintang sedikit khawatir dengan Bulan makannya ia
memutuskan untuk menjemput Bulan pulang.

“Tumben banget.”

Saat Bulan ingin menaiki motor Bintang tiba-tiba hp Bintang berdering dan terdapat nama Cahaya
dilayar hpnya. Tanpa menunggu waktu lama Bintang langsung mengangkatnya.

“Bintang kamu dimana?”

“Aku ada disekolah Bulan emang kenapa”

“Kamu bisa anterin aku pulang gak? Tiba-tiba ortuku nyuruh cepetan pulang kalo nunggu angkot
bakal lama ntar.”

“Ok aku otw sekarang.” Tanpa pikir Panjang juga Bintang dengan menjawab seperti itu dan
membatalkan untuk pulang Bersama.

“Sorry ya Lan gua disuruh Cahaya buat anter dia pulang. Pulang barengnya kapan-kapan aja ya.”

“Iya Bintang gapapa kok kamu anter dia pulang aja nanti ortunya marah loh.”

“iya.” Jawabnya dan langsung menancapkan gas meninggalkan Bulan sendirian.

“Tadi dia bilang aku kamu sama Cahaya, tapi kenapa kalo sama aku manggilnya lu gue secanggung
itukah hubungan kita.” Gumam Bulan.
Sesampainya dirumah Bulan langsung merebahkan dirinya dikasur sambal merenungi tentang
hubungan persahabatannya.

“Inget Bulan kamu itu cuman sahabatnya bukan prioritasnya jadi jangan terlalu berharap.” Gumam
Bulan dalam hati.

Disaat yang bersamaan tiba-tiba Bintang meneleponnya.

“Bulan lu udah nyampe?”

“Iya udah barusan gua nyampe.”

“Kamu udah nganterin Cahaya?”

“Hah?” bingung Bintang.

“Kenapa?”

“Tumben pake kamu biasanya juga lu.” Heran Bintang.

“Gapapa lagi pengen aja.”

“Kalo seterusnya aja gimana? Biar lebih nyaman juga ngobrolnya.”

“Boleh.”

“Besok ada waktu?” tanya Bintang.

“Ada emang kenapa?”

“Aku mau ngajak keluar ada Cahaya juga ntar.”

“Mau kemana?” tanya Bulan.

“Nonton?” ajak Bintang.

“Film?” tanya Bulan.

“Apa aja yang penting seru.”

“De amsthel mau?” saran Bulan.

“Boleh-boleh aku juga penasaran sama filmnya.”

“Jam berapa?”

“12 aja dimall biasa.”

“okey.”

“Mau aku jemput atau naik grab?”

“Grab aja kamu jemput Cahaya aja nanti.”

“Okey.”

Keesokan harinya semuanya sudah berkumpul dimall biasa mereka kunjungi, Bintang juga sudah
membeli 3 tiket De Amstel mereka akan menonton di studio 1.

“Hai guys.” Sapa Bulan.


“Hai.” Balas Cahaya dan Bintang.

“Tiketnya udah beli?” tanya Bulan.

“Sudah dong bestie.” Jawab Bintang.

“Oke deh jam brp?”

“13.00.” jawab Cahaya.

“Ohh bentar lagi berarti.”

“Iya.”

Mereka menunggu giliran nonton. Namun, tiba-tiba Bulan ingin pergi ke toilet.

“Eh aku mau ketoilet dulu ya.” Ujar Bulan.

“Bulan, ikut.” Ujar Cahaya.

Selesai dengan urusan mereka, Cahaya tiba-tiba mengajak Bulan ngobrol.

“Aku sama Bintang cuman sahabatan doang Lan.”

“Hah? Kenapa tiba-tiba bahas itu.”

“Gapapa aku cuman mau minta maaf karena aku sering ngandalin Bintang padahal aku bisa pulang
sendiri tapi hati aku mauya tetep Bintang.”

“Gapapa Cahaya kita berdua ada diposisi yang sama kita cukup ngikutin alur aja dan biar takdir yang
menentukan. Selagi hubungan kita masih baik-baik saja yaudah kita jalanin aja, ok.” Ucap Bulan.

“Kamu gak marah?” tanya Cahaya.

“Aku gak ada hak buat marah, toh kita belum tau kedepannya bakal gimana dan lagian aku lebih
suka hubungan yang kaya gini.”

“Makasih.”

“Gak perlu berterima kasih Cahaya.”

Bulan hanya tersenyum memandang Cahaya namun kenyataannya memang benar Bulan lebih suka
hubungan yang seperti ini sahabatan dan saling menjaga itu yang Bulan suka.

“Kalian udah selesai?” Tanya Bintang saat melihat Cahaya dan Bulan berjalan mendekat.

“Udah.”

“Ayok masuk studio filmnya udah mau mulai.” Ajak Bintang.

“Iya ayok.” Seru Cahaya dan Bulan.

Selesai film diputar dan mereka keluar dari studio tiba-tiba Bintang ingin mengobrol tetapi kali ini
dengan raut wajah yang serius.

“Pokoknya kita harus sahabatan terus sih sampe ajal ngejemput.” Ujar Bintang.

“Iya pokoknya kita harus gini terus berteman tanpa melibatkan perasaan, tetapi misal jodoh kamu
salah satu dari kita gimana Bin?” tanya Bulan.
“Ya aku nikahin lah tapi tetep harus masih saling ngejaga satu sama lain walaupun sudah bukan
prioritas lagi.”

“Oke, jangan cuman omong kosong doang ya,kali ini harus di buktikan oke.” Ujar Cahaya.

“Sip.” Jawab Bintang dan Bulan.

Walaupun berakhir hanya bisa sahabatan, asalkan mereka senang ngejalaninnya ya kenapa gak
gitu kan.Pelajaran yang dapat kita ambil dari sini adalah bahwa kita harus mempunyai prinsip seperti
Bulan “Menyukai bukan berarti harus dimiliki karena semua orang mempunyai hak untuk memilih
yang tepat dan serius bukan hanya penasaran.”

Persahabatan mereka langgeng sampai tua,hingga anak dari mereka pun menjalin hubungan yang
sama. Berteman tanpa melibatkan perasaan suka satu sama lain.

END

Halo apa kabar teman-teman? Kenalin aku Tsabita Reva Labibah panggil aja Reva aku kelahiran
tanggal 24 July 2006,aku kelas 10 di SMK Kesehatan. Oh ya cerita ini sebenernya diangkat dari kisah
nyata aku sendiri jadi ya gitu. Dan ini adalah kedua kalinya aku mengikuti event cerpen seperti
ini,menulis cerpen seperti ini adalah salah satu dari hobiku yang ingin aku tekuni agar cita-citaku
tercapai untuk bisa menerbitkan novel cerita sendiri. Aku juga bikin cerita on going di wattpad bagi
yang berminat untuk mampir ke cerita ku jangan lupa follow juga ya akunnya wp:RchanSkyblue
semoga suka sama ceritaku dan sampai ketemu dicerita aku diwattpad. Bye bye sampai sini saja
perkenalannya salam kenal semuanya.
KARENA CINTA, ADA YANG TERLUPA

Nartini

Atik terdiam seribu bahasa. Mulutnya terbungkam tak bergerak, seakan mati kutu oleh perkataan
Irfan lelaki yang selama ini diperjuangkan agar nanti mendampingi hidupnya. Harapan tinggal
harapan. Kesempatan tidak akan berulang. Sungguh sangat menyakitkan. “Mengapa Kau putuskan
sepihak tanpa memberi keterangan jelas?,” Atik meminta penjelasan sambil menahan rasa sesak di
dada. “Tidak usah banyak tanya. Aku berhak memilih siapa yang terbaik untukku. Kita ‘kan sudah
lama sejalan tapi kau selalu menyusahkanku,” Irfan setengah membentak kasar dan berlalu
melajukan sepeda motornya. Tak terasa air mata Atik menetes membasahi kedua pipinya. Remuk
redam hatinya. Beberapa adik-adik panti mengintip kejadian di luar berhamburan saat Atik tersadar
diintip. Atik tinggal di sebuah Panti Asuhan sebagai salah satu pengasuh anak-anak yatim piatu.
Namun Atik tetap kuliah demi mewujudkan cita-cita menjadi guru sebagai rasa hormatnya kepada
ayahnya. Ingin rasanya menemui Dayana dan menarik lehernya sebagai rasa sakit merebut
kekasihnya. Ingin diumpat habis-habisan Irfan yang tega berucap tanpa peduli perasaan wanita…
Apadaya Atik hanyalah seorang gadis lugu yang lemah dan takut dosa… hatinya remuk, bagai burung
kehilangan sayap tuk mengepak. Secepat itu Irfan memutuskan rasa kesetiannya.

Keesokan harinya di kampus…

“Atik, dengar-dengar Irfan dekat dengan Dayana mahasiswi kedokteran,” Putri berbisik ke Atik. Atik
tersenyum menutupi sesaknya kejadian kemarin. “Kok kamu diam?. Tidak tahu atau kau biarkan dia
begitu…,” Putri penasaran dengan tanggapan Atik.

“Kami tidak lagi sejalan Put” jawab Atik singkat.

“Benar?! Mengapa? Kau kan sebaik malaikat, Tik?,” Putri seakan tidak percaya.
“Hampir semua laki-laki bersifat sama. Jika ada wanita yang lebih sesuatunya pasti melirik dan
meninggalkan kita,” Atik menjawab sekenanya.

“Itu sih playboy. Sabar ya. Pasti Allah memberi yang terbaik ‘tuk wanita sepertimu,” hibur Putri.

“Semoga ya. Sudahlah, jangan ngomongin dia. Hatiku ingin mengosongkan dari namanya. Aku ingin
konsen belajar. Laki-laki bikin pusing kepala.”

“Mendingan bersama adik-adik panti yang lugu dan lucu-lucu. Mereka sangat polos dari dosa.
Hatinya bersih dari keinginan dunia.” Putri menghibur.

“Hai, Atik. Kulihat tadi Irfan dengan cewek cantik. Kalian bertengkar ya?,” Ali datang sambil
tergopoh-gopoh. “Hussst jangan gitu. Kasihan Atik,” Putri menahan Ali.

“Memang lelaki dari dulu gak berubah. Jika ada yang lebih bening matanya jelalatan,” umpat Ali.
“Tahu tuh. Gak punya perasaan!,” Atik nyelonong pergi. Putri dan Ali saling memandang. Ada rasa
sesal mengatakan itu semua. Atik memang gadis kalem, tidak menuntut apa-apa, dan dapat
menerima apapun keadaan temannya. Namun jika dikhianati rasanya sakit sekali. Atik merasakan
hari-harinya seakan sepi. Harapan sia-sia. Meskipun teman-temannya memberi support untuk tegar,

namun rasa kecewa menyayat hatinya. Kepalanya terasa pusing. Tidak banyak senyum tulus
tersumbing di bibirnya. Kuliah terasa menyiksa, karena selalu terkenang masa-masa indah bersama
Irfan meskipun Atik berupaya menghapusnya. Nisa mengamati Atik dari tadi merasa kasihan.

“Sudahlah Tik, dunia masih mengharapkan uluran tanganmu. Jadilah Atik yang asli, yang baik dan
ikhlas dengan ridho Allah. Mungkin ini kejadian yang terbaik untuk kita semua. Allah pasti
menyiapkan lelaki yang lebih baik dari Irfan. Yakinlah dan dekatkan diri pada Allah,” hibur Nisa. Atik
meneteskan air mata. Tak mampu berkata.

Memang benar semua kehendak Allah, tetapi mengapa terlalu sulit untuk menerima kenyataan, apa
salahku, apa dosaku hingga dia memilihnya. Memang Atik menyadari kondisinya tidak secantik
Dayana, jurusan kuliahnya tidak se-ngetrend Dayana, kehidupannya tidak semapan Dayana, tetapi
mengapa Irfan memilih Dayana karena dunia?.

Sangat disayangkan pada diri Irfan yang dalam pandangan Atik lelaki dengan agama kuat, hanya
berjibaku demi akhirat. Hanya karena melihat masa depan keduniaan Irfan memilih Dayana?. Atik
berupaya meyakinkan: ini keputusan terbaik Allah. Atik berupaya menerima semuanya. Ditariklah
nafas dalam-dalam untuk melepas semua beban pertanyaan yang tak terjawabkan olehnya. Hanya
Irfanlah yang berhak menjawabnya. Untuk itu Atik menyibukkan diri beraktivitas sehingga
melupakan pikiran dan angannya tentang Irfan. Hari-hari Atik disibukkan untuk belajar dan
mengajari adik-adik panti meski bayangan Irfan masih sering bergelantungan di benaknya.

Irfan selalu bersama Dayana kemanapun mereka pergi. Irfan merasa dunianya terbuka luas
bersandingkan Dayana yang punya wajah cantik, masa depan mengiurkan: seorang dokter, serta
kaya raya. “Mas Irfan, cinta betulan padaku?,” Dayana menggoda. Irfan tersenyum tersipu-sipu.
Seperti gayanya lelaki yang mempesona, Irfan berupaya sopan dihadapan orang yang diharapkan
menerimanya sepenuh hati. “Jawab dong Mas.”

“Iya-lah Dik. Hanya dirimu yang tercantik di dunia ini.”

Dayana menyandarkan kepalanya di dada Irfan tanpa malu-malu. Irfan terasa terbuai, angannya
membumbung tinggi. Tidak sia-sia dia putuskan Atik yang selama ini hanya bicara tanpa tindakan
berarti seperti yang dilakukan Dayana. Dayana lebih agresif, lebih romantis, lebih berani dibanding
Atik. “Senang tidak Mas jika Dayana manja-manjaan pada Mas?” Irfan tersenyum senang. Mereka
terasa cepat akrab dan entah mengapa bagai ada magnet yang saling beradu untuk selalu dekat.
Mereka tidak menyadari kalau Daffa memperhatikan kelakuan mereka. “Cieee, cieeee…. Ingat kuliah
lho.” Mereka terkejut dan melepas dekapan. Merah merona wajah Dayana. Irfan merasa bangga
begitu mudahnya mendapatkan cinta dari seorang wanita seperti Dayana. Daffa menarik lengan
Irfan, “ Kau gak kasihan sama Atik. Dengan Dayana begitu dekatnya. Memangnya Kalian sudah kenal
lama….”

“Sebenarnya sudah lama. Cuma aku gak pernah mengatakan pada Atik, kasihanku dulu sudah habis.
Aku butuh kasih sayang yang sebenarnya. Aku butuh pelukan, bukan sekedar nasehat agama melulu
kayak Atik. Atik itu gadis gak level, kolot.”

“Kusumpahin kau kuwalat,” Daffa marah.

“Memangnya mengapa? Kan hak-ku memilih. Wajar dong milih yang lebih menjanjikan daripada
hanya omongan belaka.”

“Kau akan menyesal nanti,” Daffa menyumpahi Irfan dan berlalu. Daffa, Ali, Putri, dan beberapa
teman sekampus sangat menyayangkan keputusan Irfan. Atik gadis yang baik, sederhana, dan dapat

dipercaya meskipun tak berduit. Setelah kejadian tersebut Atik sakit-sakitan. Atik berupaya melawan
penyakitnya dengan tetap mengabdikan diri di Panti. Atik menjadi guru di yayasan Panti tersebut,
dan menjalani hidup mandiri.

Daffa tahu persis bagaimana sifat Atik. Atik sangat mencintai Irfan. Ternyata Irfan tega berbuat
demikian. Irfan tidak mau peduli. Dunianya sudah dimabuk cinta.

Dayana masih menanti Irfan untuk kembali jalan berdua. “Yuk pulang,” ajak Dayana yang diikuti
Irfan. Keduanya pulang bergandengan sepanjang jalan. Terbayangkan saat bersama Atik, memang
Irfan dan Atik hanya berjalan berdampingan, saling cerita, beradu senyum tanpa sentuhan apapun.
Atik sangat taat agama. Beda dengan Dayana, dia memberikan segalanya.

Beberapa bulan berlalu…

“Mas Irfan, Dayana ingin kita menikah,” pinta Dayana. “Hah, menikah?” Irfan pura-pura terkejut,
padahal memang itulah yang diharapkannya. “Iya. Keberatankah sayang?”

“Tidak. Baik. Tapi kuliahmu kan belum selesai….”

“Yang penting aku ingin menikah. Kuliah kan dapat diselesaikan sambil menikah. Nanti bantuin biaya
kuliahku ya Mas,” pinta Dayana manja. Irfan tak bisa menolak.

Ternyata Dayana beragama Hindu. Karena Irfan beragama islam Dayana akhirnya masuk islam.
Dayana disuruh memakai gamis dan bercadar serta belajar agama islam. Merekapun menikah di
sebuah masjid. “Dik, kapan dong kamu jadi dokter? Aku pingin kau jadi dokter,” suatu saat Irfan
bertanya pada istrinya. Dayana memandang suaminya. “Di dalam Al Qur’an yang wajib memberi
nafkah ‘kan laki-laki. Buat apa aku mesti kerja? Memangnya Mas mau menjadikan aku pencari uang
gitu?”
“Aku apa mampu mencukupi semua kebutuhanmu? Aku hanya seorang guru honorer. Jika ada
sesuatu dengan anak kita nanti bagaimana?”. Yach, Irfan bekerja sebagai guru honorer di sebuah
SMP beberapa bulan sebelum mereka menikah.

“Itu resikonya jadi suami. Tugas Mas kan menyediakan sandang pangan dan papan. Jangan dibolak-
balik fatwa agama dong,” Dayana marah. Irfan mati kutu. Tugasnya jadi seperti babu di rumah.
Menyapu, memasak, mencucikan baju istrinya, menyetrika termasuk belanja kebutuhan keluarga.
Demi cinta dan perjanjian awal pilihannya. Sementara Dayana belajar agama sambil bersosialita
dengan teman-teman laki-laki kampusnya. Maklumlah Dayana kembang kampus. Irfan merasakan
beban tersendiri. “Dik, aku ingin kau bantu aku mencari nafkah,” pintanya.

“Okey, tolong siapkan uang untuk aku berkolaborasi joint dengan dokter-dokter temanku kampus.
Mas tidak boleh mencampuri urusanku. Mas harus mengantar dan menjemputku tepat waktu, serta
tidak boleh mentarget apapun dariku. Paham?!.” Irfan betul-betul terjepit. Dalam kesendiriannya
Irfan ingat Atik, gadis yang lugu yang pernah ditinggalkannya. Sedang apakah dia? Bahagiakah dia
sekarang?. Diambilnya hp dan ditilponlah Daffa,” Assalamu’alaikum. Daffa, ini aku Irfan. Apa
kabarnya Atik ya? Lama aku tidak mengetahui perkembangannya.” Daffa menjawab serius ”Atik
sudah sukses jadi kepala Yayasan Panti Asuhan dan sekaligus guru besar di Pondok. Tumben nanyain
dia. Kangen ya?”. Irfan terdiam, masak sih Atik yang pendiam, pemalu mampu menjadi ketua
yayasan dan guru besar?. Jadi tempat bertanya banyak orang tentunya. Memang ilmu agama Atik
bagus, dia sangat tekun dan telaten memegang janji, istiqomah dan baik hati. Apakah boleh aku
menemuinya seperti dulu?. Pikiran Irfan jadi kacau.

“Fan, kata teman-teman kerjamu sepulang ngajar masakin untuk istrimu ya,” Daffa bertanya sambil
tertawa terbahak-bahak. “Itukah yang kau impikan dulu?” sambung Daffa terus tertawa. Irfan
berupaya mengelak,”Itu tugas suami. Aku ikhlas kok mengerjakannya. Istri kan amanah. Kau saja
yang kurang mengerti.”

“Iya Fan, yang penting istrimu bahagia. Kau benar…,” balas Daffa dengan ringannya. Agama islam
memang menegaskan tugas suami memberi nafkah lahir batin demi kebahagiaan istrinya. Itu bagi
yang ikhlas menjalani dan tidak merasa dilecehkan kedudukannya dalam rumah tangga. Istri suka
sosialita, suami jadi pelayan karena cinta. Takut istri atau tugas suami? Semua terserah yang
menjalani. Itulah takdir Ilahi, manusia hanya berupaya. Tetap Allah yang Maha Kuasa dengan
kehendak-Nya.

END

Madiun, 31 Januari 2022

Nartini, pengemar angka dalam karya asal Madiun ini mengajak untuk selalu berkarya dalam goresan
pena tuk mengsukseskan perubahan karakter anak bangsa lebih baik. Bersama kita bisa dan
berkarya sepanjang usia. Colek dia di nartini74@gmail.com
WHO I LIKE?

Grace Ameilia

“Menerima cinta tidak semudah yang dibayangkan”

Anda

Ky lo di mana?

Pesan itu terkirim. Ceklis dua, yang artinya pesan itu sudah masuk. Tetapi tidak kunjung dibalas,
bahkan dibaca saja tidak. Ia mencoba mengirim beberapa pesan lagi, namun hasilnya tetap sama.
Kemudian ia menelponnya. Berdering. Tetapi tidak kunjung dijawab juga. Apa ponselnya di-silent
hingga suara deringnya tidak terdengar?

Gadis itu, Zoya, menghela napas.

Ia membereskan letak tali tasnya. Kakinya terasa pegal dan linu karena sudah berdiri di depan
sebuah toko buku sejak satu jam yang lalu. Ia menggigit bibir bawahnya, merasa resah karena rintik
hujan perlahan turun. Akhirnya dia memutuskan untuk memasuki toko buku tersebut, biarlah nanti
dia mengabari teman janjiannya itu kalau sudah ada di dalam.

Zoya langsung melipir ke tempat buku memasak. Agendanya siang ini adalah membeli kado untuk
mamanya dan dia punya ide untuk membeli buku memasak. Harusnya ia tidak sendiri, dia sudah
membuat janji dengan seseorang untuk datang ke sini, tetapi orang itu malah tidak ada kabar.
“Eh Joy!”

Zoya menoleh. Orang itu melambaikan tangan dan mendekatinya dengan kedua tangan dimasukkan
di saku celananya.

“Widih mau belajar masak nih bu?” guraunya sambil tersenyum mengejek.

“Apaan sih lo? Ngomong-ngomong tumbenan lo ke toko buku?” tanyanya sambil memilah-milah
buku mana yang akan dibeli.

“Buset jelek banget gue dimata lo,” ujarnya.

“Emang jelek sih,” ucap Zoya meringis.

“Sembarangan! Ini Tora woy! Cowok paling ganteng se-MIPA 5. Cewek-cewek kelas lain aja pada
demen sama gue. Mata lo aja yang siwer, kebanyakan bucin sama yang katanya sahabat,” ucap Tora.
Zoya menendang kakinya gemas membuat Tora meringis kesakitan.

“Diem nggak lo!”

“Ampun nyai, gue diem nih.”

Zoya sudah menemukan buku mana yang akan dibeli. Ia berbalik, sehingga wajahnya berhadapan
dengan Tora. Mengamati wajah Tora yang memang sangat tampan membuat Tora menaikan alisnya.
Zoya segera mengalihkan perhatiannya, dia cewek teguh, tidak akan goyah. Ia menggeser tubuh Tora
yang menghalangi jalannya kemudian berjalan menuju kasir, Tora mengikutinya di belakang.

“Em, jadi lo ngapain ke sini?” tanyanya.

Tora tidak kunjung menyahut. Zoya berhenti membuat Tora juga ikutan berhenti. Ia berbalik
menatap Tora, Tora hanya menaikkan alisnya.

