Anda di halaman 1dari 102

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan


Yang Maha Esa. Berkat limpahan karunia-Nya. Kami
dapat menyelesaikan penulisan buku Antologi Cerpen
Our Masterpiece. Dalam penyusunan cerpen ini penulis
telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan
kemampuan penulis. Namun sebagai manusia biasa,
penulis tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan baik
dari segi teknik penulisan maupun tata bahasa.
Kami menyadari tanpa arahan dari guru
pembimbing serta masukan-masukan dari berbagai pihak
tidak mungkin kami bisa menyelesaikan tugas Antologi
Cerpen Our Masterpiece. Antologi Cerpen ini dibuat
sedemikian rupa semata-mata untuk membangkitkan
kembali minat baca siswa/i dan sebagai motivasi dalam
berkarya khususnya karya tulis. Untuk itu penulis hanya
bisa menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua
pihak yang terlibat, sehingga kami bisa menyelesaikan
Antologi Cerpen Our Masterpiece ini.
Antologi Cerpen Our Masterpiece ini merupakan
karya SMAN 1 Tenggarong, sebagai bentuk untuk
mewadahi minat dan bakat dari siswa/i SMAN 1
Tenggarong. Antologi Cerpen ini juga sebagai bentuk
tidak lanjut dari pelatihan-pelatihan yang telah diberikan
guru pebimbing sebelumnya.
Demikian semoga karya tulis ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca
pada umumnya.
DAFTAR ISI

Kata Pengantar……….…………………………i
Daftar Isi...….…………………………………iii
• ANTARA AKU DAN DIA
Kaynina Nur Aqila………..……………………1
• AYYARA DAN LUKANYA
Zahra Ramadani………………………………13
• SERPIHAN MEMORI
M. Wibhy Adhilla Dyandrie………………….26
• SEPELE
Ayesha Namira Mazaya………………………47
• DUA SISI
Jayang Jarinda Fuja Pancar Kumala………….65
• CERPEN TENTANG SAMPAH
Chelsea Asy-Syafa Zeannaia Maharani…..…..75
• BADAI YANG REDA
Clara Ananda Prasetya Boru Siahaan.………..88
• OLI NMAX
Muh. Anugerah Assidiq………………………97
• PERTEMANAN YANG SESUNGGUHNYA
Priscila Jema Graic………………………….108
• IBU
Nabila Maharani Putri………………………112

Kata Penutup………………………………..123
Biodata Penulis……………………………..124
Antara Aku Dan Dia
Karya : Kaynina Nur Aqilla

Hari ini tepat dua tahun pandemi Covid-19


melanda Indonesia, selama dua tahun pula aku menjalani
sekolah secara daring karena peraturan Pemerintah yang
mengharuskan kami untuk tetap berada di rumah guna
memutus rantai penyebaran Covid-19.
Tak terasa liburan akhir semeter dikelas X telah
berakhir kini saat karena sudah memasuki kelas XI aku
memutuskan untuk lebih fokus lagi dalam belajar. Tiba-
tiba telepon WhatsAppku berdering, di layar terpampang
nama “Maura” lantas aku mengangkatnya, suara dia di
seberang telepon lantas mengagetkanku. Maura ini salah
satu sahabatku semenjak masuk SMA selain Maura ada
Dipa yang sudah menjabat sebagai ketua kelas selama
beberapa kali.
“Ken.. cepat masuk kelas, Bu Nani wali kelas
kita sebentar lagi akan mengabsen namamu. Kau ke
mana saja?” Ujar Maura dengan nada sedikit kesal.
Ternyata aku salah masuk room, biasanya kami belajar
dengan Zoom Meeting, namun Bu Nani berbeda beliau
menggunakan Google Meet.
“Kenny Aqilla” ujar bu Nani. Jujur aku yang
panik tidak tahu caranya menyalakan mic karena
biasanya di zoom kali hanya melambaikan tangan.
“Kenny Aqilla yang mana ya anaknya” panggil Bu Nani
ke dua kalinya. Setelah mendapat arahan dari Dipa
melalui pesan akhirnya aku paham cara menyalakan mic.
“Ke.. Kenny, Hadir bu” jawabku terbata-bata dan
berdiri karena bu Nani ingin mengecek kelengkapan
seragam kami.
“Kenny, ibu toleransi ya karena ini masih
pertemuan pertama, tadi kamu telat masuk kelas lebih
dari 10 menit, sekarang seragammu tidak rapi, sejak
kapan sekolah kita memakai seragam dengan celana
tidur” tegur Bu Nani padaku.
Setelah Bu Nani selesai mengabsen dan juga
memberikan arahan semester ini, bu Nani yang
merupakan guru Sejarah juga, untuk materi selanjutnya
Bu Nani membagi kami menjadi beberapa kelompok
yang terdiri dari dua orang, pembagian kelompok ini
cukup random tetapi beruntungnya Maura satu kelompok
dengan Dipa yang terkenal pintar.
Sedangkan aku sekelompok dengan seseorang
bernama Darel jujur aku baru mendengar namanya.
Tetapi Maura yang tahu sempat heboh dan meminta
untuk bertukar kelompok. Menurut cerita Maura, Darel
ini merupakan salah satu anggota Osis yang cukup
terkenal, bukan hanya itu dia pun sangat berprestasi dia
sering sekali mewakili sekolah mengikuti berbagai
Olimpiade Sains selain itu wajahnya sangat tampan
membuat banyak siswi yang tertarik kepadanya tetapi
Menurut Maura walaupun Darel cukup terkenal namun
dia sangat cuek dan sulit di dekati.
Malamnya, ketika aku selesai makan malam, aku
tidak tahu apa yang akan ku lakukan dengan android ku,
dan memutuskan untuj mengerjakan tugas yang
diberikan di hari sebelumnya. aku mendapatkan
notifikasi pesan dari Darel yang membahas tentang tugas
tidak ada hal lain, kami hanya berkenalan dan juga
membicarakan tugas. Percakapan kami tidak lebih dari 1
hari setelah tugas terkumpul kami tidak saling
berhubungan lagi. Terutama karena kami kelompok 10
jadi setelah tugas di kumpulkan kami hanya menunggu
waktunya presentasi.
Setelah dua tahun lebih kami bersekolah secara
daring, akhirnya pemerintah memutuskan peraturan baru
mengenai sekolah secara luring namun harus menaati
protokol kesehatan. Aku sangat senang bagaimana tidak
dua tahun lebih aku sekolah aku tidak pernah sekolah,
bahkan rapot pun dikirimkan lewat kurir paket.
Hari yang di nanti-nanti pun tiba, dari semalam
aku sangat tidak sabar untuk segera bertemu dengan
teman-temanku, namun sesampainya di sekolah aku
cukup bingung dimana letak kelasku. Maura dan Dipa
bahkan tidak bisa di hubungi. Aku berdiri di koridor
sekolah dengan muka kebingungan sudah lebih dari 10
menit.
Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dan
menyuruhku mengikutinya, jujur aku bingung karena
tidak mengenalinya karena dia memakai masker, namun
di satu sisi aku hanya bisa pasrah mengikutinya dari
belakang. Sepanjang perjalanan aku berusaha
mengajaknya mengobrol namun dia terkesan
menghindari pertanyaan-pertanyaanku.
Tak beberapa lama aku melihat dua orang yang
ku kenal. Maura dan Dipa di depan kelas, setelah
berterima kasih kepada orang yang mengantarku aku pun
lantas berlari menghampiri mereka. Kelas sudah cukup
ramai aku banyak berkenalan dengan teman-teman
kelasku.
“Ternyata kau lebih Heboh dan Ceria dari pada
kelihatannya ya Ken” ujar Alya salah satu siswi yang
duduk di sampingku. Setelah pelajaran pertama selesai
aku baru tahu siswa yang mengantarku tadi adalah Darel,
pantas saja tadi sepanjang perjalanan banyak siswi yang
melirik ke arahku.
Hari-hari sekolah aku lalui dengan tenang dan
menyaksikan belum genap dua bulan aku bersekolah
secara luring hampir siswa dan siswi kelas XI
mengenalku, entah karena aku yang terlalu ramah atau
apa namun aku memiliki cukup banyak teman dan aku
senang. Hari ini tepat aku presentasi tugas sejarahku
bersama Darel, dan presentasi kami sukses dan mendapat
banyak sekali pujian.
Dari sekian banyak siswa hanya Darel yang sulit
untuk di dekati, sejujurnya aku ingin sekali dekat
dengannya, namun hal itu faktanya sangat sulit. Hari ini
aku kembali menjadi perwakilan Osis untuk acara
Festival Ulang Tahun Sekolah, karena akan diadakan
selama 3 hari jadi membutuhkan banyak tenaga dan
banyak persiapan.
Entah kapan aku menjadi semakin dekat dengan
Darel, dia kerap mengantarkanku pulang setelah aku
selesai membantu beres-beres acara. Yang aku bingung
entah sejak kapan pula Darel yang terkenal cuek sering
sekali berceloteh di perjalanan pulang. Hingga
puncaknya setelah Festival selesai, seperti biasa Darel
mengantarkan aku pulang, tepat setelah turun dari motor
dan hendak memberikan helm kepadanya dia
menggenggam tanganku aku cukup terkejut.
“Kenny, sepertinya aku suka padamu, entah sejak
kapan tetapi aku mulai menyadarinya selama membantu
Festival kemarin, aku tidak memintamu buru-buru
memberikan jawabannya, karena sepertinya ini terlalu
mendadak” ucapnya dengan sedikit kikuk, Jujur aku
syok dan bercampur senang. Karena Darel yang aku suka
menyukaiku juga.
“Aku juga” jawabku malu-malu. Mendengar hal
tersebut ekspresi wajah Darel ini sedikit berubah namun
dia tetap menyembunyikan senyumnya di antara wajah
datarnya. Tepat malam itu kami memutuskan untuk
menjalin hubungan.
Orang yang pertama ku beritahu adalah Maura,
aku tidak bisa berhenti berteriak senang ketika sedang
bercerita kepada Maura lewat telepon, sampai Mama dan
Papa hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Setelah berpacaran aku dan Darel sering
menghabiskan waktu bersama, dia pun sering
menjemput serta mengantarkanku pulang. Walaupun
Darel terkesan cuek namun terkadang dia menunjukkan
sisi lucunya. Sebenarnya kami tidak merahasiakan
hubungan kami namun kami tidak sempat
memberitahukan teman-teman sekelas, hingga akhirnya
rumor kami tersebar karena ada siswi dari kelasku yang
melihat kami berdua sedang bersenda gurau di sebuah
Cafe dekat sekolah.
Hari itu Dipa tiba-tiba menghampiriku dia
bertanya namun terasa seperti menginterogasi ku, bukan
hanya itu banyak teman-teman juga yang bertanya
bagaimana caranya kami bisa berpacaran. Setelah rumor
tersebar kami pun tak malu sesekali berjalan beriringan
ketika ke kantin atau pulang sekolah, beberapa bulan
berpacaran dengan Darel membuatku senang, namun di
satu sisi sikapnya yang cuek ini terkadang membuatku
kesal, dan hal itulah yang memicu pertengkaran kami.
Sebenarnya jauh sebelum aku dekat dengan
Darel, aku sering mendengar rumor bahwa Darel dekat
dengan Sekretaris Osis yang bernama kayin, selain
cantik dia pun sering mengikuti ajang Olimpiade
bersama Darel. Aku terkadang sering cemburu jika
melihat Darel dan kayin bersama.
Hingga suatu hari tak sengaja ketika hendak
menghampiri Darel di Ruang Osis, aku melihat Darel
sedang merangkul kayin jujur aku tidak tahu apa yang
sedang terjadi namun ketika aku melihat hal tersebut
sangat marah terlebih lagi ternyata kaykn tidak benar-
benar menangis karena dia sempat tersenyum sombong
kepadaku.
Aku lantas menghampiri Darel dan meminta
penjelasannya namun dia hanya terdiam, aku bingung
sebenarnya Darel ini kenapa, selain akhir-akhir ini
sikapnya sangat berubah, dia memang cuek dan tidak
perhatian lagi padaku, aku memaklumi karena dia bilang
sedang sibuk mempersiapkan Ulangan akhir semester
dan juga Osis, tetap dia tidak pernah seperti ini. Melihat
sikap Darel yang cuek dan tidak berusaha menjelaskan
aku langsung pergi berlari dengan air mata yang tidak
terbendung. Tak beberapa jauh dari sana aku melihat
dipa sedang mengambil motornya lantas aku menaiki
motornya dan menyuruhnya cepat pergi dari sekolah, dia
tentunya terlihat sangat terkejut namun tak bisa
menjelaskan kepadanya perihal ini.
Hingga Dipa mengajak aku untuk singgah di tepi
danau tempat aku, Dipa dan Maura sering camping atau
sekali berkumpul. Setelah tenang berusaha menjelaskan
semuanya pada Dipa, dia cukup emosi dan memang
sebenarnya Dipa ini cukup menentang hubungan kami.
Saat itu Dipa menjelaskan alasan dia menentang
hubunganku dengan Darel.
“Sebenarnya, aku, Darel dan Kayjn itu satu SMP,
dan yang aku tahu Darel dan Kayjn sudah berpacaran
sejak SMP tetapi ketika kelas IX SMP Kayin pindah ke
luar kota, dan mereka bertemu kembali kelas X aku tidak
tahu hubungan mereka masih atau tidak karena aku
masih sering melihat mereka bersama. Tapi yang lebih
membuatku terkejut adalah karena kau berpacaran
dengannya”. Cerita Dipa panjang lebar aku memang
cukup sakit hati mendengar hal ini namun lebih sakit hati
hingga malam menjelang Darel tidak berusaha
menghubungi dan menjelaskan apapun padaku.
Sudah dua minggu aku berusaha menghindari
kontak dengan Darel ketika di sekolah, banyak teman-
teman yang khawatir karena sering melihatku melamun
dan seperti orang linglung. Sepertinya mereka sadar
hubunganku dengan Darel sedang tidak baik, namun
selama perang dingin tersebut kerap kali aku melihat
Kayin menghampiri Darel dan menempel kepada Darel.
Hari Ujian Nasional semakin dekat, aku
memutuskan untuk melupakan masalahku dengan Darel,
walaupun pada kenyataannya itu sangat sulit. Hingga
ujian berakhir masalahku dengan Darel belum ada
kejelasan. Karena kemarahanku memuncak dihari
terakhir ujian setelah selesai menyelesaikan soal ujian ku
tarik tangan Darel dan aku bawa dia secara paksa
menjauh dari kelas.
“Aku sudah tidak tahan lagi, aku bahkan sudah
sangat bersabar selama ini. Sebenarnya kau ini benaran
suka padaku atau tidak? Atau kau hanya berusaha
mencari pelampiasan karena Kayin” tanyaku dengan
menyudutkan.
“Aku minta maaf Ken, aku memang jahat, aku
dipaksa Kayin untuk mengikuti semua omongannya
karena orangtua nya menyuruhku untuk selalu menjaga
nya di sekolahan, tapi itu hanya kemarin, aku sudah
tidak seperti kemarin lagi, maaf ken” jawab Darel
Mendengar jawaban Darel membuatku sangat
terkejut. Seharusnya aku meminta penjelasannya dulu
agar tidak suudzon yang tidak baik tentang dia. Tepat
saat itu aku memutuskan untuk melanjutkan hubungan
kami, dan memaafkan Darel. Darel berusaha untuk
mengulang semua nya agar aku bisa menerimanya
kembali.
Setelah itu, tepat sehari sesudahnya di hari Senin,
Kayin menghampiri ku di kantin sekolah saat istirahat,
Dia meminta maaf kepada ku tentang apa yang telah
terjadi kemarin dan menyesali perbuatannya. Dan ia juga
berkata ia sudah menyukai anak sekolah lain. Setelah
kejadian itu aku dan Kayin pun menjadi teman baik.
Setelah lulus SMA dan dierima kuliah di salah satu
Universitas di Jakarta bersama dengan kedua sahabatku
aku Memulai kehidupan baru ku. Begitu juga dengan
Darel yang melanjutkan pendidikannya. Walaupun harus
melakukan hubungan jarak jauh, Darel tidak pernah
membuatku sedih tentang hal itu. Dan hari-harj aku
jalani dengan kebahagiaan bersama dengannya.

