Anda di halaman 1dari 13

Politik Dinasti Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Dan Perspektifnya

Dalam Hukum Islam

Anggi Ramadhan, Fitra Al Tansar, John Aikel Primsa Tarigan, Muhammad Irfan,
Muhammad Syahyuna.
Fakultas Hukum, Universitas Samudra
jhoneikeltarigan@gmail.com

Abstrak
Indonesia sebagai negara demokrasi seharusnya mampu terbuka mengenai politik demokrasi
seluas mungkin untuk memastikan bahwa rakyatnya terlibat aktif dalam proses politik. Namun,
fakta yang terjadi di lapangan justru memperlihatkan bahwa dinasti politik berkembang dalam
lingkup demokrasi kita, yang berlaku adalah berdasarkan atas kedekatan secara personal dan
kekeluargaan bukan berdasarkan kualitas kandidat. Maraknya perkembangan dinasti politik di
Indonesia menimbulkan kegelisahan masyarakat sehingga pemerintah menciptakan peraturan
tentang larangan adanya dinasti politik dengan pasal 7 huruf r Undang-Undang No 8 Tahun 2015
tentang Pilkada disebutkan bahwa “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” yang
dimaksud dengan tidak memiliki kepentingan petahana artinya adalah tidak memiliki hubungan
darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping
dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali
telah melewati jeda 1 kali masa jabatan. Akan tetapi, oleh Mahkamah Konstitusi pasal ‘dinasti
politik’ itu dihapuskan karena dianggap bertentangan dengan konstitusi dan UUD NRI 1945. Al-
Quran dan praktik kepemimpinan Rasulullah tidak mengatur secara spesifik tentang sistem
pemerintahan yang ideal, hanya menegaskan prinsip-prinsip dasar kepemimpinan seperti siddiq,
tabligh, amanah, dan fathanah, dan sejarah politik Islam pasca kepemimpinan Rasulullah dan
para khulafaurrasidin, tercatat pernah menggunakan politik dinasti, yaitu pada masa
pemerintahan Bani Ummayah dan Bani Abbasiyah.

Kata Kunci: Demokrasi; Hukum Islam; Kepemimpinan; Politik Dinasti

Abstract
Indonesia as a democratic country should be able to be as open about democratic politics as
possible to ensure that its people are actively involved in the political process. However, the
facts that occur in the field actually show that political dynasties develop within the scope of our
democracy, which is based on personal and familial closeness, not based on the quality of the
candidate. The widespread development of political dynasties in Indonesia has caused public
anxiety, so the government has created regulations prohibiting the existence of political
dynasties with article 7 letter r of Law No. 8 of 2015 concerning Regional Elections which states
that "not having a conflict of interest with the incumbent" which is meant by not having the
incumbent's interests means is not related by blood, marriage ties and/or lineage level straight
up, down, to the side with the incumbent, namely father, mother, in-laws, uncle, aunt, brother,
sister, brother-in-law, child, son-in-law unless he has passed the gap once length of service.
However, by the Constitutional Court the 'political dynasty' article was abolished because it was
deemed to be contrary to the constitution and the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia.
The Koran and the leadership practices of the Prophet do not specifically regulate the ideal
system of government, only emphasizing the basic principles of leadership such as siddiq,
tabligh, amanah, and fathanah, and the history of Islamic politics after the leadership of
Rasulullah and the khulafaurrasidin, are recorded as having used dynastic politics, namely
during the reign of the Ummayah and Abbasids.