“Gatau deh.” Zoya berjalan mendahului dengan muka bersungut. Tora menggigit bibirnya menahan
senyum, betapa gemasnya Zoya kalau sedang ngambek. Gemes banget sih calon pacar, batinnya.

Tora berjalan menyamakan langkahnya dengan Zoya. “Tadi disuruh diem, gimana sih lo?” Zoya
masih diam dengan muka cemberut. “Gue ke sini anterin Kak Sila beli novel,” lanjutnya.

“Oh.”

“Dih gitu doang ngambek lo?” Zoya melirik sinis. “Maaf deh, gue traktir chatime mau?”

“Mau,” jawabnya cepat.

“Gaskeun!”

Tora merangkul bahu Zoya menuju kasir. Selepas membayar mereka berdua langsung menuju mall.

Di sisi lain.

ToraGans

Kak pulang naik ojek aja, Tora mau anterin masa depan dulu, bye.

Sila hanya menggeleng-gelengkan kepalanya membaca pesan absurd adiknya itu.


“Lho bobanya kok banyakan punya lo sih!”

“Ya mana gue tau.”

“Tukeran!”

Sabar Tor sama calon pacar. “Hadeh, nih.” Tora menyerahkan minuman miliknya, Zoya pun
melakukan hal sama. Mereka berdua menusukan sedotan dan meminumnya.

“Rasa apa ini? Kok lebih enak dari yang biasanya?” tanya Zoya sambil mengunyah boba di mulutnya

“Lo yang pesen buset.” Tora menggeleng-gelengkan kepalanya, cewek memang lebay.

“Gue pesen rasa sama kok. Kayaknya ini mbak-mbaknya naksir lo, makanya punya lo lebih enak terus
bobanya lebih banyak lagi,” ucapnya.

“Kan udah gue bilang, gue emang ganteng. Cewek mana sih yang nggak suka gue?” pedenya sambil
menaik-turunkan alisnya. Zoya merotasikan kedua bola matanya. Narsis sekali cowok satu ini.

“Lo tuh ya—“

“Lho Joy?”

Zoya dan Tora menoleh ke belakang. Ada dua orang, seorang gadis asing dan laki-laki yang mereka
kenal. Hari ini banyak kebetulan yang menimpa Zoya. Zoya mendengus, jadi ini penyebab orang itu
tidak datang untuk menepati janjinya.

“Ngapain lo sama orang ini?” Tora menujuk dirinya sendiri sambil menatap bingung. “Ikut gue!”
Lengan Zoya ditarik orang itu, tetapi sebelum mereka jauh Tora lebih dulu mencekal lengan Zoya
membuat pergerakan mereka terhenti.

“Eits! Enak aja lo, mau kemana hah?”

“Bukan urusan lo,” sarkasnya.

“Urusan gue lah! Joy ke sininya sama gue, balik harus sama gue! Mau apa lo?” ucap Tora sok-sokan
menantang cowok di hadapannya yang lebih tinggi lima sentimeter darinya. Cowok itu menatap Tora
mengejek.

Zoya menghempaskan kedua tangannya. “Mau lo apa sih Ky?”

“Joy ikut gue dulu please,” ucap Ricky pada Zoya.

Zoya menurut, ia mengikuti kemana Ricky pergi. Tora hendak berucap namun mereka sudah
terlanjur jauh. Tora menoleh, menatap gadis yang datang bersama Ricky.

“Lo siapa?” tanya Tora.

Gadis itu hanya mengidikan bahunya.

Di sisi lain, Zoya dan Ricky duduk bersebelahan di sebuah bangku di dalam mall. Zoya hanya diam,
menunggu Ricky memulai pembicaraan.
“Joy, maaf,” katanya.

Zoya menyelipkan helaian rambutnya. “Iya nggak papa, wajar kalau mau jalan sama doi hehe.” Ia
segera melupakan kakinya yang sakit akibat menunggu Ricky terlalu lama.

“Eh?” Ricky menaikkan alisnya.

“Ya?” Zoya menatap bingung.

“Dia Hana, Joy. Sepupu jauh gue.”

“Lho? Kak Hana yang di Turki itu?” tanyanya, Ricky mengangguk.

“Ya maaf, lo cerita doang, nggak pernah tunjukin fotonya.” Ricky menggaruk rambutnya, memang
benar ia sering menceritakan tentang Hana tetapi tidak pernah menunjukan foto, bahkan ciri-ciri
Hana saja tidak. Suasana mendadak hening. Mereka berdua bingung untuk memulai topik.

Ricky berdeham. “Sekali lagi maaf. Gue lupa sama janji itu karena saking senengnya Hana ke
Indonesia, gue juga lupa bawa hp,” sesalnya.

“Iya nggak papa duh, kaya sama siapa aja sih, Ky.” Zoya tersenyum manis.

“Joy, gue suka sama lo.”

Zoya melotot terkejut. Tubuhnya kaku. Harus banget mendadak gini? Harus banget nembaknya di
situasi yang nggak tepat. Mana keadaan Zoya sekarang udah buluk. Zoya menatap ke arah lain.
Menggigit bibir bawahnya. Gue harus gimana Ya Tuhan.

“Maaf ya, gue nyatain di tempat kaya gini. Gue juga nggak berharap timbal balik dari lo. Gue cuman
pengen lo tau aja,” ucap Ricky sembari tersenyum tipis.

Zoya membisu, ia tidak bisa berkata-kata lagi. Bagaikan seluruh energinya tersedot habis. Zoya
menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Dia bingung, harusnya dia merasa senang
karena artinya dia tidak bertepuk sebelah tangan lagi dan mengatakan bahwa dia juga suka
dengannya tapi sebagian hatinya tidak bisa Zoya definisikan.

“Karena gue udah nggak ada waktu. Lusa gue mau ikut Hana ke Turki,” ucapnya membuat Zoya
kesekian kalinya terkejut.

“Ky? Tapi kenapa?”

“Gue nggak bisa nolak Joy, perintah bokap.”

“Oh gitu ya.” Zoya tersenyum canggung.

Tora mengemudikan mobilnya sambil mencuri pandang pada kursi sampingnya. Suasana mendadak
dingin. Zoya hanya diam selama perjalanan membuat Tora merasa serba salah. Ia membelokan
setirnya menuju blok perumahan Zoya. Ia mematikan mesin mobilnya karena mereka sudah sampai.

“Mbak sudah sampai sesuai aplikasi ya,” ucapnya mengikuti nada supir taksi online.

Zoya mengerjapkan matanya. “Lho cepet banget.”

“Situnya ngelamun ya nggak kerasa,” cibirnya.


Zoya mengabaikannya cibiran Tora, ia mencoba membuka pengait sabuk pengaman namun sangat
sulit. Tora yang melihatnya kesusahan berinisiatif membantu. Tora memajukan tubuhnya,
mengulurkan tangan membantu membukakannya, memang sangat sulit sepertinya tersangkut
sesuatu.

“Kok susah sih,” keluh Tora.

Ia mendongak, membuat wajahnya dan wajah Zoya hanya berjarak lima sentimeter. Ia agak terkejut
menyadari Zoya sedari tadi menatapnya. Keheningan hinggap seperkian detik, Tora lebih dulu
mengundurkan tubuhnya. Zoya mengalihkan pendangannya keluar jendela. Tidak bisa berbohong
pipi keduanya sama-sama merah. Suara detak jantung mereka bagai irama yang saling sahut
menyahut. Keduanya salah tingkah.

Zoya menutupi seluruh mukanya.

Tora menggaruk tengkuknya padahal tidak gatal.

Keduanya segera menguasai diri.

“Joy.”

Zoya menoleh, menatap Tora sepenuhnya.

“Gue nggak bisa bohong lagi. Gue suka sama lo. Jadi pacar gue aja ya?”

Zoya melotot. Di satu hari dia mendapat dua pernyataan suka?

“Gue tau hati lo udah buat dia. Tapi jadi pacar gue aja ya?”

“Tora gue bingung.”

“Bingung apa sih buset, tinggal bilang iya atau nggak,” pasti nggak sih. Padahal dia tahu akan sakit
hati.

“Nggak sesimpel itu Tora.” Zoya menunduk, memainkan jari-jemarinya.

“Apapun keputusan lo nanti pasti gue tunggu kok,” ucap Tora. Ia mengulurkan tangannya mengelus-
elus rambut pendek Zoya sembari tersenyum manis. Zoya mendongak, menatap Tora kembali.
Tolong sepertinya hati Zoya goyah, kenapa perlakuan Tora manis sekali? Zoya benar-baner dilanda
kebingungan sekarang. Antara menerima cinta lamanya, atau cinta yang baru saja bersemi.

END

Titimangsa: Cirebon, 1 Februari 2022

Grace Ameilia, biasa dipanggil Ace. Anak pertama dari tiga bersaudara, lahir pada tanggal 3 Mei di
Cirebon, Jawa Barat. Sedang menempuh pendidikan di salah satu Sekolah Menengah Atas Negeri
Kota Cirebon. Memiliki sedikit keahlian dalam bidang seni grafis dan suka membaca beberapa novel.
Ini adalah karya cerita pertamanya.
Untuk lebih kenal dekat dengan Ace, dapat kunjungi:

Instagram : @grc18.03m

Wattpad : gryest

SURATAN CINTA

Hanna

Ahmad Nabil Baihaqi,atau akrab disapa gus nabil adalah seorang putra kiyai, yang selain cerdas,
hafidz, juga seorang yang tampan serta rendah hati. Karena kemuliaan akhlaq serta budi pekertinya,
tak heran ia menjadi incaran para santriwati. Tahun ini ia baru saja kembali dari Madinah setelah
menyelesaikan program magisternya di universitas islam madinah, jurusan qiraat tafsir dan ilmu al
quran.

Setibanya dibandara gus nabil mengedarkan pandangan memperhatikan setiap orang yang berlalu
lalang. Terlihat seseorang melambaikan tangan kepadanya. Sejurus kemudian dia menghampiri
orang tersebut yang tak lain adalah Miqdad. Sahabatnya sekaligus santri yang telah lama menimba
ilmu di pesantren al firdaus. Selain menjadi abdi ndalem serta sahabat bagi gus nabil, miqdad juga
mengabdikan dirinya sebagai tenaga pengajar di madrasah diniyyah alfirdaus , dengan mengampu
mata pelajaran fiqih.

Tak banyak yang mereka bicarakan selama diperjalanan. Mereka hanyut dalam pikiran mreka
masing-masing. Entah apaapun itu yang dilakukan gus nabil hanyalah menatap jendela sedangkan
miqdad tentu saja ia fokus menyetir. Karena terlalu lelah akhirnya gus nabil tertidur.

“gus..bangun kita sudah sampai” ucap miqdad sambil menggoyang-goyang tubuh gus nabil. Dengan
malas gus Nabil membuka matanya kemudian turun dari mobil, disusul miqdad yang kemudian
membantu gus nabil menurunkan barang bawaannya dari bagasi.

Malamnya seluruh anggota keluarga berkumpul untuk makan malam.

“kamu mau nikah kapan bil?”Tanya ummi memecah keheningan

“belum tau mi, Nabil kan baru pulang… masa mau langsung nikah” jawab gus nabil

“siapa tau kamu sudah punya calon untuk dikenalkan sama ummi” goda ummi
“belum ada mi, Nabil kan di Madinah cari ilmu, bukan cari istri” ucap Nabil. Suasana kembali hening.
Setelah makan malam seluruh anggota keluarga mengerjakan aktifitas masing-masing.

“oh iya, bil” panggil abah

“ia bah, ada apa?” sahut nabil, seraya menghampiri abah.

“ malam ini abah mau mengisi pengajian di masjid, nanti kamu gantikan abah mengajar di kelas 5PI”
titah abah. Gus nabil pun menyanggupi. Beliau segera mempersiapkan diri untuk mengajar, karena
sebentar lagi madrasah diniyyah akan dimulai. Diprjalanan menuju kelas 5 PI, tak sengaja gus Nabil
menabrak seseorang. Seketika gus nabil terpana tatkala memandang seseorang yang tak sengaja
ditabraknya.

“astaghfirullah..” ucap gus nabil begitu sadar dari lamunannya. Gus nabil segera meminta maaf atas
kecerobohannya kemudian segera berlalu. Ini adalah kali pertama gus Nabil bertatapan dengan
seorang perempuan secara langsung setelah sekian lama menuntut ilmu di Madinah.

Setelah kejadian malam itu, gus nabil masih saja terbayang dengan seseorang yang tak sengaja
ditabraknya. Gadis itu berkulit hitam manis, dengan postur tubuh yang ideal serta lesung pipit yang
menambah pesona. Hingga malam malam berikutnya, gus nabil masih terus saja memikirkan gadis
itu. Sepertinya gus nabil telah jatuh hati pada gadis itu.

“gus, kok antum senyum-senyum sendiri, ada apa?” Tanya Miqdad suatu hari.

“sepertinya aku sedang jatuh cinta”

“wahh… siapa gerangan gadis beruntung itu gus?” tanya miqdad dengan antusias

“entahlah, aku belum tahu namanya”

“ masih santri sini atau bukan gus?”

“ iya”. Ucap gus Nabil singkat. Setelah didesak miqdad, gus nabil akhirnya bercerita kronologi
pertemuannya dengan gadis itu.

“kira-kira orangnya seperti apa gus? Barangkali saya bisa bantu mencari tahu” tawar miqdad.

“orangnya berkulit hitam manis dengan lesung pipit” ucap gus nabil. Seketika miqdad terkejut.
Bagaimana ini bisa terjadi? Kenapa mereka berdua bisa jatuh cinta dengan orang yang sama?
Miqdad bertanya-tanya dalam hati.

“dad” panggil gus Nabil seketika membuyarkan miqdad dari lamunannya.

“i..iya gus” jawab miqdad terbata

“kira-kira kamu bisa mengenalkanku pada gadis itu?”Tanya gus nabil penuh harap

“insyaaAllah gus” ucap miqdad dengan berat hati.

Miqdad kembali ke asrama dengan perasaan gundah gulana. Bagaimana tidak, dia dan afifah nyaris
bertunangan. Apakah ia harus membatalkan rencananya demi sahabatnya, meskipun ia jelas-jelas
tahu afifah juga mencintainya dan keluarga mereka sudah saling memberikan restu. Disisi lain ia tak
mau persahabatannya dengan gus nabil hancur karena seorang wanita. Baiklah, lebih baik ia
kehilangan cintanya daripada harus kehilangan sahabat, toh wanita tidak hanya satu. Batin miqdad,
meski tak dapat dipungkiri, bahwa ia sangat mencintai gadis itu, dan hatinya masih berat untuk
melepaskannya.

Namanya afifah fauziyyah, dia sudah menyelesaikan program tahfidznya satu tahun yang lalu. Dan
sekarang dia tengah mengerjakan skripsi sambil mengajar di madrasah diniyyah alfirdaus. Itulah
sedikit informasi yang diberikan miqdad pada gus nabil.

“apakah sudah ada yng meminangnya?” Tanya gus nabil.

“belum gus” jawab Miqdad. Walau hatinya teriris, ia rela memberikan cintanya pada sahabatnya.
Tak adil memang, tapi ia berusaha mengikhlaskan apa yang sedang terjadi.

“maukah kau melamarkannya untukku?” Tanya gus nabil pada miqdad. Seketika miqdad terkejut
atas apa yang baru saja didengarnya. Haruskah ia meminangkan gadis yang dicintainya untuk
sahabatnya? Apakah ia cukup tegar untuk menghadapi kenyataan pahit ini?

“miqdad?”

“i..iya gus?”

“Apakah kamu bersedia meminangkan afifah untuk saya?” Tanya gus Nabil sekali lagi

“insyaaAllah saya bersedia gus” ucap miqdad dengan mantap. Meski batinnya menjerit tak terima, ia
tak menghiraukannya.

“terimakasih miqdad, kau memang sahabat terbaikku” ucap gus nabil seraya memeluk sahabatnya.

Dengan semangat gus nabil menceritakan keingannya kepada ummi, dengan penuh suka cita ummi
mendukung keinginan putra semata wayangnya tersebut. Siang itu seluruh anggota keluarga
berkumpul membahas rencana gus nabil untuk melamar afifah. Akhirnya setelah semua sepakat dan
persiapan lamaran selesai, berangkatlah gus nabil sekeluarga untuk melamar afifah tak lupa miqdad
turut berangkat, karena selain menjadi sopir, iya juga berperan sebagai juru bicara.

Setibanya dirumah afifah, keluarga itu disambut dengan hangat. Setelah dipersilakan duduk dan
berbasa basi sebentar, tibalah giliran miqdad sebagai juru bicara mengutarkan maksud kedatngan
mereka.

“saya miqdad fathurrahman, dan ini saudara saya gus ahmad nabil baihaqi. Kedatangan kami kemari
bermaksud meminang putri bapak afifah fauziyyah, untuk beliau.” Ucap miqdad dengan mantap.
Seketika suasana tegang menyelimuti ruang tamu tersebut.

“adalah suatu kehormatan bagi kami menerima anda selaku putra guru kami, kiyai ahmad, dan suatu
penghargan bagi kami bermenantukan seorang yang alim seperti anda. Akan tetapi hak jawab ini
sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami” ucap ayah afifah.

Gus nabil, miqdad serta semua orang yang turut menyaksikan prosesi lamaran tersebut menunggu
dengan dada berdebar tak karuan. Hingga sang ibu kembali setelah berbincang-bincang dengan
puterinya.

“maafkan kami atas keterusterangan ini,” tutur sang ibu dengan berat hati. “dengan mengharap
ridha Allah, saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan gus nabil, namun, jika miqdad
kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban
mengiyakan.” Sungguh kenyataan yang diluar dugaan. Semua orang yang berada diruangan tersebut
terkejut. Terutama miqdad dan gus nabil. Tanpa berpikir panjang gus nabil akhirnya angkat bicara.

“baiklah, jika begitu semua mahar yang telah saya persiapkan ini saya serahkan kepada miqdad, dan
saya akan menjadi saksi atas pernikahannya.” Ucap gus nabil dengan lantang. Seluruh orang yang
hadir diruangan tersebut tercengang mendengar apa yang barusaja diutarakan gus nabil. Sudah
menjadi rahasia umum jika persahabatan antara gus nabil dan miqdad bak saudara kandung.
Sungguh sebuah keikhlasan yang nyata, ketika seseorang dengan lapang dada menyerahkan sesuatu
yang sangat dicintainya kepada orang lain.

Alih-alih bersedih atas keputusan yang dibuatnya, gus nabil justru turut merasakan kebahagiaan
yang tiada terkira. Karena apapun yang membuat sahabatnya bahagia ia juga akan bahagia. Gus
nabil memeluk miqdad seraya berkata ”selamat kawan” sambil menepuk punggung sahabatnya.
Semua orang yang menyaksikan peristiwa tersebut terharu, terutama miqdad. Ia hanya menangis
bahagia dalam pelukan sahabatnya. Entah kebaikan apa yang setara untuk membalas budi gus nabil.
Miqdad hanya bisa berdoa semoga Allah hadiahkan bidadari terindahNya untuk gus nabil.

END

Channa Nuchla, lahir pada tanggal 28 agustus 2001 di Pacitan, Jawa Timur. Pernah
mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua, Jenes Brotonegaran, Ponorogo,
dan PP.KH. Syamsuddin Durisawo Ponorogo. Gadis penyuka fantasi ini bisa dilacak jejaknya melalui
akun isntagram; @itsmyncl atau twitter; @itzncl_

NASKAH CERPEN TEMA PESANTREN

JUDUL BUKU : SEUJUNG PENA IMPIAN

Dibalik Nestapa

Karya : dheanty Rahmah

Matahari masih sepenggalah, langit kuning keemasan menyeruak di ujung barat menerangi
butir-butir padi di hamparan sawah yang mulai menguning, seakan melambaikan datangnya petang.
Jalan di desa itu masih berkerikil namun amat mempesona karena di kanan kiri jalan masih
terhampar sawah yang luas membentang. Gemercik riak air sungai mengalir jernih,udara terasa kian
sejuk. Rumah-rumah pendudukpun berjajar rapi, kadang hanya ada dua rumah yang berdekatan,
seakan hanya ada mereka saja, setia. Di ujung sana gunung tinggi menjulang tidak berhenti
mengepulkan asap yang kemudian mengembun seiring semilir angin menyalami dedaunan, sungguh
pesona alam kedamaian.

Desa Manjur di sebelah Kota Solo, disitulah Hana menimba ilmu, orangnya putih tinggi, ramping
dengan dagu bak terai sepotong, mata sipit dengan hidung yang tipis mancrit, ia mengenakan gamis
putih dengan kerudung biru muda yang menjuntai menutupi pinggul, dirias bros bunga yang
mempercantik penampilannya.

Ini Har pertama Hana menginjakkan kaki di pondok pesantren. Ia tidak berhenti memandangi
bangunan yang terasa asing itu. Hana tiba-tiba tidak bisa melanjutkan langkah, seakan kakinya tidak
bisa digerakkan sama sekali.

" Abi, umi, Hana pengen pulang, " Bisiknya pada diri sendiri. Air mata tidak yang tidak bisa ia
tahan, lolos melewati pipinya. Mang Edi- supir pribadi keluarga Hana, mengajak Hana untuk terus
melangkah, ia terpaksa mengikutinya.

Hana lalu dibawa oleh kak Ifah-santri senior, menuju kamar yang akan ditempatinya. Disana
sudah ada dua orang seumuran Hana yang menyapanya dengan hangat. Namun, Hana hanya
tersenyum, ia belum bisa membuka suara, ditambah karakternya yang pendiam menjadikan Hana
tidak mudah beradaptasi dengan lingkungannya.

***

Suara tahrim shubuh mengawali hari pertama Hana di pesantren, ditemani gemercik air
melengkapi keramaian dini hari. Semua santri keluar dari kamarnya masing-masing. Namun, Hana
yang tidak bisa tidur justru mengantuk saat adzan akan berkumandang.

" Hana, ayo bangun! " Teriak Anisa, teman sekamar Hana.

" Duluan aja, nanti aku nyusul. " Balasnya.

" Hana, kamu mau dihukum ustadzah karena tidak shalat berjamaah!? " Jelas Anisa
mengingatkan. Hana terpaksa beranjak dari ranjangnya, mengambil peralatan mandi dan melangkah
menuju wc. Hana tidak pernah mengira akan begitu lama mengantri di depan wc, namun ia selalu
menikmatinya dengan mata setengah tertidur.

Tabuhan bedug shubuh menggema di sekitar pesantren, semua santri sudah siap untuk
melaksanakan kewajibannya. Hingga hari semakin siang, Hana dan teman-temannya belum juga
beranjak dari gedung madrasah, tanpa lelah melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Setelah itu, Hana
kembali ke kamarnya, ia melihat kertas yang ditempel di dinding kamar, mengeluh karena kegiatan
pribadi di pesantren belum bisa ia atur , dan banyak hal-hal yang tidak terduga olehnya, mulai dari
kegiatan pondok dan pelajaran yang ternyata tidak semudah perkiraannya.

***

Tiga bulan sudah Hana tinggal di pesantren, kini ia memutuskan untuk pergi ke rumah Sangat
Ustadzah untuk menelepon kedua orangtuanya.

"Assalamu'alaikum, umi, "

"Wa'alaikumussalam." Terdengar suara umi parau, entah apa yang terjadi dengannya.