***
Ayyara Dan Lukanya
Karya: Zahra Ramadani

Datangnya malam seolah mengusir mentari


secara perlahan dari singgasananya di langit. Rona langit
senja dihapus oleh warna hitam pekat yang memenuhi
luasnya cakrawala. Suasana langit malam itu, gelap
gulita tiada berbintang.
Malam itu, seorang gadis terduduk di lantai
seolah telah dicampakkan semesta. Gadis yang dimaksud
adalah aku. Di sudut kamar yang sempit, aku termenung
meratapi omongan-omongan keji orang-orang yang
berlagak sebagai ratunya dunia.
Namaku Ayyara Aileen Nathania, aku terlahir
dari seorang ibu sekaligus ayahku. Dengan kata lain, aku
terlahir tanpa sosok orang tua kandung laki-laki atau
umumnya disebut sebagai ayah. Aku tidak mengenal
sosok ayah sejak aku dilahirkan bahkan di akta
kelahiranku pun tiada tertulis nama ayahku.
Ibuku sebagai orang tua tunggal, terkadang tidak
bisa mencukupi kebutuhan kami. Tambahan lagi, aku
yang pendiam lantas selalu dicap sebagai wanita lemah
dan lugu. Alasan itulah yang terkadang membuatku
dipandang sebelah mata oleh orang lain. Karena
kekurangan keluargaku aku hanya bisa menatap kosong
impian-impian besar dalam hidupku.
Aku tahu tidak akan mampu untuk bergaya
bagaikan orang kaya raya seperti mereka, tetapi mengapa
mereka tetap mengusik hidupku walau aku sudah
menyadari kekuranganku? Apakah hidupku ini memang
tiada berarti? Entahlah, semuanya pelik di pikiranku, aku
juga tak yakin aku ini berguna untuk manusia lain. Apa
yang dapat aku banggakan? Betul kata mereka, tidak ada
yang dapat aku banggakan selain ibuku.
Terkadang hatiku iri ketika mereka semua
menceritakan profesi ayahnya, mereka membanggakan
seolah ayahnya adalah pahlawan terhebat di muka bumi
ini, sedangkan aku? Aku miskin, dan tidak punya sosok
ayah yang dapat kubanggakan. Jika boleh mengeluh
pada Tuhan, bolehkah aku mengeluh? Mengapa roda
kehidupanku selalu di bawah? Berasal dari keluarga
miskin membuatku merasa selalu diinjak-injak oleh
orang lain dan membuatku tak berdaya untuk melawan.
Pagi telah datang, suasana sejuk dan tenang
membuat sejumlah orang bersemangat untuk memulai
aktivitas masing-masing. Namun, aku merasa enggan
untuk beranjak dari tempat tidurku. Aku malas pergi ke
sekolah hanya untuk dijadikan kambing hitam Lavera.
Lavera adalah seorang gadis yang berasal dari
keluarga berada, ayahnya pengusaha kaya membuat
hidupnya semakin sempurna. Entah mengapa, Lavera
selalu membenciku, dan terkadang memandangku
dengan tatapan jijik.
Saat aku sampai di pintu kelas, seperti biasa aku
disambut kicauan kasar oleh Lavera dan teman-
temannya.
Mereka awalnya menatap sinis ke arahku lalu
perlahan mulai menjambakku, mencubitku, atau
menamparku seakan aku ini samsak bagi mereka. Aku
yang telah terbiasa hanya bisa pasrah tanpa perlawanan,
percuma aku melawan, satu kata terlontar dari mulutku
saja mereka langsung menamparku hingga lebam dan
berdarah. Jadi, lebih baik aku diam. Tidak ada yang
dapat menolongku, sekalipun guru ataupun kepala
sekolah. Mereka seakan telah disetir oleh keluarga
Lavera sehingga tidak dapat memberikan keadilan
bagiku yang termasuk rakyat jelata.
Hari itu, entah kesekian kalinya aku dibully oleh
Lavera dan teman-temannya. Megui, teman Lavera
awalnya menghadang jalanku menuju arah pulang.
Mereka lalu membawaku ke gedung kosong dekat
sekolah. Mereka menjambak rambutku, menamparku
hingga tersungkur ke lantai bahkan menendang perutku.
Lavera kemudian berkata, "Mati saja kau
Ayyara. Kau tak pantas hidup, kau ditolak oleh alam
untuk hidup," katanya yang membuat hatiku tersayat.
Setelah itu, mereka mentertawaiku dan pergi
begitu saja. Aku yang kesakitan hanya bisa menangis,
menahan rasa sakitnya. Aku bisa merasakan lebam di
sekujur tubuhku. Rasanya ingin pingsan ketika aku
berdiri ataupun berjalan melanjutkan perjalanan pulang
ke rumah.
Aku melihat luka di tubuhku yang tak bisa
kututupi lagi dari ibuku, membuatku urung untuk pulang
ke rumah. Kini, aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya.
Aku yang putus asa tanpa pikir panjang langsung
berlari ke arah gedung kosong itu. Kunaiki tangga
dengan rasa kekecewaan yang meluap. Melangkah
dengan penuh amarah dan gairah untuk melompat.
Aura negatif telah merasuki diriku, mencuci
otakku hingga aku tidak dapat berpikir dengan jernih,
yang ada dipikiranku hanya mati, mati dan mati tanpa
peduli nasib ibuku nanti.
Dengan tekad bulat, aku bersiap untuk melompat.
Namun, tiba-tiba tangan hangat itu seakan merangkulku,
menghentikan sikap gilaku. Lantas aku menenggok
untuk melihat siapa pemilik tangan itu.
Dia lalu membisikkan, "Sadarlah, Ayyara. Orang
tuamu masih membutuhkanmu untuk membahagiakan
mereka," bisiknya pelan.
Kata-kata itu seakan menyayat hatiku,
menyadarkanku dari kebodohan ini. Namun, aku masih
merasa malu untuk mengakui kebodohanku di
hadapannya.
Aku lantas menjawab, "Kamu siapa?! Tidak usah
ikut campur!" jawabku dengan nada putus asa.
"Aku Alie, murid baru di sekolahmu. Aku
mengetahui nama kamu karena saat itu aku selalu
mengamatimu ketika kamu dibully oleh sekelompok
wanita itu," jelas Alie dengan nada meyakinkan.
"Dahulu aku juga pernah dibully, tetapi aku
tidak sampai nekat ingin mengakhiri hidupku, hidup kita
terlalu berharga. Jangan sampai disia-siakan, masih
banyak cara lainnya agar kita terbebas dari lingkaran
bullying," lanjutnya. Aku yang mendengar jawabannya
bagaikan ditampar, aku menangis mengurungkan niat
gilaku itu.
Setelah kejadian itu, aku dan Alie duduk
berdampingan di kantin sekolah. Disitulah aku baru
menyadari kalau Alie merupakan murid baru yang
ternyata satu kelas denganku.
Alie kemudian menceritakan kejadian ketika
dirinya dibully dahulu. Ia juga menceritakan sosok
sahabatnya yang selalu mengingatkan dirinya untuk tetap
mengingat Allah, dan selalu bersyukur kepadaNya agar
selalu bersabar dan memaknai hidup. Sahabat yang
dimaksud Alie adalah Fay.
Fay adalah seorang gadis periang, yang selalu
memaknai hidupnya, walau ia berasal dari keluarga
biasa, tetapi ia tak kekurangan kasih sayang orang-orang
di sekitarnya, berbeda dengan Alie yang selalu
bergelimang harta.
Kadang Alie berfikir hidup sebagai orang biasa
itu bahagia, jauh dari kata dibully dan dikucilkan, Alie
iri pada hidup Fay yang sempurna. Fay sangat
menikmati hidupnya, la wanita yang tegar, kuat, dan
selalu tenang.
Fay pernah berkata pada Alie bahwa hidup itu
berharga, jadi kita tidak boleh menyia-nyiakan sebuah
kehidupan yang merupakan anugerah terbesar dalam
hidup kita. Allah menciptakan manusia dengan
keistimewaannya masing-masing, itu artinya tidak ada
manusia yang tidak berguna di dunia ini.
Alie menengok ke arahku kemudian ia berkata,
"Bagiku, Fay itu malaikat kecil yang menyadarkan aku
dari mimpi buruk, ia menyadarkan untuk bangkit dan
tidak terpuruk karena cemoohan orang, Fay
mengajarkanku untuk menguatkan mental dan tidak
menghirauan omongan orang yang mengusik hidupku.
Hidup itu harusnya dinikmati, diresapi bukan dijadikan
permainan orang lain," jelasnya dengan sedikit isak
tangis terdengar pelan dari suaranya yang gemetar.
Aku yang mendengar suara Alie pun lantas
berkata, "Me.. Mengapa kamu menangis, Li? Kamu
seharusnya senang mempunyai sahabat seperti Fay,"
jawabku terbata-bata karena kebingungan.
Kemudian Alie bertanya kepadaku, "Kamu tahu
kenapa aku mencegahmu untuk melompat dari gedung
itu?". Mendengar pertanyaan itu, aku menggeleng
dengan pasti.
Alie kemudian melanjutkan lagi penjelasannya,
"Fay, dia merupakan gadis periang yang selalu ceria dan
terlihat tanpa beban, aku sudah menceritakan bahwa dia
selalu menikmati hidupnya bukan? Melihat kamu yang
ingin bunuh diri dan menyia-nyiakan hidup, malah
membuatku mengingat kembali sosok Fay. Fay ingin
sekali hidup lebih lama, tetapi takdir tidak berpihak
padanya, Yara. Fay meninggal karena dia pengidap
kanker hati stadium akhir. Awalnya aku tidak pernah
menyangka bahwa Fay mengidap kanker hati karena ia
tak pernah menceritakannya padaku. Ia tidak pernah
menampakkan rasa sakit yang la derita selama ini. Aku
selalu menyalahkan diriku sebagai sahabat yang buruk,
aku menyalahkan diriku atas kematiannya. Waktu itu ibu
Fay bilang padaku, kalau Fay selalu merasa bahagia
mempunyai sahabat sepertiku, aku yang mendengar itu
lantas menangis sejadi-jadinya. Aku bangga pada Fay,
aku kagum akan sikap dia selama di dunia ini. Dan aku
sangat-sangat bersyukur bisa berteman dengan seorang
wanita sebaik Fay, yang tidak pernah memandang siapa
yang harus dijadikan teman. Di sini aku selalu berdoa
semoga orang baik seperti Fay dapat di tempatkan di
Surga, aamiin. Kematian Fay kujadikan sebagai pacuan
diriku untuk bangkit, aku harus menguatkan mentalku,
seperti saran Fay waktu itu, dan hasilnya terbukti dapat
membuatku terbebas dari pembullyan," jelas Alie dengan
air mata bercucuran.
Aku yang mendengar penjelasan Alie lantas
terdiam, lidahku kelu, kisah Fay bagai menampar diriku
atas kebodohan yang hampir aku lakukan.
Tak berapa lama kemudian aku menjawab,
"MasyaAllah, Fay memang gadis luar biasa. Aku
sekarang paham arti hidup yangsesungguhnya, Li. Aku
menyesal atas hal bodohku tadi. Fay pasti di tempatkan
di SurgaNya. Aamiin... Aku bangga atas sikap yang
ditunjukkan oleh Fay.
Walau dia telah berpulang, tetapi sikapnya
selama hidup tetap dapat menginspirasi orang lain. Insya
Allah dapat menjadi pahala bagi Fay di alam sana, Li,"
ujarku dengan suara penuh kekaguman dan haru.
Alie kemudian berkata, "Yara, jika kamu ingin
terbebas dari sikap dibully, maka sikap yang paling tepat
adalah dengan percaya diri, menguatkan mental dan
tidak menanggapi atau memasukkan omongan orang ke
dalam hati agar kita tidak terus memikirkan dan meratapi
omongan-omongan menyakitkan itu," jelas Alie padaku.
Setelah itu, aku bertekad untuk mencoba saran
dari Alie.
Hari selanjutnya seperti biasa, Lavera dan teman-
temannya menghadangku. Mereka mencemoohku
dengan kata-kata kasar.
Aku tidak menghiraukan omongan mereka. Aku
hanya diam, tetapi diamku bukan berarti lemah seperti
dahulu, diamku yang sekarang penuh dengan tekad
untuk tidak lagi dijadikan bahan permainan Lavera dan
teman-temannya.
Aku yang biasa langsung berhenti ketika
dihadang, kali ini lain, aku melangkah tanpa henti dan
menatap mereka dengan tatapan sinis membuktikan
bahwa aku ini mampu melawan, aku bukan wanita
lemah.
Dan sikapku saat itu membuat Lavera dan
teman-temannya kebingungan dan bertanya-tanya, lantas
aku tinggalkan mereka begitu saja.
Hari berikutnya juga masih sama seperti dulu,
kali ini Lavera mengebrak meja di depanku.
Lavera kemudian menyindir, "Eh cupu, dari
mana asal keberanianmu untuk mengacuhkan aku!".
Aku mendengar pertanyaan itu lantas menjawab,
"Bukan urusan kamu, Ver. Sudah cukup aku dijadikan
permainan kalian. Aku sudah muak dengan sikap kalian,
sikap muakku yang mengubahku menjadi seperti
sekarang. Aku ingin bebas, Allah menciptakan manusia
itu untuk dihargai bukan untuk dibully ataupun
membully," jawabku lantang.
Lavera merasa tidak terima dan berkata, "Heh
budak, tidak usah mencerahamiku. Di mataku kamu itu
tidak pantas dihargai, kamu itu miskin, tidak punya ayah
sebagai pelindung, dan sampai kapanpun kamu tetap
berada di bawah kami! Ingat itu, Ayyara" kemudian
mereka meninggalkanku. Aku yang mendengar hal itu
hanya dapat tersenyum getir. Mampukah aku melawan
mereka yang berkuasa? Nyaliku semakin menciut, tetapi
Alie datang, meyakinkanku dan menguatkan tekadku.
Perjuanganku pun membuahkan hasil yang
manis. Lavera dan teman-temannya tidak lagi
membullyku. Mereka merasa enggan karena aku selalu
bersikap apatis. Kini aku mengetahui bahwa korban yang
sering dibully kemungkinan karena dirinya lugu, tidak
punya sandaran ataupun jati diri (tidak percaya diri)
sehingga dipandang sebagai orang yang lemah.
Aku membenarkan perkataan Fay dan Alie
bahwa sikap yang tepat dalam mengatasi pembullyan
adalah dengan percaya diri, menguatkan mental dan
tidak menanggapi atau memasukkan omongan orang ke
dalam hati agar tidak terus memikirkan dan meratapi
omongan-omongan menyakitkan itu.
Sikap yang benar adalah menghadapi semua itu
dengan penuh kesabaran, keberanian, dan tekad kita
untuk menuju kebebasan. Jika kita mati hanya karena
depresi dibully, maka kita bisa dikatakan sebagai
pecundang.
Orang yang berani menghadapi suatu
permasalahan yang pelik adalah orang-orang yang
menjadi pemenangnya. Jangan sampai kematian kita
hanya karena hal yang sia-sia, bunuh diri adalah hal yang
dilaknat Allah. Jadi, jangan sampai pada saat kita
dihadapkan ujian yang berat, lalu kita menanamkan
bunuh diri sebagai tujuan akhir hidup kita.
Aku sangat berharap Lavera dapat berubah dan
menyadari bahwa perbuatannya salah. Namun, nyatanya
Lavera malah masih asik dengan rutinitasnya dan
mencari mangsa baru untuk dibully.
Dari kisahku ini, aku dapat menyimpulkan bahwa
kebiasaan Lavera membully orang itu sudah merupakan
kebiasaan baginya yang akhirnya membentuk suatu
watak dalam dirinya. Meskipun demikian, aku akan tetap
berharap bahwa Lavera dapat memiliki kesadaran bahwa
manusia terlahir pasti memiliki hak untuk dihargai bukan
untuk dibully atau dicemooh.
Dengan kisahku ini, aku berharap tidak ada kasus
pembullyan lagi di lingkungan sekolah, apalagi yang
korbannya berakhir dengan tragis atau bunuh diri karena
depresi akibat dibully.

***
Serpihan Memori
Karya: M. Wibhy Adhilla Dyandrie

Dingin. Hawa yang terasa di sekitar


tubuhku sangat dingin padahal matahari masih
menunjukan cahayanya.
“Hosh, hosh.” Ini sangat melelahkan,
mengapa jalan ini terasa sangatlah jauh bagiku.
Terlihat gerbang telah tertutup.
“Untungnya ini bukan masalah bagiku,” segera
saja kubalikan badanku dan kulangkahkan kakiku
menuju ke gerbang belakang sekolah. Kunaiki
gerbang itu yang tingginya hanya lebih 2 inci
dariku.
“Hap,” oke berhasil seperti biasa dan kini
aku harus cepat masuk ke dalam kelas. Entah
angin apa yang membawaku ke dalam
keberuntungan, guru yang sedang mengajar
ternyata tidak ada di kelas. Dan tentu saja kalian
tahu apa yang dilakukan para murid saat tidak
ada guru. Anak-anak yang tadinya memiliki fake
diligent face akan berubah dalam sekejap dan
mereka akan sibuk pada aktivitasnya masing-
masing bahkan mereka bisa saja tidak menyadari
bahwa ada siswa yang telat.

Dan, owh see, i’m true


Aku masuk dengan santai ke dalam kelas
tanpa diperhatikan oleh mereka dan duduk di
bangku paling pojok depan, tempat favoritku.
Mungkin kalian akan berpikir aku adalah sesosok
anak yang rajin, but you wrong, aku memilih
tempat duduk di depan bukan karena aku ingin
lebih memerhatikan guru ataupun ingin lebih
memahami pelajaran yang diberikan, melainkan
aku ingin melihat seseorang. Sesorang yang
membuatku penasaran dan entah mengapa aku
ingin mengenalnya lebih dalam.
Kupasang earphoneku untuk mengurangi
suara berisik dari dalam kelas. Dan mataku mulai
terpejam beberapa waktu.