Keywords: Democracy; Islamic law; Leadership; Dynasty Politics

PENDAHULUAN
Indonesia adalah salah satu negara berkembang di dunia yang menganut sistem
demokrasi dalam menjalankan sistem hukum ketatanegaraanya, hal ini bersumber dari amanah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Selanjutnya disebut UUD NRI
Tahun 1945) pada Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 1 Dan sudah menjadi
suatu ketentuan dasar dimana setiap negara yang mentasbihkan dirinya sebagai suatu negara
yang menganut sistem demokrasi tentunya tidak akan perna terlepas dari prinsip dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat, karena prinsip dasar tersebut merupkan simbol dasar bahwa semua
berorentasi pada kepentingan rakyat dalam suatu negara demokratis. Konsep demokrasi ini
mengedepankan kedaulatan rakyat, artinya rakyat memiliki hak dan kewajiban untuk turut serta
dalam pelaksanaan pemerintahan. Contoh dari keikutsertaan rakyat adalah ikut andil dalam
pemerintahan melalui Pemilihan Umum atauPemilu. Pemilu menjadi ajang untuk melibatkan
rakyat secara langsung untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin daerahnya bahkan
negaranya. Isu kepemimpinan yang berkembang dalam politik selalu dianggap menarik, salah
satu isu tersebut adalah dinasti politik. Fenomena kepemimpinan yang turun-temurun di dalam
lingkup keluarga dekat menjadi pembahasan yang tidak pernah padam. Fenomena dinasti politik
seringkali muncul dalam politik nasional dan lokal, yang cenderung menjebak, menimbulkan
konflik serta menggangu konsolidasi demokrasi.2
Kehadiran politik dinasti tidak terlepas dari peran serta partai politik dan pemerintah
daerah. Kandidat yang dicalonkan oleh partai politik tidak mempertimbangkan pada kredibilitas
1
Lihat ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (2) kedaulatan berada
ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar
2
A Bathoro, 2011, “Perangkap Dinasti Politik Dalam Konsolidasi Demokrasi,” Jurnal FISIP UMRAH Vol. 2, No. 2
Hlm.15–25.
dan kualitas calon, akan tetapi lebih didasarkan pada keinginan elit partai dalam perebutan
kekuasaan. Dinasti politik ini membangun jaringan kekuasaannya dengan terus berusaha
mendominasi dan mematikan demokrasi. Kelompok elit adalah kelompok yang memiliki
kemampuan untuk memengaruhi proses pembuatan keputusan politik, sehingga mereka dapat
dengan mudah menjangkau kekuasaan atau bertarung memperebutkan kekuasaan. 3 Dengan status
negara yang berpenduduk muslim tertinggi ke empat didunia, maka menjadi sesuatu yang sangat
penting untuk melihat dan mengkaji keberadaan politik dinasti dalam pandangan islam
mengingat politik dinasti tidak hanya menimbulkan pro dikalangan masyarakat secara luas tetapi
juga menimbulkan kontra yang luar biasa dari masyarakat praktik politik dinasti ini sehingga hal
tersebut dalam mempengaruhi kadar kepercayaan masyarakat terhadap figure atupun partai
politik sebagai lembaga pengusung calon kepala daerah maupun calon anggota legislatif dan
calon Presiden dan Wakil Presiden yang selama ini berlangsung di Indonesia.
Jika dilihat pada pasca pemerintahan Rasulullah, secara berkelanjutan pemerintahan
Islamiyah digantikan oleh para sahabat, yang diawali oleh Abu Bakar Al-Shiddiq kemudian
Umar bin Khattab dan Usman bin Affan serta Ali bin Abi Thalib. Para sahabat ini terkenal
dengan sebutan Khulafaal-Rasyidin.
Namun ada suatu hal yang mesti dicermati, tanpa disadari dan tanpa melihat pada proses
pemilihan Khulafaal-Rasyidin, bahwa Abu Bakar dan Umar bin Khatab mempunyai hubungan
khusus dengan Rasulullah, yaitu sebagai mertua Rasulullah, sedangkan Usman bin Affan dan Ali
bin Abi Thalib merupakan menantu dari Rasulullah. Berarti pada masa tersebut telah terjadinya
praktek politik dinasti. Sedangkan yang lebih jelas adanya praktek politik dinasti tersebut adalah
pada masa Khulafaal-Rasyidin, yaitu ketika Usman bin Affan sebagai khalifah, Usman
menyerahkan banyak jabatan penting pemerintahan kepada anggota keluarganya . Pasca
Khulafaal-Rasyidin, pemerintahan Islamiyah saat itu sangat jelas praktek politik dinastinya,
dikarenakan sistem pemerintahan monarki absolut berupa kerajaan, seperti Dinasti Umayyah,
dan Dinasti Abbasiyah.4 Hanya saja perbedaan antara kedua dinasti ini, bahwa Dinasti Umayyah
lebih menonjol kansifat kearabanya, sedangkan Dinasti Abbasiyah lebih menonjolkan sifat
keislaman. Sistem pemerintahan monarki absolut ini terus berlanjut sampai pada masa kerajaan
Turki Ustmani.
Pasca runtuhnya kerajaan Turki Ustmani, wilayah-wilayah Islam berubah menjadi negera
Negara kecil. Dalam menjalankan pemerintahannya ada yang memakai sistem kerajaan seperti
Arab Saudi dan ada juga memakai sistem republic seperti Pakistan. Dalam dua sistem
pemerintahan yang dipakai ini, fenomena politik dinasti tetap juga muncul dalam
pelaksanaannya.

