Anda di halaman 1dari 21

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Politik dinasti merupakan corak politik kekinian dengan munculnya

figure politik dari lingkungan keluarga yang sedang berkuasa. Seringkali

mereka yang berkuasa tersebut merupakan kepala pemerintahan.

Walaupun dinasti politik dapat timbul dari mana saja. Politik dinasti dapat

diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh

sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Kini

praktek politik dinasti seringkali dianggap sebagai gambaran buruk buah

tercederainya demokrasi, walaupun tidak semua fenomena ini

menghadirkan praktek buruk karena adanya kemajuan dan

kesinambungan pembangunan oleh pemimpin politik yang lama kepada

pemimpin politik yang baru dalam lingkungan keluarga pemimpin politik

tersebut.

Dinasti dalam politik tidak sedikit justru menimbulkan persoalan

baru karena adanya dominasi kekuasaan yang tersebar dalam sebuah

wilayah atas berbagai sumber kekuasaan politik, ekonomi, dan sosial di

masyarakat. Fenomena seperti ini kemudian menjadi kritik terhadap

perpolitikan kekinian atas berbagai fakta di lapangan yang mengarah pada

terciptanya sebuah dinasti politik.


2

Dinasti politik sederhananya dipahami sebagai sebuah rezim

kekuasaan politik yang dijalankan lewat hubungan keluarga. Rezim politik

ini terbentuk dikarenakan concern yang sangat tinggi antara anggota

keluarga terhadap perpolitikan dan biasanya orientasi dinasti politik ini

adalah kekuasaan.

Dinasti politik di Indonesia sebenarnya adalah sebuah hal yang

jarang sekali dibicarakan atau menjadi sebuah pembicaraan, padahal

pada prakteknya dinasti politik secara sadar maupun tidak sadar sudah

menjadi benih dalam perpolitikan di Indonesia sejak zaman kemerdekaan.

Dinasti politik sebenarnya adalah sebuah pola yang ada pada masyarakat

modern Barat maupun pada masyarakat yang meniru gaya barat. Hal ini

dapat terlihat dalam perpolitikan di Amerika dan juga di Filipina. Dinasti

politik tidak hanya tumbuh di kalangan masyarakat demokratis-liberal.

Tetapi pada hakikatnya dynast politik juga tumbuh dalam masyarakat

otokrasi dan juga masyarakat monarki, dimana pada system monarki

sebuah kekuasaan sudah jelas pasti akan jatuh kepada putra mahkota

dalam kerajaan tersebut.

Dinasti politik di Indonesia sebenarnya sudah muncul di dalam

keluarga Presiden pertama Indonesia, Preseiden Soekarno. Hal tersebut

terbukti dari lahirnya anak-anak Soekarno yang meneruskan pekerjaan

ayahnya sebagai seorang politisi. Seperti Megawati Soekarno Putri (yang

akhir-akhir ini juga semakin memperlihatkan gejala kedinastian politik

Indonesia pada diri anaknya Puan Maharani), Guruh Soekarno Putra, dll.
3

Dalam tatanan kontempoerer, dinasti politik juga sekarang terlihat muncul

pada diri keluarga mantan Presiden Indonesia Alm K.H. Abdurrahman

Wahid, dengan munculnya saudara-sudara kandungnya dan juuga anak

kandungnya ke dalam dunia perpolitikan Indonesia. Kecenderungan

dinasti politik juga ditunjukkan dalam keluarga Presiden Indonesia saat ini

Susilo Bambang Yudhoyono, yang ditunjukkan dengan kiprah anaknya

Eddie Baskoro yang berhasil menjadi anggota DPR periode 2009/2014.

Etika adalah sesuatu yang berkenaan dengan akhlak, nilai

mengenai sesuatu yang baik dan yang buruk. Ada nilai-nilai yang

berkembang di masyarakat, nilai tentang sesuatu yang pantas untuk

dilakukan dan tidak pantas untuk dilakukan. Bila dianalisis dari segi etika,

politik dinasti tidak baik apabila dilakukan oleh elit politik.

