Anda di halaman 1dari 7

ARTIKEL

POLITIK TRADISI YANG MENDINASTI


Dibuat untu memnuhi syarat kelulusan Mabim

Disusun Oleh :
Wulan Nurhidayah
Kafilah 01

MASA BIMBINGAN
ADMINISTRASI PUBLIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUKABUMI
2021
A. PEDAHULUAN

Pergantian pemimpin politik melalui proses demokrasi adalah hal wajar, yang

diharapkan akan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang memiliki kapabilitas, teguh

pendirian yang positif, cerdas, inovatif, adil dan bijaksana. Di negara demokrasi

pergantian pemimpin politik selalu melalui pemilihan umum. Pemilihan Umum

merupakan salah satu kegiatan demokrasi, yang diselenggarakan oleh penyelenggara

sebagai media kedaulatan rakyat dan sarana melibatkan rakyat secara langsung untuk

memilih pemimpin politiknya dan digunakan sebagai kesempatan warga masyarakat

atau pemilih untuk melakukan penilaian terhadap calon pimpinannya (Suryono,

Astuti, Rahayu, & Widayati, 2019b).

Dalam pengambilan keputusan dalam memilih, pemilih menggunakan penilaian

dan persepsi yang sudah dimilikinya dalam jangka waktu yang lama terhadap seorang

kandidat. Isu tentang kepempinan politik selalu menjadi diskusi menarik di kalangan

masyarakat. Salah satu isu yang menarik adalah tentang kepemimpinan dinasti.

Fenomena pergantian kepemimpin yang menetes ke keluarga dekat (politik dinasti)

menjadi polemik yang tidak pernah berhenti. Setelah 2 kali periode menjabat, godaan

elite politik untuk tetap mempertahankan kekuasaan melalui keluarga tidak bisa

terhindari, setelah bapak, dititiskan ke istri, ke anak atau menantu.

Secara harfiah, dinasti politik dapat dipahami sebagai strategi politik untuk tetap

menjaga kekuasaan dengan cara mewariskan kekuasaan yang telah digenggam

kepada orang lain yang masih merupakan kalangan sanak keluarga. Adapun berbagai

gejala yang mendasari terbentuknya suatu dinasti menurut Wasisto (2013: 203) dapat

dianalisis dari dua hal. Pertama, macetnya kaderisasi partai politik dalam menjaring

calon kepala daerah yang berkualitas, sehingga menciptakan pragmatisme politik

dengan mendorong kalangan sanak keluarga kepala daerah untuk menjadi pejabat

publik. Kedua, konteks masyarakat yang menjaga adanya kondisi status quo di

daerahnya yang menginginkan kepala daerah untuk berkuasa dengan cara mendorong

kalangan keluarga atau orang dekat kepala daerah menggantikan petahanan.


Kedua gejala umum tersebut menimbulkan adanya sikap pro dan kontra dalam

pemahaman dinasti politik tersebut. Sikap pro dan kontra kemudian berkembang

menjadi perdebatan diskursus dalam revisi RUU Pilkada. Di satu sisi, ada pihak

menginginkan pembatasan dinasti politik dengan cara membatasi sanak saudara

kepala daerah untuk maju dalam Pemilukada, sementara yang lain mengusulkan

dinasti politik tak perlu dilarang, hanya saja sistem kaderisasi partai politik di daerah

perlu dibenahi.

Regulasi yang lemah untuk memangkas dinasti politik turut menjadi penyebab

meluasnya dinasti politik dalam Pilkada. Hadirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2015 tentang Pilkada sebenarnya memberikan angin segar dalam membatasi dinasti

politik dengan menggunakan pendekatan larangan konflik kepentingan. Pasal 7 poin

q “warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil

Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon

Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut (q). Tidak

memiliki konflik kepentingan dengan petahana”. Dalam penjelasan UU ini diuraikan

secara rinci pihak-pihak yang dianggap memiliki konflik kepentingan dengan

petahana, bahwa yang dimaksud dengan tidak memiliki konflik kepentingan dengan

petahana: tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan atau garis

keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana,

kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.