RUMUSAN MASALAH

3
M Mietzner, Indonesia’s 2009 Elections: Populism, Dynasties and the Consolidation of the Party System (Lowly
Institute: For International Policy, 2009).
4
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Cet. 1; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), h. 37.
1. Bagaimana Sejarah Politik Dinasti Di Indonesia, Apakah Dalam Sejarahnya Pernah Ada
atau Tidak?
2. Bagaimana Tinjauan Yuridis Terhadap Politik Dinasti Di Indonesia?
3. Bagaimana Islam Memandang Politik Dinasti?

PEMBAHASAN
1. Sejarah Politik Dinasti Di Indonesia
Dinasti politik sudah ada sejak zaman dulu pada zaman kerajaan-kerajaan yang tumbuh
dan berkembang di nusantara (Indonesia). Bahkan sampai saat ini dinasti politik masih kental
sekali keberadaannya. Baik dari segi konsepsinya sebagai pelaku politik strategi politik,
orientasi politik, dan kemudian menjadi suatu budaya politik yang tetap tumbuh dan
berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Pada dasarnya di dalam demokrasi tidak
ada dinasti politik, walaupun banyak sejarah yang mencatat dalam negara-negara demokrasi
modern pasti ditemukan dinasti politik. Padahal seperti yang kita ketahui bahwa negara
demokrasi menjunjung tinggi hak seluruh warga negara untuk memilih dan dipilih. Fakta
yang terjadi di lapangan justru memperlihatkan bahwa dinasti politik berkembang dalam
lingkup demokrasi kita, yang berlaku adalah berdasarkan atas kedekatan secara personal dan
kekeluargaan bukan berdasarkan kualitas kandidat.
Dinasti politik di Indonesia telah muncul dan berkembang sejak orde lama. Fenomena
dinasti politik di Indonesia dapat dilihat sejak Bung Karno berkuasa. Keturunan Soekarno
meneruskan profesinya sepagai politisi: Megawati Soekarnoputri, Sukmawati, dan Guruh
Soekarno. Fenomena dinasti politik juga terlihat dalam keluarga Gusdur (K.H. Abdurrahman
Wahid), yakni terjunnya saudara-saudara kandungnya, juga anakkandungnya ke dalam
politik. Begitu juga Megawari Soekarnoputri yang terlihat ada gejala dinasti politik dengan
terlibat aktifnya Puan Maharani dalam perpolitikan di Indonesia hinggaakhirnya menjadi
ketua Dewan Perwakilan Rakyat.
Pada masa orde baru, kekuasaan para elit dibatasi oleh pusat, mekanisme yang dilakukan
cenderung pada pengangkatan secara langsung. Elit lokal yang prodengan orde baru
mendapatkan keistimewaan, sedangkan yang kontra yang tidak menyukai kepemimpinan
orde baru bisa tersingkir di arena politik lokal di daerahnya. Momentum transisi dari
otoritarianisme menuju demokrasi ditandai dengan kebijakan otonomi daerah sangat
dimanfaatkan oleh kedua kelompok, kelompok pro dan kontra terhadaporde baru untuk
berkuasa secara penuh di daerahnya dalam kontestasi untuk menjadi elit pemenang maupun
bersinergi satu sama lain yang pada umumnya disatukan melalui jalur perkawinan.
Berkembangnya dinasti politik di tingkat lokal juga bisa ditafsirkan dalam
bentuk‘Cendanaisasi’ lokal. Istilah cendanaisasi ini merujuk pada Keluarga Cendana semasa
32 tahunkepempinan Presiden Soeharto yang sangat berkuasa dalam ekonomi-politik
Indonesia. Mulaidari anak, menantu, kemenakan, hingga kerabat-kerabat lainnya menguasai
pos-pos strategis pemerintahan sehingga dinasti Keluarga Cendana berkuasa selama 3 dekade
pemerintahan.5
Dinasti politik biasanya dilakukan dengan dua cara yaitu secara by design dan by