Kalau seseorang elit politik maju dengan mengandalkan politik

dinastinya dan dengan mengesampingkan etika sosial, maka tingkat

kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan terus merosot.

Rakyat akan menilai ternyata bangsa ini di zaman reformasi dibangun

dengan sistem nepotisme. Pembentukan politik dinasti akan menciptakan

tatanan politik yang tak sehat. Walaupun menurut undang-undang hal itu

tak dilarang, namun hal itu dinilai tidak sesuai dengan etika.

Menurut Zulkieflimansyah[1], apabila politik dinasti ini diteruskan,

akan muncul banyak dampak negatif. Pertama, menjadikan partai sebagai

mesin politik semata yang pada gilirannya menyumbat fungsi ideal partai

sehingga tak ada target lain kecuali kekuasaan. Dalam posisi ini,
4

rekruitmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan caleg

untuk meraih kemenangan. Di sini kemudian muncul calon instan dari

kalangan selebriti, pengusaha, darah hijau atau politik dinasti yang tidak

melalui proses kaderisasi.

Kedua, sebagai konsekuensi logis dari gejala pertama, tertutupnya

kesempatan masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas.

Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di lingkungan elit dan pengusaha

semata sehingga sangat potensial terjadinya negosiasi dan penyusunan

konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan.

Ketiga, sulitnya mewujudkan cita-cita demokrasi karena tidak

terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good

governance). Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif

sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti

korupsi, kolusi dan nepotisme sangat besar. Efek negatif dari dinasti politik

yang paling sering kita dengar adalah nepotisme dimana hubungan

keluarga membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan. Tapi

hal sebaliknya pun bisa terjadi, dimana orang yang kompeten menjadi

tidak dipakai karena alasan masih keluarga. Di samping itu, cita-cita

kenegaraan menjadi tidak terealisasikan karena pemimpin atau pejabat

negara tidak mempunyai kapabilitas dalam menjalankan tugas. Sebagai

contoh, marilah kita baca cuplikan berita berikut ini:


5

Syahrul Yasin Limpo, Gubernur Sulawesi selatan yang sebelumnya

menjabat sebagai wakil Gubernur pada periode tahun lalu ini adalah salah

satu tokoh yang disebut-sebut sebagai pembangun dinasti politik dalam

sistem pemerintahan di Sulawesi Selatan.Di Provinsi Sulawesi Selatan,

Gubernur Syahrul Yasin Limpo telah membangun dinasti yang menguasai

banyak jabatan di pemerintah daerah dan jabatan anggota DPR RI dan

DPRD. Belum lagi dugaan akan beberapa kasus korupsi yang melibatkan

Dinasti Politik.

Menurut salah seorang sejarawan dan pengamat politik Anshar

Gonggong, Dinasti politik tersebut telah dibangun sejak era orde baru, Ny

Yasin Limpo telah menjadi anggota DPR berulang kali. Dan berikutnya

adalah anaknya ada yang menjadi gubernur, bupati, anggota DPRD,

kepala dinas, dan lainnya. Yang bisa menghentikan ini hanya kesadaran

masyarakat untuk tidak memilih politik dinasti.

Sejauh ini beberapa anggota keluarga Syahrul hampir dipastikan akan

menjadi calon legislatif (caleg) di berbagai tingkatan, baik yang mengincar

kursi Senayan, provinsi, maupun kabupaten/ kota. Informasi yang

dihimpun, dua saudara kandung Syahrul, Andi Tenri Olle Yasin Limpo dan

Dewie Yasin Limpo akan maju menjadi caleg DPR RI. Keduanya akan

bertarung di Daerah Pemilihan (Dapil) I Sulsel, Tenri melalui Partai Golkar

dan Dewie melalui Partai Hanura.