B. PEMBAHASAN

Dinasti politik dan politik dinasti adalah dua hal yang berbeda. Dinasti politik

adalah sistem reproduksi kekuasaan yang primitif karena mengandalkan darah dan

keturunan dari hanya beberapa orang. Politik dinasti adalah proses mengarahkan

regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu (contohnya keluarga elite)

yang bertujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Dinasti politik

merupakan musuh demokrasi karena dalam demokrasi, rakyatlah yang memilih para

pemimpinnya.
Marcus Mietzner (2009) dalam paper yang berjudul Indonesia’s 2009 Elections:

Populisme, Dynasties and the Consolidation of the Party System, menilai bahwa

kecenderungan politik dinasti cukup menguat dalam politik kontemporer Indonesia.

Praktik politik dinasti menurutnya tidak sehat bagi demokrasi, antara lain karena

kontrol terhadap pemerintah yang diperlukan dalam demokrasi, misalnya checks and

balances, menjadi lemah. Dinasti politik dalam dunia politik modern dikenal sebagai

elit politik yang berbasiskan pertalian darah atau perkawinan sehingga sebagian

pengamat politik menyebutnya sebagai oligarkhi politik. Dalam konteks Indonesia,

kelompok elit adalah kelompok yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi

proses pembuatan keputusan politik. Sehingga mereka relatif mudah menjangkau

kekuasaan atau bertarung memperebutkan kekuasaan (Mietzner, 2009:20).

Menguatnya jaringan politik yang dibangun oleh dinasti politik berdasarkan

kedekatan politik keluarga menyebabkan tertutupnya rekrutmen politik bagi orang-

orang di luar dinasti. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Turner (dalam Bathoro,

2011:118), bahwa suatu jaringan mempunyai pengaruh penting terhadap dinamika

transisi kekuasaan politik yang bisa berdampak terhadap tertutupnya rekrutmen

politik.

Kehadiran dinasti politik dalam perebutan kekuasaan dari tingkat daerah ke

tingkat nasional tidak terlepas dari peran partai politik dan peraturan pemilihan kepala

daerah, kandidat yang dicalonkan oleh partai politik lebih didasarkan pada keinginan

elit partai, bukan melalui mekanisme demokrasi dengan mempertimbangkan

kemampuan dan integritas calon. Dinasti politik terus membangun jaringan

kekuasaannya yang terus berusaha mendominasi dan membunuh demokrasi. Mereka

berusaha mempertahankan statusnya dengan mengajukan keluarga untuk

menggantikan . Peraturan yang lemah memberikan andil yang besar dengan semakin

meluasnya dinasti politik. Praktik politik dinasti juga menciptakan lemahnya fungsi

kontrol terhadap tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat daerah dan kerabat

mereka (Susanti, 2018). Keinginan kuat untuk memilih anggota keluarganya dalam

suksesi pemerintahan bertujuan untuk menutupi dosa politiknya. (Djati, 2015a). Dan
mempersubur praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) tersebar di hampir semua

wilayah di Indonesia (Prianto, 2016). Selain itu keinginan untuk mewujudkan godaan

dalam menciptakan mitos keluarga penguasa, ada hal yang tidak bisa dipungkuri.

Keluarga yang berkuasa adalah keluarga yang bisa memberi manfaat kepada

masyarakat dalam waktu yang lama.

Di Indonesia pada provinsi Banten, jejak-jejak dinasti politik lebih kentara. Ratu

Atut Choisyah Gubernur Banten 2007-2012 misalnya, keluarga besarnya memiliki

setidaknya 9 orang yang memimpin di masing masing “kerajaannya”. Seperti dirinya

sendiri yang memimpin Banten, suami menjadi anggota DPR, anak menjadi anggota

DPD, menantu menjadi anggota DPRD Kota Serang, adik menjadi anggota DPRD

Banten, Adik tiri mejadi wakil wali kota Serang, ibu tiri menjadi anggota DPRD

Kabupaten Pandeglang, Ibu tirinya yang satu lagi menjadi anggota DPRD kota

Serang, dan adik iparnya Airin menjadi Walikota Tangerang Selatan. Dalam kajian

ilmu sosial dan politik, familisme sebagai budaya politik diartikan sebagai

ketergantungan yang terlalu besar pada ikatan keluarga, yang melahirkan kebiasaan