Teett
Bunyi nyaring bel sekolah yang
memekakan telinga membuatku terbangun.
Kupasang mata ke seluruh ruangan kelas untuk
memastikan kondisi yang terjadi. Dan terlihat
anak-anak yang mengobrol dengan sesama
gengnya tetapi ada juga yang melangkahkan
kakinya ke luar kelas untuk mendapatkan
makanan mereka di kantin.
Lalu mataku tertuju terhadap seorang
anak berkaca mata yang duduk di baris paling
pojok yang berada di sisi lain dari tempatku
duduk, Aqeq, ia menatapku dengan sangat serius.
Melihat hal itu, aku langsung mengoreksi
diriku. Kuraba-raba baju seragamku kalau-kalau
ada yang salah dengan bajuku atau
penampilanku. Tapi tidak ada, semua kancing
bajuku terkait, dasi yang kukenakan juga tidak
miring. Tidak juga menemukannya, kulupakan
semua itu.
Kuambil kaleng capuccino yang selalu
kubawa dalam tas. Kutatap sejenak pintu yang
terbuka melihatkan kondisi di luar kelas. Para
murid yang berlalu lalang dan tiba-tiba mataku
terpaku oleh seorang gadis yang berlalu.

Aku tertegun
“Yap dia” dengan sigap aku berdiri dan
mulai mengikutinya.
Kuberjalan di belakangnya menatap
punggungnya yang ramping dengan rambut
pirangnya sebahu.
“Seira” panggil seorang perempuan yang
sudah berdiri bersama dua orang perempuan
lainnya yang kukira mereka adalah teman Seira,
yah Seira yang dipanggil adalah perempuan yang
sedang kuikuti.
Seira pun menuju teman-temannya untuk
bergabung dan langsung menuju kantin.
Karena telah sering mengikutinya maka
ku hafal dengan kebiasaan yang seira lakukan.
Aku memilih meja yang strategis agar
dapat melihatnya lebih jelas, walaupun tidak
sampai terdengar pembicaraan mereka. Hanya
saja terlihat dengan jelas dari sini wajah Seira
yang berseri-seri serta ceria yang membuatku
melihatnya menjadi damai. Mereka tampak
senang sekali bahkan salah satu temannya ada
yang tertawa sampai terbahak-bahak, entah apa
yang mereka bicarakan. Tapi tidak berapa lama
Seira bangkit dari tempat duduknya dan
meninggalkan teman-temannya.
Aku pun dengan sigap menjadi stalkernya
lagi secara langsung. Aku tidak peduli jika ada
yang menatapku mengikuti seorang gadis karena
memang tidak akan ada yang memerhatikanku.
Aku yang sudah terbiasa dengan sikap orang-
orang yang tidak peduli kepadaku.

Yeah, tidak ada yang peduli padaku lagi


saat ini. Bahkan keluargaku telah pergi
meninggalkan aku sendiri di dunia ini, dan aku
tidak ingin tinggal dengan paman atau bibiku
karena itu akan menambah beban mereka.
Mungkin tidak tepat bila kukatakan tidak
ada yang peduli padaku, tapi akulah yang
membuat mereka agar tidak peduli terhadapku.
Aku tidak ingin merasa dikasihani dan aku juga
tak ingin membebani orang lain. Maka kubuat
semua orang menjauh dari kehidupanku dan
dengan begini aku dapat hidup dengan semauku.
Dahulu aku salah satu orang yang sangat
patuh di dalam keluargaku. Mereka akan dengan
senang hati memberikan pekerjaan mereka
kepadaku dan tentu saja dengan ikhlas
kukerjakan sampai dimana mereka semua
meninggalkanku saat ada kebakaran yang
menimpa rumah yang didiami aku dan
keluargaku dan bodohnya hanya aku yang saat
itu berada di luar rumah karena sedang kerja
kelompok.
Diriku mulai lelah, lelah karena
kebahagiaanku direnggut. Semua yang berada di
dekatku selalu kuperlakukan dengan baik. Tapi
mengapa, mengapa hanya aku yang ditinggal di
dunia yang penuh drama ini. Aku yang aktor
protagonis di sini ingin vakum dari semua drama
ini. Kukeluarkan emosiku dengan menjauhi
orang-orang di sekitarku dan mulai hidup bebas.
Sekian lama aku menjauh dari orang-
orang, tetapi kini aku bertemu seseorang, seorang
wanita yang berjalan di depanku ini, tanpa ia
sadari ia telah menghipnotisku sampai bisa
mengikutinya seperti sekarang ini.
Seira berbelok ke kiri ke dalam kelas dan
terlihat menuju ke sebuah tas yang tergeletak di
atas meja. Ia membuka tas dan mengambil note
kecil yang seperti diary lalu ingin melangkahkan
kakinya keluar kelas lagi.
Kupikir ini adalah tahap yang baik untuk
pertama kali memulai pembicaraan karena dia
akan melihatku yang sedang berada di dekat
pintu kelasnya.
Dan saat dia ingin keluar “Ngg..” ucap
Seira sambil menatap ke.. Arahku sepertinya.
Baru saja ingin kubalas dengan melambai
“Hei, apa yang kau cari?” tanyanya.
“Ngg hmm..” aku baru saja ingin menjawabnya
“Aku mencari Dilan, dia dipanggil bu Riana di
ruang bk.” Kata seorang pria yang ada di
belakangku.
“Owh, maaf nik aku tidak melihatnya, mungkin
dia masih di kantin. Kalau begitu aku duluan ya”
tersenyum lalu melangkah menjauh.
Aku sedikit terperangah, kecewa,
bagaimana bisa ia menghiraukanku, tidak
lihatkah ia aku di sini, apakah aku sejauh itu dari
orang-orang sehingga tak layak untuk diajak
bicara.
Ha ha ha harusnya aku senang dengan hal
ini, aku yang menginginkan semua ini. Tapi rasa
sakit di hati ini tak dapat membohongiku, aku
yang memulai semua ini maka akan kuselesaikan
semuanya juga.
Dan kupastikan aku mengikutinya lagi
dan akan bicara dengannya kali ini.
Kulangkahkan kaki menuju arah yang
Seira lalui, karena Seira sudah menghilang tak
terlihat. Kuedarkan pandanganku mencari-cari di
mana gadis pirang itu berada, sambil sesekali
melangkahkan kaki dengan pelan.

Dan, she’s there!


Di bangku taman belakang sekolah,
sedang memegang buku diary dan mulai
menggoreskan buku itu dengan pulpen yang telah
ia bawa. Dan..
Hey, tunggu Ia mulai menangis, air
matanya berjatuhan membasahi seragamnya. Ada
apa dengannya?
Melihat dia seperti itu hatiku terasa
teriris-iris, tanganku terasa dingin, oh bung, tentu
saja tanganku terasa dingin, aku masih
memegang cappucino yang sedari tadi kubawa
dan belum sempat kuminum.
Ingin rasanya aku menghampirinya,
kulangkahkan kakiku ke depan dengan sangat
perlahan dan aku hanya dapat berjalan sampai
pohon yang menghalangi langkahku. Kakiku
seperti tak bisa melaju lagi. Yang kulakukan
hanya terdiam diri di belakang pohon,
menatapnya.
Hh kujatuhkan diriku berbalik agar aku
dapat bersender pada pohon, kubuka capuccinoku
dan mulai meminumnya.
Meminum capuccino yang lezat ditemani
suara isakan tangis gadis yang kusukai.
Glek gleek kutaruh kaleng capuccinoku
yang sepertinya masih tersisa setengahnya. Sudah
muak ku dibuatnya. Kubangkitkan badanku lalu
meninggalkannya.

Kubalik ke dalam kelas…


Dan lagi-lagi Aqeq melihatku dengan
serius, aku anggap itu biasa awalnya, tapi sampai
aku duduk di tempat dudukku ia juga masih
melihatku sampai sekarang.

Sebenarnya ada apa dengan anak ini?


Ingin sekali kuhampiri dia dan tonjok
muka sok nya. Tetapi kenyataannya aku hanya
menghampiri dia bahkan belum selesai aku
menghampiri Aqeq. Tubuhnya malah terlihat
gemetar dan keringat bercucuran lalu dia lari
terbirit-birit ke luar kelas.
Uwwh dia sangat menghinaku apakah
mukaku seseram setan sampai ia lari terbirit-
birit?
Ku balik ke tempat dudukku dan menarik
nafas panjang.
“Hfft. Owh aku sangat tidak
bersemangat.” Batinku. Tetapi tiba-tiba Seira
berada di dekat pintu kelasku seperti mencari
seseorang dan yang kutahu pasti bukan aku.
Dan benar saja, ada salah satu anak
perempuan di kelasku yang menghampirinya,
Setelah beberapa menit mengobrol yang tidak
kuketahui pembicaraannya. Kulihat raut wajah
Seira berubah dalam sekejap menjadi panik.
Saat aku tidak ingin terlibat dalam
permasalahan baru, aku mulai membenamkan
wajahku di tangan yang telah kurengkuh.

GUBRAAK
Aku terkesiap, kulihat kondisi anak-anak
yang langsung menghampiri arah suara dan
terlihat seorang gadis berambut pirang sebahu
yang tengah digendong oleh beberapa anak.
Mataku hampir tak percaya. Seira. Seira
pingsan. Dengan sigap aku berlari ke arah
segerombolan anak yang tengah menggendong
seira.
Aku hanya dapat melihatnya, tanpa dapat
berbuat sesuatu untuknya.
Sekarang ia terbaring lemah di rumah
sakit. Ku hanya diam tak bergeming, menatapnya
tak berguna, menunggunya hingga sadar.
Beberapa detik berlalu
Ia terbangun dan lagi lagi meneteskan air
mata. Kulihat ia berbicara kepada orang yang
sedari tadi menjaganya. Orang itu pun terlihat
mengangguk tanda setuju.
Seira keluar dari kamarnya tanpa menoleh
ke arahku sedikitpun, ya, sama seperti saat ia
mengabaikanku di sekolah.
Dan apakah dia akan selalu seperti itu,
mataku tampak sakit menahan air mata serta
sesak di dada.
Tapi entah kenapa bertubi tubi ia
membuat lubang di hatiku, menusukkan pisaunya
tepat di hatiku. Aku tetap mengikutinya dan
merasa memang itu yang harus kulakukan.
Dengan sigap ku lari layaknya orang yang
tak karuan untuk mengejar dia, dia yang tak
pernah memerhatikanku, dia yang telah
meninggalkanku, yang tak pernah menoleh
barangkali sedetikpun kepadaku.
Seira memasuki mobilnya dan mulai
melaju. Kubuntuti mobil tersebut dari belakang.

Mobil itu terhenti.

“Inikah tempatnya?” tanyaku dalam hati.


Beribu-ribu Gundukan-gundukan tanah ia lewati
sampai tiba di salah satu gundukan yang terlihat
masih gembur tanda baru digali, kembang segar
telah menyebar menutupi gundukan, dan yang
terpenting sebuah papan bersegi panjang. Warna
papannya yang putih telah tergoreskan sebuah
nama, Seth gamiruz,
Apa apaan ini! Apa ini lelucon? Ini
sungguh tidak lucu, batinku tak karuan.
Keringat dingin pun bercucuran. Hawa di
sekelilingku terasa dingin padahal matahari
masih menunjukan cahayanya.
Buku diary yang masih terpegang oleh
seira ditaruh di atas gundukan tanah yang masih
basah itu.
Tertiup angin, lembar per lembar mulai
terbuka. Nampak tanggal serta tulisan-tulisan
yang dibuatnya tercantum di dalamnya.
First met, ia selalu menungguku saat
istirahat bahkan ia yang menemaniku saat ku
sedang menghirup udara segar di taman belakang
sekolah.
Second met, dia masih juga menungguku.
Tepat bel istirahat berbunyi. Dia akan selalu ada
di kantin menatapku. Di tangannya selalu
terggenggam kaleng capuccino.
Third met, kali ini ia memberanikan diri
dengan memberikanku kaleng capuccino dan
kumulai jatuh hati. Aku sangat senang untuk itu
dan sekaligus sedih karena aku harus melakukan
terapi nanti di rumah sakit.
Fourth met, dia masih juga menungguku.
Dan aku sangat senang karena kini aku dan dia
sudah mulai saling melakukan percakapan.
Fift met, kita meminum capuccino di
belakang taman sekolah, kutanya mengapa ia
sering meminum capuccino. Ia langsung tertawa
terbahak-bahak, ia bilang kehidupan kita seperti
capuccino karena kehidupannya merupakan
kepahitan dan ia bilang karena aku hadir dalam
kehidupannya, kepahitan tersebut agak tertutupi
dengan kehidupanku yang manis.
Six met, saat kami sudah bertemu di
taman belakang sekolah. Aku mengatakan bahwa
diriku mulai menjauh dengan teman-temanku.
Lalu ia bertanya mengapa, dan kujawab entahlah.
Dia terdiam beberapa saat dan mulai membuat
lelucon untuk menghiburku. Kupikir ia terdiam
untuk membuat lelucon. 😀
Sevent met, ia tak berada di taman
belakang sekolah lalu kutunggu ia. Tiba-tiba ia
datang dengan sedikit tergesa-gesa. Dia bilang
dia telat tadi. Dan dia punya trik agar bisa masuk
yaitu dengan memanjat gerbang belakang
sekolah. Aku bilang kepadanya jangan seperti itu.
Tapi ia berbicara aku harus mencobanya. Aku
tertawa mendengar itu.
Eight met, dia tidak berada di taman
belakang sekolah lagi, ku tunggu ia. Untuk
berapa menit, aku masih memasang senyumku
untuk menyambut kedatangannya. Tetapi sudah
hampir setengah jam ia tak kunjung datang. Bel
akan segera berbunyi tanda masuk.
Nine met, ia tak berada di sana lagi.
Mungkin ia terlalu sibuk pikirku atau ia telat
sekolah, atau jangan jangan ia meninggalkanku.
Pikiranku mulai tak karuan. Aku mulai
meninggalkan taman dan melaju ke kelas dia. Ku
tanya temannya apakah seth masuk sekolah. Dan
temannya berkata ia tidak masuk sekolah. Aku
tanya apa sebabnya ia tidak masuk. Temannya
berkata tidak ada kabar dari seth dan temannya
bilang ia akan beritahu esok bila ada kabar yang
masuk. Maka aku sangat menantikan hari esok.
Last met, saat ingin ku pergi ke taman,
teman-temanku memanggilku, aku menghampiri
mereka dan mengikuti mereka ke kantin. Tetap
saja tidak memperbaiki moodku, aku pergi ke
taman belakang. Aku menangis, menangisi diriku
sendiri. Kenapa aku harus mengenal dia. Kenapa
aku harus jatuh hati padanya. Kepalaku mulai
pening, karena tangisanku yang sudah mulai
menjadi-jadi. Tercium aroma cappucino, yang
membuatku teringat kepadanya, seth gamiruz,
yang telah membuat hidupku berwarna, yang
selalu menungguku, yang selalu menghiburku
dan selalu ada untukku. Hari ini aku akan
mengetahui dengan segera apa penyebab seth tak
masuk sekolah dan tak menemuiku.
Lembar-lembar diarynya masih terbolak-
balik di tiup angin.
Seira tertunduk sambil menengadahkan
tangannya, dan mulai terdengar suaranya yang
serak yang dikarenakan tangisannya tadi.
“Aku tidak menyangka seth, kau pergi
lebih dulu meninggalkanku.” terdengar isakannya
sedikit.
Aku masih diam tak percaya. “Tapi kau
tahu, aku akan segera menyusulmu dikarenakan
penyakit jantungku yang takkan bisa bertahan
lama.”
Mulai kulihat tubuhku dan kau takkan
percaya yang kulihat adalah seperti gas
sitoplasma, sitoplasma yang melekat di tubuhku
bukan daging atau tulang.
Ternyata karena ini, karena ini aku selalu
tak diperhatikan, karena ini dia tak pernah ingin
berbicara kepadaku, karena tubuhku yang telah
berubah menjadi sitoplasma.
“Kau ingat saat kita mulai saling
berbicara dan kau selalu membawakanku
capuccino kesukaanmu. Dan kau harus tahu lagi,
terkadang masih tercium aroma capuccino yang
selalu kau bawakan untukku.” Terdengar helaan
panjang dari Seira.
“Segalanya telah kau lakukan untukku.
Kini kurelakan kau agar tenang di sana dan diary
ini adalah sebagai pengingat bahwa kau tak
pernah menyerah untuk memperjuangkanku dan
kini aku yang akan memperjuangkanmu.
Tunggulah.”
Sekarang ku tersadar kejadian hari ini
merupakan bagian bagian memori yang masih
terekam jelas dalam pikiranku. Aku yang tidak
bisa melupakannya akan selalu memikirkan seira
walaupun tubuhku sudah tak nyata lagi.
Hawa dingin yang berada di sekitar
tubuhku perlahan lahan mulai berganti menjadi
panas, sitoplasma ini pun tak bisa menahannya
seperti tertarik ke atas dan seperti tak akan bisa
kembali lagi ke dunia yang penuh dengan drama
ini.