" Umi, kenapa suara umi parau, umi dan abi baik-baik saja kan? " Hana sedikit khawatir olehnya.
" Hana, maafin umi, nak. Bulan ini umi tidak bisa mengirim uang, ada sesuatu yang menimpa
keluarga kita. "

" Astaghfirullah. Iya umi, tidak apa-apa. "

" Maafin umi, nak. Do'akan umi dan abi, dan semoga Allah memudahkanmu dalam menuntut ilmu. "

" Insya Allah, umi. Amiin. "

***

Setelah enam bulan lebih Hana berada di pesantren, namun kedua orangtuanya belum jua
mengirim uang yang cukup untuknya. Berberapa kali Hana tidak punya uang sepeser pun, Hana
hanya menyisakan uangnya untuk shadaqah, orang tuanya lah yang mengajarkan Hana ber shadaqah
sejak kecil.

" Aku lelah sekali. " Gumam Hana, sembari merebahkan badannya ke atas dipan.

Malampun berganti, disepertiga malam Hana terbangun, melaksanakan shalat serta sahur.

" Ya Allah, aku berniat untuk berpuasa daud, kuatkanlah tubuhku hingga petang nanti, amiin. "
Gumamnya. Saat uangnya menipis, Hana menjadi sangat rajin berpuasa. Namun, semoga saja hal itu
tidak mengurangi esensi dari puasa yang sebenarnya.

Dengan semangat berjuang mencari ilmu agama, Hana melangkahkan kakinya menuju gedung
madrasah. Namun, langkahnya terhenti ketika ia mendengar namanya dipanggil sang ustadzah,
beliau mengabarkan bahwa hari ini orangtua Hana akan menengok keadaannya di pondok. Hana
sangat senang, ia berniat untuk memeluk kedua orangtuanya jika mereka sudah datang.

" Abi, umi, Hana kangen. " Bisiknya pada diri sendiri.

Di gedung madrasah, Hana sudah siap dengan kitab kuning dan qalam yang terselip di jari
kanannya, siap untuk menuliskan kata demi kata yang keluar dari lisan snang guru, kitab kuning yang
tadinya kosong pun kini sudah penuh dengan coretan mangsi hitam.

Petang pun tiba, lampu-lampu rumah penduduk jua sudah mulai bercahaya melawan
kegelapan. Hana tidak berhenti mondar-mandir di kamarnya hatinya resah dan pikirannya kacau.
Ornagtuanya yang ia tunggu sejak tadi siang saat ini belum juga tiba. Setelah shalat maghrib
berjama'ah, nama Hana dipanggil kembali. Jantungnya berdegup kencang, ia resah.

" Hana, engkau hamba Allah yang shalihah. Ikhlaskan hatimu, lapangkan dadamu, nak. Allah
menyayangi mereka, maka karena itu Allah telah memanggil mereka, orangtuamu sudah tenang di
alam sana, sekarang mereka membutuhkan do'amu. " Nasihat ustadzah.

Hana yang sedari tadi menunduk mendengarkan kata-kata sang guru, kini menengadahkan
kepalanya, ia tidak percaya.

" Innalillahi wainnailaihi raaji'uun. " Hatinya terasa seperti disayat dengan ribuan pisau, ia tidak
percaya ini terjadi. Cairan bening mengalir deras di pipinya, ia tidak bisa menahan tangis dihadapan
sang guru. Ustadzah pun menghampiri Hana, lalu memeluknya.

" Do'akan mereka, nak. Engakau anak shalihah. Ustadzah mendapat kabar ini tadi sore dari salah
seorang bibimu. Orangtuamu meninggal karena kecelakaan, rem mobil yang ditumpangi mereka
blong. Sang supir tidak bisa menahannya, sehingga mobil menabrak pilar pembatas jalan.
Kejadiannya tadi pagi, mereka sempat dibawa ke rumah sakit, namun nyawanya tidak tertolong.
Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, orangtuamu berpesan, Hana tidak usah pulang
kerumah, karena dengan Hana di pondok, mereka akan lebih tenang. " Tutur sang ustadzah.

Hujan deras mengguyur bumi, Hana keluar dari rumah sang ustadzah,semesta seakan ikut
menangis. Diuar, Hana membiarkan dirinya diguyur hujan. Perasaanya kalut, hatinya hancur, ia
seakan kehilangan arah. Ingin rasanya ia berteriak, memberi tahu semua orang bahwa hatinya
sedang luluh lantah.

Setelah mendengar kabar bahwa orangtuanya telah pergi, Hana bukannya semakin sadar, ia
malah menyalahkan takdir. Ia tidak bisa menerima, jutuan hidupnya hilang, ia menjadi sering
melanggar aturan pesantren. Suara kentungan tnda mengaji pun sering ia abaikan, namanya sering
dipanggil sang ustadzah yang tidak kenal lelah untuk menasehatinya, namun Hana acuh
terhadapnya.

Ditengah keterpurukannya, Allah menghadirkan sosok Alif di kehidupannya, yang membuat ia


sadar kembali bahwa Allah tidak akan memberinya cobaan diluar batas kemampuannya. Awan pilu
yang menghalanginya dari kebahagiaan akhirnya sirna. Ia bisa kembali tersenyum dan ia kembali
melangkahkan kakinya ke gedung madrasah. Di tengah gelapnya malam sajadah pun kembali ia gelar
dan Doa-doa panjang semakin sering ia langitkan.

Waktu tidak berhenti berputar, ia menjalani hidup dengan sabar hati, tanah, dan ikhlas.

" Ya Allah, aku ingin bahagia. " Gumamnya.

***

Anak-anak berhambur memburu tangan kanan Hana, mereka meraihnya lalu menciumnya.
Mereka sangat menghormati orang yang telah mendidiknya. Hana hanya tersenyum memandangi
satu persatu punggung-punggung mungil yang kuar dari gedung madrasah, ia seakan tidak percaya
bahwa dirinya akan dipercaya menjadi pengganti sang guru yang mulai cukup tua umurnya.
Awalnya, ia menolak untuk menyanggupi pekerjaan mulia ini. Tetapi, dengan dorongan sang suami,
ia mampu melakukannya. Dan ia tidak pernah menyangka akan diperistri oleh putra dari sang guru,
dan ia sangat bersyukur.

Sore sirna berganti senja. Hana dan Alif masih khusyuk dengan bacaan doa yang dilantunkan di
atas makam orangtua Hana. Hana mengamini setiap doa yang dibaca oleh sang suami. Alif
mengusapkan kedua telapak tangan ke wajahnya, Hana mengikuti. Alif lalu memandangi wajah sang
istri dan tersenyum. Hana membalas senyumnya. Sosok yang dahulu membuatnya sadar, kini telah
menjadi pendamping hidupnya.

" Abi, umi, Hana sudah bahagia disini. Hana sudah mempunyai seseorang pengganti abi. Mimpi yang
selama ini Hana inginkan sudah terwujud. Terimakasih, abi, umi, kalian telah mengajarkan Hana
untuk menghadapi semuanya dengan doa dan tekad yang kuat. "

Hana berlalu dari makan orangtuanya, tangannya tidak lepas dari genggaman sang suami yang
selalu memberikan ia kekuatan dalam menjalani kehidupan. Hana berlalu dengan menitikkan air
mata, bahagia.

Bionarasi :

Dheanty Rahmah, penulis adalah seorang pegiat literasi asal Sukabumi. Ia bertekad untuk bisa
mewujudkan mimpi besarnya terutama dalam dunia literasi.
Berkah di Balik Pintu Pesantren

Karya : Pratiwi Wulandari

Adakah sebuah keindahan yang tersingkap di sini? Ataukah sebuah keajaiban yang mengendap dan
mengabulkan semua impian? Adakah semua itu di sini? Di sebuah tempat sederhana, kumuh, dan
padat penduduk ini? Mengapa semua orang berbondong-bondong masuk ke tempat ini? Rela
berjejal-jejalan tidur dan mengantri dalam segala hal. Aneh. Apakah semua orang sudah kehilangan
akal sehatnya?

Adalah Adam, seorang remaja tanggung yang mempunyai beribu pertanyaan itu. Jangan tanya
tentang alasan ia mondok. Karena alasannya hanyalah satu, menemukan tempat tinggal murah
meriah di kota. Pesantren, menurutnya, lebih baik daripada harus ngekos di kos kapsul. Bahkan kos
yang ukurannya 2×1 meter persegi itu lebih mahal daripada pesantren.

Tapi tatkala ia bermukim di pesantren ini, beribu pertanyaan merangsek di otaknya. Tepat ketika
malam mulai menggelarkan tirainya dan bintang menyemai di sana, sebuah pemandangan tak wajar
menyentil matanya.

“Dasar kurang kerjaan. Kenapa pula berdesak-desakan demi sisa air minum Mbah Kiai?” cacinya.

Mendengar pernyataan bodoh itu, Panji menepuk jidatnya dan langsung tertawa.

“Kau ini santri bukan ha, Dam? Sisa air minum itu kan banyak barokahnya,” tukasnya.
“Barokah apaan? Banyak penyakit lah iya.”

“Adam, Adam. Masa kau nggak percaya dengan barokah? Santri jenis apa kau ini?”

“Eh, Ji, ini tahun 2020. Modern sedikit napa? Takhayul kok masih disembah-sembah.”

“Bodo ah.”

Barokah adalah hal ter–bullshit kesekian kalinya yang Adam dengar. Semenjak ia menjejakkan
kakinya, Adam sadar bahwa kehidupan di pesantren benar-benar tak bisa dilogika. Ia masih ingat
ketika malam pertama, dimana telinganya mendengar hal tak logis dari sang Kiai: “Jangan biarkan
dirimu mengejar dunia, tapi biarkan dirimu dikejar dunia.”

Adam pun merenung. Ia tatap halaman pesantren yang sunyi. Tidak ada sama sekali yang
melangkahkan kakinya di atas sandal jepit. Mungkin karena rinai gerimis yang kian manis menghasut
para santri, sehingga tidak ada yang mau keluar dan memilih tidur berbantal lengan di kamar. Atau
mungkin karena angin lembut yang meniup kanopi gazebo sehingga tak ada yang mau bersenda
gurau di sana. Entahlah Adam tak tahu. Ia hanya bingung merenungi perkataan orang tua yang
menurutnya hanya pintar bercakap itu.

Malam ini hanya secangkir kopi yang menemaninya. Secangkir kopi yang dinikmati berdua dengan
makhluk tak jelas bernama Panji. Secangkir berdua bukan romatis, tapi karena keadaan yang
memaksanya melakukan ini. Akhir bulan memang selalu mengenaskan.

“Jadi kita nggak usah cari uang, gitu? Ya nggak mungkin lah,” pungkas Adam tepat setelah pengajian
Mbah Yai selesai.

“Mungkin aja lah. Liat aja Mbah Kiai! Beliau nggak pernah terlihat bekerja tapi beliau malah punya
mobil BMW,” kilah Panji.

“Eleh, paling itu hanya kebetulan.”

“Eh, Dam, mana mungkin kebetulan terjadi berkali-kali. Kau tahu? Bahkan Mbah Kiai pernah
menolak pemberian mobil dari orang.”

Diam. Hanya itu yang dapat Adam lakukan waktu itu.

Dan sekarang, lagi-lagi Adam duduk termenung di gazebo pondok. Kakinya menjuntai, sedang
pandangannya erat menatap rembulan. Bundaran cahaya di tengah langit kelam itu, menyadarkan
Adam bahwa ia sudah setahun bermukim di pesantren ini. Sengau sang pungguk turut membisikkan
pertanyaan-pertanyaannya yang belum terjawab. Pernah Adam bertanya pada semua santri tentang
apa yang menjadikan mereka betah di sini, tapi jawabannya selalu mainstream. Mereka hanya
menjawab karena ngajinya bagus atau karena temannya banyak. Sama sekali tidak ada jawaban yang
bisa memuaskan Adam.

“Pak Kiai pasti menyembunyikan sesuatu!” tukasnya.

Malam kian menggelayut. Butiran embun kian menjamah, memeluk setiap makhluk. Kesejukan
berbalut kedinginan menidurkan semua orang dalam peluknya. Jenuh pun kian menguap, membuat
mata Adam terpejam. Lelaki itu duduk bersandar tiang dengan pikiran yang masih bergantung-
gantung.

Jam terus berputar, menenggelamkan manusia bersama lelahnya. Sayangnya permukaan tiang yang
tak rata membuat kepala Adam tergeser dengan sendirinya. Pemuda itu pun terbangun. Matanya
mengerjap. Ia masih mengantuk. Namun sebuah pemandangan yang aneh menyempil di sudut
matanya. Sang Kiai tengah berjalan sendirian. Adam pun bangun, ia hendak mengawasi gerak-gerik
si tua itu.

Adam pun bergegas. Ia bersembunyi di tugu. Kepalanya menyembul, berusaha melihat apa yang
dilakukan oleh kiainya. Sungguh aneh melihat orang yang sesepuh beliau dengan jam segini, masih
berkeliaran di area pondok, sendirian pula. Bukan hanya berdiri, tetapi juga tengah merapal sebuh
mantra, entah apa itu.

“Oh, jadi yang membuat para santri itu betah karena Pak Kiai pasang jampi-jampi?”  Otak Adam
menyimpulkan sekenanya.

Merasa telah menemukan jawaban yang ia cari, Adam pun meninggalkan orang sepuh yang ia
anggap cuma mahir dalam bercakap. Pemuda itu akhirnya bisa tidur nyenyak. Ia tak perlu
memikirkan jawaban dari pertanyaannya lagi.

***

“Tumben. Biasanya kalau setelah ngaji subuh, kau tidur, eh sekarang malah cengar-cengir kaya
keledai mau kawin aja,” timpal Panji dengan mulut yang masih suka menguap.

“Terserah apa kata kau, yang penting aku sudah menemukan jawaban dari pertanyaanku,” tandas
Adam tak berselera.

“Pertanyaan yang kau lontarkan kepada santri-santri sepuh itu?”

Adam hanya mengangguk. Badannya bersimpuh pada tembok ndalem.

“Lalu jawabannya apa?”

“Mbah Kiai menggunakan jampi-jampi,” bisik Adam.

Mendengar jawaban seperti itu, kantuk yang semula masih menggelayuti Panji, mendadak
menghilang. Matanya seketika membelalak. Bunyi kuap mulutnya berubah menjadi raungan
kemarahan. Hendak tangannya meninju bibir si Adam, tapi urung.

“Berani-beraninya kau bilang Mbah Kiai seperti itu?” nada bicara Panji meningkat.

“Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Orang tua itu memutari pondok sambil membaca
mantra.”

Panji tak dapat menahan amarahnya lagi. Ia pun berdiri lalu mengangkat Adam dengan cara
mencengkram kerahnya. “Bilang sekali lagi, kusobek mulutmu!” raungnya.

Santri-santri yang terkantuk-kantuk mendadak melek. Sontak mereka bangun dan mengerumuni
Panji. Beberapa pengurus langsung keluar dan melerai Adam serta Panji. Naas, tak hanya pengurus
serta santri, sang pengasuh pun turut keluar dari ndalem. Teriakan Panji nampaknya mengglegar di
seluruh lingkungan pesantren.

Tak ayal. Seperti mengetahui seluk-beluk perkara, sang Kiai pun langsung mendekat. Para santri pun
beringsut mengundurkan diri sembari menundukkan kepala, memberikan jalan bagi sang guru.
Melihat sang Kiai, Panji pun langsung bersimpuh. Emosi yang tadi begitu membara, musnah begitu
saja.
Dengan lembut, mbah Kiai mengangkat tubuh Panji supaya berdiri. Setelah itu beliau membawanya
masuk ke ndalem seorang diri.

“Biarkan aku berbicara dengan Panji. Kalian bisa istirahat,” dawuh beliau ketika lurah pondok hendak
ikut masuk ke ndalem.

Tanpa meminta sebuah alasan, si lurah pondok langsung mengangguk dan mbah Kiai pun menutup
pintu.

Panji langsung bersimpuh. Pandangannya sempurna tertunduk. Pemuda itu sama sekali tak berani
menatap gurunya yang berada tepat di depannya.

“Saya sudah mendengar apa yang kamu dan Adam bicarakan. Kamu tahu kenapa kamu yang saya
ajak masuk ke ndalem?”

Panji menggeleng, “Mboten, Kiai,” celetuknya.

“Tidak seharusnya kau lawan ketidaktahuan dengan kekerasan.”

“Tapi, Kiai, dia sudah menghina jenengan.”

“Bukan menghina, tapi dia tidak tahu apa yang saya sedang ia lakukan. Bukankah kebaikan tak selalu
dibalas air susu? Biarkan dia mempelajari lebih dalam lagi. Bukankah Nabi Ibrahim juga perlu waktu
untuk menemukan kebenaran?”

“Leres, Kiai.”

“Sekarang beristirahatlah! Minta maaflah kepada Adam!”

Panji pun beringsut mundur, baru setelah sampai di ambang pintu, ia berdiri lalu keluar. Ternyata
tepat di daun pintu, Adam tengah berdiri. Sepertinya dia sedang menunggu kedatangan Panji.

“Maafkan aku, Dam. Tidak seharusnya aku membentak orang yang sedang belajar.” Panji
mengulurkan tangannya.

Adam pun menerimanya. Tatapannya kosong. Otaknya dipenuhi oleh banyak pikiran. Melalui daun
pintu yang terbuka sedikit, ia sempat mendengar semua percakapan mbah Kiai dengan Panji tadi.
Sontak hal itu membuatnya bingung, tak mengerti. Ada sesuatu yang mengalir jernih di sanubarinya.
Entah apa itu.

Bionarasi :

Nama saya Pratiwi Wulandari, dari kota Lamongan, saya sedang kuliah di universitas Billfath
Lamongan, prodi bahasa Indonesia sekarang semester 2, umur saya 19 th hobi menulis, cita-cita
ingin menjadi Dosen.
AMANAH

. Karya : Almaida Nurul Azmi

Hidup adalah sebuah anugerah yang diberikan Tuhan pada hamba-Nya. Hidup adalah
kebahagiaan dan sebuah rintangan menuju Sang Pencipta.

Ardelia sedang menatap gedung di hadapannya dengan tatapan sendu, ragu apakah pilihannya
sudah benar atau tidak. Aisyah, uminya tersenyum, paham apa yang dirasakan putri semata
wayangnya itu.

Aisyah menepuk pundak anaknya pelan, "Nak, ayo masuk." Ardelia terkesiap, tersadar oleh
suara uminya yang lembut, lalu mengangguk dan melangkahkan kakinya menuju gedung pesantren
yang akan ditujunya.

Setelah masuk dan mendaftar, umi mengajaknya melihat kamar yang akan ditinggalinya. Ardelia
berjalan di belakang uminya sembari menangis pelan agar tidak ketahuan. Sebenarnya Aisyah
mendengarnya, tetapi memilih diam.

Mereka pun sampai, Aisyah menoleh ke belakang, lalu memeluk anaknya dengan erat. Dan
berkata, "Nak, jaga diri baik-baik ya di pesantren ini. Umi akan selalu mendoakan kamu." Setelah
mendengar kalimat uminya, Ardelia tak kuasa lagi menahan tangis. "Lia gak mau pisah sama umi, Lia
gak sanggup umi, Lia takut," air matanya terus bercucuran. Umi melepas pelukannya, "Nak, ingat
pesan Abi? Abi ingin Lia menjadi anak yang sholehah, menjadi anak yang akan menuntun Abi dan
Umi ke pintu syurga. Bukankah anak Ummi ini ingin mendapatkan pangeran di surga nanti?" ucap
Aisyah sembari tertawa kecil, membuat Ardelia ikut tertawa juga.

Kemudian mereka memasuki kamar yang akan ditempati Ardelia. Aisyah membantu
membereskan barang-barang, dan memberikan bekal yang cukup untuk anaknya. Setelah itu, Aisyah
ingin pamit, Ardelia masih tidak rela berpisah dengan umi, tatapannya sendu menatap uminya itu,
"Umi, apa Lia bisa?." Aisyah mengecup kening anaknya sembari tersenyum hangat, "Umi percaya
padamu, nak." Akhirnya, Aisyah pergi meninggalkan gedung pesantren dengan Ardelia yang
melambai-lambaikan tangannya.

Aisyah melepaskan anak semata wayangnya untuk mengemban ilmu akhirat dengan ikhlas dan
rasa bangga pada anaknya yang ikhlas mengemban amanah. Aisyah yakin anaknya akan menjadi
anak sholehah yang akan menuntun kedua orangtuanya ke depan pintu surga. Aamiin.

Sukabumi, 1 Februari 2022

Bionarasi:

Nama saya Almaida Nurul Azmi, lahir pada tanggal 20 Juni 2005, dan tinggal di Sukabumi, Jawa
barat. Saya seorang siswa SMA yang sangat suka menulis, menulis juga merupakan hobby tetap
saya sedari kecil. Saya ingin mencoba mengembangkan bakat saya kali ini, saya hanya seorang
pemula. Terima kasih.

Risalah Cinta dan Nestapa

Karya : Muhammad Abdul Haq


Tatkala senja berlalu dari pelupuk mata,

Dengung jingganya masih mengiang-ngiang ditelinga.

Begitu singkat,

antara tabuhan beduk maghrib dan isya,

menjadi dalil semesta;

Kita tak punya banyak waktu berpijak di dalamnya.

Hiruk-pikuk dibalik dinding pondok pesantren tiba-tiba terhenti,

Seolah malaikat maut datang menghampiri,

Dengan sebilah pedang di tangan kiri

yang sediakala menusuk ulu hati.

Saat-saat seperti ini, apalah daya harta si kaya,

Pun sia-sia ramuan si tabib;

tak mampu menahan ruh agar tak pergi dari jiwa.

“Tok, tok, tok!!!” Isyarat waktu mengaji telah tiba.

Dentum kentongan meruntuhkan jiwa. Laksana lumpuh kaki si santri. Namun demikian, ia tetap
memaksa raganya untuk melangkah, karena lumpuh pengetahuan lebih menyakitkan. Lesu
menampar wajahnya yang sedang berjalan di telapak sayap malaikat. Masih tak terlihat raut wajah
gembira saat bertatapan dengan pintu surga. Dan pertamanan surga tak membuatnya terpesona.

Sesaat sebelum waktu mengajar di gelar,

Sang Maulana melihat lilin di hati murid-muridnya tak terbakar.

Maulana yang arif nan bijaksana berkata,

“Baik, kali ini belajar-mengajar kita tunda sejenak,

Saatnya bercerita tentang api-api nur Ilahi,

yang tak pernah padam ditiup masa.

Agar lilin di hati kalian kembali membara.”


Cahaya api Ilahi membuat mawar-mawar kita mekar,

Oh, sungguh, bagaimana dengan mereka yang ikut terbakar?

Di jalan ini, singkirkan keraguan yang di tunggangi pikiran,

Biarkan naluri cinta menentukan jalan.

Tangga menuju langit adalah kepalamu.

Maka letakkanlah kepalamu di bawah telapak kakimu.

Kemudian sang Maulana memulai kisah,

“Alkisah, di Mesir. Ada pria yang tak lagi muda. Berbeda dengan manusia seusianya. Di usia yang
menginjak 40 tahun, jiwanya justru dahaga akan ilmu agama.

Manusia terlahir menggenggam batu di tangannya,

Laksana layangan yang terbang tanpa arah,

Harapan ada di tangan manusia yang menarik ulur benangnya.