6

Masih di level DPR RI, putri Syahrul, Indira Chunda Thita juga

dipastikan masih mengincar kursi yang didudukinya selama empat tahun

terakhir melalui Partai Amanat Nasional (PAN). Kemungkinan Thita

diposisikan di Dapil 2 Sulsel untuk menghindari persaingan dengan Tenri

dan Dewie. Nama lainnya yang disebutsebut berpeluang menjadi caleg

DPR adalah ipar Syahrul, Susilo MT Harahap. Mantan anggota DPRD

Sulsel itu akan beradu peruntungan di Partai Golkar antara dapil I atau

dapil II

Selain caleg DPR RI, keponakan Syahrul, Adnan Purichta Ichsan yang tak

lain putra Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo berpeluang terpilih kembali di

tingkat provinsi. Hanya hingga saat ini anggota DPRD Sulsel termuda ini

belum menentukan sikap, apakah tetap bertahan di Demokrat atau pindah

ke partai lain. Sementara di level kabupaten/ kota, Syahrul juga mengutus

keluarganya. Haris Yasin Limpo yang merupakan adik bungsunya,

disebut-sebut di DPRD Makassar lewat Golkar.

Hal lainnya, seperti putra Tenri Olle, Akbar Danu Indarta yang

masih tercatat sebagai Ketua DPD KNPI Gowa bakal bertarung menuju

DPRD Gowa melalui Partai Golkar. Pengamat politik dari Universitas Islam

Negeri (UIN) Alauddin Makassar Firdaus Muhammad mengatakan, klan

keluarga Yasin Limpo selama ini memang dikenal banyak berkiprah

menjadi politisi sehingga sangat wajar kalau berpencar menjadi caleg di

pemilu mendatang.
7

Syahrul sebaiknya memberikan keteladanan politik untuk tidak

menghalalkan segala cara meloloskan para keluarganya atau memonopoli

kancah politik. Kalau hal itu mampu dijalankan, Syahrul dapat

membendung stigma politik mengenai dinasti klan Yasin Limpo. Syahrul

tidak boleh larut dukung-mendukung dengan banyaknya keluarga dia

yang maju di pemilu. Itu harus dihindari untuk menjaga wibawa

pemerintahannya yang tidak cenderung dinasti politik. Dalam menguasasi

jaringan politik di Sulawesi Selatan, Dinasti Yasin Limpo mengembangkan

jaringan politik keluarga dalam penempatan jabatan strategis pada

struktur politik dan birokrasi baik itu baik pada tingkat daerah maupun

nasional.

Berikut data terkait jejaring dinasti politik keluarga Syahrul Yasin

Limpo :

Posisi keluarga yasin limpo :

Syahrul Yasin Limpo (SYL) : Gubernur Sulawesi Selatan

Ihsan Yasin Limpo (sdr kandung) : Bupati Gowa

Tenri yasin Limpo (sdr kandung) : Anggota DPRD sul-sel

Dewi Yasin limpo (sdr kandung) : Caleg DPR-RI Hanura

Irman Yasin Limpo (sdr kandung) : Kadis Perindustrian dan

Perdagangan

Haris Yasin Limpo (sdr kandung): Anggota DPRD Kota Makassar

Tita Chunda SYL ( anak kandung): Anggota DPR-RI

Adnan puchrita IYL (kemanakan): Anggota DPRD SulSel


8

Susilo MT Harahap ( Ipar ): Caleg DPR RI Golkar

Kendati demikian, posisi Syahrul yang netral bukan berarti

keluarganya dibatasi hak politiknya, melainkan menarik garis demokrasi

sebagai gubernur dan keluarga. Mengenai peluang keluarga Syahrul,

sangat terbuka sepanjang bisa saling berbagi dukungan atau tidak saling

jegal, terutama mereka yang bertarung di dapil yang sama.

Meskipun sering menyangkal terkait dinasti politik yang

dibangunnya namun apa yang terjadi di lapangan mejadi bukti bahwa

keluarga Yasin Limpo sedang berusaha menjadi pemegang kekuasaan

elit politik yang terbesar di Sulawesi Selatan. Keturutsertaan Keluarganya

dalam memangku jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan di

Sulawesi Selatan meskipun memiliki partai pendukung yang berbeda-

beda tetap saja mencerminkan adanya dinasti politik.