2 tahun telah berlalu


Acara kelulusan akan diadakan
“Sekarang kalian akan menempuh ke
dalam bidang dunia kalian masing-masing dan
selamat kepada siswa siswi yang lulus dalam
ajaran tahun 2022. Tidak lupa kita doakan para
teman kita yang tidak dapat menyelesaikan
tugasnya hingga harus ada pengulangan agar
mereka mendapat pengetahuan yang bisa lebih
berguna untuk mereka. Dan juga tidak lupa kita
doakan siswa sekaligus teman kalian Seth
gamiruz dan siswi Seira bramawira semoga
kedua arwah mereka diterima di sisinya. Dan saat
ini kalian harus menghadapi kenyataannya.
Tidaklah mudah untuk mencapai perjalanan
sampai saat ini, semoga bekal yang telah kalian
terima di sma ini cukup untuk nanti. Dan sekali
lagi selamat kepada kalian siswa siswi yang lulus
tahun ajaran 2022”.
“Yeeaay” sorak anak-anak.
“Selamat ya Aqeq akhirnya kita akan
memilih jurusan kita” jabat salah seorang anak
kepada Aqeq.
“Yo bro sama-sama. Congrats too yo”
balas Joe sambil membalas jabat tangan
temannya.
Aqeq menatap ke seluruh ruangan dan
matanya terhenti, dan seulas senyuman terukir di
wajahnya, di meja yang terletak di depan pojok
nampak seorang lelaki sitoplasma sedang
memegang tangan gadis cantik sitoplasma
berambut pirang pendek sebahu. Nampak wajah
kedua orang tersebut ikhlas dan berseri-seri tanda
bahagia.
***
Sepele
Karya : Ayesha Namira Mazaya

Mata hari terbit dari timur, Aku pun menggeser


selimutku sembari beranjak dari Kasur. Bundaku
memanggilku untuk Sarapan Pagi Keluarga aku pun dan
sigap duduk memakan sandwich lezat yang dibuat oleh
bundaku.
Tringg dering telfon hp ku, rupanya Thian sudah
didepan rumah dan bersiap untuk menjemputku untuk ke
Sekolah bersama.
Thian : Selamat pagi
Xia : Pagi
Thian : Yuk
Tak sampai 1 menit kami pun sampai ke sekolah,
sampainya disekolah Begitu ramai keadaan sekolah &
banyak teman” ku menyapa dari ujung koridor sampai
menuju kelas
Rexha : Kamu udah tugas Pak Eyos?
Xia : Astaga belum! Aku lupa!
Rexha : Kerjakan atau kamu tidak ikut ulangan!
Xia : Baiklah!
Dering bel pun berbunyi, Aku pun semakin
tergesa” untuk mengerjakannya. Tak lama terlihat lelaki
paruh baya berjalan melewati jendela” kelas. ‘Itu pak
Eyos!!’ mereka semua pun tersentak dan terkejut,
‘Selamat pagi anak-anak hari ini kita akan melaksanakan
Ulangan Harian Kimia’
Ntah bagaimana pak Eyos bisa melihat raut
wajahku yang terlihat panik dan tersusa susa,
‘Ada apa? Belum selesai tugas?’ tanya pak eyos,
aku pun hanya bisa terangguk angguk kecil karena
Takut.
Suasana kelas Hening, Pak Eyos terlihat
menghela nafas besar dan mengumpulkan energi untuk
memarahiku. ‘Kamu ini sudah diberikan Waktu
berminggu”! Mengapa Belum selesai juga?! Apakah km
begitu menyepelekan tugas saya?!’
Sekali lagi, Tak ada jawaban dari satupun bibir
kelas. Kami terdiam, Suasana kelas terasa mencekam.
“Maaf’ sebutku, hanya itu yang bisa ku ucapkan,
Pak Eyos hanya menghela nafas dan membuang muka.
Lalu meninggalkan kelas kami tanpa berkutik apapun..
Setelahnya kami hanya bisa saling bertatap
tatapan, tak bisa berkata bibir terasa kaku untuk
mengucapkam sebuah kata “aku tak pernah melihat pak
Eyos semarah itu ..”
Yang tadinya kelas terdengar sangat amat hening,
menjadi begitu ramai bersahut-sahutan membicarakan
kejadian yang baru saja terjadi
‘Apa yang harus kulakukan sekarang? Pak Eyos
sudah marah kepadaku dan itu berdampak kepada kita
semua’ Ucapku, Tak ada yang menjawab. Wajah mereka
terlihat Kesal terhadapku dan aku pun hanya bisa
terdiam menunduk merasa bersalah kepada mereka.
“Ya tidak tahu, pokoknya kamu yang urus
masalah ini! Kami tidak mau tahu, semuanya salah mu
jadi kamu yang harus menyelesaikannya. Sen-di-ri!”
Ucap salah 1 anak menjengkelkan didalam kelasku,
Tetapi ada benarnya juga jika ia mengatakan tsb ..
Aku pun beranjak dari kursiku dan berlari ke
Ruang Guru untuk menemui Pak Eyos & Meminta maaf
padanya tetapi tak ada kulihat tanda-tanda adanya
kehadiran Pak Eyos disana, aku pun mencoba
mencarinya tetapi Nihil.
“huft baiklah akan kucoba minta maaf lagi saat
mata pelajarannya ada” Ucapku sambil tersengal-sengah
karena lelah mencari Pak Eyos di Segedung Sekolah
yang Besar & Gagah ini.

Keesokan harinya ..

Aku sedang berbelanja untuk bahan-bahan Kerja


Kelompok disalah satu grosir ternama diKota ku,
Bersama Ayah & Bundaku mereka turut membantuku
mencari bahan-bahan yang diperlukan.
“Ha! Ini dia yang dicari” sebut ayahku, Lalu
setelah semua yang dicari telah terkumpul kami pun
bergegas ke Kasir untuk membayar produk-produk yang
ingin kami beli. Singkat cerita, aku pun telah sampai
kerumah Temanku untuk kerja kelompok.
Kelompok kami berisikan 5 orang, dan 1
diantaranya adalah Aku. Mereka adalah Lani, Dara, Mira
dan Diva.
“Ayo langsung saja kita kerjakan agar cepat
selesai!” sebut salah 1 ketua kelompokku, Diva.
Kami pun langsung mengerjakannya sesuai
dengan perintah Diva, Seiring berjalannya waktu hari
terasa mulai gelap dan benar saja saat itu sudah jam
5PM. Kami pun segera membersihkan barang-barang
yang belum selesai & yang sudah selesai untuk
dipisahkan agar tak tercampur, singkat cerita masing-
masing dari kami pun pulang dan tersisa Aku seorang
diri di Rumah Lani, aku sedang bergetar memegang
handphoneku yang sudah berkali-kali menelpom Ayah &
Bundaku untuk menjemputku tapi tak ada satupun
jawaban dari mereka.
Hari mulai gelap, “Mari masuk, mau maghrib”
kata Ibu Lani sembari tersenyum hangat mensilahkan
aku untuk masuk kerumahnya.
“Lani kemari sini temani temanmu” Iya, sedari
tadi aku sendiri diteras rumah Lani.
Lani pun teriak dari kamarnya menyahut iya
kepada ibunya, terlihat iya berjalan melewati ruang-
ruang Rumahnya dan berjalan kearahku dengan wajah
malas.
“Orang tua kamu mana?”
“Maaf ya, aku tidak tahu mereka tidak
mengangkat telefonku. Aku sudah mencoba-“ Ucapanku
terputus oleh katakata Lani ..
“Yasudah biar aku pesankan Gojek untukmu”
Dengan suara mendengus kesal dan memutar
matanya. Hatiku terasa sakit, Apakah dia yang begitu
Kasar atau aku yang terlalu Lemah Hati? Ucapku dalam
hati. Setitik air mataku pun turun membasahi pipiku ..
“ini sudah ku pesankan kamu tunggu saja di
Halte depan Gangku”
Aku segera menepis air mataku agar ia tak
melihatnya, “Terimakasih” kemudian aku pun segera
meninggalkan rumahnya.

Di Halte
Aku pun menunggu Gojek sambil terduduk lesu,
10 menit berlalu yang ditunggu-tunggu pun sampai
“Mbak Xia?” aku pun mengangguk dan segera menaiki
motornya dan memakai tameng kepala yang melindungi
kepala dari kecelakaan.
Sesampainya dirumah bundaku menanyakan
mengapa wajahku terlihat letih & lesu, “kamu belum
makan?”
Aku tak menjawabnya dan langsung masuk ke
kamar dan mengunci kamarku, langsung terbaring lemas
dikasur dan penutup wajahku dengan bantal.

Tok.. Tok..
Ketuk pintu dari Bundaku yang sedang
menanyakan keadaanku dengan suaranya terdengar
khawatir akan keadaanku, sontak aku terduduk.
“Xia makan, jangan hanya duduk disana seperti
gundukan kayu ..”
“Iya, sedang tidak Enak Badan saja”
“baiklah kalau ingin makan ibu sudah masak ya,
istirahatlah”
“Baik bun”
Langit sedang menangis saat itu, aku pun segera
tidur dan melupakan segala yang telah terjadi. Singkat
cerita tak terasa azan Isya pun berkumandang. Bundaku
mengetuk kamarku lagi untul mengingatkanku tuk
Sholat & Makan,
“Xia sedang tidak ingin makan bun”
“Kenapa Nami? Nami ada masalah?”
“Tidak ada bun”
Bundaku mengernyitkan dahinya bingung terlihat
ada yang tidak beres kepada anaknya yang biasa terlihat
riang menjadi sangat murung dan tertutup, “Kalau ada
masalah cerita ya sayang”
Aku pun hanya mengangguk pelan sambil
tersenyum kecil untuk memastikan bundaku tak lagi
khawatir akan keadaanku.
Segera kubuka pintu kamarku dan tidur, ntah
mengapa dunia terasa berputar-putar kepalaku terasa
sangat pusing dan tetiba kakiku terasa lemas serta diikuti
dengan pemandangan mataku yang kian memburam ..
BRAG!
Aku membuka mataku perlahan, yang kulihat
adalah Rumah Sakit .. Iya aku dirumah sakit, ternyata
aku telah jatuh pingsan dikamarku dalam keadaan pintu
kamar terkunci dari dalam untungnya Ayahku
mempunyai kunci cadangan.
“Sudah bunda bilang untuk makan & cerita jika
ada masalah”
“Maaf bun” ucapku lirih
Bundaku terlihat khawatir tapi disaat yang sama
pula ia terlihat kesal dan kecewa kepadaku .. aku pun
melihat ke arah sekitar, mataku tertuju pada sebuah meja
kasir yang didepannya ada lelaki paruh baya
menggunakan sweater hangat musim dingin ..
“Pak Eyos” dalam hatiku, sontak mataku
terbelalak panik aku pun bergegas membalik badanku
untuk membelakanginya, aku takut.
Ia terdengar seperti orang sedang sakit, terbatuk
batuk. Ku intip sedikit .. ia berjalan mengeluari koridor
ugd sambil tertatih-tatih, tersentuh hatiku tak tega
melihat Pak Eyos sakit seperti itu. Seketika aku merasa
bersalah karna kesalahanku tempo hari di Sekolah dan
mengingat aku belum ada minta maaf kepadanya.
Kebetulan keesokan harinya adalah mapel Pak Eyos.
Singkat cerita bel sekolah pun berbunyi dan aku
segera duduk dan memasang wajah ceria, Tetapi 10
menit setelah bel berbunyi, Pak Eyos juga tak kunjung
masuk. Ketua kelas pun pergi ke Ruang guru untuk
mengecek kehadiran Pak Elon dan benar saja Pak Eyos
tak ada disana.
Sesampainya di Kelas, ketua kelas langsung
memberitahu info bahwa pak Eyos tak masuk sekolah &
cuti mengajar dalam beberapa hari dikarena sakit yang
dideritanya. Wajah yang tadinya cerita mendadak
menjadi murung dan khawatir, aku sangat merasa
bersalah ...
Bel istirahat pun berbunyi, “Dor!” kejut Thian
untuk mengejutiku, sebenarnya aku tidak begitu kaget,
tapi melihat wajahnya yang agak kecewa karena
kejutannya begitu payah aku pun berpura-pura kaget
sambil berlompat kecil memegang mulutku seakan itu
adalah kejutan yang paling mengejutkan. “aku tau kamu
pura pura kaget” ujarnya sambil memasang muka melas,
Hahaha konyol.
Kami pun menyusuri koridor bersama untuk
membeli makanan di Kantin.
“Rame banget ya?”
“Iyalah?” sahutku sambil mengernyitkan dahi
Ia pun menarik pelan tanganku di suatu kantin
yang menjual aneka macam jelly, ia pun menawariku
jelly tersebut tetapi aku tidak tertarik sama sekali, pada
akhirnya ia tetap membelikanku jelly itu.
“Makasih yaa” ucapku sambil tersenyum kecil
lalu memutar kedua bola mataku.
“Sama sama cantik”
Ia memang selalu seperti itu, bermulut manis.
“Aku ingin ke wc sebentar ya” ucapku sambil
berjalan kearah wc wanita diujung koridor, ia pun
menunggu didepan koridor.
Blursh! Wow, seember air tumpah membahasahi sekujur
tubuhku.
“Apa apaan ini?!” ucapku, tetapi tak ada seorang
pun terlihat ataupun menampakkan dari wc tersebut.
Lalu siapa yang melakukannya?
Keadaanku saat ini masih terdiam beku dan
masih shock serta bingung mencoba menelaah kejadian
yang baru saja terjadi, terdengar hentakan kaki yang
cepat berlari kecil kearahku.
“Ya ampun? Apa saja yang baru saja terjadi?!”
Singkat cerita, aku masuk ke kelas dengan
pakaian basah untuk mengambil tas & pulang.
Aku bisa melihat mereka dari ujung mataku
sambil berbisik-bisik dan tertawa terbahak-bahak.
Telingaku terasa gatal saat mendengar mereka
menertawakanku, ‘itu pasti mereka!’ ucapku dalam hati.
Aku pun mencoba sabar dan mendiamkan mereka ..
tetapi salah 1 dari mereka malah menceletuk, “hahaha
habis kecebur di sungai?”
Tanganku mengepal keras, jantungku berdebar
dengan sangat cepat. Aku tak tahan lagi untuk
menahannya “Maksud mu apa?! Ini semua ulah mu
kan?!” ucapku dengan nada tinggi.
“Hahaha, gimana? Enakkan, maka dari itu jangan
berulah! Karena mu pak Eyos marah dan itu berimbas
kepada kami semua dan kamu sama sekali tidak ada
bertanggung jawab atas masalah ini, maka kamu pantas
untuk mendapatkan pelajaran ini!” ucapnya, sontak
jantungku berdegup kencang .. aku tersentak, angin-
angin berdesir seakan menusuk rongga pernafasanku
yang membuat nafasku tak beraturan.
Yang ia katakan memang benar, tetapi apa yang
mereka lakukan kepadaku sudah kelewatan batas dan
tidak bisa dibenarkan. Aku lgsg bergegas mengambil
ranselku dan pergi, aku lari dengan wajah memerah
menahan air mata yang sudah tak tahan lagi ingin keluar
tuk membasahi pipiku.
Aku menaiki kuda besi yang biasa disebut Motor
untuk pulang kerumahku, berjalan menyusuri kota
menikmati indahnya pemandangan langit cakrawala di
sore hari ..
Singkat cerita aku pun pulang kerumah, dan
melakukan aktifitas sehari-hari & pekerjaan rumah,
bunda & ayahku sedang tidak dirumah dikarenakan
sedang ada rapat antar kantor.
Aku sedang menyiapkan buku-buku mata
pelajaran di esok hari, pak Eyos adalah mapel pertama
besok. Aku sangat menunggu-nunggu kehadirannya,
semoga saja dia sudah sembuh sehingga aku bisa
meminta maaf secara langsung padanya.
Burung bernyanyi di pagi hari, Angin meraung
menemani sang hujan. Angin berbisik menyampaikan
salam.
“Apakah pak eyos akan masuk?”
Teman sebangku ku, Diva. Hanya menaikkan
kedua bahunya dengan bibir tertekuk kebawah
menandakan ia juga tak tahu akan hal itu.
Bel berbunyi, 5 menit .. 10 menit .. sampai 15
menit pak Eyos tak kunjung datang juga. Apakah dia
belum sembuh? “Teman-teman pak Eyos masij sakit apa
sebaiknya kita jenguk saja?” celetukku dan mereka
semua setuju.
Sepulang sekolah kami bersama-sama pergi
kerumah pak Eyos, rumahnya merupakan bangunan
tua .. tongkonan rumahnya mulai terlihat rapuh, segera
kami mengetuk pintu dan mengucapkam salam.
“Assalamualaikum ..”
Terdengar sahutan dari dalam yang terdengar
lirih.
KLEK

Gagang pintu menurun, pintu terbuka. Alangkah


terkejutnya aku saat melihat kondisi pak Eyos yang
sangat memprihatinkan, ia terlihat semakin kurus ..
“Masuk nak”
Ia pun jalan tertatih-tatih dan mempersilahkan
kami untuk duduk, salah satu dari kami menyodorkan
satu keranjang buah buahan yang kami sengaja beli
untuk pak Eyos.
“Terimakasih nak, ada apa tetiba datang kesini?”
“Kami ingin membesuk pak Eyos, karena sudah
2x tak mengajar kami. Hanya untuk memastikan pak
Eyos baik-baik saja, ini semua rencana xia pak”
Aku yang awalnya bersembunyi dibalik badan
kawanku pun langsung menunjukkan wajahku &
tersenyum salah tingkah. Suasana saat itu kemudian
hening .. mengingat kejadian minggu lalu yang membuat
hubungan kelas kami antara Pak Eyos sedikit dingin.
“ Pak saya minta maaf atas apa yang saya
lakukan, saya janji tidak akan mengulanginya lagi”
celetukku di keheningan, butuh mental yang kuat untuk
mengatakannya di keramaian seperti ini.
“Iya nak tak apa apa, Bapak pun sudah
memaafkan apa yang kamu lakukan” jawab pak Eyos
sambil tersenyum.
Kami pun saling bertukar cerita & tertawa
bersama-sama, jam mulai menunjukkan pukul 4 sore.
Kami pun bergegas pamit untuk pulang.
Pak Eyos menjamu kami dengan sangat baik, ia
pula menyambut dan memulangkan kami dengan
keadaan perut terisi penuh. “Hati-hati & Terimakasih
banyak ya Nak, bapak masuk duluan karena kaki tak
tahan berdiri lama-lama..” sebut pak Eyos sambil
memegang ujung pintu bersiap untuk menutup pintu,
“Iyaa pak silahkan saja..”