accident. Dinasti politik by design telah terbentuk sejak lama dimana secara relasi, jejaring
familisme dalam pemerintahan sudah kuat, sehingga kerabat yang masuk dalam
pemerintahan atau terjun ke dalam kontestasi politik sudah diatur sedemikian rupa dan sudah
didesain sejak awal untuk menempati pos tertentu. Model by design yang dominan adalah
istrimaju menggantikan suami atau anak menggantikan bapaknya. Dinasti politik by accident
sendiri terjadi dalam situasi pemerintahan yang secara tiba-tiba mencalonkan kerabat untuk
menggantikannya demi menjaga kekuasaan informal terhadap penggantinya kelak jika
menangdalam kontestasi politik. Sementara itu, model by accident biasanya adalah kerabat
sebagai calon kepala daerah hanya sebagai bayangan atas kerabat lain yang difavoritkan akan
memenangkan Pemilukada.6
Dinasti politik era reformasi, yang oleh masyarakat dianggap sebagai virus demokrasi
pada awalnya muncul optimisme penyakit ini akan hilang dengan terpilihnya Jokowi sebagai
Presiden karenadia bukan berasal dari keluarga elit politik. Namun anggapan itu ternyata
salah, seperti yang menghiasi lini masa media online Jokowi telah merestui anaknya yaitu
Gibran Rakabuming Raka menjadi calon walikota Solo. Tidak hanya putranya, menantu
Jokowi yaitu Bobby Nasution juga maju sebagai calon wali kota Medan. Di Solo, Gibran
bersama pasangannya yaitu Teguh Prakosa menang telak dengan meraih suara lebih dari 90%
atas calon independenBagyo Wahyono-FX Supardjo. Kemenangan juga diraih oleh Bobby
yang berpasangan denganAulia Rachman. Mereka berhasil meraih 53,45% suara, sementara
lawannya yaitu Akhyar Nasution-Salman Alfarisi hanya memperoleh 46,55% suara. Bahkan
Siti Nur Azizah, anak wakil Presiden RI 2019-2020, Ma’ruf Amin, mencalonkan diri dalam
pemilihan Wali Kota Tangerang Selatan 2020.7
Kehadiran politik dinasti tidak terlepas dari peran serta partai politik dan pemerintah
daerah. Kandidat yang dicalonkan oleh partai politik tidak mempertimbangkan pada
kredibilitas dan kualitas calon. akan tetapi lebih didasarkan pada keinginan elit partai dalam
perebutan kekuasaan. Dinasti politik ini membangun jaringan kekuasaannya dengan terus
berusaha mendominasi dan mematikan demokrasi.
Dinasti politik berpotensi cukup kuat untuk menyuburkan budaya koruptif dalam
pemerintahan. Kurang kuatnya peraturan yang ada menyebabkan semakin merajalelanya
politik dinasti ini, maka banyak hal yang dapat terjadi jika politik dinasti tidak dilemahkan.
Akibat yang terjadi contohnya melemahnya fungsi kontrol hukum, terutama terhadap
tindakan korupsiyang dilakukan oleh para pejabat dan kerabat mereka. Bila bukan dicegah
dengan hukum, maka dinasti politik seharusnya dicegah lewat kerja-kerja politik. Partai
5
Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, (Jakarta: Penerbit Kencana
Prenada Media Group, 2011), hlm. 11.
6
Nasir, Rachmad Yuliadi, Negeri Dinasti Politik Praktis, Makalah, Maret 2013, hlm 19
7
Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusoff , “Patronase Politik Era Reformasi: Analisis Pilkada Di Kabupaten
Takalar Dan Provinsi Jambi”, Jurnal Administrasi Publik Vol. 11, No. 2, (Oktober 2014), hlm. 71.
politik harus memilih calon secara terbuka dan tidak lagi memaksakan diri mengajukan calon
yang berasal dari dinasti politik yang miskin kompetensi dan tuna integritas. Karena jika hal
itu dilakukan hanya akan mempermalukan partai politik dikemudian hari.