menempatkan keluarga dan ikatan kekerabatan pada kedudukan yang lebih tinggi

daripada kewajiban sosial lainnya. Dalam pengertian lainnya, familisme juga

dipahami sebagai new social order, yakni dorongan psikologis bagi seseorang untuk

dapat berkarir di dalam dua ranah yakni publik sebagai birokrat dan privat sebagai

korporat-swasta (Garzon, 2002: 56). Dalam hal ini, terdapat tiga varian familisme

dalam membincangkan dinasti politik dalam konteks ini. Pertama adalah familisme

(familism), yakni dinasti politik yang didasarkan secara murni pada hubungan darah

langsung dalam keluarga (consanguinity) dan hubungan perkawinan (marriage)

dengan klan lainnya. Bagi keluarga politik yang lebih lemah posisinya akan

menguntung pada keluarga politik yang lebih kuat karena akan menjamin eksistensi

keluarga politik lemah tersebut (Garzon, 2002: 4).

Kenyataan di atas menarik untuk dikaji. Boleh jadi sebagian orang menganggap

wajar hal tersebut muncul, namun sebagian lagi menganggap hal itu distorsi atau

tekanan terhadap demokrasi. Demokrasi yang pada dasarnya, menuntut konsolidasi


demokrasi membutuhkan lingkungan demokrasi yang mendukung. Munculnya

fenomena dinasti politik akan mengancam fase transisi demokrasi menuju konsolidasi

demokrasi. Konsolidasi demokrasi dapat diartikan sebagai (proses) penggabungan

beberapa elemen demokrasi untuk bersama-sama secara padu memfasilitasi

demokratisasi politik. Unsur yang terlibat dalam konsolidasi demokrasi adalah

lembaga atau institusi politik, baik partai politik, elite, kelompok-kelompok

kepentingan maupun masyarakat politik (O’Donnel dan Schmitter, 1993: 24-6).

Unsur penting lainnya dalam konsolidasi demokrasi adalah adanya kesepakatan

bersama menyangkut “nilai-nilai politik” yang bisa mendekatan dan mempertemukan

berbagai elemen politik di atas menjadi suatu kekuatan yang relatif padu selama

transisi menuju demokrasi.

C. KESIMPULAN

Dinasti politik terbentuk karena adanya jaringan kekuasaan yang menyebar dan

kuat di sebuah daerah. Saat jaringan tersebut mendukung dinasti politik yang

berkuasa, akan memungkinkan lahirnya kekuasaan absolut. Kalau kekuasaan itu

absolut, logikanya, kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan semakin

besar. Menguatnya jaringan politik yang dibangun oleh dinasti politik berdasarkan

kedekatan politik keluarga menyebabkan tertutupnya rekrutmen politik bagi orang-

orang di luar dinasti. Fenomena di atas, boleh jadi sebagian orang menganggap wajar,

namun sebagian lagi menganggap hal itu distorsi atau tekanan terhadap demokrasi.

Demokrasi yang pada dasarnya, menuntut konsolidasi demokrasi membutuhkan

lingkungan demokrasi yang mendukung. Munculnya fenomena dinasti politik akan

mengancam fase transisi demokrasi menuju konsolidasi demokrasi. Konsolidasi

demokrasi dapat diartikan sebagai (proses) penggabungan beberapa elemen

demokrasi untuk bersama-sama secara padu memfasilitasi demokratisasi politik.

Unsur yang terlibat dalam konsolidasi demokrasi adalah lembaga atau institusi

politik, baik partai politik, elite, kelompok-kelompok kepentingan maupun

masyarakat politik. Unsur penting lainnya dalam konsolidasi demokrasi adalah

adanya kesepakatan bersama menyangkut “nilai-nilai politik” yang bisa mendekatan


dan mempertemukan berbagai elemen politik di atas menjadi suatu kekuatan yang

relatif padu selama transisi menuju demokrasi.

Anda mungkin juga menyukai