Klek.
Pintu tertutup, hening & canggung ..
Aku berjalan paling depan membelakangi mereka
semua, menyusuri jalan gang kecil untuk mengambil
Kuda Besi kami yang terparkir diluar Gang. Hanya ada
suara angin & dedaunan yang saling berlomba-lomba
jatuh ke dasar tanah.
“Xia kami minta maaf atas apa yang kami
lakukan kepada mu ya, kami tahu itu berlebihan dan
sangat tidak pantas..” celetuk Lani, iya. Lani adalah
pelaku utamanya.
“Iya tidak papa ..” Jawabku sambil tersenyum
kecil lalu berbalik badan dan lanjut berjalan
membelakangi mereka.
Hap! Terkejut, sepasang tangan memelukku erat
dan suara tangisan di belakang pundakku. Itu lani
“maafin aku xia” lirih lani meminta maaf kepadaku,
bagaimana aku tega untuk tidak memaafkannya jika
seperti ini. Ia terlihat begitu tulus minta maaf dan merasa
bersalah. Ku balik badanku dan kupeluk ia.
“Aku sudah memaafkan mu lan, jangan di ulangi
lagi yaa. Menghakimi orang sendiri itu tidak baik apalagi
lewat tindakan bullying ..” jawabku sambil
menenangkannya.
“Baiklah! Terimakasih Xia” jawab lani sambil
Tersenyum selebar 1 mil sambil mengusap air
matanya.
Hembusan angin membelai rambut-rambut indah
mereka, suasana berubah menjadi ceria ..
Pesan moral yang dapat di ambil dari cerpen ini
adalah jangan lah kamu menyepelekan tugas, karena
menunda sama dengan menambah beban lebih besar
untuk hari selanjutnya.

***
Dua Sisi
Karya : Jayang Jarinda Fuja Pancar Kumala

Sepasang kaki menelusuri jalan setapak di malam


hari. Suasana kali ini begitu tenang. Bahkan, kendaraan
yang berlalu lalang bisa di hitung jari. Laki-laki yang me
makai tudung itu, memutuskan untuk duduk di kursi yan
g ada. Membuka buku sketsa nya, dan mulai menggamba
r apa yang ia lihat. Buku sketsa dan pensil, ibarat jiwa ya
ng selalu turut serta kemanapun lelaki itu pergi. Rutinitas
malam hari untuk seorang Junanda adalah berjalan jalan
sendirian, menghirup udara malam, dan mencari sebuah i
nspirasi untuk bahan lukisannya. Kalau untuk ukuran lak
i-laki seusianya, mungkin ia akan dipandang miris karen
a kegiatannya terlihat membosankan.
Tidak ada yang namanya nongkrong atau hangou
t bersama teman-teman sebayanya.
"Junanda, darimana kamu hah?," tanya laki-laki p
aruh baya yang sedang duduk di sofa sambil melipat kor
an bacaannya.
"Paling abis main sama temen-temennyayang ng
gak jelas itu," timpal anak cowok yang baru muncul di h
adapannya.
"Oh iya, temen gue lebih asik soalnya." Sifat sark
as Junanda tiba-tiba muncul. Padahal jelas-jelas ia tak m
emiliki teman satu pun selama hidupnya. Dia hanya send
iri. Benar-benar seperti hidup seorang diri.
"Kamu tuh, main mulu kerjaannya. Harusnya ka
mu contoh Juan! Liat dia, pinter sejarah, suka ikut lomba
di sekolah, dan masih banyak lagi hal yang Juan bisa, tap
i kamu nggak bisa."
Demi Tuhan, jika bisa, Junanda ingin menulikan
telinganya sementara. Lelah rasanya jika harus terus-teru
san mendengar ucapan sang ayah yang membanding-ban
dingkan dirinya dengan kembarannya, Juandra. Sebelum
emosi nya tak terkontrol, Junanda memilih untuk pergi
meninggalkan sang ayah bersama kembarannya. Masih t
erdengar ucapan ayahnya sebelum Junanda benar-benar
menutup pintu.
"Ayah belom selesai bicara, Junanda!"
Cowok itu merapikan kuas yang berserakan di la
ntai. Kamarnya benar-benar berantakan, sama seperti har
i-hari Junanda sebelum mengenal sosok Kalana. Bidadar
i cantik yang menjelma menjadi manusia di sekolahnya.
Awalnya ia ragu untuk memulai pendekatannya s
ebagai teman, tapi mendengar rumor tentang kalana yang
ramah, Junanda pun nekat memberanikan diri. Alhasil, m
ereka berteman dekat sampai sekarang.
Tak lama android junanda pun berdering menunj
ukkan nama kanala, juna pun langsung menerima panggi
lan dari kalana itu
"Juna, besok ke gramedia yukkkk"
"Ayo, udh lama ga nyium bau buku"
"Sejak kapan lo suka bau buku? Bukannya yang s
uka buku itu kembaran lo ya? Siapa namanya? Juan kan?
Junanda hanya diam saat Kalana memberikan ber
tubi tubi pertanyaan kepadanya.
"Besok pulang sekolah langsung aja ya"
"Oke."
Juna langsung menutup panggilan itu dan melem
par androidnya ke kasur. Kenapa Juandra selalu nyempil
di topik obrolan dirinya dengan Kalana. Banyak pertanya
an yang bersarang di kepala Juna. Apakah, Kalana meny
ukai kembarannya? Bukan tidak mungkin jika Kalana m
enyukai Juandra. Lagipula, siapa yang tidak tertarik deng
an si tampan yang pintar? Tidak Junanda pungkiri, Juand
ra adalah definisi makhluk yang hampir sempurna.
Kadang Junandra bertanya-tanya, mereka itu kem
bar, tapi kenapa ia merasa jika Juandra lebih unggul dala
m segala hal. Juandra bahkan hampir tidak memiliki satu
pun musuh di sekolahnya, tidak seperti Juna yang dikit-d
ikit bertengkar. Tapi, bukan tanpa alasan jika Juan harus
babak belur setiap pulang sekolah, semua itu karna dia se
ndiri yang mencoba bertahan saat ia menjadi bahan bully
an.
Pagi ini, Juna berencana untuk menjemput Kalan
a menggunakan motor kesayangannya. Hadiah terakhir y
ang diberikan bunda sebelum beliau meninggal. Juna me
narik gas nya dengan kecepatan diatas rata-rata, motorny
a melaju secepat angin.
Lima belas menit ia menembus jalanan ibu kota,
akhirnya ia sampai di sebuah rumah bertingkat yang terli
hat megah. Rumah yang hampir setahun belakangan ini s
elalu ia kunjungi untuk sekedar mengantar jemput Kalan
a.
Seorang perempuan dengan tas ransel berwarna t
osca dan totebag bergambar panda keluar dari gerbang ru
mahnya.
"Pagi, Juju," sapa perempuan itu dengan senyum
manis yang selalu membuat Juna terpesona.
"Ngeyel banget, udah gue bilang jangan panggil j
uju, kayak cewek, na." Juna memasang wajah masamnya
yang membuat kalana terkekeh.
"Justru itu, juju tuh lucu. Ayolah, biarin gue man
ggil lo Juju ya." Kalana pura-pura merengek sambil mem
asang ekspresi memohon yang menurut Junanda sangat
menggemaskan. Siapa yang tak akan luluh melihat wajah
Kalana dengan pipi yang menggembung dan mata bulat
nya yang sempurna, itu semua membuat Junanda menga
ngguk pasrah.
Sepanjang perjalanan menuju sekolah, fokus Juna
hanya dua. Kendaraan yang ada di depan dan spion moto
rnya yang menampilkan wajah cantik Kalina. Dia bisa m
elihat bagaimana cerewetnya Kalina ketika membicaraka
n hal-hal tidak penting.
"Jun, parkiran motornya kelewatan! Lo bengong
ya?" Kalana menepuk pundak Junanda berkali-kali untuk
menyadarkan cowok itu.
"Eh-" Junanda yang sadar langsung memutar bali
k arah motornya. "Sorry, na"
"Santai aja, Ju. Yang penting nggak terlambat. La
gian lo mikirin apa sih?"
"Gue "
"Kalana!" Tiba-tiba, seseorang berteriak memang
gil nama Kalana, memotong ucapan Jerdian. "Ju, gue ke
kelas duluan ya, dahh."
Sepeninggalan Kalana, mata Juna tak sengaja mel
ihat Juandra yang baru datang bersama teman-temannya
dengan sebuah mobil sport berwarna hitam. Mereka salin
g adu pandangan sebelum akhirnya, Junanda memutus k
ontak mata itu dan bergegas menuju kelasnya. Hari ini a
da pelajaran seni budaya, alias pelajaran yang paling Jun
a sukai. Kalo soal seni, lelaki itu akan maju paling depan.
Juna duduk di kursi pojok paling belakang. Tak a
da yang namanya chairmate. Hari ini ada praktik seni bu
daya mengenai musik. Juna mengeluarkan harmonika ya
ng selalu ia bawa.
"Ayo, siapa yang mau maju lebih dulu untuk prak
tik alat musik?," tanya bu Winda guru seni budaya. Juna
mengangkat tangannya dan langsung maju ke depan.
Lagu hujan milik Jourdy Pranata perlahan menga
lun lembut. Ini hanya nada, tapi semua murid di kelas Ju
na seolah terhipnotis untuk ikut bernyanyi. Pembawaan c
owok dengan potongan rambut yang khas itu, benar-bena
r menghayati hingga semua orang di kelasnya hanyut dal
am melodi. Permainan harmonika Jerdian, diakhiri denga
n tepukan meriah yang memenuhi isi kelas. Bu Winda ba
hkan di buat geleng-geleng kepala saking takjubnya den
gan bakat murid kesayangannya itu.
Tapi, sangat di sayangkan, orang-orang hanya me
ngenal Junanda dari sisi buruknya.
Sudah hampir tiga jam, Juananda mengikuti pelaj
aran dengan tenang. Kini, saatnya cowok itu pergi ke ka
ntin untuk istirahat, mengisi perutnya yang mulai keronc
ongan. Ia hanya memesan semangkuk bakso dan es teh f
avoritnya. Baru saja suapan pertama, tiba-tiba segeromb
olan laki-laki menghampiri meja Juna. Salah satu diantar
a mereka, merebut mangkuk bakso, dan sisanya memega
ng sepasang tangan cowok itu agar tidak memberontak.
Juna yang memiliki basic bela diri, dengan gamp
ang mudah melepaskan cengkraman di bahunya. Dengan
sekali pukulan, satu lawannya berhasil tersungkur di lant
ai. Tak sampai disitu, ia bahkan memelintir satu yang lai
nnya. Anak yang berada di kantin memandang biasa kear
ah Juna, seolah hal itu sering terjadi. Tanpa Juna sadari,
kelakuannya menjadi trending topic di SMA Neosantara.
Tanpa banyak bicara, Juna segera meninggalkan area ka
ntin. Hp nya berdering, nama Juan tertera disana.
"Juna, lo dimana?
"Kepo"
"Lo dimana sialan? Sini, gue obatin"
"Santai"
"Gaperlu sok perduli gitu"
"Juna, gue lagi nggak pengen debat ya. 5 menit n
ggak sampe UKS, kembaran lo yang paling ganteng ini b
akal nyeret lo dengan tangannya"
"Ga, gua bisa sendiri"
"Fine."
Juna mengabaikan perkataan Juan dan langsung
menutup telfon itu. Dia yakin, kembarannya itu tidak ben
ar-benar perduli. Lagi pula, ia sama sekali tak butuh Juan
untuk mengobati lukanya. Sampai akhirnya, sebuah tang
an menarik lengan Junanda.
"Udah gue duga, lo ada disini." Juna menatap taja
m kearah Juandra yang masih setia menarik lengan kekar
nya. Juandra memaksa kembarannya itu untuk duduk di
UKS sembari ia menuangkan alkohol ke kapas.
"Lepas! Gue bisa sendiri." Juna menepis tangan J
uandra yang ingin mengoleskan kapas ke pipinya. "Gue
cuma mau nolong. Lo nggak usah keras kepala, Junand
a!"
"Pertolongan lo cuma bikin gue keliatan semakin
buruk!"
"Apa maksud lo?," tanya Juandra dengan wajah
menahan amarah. "Gue rasa satu sekolah juga tau, bahwa
lo adalah malaikat dan gue iblisnya. Kalo tingkah lo seka
rang cuma biar gue di cap makin buruk, mending lo enya
h aja!"
Si kembar yang sama-sama keras kepala hanya b
erakhir saling tatap dengan memancarkan emosinya masi
ng-masing. Junanda yang muak dengan drama Juandra y
ang 'sok perduli' memilih untuk keluar. Mereka sama-sa
ma butuh waktu untuk meredakan emosinya.
"Lo nggak tau gimana khawatir nya gue waktu lia
t muka lo lebam setiap pulang sekolah," gumam Juandra
ketika terdengar dentuman pintu yang keras, pertanda Ju
nand yang telah keluar
Dari cerita ini dapat kita simpulkan bahwa
"Tidak ada yang namanya orang bodoh didunia i
ni, tiap orang memiliki bakat di bidangnya masing masin
g."