Terbang mengangkasa menjadi kejora,

atau terputus angin kebodohan

tanpa ada seseorang yang mengejar.

Mengembara, menjadi budak masa,

Memberontak, jiwanya tak bebas.

Bayangan rumah meriah

laksana pesta kembang api membuat rindu terasa pasti.

Bertualang, hingga lupa jalan pulang,

Buta arah, aliran mata air menjadi pijakan.

Sampai pada suatu pantai, dan menyelam ke dalam lautan.

Ia meratap pada senja yang terbenam dalam keputusasaan,

“Oh, duhai Penguasa samudera,

aku telah menelusuri danau dan sungai

hingga sampai pada suatu lautan.


Sungguh, berapa lama aku mencari air,

pemberi rasa lega atas dahaga hanya diri-Mu semata.”

Mentari terbenam bersama harapan,

Ufuk timur gelap gulita ketidakpastian.

Sementara rindu meluluhlantakkan relung jiwa;

rindu mata cinta yang menatap kita sebagai manusia.

Kita terlahir dari cinta, cinta adalah ibu kita.

“Duhai, engkau yang menatapku penuh harapan,

Pun doa-doa yang selalu kau acungkan kepadaku terasa menyejukkan,

Izinkan aku pulang,

kembali menjadi bayi di pangkuan.”

Ucapnya, tak ada sisa harapan di kotak kecil Pandora.

Hari yang melelahkan

setelah dihancurkan kenyataan,

Tak mampu melangkah pulang,

Di tepi pantai, ia pun terlelap dalam impian.

Seruan gemuruh lautan memanggil dari tidur panjang. Dengkur burung bulbul menyambut pagi
kelabu. Tatapan kosong memandang tarian ombak yang menabrak-memeluk karang yang kian
menggerogoti tubuhnya. Alam menyadarkan suatu kepastian melalui intuisinya.

Setelah mereguk arak suci dari yang Maha Rahman, ia berkata,

“Oh, lihatlah siasat licik setan!

Ia menidurkan manusia agar terlelap dalam mimpi kelalaian,

dan membisikkan suatu keraguan kepada manusia pilihan.

Tak ada yang lebih baik bagiku selain mati hampa di jalan Tuhan.

Awan mendung yang kulangitkan,

deras hujan dan gelegar halilintarnya akan menyambar-menghancurkan kerasnya bebatuan.”


Ilham Tuhan menghunjam dada, hingga mengetuk-menyentuh dinding jiwa. Menghancurkan batas-
batas keraguan. Harapan akan selalu hidup di jiwa yang dipenuhi keinginan, di dalam hati orang-
orang pilihan. Tunduk raga kepada hati yang dijadikan kiblat. Pikiran ia hanyutkan bersama ombak
seraya menyeru pada lautan,

“Aku hanyalah petani di ladang,

bekerja dikala siang dan malam.

Jika saatnya benih-benih harapan kutanam,

Memupuk dengan cinta seraya menyiraminya dengan doa.

Tumbuh batang dan lebat daun yang menghiasinya,

aku tak kuasa.

Serta masa panen mendatang;

aku pulang hampa atau berpesta.

Pemilik Ladanglah yang menaburinya dengan buah-buah surga.”

Ia angkat jangkar dalam akar, memulai kembali berlayar, penuh ikhtiar. Mengarungi samudera tanpa
batas dan tepian. Bertahun-tahun badai menerpa kedinginan. Pun mendung mega menyentuh
ketakutan. Tak ada kelezatan, selain asin air lautan, hingga ia menjadi ikan. Mungkin ini maksud dari
bait seorang penyair:

Kau akan belajar dengan membaca,

Namun kau akan paham dengan cinta.

Tak terasa masa, ia kembali pulang tak bermahkota, pun kedua tangan telanjang tanpa gelang yang
dihiasi intan. Oh kawan, ialah permata! Lihatlah kilau cahaya pada dirinya; menjadi lentera bagi
manusia yang tersesat dalam kegelapan. Semerbak harum tubuhnya tercium sampai ke belahan
dunia. Pun makhluk Arsy mengenal wanginya.

Jangan siram ambisi,

memberontaklah dalam bosan ketika mencari,

Angkasakan keinginan di sepertiga malam.

Karena Allah tidak menciptakan sesuatu yang lebih kuat melebihi doa,

dia telah menjadikan doa lebih kuat daripada takdir-Nya.”

pungkas sang Maulana di akhir kisah dengan satu bait syair indah.
Batin yang kering nan tandus tersegarkan setelah para murid mereguk air hikmah sang Maulana, pun
memerah pula bunga-bunga tulip yang layu. Bahasa cinta hanya dapat terdengar melalui telinga
cinta. Sebagaimana dengkur dara takkan bisa dicerna telinga unta. Walau cinta tak memiliki bahasa,
namun selalu ada makna yang dapat diselaminya. Dalam ramai dan rapatnya barisan. Seorang murid
mengajukan permohonan kepada sang Maulana,

“Duhai Guru, beri aku satu dua kisah,

agar tenggorokan dan dahagaku terpisah!.”

Kata murid yang lain, “Betul, wahai Guru.”

Kemudian diajukanlah pertanyaan,

“Sebagaimana tadi engkau mengutip bait puisi,

Apakah pemilik makna bagian dari cahaya api Ilahi?”

Sang Maulana menutup, lalu memejamkan kembali kedua mata bersama lirih hembusan nafas yang
terdengar sampai pada telinga murid-muridnya. Sang Maulana pun menjawab:

“Dia bukan seorang nabi,

namun ia menerima kitab suci.

Tentu! Hatiku tak bisa untuk berkata ‘tidak!’.

Meskipun aku bukan bagian dari mereka,

tetapi nuraniku selalu terpanggil saat mendengar tutur katanya.

Dia tak lagi berpijak di tanah Konya,

tetapi debu di telapak kakinya dapat digali di bumi yang pernah menjadi pijakannya.

Pertemuan dengan Kekasih menyisakan air mata di hati-hati yang menaruh cinta;

Zulaikha dihujani nestapa,

pun tangis Layla memeluk rindu buta.

Jika hatimu keras, menyelamlah dalam puisi cintanya;

laksana besi berenang dalam lautan magma.

Tak ada tirai perbedaan,

ia menyatukan timur dan barat menjadi satu arah dan tujuan.


Dia telah menyulap benciku menjadi cinta,

Dengan setetes warna cintaku,

ia lukis kanvas hatiku menjadi pertamanan surga.

Aku adalah kertas Hisamuddin.

Menelan beribu-ribu kata,

Lalu memuntahkannya tanpa bahasa.

Cukup sampai di sini, dadaku terasa sesak,

Ini aliran kisah yang tak mempunyai hulu.

Ada saatnya kau mengerti manis gula,

setelah kau meminum bercawan-cawan air tebu,”

Tampak membentang sayap-sayap cinta para murid yang siap terbang. Pun merekah hasrat pada diri
mereka akan ilmu pengetahuan. Seorang murid mengangkatkan tangan, terlihat tanda cinta pada
keningnya. Lalu berkata,

“Tunduk jiwa ragaku padamu,

tolong kabulkan permintaan cintaku.

Aku memohon isilah satu relung jiwaku

dengan secawan air cinta Qais al-Majnun yang gila akan ilmu.”

Sang Maulana dalam keadaan sesak dada mengabulkan hajatnya. Ia pun menjawab,

“Tak ada satu hari yang Qais lewati tanpa mencari sosok Layla,

Ia arungi panasnya gurun beralas kaki telanjang,

Karena Layla pelita penerang halal-haram,

Pun rembulan pembimbing bintang-bintang

agar terhindar dari siasat gelap malam.

Di temani singa dan harimau

yang patuh di bawah perintahnya.


Kini ia tak lagi dimangsa,

bahkan merajai hutan jiwa.

Di tengah luka pencarian, dengan lantang ia menyeru kepada mega,

“Dengarkanlah buah bibirku yang lemah nan menderita!

Duhai pencari, carilah luka!

sebab terdapat Layla di balik nestapa.

Lari dari apa yang menyakitimu akan semakin menyakitimu.

Terlukalah sampai kamu sembuh!

karena Layla akan mengobati luka dihatimu.

Duhai Layla!

Engkau adalah semua yang salah yang ada pada diriku.

Namun pada saat yang sama,

kau adalah penyakitku.

Apa yang dapat kukatakan?

Kau segalanya bagiku;

kebaikanku, keburukanku

sakitku dan penyembuhku.

Katakan kepadaku,

siapa yang dapat memisahkan cinta dan nestapa?

Lihatlah anak batu,

menelan pahit di himpit kerang

menjadikannya mutiara yang terang berderang.

Semakin dalam kau menahan sakit terbakar,

pancaran cahaya lenteramu akan semakin terang pula.

Layla menyucikan belatung di kepala,

Tiada dirinya tak ada beda substansi dan eksistensi,

apa yang kau lihat luar dan isi;


hanyalah gerakan ruku’ dan sujud.

Oh Layla! Engkau adalah jalan menggapai singgasana.

Bangunlah anak Adam!

Sebagaimana perutmu tak dapat terpisah dari makanan,

pun tanaman ruh menginginkan siraman kelezatan.”

Sesak dada sang Maulana semakin menjadi. Tak mampu lagi ia meneruskan mengajar dan
menuntaskan riwayat. Demikian, murid-murid tak sedikitpun menaruh rasa kecewa. Di akhir kata,
sang Maulana menutupnya dengan doa,

“Oh Qais malang,

tetaplah tabah dalam cinta suci,

serta pencarian dan penantian panjang ini,

semoga semesta menyediakan ruang pertemuan,

bagi mereka yang menderita keterpisahan....”

Sukabumi, Februari 2022.

Muhammad Abdul Haq dilahirkan di Kota Sukabumi, 17 Agustus 2002. Hobi menulis; mencoba
menerjemahkan pemikiran dan cinta ke suatu bahasa dalam bentuk tulisan. Dengan tangan fana,
begitulah caranya mengabadikan diri tatkala ia tak lagi berpijak di bumi.
SEPASANG SWALLOW

Oleh: AyuNirmala

“Muhammad Rizki Al-Fattah.”

Deg!

Jantungku seolah berhenti, Ketika namaku dipanggil untuk melantunkan ayat suci Al-Qur’an
dalam acara wisuda Pondok Pesantren Al-Hidayah. Berkali-kali aku mengucap Al-Fatihah dan berdoa
di dalam hati, supaya tidak gerogi. Dengan modal suara pas-pasan, aku sedikit menguasai lantunan
qiroatul Qur’an. Ini untuk pertama kalinya aku tampil di depan umum.

Para santri terlihat serius menyaksikan, sampai akhirnya aku dapat melantunkan surat An-Nisa ayat
satu sampai tiga dengan lancar. Huft, lega dan senang, aku pun merasa bangga pada diri sendiri.

Acara ini sangat melelahkan. Begitu banyak kegiatan yang membuat langkahku tak bisa
dihentikan. Mondar mandir bak tukang parkir. Menyiapkan kegiatan, dan membereskan semuanya
ketika acara telah berakhir.
Rasa lelahku terbayarkan ketika seluruh keluarga pesantren dipersilahkan untuk menikmati
hidangan. Dalam satu ruangan yang amat luas, kami menghabiskan beberapa makanan yang telah di
sajikan. Perut yang dari tadi keroncongan sekarang terisi penuh dengan makanan yang lezat.
Sekarang perutku rasa-rasanya seperti balon.

Usai makan siang tersebut, semua santri berhamburan keluar ruangan. Aku di tengah-
tengah mereka, terhimpit dalam kerumunan hingga sulit untuk bergerak. Aku hanya diam dan sabar,
mengalah agar dapat keluar dengan cepat.

Sekian lamanya, akhirnya aku dapat keluar tanpa ada halangan. Lega rasanya bisa
menghirup udara di luar. Ketika melangkah menuruni tangga, aku terheran saat menyadari sandalku
tak berada di tempatnya.

“Di mana ya?” gerutuku yang tengah bingung. Di tengah kebingunganku, tiba-tiba ustadz
memanggilku.

“Rizki, sini!” panggilnya.

“Injeh, ustadz,” kataku yang sudah berada di hadapannya.

“Tolong nanti kamu ikut bantu korah-korah di ndalem, ya,” pintanya.

“Injeh ustadz.”

“Loh, kok gak pake sandal?” tanya ustadz yang heran melihatku tak mengenakan sandal.

“Em … anu, tadi ndak ketemu nyari sandalnya,” jawabku yang sedikit malu.

“Owalah hilang, yo wes nanti ambil aja sandal di ndalem.”

“Njeh, terima kasih ustadz,” kataku senang.

Aku langsung menuju ndalem tanpa mengenakan alas kaki. Sedikit malu dengan tamu yang
datang, tapi tetap berjalan dengan percaya diri. Setelah membereskan semuanya, aku kembali ke
asrama dengan memakai sandal dari ndalem yang kupinjam.

“Dari mana aja sih, Ki!” kata Dimas yang menghampiriku.

“Abis dari ndalem di suruh ustadz cuci piring. Kamu di tungguin malah ninggalin,” kataku
yang melirik padanya.

Dimas terkekeh menunjukkan giginya. “Ya, maaf, deh. Tadi, aku kira kamu udah duluan.”

“Hem, ya, udahlah, ndak papa. Nanti abis salat temenin aku beli sandal sekalian balikin
sandalnya ustadz.”

“Loh, emangnya sandal kamu kemana?” tanyanya yang heran.

“Iya, sandalku hilang abis selesai makan-makan tadi. Terus di pinjemin sendalnya ustadz pas
nyuruh aku korah-korah di ndalem.” Jelasku padanya.

“Ow, gitu, to? Yo wes lah nanti aku temenin kamu beli sandal.”

“Nah … gitu, geh,” kataku sambil menepuk pundaknya.

Bakda solat Asar, aku dan Dimas pergi ke toko untuk beli sandal. Karena sehabis acara
wisuda tadi, kegiatan pesantren diliburkan. Jadi, kita bisa langsung membeli sandal.
Aku membeli sandal Swallow warna biru putih. Sementara sandal dari ustadz langsung aku
kembalikan di ndalem. Hatiku merasa senang walau hanya sekadar sepasang sandal Swallow baru.
Tidak masalah, yang penting aku sudah memilikinya.

Menjadi santri harus bisa berhemat, pinter nabung dan gak boros jajan. Sebab, tugas santri
itu hanya ngaji, bukan mencari kepuasan diri. Bukan berarti memiliki uang lalu, habis untuk berjajan.
Lebih baik ditabung untuk bekal lamaran nanti.

Aku memang sudah hampir tiga tahun mengabdi di pondok. Tak pernah merasakan asmara,
namun tak menjadi masalah bagiku. Prinsipku itu mencari ilmu sebelum mencari kekasih. Toh, jodoh
nanti bakal datang sendiri, tidak perlu pusing jadi santri,karena sudah pasti banyak cewek yang
ngantri.

***

Hari ini hari Jumat, sibuk seperti biasa. Aku tengah membereskan gudang di ndalem.
Membersihkan setumpuk benda rongsokan yang tak dapat digunakan lagi. Semua benda itu tak
dibuang melainkan dijual kepada tukang rongsok, dan uangnya untuk bagian yang membersihkan
gudang. Lumayan … bisa di tabung.

Lantunan Qiroat Quran dikumandangkan. Aku langsung membersihkan diri, memakai baju
putih koko, dan sarung hitam polos, dengan sorban di leher siap untuk menunaikan kewajiban salat
Jumat. Dengan gagah aku berjalan menuju masjid. Santriwati tengah berjejer di teras asrama, aku
melewati mereka dengan percaya diri. Mereka bersorak, hal biasa yang dilakukan ketika santri
melintas untuk salat Jumat. Sebagai ekspresi melihat Kang Santri berparas rupawan.

Khutbah dan salat telah usai. Aku keluar dalam kebimbangan mencari-cari keberadaan
sandalku. Lagi dan lagi, aku kehilangan. Semua sudah meninggalkan masjid, dan hanya aku dan
Dimas yang tengah mencari sandalku yang hilang. Sudah lama sekali kita mondar-mandir
mengelilingi sudut masjid, tetapi masih tetap tidak ditemukan. Geram dan kesal, rasa-rasanya ingin
mencabik-cabik orang yang membawa sandalku. Padahal baru saja aku membelinya kemarin.

“Ya udah lah, Ki, pake aja sandal itu,” kata Dimas menunjukan sandal yang tersisa.

“Idih, males amat. Sandal jelek gitu,” cibirku.

“Ketimbang nanti malu lewat depan sana,” katanya yang menunjuk ke arah asrama putri.

“Iya juga. Yo weslah aku pake aja.”

Aku langsung beranjak turun dari tangga dan terpaksa mengenakan sandal yang sangat dekil
dan buruk.

Biarlah! Dari pada nanti malu diliat santriwati, batinku

Sesampainya di pondok nanti, aku akan menyikat bersih sandal ini sampai tak akan ada noda di
dalamnya. Aku memang tidak bisa melihat benda kotor sedikit pun, apa pun itu. Kelak, aku akan
mencari jodoh yang rajin dan bukan pemalas.

***
Siang ini, aku dan Dimas sedang menikmati kopi hitam di warung pondok. Melihat santri berlalu
lalang yang lewat di depan sana. Tiba-tiba datang sepasang santriwati yang mendekat ke arah
warung.

“Assalamualaikum, Mbak, ada Rinso?” tanya gadis berkulit sawo matang itu.

Penunggu warung menjawab, ”Ada.”

“Beli satu renteng ya, Mbak.” Gadis itu memberikan sejumlaha uang, dan penunggu warung
menerimanya.

“Ini kembaliannya.” Penunggu warung memberi uang dua ribuan, dan gadis itu mengucapkan terima
kasih.

Itulah Khodijah, perempuan yang selama ini masih aku idamkan. Wajahnya bulat dengan mata belok
dan bulu mata yang lentik. Bibirnya tipis dan jika tersenyum terlihat giginya gingsul dengan ceruk di
pipinya.

Sudah lama aku memendam rasa saat pertama kali bertemu dengannya. Parasnya yang ayu, selalu
menarik perhatiaan para santriwan. Sifat tenang dan sopan santun menjadi ciri khas dirinya. Maka
dari itu tak mudah bila ingin mendekatinya, karena dia selalu menjaga jarak dengan yang bukan
mahrom.

“Hayo… lagi ngeliatin siapa?”

Tiba-tiba Dimas menyenggolku dan membuyarkan lamunanku tentang Khodijah.

“Gak bagus lho, mikirin cewek terus,” katanya lagi.

“Apaan sih, enggak lah,” jawabku sambal menyeruput kopi.

“Masih seneng toh?” tanyanya.

“Siapa?”

“Kamu sama Khodijah!”

“Hem. Ya, gitulah.”

“Kalo masih, kenapa gak langsung ngomong aja. Gak berani?”

“Gak, gitu Kamu tau Khodijah gimana orangnya. Takut ditolak.”

“Owalah, Rizki … Rizki. Cemen kamu,” cibirnya padaku.

“Tau lah, ditolak rasanya gimana, sakit tau!” balasku sambil memegang dada.

Dimas tertawa lalu berkata, “Lebay, kamu, Ki.”

Aku hanya tertawa kecil meresponnya.

Beginilah kami setiap hari, selalu bercanda. Kami sudah lama menjalin persahabatan, dan naasnya,
kita juga sudah lama melajang. Aku dan Dimas memang belum berminat untuk berpacaran. Karena
ingin menyelesaikan pengabdian dan fokus sampai kelulusan alfiyah. Lagian, untuk apa berlama-
lama pacarana tapi bukan jodoh, percuma, ‘kan? Jodoh Allah yang mengatur, kita sebagai manusia
hanya mencari ridhon-Nya.

***
Malam itu, para pengurus serta ustadz ustadah mengadakan musyawarah di masjid. Aku dan
Dimas sebagai pengurus asrama putra ikut serta dalam kegiatan tersebut. Ditambah dengan adanya
Khodijah sebagai salah satu pengurus asrama putri, membuatku semakin bersemangat. Dalam
musyawarah ini, kami akan mengadakan pameran dalam rangka perayaan kemerdekaan, dan akan
diselenggarakan tepat pada tanggal 17 Agustus.

Saat semuanya sedang khitmad mendengarkan ustadz, tiba-tiba perutku terasa sangat
mulas. Tak kuasa menahannya, aku langsung beranjak lari menuju kamar mandi di dekat masjid.
Karena lupa dengan keberadaan sandal, aku terpaksa ghosob sandal orang lain. Selama aku
membuang hajat, tak terasa musyawarah telah usai. Aku kembali dan mendapati semuanya sudah
sepi, dan Dimas juga tidak ada di sana. Yang kulihat hanya Khodijah yang sepertinya tengah bingung.

“Assalamualaikum ukhty, ada apa, ya? Sepertinya sedang bingung,” tanyaku padanya yang
agak gugup.

“Em, aku lagi nyari sandal, Kang,” jawabnya dengan menundukkan pandanngannya.

“Oh, apa mungkin ini sandal yang aku pake? Maaf tadi buru-buru, jadi salah ngambil sandal,”
kataku yang merasa malu.

“Iya ndak papa, kok. Terima kasih, assalamualaikum,” kata Khadijah sebelum berllau.

Aku kembali ke asrama dengan perasaan yang sangat malu. Tak kusangka bahwa sandal
yang aku ghosob adalah sandal Swallow milik Khodijah. Duh, apes!

***

Waktu berlalu, acara pameran pun tiba. Semua santri antusias dalam mempromosikan
karyanya. Aku sebagai ketua panitia hanya mengkoordinir jalannya acara. Aku bermaksud ingin
memberi Khodijah sesuatu, yaitu sebuah ukiran kaligrafi yang indah bertuliskan namanya dengan
pegon Arab.

“Terima kasih, Kang,” ucapnya malu-malu setelah kuberikan dengan canggung.

“Sama-sama. Aku juga mau minta maaf soal sendal waktu itu.”

Khadijah hanya tersenyum sambal menunduk. Itu sudah membuatku bahagia. Sebab, artinya dia
menerima pertemanan denganku.

Mencintai seseorang bukan berarti bisa memiliki. Tapi dekat dengannya saja sudah cukup
membuat hatiku Bahagia.

Aku tidak berharap lebih pada Khadijah. Karena belum tentu dia gadis yang akan mendampingi
hidupku nanti. Aku menunggu dijodohkan Mbah Kiai, karena pasti akan jauh lebih baik. Siapa pun
itu.

Candipuro, 9 Februari 2022

Bionarasi
Penulis dengan nama pena AyuNirmala, lahir pada tanggal 12 juni 2006. Status seorang pelajar yang
memiliki hobi menulis dan bercita-cita sebagai pengusaha. Dia memiliki hasrat untuk membuat
sebuah novel yang akan diterbitkan suatu saat nanti.