Dinasti meskipun ada anggapan bahwa dinasti politik itu tidak

masalah jika memang anggota-anggota yang naik dan menduduki kursi

jabatan adalah orang yang memiliki kompetensi dan mampu memberikan

perbaikan dalam pemerintahan namun tetap saja dinasti politik yang pada

dasarnya dibangun atas hubungan keluarga akan menimbulkan

ketidakseimbangan ketika faktor keluarga yang sifatnya pribadi bercampur

dengan faktor masyarakat yang sifatnya umum dan menyeluruh.Tidak

dapat dipungkiri bahwa hal tersebut akan selalu terjadi dimana


9

kepentingan keluarga atau golongan akan menjadi suatu prioritas yang

utama diatas kepentingan umum dalam sebuah dinasti politik.

Dari apa yang saya amati, sebenarnya masih banyak calon-calon

legislatif lainnya yang memiliki kompetensi lebih baik dari keluarga yasin

Limpo namun ketidakberuntungan akibat animo masyarakat yang sudah

terlanjur melihat keluarga Yasin Limpo sebagai orang-orang yang

berpengaruh besar serta pertarungan politik yang sengit membuat orang-

orang tersebut tersingkir dati pertarungan politik. Sebut saja amin Syam,

Gubernur periode lalu yang juga menjadikan syahrul sebagai wakil

Gubernur, ia memiliki kompetensi yang baik dalam memegang kursi

kekuasaan namun beliau kalah dalam pertarungan politik selanjutnya

dimana ia berpisah dengan Syahrul sebagai pasangannya karena Syahrul

yang juga mengajukan diri sebagai calon Gubernur berpasangan dengan

Agus Arifin Numang.

Bagaimanapun bentuknya sebuah dinasti pemerintahan bukanlah

sistem yang tepat untuk diterapkan dalam sebuah sistem pemerintahan

yang bukan monarki. Negara kita bukanlah negara dengan sistem

pemerintahan monarki yang menuntut penerus pemerintahan harus

berasal dari garis keturunan dari pemimpin sebelumnya. Negara kita

memiliki sistem pemilihan umum untuk memilih siapa saja yang pantas

menduduki suatu jabatan dalam pemerintahan sebagai wakil rakyat yang

dipilih langsung oleh rakyat.


10

Dinasti politik telah dikenal sejak zaman kerajaan. Pada masa itu,

kekuasaan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak.

Tradisi mewariskan kekuasaan ini terus berlaku dengan menafikan

potensi-potensi yang ada, sehingga kekuasaan tetap berada dalam

lingkaran keluarga.

Sebagai negara bekas jajahan Belanda yang juga berasal dari kerajaan

nusantara, gejala-gejala untuk kembali ke kondisi pada masa pra-Hindia

Belanda nampak secara signifikan. Beberapa daerah di Indonesia, satu

per satu membangun dinasti kekuasaannya.

Dinasti politik sebenarnya tidak melanggar aturan, sebagai mana hak

warga negara Indonesia untuk memilih dan dipilih adalah jaminan yang

diberikan UUD 1945 bagi siapa saja yang maju dalam pemilihan kepala

daerah (Pilkada). Meski hal ini mencederai demokrasi dan dipandang

kurang patut dan beberapa kalangan kurang setuju dengan dinasti politik,

namun kesempatan untuk menghilangkan masyarakat atau kader

potensial untuk tampil sebagai pemimpin ini tetap terbuka.

Penyelenggaraan pemilukada mulai ramai diwarnai wajah anak, istri atau

kerabat terdekat para petahana. Padahal,Undang-Undang Antikorupsi,

Kolusi dan Nepotisme, menyiratkan bahwa dinasti politik sebagai sesuatu

yang tabu karena bertentangan dengan semangat anti-KKN dan


11

memberikan peluang terciptanya pemimpin korup yang kemudian

menghambat pemberantasan korupsi di Indonesia.