***
Cerpen Tentang Sampah
Karya : Chelsea Asy Syafa Zeannaia Maharani

“Felly! Lo yakin kita bakalan menciptakan yang


begituan? Bukannya temanya flora sama fauna?” tanya
Bram yang masih menentang pikiran Felly tentang
rancangan baju yang akan mereka garap untuk acara
Fhasion Show minggu depan. Menyambut hari jadi kota
mereka.
“Tahu, nih! Bukannya itu terlalu menghina jika
mereka tahu bahan yang kita buat, Fel!” lanjut Riska
yang masih terus berpikir tentang otak Felly yang aneh
saat ini.
“Nggak biasanya lo berpikiran rendah seperti ini,
Fel! Lagian, lo juga dari mana sih dapet ide begituan?!
Kalau lo kena penjara, jangan bawa-bawa nama kita yah,
Fel!” lirik Billy sinis.
“Guys, mereka kan tidak membatasi ide yang kita
keluarkan! Lagi pula, mereka juga bakalan suka dengan
design kita kalau itu benar-benar bagus! Dan, gue yakin
itu!”
“Tapi! Ide lo gila Felly! Gue tahu lo adalah anak
yang paling baik dalam mendesign baju dibandingkan
dengan anak-anak remaja di sekolah ini yang
mempunyai kemampuan dalam bidang yang sama. Tapi,
apa nggak salah kalau lo bakalan menggunakan sampah
untuk bahan pokok dan dasar dari design baju kita?!
Terlalu rendahan Felly! Mereka semua memakai bahan
kain sutra dan juga pernak-pernik yang mewah!
Sedangkan lo? Lo pakai sampah dan kain perca batik!
Percuma model kita bagus kalau pakaiannya nggak
bagus!” jawab Riska.
“Oke. Gue berani nantangin kalian kalau design
gue bakalan jadi yang terbaik! Toh, model kita juga
berdarah luar. Lo, tahu kan kalau Larissa berturunan
Spanyol. Dia nggak akan malu kalau sedikit membuka
pahanya yang mulus dengan gaun ekor panjang dan juga
mahkota yang indah. Toh, sandalnya nggak akan polos
dengan pernak-pernik itu aja. Gua bakalan menambah
pernak-pernik yang akan membuat kakinya lebih anggun
dan terlihat seksi. Apalagi, kakinya dia jenjang. Percuma
kalau nggak dimanfaatin!”
“Oke, gue akan terima dengan design lo! Tapi,
jangan suruh gue untuk belanja bahannya di toko yang
telah ditentukan oleh sekolah ini. Malu, Fel kalau
ketemu dengan anak desainer kelas lain. Billy aja yang
berangkat!” ucap Bram.
“Siapa juga yang bakalan nyuruh lo! Emang lo
aja yang bakalan belanja bahan-bahannya? Kita semua
kali yang bakalan belanja bahan-bahannya!”
Mereka semua melolot dengan raut wajah
memelas. Akan tetapi, Felly tidak mempedulikan mereka
semua. Melangkah meninggalkan ruangan bengkel
tempat mereka mengerjakan baju itu. Apa boleh buat
setelah mereka mendapatkan campakan dari Felly.
Mereka membuntuti Felly dari belakang.
Menjalankan roda mobil mereka untuk ke toko yang
sudah ditentukan dan membeli pernak-pernik yang
mereka butuhkan.
Sesampainya di sana, ia mendapatkan
pemandangan yang sangat eksotis saat desainer
saingannya menghampirinya dengan manyakan design
miliknya. Tanpa rasa malu, Felly menjawabnya dengan
tegas dan percaya diri. Hal tersebut membuat mereka
tertawa.
Bagi mereka, Felly yang saat ini ada di depan
mereka bukanlah Felly yang mereka hadapi. Mereka
mengenal Felly dengan design-design yang glamour dan
eksotis. Tentunya, dengan bahan-bahan yang sesuai
dengan namanya. Glamour. Harganya pun tidak
diragukan untuk menjual satu mobil. Hanya untuk
bahan. Belum perlengkapan. Setelah Felly berbelanja, ia
menjalankan roda mobilnya ke arah butik mamanya.
Mencari kain perca yang ia cari. Yah… kain batik.
Berbagai kain batik telah diproduksi oleh butik
mamanya untuk berbagai gaun yang mereka ciptakan
sendiri. Banyak pegawai yang menanyakan hal tersebut
kepada Felly. Karena, bagi pegawai mamanya, Felly
tidak pernah datang untuk memungut sampah dari butik
itu. Melainkan mencari data kain termahal yang biasa
digunakan oleh butik mamanya.
Sedangkan, sekarang sebaliknya. Felly memakai
kain batik yang digunakan untuk selipan hiasan gaun
saja. Bahkan, Felly memesan ke toko butik mamanya
untuk mendatangkan kain perca dari cabang butik
mamanya dalam beberapa hari. Tentunya, pegawai
mereka menuruti permintaan anak majikannya itu.
Sedangkan Bram, Billy dan Riska, mencemaskan design
Felly. Mereka takut akan memalukan timnya.
Mengingat, namanya yang telah berulang kali terbit di
media massa. Serta, design mereka yang berulang kali
dicari oleh orang kalangan atas untuk diganti dengan
uang. Sesampainya mereka dari perjalanan membeli
bahan-bahan yang mereka butuhkan, mereka mulai
membuat designnya menjadi benda nyata yang dapat
dipakai oleh sang modelnya. Dalam artian lain,
mewujudkan sketsa mereka.
Billy menggarap untuk sandalnya. Ia memulai
dengan menata burcinya dalam selipan benang yang
telah terikat dengan jarumnya. Bram, masih memikirkan
mahkota yang tepat bersama Riska. Tentunya, dengan
berbagai perdebatan dari keduanya. Akan tetapi, tetap
menjadi satu ide pokok untuk mewujudkan hasil
perdebatan mereka berdua. Tentunya, dengan pendapat
Felly dan Billy.
Felly, tidak hanya diam dengan memperhatikan
rekan-rekannya bekerja, ia mulai membentuk bunga
mawar dari limbah plastik yang ia kumpulkan dari
sampah dan mencucinya hingga bersih. Menjahitnya
dengan sematan renda emas di sampingnya. Nuansa full
colour yang ada dalam bunga plastiknya akan
memperindah gaunnya yang penuh bunga dengan batik
yang glamour.
“Felly, ada yang kurang bahannya!” seru Bram di
tengah ia mulai membentuk pola mahkotanya.
“Apaan?” tanya Felly tanpa menoleh ke arah
Bram.
“Lihat gue, dodol!” Felly pun menoleh dan
menghentikan mesin jahitnya.
“Nih, lihat sketsa gue sama Riska! Kita butuh
bulu berwarna untuk menghias sampingnya. Tentor utara
yang ada di samping telinga akan gue kasih warna merah
dan biru dengan paduan emas. Untuk pasangan atasnya,
gue kasih bulu dengan bentuk helaian daun.
Menyematkan burci di sana dengan bunga mawar yang
lo contohkan. Sehingga, bisa serasi dengan bajunya.”
“Mana ada bulu berwarna-warni?” sela Billy di
tengah ia mengggarap tugasnya.
“Makanya itu, Bil. Itulah kendalanya.”
“Tinggal ganti design lain aja!”
“Enak aja lo, tinggal bilang begitu! Nggak! Gue
nggak mau terima tentang begituan! Lo pikir cari ide
nggak susah apa? Gue aja ampe debat sama Riska!”
“Iya, iya. Terserah lo, deh! Emang, mau cari bulu
di mana? Warna-warni pula! Nyabut bulu bebek dari
peternak bebek?! Belum sampai dicabut, lo bakalan
kalang kabut sama mulutnya tuh bebek!”
“Makanya itu, bantuin pecahin masalahnya
kenapa?! Lo jangan ribut sama tuh sandal! Entar kalau
mahkotanya nggak jadi gimana? Kita bakalan pakai jepit
biasa? Atau cuma menghias dengan model rambut?!
Nggak etis man!”
“Lo punya ide nggak, Fel?” tanya Riska setelah
muak mendengar ocehan kedua teman laki-lakinya. Felly
hanya terdiam. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri.
Menerawang entah ke mana. Namun, Bram
menyadarkannya dengan getakan dan juga sentuhan
senggol ke lengan Felly yang tengah bersedekap di
depan dadanya.
“Lo kenapa, hah?” tanya Bram. Felly menoleh.
Lalu, menggeleng.
“Butik mama lo, kira-kira ada nggak, Fel?” tanya
Billy. Felly hanya mengangkat bahunya. Ia tetap
memandang benda mentah yang belum jadi yang ada di
depannya dengan pikiran yang serius.
“Mungkin ada. Tapi, tidak bulu yang hewan.
Melainkan, bulu baju yang biasa digunakan oleh orang
luar saat musim dingin selain jaket dan sarung tangan.”
“Bukan, Fel. Gue butuh yang hewan.”
“Rok rame dengan remblehan gaun belakang,”
gumam Felly mengelus dagunya frustasi.
“Mahkotanya, kita ganti gimana?” tanya Billy.
“Jangan, gue akan usahakan cari bulunya!” ucap
Felly meninggalkan mereka dan kembali berkutat
dengan pekerjaannya.
“Oh, ya Bil! Buatin kalungnya yah…” lanjut
Felly setelah ia mengingat sesuatu yang kurang.
“Kalung tempel?”
“Yah.. kreasikan sendiri dengan burci lo dan juga
bunga yang gue buat.”
Billy pun menghempaskan tubuhnya ke kursi
kerjanya. Mendengus napas beratnya dan mengacak
rambutnya frustasi. Bram dan Riska tertawa tertahan
melihat tingkah Billy. Sedangkan, Felly tenggelam
dalam imajinasi pikirannya. 5 jam mereka mengerjakan
designnya. Saat jam pulang, Felly masih menyegel
teman-temannya untuk mengerjakan tugasnya. Banyak
beberapa bagian yang sedikit dirubah. Kebiasaan Felly.
Kerja keras tanpa mengenal waktu. Terkadang, Felly
membiarkan temannya kelaparan di jam makan mereka.
Dan hal tersebut berlalu selama 5 hari. Hingga akhirnya,
saat sentuhan terakhir hampir selesai, mereka dikagetkan
oleh kabar yang telah didengar oleh Bram. Yah..
temanya adalah fauna dan flora. Mereka tidak
memberikan sentuhan tentang itu.
Mereka hanya menggunakan bahan fauna. Bukan
seperti fauna. Mengubah mahkota mereka? Tidak
mungkin. Waktu mengerjakannya akan lama jika
menginginkan hasil yang sempurna. Mereka semua
kalang kabut dengan kabar itu. Wajah cemas dan
bingung merayap di wajah mereka. Akan tetapi, Felly
bersikap tenang dan datar dengan pikiran yang begitu
serius. Seakan, pikirannya semakin memanas untuk
mencocokkan gaun dan perlengkapannya. Felly berjalan
ke arah meja besar. Meja yang biasa mereka gunakan
untuk menyusun sketsa. Dan… di sanalah ide Felly
muncul. Sayap. Yah.. sayap elang yang terbuka lebar.
Dengan warna cokelat yang berpadu putih. Kemucing.
Yah.. itulah bahan dasarnya.
Bram pun mulai menggambarnya dengan tangan
grafitinya. Sedangkan Billy, ke luar membeli bahan yang
dibutuhkan. Riska dan Felly membantu Bram untuk
mewujudkan hal tersebut. Bulu mahkota. Sampai
sekarang, mereka belum menemukan bulu tersebut.
Mereka terus berpikir tentang bulu itu. Hingga akhirnya,
mereka menemukan solusinya. Yah… mereka
menggunakan bahan kemucing. Mencelupkannya dalam
cat, mengeringkannya satu per satu. Kerena, mereka
berpikir. Apabila mereka menggunakan bulu yang sama
dengan sayapnya, gaun tersebut akan bernuansa mati
karena warna yang sama. Sedangkan, gaun yang akan
digunakan oleh sang model berwarna color full.
Bagaimana tidak, hal tersebut memiliki kendala
tersendiri bagi mereka. Sehingga, mereka harus bekerja
lebih ekstra dari sebelumnya.
Banyak desainer lain yang menertawakan mereka
kerena terlihat kuno saat melihat sematan batiknya. Akan
tetapi, mereka belum melihat keseluruhan gaun ciptaan
mereka. Felly bersumpah akan kemenangannya.
Baginya, gaun ini adalah gaun inovasi pertama bagi
Felly. Dalam artian, untuk pertama kalinya Felly
menciptakan gaun dari sampah.
Dua hari telah mereka lalui dengan kerja super
gila. Hingga tiba saatnya, Larissa berdiri di atas
panggung dengan busana paling berbeda. Dengan
sentuhan make-up yang membuat matanya tajam serta
lipstik merah dengan polesan bentuk di bibirnya,
menambah seksi bibirnya. Jalan lurusnya, tegakan
dagunya, serta goyangan berbaliknya sama dengan yang
Felly ajarkan tanpa ada kesalahan dan merusak pesona
ekor gaunnya.
Kalung tempel yang dibuat oleh Billy dengan
bahan dasar kain perca dan juga sedikit sentuhan pernak-
perniknya, membuat segalanya terlihat sempurna. Saat
Larissa telah menampilkan show gaun mereka,
pengumuman akan gaun terbaik terlontar. Terdengar
jantung mereka berdegup kencang. Berteriak dengan rasa
takut dan cemas. Begitu pun dengan Larissa. Copot!!!
Jantung mereka terasa copot saat Felly membelalakkan
matanya. Kaget dan teguncang saat mahkota
penghargaan beserta dengan piala dan bingkisan bunga
berada dalam genggamannya. Billy dan Bram menghela
napas lega. Sedangkan Riska berteriak gembira dengan
memeluk Felly histeris. Mereka merayakan kemenangan
ini. Inovasi terbaru untuk tim mereka.
Setelah mereka turun dari panggung, mereka
menerima wawancara dari beberapa media sosial yang
berebut untuk mendapat jawaban dari Felly tentang
batik. Mulai dari kenapa? Mengapa? Bagaimana? Dan
dari mana Felly mendapatkan ide batik yang terkesan
kuno berubah menjadi glamour saat berada di tangan
Felly. Felly hanya menjawab bahwa ia ingin
mempertahankan warisan budaya negaranya. Serta,
melaksanakan pesan papanya yang telah meninggal.
“Jagalah negaramu, dan di sanalah kau menjaga
hidupmu. Negaramu adalah napasmu. Negaramu, adalah
nyawamu. Dan negaramu adalah cintamu.”
Saat sesi wawancara telah selesai, Felly tengah
ditunggu oleh seseorang di ruang sesi pertemuan.
Mereka mendapatkan tawaran untuk desainer butiknya di
luar negeri. Bahkan orang itu nekat memberikan
kehidupan layak di sana bila Felly mau menerima
tawaran mereka untuk pergi ke luar negeri setelah lulus
SMA. Felly mendiskusikan dengan timnya. Dan, ia
memutuskan untuk pergi bersama-sama dengan teman-
temannya. Dengan syarat, orang itu harus mau menerima
design Felly yang selalu tersemat batik di dalamnya
tanpa menghilangkan warisan budayanya. Orang itu
setuju dan menandatangani kontrak kerjanya dengan
Felly yang berniat untuk mengenalkan batik pada dunia
dan menunjukkan keelokan negara Indonesia dengan
baju rancangannya.

