Anda di halaman 1dari 2

Sesal

Sesal pada dasarnya berbicara tentang dua dimensi waktu. Menarik garis ke belakang. Mengenang
sesuatu yang seharusnya berlaku begini dan begitu. Menakar kondisi sekarang. Membaca sesuatu yang
ternyata telah terjadi begini dan begitu. Dalam sesal selalu terdapat permenungan. Perumpamaan.
Pengikat maknanya adalah kata andai saja. Terdapat hukum kausalitas yang dianggap keramat. Bahwa
jika kita berperilaku, berbuat, berkata, atau apa pun di masa sebelumnya secara berbeda, maka kondisi
hari ini tidak akan seperti ini. Uniknya, sesal selalu terkait dengan kondisi tidak nyaman hari ini. Kondisi
sangat menyakitkan hari ini. Sesuatu yang membuat perih hari ini. Di tengah segala putus asa, sedih,
marah, dan apa pun subjek yang mewakili perasaan tidak enak, rasa sesal muncul menyeruak. Menengok
garis waktu masa lalu. Berasumsi bahwa yang kemarin adalah penyebab utama kejadian hari ini. Mungkin
bisa jadi itu benar. Namun bisa pula itu salah. Mengingat begitu banyak determinan yang menyebabkan
penderitaan mu hari ini. Begitu banyak konstanta. Begitu banyak variabel X. sementara asumsi kita
tentang garis linear waktu, garis linear nasib, garis linear takdir, menjebak kita pada sebuah sesal tak
berujung dan tak berkesudahan. Kita akan mati dalam penyesalan. Semata karena keyakinan akan
linearitas itu tadi.

Baiklah. Hari ini aku ingin menumpahkan rasa sesal. Menghambakan diri pada seluruh rasa sakit. Rasa
perih. Tentang kegagalan untuk berbuat lebih dan berusaha keras di masa lalu, yang menghadir sesal saat
ini. Pada titik simpul semua itu terselip ratap dan sedih atas kematian. Rasa sesalku selalu berujung pada
fakta kematian. Pada nuansa sedih dan pilu karena ditinggalkan oleh lingkar dalam keluarga batih. Dalam
segala hal aku cukup percaya diri dan arogan untuk mengatakan aku bertanggung jawab penuh atas
segala kematian itu. Bukan menjadi konstanta atas penyebab kematian itu sendiri. Melainkan pada
sebuah gugatan rasa kenapa diriku tidak berbuat lebih keras untuk ‘mengada’ sebelum kematian
menimpa.

Sesal pertama yang aku ingat adalah saat aku menyadari ketiadaan sosok ayah dalam hidupku. Saat itu
usiaku belasan tahun. Berada di penghujung sekolah dasar. Jauh di desa kecil di Kalimantan. Ayah
berpulang dengan segala penyakit pernapasan yang menggerogoti paru-parunya. Penyakit beri-beri yang
menggerogoti sepanjang kakinya. Mendahulukan insting anak bungsu dari 11 bersaudara, aku tak pernah
paham betapa menderitanya ayah. Terlalu sering aku mengejeknya dan menantangnya untuk berlomba
adu cepat saat jalan di pagi hari. Padahal saat itu kakinya sakit sekali. Niatku, seorang anak kelas enam SD
tentu saja spontan. Ingin membuat beliau lebih sehat. Jalan kaki kan bikin sehat, begitu petuah guru
olahraga yang menggelayut di otak ku. Hingga beliau meninggal, aku sama sekali tidak paham betapa
tidak nyamannya orang sakit paru-paru. Hingga pada saat aku menyadari ketidakhadiran ayah pada saat
pembagian raport di sekolah, aku sama sekali tidak mendapatkan rasa sesal berkepanjangan hingga hari
ini. Andai saja aku telah ‘diberi tahu’ dan paham tentang rasa sakit. Andai saja aku dididik untuk lebih
peka. Tentu penghormatanku pada beliau lebih dari pada sekadar rengek manja anak bungsu semata.
Aku yakin beliau di sana tidak pernah menuntut lebih dari ku. Di matanya aku hanyalah seorang anak
kecil yang keras kepala. Suka mengejek di sana-sini. Tanpa pretensi betapa kepribadian ini mengkristal
hingga aku tua nanti. Sesalku, kenapa aku sama sekali tidak memiliki kepekaan tentang respek dan
hormat pada sosok ayah? Alih-alih aku merasa takut, ayah adalah sosok yang paling sering aku olok-olok
dan tempat merajuk tanpa rasa salah. Sesal gara-gara tak satu pun momen kebersamaan dan keintiman
yang aku dapatkan dari sosok seorang ayah. Kecuali tatapan kesal gara-gara anaknya bahkan tak lulus-
lulus membaca surat Al-fatihah. Lalu aku dihukum belajar mengaji pada guru mengaji lain yang
sebenarnya adalah anak didik ayah. Masih ingat aku ucapan beliau kala itu:”kamu memang lebih memilih
untuk tidak diajari seorang suhu!” Maafkan aku ayah. Andai saja aku tahu.

Sesal kedua datang mendera jika mengingat kepergian sosok ibu. Di kampung kami biasa memanggilnya
Uma (mungkin mendekati kata Emak). Percayalah teman-teman, inilah sesal yang paling berkepanjangan.
Ada marah. Kesal. Sakit. Perih. Jika mengingat betapa banyak ketidakhormatan ku pada beliau. Betapa
banyak kebohongan dan kenakalan yang berhasil aku sembunyikan di mata beliau. Yang pada saat itu aku
anggap sebagai wujud tanggung jawab untuk menggembirakan hati seorang ibu. Lebih baik berbohong
kalau aku mabok, dari pada ibu jadi risau memikirkan masa depan anaknya jika jadi pemabok. Lebih baik
berbohong tentang pekerjaan rumah, ketimbang harus jujur pesta-pesta hingga gak pulang ke rumah.
Banyak sekali daftar kebohogan yang aku lakukan sepanjang beliau hidup. Namun sesal terbesar yang
selalu menggelayut, aku tidak berada di sisi beliau pada saat tarikan nafas terakhir. Ibu pergi pada saat
aku menjelang KKN di semester akhir. Ibu berada di Kalimantan. Aku berada di pulau Jawa. Menjelang
jadi seorang sarjana. Ibu pergi tanpa sempat melihat wisuda anaknya. Bukan perkara itu saja. Sepanjang
beliau sakit keras di kampung, sepanjang waktu itu pula seluruh kakak-kakak ku berbohong dengan
mengatakan ibu baik-baik saja. Sampai kemudian berita kepulangan beliau mendera. Sama sekali tak aku
rasakan kecepatan sepeda motor yang aku pacu Yogyakarta-Semarang saat itu di jam 2 dinihari. Aku
harus mengejar pesawat pertama di pagi hari. Tak aku hiraukan aku datang tanpa pakaian. Semua begitu
mendadak. Hatiku luluh lantak. Sesak.

Anda mungkin juga menyukai