Anda di halaman 1dari 2

Seperti Virus, Kuasa akan Mematikan Rasa Inang Utama

Kekuasaan akan mematikan kepekaan orang yang memilikinya. Singkatnya, kekuasaan akan
membunuh empati. Kepekaan Nurani. Menurut Henry Kissinger, kekuasaan itu adalah
Afrodisiak utama. Afrodisiak adalah kata yang berasal dari Aphrodite, Dewi Yunani lambang
kecantikan dan seksualitas. Ini adalah insting utama manusia. Kekuasaan selalu diasosiakan
dengan kemegahan, keagungan, insting libido menyenangkan. Jika manusia sudah
mendapatkannya, selalu muncul insting alami untuk mempertahankannya. Seperti insting
atas kecantikan dan seksualitas yang mengikat kuat Aphrodite. Seseorang bisa begitu
terinternalisasikan dengan konsep kekuasaan. Lalu salahkah apabila dalam kehidupan
seseorang ingin memiliki kekuasaan? Apa yang perlu dikhawatirkan jika seseorang ingin
bertahta? Rasanya tidak ada yang perlu kita resahkan. Namun jika direnung Kembali
beragam penelitian psikologi tentang kekuasaan, seharusnya setiap orang akan menimbang
ulang untuk memiliki kekuasaan. Mengapa? Karena begitu banyak penelitian psikologi
menunjukan bahwa kekuasaan akan mematikan kepekaan seseorang (Zakaria, 2021:90). Itu
artinya besaran kekuasaan akan berbanding terbalik dengan kepekaan. Semakin besar
kekuasaan diraih akan semakin mengecil dan tumpul kepekaan seseorang. Pertanyaannya
jadi semakin serius: apakah seorang manusia akan rela kehilangan unsur kepekaan sebagai
pembangun utama kehidupan sosial, persis Ketika dia mendapatkan kekuasaan?

Jika data statistic menunjukan bahwa proses mendapatkan kekuasaan ini akan memantik
kemarahan, kekecewaan, bahkan pertumpahan darah lalu kenapa manusia merasa baik-baik
saja mengarah ke sana? Belum lagi saat seseorang berada pada puncak kekuasaan. Dia akan
cenderung kehilangan sensitivitas dan kepekaan. Bahkan sebagai seorang manusia
sekalipun.

Ada cerita menarik dari arena politik. Lebih tepatnya politik lokal di kabupaten saya.
Tepatnya Sukamara, Kalimantan Tengah. Ini cerita tentang distibusi kekuasaan partai politik
yang bertahta mewakili rakyat di DPRD. Sebuah partai politik pemenang suara terbanyak
tingkat kabupaten menugaskan sosok wakil terpilihnya untuk duduk sebagai ketua DPRD.
Tentu saja karena perolehan suara mereka mayoritas, maka partai ini punya kuasa untuk
meletakan seorang kader sebagai ketua. Sosok bersangkutan merasa tugas itu begitu berat.
Di tengah perasaan ketidakmampuan, maka dia menandatangani surat pernyataan
pengunduran diri karena merasa tidak cukup mampu dan beragam alasan lain terkait
finansial, administrasi, dan sebagainya. Klik. Surat dibuat. Ditandatangani. Sah secara
hukum. Di satu sisi partai bersiap menyiapkan sosok lain yang nanti akan bersiap
menggantikan posisi sang ketua. Dalam istilah politik Namanya pergantian antarwaktu
(PAW). Ini biasa saja. Kadang malah menjadi scenario distribusi politis yang dianggap cukup
adil. Berbagi kuasa agar bisa dinikmati semua anggota. Kuasa layaknya tak dikangkangi
seorang diri.

Seiring berjalannya waktu, nampaknya sang ketua DPRD utusan partai semakin merasakan
nikmatnya kekuasaan. Ada beribu pujian. Penghormatan. Perlakuan. Beragam fasilitas yang
pada awalnya dianggap bukan menjadi kebutuhan dan keperluan, perlahan berubah
menjadi inheren dalam kehidupan. Pelan-pelan virus masuk. Sang ketua sama sekali tidak
menyadarinya. Dari dimensi etika organisasi, seharusnya semakin keterlenaan itu dirasakan,
semakin pula relasi dan politisasi dimainkan. Dramaturgi digelar. Setiap lawan harus
dirangkul. Keluarga harus diamankan sebagai lingkaran jarring pelindung. Namun
nampaknya sang ketua tidak cukup memiliki pengalaman di organisasi modern. Tanpa
paham apa yang terjadi sesungguhnya, sang ketua menutup diri dari lingkar keluarga
pendukung utama. Dia menjauh. Menutup komunikasi. Akibatnya fatal. Apalagi di
kabupaten ini, struktur partai tingkat local sangat melekat pada stuktur keluarga besar
(klan). Artinya dia berpotensi kehilangan dua ikatan pengaman utama: keluarga besar, dan
lingkaran administrasi kepartaian.

Dari dimensi etis kekuasaan, sang ketua tidak memahami bahwa Bahasa tubuh, perilaku
fisik, akan berbicara Panjang lebar di tengah kebisuan. Saat memilih untuk tidak lagi bicara
dengan keluarga besar klan pendukungnya, seluruh elemen dan media komunikasinya telah
menegaskan penentangan. Tanpa dia sadari, pihak di luar diri menafsir media sosialnya
sebagai representasi perasaannya. Di sinilah dimensi etika bergeser. Dari perilaku langsung
komunikasi diadik, menjadi perilaku tak langsung komunikasi termediasi. Unsur utama
adalah bacaan konten media sosial. Diam dalam bentuk komunikasi verbalnya, terpindahkan
dengan ‘kata-kata’ penuh makna yang berhamburan lewat media sosial. Sungguh sial,
ungkapan dan narasi penghalusan (eufimisme) yang berlangsung di media sosial justru
seperti biasa membelah public menjadi dua secara ekstrem. Membela dan melawannya. Dia
menciptakan kawan dan lawan sekaligus. Ini juga perilaku alam bawah sadar yang
membawa pertentangan menjadi lebih keras. Sikap partai pengusungnya semakin jelas. Dia
akan dipecat dan diturunkan dari posisi ketua Dewan. Dia melawan. Meskipun hasil akhirnya
sudah bisa kita temukan di pemberitaan media-media lokal Kalimantan, namun pelajaran
yang bisa dipetik tentang kekuasaan sangatlah miris dan memprihatinkan. Kuasa mudah
sekali membuat seseorang polos menjadi lupa. F

Anda mungkin juga menyukai