2. Tinjauan Yuridis Terhadap Politik Dinasti Di Indonesia


Sebagai negara berkembang, Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki banyak
politik dinasti, Politik Dinasti ini telah hadir dalam Indonesia sejak zaman zaman dahulu dan
terus mengakar subur hingga saat ini. hal ini merupakan salah satu dampak dari tidak
transparannya rekrutmen calon partai politik dan tidak adanya peraturan yang tegas tentang
politik dinasti. Pada pasal 7 huruf (r) UU Pilkada pernah mengatur adanya Politik Dinasti
yang berisikan bahwa: “Bakal calon tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”. 8
Maksud dari pasal tersebut yaitu tidak ada hubungan darah, tidak mempunyai ikatan
pernikahan, dan tidak memiliki garis keturunan. Pada hakikatnya maksud dari penerbitan
pasal ini adalah sebagai aturan hukum untuk calon pilkada yang mempunyai keluarga
petahana dan untuk mencegah terjadinya politik dinasti ataupun dinasti politik. Amar Putusan
MK No. 33/PUU-XIII/2015, menyatakan bahwa Pasal 7 huruf (r) UU Pilkada telah
bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak mempunyai hukum yang mengikat dan tidak
sesuai dengan pembentukan perundang-undangan sebagai keputusan hukum, pada
pembentukan UU seharusnya memiliki sifat yang permanen dalam hukum, salah satu
fungsinya yaitu untuk menjamin keadilan bagi masyarakat dan telah tercapainya kepastian
hukum. Perangkat kerja sistem sosial ini termasuk dalam hukum, fungsi sistem sosial
merupakan suatu cara untuk tercapainya masyarakat yang dapat menjalankan peraturan dan
tercapainya ketertiban. Tugas dari hukum yaitu untuk tercapainya keadilan bagi masyarakat
dan adanya keterkaitan pada nilai kepentingan hukum. 9 Kepastian hukum merupakan salah
satu asas hukum yang memiliki kepentingan dalam hukum yaitu dalam tindakan hukum dan
penegakan hukum.10
Dalam pertimbang Putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015, hakim mempunyai pendapat
bahwa demokrasi yang ideal yaitu dimana keterlibatan masyarakat sebanyak mungkin untuk
ikut berpartisipasi dalam proses politik di Indonesia untuk sama memiliki tujuan bagi
kesejahteraan bersama. Meskipun dalam sistem pemerintah ada batasan, maka demi pejabat
pemerintah harus memiliki berbagai kapasitas untuk dapat menjamin kemakmuran
masyarakat, dalam hal tersebut pembatasan tidak boleh luput dari adanya hak konstitusi
masyarakat yang harus dipenuhi. Hakim juga menilai bahwa Pasal 7 huruf r UU Pilkada
mengandung muatan diskriminasi. Pada ketentuan ini memiliki makna dalam pembentukan
undang-undang adanya perbedaan dalam status kekeluargaan ataupun garis keturunan
sebagai calon kepala daerah.
8
Sekretariat Negara Republik Indonesia.Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
9
Nur Solikin, Hukum Masyarakat dan Penegakan hukum, (Pasuruan: Penerbit Qiara Media,2019) :8
10
Nurul Qamar dan Farah Syah Reza, Ilmu dan Teknik Pembentukan perundangundangan (Makasar: Jenius Sosial
Politik, 2020), 16
Selain itu hakim juga mengatakan apabila dilaksanakannya Pasal 7 huruf r Undang
Undang Nomor 8 Tahun 2015 tersebut akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaan
prakteknya, khususnya dalam pelaksanaan Pilkada. 11 Dikarenakan , adanya arti dari frasa
“tidak mempunyai konflik kepentingan dengan adanya petahana” dapat dijelaskan bahwa hal
tersebut diserahkan terhadap penafsiran setiap orag ssesuai dengan kepentingannya. Dalam
kata lain, dapat kita pastikan bahwa tidak mempunyai kesamaan frasa “tidak mempunyai
konflik terhadap kepentingan dengan petahana”. Dampaknya, tidak adanya kepastian hukum.
Padahal, dalam adanya kepastian hukum memiliki penafsiran frasa “tidak mempunyai
konflik kepentingan dengan petahana” hal tersebut menentukan hak-hak dari seseorang
dalam pencalonan diri sebagai kepala daerah yang aman sudah dijamin oleh Konstitusi.
Dengan demikian, hakim pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015
menyatakan mengabulkan permohonan dari pemohon dengan dasar telah bertentangan
dengan UUD 1945 karena tidak memberi kepastian hukum yang potensial merugikan hak
konstitusional warga negara, in casu hak untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Dinasti Politik adalah akses negatif dari otonomi daerah yang menjadikan demokrasi
terbajak (hijacked democracy)12 oleh sirkulasi hubungan intim genealogis, berdasarkan
adanya relasi kekerabatan maupun diluar kekerabatan yang mana memiliki kepentingan
sendiri terhadap kejayaan kekuasan keluarga. Dengan adanya hal tersebut yang membuat
kalangan keluarga menjadi kalangan elit yang mana menjadi penguasa atau kata kunci dari
adanya praktik politik pemerintahan yang bersifat lokal. Dalam penerapannya itu sendiri
adanya aktualisasi dinasti politik dilaksanakan dengan , menggunakan berbagai sudut
pandang diantaranya predator politik, dan neo patrimonialisme. Dapat dilihat dari segi
hukum, adanya praktik politik kekeluargaan atau juga sering disebut dengan dinasti politik
dalam hal ini merupakan praktik politik yang konstitusional di Indonesia. Sebelumnya,
terdapat upaya untuk menghambat pertumbuhan politik dinasti melalui Pasal 7 (UU Pilkada)
yang menyatakan bahwa:
“ tidak mempunyai kepentingan konflik dengan petahana yang mana dimaksud yaitu
tidak mempunyai konflik kepentingan dengan petahana yaitu tidak mempunyai hubungan
perkawinan, hubungan darah, dan/ atau garis keturunan 1 tingkat lurus ke atas, ke bawah,
kesamping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua , paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak ,
menantu kecuali telah melewati jeda 1 kali masa jabatan)”.
Upaya untuk membendung politik dinasti tersebut lalu dibatalkan oleh mahkamah
konstitusi. Karena Mahkamah Konstitusi dengan hal tersebut menilai bahwa adanya larangan
terhadap calon kepala daerah yang memiliki sifat yang diskriminatif terhadap adanya hak
perpolitikan bagi masyarakat yang ingin mencalonkan diri dan dipilih dalam kontestasi
politik. Selanjutnya, dapat kita telaah bahwasannya adanya putusan MK maka telah
mengakomodir terhadap hak asasi yaitu pada bidang partisipasi politik, bagaimana setiap
masyarakat mempunyai kesetaraan hak dalam pemerintahan dan hukum, dan juga memiliki