***
Badai Yang Reda
Karya : Clara Ananda Prasetya BR Siahaan

Puluhan layang-layang yang berada di atas


kepalaku terlihat seperti rangkaian burung yang sedang
bermigrasi. Angin pantai yang berhembus kencang
membuat mereka terbang lebih jauh dan tinggi, tapi tetap
di bawah kendali kekangan tali kenur. Aku ingin seperti
layang-layang. Walau beberapa orang yang kukenal
mengatakan, hidup seperti layang-layang tidak
sepenuhnya bebas. Sekilas terlihat bebas, tapi sebuah tali
tipis namun kuat mengaturnya.
Tapi aku tetap ingin menjadi layang-layang yang terbang
tinggi di langit Pangandaran yang cerah ini.
Aku melihat sekeliling, pertengahan bulan Juli memang
puncak liburan di mana-mana. Banyak wisatawan asing
yang sedang bermain di Pantai Selatan ini. Entah itu
bermain layang-layang atau hanya sekadar duduk-duduk
menikmati pemandangan Pantai Pangandaran yang cerah
ini. Aku sendiri sedang duduk di depan kios Uwak Imas
yang berjualan pakaian. Bau amis khas laut (dan juga
karena pabrik ikan asin yang tidak jauh dari tempatku
sekarang) sudah menjadi udara sehari-hari yang kuhirup.
Sinar matahari yang terik menyentuh kulitku dengan
ganas, tapi aku tetap bertahan duduk di luar kios.
Pasalnya, Uwak Imas tengah sibuk melayani turis asing
yang ingin membeli dagangannya. Aku tidak mau
masuk, karena pasti Uwak Imas akan menyuruhku untuk
melayani turis-turis itu, walaupun dia tahu kalau aku
hanya bisa “yes” dan “no”.
Ketika aku mengalihkan pandangan dari layang-layang,
aku melihat Bapak dan tiga orang lainnya berada di bibir
pantai, bersiap untuk berlayar. Seingatku, Bapak sudah
berlayar tadi malam, dan baru kembali tadi subuh.
Kenapa sekarang mereka siap-siap ingin berlayar lagi?
Apa tiba-tiba radar di kapal milik Haji Miun menangkap
segerombolan ikan tuna di tengah laut sana? Eiy ... itu
pemikiran bodoh! Satu-satunya alat canggih yang
mereka gunakan adalah naluri nelayan mereka yang
sudah berpuluh-puluh tahun lamanya.
Kakiku bergerak ke arah mereka. Angin berhembus
sangat keras di telingaku. Dibesarkan di pesisir pantai
membuat aku memiliki ketakutan yang berbeda dari
orang lain. Di saat orang lain ketakutan melihat
keluarganya terombang-ambing ombak, aku merasakan
hal yang jauh daripada itu. Aku takut membenci laut.
Aku takut jika laut yang selama ini kuanggap teman,
berbalik menjadi musuhku dan melenyapkan segala yang
kucintai.
Bagiku laut adalah rumah, dan rumahku adalah laut.
Saat aku sudah berada dekat dengan bibir pantai, Bapak
melambai padaku sambil tersenyum. Kulitnya hitam
karena terbakar matahari, rambutnya sudah memudar—
bukan karena uban tapi karena sering terkena air laut.
Bapakku masih terlihat segar, meski wajahnya sudah
dipenuhi keriput. Mata Bapak yang berwarna hitam
pekat tampak bercahaya saat melihatku, seperti air laut
yang memantulkan sinar matahari. Aku selalu suka
Bapak yang tersenyum seperti itu, tapi entah kenapa
kakiku bergetar melihat Beliau sekarang.
“Bapak  bade ka laut deui (Bapak mau ngelaut lagi)?”
Bapak meletakkan jaring yang baru selesai ia rapikan ke
dalam perahu. “Sanes,  Jang. Iyeu Pak Sudir ngajak
museup, mempeung cuacana sae (enggak, Jang. Ini Pak
Sudir ngajak mancing, mumpung cerah katanya).”
“Ujang bade ngiring moal (Ujang mau ikut juga)?”
Sejenak aku ragu dengan ajakan Pak Sudir itu. Tidak,
bukannya aku takut laut, hanya saja... seperti ada yang
mengganjal di hatiku. Jujur saja, perasaan seperti ini
sudah sangat sering kurasakan—terutama saat melihat
Bapak pergi berlayar tengah malam. Tapi tetap saja aku
merasa asing dengan rasa takut ini. Seperti perahu di
tengah badai, di tengah laut.
“Ah... atos wae, atuh maneh jaga kios Uwak bae
lah (udah, kamu jagain kios Uwak-mu sana).”
Aku tidak bisa menjawab kata-kata terakhir Bapak
sebelum Beliau naik ke atas perahu dan berlayar bersama
tiga orang pria lainnya. Rasanya... sama seperti melihat
Ibu meninggalkan rumah di hari itu. Umurku saat itu
sudah menginjak dua belas tahun, cukup mengerti
tentang situasi macam itu. Dan sejak saat itu aku tidak
pernah menangis lagi untuk Ibu, karena air mata ini tidak
cukup untuk membawanya kembali.
Tapi, apakah aku harus menangis hari ini? Untuk
membuat perahu yang ditumpangi Bapak berbalik lagi?
Konyol! Harusnya aku ingat, umurku sudah menginjak
tujuh belas tahun.
Aku tidak meninggalkan bibir pantai dan terus menatap
perahu Bapak yang sudah tidak terlihat mata. Sesekali
ombak menerpa kakiku. Tidak peduli dengan sinar
menyengat matahari Pantai Selatan dan turis-turis yang
masih memadati sisi pantai sebelah sana, aku tetap
duduk di atas bebatuan. Sesekali mataku menangkap
keluarga yang asik bermain air atau hanya duduk-duduk
di atas pasir. Aku mungkin sama seperti mereka jika
tidak dibesarkan di laut—menganggap laut sebagai
tempat menyenangkan. Tapi aku tidak bisa tertawa
seperti itu, sekalipun aku menganggap laut adalah rumah
dan temanku. Laut menyimpan banyak ketakutan dan
kekhawatiran.
Aku menutup mata, berdoa sambil merasakan angin
menerpa tubuhku dan ombak yang terus membasahi
kakiku. Kumohon... kali ini pun, jaga Bapak.
Hari semakin sore, matahari pun sudah tidak seterik
sebelumnya. Meski kekhawatiran itu masih ada, aku
beranjak dari bebatuan dan kembali ke kios Uwak Imas.
Begitu aku sampai di sana, Uwak Imas langsung
menyambutku dengan semprotan mulut bawelnya. Aku
hanya nyengir, tidak mau melawan sekaligus menutupi
kekhawatiranku. Aku baru akan merasa lega kalau sudah
melihat Bapak kembali.
Karena sudah tidak ada lagi orang bule yang mendatangi
kios Uwak, hanya turis domestik, aku pun mulai
membantunya di kios. Aku hampir melempar uang koin
lima ratusan ke wajah pembeli yang baru selesai
membayar ini saat suara Uwak Imas tiba-tiba memekik
keras di depan kios. Aku dan pembeli itu pun melihat ke
arah luar, dan kemudian menghampiri Uwak Imas.
Ternyata Uwak Imas tidak sendiri, ada Bi Iyah dan
Mang Satya—penjual pakaian lainnya sekaligus
tetanggaku—juga.
“Suara naon eta? Saumur hirup nembe ngadangu sora
ombak sepertos kitu (suara apa itu? seumur hidup baru
dengar suara ombak seperti itu).”
Ucapan Uwak Imas ditanggapi dua orang lainnya dengan
heboh. Aku mengabaikan mereka dan memilih
memandangi pantai dari tempatku. Tadi di kios Uwak
suara radio dipasang keras-keras, jadi aku tidak bisa
mendengar jelas suara yang Uwak bilang. Benarkah
suara ombak sekeras itu?
Mataku memicing. Kios ini tidak jauh dari titik
keramaian pantai, oleh sebab itu Uwak tidak pernah sepi
pembeli. Keramaian di sana tidak jauh berbeda dari
beberapa saat lalu, saat aku duduk di atas bebatuan.
Suara teriakan bahagia terdengar sampai sini. Namun
beberapa detik kemudian, teriakan bahagia itu menjadi
pekikkan ketakutan.
“Allahu Akbar! Ombak! Ombak!”
Teriakan itu bersahut-sahutan. Gemuruh yang—mungkin
—hanya didengar Uwak Imas, kini aku bisa
mendengarnya juga. Orang-orang berlari ke arah kami.
Tidak, lebih tepatnya menjauh dari bibir pantai ke
tempat sejauh mungkin. Tapi aku tidak bisa bergerak
meski keadaan sangat kacau di sekitarku. Suaraku hanya
tertahan sampai tenggorokan, dan mataku hanya
bergerak ke atas, mengikuti gerakkan ombak di atas
kepalaku. Telingaku teredam. Seluruh tubuhku bergerak
mengikuti alur, terhempas. Nafasku terasa begitu perih,
dan itu menjulur ke semua bagian tubuhku.
“Bapak...”
Dengan sisa kekuatanku, aku berucap pada diri sendiri.
Di dalam kegelapan pandanganku.
Suara pedih mengelilingiku. Bagai asap pekat yang
menyesakkan dada, tidak mudah hilang meski aku
meniupnya terus menerus, tetap menyerang paru-paru,
serapat apapun aku menutup hidung. Suara orang-orang
bersahutan, saling berteriak. Seolah waktu terus
mengejar mereka tanpa lelah, mereka pun tidak berhenti
bergerak.
Dalam kericuhan itu, kulihat sosok ringkih yang
kusayangi berdiri dengan mata memerah di ujung sana.
Aku tahu Beliau menangis, tapi aku tidak bisa
mendengar suaranya. Kaos belel yang ia dapat dari
kampanye partai politik beberapa tahun yang lalu tampak
basah kuyup, begitu juga dengan celana kain hitamnya.
Ia meremas topi yang tadi siang ia kenakan.
Langit malam di belakangnya, seperti latar belakang
yang menggambarkan kehampaannya. Dan aku hanya
bisa berdiri di sini, tanpa bisa mengucapkan kata atau
bahkan menggerakan kaki untuk mendekatinya. Kakinya
yang gemetar, perlahan menekuk, berjongkok di depan
sosok kurus yang terbujur kaku. Lalu, seluruh tubuhnya
bergetar, tanpa terkecuali. Bapak terus menunduk, tidak
mengucapkan apapun, dan lama kelamaan aku bisa
merasakan hujan membasahi tubuhku sangat deras,
seperti air mata Bapak yang tidak bisa berhenti.
Tangannya menggapai-gapai sesuatu dengan isak tangis
pilunya memenuhi paru-paru.
Seseorang datang setelahnya, berusaha menghentikan
Bapak yang seperti rela berbaring di sana untuk
menemani sosok itu. Sekuat apapun Bapak berteriak,
semua tidak akan kembali. Dan bodohnya, aku hanya
bisa berdiri di sini.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Hanya membiarkan mereka menutup kantong kuning
yang membungkus tubuhku, menyisakan tangis pedih
Bapak di antara huru-hara yang terjadi di sana.
Kegelapan itu pun berubah menjadi cahaya terang.
Berjalan menuju cahaya menyilaukan itu, sekali lagi aku
berharap. Laut, kumohon kali ini—tidak, maksudku
selamanya—jaga Bapak.

***
Oli Nmax
Karya : Muh. Anugerah Assidiq

Siang hari waktunya pulang sekolah, Aku pun


keluar kelas untuk menaiki kuda besi nmax ku.
Saat perjalanan pulang aku bersinggah sebentar
ke toko untuk membeli minuman karena terik matahari
sangat panas.
Selesai aku singgah disana aku pun langsung
melanjut perjalanan kerumah.Sampai ku dirumah aku
pun langsung ganti baju dan makan.
Setelah itu aku pun langsung tidur, Aku
terbangun dan langsung mengecek hp ku membuka
Whatsapp Mengecek grup.
Tak lama itu aku pun bermain game sampai jam
00.10 Setelah itu aku pun melanjutkan tidurku.
Malam pun berlalu aku terbangun dari mimpi
indah ku.
Aku pun mandi, Setelah mandi aku memakan
sarapan Ku Sambil Memikirkan Kapan Aku Bisa
mengganti Oli kuda besi Nmax Ku.
Aku pun berangkat sekolah menggunakan kuda
besi Nmax Ku.
Guru jam pelajaran pertama pun masuk dan aku
pun mempersiapkan buku dari pelajaran guru tersebut.
Jam Pelajaran Pertama Selesai Aku Pun
Langsung Ke Wc Karena Sudah Kebelet Ingin Buang air
Kecil.
Selesai buang air kecil aku mendatangi anak
tangga dan duduk disana bersama teman ku sambil
menunggu guru jam pelajaran ke dua datang.
Guru Kedua Pun Datang Aku Dan teman ku
memasuki kelas, Aku Menyiapkan Buku Biologi dan
Gurunya pun membahas tentang sel sel darah manusia.
Jam Pelajaran Kedua pun selesai aku dan teman
ku langsung mendatangi Kantin dan koperasi untuk
membeli makanan.
Sampai di kantin aku sempat bingung mau
membeli makanan apa karena sangat banyak makanan
yang enak.
Aku pun memutuskan untuk membeli nasi
goreng yang berharga 5.000 rupiah dan 1 minuman
lemineral seharga 4.000 rupiah.
Aku Dan Teman ku pun ke kelas untuk makan
makanan yang sudah kami beli. Setelah Kami Makan
Kami Pun Membersihkan sisa sisa makanan yang tadi
kami makan.
Guru Jam Pelajaran Ketiga Pun Masuk Aku
Langsung mengeluarkan Buku Dari Pelajaran Guru
Tersebut .
Selesai jam pelajaran ketiga itu waktunya
istirahat kedua. aku dan teman – teman ku pun bersiap-
siap untuk melaksanakan sholat dzuhur di musholah.
Selesai sholat aku pun langsung ke koperasi
untuk membeli minuman dan beberapa ciki ciki karena
sangat haus dan sedikit rasa lapar.
Aku pun mendatangi anak tangga dan duduk –
duduk disana untuk memakan ciki ciki ku bersama
teman teman.
Sambil menunggu guru jam mata pelajaran ke
empat kami sempat bercerita tentang siapa saja yang
mau datang nanti sore untuk bermain futsal di lapangan
hotel fatma.
Baru sedikit bercerita guru ke empat pun datang
dan kami pun langsung masuk ke dalam kelas.
Bel pulang sekolah pun berbunyi waktunya
pulang sekolah tiba. Aku pun dengan spontan
mendatangi kuda besi ku .
Aku keluar melalui pintu gerbang dan jalan jalan
ke timbau ke bukit biru dan jalan pesut aku pun melewati
sma 2 tenggarong dan sempat bertemu teman ku di
lampu merah pertama di pesut.
Kami pun pulang bersama. Kami mampir
sebentar di pak lek penjual macam macam makanan siap
saji di depan universitas.
Setelah kami selesai makan kami pun
melanjutkan perjalanan pulang. Pas perjalanan kami
melewati jembatan.
Sesampai kami dirumah masing masing aku pun
langsung menyalakan laptop ku dan membuka youtube
untuk mendegarkan lagu.
Aku pun membuka handphone ku untuk bermain
sosmed sebentar dan memaikan game untuk bersenang
senang
Waktu menunjukkan pukul 14.37 aku pun lapar,
mencoba membuka tudung saji ternyata tidak ada isinya
aku pun dengan kuda besi nmax ku yang belum ku cuci.
Akhirnya Aku Menemukan Penjual Pentol Di
Depan Gang Bougenvill. Aku Pun Memesan Pentol
Yang Seharga 2.000 Beli 10.
Tidak lupa pula membeli es teh. Selesai aku
makan pentol dan minum es aku pun mencoba jalan ke
timbau.
Pas perjalananku ketimbau aku melihat motor
ninja zx25r yang dimana motor itu sangat bagus dan
mempunyai suara knalpot yang sangat merdu.
Tapi aku tidak lupa juga kuda besi nmax ku juga
bagus suaranya juga halus. aku pun berjalan pulang.
aku pun masuk rumah melihat jam dikamar ku
menunjukkan pukul 15.14 aku pun bersiap siap untuk
bermain futsal bersama teman teman ku
Aku pun berangkat menaiki kuda besi nmax ku
dan berpamitan kepada ibuku. pas perjalanan pergi hotel
farma aku sempat melihat batang bensin nmax ku sisa 2
batang.
Aku pun mampir sebentar ke pom bensin di pesut
untuk mengisi bensin nmax ku
Aku pun membeli bensin pertalite tetapi harus
mengantri dengan sabar karena antrian di pertalite sangat
panjang dan cepat habis.
Selesai ku bensin aku langsung pergi ke hotel
fatma untuk bermain futsal bersama teman teman ku.
Ku lihat jam di motor nmax ku disitu
menunjukkan waktu 15.40, aku teringat kalau jam
dimotor dan jam dirumah berbeda sekitar 5-7 menit aku
pun memperkirakan kalau aku datang dilapangan sampai
di jam 16.00 kurang lebih nya.
Sampai ku di hotel fatma aku pun langsung
melewati jalan turunan disana. Tiba ku dilapangan aku
pun langsung menggantikan posisi kiper team ku.
Selesai kami main futsal kami pun pulang semua.
Aku pun pulang memlalui timbau dan mampir di pak lek
pentol di timbau.
Pas perjalanan sampai dirumah aku bertemu adik
kecil ku. Dan ku ajak lah adik kecil ku ini berjalan jalan
naik motor sebentar keliling taman.
Sampaiku dirumah selesai ku ajak jalan jalan
adik kecilku aku pun menghilangkan keringatku dan
mandi sore.
Selesai mandi aku membuka hp dan membaca
info di grup whatsapp. Tak lama aku pun bermain game.
Suara mengaji di langgar pun berbunyi aku pun
bersiap siap untuk sholat di langgar.
Aku pun mengechat teman ku untuk
menjemputku sholat magrib di langgar.
Adzan pun berkumandang teman ku pun datang
untuk menjemputku sholat magrib,
Setiba kami di langgar miftahul jannah di dekat
rumah kami pun berwudhu untuk membersihkan hadas
kecil.
Selesai kami wudhu kami pun sholat. Selesai
kami sholat kami pun bercerita di depan teras langgar
bersama teman teman ku.
Selesai kami bercerita kami pun sempat jalan
jalan sambil menunggu waktu sholat isya. Kami pun
jalan melalui kampung baru dan loa ipuh.
Tak lama suara adzan pun terdengar kami pun
kembali kelanggar miftahul jannah , sesampai kami
disana ternyata kami lambat 1 rakaat.
Kami pun secepatnya berwudhu dan masuk
sholat. Selesai kami sholat kami pun bercerita sebentar
dan pulang kerumah.
Setelah pulang dari langgar aku pun membuka hp
dan bermain game. Tak lama itu aku pun menyalakan ac
dikamar agar jika aku tidur ruangan dingin.
Selesai main game aku pun makan. Selesai
makan aku pun masuk ke kamar dan bermain laptop.
Selesai bermain laptop aku pun memyiap buku
untuk pelajaran besok. Setelah itu aku pun tidur.
Bangun dari mimpi ku yang indah aku pun
langsung sholat shubuh. Selesai sholat shubuh aku
menyempatkan bermain hp sebentar.
Selesai bermain hp aku pun mandi. Selesai mandi
aku pun sarapan dan meminta uang jajan dari ibuku.
Tak lupa aku menanyakan kapan ganti oli motor.
“ Bu kapan ganti oli motor. Itu motor nya kalau mau
jalan tersendat- sendat “ ucapku.
“itu buku nmax nya di bawa nanti kalau ganti oli
ada yang di robek kertasnya” kata ibuku.
Aku pun berangkat sekolah. Aku pun memarkir
motor di dalam sekolah tepatnya di lapangan.
Setelah pulang sekolah aku pun langsung pergi
ke bengkel yamaha di timbau untuk mengganti oli kuda
besi nmax ku.
Tiba ku di bengkel yamaha aku pun langsung
memberi kertas dan bilang kepada mbak mbak yang
menjaga disana.
“mba ganti oli nmax” kataku. “Datang mas mas
yang mengganti oli kuda besi nmax ku . ganti ” berapa
mas 1 atau 2 “kata mas mas. Karena aku melihat uang
ku kurang jadi aku hanya mengganti 1 oli saja , “ ganti 1
saja mas “ kataku.
Setelah di ganti olinya aku pun melihat kertas
yang dirobek oleh mbak mbak. Ternyata yang dilihat
adalah setiap kilometernya ada gratis service .
Ternyata dulu kalau kilometernya 1000 bisa ganti
oli dan jasa servicenya gratis . Coba saja dulu aku tahu
itu aku pasti datang ganti oli.
Tapi kata ibuku setiap 3 bulan sekali ganti
olinya . Dan selesai di ganti oli kuda besi ku mbaknya
bilang “ kalau kilometernya sudah 4000 ganti oli lagi”
kata mbaknya.
Aku pun langsung pulang mengendarai nmax ku
yang sudah diganti olinya. Aku pun bertemu ibuku dan
bilang “ bu itu ganti olinya 79.000 cuman servicenya
saja gratis”k kataku
Ibuku pun kaget dan bilang “ loh itu kan gratis
ganti olinya” kata ibuku. “engga itu kalau yang 1000
baru gratis oli sama servicenya “kataku.
“sekarang sudah berapa kilometernya “kata
ibuku. “sekarang sudah 3791 kilometernya “kataku .
Ibuku pun terkejut.
“yasudah kan itu olinya sudah di ganti “ucap
ibuku”. “ya” ucapku dan masuk kekamar.
Pada cerpen "Oli Nmax", seorang anak Laki Laki
bernama Nugrah Bercerita tentang Motor Nmaxnya .
Sepanjang cerpen, diceritakan bagaimana kehidupan nya
Menjaga Motornya dengan banyak rintangan . Dari hasil
pengamatan serta yang dialaminya, Nugrah menuliskan
kesimpulan, pada karangannya, bahwa Dia Harus
Sering2 Mengganti Oli Dan Membershikan Motornya
Agar Tetap Bersih Dan Nyaman Digunakan.