Penegakan hukum di Indonesia, sering tergagap ketika terbentur

kepentingan politik atau perkara yang ditanganinya bersentuhan langsung

dengan kekuatan politik yang sedang berkuasa. Meski pada kondisi

tertentu penegak hukm cukup tegas menghadapi penguasa, namun

secara umum tidak demikian dan bahkan terkesan alergi penguasa.

Apakah hal ini yang menjadikan dinasti politik sebagai tren berpolitik kaum

penguasa?

Penguasa di mana pun, cenderung ingin memiliki kekuasaan lebih lama

dan melanggengkan kekuasaan. Namun karena adanya aturan yang

membatasi bahwa seseorang boleh menduduki jabatan kepala daerah

hanya dua periode, para petahana akhirnya memilih memajukan

kerabatnya untuk melanjutkan kekuasaan. Bisa juga karena alasan, bila

kerabatknya yang berkuasa maka keburukan yang dilakukannya selama

berkuasa akan tertutupi?

Hubungan partai politik pendukung dengan petahana selama ini

menciptakan simbiosis mutualisma. Political bargaining menutupi kerugian

yang dialami partai politik akibat praktek dinasti politik yang semakin subur
12

di Indonesia. Bila hal ini terus berlanjut, Indonesia baru yang maju dan

demokratis makin jauh dari harapan.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini

1. Apa faktor-faktor mendasari politik dinasti partai Golkar di pemilihan

legislative DPRD Provinsi Sulawesi Selatan di Dapil VI?

2. Bagaimana efek politik dinasti partai Golkar terhadap keterpilihan

kandidat pada pemilihan legislatif DPRD Provinsi Sulawesi Selatan di

Dapil VI?

1.3. Tujuan Penelitian

1.4. Manfaat Penelitian


13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Kekuasaan

2.2. Kekuasaan Dinasti Politik

2.3. Pemilihan Legislatif

2.4. Kerangka Pikir Penelitian

2.5. Skema Kerangka Pikir

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian

3.2. Jenis penelitian

3.3. Sumber Data

3.4. Teknik Pengumpulan Data


14

3.5. Analisis Data

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Politik dinasti sudah mulai marak di Indonesia, terutama pada

pencalonan kepala daerah di Kabupaten/Kota. Tidak jarang calaon yang


15

maju sebagai kepala daerah mempunyai hubungan kekerabatan dengan

kepala daerah yang sedang menjabat. Contoh yang paling nyata adalah

Provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini jelas menunjukkan adanya politik

dinasti.

Politik dinasti memunculkan banyak pro dan kontra. Ada yang

menganggapnya baik karena kestabilan politik terjaga dan banyak pula

yang menganggap bahwa politik dinasti hanyalah alat yang digunakan

para pejebat untuk melanggengkan kekuasaannya. Selain itu, politik

dinasti juga mengurangi kesempatan bagi orang lain untuk berpartisipasi

lebih untuk menjadi kepala daerah karena biasanya calon pemimpin hasil

dari politik dinasti lebih banyak dukungan.

Memang, hak setiap warga negara untuk memilih dan dipilih. Tapi

apakah dengan hanya berbekal mempunyai hubungan keluarga dengan

penguasa seseorang dapat dengan leluasa mencalonkan diri? Inikah yang

harus diperbaiki oleh pemerintah agar calon yang maju dalam pemilihan

kepala daerah tidak hanya berdasarkan koneksi dan kesempatan tetapi

juga didukung dengan kualifikasi yang mumpuni untuk menjadi kepala

daerah sehingga memajukan daerah yang dipimpinnya.