Perjalanan Ridha-Mu

Karya : Sity Asyiah Addawiah Mahardhika

" Apapun yang kamu inginkan, jangan pernah lelah untuk meminta kepada Allah " -Aria

"Adukan semua keluh tangis dalam sujudmu tak lupa bisikkan tentang kesedihanmu kepada-Nya" -
Aria

🌼🌼🌼

Jam sudah menunjukkan pukul 17 : 50, para santri segera berkumpul menuju mesjid menunaikan
shalat maghrib yang dimana malam ini jadwalnya mengaji kitab bulugul maram dan yang katanya
juga ustadz nya baru,,,

"Ariaaaaa, kamu masih ngapain sih lamaa bangettt cepetannn dongg," teriak Zara yang sudah siap
sedari tadi menuju ke aula
" Iya iya, ini bentar lagi selesai lagi pasang jarum pentul lohh Zar nanti aku ketusuk gimana kalo cepet
cepet"

Semua santri putri sudah berkumpul di aula, tinggal menunggu ustad yang katanya ustad baru itu
pengganti ustad Adnan, suatu kegalauan bagi santriwati karena ditinggal ustad tampan cuti, hiksss.

Dipesantren ini, jadwal ngaji santriwan dan santriwati dipisah agar lebih tenang dan gak ada cipika
cipiki dengan lawan jenis saat ngaji sedang berlangsung.

Tak lama, datang seorang laki laki masuk ke aula

" Woww Masya Allah ciptaanmu ya Allah, ganteng kalii lahh"

" Bakalan semangat penuh nihh kalo kayak gini mah "

" Calon suami idaman niii Masya Allah!!! "

Kurang lebih begitulah bisik bisik santriwati, dan laki laki itupun udah ga aneh mendengarkan semua
kata kata tersebut di telinganya.

" Nasib orang cakep mah emang ginii resikonyaa " bisik Alvan dalam hati

" Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh " salam laki laki itu dengan pandangan lurus
kedepan seperti sedang pbb,wkwk

" Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh " jawab santriwati serentak

" Perkenalkan nama saya Muhammad Alvan Abqary, kalian bisa panggil saya ustadz Alvan "

Eh, tiba tiba Zara mengacungkan tangan

" Afwan ustadz, bukannya ustad ini anaknya abi? Jadi lebih baiknya kita panggil Guz aja gimana
ustadz? "

" Setujuuuuuuuu " serempak semua terkecuali Aria, malam ini ia lemas dan ngantuk sekali karena
malam kemaren ia sibuk belajar hingga tengah malam

" Terserah kalian saja lah " jawab Alvan datar

" Hihhhhh, jutek amatt siih " cibir Zara pelan

Pembelajaran kitab bulugul maram pun berlangsung,,,

" Jadi intinya, anak perempuan itu dinikahi karena sebab 4 yaitu hartanya, nasabnya ( keturunan ),
kecantikannya dan agamanya. Yaa jadi kalo bisa diutamakan karena agamanya, kenapa demikian?
Karena jika agamanyaa baik maka In syaa Allah ia bisa tau caranya taat kepada suami dan ngerti
mana yang baik mana yang buruk yang sekiranya tidak menyimpang agama, fahimtum " jelas Alvan.

" Fahimna, In syaa Allah " jawab semua santriwati, kecuali Aria yang sedari tadi sudah tertidur pulas
di atas kitabnya

Alvan pun melangkah mendekat ke arah Aria dan semua mata tertuju ke arah Aria, Zara mencoba
berkali kali membangunkan Aria tapi tak ada reaksi apapun

Alvan pun sudah berada di samping Aria yang tertidur

" Ekheeemmm " Alvan berdehem. Namun tak ada respon dari Aria,
Alvan mencoba mengetukkan balpoin pada meja salma dnegan cukup keras

Tuk tuk tuk tukkk

Aria akhirnya terbangun, dengan mata masih sedikit mengantuk

" Berisik tau Zar, yaudah ayo kita pul "

Ucapannya terhenti karena yang didepannya bukanlah Zara tapi Alvan

" Mmaaf ustadz, tadi saya ketiduran soalnya saya a a abis latihan ujian semalam untuk nanti " ucap
salma gugup lalu menunduk tak berani menatap Alvan

Wajah Alvan pun semakin datar

" Tidak ada alasan apapun, keluar dan kamu saya takzir kamu bersihkan ruang tamu dalem "

Seketika Aira membelalakkan matanya

" Loh kok gitu, ustadz Adnan aja ga pernah gitu kok, malahan memaklumi, Oh yakan ustadz baru jadi
gak tau ya kalo saya itu banyak hafalan sekali ustadz semalam saya menghafal sampai tengah malam
ustadz jadi saya kurang istirahat ustad Alvan yang dinginnnn kek kulkass "

Sahut Aria dengan nada cukup emosi, maklum lah datang bulan.

Rahang Alvan pun semakin mengeras

" Saya ga nanya kamu sedang banyak hafalan atau tidak, yang lain pun sama seperti sampeyan,
sekarang KE RUANG DALEM!!!!! Bersihkan semuanyaaa "

Tegas Alvan membuat mata Aria berkaca kaca dan berlari keluar membawa kitabnya,,,,,

🌼🌼🌼

06 : 15

Pagi ini para santriwan santriwati sedang sibuk dengan kegiatan nya masing masing ada yang
persiapan hafalan, berangkat sekolah, berangkat kuliah,

Berbeda dengan Aria, ia sedari tadi sedang melamun sendiri

Shanza menyadarinya, dan bertanya

" Ada apaaa kenapaa ra, daritadi aku perhatiin kamu melamun saja"

Tanya Shanza membuat Zara dan Mba Inaya ikut menoleh ke arah Aria

Aria hanya merespon dengan gelengan kepala dan masih lanjut melamun

Tiba tiba Zara tarik nafas lalu menengahi pembicaraan mereka

" Heummm perlu kalian ketahui, tadi malam tuh Aria abis kena takziran Guz Alvan karena ketiduran
terus dimarahin dibentak sama Guz Alvan, terus terus abis itu Aria bersih bersih ruang tamu dan abis
itu Aria dipanggil umi begituu dehhhh kan Ariaaa?" ucap Zara dengan sedikit mengintrogasi Aria tapi
Aria hanya merespon dengan senyuman tipis,,,

Aria tiba tiba meneteskan air mata, ia memeluk Zara di samping nya
" Aku harus pulang, Abah meminta ku untuk pulang bukan apa apa ini karena hal yang memang aku
sendiri ga bisa mengelak"

Suasana pun menjadi hening

" Kok mendadak gini, kenapa toh ada apa?, sedihlaah aku ini"

Ucap zara ngerengek

" Aku punya 2 adik disana, yang satu baru saja lulus sekolah smp dia ingin lanjut sekolah tinggi dan
yang kedua masih sekolah dasar, tentu saja membutuhkan biaya. Aku sebagai kakak tentunya harus
mengalah demi mereka tanggung jawab ku sebagai kakak juga. Aku gapapa cuman lulusan sd yang
penting adik adik ku bisa sekolah tinggi" jelas panjang lebar Aria tersenyum tipis agar teman
temannya tidak sedih lagi

"Tapi kann kamu juga disini mencari ilmu agama untuk bekal di akherat nanti juga," sambung shanza

" Iyaa siih, tapi kan yang lebih utama mendengarkan kedua orang tua kan, bukankah begitu mbak
Inaya? " ucap Aria

" Masya Allah betul Aria, mungkin ini memang sudah menjadi jalan yang terbaik buat Aria kita kan
gak tau nanti di depan rencana apa yang sedang Allah persiapkan, " ucap mbak inaya merangkul
mereka bersama

" Kapan pulang? " tanya Zara

" Ummm, nanti sore " sambung Aria

" Yaahh cepet bangett, barang barang mu belum di bereskan, kita bantu yaa " ucap shanza

" Terima kasih banyak Aria senang bisa kenal kalian banyak pelajaran yang Aria ambil, tenang saja
aku disana gak akan lupa hafalan nya kok, aku disana membantu abah ku mengajar ngaji di
madrasah dan juga bantu mamah ku usaha kecil kecilan" Aria tersenyum

Mereka pun saling berpelukan,,,

🌼🌼🌼

Langit sudah menunjukkan senja, Aria sudah ditunggu abah nyaa untung pulang

" Sudah selesai semua nak? Tanya abah

" In syaa Allah sudah, Abah cuman sendiri jemput aria?

" Iyaa, mamah mu nunggu dirumah. Abah disini sekalian ada yang harus di obrolkan dengan abi umi
nak " lanjut Abah

" Aria kamu anak yang baik dan Alhamdulillah selama 5 tahun di sini kamu sudah menyelesaikan
hafalanmu, jazakallahu khairan kasiran" ucap bangga umi kepada Aria

" Aamiin, do'akan Aria umi bisa menjaga halafan dan muroja'ah nya " lanjut Aria

" Yasudah kalo begitu kami pamit pulang ustadz, terima kasih sudah mendidik Aria disini dengan baik
dan saya tunggu kedatangannya di rumah Assalamualaikum Wr. Wb" Pamit abah dan aria.

Kening aria mengerut ia merasa heran dengan perkataan abah nya tadi, tapi ia tak menghiraukan
nya.
"Assalamualaikum Mah Aria pulang, Aahh Aria rinduu " ucapnya memeluk ibunda nya.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Masya Allah anak mamah cantik sekali, sini kak
minum dulu, Gimana disana lancar hafalannya kak?" lanjut mamah nya mengecup kening Aria.

" Duduk kak " perintah Abah

" Alhamdulillah lancar Mah, Aria sudah menyelesaikan hafalan Aria. Ada apa abah ? "

" Begini, Abah mamah bangga sama kakak, kamu sudah memberikan hadiah yang istimewa untuk
kami di surganya Allah, Dan sekarang ini sudah waktunya mencari kebahagiaan kakak, kakak sudah
cukup berbakti terhadap abah juga mamah "

" Abah sudah menjodohkan mu dengan nak Alvan anak umi dan abi di pondok, Semua orang tua
menginginkan yang terbaik untuk kakak Abah dan Mamah percaya nak Alvan bisa menjaga dan
membahagiakan kamu " lanjut abah

Aria hanya terdiam kaget, ia tidak menyangka ustadz yang galak itu akan menjadi calon suami nya
kelak. Namun ia pun mencintai lelaki tersebut disisi lain ia senang menikah dengan lelaki yang
dicintainya namun di sisi lain juga di pondok ia seperti kucing dan tikus,,, Aarrghhh gimanaa ini. Ucap
nya dalam hati

" Tapi umur Aria kan masih 22 tahun abah, "

" Mamah dulu juga menikah diumur 21 tahun kak, kamu gaperlu takut calon suami mu ini akan
menghormati mu dengan sebaik baiknyaa" ucap mamah mengelus kepala Aria

" Yasudahh Bismillah, Kalo memang ini yang terbaik buat Aria kedepannya bisa buat mamah juga
abah tersenyum Aria terima perjodohan ini " Kata Aria tersenyum dan tangis haru

" Masya Allah Alhamdulillah, umi dan abah do'akan semuanya dilancarkan dan kamu bisa menggapai
ridhonya Allah kelak ke surga dengan suami mu, Mamah bangga sama kakak " ucap mamah
memeluk Aria

Biografi penulis

Penulis bernama lengkap Sity Asyiah Addawiah Mahardhika, tempat lahir Sukabumi 21 Agustus
2002, Anak pertama dari 3 bersaudara. Berijazah SDN Mandalasari, SMPN 2 Sukaraja, SMAN 1
Sukaraja. Dan kini merupakan Mahasiswi STKIP Bina Mutiara Sukabumi prodi Pendidikan Bahasa
Inggris. Ia memiliki Motto hidup "Jangan pernah berhenti menjadi orang baik". @_adwmdk
Rembulan Pesantren

Oleh : Selvi Nitasari M.

Ia Nawang Wulan ,santri abdi ndalem yang cantik seperti rembulan tak hanya cantik ia juga
penghafal al-qur'an. Yang jatuh cinta dengan Ahmad Thahirin,alasan Wulan memilih kang Thahirin
karena namanya sama dengan tokoh yang memotivasinya untuk menimba ilmu di pondok, dan yang
memotivasi untuk menghafal al-qur'an. Awalnya tak ada rasa istimewa namun seiring berjalannya
waktu, meraka menjadi akrab. Diam-diam Wulan mengagumi Kang Thahirin karena karakter,dan
cara berpikirnya.

Pada umumnya berangkat mondok diantar orang tua , dikasih uang saku bukan seperti saya
berangkat mondok hanya modal nekat. Karena orang tua tak pernah berpikiran buat mondokan
anakanya , karena tak berani bilang juga. Pernah sekali bilang, tapi dimenengi sampek beberapa hari
ya ndak berani bilang lagi. Karena udah tekat bulat jadi mutusin berangkat sendiri padahal ndak
punya sangu.

Pondokku memang pondok salaf, di sini santrinya masak sendiri. Kalau di sambang orang tua atau
sehabis pulang mesti bawa beras buat masak, karena saya mondoknya modal nekat jadi nderek
ndalem. Sampek ndak kober ngaji biasanya, apa lagi ada acara besar sibuknya wes... Sampek nguras
tenaga. Di pondokku tidak mandang usia semua harus masak sendiri ndak kebayang gimana kan,
apalagi kalau baru lulus MI atau SD. Habis Subuh asap wes mengepul menuhi dapur, karena harus
sekolah juga jadi masaknya pagi-pagi banget.
"Assalamu'alaikum"

Suara yang familiar ditelingaku. Kang Thahirin, siapa yang ndak kenal baliau hampir seluruh pondok
kenal kang Tahirin. Wajah tenang, pengetahuan luas, tinggi, senyum sederhana namun
menenangkan. Laki-laki yang sering kuperhatikan dalam diam, yang ku rapalkan namanya sehabis
shalat. Laki-laki yang berhasil mengubah cara berpikirku, karena aku menganggap laki-laki itu
sama.Suka nyakitin perempuan, ndak pernah mikirin perasaan perempuan. Setelah merasakan
manisnya langsung dibuang, padahal perempuan itu seperti bunga kalau udah layu ndak bisa balik
lagi.

"Waalaikumsalam, kang" Kutundukkan pandangan

"Dek, abah ten pundi? " Tanyanya padaku

"Abah... ten gazebo belakang kang"

"Gih pun"

"Mau saya panggilkan? "

"Ndak usah...dilanjut saja ngepelnya"

Aku hanya bisa memandang punggung yang mulai menjauh dan berusaha mengontrol detak jantung
yang kelewat batas. Siapa yang ndak kagum dengan beliau, hampir seluruh santri putri kagum.
Semakin aku pendam rasa itu, semakin tumbuh. Dan hanya bisa memandang punggungnya dari
kejauhan dan merapalkan shalawat sayidul istighfar.

"Lan" Panggil mbak Nur sambil menepuk bahuku

"Astaghfirullah... Ya mbak"

"Kenek opo kok nglamun? "

"Ndak papa mbak"

Mbak Nur menyuruhku cepat menyelesaikan ngepel karena hari ini bakal sibuk bantu ndalem masak.
Ku sempatkan ngaos kajian kitab kuning abah meski ngaos kuping kaleh ngampeng dibelakangnge
lawang. Setelah rampung masaknya aku dan mbak Nur pergi ke sawah nganter makanan, dari
kejauhan mataku tak sengaja menangkap anak adam duduk bersila sambil membaca buku di
pendopo. Ingin rasanya memandang wajahnya yang tenang, namun apa daya itu akan menimbulkan
zinah mata. Sepulang dari sawah, bu nyai nimbali buru-buru aku ke ndalem. Bu nyai ngendikan
besok mau tindakan jadi setoran hafalan digantikan kang Thahirin.

Perasaan senang campur gugup mungkin itu yang aku rasakan. Tapi itu membuat ku tambah
semangat untuk hafalan, dari situ kita mulai dekat dan saling tukar pengalaman maupun ilmu. Dari
situlah aku mulai tau kriteria perempuan yang kang Thahirin sukai.

Ada lima kriteria, yang pertama dia berpengetahuan luas. Dari situlah aku mulai membaca sejarah,
dan dari situ aku suka dengan sejarah terutama sejarah kerajaan. Yang kedua ia hafidzoh, itu
membuatku lebih semangat untuk hafalan maupun setoran. Yang ketiga sholehah, aku berusaha
untuk menjadi perempuan yang sholehah. Yang keempat seneng sama bunga, aku pernah bertanya
kenapa bunga. Kang Thahirin bilang, orang-orang yang mencintai bunga pandai bergaul, tapi tidak
mudah terpengaruh. Dia tidak mudah membenci tapi juga tidak mudah terpesona. Dia sudah biasa
melihat bunga layu, gugur dan bersemi lagi. Dia faham bahwa hidup adalah cakramanggilingan,
hidup adalah roda yang berputar.

Dan yang terakhir berbakti kepada orang tua. Aku mulai memperbaiki diri sesuai kriterianya hanya
kurang satu yaitu berbakti kepada orang tua karena aku masih sering tak menghiraukan kalau
disuruh. Dari situlah aku mulai memperbaiki diri, selang berapa minggu aku mulai mempelajari
bunga.

Sampai suatu hari ada santri putri bilang "mbak Wulan ngertos ndak, kang Thahirin lagi deket sama
santri baru... "Aku terkejut mendengar kalimat itu, namun aku hanya tersenyum saat itu. Hari
berikutnya aku melihat kang Thahirin dengan santri itu. Paras cantik, hafidzoh, kulit kuning langsat
dan pintar. Sesuai kriteria kang Thahirin, aku mencoba menahan air mataku dan mencari tempat
untuk meluapkan kesedihanku.

Hujan mulai mereda, tapi kecamuk batinku makin membara. Rasa sakit ini seperti disayat belati
namun tak berdarah. Beberapa hari ini, aku tak bertemu kang Thahirin. Ingin rasanya aku
mengucapkan "Aku merindukanmu" Namun berat sekali untuk mengatakan itu, aku hanya bisa
menjerit kepada Allah, diatas sajadah di sepertiga malam.

Dibawah rembulan pesantren yang terang ku ungkapkan, ku curhat kan seluruh rasa pedih ini
kepada sang Maha Kuasa. . "Duh Gusti...ingin ku menjerit dan bilang aku merindukannya,maafkan
aku yang belum bisa melupakannya. Dan aku pun tidak tahu sampek kapan rasa ini akan
singgah,namun saat ini aku berusaha untuk mencintai-Mu dan meluruskan niatku untuk mengharap
cinta dan ridho dari-Mu semata".

Kini ku tahu esensi perempuan yang mencintai bunga. Dia merawat bunga dengan sangat baik,
sebab esensinya dia sedang merawat hatinya sendiri. Hatinya serupa musim semi, dia belajar dari
tunas-tunas baru dari daun pupus baru. Dia setia pada proses. Tenang, ndak grusa grusu, dan
bersahabat dengan waktu.

Kamis, 10 Februari 2022

Bionarasi

Selvi Nitasari Munadhiroh kelahiran 2001. Ia pernah mondok di PP Al Wardiyah Bahrul Ulum tambka
beras Jombang, dan sekarang mondok di PP Al Ikhlas Gendong Kulon Babat Lamongan. Serta
melanjutkan studynya di universitas Billfah lamongan, mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.
Sekarang ia semester 2, Selvi mempunyai kakak yang sangat ia sayangi dan juga banyak belajar
pengalaman dari kakaknya . Kamu bisa mengenalnya lewat instagaram@Selvi n.m.
ASMARA DIPENGHUJUNG ACARA

Oleh: Via Ar-Rasyid

Liburanku telah usai. Besok ialah hari di mana aku harus kembali ke pesantren, menghirup udara
sangat penjara suci. Aktifitasku akan kembali padat. Riuh suara santri akan kembali memenuhi
gendang telingaku.

Namaku Nindhita Shofia, yang selalu punya banyak cerita ketika bersama teman-teman. Ada saja hal
yang menjadi bahan perbincangan bagi kami, bahkan hal receh sekalipun.

Sembilan bulan berlalu, tak terasa jiwa santri begitu melekat dalam benakku. Bahkan rasa rinduku
pun terpendam begitu dalam kepada seseorang yang sebelumnya pernah mewarnai hari-hariku di
rumah. Jauh sebelum menjadi santri, sebelum masuk dalam benteng penjara suci. Tak terasa
kabarnya kini bagai angin lalu, hanya seutas rindu yang berubah menjadi berita usang.
Tak terasa bulan Ramadhan akan tiba. Jadwal santri menjadi lebih padat, peraturan pun menjadi
lebih ketat. Puasa kali ini akan berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Sebab, ini puasa pertamaku
setelah menjadi santri.

“Woi, ngelamun aja kamu, ngapain si, di sini? Aku cariin ke mana-mana juga,” kejut Fera yang datang
tiba-tiba membuyarkan lamunanku.

“Astaghfirullah, Ra, ngagetin tau nggak!” sahutku geram.

Bakda Isya, sepulang jamaah seluruh santri diminta untuk berkumpul di aula pesantren. Akan ada
acara perkenalan santri PKL yang bertugas di pesantren Darun Najah, tempatku nyantri. Tidak hanya
santri, jajaran pengurus dan para ustadz, ustadzah pun ikut serta.

Acara dimulai, seorang ustadzah mulai membuka acara, lalu memperkenalkan para tamu yang sedari
tadi membuat penasaran para santri. Usai perkenalan, ustadzah menjelaskan bahwa, merekalah
yang nantinya akan mengajar para santri selama bulan Ramadhan.

“Wah seru banget dong, yang ngajar kang santri, bisa modus dikitlah,” kata Fera yang setengah
berbisik padaku. Aku hanya menggelengkan kepala menanggapi ucapannya. Fera memang begitu,
dia temanku yang selalu punya banyak tingkah, aktif dan agresif.

Selesai acara, mereka pamit dan para ustadz dan ustadzah pun ikut undur diri. Para santri pun
diminta kembali ke asramanya masing-masing.

“Uh, nggak sabar deh, nunggu besok pagi, lihat kang santri itu ngajar,” kata Fera yang berjalan
sejajar denganku.

“Sabar Ra, innallaha ma’a shobiriin,” sahutku.

***

Jam sudah menunjukkan pukul 03.00. Aku bangun lalu bergegas untuk mengambil air wudhu dan
melaksanakan shalat qiyamul lail secara munfarid. Usai salat, aku melanjutkan tadarus Al-Qur’an dan
murojaah hafalan. Asrama saat ini benar-benar sepi, semua santri masih terlelap dalam tidurnya,
lalu kudapati sosok gadis yang tengah menenteng mushafnya menghampiriku.

“Kamu tau nggak, Shof, semalem ada yang nitip salam buat kamu, tapi karena semalem aku ngantuk,
jadi nggak sempet nyampein langsung, gimana, tuh? Dibales gak salamnya,” ledek Okta dengan
senyum jailnya.

Aku terdiam seribu Bahasa. Pikiranku pun entah kemana. Hingga Okta mengembalikan kesadaranku.
“Heh, kok, malah bengong, si? Ditanyaiin juga,” kejut Okta.

“Maaf, Ta, aku nggak bias bales,” jawabku setengah berpikir, kemudian menatap Okta sesaat.

“Aku harap kamu nggak menyia-nyiakan orang yang benar-benar tulus mencintai kamu Shof,”
sergahnya, nadanya pun sedikit menekan dan berbeda ketika menatapku. Kali ini Okta benar-benar
serius, tak seperti biasanya saat dia bicara padaku. Dia memang tahu tentang seseorang yang selama
ini mengisi hatiku yang sekarang tak tahu kabarnya di mana.

Aku menunduk, mencerna apa yang ia katakan tadi.

***
Aku bersiap untuk mengikuti acara malam ini, yaitu membacaan Albarzanji. Acara ini diadakan
sekalian untuk pembuka kegiatan di bulan Ramadhan, karena besok sudah mulai ibadah puasa dan
semua santri ikut serta.