***
Pertemanan Yang Sesungguhnya
Karya : Priscila Jema Graic

Ada seorang anak yang bernama Lala. Lala


anaknya baik,ceriah dan sangat cantik. Tetapi entah
kenapa Lala akhir-akhir ini jarang tersenyum.
Lala sekarang anaknya terlihat sangat sedih
setiap hari gak tau kenapa,tapi untungnya Lala
mempunyai teman yg bernama Katlyn, Katlyn adalah
teman sekelasnya yang baik banget sama Lala bukan
cuma baik Katlyn juga cantik.
Karena Katlyn melihat Lala terlihat sangat sedih
akhir-akhir ini Katlyn pun bertanya kepada Lala.
Katlyn"Lala kmu kenapa akhir-akhir ini terlihat
sangat sedih apa kamu ada masalah.
Lala "Aku tidak kenapa-kenapa aku baik-baik
saja kok Katlyn.
Katlyn "Kamu berbohong Lala soalnya kamu
anak yang ceriah tapi entah kenapa kamu akhir-akhir ini
terlihat sedih dan jarang tersenyum.
Lala "Hehe aku gak kenapa-kenapa Katlyn udah
kamu jangan kepo yah sama aku. Katlyn" Lala......
Lala pun meninggalkan Katlyn sendirian.
Dimana ada suatu momen yang bikin Katlyn sangat
mengkhawatirkan Lala.
Karena pada saat itu Lala tidak turun untuk
bersekolah padahal Katlyn sudah menunggu Lala untuk
bermain bareng.
Dan keesokan harinya, Lala terlambat. Dan
Katlyn menanyakan kenapa Katlyn tidak bersekolah
kemarin dan kenapa hari ini dia terlambat.
Katlyn"Lala kenapa kmu tidak bersekolah
kemarin terus kenapa juga kamu tadi terlambat padahal
aku ada gosip yang bagus.
Lala pun hanya terdiam melihat Katlyn berbicara
dan meninggalkan Katlyn.
Dan Lala pun tidak mau mengatakan apa-apa
kepada guru atau teman-temannya kenapa dia tidak
bersekolah dan terlambat.
Kini dia hanya diam sepanjang hari di kelas dan
tidak mau berbicara.
Setelah kelas selesai, dia kembali ke rumahnya
dengan tergesa-gesa.
Dan di saat itu Katlyn mempunyai kesempatan
untuk mengikuti Lala Karena Katlyn sangat kepo kenapa
Lala berubah akhir-akhir ini.
Dan saat itu lah Katlyn memutuskan untuk
mengikutinya sehingga dia tahu apa masalahnya.
Setelah Katlyn menemukan Lala dan mengetahui
masalahnya,Katlyn sangat kaget.
Dia melihat Lala duduk tak berdaya di kuburan.
Katlyn mendekati Lala,dia melihat bahwa Lala menangis
di samping makam Adiknya,Lala masih terpukul atas
meninggalnya adiknya maka karena itu lah Lala sangat
sedih.
Katlyn pun juga sangat sedih melihatnya. Dan
Katlyn mencoba mendekati Lala dan duduk di samping
Lala dan memeluknya.
Dan Katlyn pun berkata kepada Lala "bahwa
semuanya akan baik-baik saja karna ada aku yang akan
selalu ada bersama kamu".
Dan Lala pun menjawab "baik Katlyn
terimakasih karna kamu sudah sangat baik sama aku".
Dan saat itu Katlyn meminta Lala untuk
menceritakan semua masalahnya dan tidak boleh
menyembunyikannya lagi.
Dan kini Lala pun sekarang kalau ada masalah
selalu menceritakannya ke Katlyn begitu juga dengan
Katlyn.
Dan setelah hari itu, mereka menjadi teman sejati
selamanya dan tidak ada lagi masalah yang akan mereka
sembunyikan.

***
Ibu
Karya : Nabila Maharani Putri

Sang surya bersinar terik di atas kepalaku.


Suasana panas nan kering membuat tubuhku tak henti-
hentinya mengeluarkan keringat. Kulirik sebentar jam di
tangan kiriku. Pukul 13.00. Berarti sudah hampir satu
jam lebih aku mencari adik laki-lakiku, tapi tak kunjung
kutemukan.
Ah, pasti dia pergi mengejar layang-layang lagi
sampai lupa waktu makan. Gerutuku
Adik laki-lakiku itu, Daffa sangat suka bermain
hingga lupa waktu. Pernah suatu ketika, dia pulang
sehabis magrib dengan pakaian bernoda lumpur. Saat
ditanyai dari mana, dia malah tersenyum polos
mengatakan ketiduran di kebun. Tidak tahu saja aksinya
membuatku dan ibu kerepotan mencarinya kemana-
mana.
Seluruh tubuhku tersiram cahaya matahari. Aku
bisa merasakan bajuku basah karena keringat.
Pandanganku sedikit buram dan tenggorokan sangat
kering. Sepertinya aku terlalu lama mencari Daffa
dibawah sinar mentari.
Kakiku kini mulai berjalan kembali ke arah
rumah. Aku akan mencari Daffa selepas istirahat
sebentar. Aku terus berjalan langkah demi langkah
hingga berhenti di sebuah rumah. Rumah kecil dengan
pohon mangga agak besar di halamannya. Meskipun
dibilang sederhana, nyatanya di rumah inilah aku
membangun kenangan hidupku suatu per satu.
Perlahan kubuka pintu kayu itu. Begitu masuk
aku langsung disambut oleh wangi harum masakan ibu
yang tercium di seluruh ruangan. Wangi penuh rempah
dengan sedikit bau cabai membuat perutku berteriak
kelaparan.
Dengan langkah senang aku berjalan riang ke
dapur. Bisa kulihat sosok wanita tua yang sedang
berkutat di depan kompor. Aku tersenyum dan berteriak.
"Ibu!"
Atas teriakanku ibu tersentak kaget. Dia
melihatku sembari mengusap dadanya. Hehe. Maafkan
anakmu yang suka jahil ini ya bu.
"Udah gausah ngagetin sono gih, cuci tangan abis
itu kita makan daging"
"Wah daging!"
Hanya dengan kata daging, mampu membuatku
berseru gembira. Aku hanya hidup bersama ibu dan
adikku. Sedangkan ayahku entah pergi kemana. Dia tak
pernah mengirim pesan, dia bahkan tidak pernah
mengirim uang untuk kebutuhan kami. Jadi wajar saja
jika kami berhemat demi menekan pengeluaran bulanan.
Bagi keluarga kami yang seperti ini, daging
menjadi makanan mewah yang jarang dikonsumsi.
Sudah terbayang lezatnya daging yang dicampur
rempah dan bumbu di mulutku. Dengan cepat aku berlari
ke kamar mandi untuk mencuci tangan. Aku ingin segera
memakan daging itu.
Aku begitu semangat memakan daging buatan
ibu. Daging dengan kuah penuh rasa rempah dan sayuran
membuatku melupakan sejenak hilangnya Daffa. Aku
makan begitu lahap, hingga tidak menyadari ekspresi
aneh ibuku saat dia melihatku makan.
Ugh. Aku berdahak kenyang. Daging buatan ibu
memang sangat enak. Meskipun teksturnya agak aneh
tapi, itu sangat enak.
Membayangkan daging lembut yang disatukan
dengan segala macam sayuran membuatku ingin makan
lagi. Apalagi saat ditambah nasi hangat dan sambal. Ah~
benar-benar kenikmatan dunia.
Sembari menunggu makanan-makanan itu
tercerna aku berpikir tentang Daffa. Tadi saat aku
bercerita Daffa hilang, ibu hanya menjawab tidak apa-
apa. Mungkin ibu sudah terbiasa dengan Daffa yang
suka kelayapan. Namun, tetap saja aku khawatir sebagai
kakaknya. Tidakkah ibu terlalu santai?
Memikirkan itu, aku kembali mengingat ingat
sosok ibu yang merupakan tulang punggung keluarga.
Aku mencintai ibu sebagai seorang anak. Dan aku
berniat untuk terus berbakti kepadanya tentu saja.
Bagaimanapun ibu adalah orang yang melahirkan dan
membesarkanku. Terlebih perjuangannya
memperjuangkan kehidupan kami bahkan dengan
mentalnya yang sedikit terganggu.
Akan tetapi, ada beberapa hal yang tidak kutahu
tentang ibu. Ibu kadang bekerja demi mendapat
penghasilan tapi aku tidak tahu ibu bekerja sebagai apa.
Selain itu jika berkaitan dengan keanehan ibu, aku
teringat saat aku tidak sengaja memergoki ibu
melakukan sesuatu yang aneh di dekat pohon mangga.
Seperti menabur bunga di sekeliling pohon pada malam-
malam tertentu.
Dan yang lebih mengherankan lagi ada satu
ruangan di rumah yang sangat dilarang oleh ibu untuk
dimasuki. Ruangan itu terletak paling pojok rumah.
Ruangan dengan wangi bunga yang pekat dan tidak
boleh dimasuki oleh siapapun selain ibu.
Rasa penasaranku selalu membuncah ketika
memikirkan ruangan ini. Ibu yang menabur bunga
dibawah pohon dan ibu yang tidak membiarkan siapapun
masuk ke sebuah ruangan sangat mencurigakan. Jika ini
dihubungkan, mungkin ada satu hal yang bisa terbesit.

Pesugihan.
Tapi aku tak ingin berburuk sangka. Tidak
mungkin ibu bisa melakukan itu. Apalagi ibu merupakan
orang yang cukup ketat dalam normal agama. Tapi...
tidak menutup kemungkinan ibu akan melakukan itu...
kan?
Aku terdiam. Semakin aku memikirkannya
semakin aku penasaran. Bagai anak kecil yang penasaran
dengan sesuatu yang baru, akupun tertarik dengan
rahasia yang disimpan ibu. Jika tidak salah, ibu pergi
beberapa waktu lalu kan? Kalau begitu aku bisa dengan
mudah melihat isi ruangan itu!
Seolah mendapatkan ide cemerlang aku segera
bergegas menuju ruangan itu. Dengan pelan-pelan aku
memperhatikan sekitar. Ibu sepertinya tidak akan
kembali dalam waktu dekat. Menguatkan tekadku
sebentar, aku lantas membuka pintu sedikit demi sedikit.

Kriettt...

Begitu pintu terbuka, hanya ada kegelapan yang bisa


terlihat. Ruangan itu begitu gelap tanpa ada yang bisa
terlihat jelas. Wallpaper hitam yang dipasang membuat
cahaya semakin susah masuk kesini.
Jantungku berdegup kencang. Kembali kekuatan
niatku untuk masuk kesini. Perlahan aku masuk. Saat
baru mengambil beberapa langkah, aku merasa kakiku
menginjak sesuatu. Aku sedikit berjongkok melihat apa
yang kuinjak. Disaat yang sama aku terkejut.
Benda yang kuinjak adalah kereta mainan milik
Daffa. Tapi mengapa kereta itu berlumuran tinta merah?
Tinta merah lengket ini seperti... darah.
Seketika tubuhku terdiam kaku. Baru saat aku
menyadarinya, samar-samar tercium bau amis darah dan
bau busuk bangkai bertebangan di udara, menggelitik
hidungku.
Mungkinkah?!
Aku dengan panik berlari ke tembok, mencari
sakelar lampu. Begitu lampu dinyalakan, tubuhku
semakin membeku kaku. Ruangan ini tidak sepenuhnya
hitam. Wallpapernya bercampur dengan darah merah tua
kering.
Terlebih potongan daging kecil berserakan di
lantai. Aku bisa melihat sesuatu yang mirip dengan
tubuh manusia di ember dekat meja. Belum lagi
potongan yang berbentuk seperti tangan anak kecil yang
terdapat di samping ember itu. Aku mundur selangkah.
Seluruh tubuhku menjerit, berkata aku harus keluar dari
ruangan ini secepatnya! Tapi kakiku terpaku masih syok
dengan pemandangan yang kulihat.
Pemandangan ini sangat menakutkan sekaligus
menjijikan. Tanpa bisa dikontrol tubuhku gemetaran. Air
mata juga mulai mengenang di sudut mataku. Dalam
penglihatan yang kabur aku bisa melihat dari sudut
ruangan baju yang tadi pagi dikenakan Daffa. Baju
berwarna biru dengan karakter kartun di depannya kini
telah sobek menjadi dua. Sama seperti kereta mainannya,
baju itu juga terkena cipratan darah. Aku semakin
menangis. Daffa tidak hilang. Dia-

Krieett.

Tubuhku yang semula bergetar tiba-tiba membeku ketika


mendengar suara pintu yang tertutup. Hanya ada satu
orang yang bisa keluar masuk ke ruangan ini dengan
mudah. Ibu. Mengetahui siapa yang masuk membuatku
kembali bergetar ketakutan. Ibu pasti sangat marah saat
tahu aku menyelinap masuk ke sini tanpa seizinnya.
Dengan tubuh gemetar aku berbalik perlahan.
Dibelakang ibu tidak marah seperti yang kukira. Ibu
hanya tersenyum lebar. Sangat lebar hingga kupikir
bibirnya hampir robek.
"Ibu!A-aku-!"
Belum sempat kuselesaikan kalimatku, ibu perlahan
berjalan ke depanku. Dia kemudian berbisik di telingaku.
Suara lembutnya mengalun indah bagai alunan musik ke
dalam pendengaranku, berbeda dengan isinya yang
sangat tidak terduga.
"Daffa masih hidup. Buktinya dia ada di perut kamu
kok."
Apa? Aku terdiam berusaha mencerna maksud
ibu. Daffa ada di dalam perutku? Apa maksudnya?
Seakan mengetahui aku yang tengah dilanda
kebingungan ibu kembali berucap.
"Daging tadi enak kan?"
Baru saat itulah aku menyadari maksud ibu.
Daging yang kumakan, daging dengan tekstur yang
berbeda dari daging ayam atau sapi. Itu bukan daging
hewan. Itu daging-manusia.
Segera setelah menyadarinya, aku langsung
berjongkok mengeluarkan semua isi perutku. Rasa mual
yang sedari tadi kurasakan dan perkataan ibu membuatku
memuntahkan makanan yang kumakan tadi. Aku terus
memuntahkan isi lambungku sampai mataku berair.
Di muntahan itu masih terlihat daging sisa yang
belum sempat tercerna. Aku berjongkok menangis dan
terus merasa mual. Aku memakan daging adikku sendiri.
Aku ingin percaya ini hanya bunga tidur semata dan
bukan kenyataan. Akan tetapi seakan menertawakanku,
bau darah terus menerus menari riang di sekitarku
menusuk indra penciumanku.
Air mataku kembali mengalir bebas. Aku ingin
merobek perutku sendiri, aku ingin berpura-pura tidak
tahu apa yang terjadi! Aku ingin kehidupanku yang
damai kembali! Aku terus menangis sampai sebuah
tangan menepuk pundakku.
Aku lupa. Karena terlalu sibuk menyangkal
kenyataan aku sampai lupa bahwa aku tidak sendirian di
ruangan ini. Aku mendongak melihat wajah ibuku.
Wajah lembut itu masih sama dengan ibu yang kukenal
tapi disaat yang sama wajah ibu terlihat asing. Bibirnya
yang sentiasa tersenyum terbuka mengucapkan kata-
kata. Kata-katanya terdengar seperti perintah hukuman
atas kenakalanku.
"Kamu sayang banget sama Daffa kan? Mau ibu
bantu buat ketemu dia?"

***
BIODATA PENULIS

Nama : Clara Ananda Prasetya B.R.S


TTL : 28 July 2005
Hobi : Climbing

Nama : Ayesha Namira Mazaya


TTL : 03 Februari 2006
Hobi : Berenang

Nama : Zahra Ramadani


TTL : 19 Oktober 2006
Hobi : Menari
Nama : M. Wibhy Adhilla D.
TTL : 30 November 2006
Hobi : Main Bola

Nama : Chelsea Asy-Syafa Z.M


TTL : 6 Juni 2006
Hobi : Menari

Nama : Priscilla Jema Graic


TTL : 5 Maret 2006
Hobi : Masak
Nama : Nabila Maharani Putri
TTL : 24 September 2005
Hobi : Menggambar

Nama : Kaynina Nur Aqilla


TTL : 24 Jun 2006
Hobi ; Memasak

Nama : Jayang Jarinda F.P.K


TTL : 7 April 2006
Hobi : Menonton film
Nama : Muh. Anugerah Asiddiq
TTL : 26 Februari 2006
Hobi : Main Futsal

Anda mungkin juga menyukai