Dinasti politik bukanlah sistem yang tepat unrtuk diterapkan di

Negara kita Indonesia, sebab negara Indonesia bukanlah negara dengan

sistem pemerintahan monarki yang memilih pemimpin berdasarkan garis

keturunan.
16

Dinasti politik memang tak melanggar Undang-undang atau konstitusi. Tapi hal
tersebut melanggar demokrasi dan etika politik. Dalam konteks membangun
demokrasi yang substansial, seharusnya kita harus mengedepankan pertimbangan
etika dan kepantasan politik ketimbang mencari celah atas norma undang-undang
yang tidak bisa mengatur secara rinci dan akan tetap memiliki celah untuk
disiasati. Dinasti politik yang kita temukan di sejumlah provinsi dan kabupaten
menunjukkan bahwa suara rakyat semakin tak berharga. Niat untuk berkuasa
selamanya sejatinya sudah bersifat anti demokrasi (undemocratic) karena
menghambat hak orang lain untuk menjalankan pemerintahan. Dalam dinasti
politik, partai sebagai mesin politik semata yang pada gilirannya menyumbat
fungsi ideal partai sehingga tak ada target lain kecuali kekuasaan. Dalam posisi
ini, rekruitmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan caleg untuk
meraih kemenangan. Di sini kemudian muncul calon instan dari kalangan
selebriti, pengusaha, darah hijau atau politik dinasti yang tidak melalui proses
kaderisasi. Sebagai konsekuensi logis dari gejala pertama, tertutupnya kesempatan
masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas. Sirkulasi kekuasaan
hanya berputar di lingkungan elite dan pengusaha semata sehingga sangat
potensial terjadinya negosiasi dan penyusunan konspirasi kepentingan dalam
menjalankan tugas kenegaraan. Sulitnya mewujudkan cita-cita demokrasi karena
tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good
governance). Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif
sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi,
kolusi dan nepotisme. Politik Dinasti dapat membuat orang yang tidak
berkompeten memiliki kekuasaan, tapi hal sebaliknya pun bisa terjadi, dimana
orang yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan bukan keluarga. Di
samping itu, cita-cita kenegaraan menjadi tidak terealisasikan karena pemimpin
atau pejabat negara tidak mempunyai kapabilitas dalam menjalankan tugas.

Politik kekerabatan, lazim dijumpai pada masyarakat tribal-pastoral. Garis


kekeluargaan merupakan penentu utama sistem kepemimpinan komunal,
sekaligus menjadi pola pewarisan kekuasaan politik tradisional. Politik
kekerabatan, dibangun di atas basis pemikiran yang bertumpu pada doktrin politik
kuno: blood is thicker than water darah lebih kental daripada air. Doktrin ini
menegaskan, kekuasaan, karena dapat mendatangkan kehormatan, kemuliaan,
kekayaan, dan aneka social privileges, harus berputar di antara anggota keluarga
dan para kerabat saja. Kekuasaan tak boleh lepas dari genggaman orang yang
punya hubungan persaudaraan, sehingga hanya terdistribusi dan bergerak
melingkar di antara pihak-pihak yang memiliki pertalian darah. Merujuk pada
dalil blood is thicker than water itu, di era modern, para politikus mewariskan
17

kekuasaan kepada kerabatnya dengan cara memanipulasi sistem politik


demokrasi. Para kerabat lantaran pertalian darah dianggap lebih dapat dipercaya
dan tak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan.
Maka, para elite politik Indonesia secara massif mengusung anggota keluarga
menjadi caleg atau calon kepala daerah. Ini bentuk manipulasi sistem politik
modern melalui mekanisme demokrasi prosedural yang memang mengandung
banyak kelemahan. Mereka menjadi calon anggota legislatif atau calon kepala
daerah lebih karena political privileges keluarga, yang hanya memproduksi
politisi tiban atau karbitan. Bukan political credentials kreasi mereka sendiri,
yang melahirkan politisi sejati nan otentik. Political credentials bisa diperoleh
melalui tiga jalan. Pertama, aktivisme sosial-politik yang mendapat pengakuan
publik sehingga melahirkan sosok politisi genuine, kredibel, dan bereputasi
cemerlang. Kedua, pendidikan yang mengantarkan seseorang menjadi politikus
terpelajar dengan prestasi individual yang secara objektif diakui masyarakat.
Ketiga, kombinasi antara aktivisme sosial-politik dan pengalaman pendidikan
yang panjang.[26]