Acara berlangsung dengan lancar. Aku pulang paling akhir bersama beberapa santri, karena harus
membereskan ruangan. Ada juga beberapa kang santri yang ikut membantu.

Saat aku menyapu, Afreza datang menghampiriku.

“Mbak, boleh ngomong nggak, sebenernya saya … itu suka sama kamu,” ungkapnya.

Jantungku seperti berhenti berfungsi karena terkejut. Aku menarik nafas, kemudian merapal
istighfar berkali-kali. Kemudian mulai untuk membuka suara.

“Maaf, Za, aku nggak bisa ngaasih perasaan lebih buat kamu, aku anggap semua yang ada di sini itu
saudara. Pesantren juga punya aturan.”

***

Waktu yang di tunggu-tunggu pun tiba. Saat azan berkumandang semua santri berbuka puasa.
Selepas Magrib, ada jadwal tadarus Al-Qur’an. Kelas baru akan dimulai setelah shalat Tarawih nanti.

Aku berangkat bersama Fera dan para santri yang lain. Setelah itu kami berpisah lalu masuk ke kelas
masing-masing.

Tak lama, seorang kang santri yang kemudian kutahu bernama Kang Syarip masuk kelas sembari
menenteng kitab Fathul Qorib yang akan dibimbingnya. Aku duduk paling depan untuk
memperhatikannya. Kang Syarip menjelaskan dengan sangat teliti, bahasanya sangat halus, namun
suaranya tegas dan lantang. Dia juga sangat berwibawa.

Dalam hati aku pun mengaguminya.

***

Besok kelas dimulai lebih awal. Namun, kali ini Kang Syarip tidak hadir dan kelasku digantikan
temannya untuk sementara. Kelas terasa hening, kang santri itu lebih banyak diam. Menurutku dia
sangat kaku, dingin, cuek, dan tidak mengasyikan sama sekali. Tapi anehnya banyak santri yang
mengidolakannya.

Abidzar Malik As-Syafi, rupanya itu namanya. Santri senior, seorang santri dari pondok pesantren
Nurul Qadim. Semua santri kagum padanya, entah apa yang membuat mereka tertarik.

“Kang,” panggilku saat kelas usai, tapi tidak ada jawaban darinya. “Kang Syarip kenapa nggak ikut
ngajar?” sambungku.

“Nggak tau,” jawabnya singkat dan langsung pergi begitu saja, ekspresinya pun datar.

“Nyesel aku nanya ke dia. Datar dan cuek. Nggak ada ramah-ramahnya sama sekali,” gerutuku.

***

Hari bergulir bersamaan dengan jadwal santri yang silih berganti tiada henti. Pelajaran demi
pelajaran terlewati, hingga akan tiba hari libur yang selalu dinanti para santri.

Sudah sekian lama Kang Syarip absen, maka jadwalnya selalu diisi oleh Kang Abidzar. Aku tidak
bersemangat dan rasa-rasanya ingin bolos saat jam pelajaran tiba.
Hingga esok harinya Kang Abidzar kembali mmengajar di kelasku. Aku barusaha tenang
memperhatikannya seperti biasa. Kali ini dia meminta salah satu santri untuk maju, kemudian
mengartikan kitab. Mungkin karena gugup, takut, dan malu santri itu tidak bisa menjawab dan hanya
diam. Bahkan, ia seperti ingin menangis, membuat santri lain menertawakannya. Aku merasa
kasihan padanya.

Sontak Kang Abidzar menenangkan keadaan yang sedikit riuh. “Mba, kalian jangan suka
meremehkan orang lain, bayangin jika posisi kalian yang ada di sini. Ingat, roda selalu berputar, bisa
jadi suatu saat kalian yang ada di posisinya.”

Kali ini kata-katanya membuatku tercengang. Bahkan aku setengah tak percaya mendengarkannya.
Aku kira Kang Abidzar akan diam saja tanpa membela, namun ternyata dugaanku salah. Ternyata dia
peduli.

“Shof, kamu dengerin aku nggak sih,” tanya Dina membuyarkan lamunanku. Tanpa sadar, sedari tadi
aku menarik bibir mengembangkan senyum.

“Apa, Din? Maaf, aku nggak fokus tadi,” jawabku asal agar bisa menyembunyikan senyumku dari
Dina.

“Astaghfirullah, Shofiia … kok malah ikutan terpesona sama dia sih,” batinku.

Dina pun tersungut-sungut.

***

Pagi ini jadawalku setoran. Sudah bisa di tebak, aku akan berhadapan dengannya lagi. Aku setoran
paling akhir dan harus terjebak dengannya dalam satu ruangan tanpa ada orang sama sekali. Bahkan
tatapannya tak pernah lepas dari pandanganku. Aku sangat sungkan jika ingin menatapnya, jadi aku
hanya menunduk menghilangkan wajahku dari tatapannya, dan berharap bisa lekas keluar dari
ruangan ini.

“Mbak,” panggilnya tiba-tiba “Besok langsung empat surat aja sekalian, biar nggak tertinggal sama
yang lain,” sambungnya.

Sepintas mata kami beradu, detak jantungku berdetak dua kali lipat. Aku hanya menganggukkan
sebagai isyarat tanda setuju, lalu kembali menunduk.

“Namanya siapa, Mbak?”

“Nindhita Shofia, seringnya dipanggil Shofia,” jelasku yang tetap menunduk. Dia hanya
menganggukkan kepala tanda mengerti, lalu kemudian pergi meninggalkan ruangan. Akhirnya aku
bisa bernafas dengan lega setelah ia pergi dari hadapanku.

***

Hampir tiga Minggu berpuasa di pesantren, tak terasa sebentar lagi liburan tiba. Pesantren
mengadakan acara perpisahan dengan santri PKL malam ini. Sebab, mereka harus pulang besok. Usai
acara aku bergegas pulang ke asrama, namun urung saat seorang laki-laki memanggilku dari
belakang.

“Shofia! Ini ada titipan buat kamu,” kata Kang Sodiq.

“Ini surat dari siapa?” sahutku penasaran saat menerima lipatan kertas.
“Saya nggak tahu itu apa, saya cuma menyampaikan titipannya saja,” jelas Kang Sodiq, kemudian
berlalu.

Aku bergegas ke kamar lalu membuka isi surat yang diberikan Kang Sodiq tadi. Hatiku berdebar-
debar saat mulai membaca surat ini.

Assalamualaikum Wr.Wb.

Ukhti.

Sejak awal kita berjumpa, hanya dirimu yang paling berbeda. Bahkan segalanya darimu, selalu
menyita begitu banyak perhatianku. Entah mengapa, namamu selalu ada dalam pikiranku, dan itu
selalu mengusik setiap hari-hariku. Aku tidak tahu, sejak kapan rasa ini ada bahkan sebelumnya aku
tak pernah ingin mengungkapkannya. Namun, rasa ini begitu menyiksa pikiranku, menggelisahkan
hatiku. Aku putuskan untuk shalat, meminta petunjuk lalu kemudian menyampaikan hal ini
kepadamu. Aku menyukaimu Nindhita Shofia, yang mampu menaklukan hatiku.

Salam,

Abidzar Malik

Aku sungguh tak menyangka, lagi-lagi hal yang tak pernah kuduga terjadi. Aku mengira surat ini dari
Afreza. Namun, dugaanku salah. Ternyata surat ini datang dari orang yang dulu pernah aku benci
karena sifatnya, lalu kemudian dibuat kagum karena sikap dan perbuatannya.

Ya qolbi … wahai hatiku, yang selalu bimbang saat ingin menetapkan keputusan, yang dihadapkan
dengan hal yang tak pernah direncanakan. Sungguh Allah Maha Kuasa, sang pembolak-balik hati
seorang hamba-Nya. Sang pembuat rencana yang tidak pernah diduga oleh setiap hamba-Nya.

Abidzar Malik As-Syafi, seorang yang mampu meluluhkan hatiku, bukan karena ketampanannya,
melainkan kebaikan yang selalu ada dalam pribadinya.

Tamat

Candipuro, 8 Februari 2022

Bionarasi.

Penulis dengan nama pena, Via Ar-Rasyid, lahir di Sindangsari enam belas tahun lalu. Penyuka warna
biru ini memiliki hobi membaca, hingga menarik minatnya untuk menyusun aksara menjadi
ungkapan penuh makna. Cita-citanya ingin menjadi seorang guru dan penulis. Statusnya kini seorang
pelajar dan santri di Pondok Pesantren Darul Ulum Candipuro Lampung Selatan.
Pesantrenku

Karya : Zuanita May

Cerita ini saya ambil dari pengalaman yang saya alami selama di pondok pesantren. Saya mahasiswa
semester 2 prodi Matematika Universitas Billfath Lamongan. Kala itu ada progam pondok pesantren
di kampusku, yang mewajibkan semua mahasiswanya untuk mengikuti pondok pesantren selama 40
hari. Bagi aku berpisah jauh dengan orang tua hal yang sulit karena aku tipe seorang anak yang selalu
dekat dengan orang tua, pernah berfikir untuk tidak mengikuti pondok pesantren, tapi karena itu
adalah program wajib dan akan berpengaruh di nilai semester akhir saya memutuskan untuk ikut
pondok pesantren.

Mempersiapkan hal belum pernah saya lakukan ternyata adalah suatu yang meneyenangkan. Mulai
dari packing baju, alat shalat dan segala hal yang dibutuhkan di pondok. Bertanya kesana kemari
untuk mempersiapkan agar tidak ada yang terlewatkan. Hingga pada akhirnya waktu berangkat ke
pondok telah tiba dan saya berusaha menjalaninya dengan ikhlas dan semangat.
Perjalanan saya di pondok mulai dari opening pondok pesantren yang dilakukan malam setelah
semua mahasiswa datang. Bertemu orang-orang baru, teman, mbak pengurus pondok, ustad, dan
ustadzah cukup membuat saya senang. Setelah acara selesai dan saya istirahat, saya teringat dengan
ibu, bapak dan adek dirumah. Tapi saya berusaha untuk segera tidur agar saya tidak sedih dan
teringat oleh mereka dirumah. Saya yakin saya bisa menjalani pendidikan saya di pondok pesantren.

Setiap hari saya selalu bangun jam 3 pagi shalat tahajud dilanjut dzikir sampai shalat subuh dan
mengaji Al-Qur’an. Setelah itu waktu bersih diri dan sarapan, sampai waktu menunjukkan pukul 8
saya akan mengaji kitab Aqidatul Awam yang diajarkan oleh Abah Mantan. Selesai ngaji dengan
Abah saya mengaji kitab Sulam Taufiq dan belajar bahasa Arab sampai jam 12. Dilanjutkan dengan
shalat jamaah dan makan siang.

Setelah itu saya akan kuliah pada pukul setengah 2 siang sampai jam 6 sore, perkuliahan saya jalani
dengan offline ataupun online karena akibat dari Covid-19. Walaupun tidak continu saya berusaha
menjalani dengan baik. Karena keadaan di pondok juga terkadang dibarengi dengan tugas yang
diberikan saat kuliah membuat saya harus bisa mengatur waktu dengan baik. Saya biasanya akan
mengerjakan tugas atau belajar di sela-sela ngaji dan terkadang juga saat malam hari.

Kegiatan saya di malam hari saat di pondok sangatlah beragam. Setiap malam setelah shalat jamaah
magrib saya akan mengaji kitab dan memahami ajaran dalam Al-Qur’an, terkecuali pada hari Kamis
ngaji akan diliburkan. Di hari Kamis setelah shalat isya’ saya dan teman-teman Diba’an (sholawat
yang ditujukan kepada Nabi Muhammad yang dilakukan oleh masyarakat yang kebanyakan warga
NU).

Pada hari Senin malam, saya dipondok selalu mengikuti kegiatan yang di sebut Muhadhoroh, yaitu
suatu kegiatan yang bertujuan mendidik para santri agar terampil dan mampu berbicara didepan
semua orang untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam. Kegiatan tersebut dilakukan dengan
beberapa macam, mulai dari pidato bahasa Inggris, pidato bahasa Jawa, pidato bahasa Arab, dan
juga shalawat.

Hari demi hari sudah saya lalui di pondok, mungkin awalnya saya teringin untuk pulang tapi setelah
saya jalani dengan kesibukan di pondok dan kuliah, membuat saya lupa untuk pulang. Hingga pada
akhir penghujung hari-hari saya di pondok saya disibukkan dengan ujian pada setiap ngaji kitab yang
saya jalani. Alhamdulillah semua berjalan dengan baik, sampai saya pulang kembali ke rumah.

Pelajaran yang saya ambil dari pengalaman saya dipondok adalah saya bisa lebih mandiri karena
saya akan melakukan semua hal sendiri, mendapatkan lebih banyak ilmu dari mengaji, mendapatkan
banyak teman, juga saya menjadi seorang anak yang bisa jauh dari orang tua. Setiap apa yang kita
fikirkan buruk dan sulit belum tentu akan buruk dan sulit saat dilajani, mencoba hal-hal baru akan
membuat kita memperbanyak pengalaman dan ilmu yang bermanfaat.

3 Februari 2022

Bionarasi :
Zuanita May Tri Wahyuni seorang mahasiswa prodi Matematika di Universitas Billfath Lamongan.
Dilahirkan di Lamongan pada 12 mei 2003. Tempat tinggal di Mantup Lamongan.

Terlelap Aku Hilang

Karya : s. Maulida syifa nahri


Hai, namaku Rinjani, Rinjani Bakhtiar. Aku ingin menceritakan sedikit tentang kisah hidupku, kisah
pengalamanku saat pertamakali aku mengenal kehidupan di sebuah penjara suci, pesantren. Kisah
dimana aku merasa aku bukanlah aku yang sebenarnya. Jiwaku tak terkendali. Aku dijadikannya
seperti orang paling hina diantara mereka. Harga diriku mengambang. Antara masih berakal dan
tidak, Terlelap Aku Hilang dari sang purnama, terjebak dalam suatu permainan iblis yang fana.

Siang itu aku berjalan menyusuri gedung-gedung hijau yang berderet saling berhadapan. Terlihat
dua orang santri putra sedang asik bercerita sambil tertawa dilorong jendela gedung yang
bersebelahan. Suasana yang suram, entah mengapa setiap kali aku hadir ke tempat ini, hatiku tidak
tenang, jantungku berdebar kencang, hatiku sesak rasanya, aku merasa seperti menanggung beban
yang amat berat, dan aku ketakutan yang aku sendiri tidak tahu sesuatu apa yang sedang aku takuti
itu. Nostalgia, sial. Ingatanku kembali ke masa lalu yang begitu pelik.

Dengan sedikit ragu, aku melangkahkan kaki sambil menggusur roda koper yang sengaja aku bawa.
Dengan ditemani sang mama, dan kedua adik laki-laki ku, aku bergegas menuju gedung asrama
putri.

"Mbak Rinjaniiii, janii.." Teriakan anak-anak santri putri yang waktu itu sekamar denganku. Mereka
seperti baru pertama kali lagi melihat ku, dengan semangat mereka turun dari balkon lantai tiga
untuk membantuku membawa barang-barang ku.

"Mbak Rinjani kemana saja, hampir dua bulan loh mbak dirumah" tanya seorang santri yang
membawa ransel ku.

Dan aku hanya tersenyum sambil menundukkan kepala.

Tak lama kemudian akhirnya kami sampai di pintu kamar 17 lantai 3, gedung Robiatul Adawiyyah,
kamar tempat istirahatku.

Aku sempat bingung, darimana aku harus mulai menceritakan semuanya. Eh, tidak kusangka,
semua teman-teman ku sudah mengetahui untuk apa aku datang kemari. Memang dulu aku pernah
membicarakan soal ini kepada salah seorang teman dekat ku. Ya, baguslah. Tak perlu repot-repot
lagi mengutarakan kepelikan ini.

"Prak, prakk.." suara serpihan lemari plastik mililk ku yang sedang dibongkar oleh pengurus pondok.

Miris, isi dalam lemari ku brantakan tak karuan, buku-buku berharga, buku kenangan pun hilang,
entah kemana.

Setelah selesai membenahi semua barang kedalam koper, aku pun segera keluar dari gedung itu
dengan sedikit terburu-buru, berharap tidak ada seorang pun yang melihat kepergianku. Beruntung
saat itu sepi, semua santri sedang melaksanakan sholat duhur berjamaah di Aula.

Sungguh menyedihkan, mungkin hari ini terakhir kali aku berpijak di ranah ini. Padahal, dulu aku
berjanji akan tetap tinggal mencari ilmu di Pesantren ini, sampai aku lulus, sampai aku memakai topi
wisuda dan diukirnya namaku di slendang emas yang bertuliskan Hafidzah 30 Juz. Sayang, aku di uji
dengan sebuah perasaan buruk yang amat dahsyat, baru kali ini aku merasakan hal seperti ini, dan
ini mengganggu keseharianku, apalagi di kehidupan ramai. Ya, pesantren salah satu nya.

Aku melanggar janji ku, apa kabar mimpi yang pupus?usai tanpa memulai. Sudahlah, aku kehilangan
harapan bahkan masa depan.

Setelah kurang lebih satu bulan, aku lebih sering menghabiskan waktu ku untuk mengurung diri di
rumah. Sesekali aku menampakkan diri keluar. Menghirup udara segar, melihat pemandangan
sekitar, uh rasa nya seperti kembali ke masa kecil ku. Masa paling indah, masa dimana aku masih
baik-baik saja, sebelum akal fikiranku dirasuki oleh fikiran-fikiran buruk yang selalu menghantuiku.

Sesekali aku teringat, betapa dzolim nya aku saat itu.

Saat di pesantren dulu, aku terlalu sibuk dengan hal bodoh yang sama sekali tanpa aku sadari. Hari-
hari dan waktu berhargaku terbuang sia-sia.

Saat itu, waktu menunjukan pukul 15.00. Aku segera mengantri untuk mengambil air wudhu.

Perasaan aneh, ketika aku usai melaksanakn wudhu, entah kenapa aku merasa aku belum
melakukannya sama sekali. Bahkan aku lupa apakah tadi aku telah membasuhnya? apakah ada yang
terlewat? Apakah sudah sempurna? semua anggota wudhu yang telah dibasuh pun serasa belum
terkena percikan air sedikit pun, jelas aku bimbang, ragu dan aku memilih untuk terus mengulang
nya sampai berkali-kali. Hingga tak sadar, baju ku kuyup dan begitu aku keluar dari kamar mandi,
semua santri sudah tiada, hanya aku seorang disana.

Dengan perasaanku yang masih bimbang, aku memaksakan diri untuk tetap tenang dan meneruskan
langkahku menuju mesjid untuk melaksanakan sholat Asar berjamaah. Namun sayang, semua santri
telah usai melaksanakan sholatnya. Dicatatnya nama ku di buku pengurus untuk yang pertama kali
nya aku tidak ikut sholat berjamaah. Ya, sebagai ganti, aku dihukum ringan oleh pengurus. Sore hari
itu juga aku dijemur sambil hormat di bawah langit gedung Hamzah, gedungnya para santri putra.
Semua mata tertuju pada ku. Jelas, betapa malu nya aku saat itu.

Hampir tiga bulan lamanya, aku masih belum menemukan obat. Entahlah saat itu aku frustasi,
bahkan hampir stres. Tidak hanya ketika berwudhu, ternyata dalam ibadah-ibadah lain pun aku
diganggu, sampai ketika aku melaksanakan kewajiban yang paling utama, yaitu sholat, pun aku ragu.
Bahkan saat dzikir pun terkadang ragu.

Ketika diucapkannya niat pada saat takbiratul ihram, entah kenapa aku juga merasakan hal yang
sama, aku merasa aku benar² belum melakukan hal demikian, ditambah aku grogi saat harus sholat
di depan orang banyak.

Saat itu aku berada di shaf paling depan. Semua telah usai melaksanakan sholat. Dan aku, masih saja
mengulang-ulang bacaan niat ku, mengangkat kedua tanganku untuk takbiratul ihram, kemudian
diturunkannya kembali seperti semula. Secara otomatis semua mata tertuju pada ku. Jelas aku malu,
hatiku semakin bimbang dan tidak fokus. Karena diburu-buru oleh waktu, terpaksa aku
menyelesaikannya, meskipun dengan tergesa-gesa dan hati penuh keraguan. Akhirnya selesai juga,
namun aku sama sekali tidak merasakan kenikmatan, pun ketenangan dalam sholatku. Bukankah
hakikatnya sholat itu menenangkan?

Hatiku ragu, bimbang, dan aku rasa sholat ku yang demikian adalah batal sia-sia. Aku sendiri merasa
aku belum menunaikannya, sedangkan ini adalah kewajiban utama ku, bahkan serasa aku
meninggalkannya.

Usai kegiatan mengaji Ijtima', seperti biasa, aku pergi ke watren untuk membeli makanan. Aku sih
lebih suka menyendiri, padahal semua teman-temanku mengajakku untuk makan bareng bersama
nya.

Gak seru, teman satu gedung ku maen sirkel. Aku benci itu, pilih-pilih teman, kemana-mana bawa
geng, alay.

Aku berlari menuju majelis Fatimah Az Zahra untuk menyelesaikan muroja'ah hafalanku. Aku
terheran, mengapa semua orang memandangku begitu sinis, dan aneh. Mereka berbisik-bisik sambil
meleret ke arah ku.

Sudah kukira, ternyata benar mereka membicarakan soal sholatku. Lebih parahnya lagi, mereka
menganggapku anak indigo yang aneh. Mereka juga sempat mengajakku ke gedung sebelah untuk
memastikan apakah gedung tersebut dihuni kuntil anak, pocong atau apalah. Hal konyol. Mereka
mengira aku punya mata batin. Mereka memaksaku untuk membuka mata batin mereka. Dasar gila!
Kalian kira aku dukun apa? Ada-ada saja. "Hrghh, sudahlah jani, mereka berbicara sesuka hati tanpa
memahami apa yang sebenarnya kau alami. Sampai kapan pun mereka tak akan faham denganmu"
benakku.

Hari demi hari kulalui dengan mendzalimi diri sendiri, semakin hari semakin parah. Biasanya aku
berwudhu paling lama sekitar 15 menit, siang itu aku berwudhu dari mulai adzan subuh sampai
dengan habisnya waktu duha, sekitar pukul sebelas lewat. Aneh nya, setiap kali aku mulai berwudhu,
entah mengapa hati ini seakan dipaksa untuk mengucap kalimat-kalimat kotor perusak akidah,
kalimat yang membuat hati ini bimbang, antara masih beriman ataukah telah kufur? Aneh, bisa-
bisanya aku mengaku bahwa diriku telah murtad. Dan aku menyebut-nyebut nama tuhan selain
Allah. Padahal aku sendiri sama sekali tidak meyakini demikian. Apa ini hanya sekedar fikiran dan
angan-anganku saja? Apa aku ini sedang melamun? Sadar jani! Ketika sudah berjam-jam di kamar
mandi, baru aku tersadar. Astaghfirullah apa yang telah aku lakukan? Aku pun tidak sadarkan diri.
Sampai aku lupa, kewajibanku untuk melaksanakan sholat subuh pun terlewatkan, dan aku lupa,
jum'at pagi itu aku harus sekolah dan melunasi ulangan harianku, miris. Aku kehilangan moment-
moment kebersamaan dengan teman-temanku. Terkadang aku berangkat sekolah kesiangan, sampai
jam mengaji pun aku lewatkan. Semua kegiatan pondok hampir aku lewatkan. Terbuang sia-sialah
hari-hariku.

Tidak terasa, kali itu sudah memasuki bulan Ramadhan. Bulan penuh ampunan, bulan dimana amal
baik dan buruk dilipat gandakan, bulan memperbanyak amal shalih, dan berbuat banyak kebaikan.
Namun sedih sekali, Ramadhanku kali ini sungguh sia-sia, betapa rugi nya amal-amalku. Aku
ketinggalan jauh oleh teman-temanku. Lagi-lagi aku tidak ikut kajian pasaran Ramadhan, tadarrusan,
khotaman dan lain sebagainnya. Aku hanya punya waktu sebentar untuk semua itu, untuk mencapai
targetku, meneruskan hafalan Qur'anku.

Senang rasanya melihat teman-temanku sudah khotam Qur'an berkali-kali, menumpuklah tabungan
akhirat nya. Aku iri. Sedangkan aku, membaca satu juz Al Qur'an pun tidak ada waktu, miris. Habislah
hari-hariku, habislah kesempatan besar mendapat pahala bulan suci Ramadhanku.

Untuk Ramadhan tahun ini, hancur. Kemana suasana ramadhan yang dulu? Ramadhan yang indah,
damai, tenang. Aku rindu buka puasa bareng teman-teman, rindu ngebuburit bareng. Bahkan, saking
lama nya aku sholat yang tak pernah selesai itu, aku pun sampai lupa bahwa saat itu adalah saatnya
untuk berbuka puasa. Hilang lah waktu Asharku. Istirahat sejenak, aku menyempatkan diri untuk
mengisi perutku, lelah rasanya. Lalu aku kembali melanjutkan sholatku, untuk waktu sholat yang tadi
aku lewatkan, ya mau bagaimana lagi, aku ganti dengan sholat qodo.

Aku baru bisa selesai sholat kira-kira sekitar pukul sebelas malam, atau bahkan lewat. Bayangkan
saja, berjam-jam aku di kamar mandi, lalu sebegitu lama nya aku berdiri untuk melaksanakan sholat,
dari sejak waktu ashar sampai dengan berlarut-larut, betapa aku mendzalimi diriku sendiri, seakan
aku menyiksa diri ini, tanpa aku sadari.

Terkadang aku lupa, aku harus mengisi perutku, mengurus diriku, aku lupa tujuanku di pesantren
bukan hanya untuk untuk ibadah terus menerus, melainkan aku juga harus bersungguh-sungguh
dalam mencari ilmu. Malang sekali aku.

Aku merasa, aku tidak punya siapa-siapa, bahkan aku lupa, aku punya orang tua yang harus aku
banggakan.

Untuk Ramadhan tahun ini, hancur. Kemana suasana ramadhan yang dulu? Ramadhan yang indah,
damai, tenang. Aku rindu buka puasa bareng teman-teman, rindu ngebuburit bareng, taddarusan
bareng dan sebagainya.

Pelik sekali hidup ini. Selama ini, rasanya aku lupa seperti apa rasanya bahagia. Mati rasa. Aku lelah
dengan semua ini, dengan apa yang kualami saat ini. Kenapa harus aku yang merasakan seperti ini?
Kenapa aku harus menjadi orang ragu? orang yang penuh kebimbangan. Mengapa agama ini serasa
mempersulit, bukan kah Islam itu luas, damai dan tentram? Bukankah sholat itu adalah solusi dari
berbagai masalah? Tapi mengapa saat ini sholatku lah yang menjadi masalah, bahkan serasa menjadi
beban berat dihidupku. Mengapa setiap kali aku menghadapinya, hatiku merasa bimbang,
ketakutan, dan risau. Aku tidak pernah merasakan ketenangan dalam sholatku, sebenarnya apa yang
terjadi denganku? Apa yang kualami saat ini? Pertanyaan yang hanya dapat dijawab dengan cara
muhassabah diri sendiri.

Aku sempat futhur, bahkan aku sempat ragu dengan keberadaan Allah sebagai tuhan semesta Alam.
Dalam benakku, aku bertanya-tanya apakah benar Allah tuhanku? Apakah benar, Al Qur'an ini
adalah Kalamullah dan sebaik-baiknya petunjuk yang lurus? Pertanyaan yang seharusnya tidak perlu
aku tanyakan lagi kebenarannya. Namun ini tak bisa dipungkiri. Dalam hati kecilku, terus saja
bertanya-tanya seperti itu. Jelas hatiku bimbang dan semakin ragu. Dada ini sesak, fikiran pun mulai
terganggu. Duhai ketenangan, temuilah aku.

Aku mengingat suatu kalimat yang dulu sering aku bacakan seusai shalat.

"Laa Ilaaha Ilallah wahdahu Laa Syarika Lah"

Tidak ada tuhan selain Allah, dan tidak ada sekutu baginya.

Kemudian aku tersadar, aku telah berlama diam di kamar mandi, kemudian aku mengulang
Syahadatku. Dan sebab itulah yang membuat wudhu ku tak kunjung selesai. Mengulang-ulang
syahadatku, kemudian ragu kembali dan seterusnya.

Setelah sekian lama nya, kemudian aku dipaksa keluar dari kamar mandi oleh pengurus pondok.
Ternyata ada salah seorang temanku yang melaporkanku kepada kakak pengurus di pondok. Dengan
keadaan sekujur tubuhku yang mulai membiru, bajuku basah kuyup dan aku menggigil kedinginan
sambil menggigit jari, aku digandeng menuju asrama. Semua orang menyaksikanku. Dipandang apa
lagi aku oleh orang-orang, hilanglah harga diriku. Betapa aku malu, saat itu.

Beban fikiranku semakin bertambah. Saking tidak kuat aku menghadapi semua ini, aku benar-benar
benci kehidupan ini. Hampir saja, bisa-bisanya aku terkalahkan oleh hawa nafsu yang hina fana. Saat
itu juga aku sempat berfikir untuk bunuh diri, menjatuhkan diri dari atas gedung lantai tiga.
Astaghfirullah, beruntung aku keburu sadar. Teringat, orang yang sengaja menyakiti dirinya atau
bahkan membunuh dirinya sendiri adalah tempatnya di Neraka, mereka kekal didalamnya.
Naudzubillah.

Aku rasa, aku sudah jauh sekali dari rahmat Allah. Jangankah berdzikir, untuk melaksanakan perintah
yang utama pun aku seolah melalaikannya, bahkan meninggalkannya. Dan yang paling memilukan,
mungkin, amal-amal yang telah aku kumpulkan dengan susah payah karena terlalu ingin sempurna,
namun malah sebaliknya, amalanku hanyalah amal yang rusak, sia-sia belaka. Badanku rusak,
batinku tersiksa, akal fikiran pun terganggu. Aku terlalu mementingkan ego ku, aku tidak peduli
dengan orang lain yang mungkin sering terganggu karena ulahku. Beruntung teman-temanku sangat
faham dengan kondisi aku, mereka sampai rela menungguku ketika sedang berwudhu dan sholat.
Kadang jam tidur mereka pun terganggu, karena saat itu tidak ada lagi tempat, terpaksa aku harus
sholat di tempat tidur mereka. Berapa banyak orang-orang yang telah aku rugikan. Disaat orang lain
mengantri untuk mendapat air yang sebegitu susahnya, aku malah menghambur-hamburkannya
tiada guna. Seandainya saja aku bisa menyalahkan takdir, andai aku tidak seperti ini, mungkin
sekarang hubunganku dengan teman-temanku baik-baik saja, mungkin aku sedang di fase menuju
sukses, disanjung orang, dan mungkin aku menjadi kebanggaan orang tuaku. Ya, terima saja,
mungkin apa yang Tuhan rencanakan lebih indah dari apa yang aku inginkan.
"Ya rabb, kapan aku bisa tenang dalam hidupku, dalam urusan ibadahku. Aku juga ingin seperti
mereka yang khusuk sholatnya, tenang dalam dzikirnya. Kapan aku bisa merasakan kebahagiaan, aku
ingin punya banyak teman, dimana ketika aku tersesat, mereka selalu mengingatkanku. Aku ingin
hari-hariku penuh dengan keceriaan, seperti orang-orang yang kelihatannya senang tanpa ada
beban. Aku ingin sembuh dari penyakit ini, dari perasaan-perasaan buruk ini, untuk selama-lamanya.
Aku ingin bahagia, sudah itu saja cukup ya rabb."

Tidak terasa, waktu perpulangan pun tiba. Duh, betapa senang sekali aku, seperti seekor burung
yang baru dikeluarkan dari sangkarnya. Sungguh, betapa luasnya alam ini, pegunungan yang tinggi,
sawah yang luas, sungai-sungai yang mengalir jernih airnya. Nikmat tuhan yang manakah yang
engkau dustakan jani. Aku serasa baru pertama kali lagi melihat suasana alam seperti ini. Ya,
mungkin karena keseharianku yang hanya berlama-lama di kamar mandi, dan fikiranku yang hanya
tentang sholat dan sholat.

Sebulan lamanya dirumah, karena memang saat itu waktu liburan diperpanjang, dan saat itu juga
aku memustuskan untuk tidak kembali lagi ke pondok, karena kondisi aku yang sama sekali belum
ada perubahan. Orang tuaku juga sangat khawatir, apalagi seorang aku yang naif harus menjalani
kepelikan ini sendirian tanpa ada bimbingan, belum aku harus nerima caci makian, dan bullian dari
orang-orang yang memang tak faham denganku. Berat rasanya, sebenarnya aku masih ingin
menimba ilmu disana, sukses disana. Namun, mungkin ini sudah jalannya, aku benar-benar sudah
muak menjalani hidup disana, mentalku lemah. Capek.

Setelah kurang lebih dua bulan dari sejak awal aku pindah pondok, aku merasa sedikit lebih tenang
disini, dan mulai ada pencerahan. Guru ku selalu membimbingku dengan apik, bahkan dari nol lagi.
Serasa aku kembali menjadi anak usia dini yang sama sekali tak tahu apa-apa. Dari mulai wudhu,
sampai dengan sholatku, guruku selalu disampingku untuk membimbingku.

Dan selama ini aku sadar, aku terlalu menginkinkan ibadah yang sempurna, aku terlalu berambisi
untuk bisa diterima dihadapannya. Namun, aku rasa apa yang telah aku lakukan itu salah. Seberapa
keras pun usaha kita untuk bisa sempurna dalam ibadah, tentu saja kita tidak akan pernah bisa
menggapainya, tidak akan pernah. Bukannya harus sempurna, melainkan harus ridho dan ikhlas
terhadap apa yang telah diperintahkannya. Sebab ibadah tanpa ikhlas, apalah guna wahai amal yang
sia-sia.

Satu kata yang paling aku ingat dari guruku,

"Laa yukallifullahu nafsan illaa wus'ahaa"

Allah tidak pernah memberikan suatu ujian kepada hambanya, melainkan sesuai batas
kemampuannya masing-masing.
"Jangan dibawa ribet jani, agama itu mudah, sangat mudah. Persoalan sulit saja, islam permudah.
Apalagi masalah sholat yang sudah diatur rukun dan syarat sah nya, juga tata caranya. Jadi, apa yang
membuatmu susah jani?" Belai guruku dengan penuh kelembutan.

"Beribadahlah semampu kamu, Allah tidak pernah membebankan hambanya. Jani, ketahuilah,
bahwa engkau bermaksud untuk melaksanakan sholat pun itu artinya kamu sudah ada niat dalam
hati bahwa kamu ingin melaksanakan sholat. Jadi, tidak usah bimbang antara kamu sudah
melaksanakannya ataukah belum, apakah niat nya sudah sempurna ataukah belum, jangan terlalu
difikirkan, itu hanya perasangka burukmu saja. Ketahuilah itu adalah syaitan yang sengaja
mengganggu manusia supaya enggan melaksanakan ibadah. Dan, perasaan-perasaan burukmu,
keraguanmu, ketakutanmu itu hanyalah angan-angan syaitan yang merasuki hatimu, batinmu, juga
akal fikiranmu, tanpa kau sadari jani.

Sudahlah jani, taslim, pasrahkan semuanya kepada Allah sebaik-baiknya penilai. "Ya Allah
sedemikian amal ibadahku, kekurangan dan kelebihannya saya pasrahkan semua kepadamu" sudah
itu pun cukup jani, cukuplah Allah yang maha menilai, soal diterima atau tidaknya, itu hak Allah,
urusan Allah."

Aku hanya menghela nafas terisak-isak sambil menundukan kepala dihadapan guruku.

"Gadis ayu hitam manis, kamu itu pintar nak, sayang sekali kamu terjebak dalam labirin kebodohan.
Shalihah, bisa-bisanya kamu terjebak dalam permainan syaitan yang sangat amat lemah. Ingat, kamu
itu mulia, kamu kuat, masa iya kamu bisa terkalahkan oleh syaitan yang hina fana, lagi lemah. Allah
maha dekat, dia lebih mengetahui apa yang sedang kamu alami rinjani, menyerulah kepadanya,
kembalilah bertaubat kepadanya."

Aku sudah tak tahan lagi mendengar perkataan guruku, luluh rasanya hatiku, tak mampu ku berkata-
kata lagi, aku mendadak bisu. Benar kata guru. Sefaqir ilmu itukah aku? Bodoh sekali kau jani.

Hati ini sesak, sudah tak tahan lagi ingin meluapkan semua kepelikan ini. Menangislah aku dalam
dekapan erat guruku, menangis sekencang-kencangnya. Bahkan aku sempat berteriak kencang
sekali, saking tak tahannya, mungkin.

Akhirnya, kini aku menemukan pijar dalam gelapku, aku temukan obat dari segala laraku. Ya, inilah
kehidupan baruku. Hidup yang penuh keceriaan, banyak teman, dan ingatan-ingatan yang sempat
menghilang entah kemana itu, sedikit demi sedikit mulai kembali. Beruntung sekali aku. Allah
pertemukan aku dengan orang-orang baik, shalihah, maha baik Allah. Nyaman sekali berada dekat
mereka. Mereka yang sangat memahami dengan apa yang sedang ku alami. Mereka semua sangat
penyayang, mereka selalu mengingatkanku dengan penuh kelembutan. Aku memang angkuh, sulit
menerima nasihat orang, dasar tolol. Tetapi mereka sabar, tidak pernah mereka menegurku dengan
kekerasan. Mereka yang selalu ada disampingku untuk memastikan aku baik-baik saja, mereka yang
membimbingku, menggantikan guru ketika sedang ada urusan lain. Entah, aku mendadak bisu. Aku
kehabisan kata-kata. Tak ada kata lagi yang aku ucapkan selain Terimakasih banyak untuk mereka,
untuk guruku, untuk semua yang selalu hadir disampingku. Terimakasih semuanya. Terimakasih
Allah.
Dan terakhir, aku ucapkan terimakasih masalah, terimakasih kesedihan, terimakasih perasaan dan
angan-angan buruk. Kalian telah menemani kisah hidupku, susah senang aku rasakan. Dari masalah
aku belajar untuk selalu sabar, dari kesedihan aku sadar bahwa tak selamanya hidup ini akan merasa
senang, dan dari perasaan angan-angan buruk yang aku rasakan, aku tahu bahwa diriku sebenarnya
adalah baik-baik saja, hanya, aku yang mempersulit hidupku, sehingga Terlelap Aku Hilang arah
tujuan, hilang harapan, hilang masa depan. Namun itu dulu, sudahlah, yang lalu biarlah berlalu,
kubuka lembaran baru untuk kehidupan baruku.

***

Hidup adalah tentang di uji. Setiap orang punya masalah hidup masing-masing. Namun, tidak semua
orang bisa lulus dalam menyelesaikannya. Jangan berlama-lama terlelap dalam kebodohan. Jadilah
orang bijak, selesaikan masalahmu, segera keluarlah dari zona kesulitan dan kepelikan yang sedang
kau alami. Carilah jalan solusinya. Ingatlah, setiap penyakit pasti ada obatnya, setiap kesulitan pasti
kemudahan, begitu pun setiap masalah pasti jalan keluarnya, dan setiap masalah Allah titipkan
hikmah didalamnya. Percayalah.

12 Febr 22,

Maulida Syifa Nahri

Judul : Nestapa di Lorong Asrama

Nama penulis : Tiara Khairun Nisa

Isi : Serangkai bait lagu mengalun lembut dari sebuah radio usang menusuk pendengaran Nabila.
Sebuah lagu legendaris yang mengadopsi dari novel yang ditulis oleh Habiburrahman El Shirazy
begitu mengetuk pintu hati siapapun yang mendengarnya, bagaimana tidak! Bait demi baitnya
menggambarkan begitu indah rasa cinta yang di berikan oleh Sang Maha Penguasa, cinta yang
didasari oleh keimanan yang berlandaskan ketetapan-Nya pada Al Qur’an.

Ia baru saja terlelap tatkala sang bunda menyuruhnya untuk segera mengemasi pakaian yang akan
bawa pulang ke pondok pesantren esok hari. Andai saja sang bunda tidak membangunkannya,
pastilah gadis 16 tahun itu masih terbuai dalam mimpi-mimpinya.

Pagi-pagi sekali ayah dan bundanya sudah mengantarkan Nabila untuk kembali ke penjara suci itu, di
karenakan jarak rumah ke pondok pesantren terlampau jauh, di butuhkan waktu sekitar 6 jam jika
menggunakan mobil dengan kecepatan rata-rata 45 km/jam. Itu artinya, mereka akan tiba disana
tepat diwaktu Dzuhur jika tidak ada kendala.
Tidak ada yang istimewa dalam perjalanan ini, gadis itu hanya termenung memandang keluar
jendela mobil sehingga ia merasa sangat bosan. Terdengar sesekali suara sang bunda yang
mengajaknya berbicara, namun si gadis manis tetap bergeming. Sementara, ayahnya tetap diam dan
fokus mengendarai mobil.

Bagi sebagian remaja muda seperti Nabila, kehidupan di pesantren sanggatlah membosankan, hidup
terisolir dan jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota serta tidak diperbolehkannya para santri
membawa alat komunikasi, jika ingin menghubungi keluarga hanya diperbolehkan menggunakan
telepon umum. Namun dibalik itu semua, tersirat suatu tujuan mulia, yaitu agar para santri fokus
menimba ilmu untuk bekal di kehidupan akan datang.

Tak terasa gerbang pesantren sudah didepan mata, hal ini mengisyaratkan bahwa Nabila akan
segera berpisah dengan ayah dan bundanya untuk rentang waktu 6 bulan. Sang ayah memarkir
mobilnya, sementara bundanya langsung menarik tangan Nabila untuk segera berjalan menuju
kamar di asramanya. Di sepanjang koridor Nabila terus menangis tanpa memedulikan berpuluh
pasang mata yang memandang ke arahnya.

Tepat setelah sholat Ashar berjamaah, kedua orang tuanya berpamitan untuk pulang. Hati gadis itu
terasa rapuh, ia merasa pilu. Nabila hanya bisa melihat mobil Suzuki Er3 berwarna putih melaju
perlahan meninggalkan dirinya yang terpaku di tengah lapangan, seperti mendapat bisikan buruk,
jantungnya seketika berdebar kencang, bulir bening mengalir membasahi dahi serta tangan yang
mulai berkeringat dingin.

Sebuah tepukan lembut di pundak Nabila menyadarkan dari lamunannya, ia pun menoleh dan
mendapati bahwa seorang pengurus pondok yang juga seorang putri Abah Yai lah yang menepuk
pundaknya tadi, para santri di sana biasa memanggilnya dengan Ning Syifa. Beliau menyuruh gadis
itu untuk segera bersiap pergi ke masjid di karenakan waktu sudah menjelang Magrib.

Mega jingga tampak begitu mempesona mengiasi cakrawala. Siapa sangka, di bawah naungan senja,
sebuah mobil hilang kendali melaju dengan kencang dan menabrak pembatas jembatan, bodi mobil
bagian depan seketika menjadi remuk, dua orang yang menjadi pengendara dan penumpang mobil
tewas di lokasi kejadian. Berita meninggalnya sepasang suami istri karena kecelakaan menjadi
trending topik di beberapa media. Mereka adalah kedua orang tua Nabila Alula.

Di lain tempat, saat semburat merah mengangkasa, seorang gadis cantik menangisi nasibnya,
menyalahkan diri sendiri. Ialah Nabila Alula, seorang anak tunggal yang mengalami penyakit psikosis
akibat kenakalannya dahulu semasa SMP. Kini ia hanya sebatang kara tanpa orang tua dan keluarga
yang akan memeluknya kala kedinginan.

Hidup seorang diri di dunia yang keras, yang tidak tahu etika bercanda terhadap mahkluk lemah
seperti dirinya tidaklah mudah. Andaikan dulu ia tidak terpengaruh oleh teman yang membawanya
ke ambang hitam, andaikan ia selalu menuruti nasehat orang tuanya, mungkin kini ia masih bahagia
bersama orang terkasih.

Namun, Ia tetap bersyukur karena kebodohannya dahulu mengantarkannya ke sebuah tempat yang
damai, di sinilah seorang Nabila Alula melanjutkan hidup serta menuntut ilmu, di sini juga ia
menemukan jodoh, laki-laki sholeh yang sanggup membimbingnya sampai di pintu surga, beliaulah
putra dari Abah Yai, pengasuh pondok pesantren tempat ia belajar. Di pondok itulah ia tetap
semangat melewati ujian demi ujian kehidupan setelah kepergian orang tuanya, meskipun setiap
malam ia menangis di ujung koridor asramanya tanpa sepengetahuan orang lain, hanya dirinya dan
Rabb-Nya lah yang tahu.
Nabila selalu berpikir, jika dulu sang ayah tidak menitipkan dirinya di pesantren, entah apa yang
terjadi dengan dirinya sekarang, mungkinkah ia masih bisa menikmati indahnya hidup, ataukah ia
sudah berada di jurang kegelapan.

Delapan tahun berlalu, kini seorang Nabila Alula sudah berusia 24 tahun, sudah memiliki pasangan
hidup serta memiliki keturunan yang menjadi penyejuk mata. Ia selalu berharap cukup dirinya saja
yang pernah mengecap dunia hitam, dan jangan sampai hal itu turun kepada Khalisa Aulia, sang
permata hati yang di amanahkan Rabb-Nya kepada dirinya.

Kini, pondok pesantren tempat dirinya memahami arti kehidupanlah yang udaranya selalu di
rindukan, di manapun dan kapanpun itu. Disanalah terukir berjuta kenangan tentang dirinya,
tentang rasa, dan tentang air mata. Meskipun dulu ia menyalahkan takdir, ternyata Sang Ilahi selalu
mempunyai kejutan indah untuk dirinya. Sebuah skenario panjang yang menguras air mata namun
pada akhirnya mampu menerbitkan senyuman indah.