DAFTAR PUSTAKA

Agustino, Leo. 2009. Pilkada dan Dinamika Politik Lokal. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Alfian, Alfan. 2009. Menjadi Pemimpin Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama.
18

Althusser, Louis. 1984. Tentang Ideologi (Marxisme Strukturalis,

Psikoanalisis, Cultural Studies) Terjemahan Essay on Ideology

1984. Yogyakarta: Jalasutra.

Alwasilah, Chaedar. 2008. Pokoknya Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.

Bachtiar, Wardi. 2006. Sosiologi Klasik. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Damsar. 2012. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana.

Denzin, K Norman & Yvonna S. Lincoln. 2009. Handbook of Qualitative

Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Froom,Erich. 2008. Akar Kekerasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gaffar, Afan. 2006. Politik Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Helder,

Dom Camara. 2005. Spiral Kekerasan. Yogyakarta: Resist Book.

Hobsbawm, Eric J. 2000. Bandit Sosial. Jakarta: Teplok Press.

Jones,Pip. 2010. Pengantar Teori-Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Pustaka

Obor Indonesia.

Kartono, Kartini. 2010. PatologiSosial II Kenakalan Remaja. Jakarta: Raja

Grafindo Persada.

Liliweri, Alo. 2005. Prasangka dan Konflik. Yogyakarta: LKIS.

Prabowo, Agung dkk. 2013. Dunia dalam kota. Makassar: Ininnawa.

Revitch, Diane & Abigail Thernstorm. 2005. Demokrasi Klasik dan Modern.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Ritzer, George.2003.Teori sosial postmodern, Jakarta: Kreasi wacana.

___________, 2010. Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana.


19

Ritzer, George dan Barry Smart. 2011. Handbook Teori Sosial. Bandung:

Nusamedia.

Scott, John. 2012. Teori Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sitepu, Anthonius. 2012. Studi Ilmu Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sukriansyah S.Latif dan Tomi Lebang. 1998. Amuk Makassar. Makassar:

Institute studi arus informasi.

Suryawan, I Ngurah. 2010. Genealogi Kekerasan dan Pergolakan

Subaltern. Jakarta: Prenada.

Sunardi, ST. 1996 Keselamatan Kapitalisme dan Kekerasan. Yogyakarta:

LKIS.

Tadie, Jerome.2009. Wilayah Kekerasan Jakarta. Jakarta: Masup.

Varma, SP. Teori Politik Modern, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

2010.

Zubir,Zairyadam. 2010. Budaya Konflik dan Jaringan Kekerasan.

Yogyakarta: Insist Press.

Artike llmiah

Manji,Taufiq. 2012. Studi Analisis Peran Pemerintah Kota Terhadap

Perkelahian Antar Kelompok di Kota Makassar, Makassar: Jurnal

Ilmu Pemerintahan Fisip Unhas Volume I.

Surdiansyah, Asep. 2013. Analisis Data Fenomenologi. Jurnal Penelitian

UPI.
20

Nindito, Stefanus. 2005. Fenomenologi Alfred Schutz: Studi Tentang

Konstruksi Makna dan Realitas Dalam Ilmu Sosial. Yogyakarta:

Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Atmajaya.

Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah 2014-2019 Kota

Makassar

Suebagyo Ahmad. (2013). Tinjauan Kriminologis Terhadap Kejahatan

yang Dilakukan oleh Preman (Studi Kasus Polsek Tamalanrea

Makassar) (Skripsi). Makassar: Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin.

Media Cetak dan Elektronik

Berita Kota Makassar

Blog vonis Indonesia

Celebes Online

Fajar Online

Kompas

Liputan 6.com

SindoNews

Situs resmi Pemerintah kota Makassar

Tribun News

Tribun Timur Online

Warta Timur
21

Anda mungkin juga menyukai