Titimangsa : Minggu, 13 Februari 2022

Bionarasi : Hai, teman-teman bisa memanggil saya Tiara, saya lahir di Segomeng pada tanggal 29
November 2004 silam, sekarang saya sedang menempuh pendidikan di MAN 2 Kepulauan Meranti di
kelas XII IPA A. Saya sering menulis di blok sekolah maupun di blok pribadi saya. Awal mula saya
tertarik untuk menulis karena waktu itu kami para siswa di beri tugas untuk membuat cerpen, karya
pertama saya berjudul Freemason. Kali ini saya mencoba mengikuti event menulis cerpen dengan
tema Cinta Pesantren, saya mengangkat genre Slice of Life, suatu peristiwa yang sering terjadi di
lingkungan sekitar.
KUGAPAI IMPIAN DI PESANTREN

HARYENTI,S.Ag

Hari ini sekolah kami kedatangan tamu dari kota. Mataku tak berkedip menatap mereka satu
persatu, ketika mereka masuk ke kelasku. Dua orang bapak-bapak yang masih muda, memakai baju
kemeja panjang lengan, pakai dasi dan peci, membuat mereka terlihat begitu rapinya. Dan ditemani
oleh tiga orang perempuan yang cantic-cantik, dengan pakaian syar’i nya yang begitu anggun,
senyum mereka yang begitu manis menyapa kami, membuat hati terasa teduh menatapnya.

Didampingi oleh kepala sekolah dan wali kelas, merekapun memperkenalkan diri.

“Assalamualaikum anak-anak bapak?” kata kepala sekolah

“Wa’alaikum salaam Pak,” jawab kami serempak.

“Alhamdulilah, hari ini sekolah kita kedatangan tamu istimewa, beliau-beliau ini adalah para ustadz
dan ustadzah mengajar di sekolah Islam Terpadu di kota. Dan beliau-beliau ini akan
memperkenalkan sekolahnya pada kita semua, mana tau nanti ada diantara kalian yang berminat
melanjutkan sekolah ke sana.”kata bapak kepala menjelaskan.

“Ayoo Pak, silakan memperkenalkan diri,”lanjut bapak kepala.

“Assalamualaikum anak-anak ustadz semua,”salah seorang dari bapak-bapak yang memakai kemeja
warna kuning muda menyapa kami, sepertinya dia adalah pimpinan rombongan.

“Waalaikum salam,”jawab kami serempak

“Apa khabar ananda?, Semuanya pada sehat kaah?,”

“Alhamdulilah sehat ustadz,”


“Alhamdulilah, baiklah ananda semua, hari ini kami berlima datang ke sini, ingin memberikan brosur
ini pada ananda semua. Brosur tentang sekolah ustadz di kota, nama sekolahnya SMP IT Iqra’. Apa
udah ada yang pernah dengar nama sekolah ini?” tanya beliau dengan senyum-senyum.

“Belum ustadz,”jawab Ilham spontan

“Yang lain, apa belum pernah dengar nama sekolahnya?’ tanya ustadz itu lagi.

“Saya pernah lihat sekolahnya waktu ke kota ustadz,”tiba-tiba Hafizah menjawab.

“Waaahh, berarti ananda sudah melihat sekolah yang ada digambar ini Ya?” kata ustadz tersebut
sambil mendekati Hafizah ke tempat duduknya.

“Sudah ustadz, sekolahnya bagus, pasti biayanya mahal Ya?’ kata Hafizah dengan tersenyum.

“Nggak juga lhooo, biayanya nggak terlalu mahal, yang paling penting di sana nanti ananda semua
akan dididik belajar sesuai dengan kurikulum pemerintah, dan plus ada kurikulum berbasis
pesantren. Jadi artinya ananda semua, selain belajar seperti anak-anak yang sekolah di SMP biasa,
tetapi kelebihannya anamda semua akan diajarkan ilmu-ilmu agama seperti teman-teman kalian
yang sekolah di pesantren.”

“Waah, bearti kita belajarnya siang malam ya stadz., terus kapan dong waktu kita main-main sama
teman.”tanya Andre sang jagoan yang sering bikin ribut dalam kelas.

Kami semua tertawa mendengar pertanyaan Andre. Karena kami tahu Andre anak yang paling suka
bermain-main saat belajar di kelas.

“Yaaa nggak juga selalu belajar dong ndree, kita juga bermain kok. Malah kita mainnya sampai keluar
provinsi. Di SMP IT ada namanya kunjed, artinya kunjungan edukasi. Kita mengunjungi temapat-
tempat bersejarah sambil refreshing. Kita kunjungi sekolah-sekolah bagus di luar kota kita.”kata
ustadz lebih lanjut.

“Oh iyaaa, ustadz sampai lupa memperkenalkan diri, ana biasa dipanggil ustadz Roi, kebetulan
ustadz adalah kepala sekolah. Dan ini yang pake baju kemeja coklat namanya ustadz Roni. Dan
bersama ustadz ada tiga orang ustadzah di SMP IT, yang disamping kiri ustadz namanya zah Yeni,
beliau adalah wakil kurikulum SMP IT, yang tengah Zah Putri, guru tahfiz kita, dan yang paling ujung
adalah Zah Nisa yang mengawasi para siswa di asrama.”

“Okeee, ananda semua, terimakasih sudah mendengarkan penjelasan ustadz tadi, dan silakan brosur
ini dibawa pulang, perlihatkan pada orang tuanya, mudah-mudahan ada yang pengen masuk SMP IT,
“kata ustadz Roi mengakhiri pembicaraannya.

Mataku tak berkedip menatap para ustadzah yang cantik-cantik. Wajahnya terlihat ayu dan cara
bicaranya yang begitu lembut, membuat aku merasa simpati pada mereka. Pakaiannya yang begitu
sopan. Ketika mereka mau pamit, aku salami ustadzah itu satu persatu. Dan rasanya pengen sekali
lebih dekat dengan mereka. Tiba-tiba aku berhayal untuk bisa masuk ke sekolah itu.

Dengan berlari-lari kecil aku percepat pulang untuk sampai ke rumah. Rasanya sudah tak sabar
pengen memberitahu ayah dan bunda kalau aku pengen melanjutkan sekolah ke kota. Setelah
sampai di depan pintu akupun langsung berteriak memanggil bunda,

“Bundaaa,,bunda dimana?” kataku sambil menerobos masuk ruang tengah.

“Hafizah, kenapa teriak-teriak, bunda jadinya kaget Nak,”jawab bunda bergegas menemuiku.
“Bun, coba lihat ini, kataku seraya menyerahkan brosur yang diberikan ustadz Roi tadi.Fizah mau
masuk sekolah ini Ya Bun.”

“Fizah, nanti kita bicarakan sama ayah Ya?” kata bunda sambil mengambil brosur ditanganku seraya
melihat dan mengamatinya. Sekarang ganti baju, makan dan setelah itu istirahat dulu, kata bunda
memerintah.

Tanpa menjawab aku langsung masuk kamar. Rasanya sudah tak sabar menunggu sore datang,
menunggu ayah pulang kerja.

Aku adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Aku satu-satunya anak perempuan ayah dan bunda.
Adikku masih kelas 3 SD dan yang paling kecil baru umur 5 tahun. Bundaku seorang guru mengaji di
TPA kampungku, Dan ayah bekerja pada kantor swasta.

Aku juga salah satu murid TPA tempat bunda mengajar. Di TPA bunda selalu mengajarkan aku cara
baca Al-Qur’an yag benar, dan setiap hari aku harus murajaah juz 30 pada bunda. Dan Alhamdulilah,
menduduki bangku kelas 6 SD aku sudah hafal 1 juz. Mungkin ini jugalah kenapa ayah dan bunda
memberiku nama Hafizah, biar nanti aku bisa menjadi seorang hafiz yang terkenal.

Sore pun datang, aku sudah tak sabar menanti ayah, memberitahu ayah kalau aku sudah
menemukan sekolah yang cocok buatku. Saat aku menyampaikan pada ayah, beliau berkata,

“Yakin mau sekolah ke kota Kak?’ kata ayah.

“Insyaallah yakin ayah, Fizah mau melanjutkan sekolah yang ada program tahfiznya, Fizah mau
menjadi hafiz qur’an ayah,”jawabku mantap

“Subhanallah Nak, bunda nggak menyangka anak gadis bunda mau sekolah jauh ke kota,cuma
karena pengen menjadi hafiz Qur’an.”kata bunda sambil merangkulku.

“Tapi ayah, bunda, sepertinya biaya masuk sekolah di SMP IT itu mahal, lebih dari lima juta, apa ayah
punya uang sebanyak itu?”kataku dengan ragu-ragu.

“Bagi ayah dan bunda, selagi kakak mau belajar dengan sungguh-sungguh, berapapun uang yang
harus dikeluarkan, akan ayah usahakan. Ilmu yang nanti Fizah dapatkan belum sebanding dengan
uang yang akan ayah keluarkan. Pesan ayah tetaplah istiqamah, selalu berada di jalan Allah, dan
pasanglah niat untuk sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu.”kata ayah sambil mengusap kepalaku.

“Insyaallah ayah, Fizah akan selalu ingat nasehat ayah. Doakan agar Fizah bisa mengggapai cita-cita
dan impian Fizah untuk menjadi seorang hafiz yah.”kataku memeluk ayah dan bunda erat-erat.

Beberapa bulan kemudian…

Hari ini aku siap-siap diantar ayah dan bunda ke kota. Hari ini aku sudah resmi tercatat sebagai salah
satu siswa di SMP IT yang aku impikan. Akhirnya tanpa kesulitan, aku bisa menerobos masuk ke
sekolah yang bisa dikategorikan bergengsi ini. Alhamdulilah, enam tahun di Sekolah Dasar gelar juara
1 tak pernah lepas dari genggamanku. Dan ketika test wawancara kemaren, aku disuruh
membacakan ayat-ayat pendek, dengan lancarnya semua bisa aku tuntaskan . Sampai akhirnya
ustadzah yang mengujinya memberikan pertanyaan,

“ Berapa target Hafizah hafal Al-Qur’an setelah tamat di sekolah ini ? “

“ 5 Juz zah,” jawabku tanpa ragu

“ Anak SD aja di sini bisa khatam sampai 10 juz loo, masak mau kalah, kita kan sudah SMP, “
Aku tersenyum mendengar kata-kata ustadzah itu. Dalam hati aku berpikir ternyata selama ini aku
sudah sangat tertinggal, meskipun di Sekolah Dasar dulu akulah sang bintang kelas.

Setelah bergabung dengan teman-teman dan para ustadzah disini. Secara berangsur-angsur
penampilanku mulai berobah. Kerudungku sudah mulai dalam, kaos kaki yang selalu kupasang, kami
juga dianjurkan puasa sunat Senin Kamis. Dan kami juga diajarkan cara bicara yang lembut,. Ayah
dan bunda terpana melihat penampilanku. Kata mereka aku kelihatan anggun sekarang. Dan yang
membuat ayah bunda semakin terharu, Al-Qur’an kecil yang selalu aku bawa apabila ada
kesempatan untuk menambah hafalanku.

Tanpa terasa enam bulan telah berlalu, hari ini para orang tua hadir ke sekolah untuk penerimaan
raport. Ketika namaku dipanggil bunda tersenyum melihat hasil nilai raportku, walaupun hanya
masuk 5 besar. Karena memang di sekolah ini banyak anak-anak pintarnya. Dan yang membuat hati
bunda tersentuh adalah, ketika membaca pesan dari wali kelas di bagian paling bawah raportnya, di
sana tertulis kata-kata,

Alhamduliah, 6 bulan sekolah di sini, Hafizah sudah bisa hafal Al-Qur’an 1,5 Juz. Mohon
untuk bisa menjaga hafalan dan meningkatkannya lagi.

Tak terasa air mataku keluar begitu saja saat ayah dan bunda memelukku, air mata bahagia karena
aku sudah membuktikan pada mereka, kalau aku bisa menjadi hafiz Qur’an kelak.

Seiring berjalan waktu, tak terasa kenaikan kelas sudah datang. Dan diakhir semester di sekolahku
dilaksanakan wisuda tahfiz. Dan aku adalah salah satu siswa yang berhasil ikut wisuda tahun ini.

Hari yang dinantikan itupun datang. Hari ini kami para wisudawan berkumpul di gedung mewah yang
sengaja disewa pihak sekolah. Semua orang tua hadir menyaksikan, bersama para pejabat
pemerintahan setempat.

Saat pembawa acara memanggil namaku,dengan langkah pasti aku berjalan ke arah podium, disana
sudah berdiri para ustadz dan ustadzah yang akan memindahkan kucir di topi wsudaku,
menyerahkan piagam dan medali tahfiz melingkar dileherku. Dan rasanya terharu sekali saat
mendengar suara protokol,

Hafizah, anak bapak Nofri, hafiz 4 Juz, dengan Yudisium Memuaskan

Saat turun dari panggung,akupun berlari kecil menemui ayah bunda. Dan tangis bunda akhirnya
meledak saat merangkulku. Akupun tak bisa menahan butiran hangat ini mengalir begitu saja,
dengan memeluk ayah bunda aku berkata,

“ Ayah,bunda, medali yang sudah dikalungkan di leher kakak ini, adalah medali penghargaan di atas
dunia, kakak ingin nanti medali syorga dikalungkan di leher ayah bunda, dan semua keluarga kita,
inilah alasannya kenapa kakak ingin menjadi hafiz, kakak ingin di hari akhir nanti mempersembahkan
buat ayah, bunda dan keluarga kita sebuah mahkota kehormatan.”

“ Naaakk, tidak ada kata-kata yang mampu bunda ucapkan. Ayah dan bunda bangga pada
kakak,”

Keluarga kecil itupun larut dalam kebahagiaanya. meskipun jalan yang harus ditempuh
Hafizah masih panjang, tapi setidaknya impian gadis kecil mereka sudah bisa diraihnya.

Bionarasi
Guru Akidah Akhlak MTsN 7 Solok Sumatera Barat ini, bernama Haryenti,S.Ag. Lahir di kota
Bukittinggi tepatnya 06 Oktober 1974. Hobbi menulis yang diperolehnya secara otodidak ini, sudah
membuatnya berhasil melahirkan karya sebanyak 25 buah buku, 8 buah buku solo dan 17 buah buku
antologi. Untuk info lebih lanjut, bisa menghubunginya via WA 085264165417, atau
haryenti191017@gmail.com

TITIPAN PESAN YANG TAK PERNAH KUINGINKAN

Oleh: Rahmah Pria

Tiupan angin di pagi hari membuat badanku terasa dingin sampai menusuk tulang. Hatiku
berdebar karena hari ini awal di mana aku menunggu keberangkatanku ke pesantren, meninggalkan
rumah sederhana ini.

Ayah berkata, ‘’Bersiap-siaplah menyiapkan barang-barang apa yang akan kamu bawa
Tasya.’’ Ketika aku masih termenung di kamar.

Aku diam dalam lamunan seperti tidak mendengarkan apa yang dikatakan ayah. Lamunanku pecah
karena ayah memanggil namaku untuk kedua kalinya.

“Taysa!”

‘’Iya, ayah.’’ Aku menjawab lemas dan bergegas menuruti perkataan ayah, memasukan baju-baju ke
dalam koper.

***

Jam tiga sore aku bersiap-siap untuk berangkat ke pesantren. Kuniatkan untuk mencari ilmu
memperbaiki diri di pesantren yang akan kutempati.

Ibu telah meninggal dunia lima tahun yang lalu. Beliau pernah berpesan pada ayah jika aku berumur
dua belas tahun agar dimasukan ke pondok pesantren. Ibu ingin melihat anaknya menjadi anak yang
sholehah dan sukses agar menjadi anak yang lebih baik. Itu pesan terakhir yang dititipkan pada ayah.

Pondok yang akan kutempati adalah Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiien Jawa Timur.
Jauh dari rumah. Mobil telah menanti di depan rumah. Tapi, aku hanya berpikir, apakah aku bisa
hidup tanpa ayah, di mana aku harus mengerjakan semua pekerjaanku sendiri dan semua serba
sendiri.

Sepertinya aku belum siap untuk masuk pondok pesantren. Tapi kami tetap berangkat.

***
Aku pun tiba di pesantren Hidayatul Mubtadiien siang harinya. Ayah memasrahkanku pada
kiai, setelah memamitkanku ayah pamit. Detik-detik dimana ayah akan meninggalkan pondok
pesantren aku menangis.

“Ayah, aku gak mau di pondok,” rengekku pada ayah.

Kemudian ayah menatapku dan berpesan, “Jaga dirimu baik-baik di sini, jadilah anak yang solehah
yang bisa membanggakan ke dua orang tua. Ayah akan menjengukmu lagi nanti bila ayah sudah ada
rezeki. Uang jajan Tasya ayah titipkan sama pengurus, ayah meninggalkan uang untuk dua bulan
akhir dan ini, ayah tambah untuk kamu pegang sendiri.” Ayah memberiku lembaran uang.

‘’Jangan boros-boros, ya. Ayah sepertinya akan lama menjengukmu Tasya’’.

Aku hanya diam sampai ayah pun berlalu. Lalu, aku pun menangis lagi.

***

Aku masih duduk di teras asrama bersama-sama teman-teman mengantri mengambil jatah
makan.

“Fika, ayahmu datang,” kata seorang pengurusa. Dan Fika sangat senang.

Tak terasa sudah dua bulan lebih aku di pesantren dan aku sudah sangat rindu ayah, tapi tidak ada
kabar dari pengurus bahwa ayah datang. Aku hanya bisa menunggu untuk bertemu dengannya.

Ingin sekali rasanya ada panggilan suara dari pengurus ‘’Tasya ayahmu?’’ Sepertinya Fika.
Aku pasti sangat bahagia saat mendengar kata-kata itu.

Tak lama kemudian Faza memanggilku. ‘’Tasya kemari aku ingin bicara denganmu.”

‘’Ada apa, Faza?”

“Sini duduk santai denganku, bercerita-ceitalah denganku.”

‘’Ada keluhan apa selama kamu tinggal di pesantren ini? Apakah ada masalah? Berceritalah padaku
Tasya, tidak papa tidak harus sungkan.” Faza terus membujuk agar aku mau bercerita. Dia teman
sekamarku dan memamng perhatian pada teman-temannya.

‘’Benarkah Faza apakah kamu mau mendengarkan keluh kesahku?’’

“Iya Tasya berceritalah padaku,” kata Faza.

Kuceritakan semua apa yang kurasakan dari awal masuk pesantren, tidak lama kemudian
ada yang memanggil nama Faza, ternyata Mazaya. Aku pun berhenti bercerita.

‘’Iya, ada apa Mazaya?’’

“Kamu ditimbali Abah Kiai, Za?

“Ditimbali karena apa?”

Mereka pun saling berbicara, sampai akhirnya Mazaya dan Faza pun pamit pergi.

Aku diam dan membayangkan andaikan ibu masih ada, beliau pasti akan menjengukku
bersama ayah. Apakah ayah tidak rindu padaku? Kenapa ayah tidak menyambangiku?

Hari demi hari aku menunggu kedatangan ayah, tapi sepertinya tidak ada harapan dia akan datang.
***

Suara azan pun berkumandang di area pesanten, aku bersiap-siap mengambil air wudu
untuk melaksanakn salat Isya berjamah. Selesai salat aku di panggil oleh Mbak Anggun, seorang
pengurus pondok.

‘’Tasya, ada yang harus aku omongin padamu. Penting.’’

“Iya Mbak. Ada apa, Mbak?” jawabku

“Tasya, aku minta maaf sebelumnya tapi aku harus mengatakan ini padamu. Aku turut berduka, ya.’’

“Emang ada apa Mbak sebenarnya?

“Ayahmu telah meninggal karena kecelakaan saat ingin menjengukmu. Dan ini ada titipan surat dari
ayahmu. Maafkan sebenarnya surat ini sudah dikirim dari dua minggu yang lalu tapi aku lupa. Sekali
lagi aku minta maaf, ya.”

Aku terkejut saat mendengar kabar Ayahku meninggal, sebenarnya aku ingin pulang tapi, sepertinya
tidak bisa karna aku tidak ada uang untuk ongkos pulang.

‘’Iya Mbak tidak apa-apa’’. Aku pun terdiam, hatiku berdetak kencang terasa seperti diiris-iris pisau
yang tajam. Benih-benih air mata pun jatuh dan membasahi pipi. Aku lalu masuk ke kamar,
kupegang secarik kertas yang di berikan oleh Mbak Anggun. Kubuka surat ini dengan hati yang
sangat pedih,

Assalamualikum wr. Wb.

Anaku Tasya ….

Bagaimana kabarmu, Nak? Semoga kamu di situ baik-baik saja. Maafkan ayah belum bisa
membahagiakan dirimu, Nak. Sebenarnya ayah ingin sekali jenguk Tasya bulan lalu tapi ayah belum
ada rezeki lebih untuk menjengukmu di pesantren. Tasya ingat pesan dari ibumu, kamu harus
menjadi anak yang sholehah dan menjadi anak yang sukses dunia akhirat. Ayah ingin Tasya menjadi
kebanggaan semua orang dan berprestasi. Mengajilah dengan tekun, Nak.

Ayah menanti kesuksesanmu. Ayah janji bila Tasya bisa menjadi anak yang sukses ayah akan turuti
semua permintaanmu. Insyaallah bila ada rezeki pasti ayah akan ke pesantren. Ayah ucapkan banyak
terima kasih karena Tasya sudah mau dipondokan.

Jaga Kesehatan, Nak, jadilah pribadi yang lebih baik lagi. Ingat pesan dari ayah dan ibumu.

Salam rindu untuk anakku, Tasya

Wassalamualikum Wr. Wb.

Kata demi kata telah kubaca, air mata tak bisa kubendung lagi, membasahi pipi dan
kerudungku. Kuterdiam, hatiku berkata apakah aku bisa hidup tanpa kedua orang tua? Dan nantinya
aku harus tinggal dengan siapa? Apakah ini jalan hidupku begitu banyak, cobaan yang menimpaku?

Padahal aku sekarang masih berumur tiga belas tahun, masih sangat membutuhkan bimbingan
orang tua. Dari semua cobaan yang aku alami sekarang, aku harus berniat pada diriku, aku harus
menjadi anak yang sukses nanti.

***
Setelah aku ditinggal orang tuaku, aku diangkat sebagai anak asuh Abah Kiai. Hati senang
saat mendengar hal itu.

Sore itu, aku pun ditimbali Abah. Akupun melangkah cepat menuju ndalem, menunggu beliau.

Suara pintu terbuka, Abah Kiai datang. ‘’Silahkan masuk, Tasya.’’

Kujawab, ‘’Njeh, Bah.” Aku pun masuk ke ndalem.

‘’Tasya, tidak harus sungkan dengan Abah, anggap saja Abah ini seperti orang tuamu sendiri, jika ada
apa-apa atau butuh sesuatu katakan saja pada Abah. Ingatlah pesan dari orang tuamu, buatlah orang
tuamu bangga dengan kelebihan yang kamu punya.” Abah berkata.

‘’Njeh, Bah.’’

Hatiku berdenyut saat mendengar perkataan Abah, aku mulai menyadari bahwa aku harus menjadi
anak yang sukses dan mewujudkan apa yang diinginkan orang tuaku.

***

Waktu pun berlalu. Saat berumur delapan belas tahun, aku mendapat beasiswa kedokteran. Abah
pun bangga pada prestasi yang aku dapat.

Abah memberikan ucapan selamat dan aku tersenyum gembira. Akhirnya aku bisa
mewujudkan apa yang diinginkan kedua orang tuaku. Andaikan kedua orang tuaku masih hidup pasti
mereka juga bangga pada kesuksesan yang aku dapat.

Tamat

Candipuro, 12 Februari 2022

Bionarasi

Rahma Pria adalah seorang murid kelas X SMA Mathlaul Anwar Sindangsari. Ia juga seorang santri di
Pesantren Darul Ulum.

Anda mungkin juga menyukai