11
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015
12
Winda roselina effendi, “Dinasti Politik Dalam Pemerintahan Lokal Studi Kasus Dinasti Kota Banten”, Jurnal
Trias politika 2, No 2, (Oktober 2018),: 234 https://doi.org/10.33373/jtp.v2i2.1471
kebebasan terhadap adanya berbagai sifat diskriminatif, dengan lahirnya putusan MK
tersebut maka melegalkan adanya praktik politik dinasti yang kemudian akan menumbuhkan
politik dinasti yang kedepannya sulit untuk dikendalikan. Secara tidak langsung Melalui
putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015 ini, MK sudah memberikan lampu hijau bagi kaum
petahana untuk tumbuh subur, dengan meniadakan adanya peraturan terkait dengan
pembatasan politik dinasti tersebut yang mana dibuat oleh legislator sebelumnya. Maka kaum
orang kaya atau elit akan menjadikan putusan tersebut sebagai landasan dalam legal forma
dimana adanya politik dinasti di suatu daerah.
Sebelum diterbitkannya Putusan MK No 33/PUU-XIII/2015, Mahkamah Konstitusi ini
yang diharapkan diharapkan mampu mengukuhkan sistem pemerintahan di Indonesia dengan
cara menolak politik dinasti. Akan tetapi, dengan adanya pelaksanaan dari putusan MK
tersebut justru menjadi salah satu penghalang dari adanya peningkatan negara yang
demokrasi dan dari budaya yang anti korupsi. Putusan ini menjadikan politik dinasti dapat
tumbuh subur di Indonesia. Implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diyakini
semakin menyuburkan munculnya dinasti politik dalam dunia perpolitikan di Indonesia.
Pasca lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUUXIII/2015, fenomena
politik dinasti telah meningkat tajam dari tahun 2015 ke tahun 2020. Jika pada tahun 2015
lalu diketahui terdapat 52 calon kepala daerah yang memiliki hubungan kekerabatan dengan
petahana, maka pada tahun 2022 ini terdapat lebih dari 158 calon yang terafiliasi dengan elit
politik.13 Pada tahun 2022 ini jumlah praktik politik dinasti mengalami kenaikan yang sangat
pesat, yang mana dalam hal tersebut kemudian terjadinya kekhawatiran yang mana akan
merusak terhadap sendi-sendi demokrasi pada pemerintahan daerah. Selanjutnya, hal tersebut
juga memiliki potensi atas penyalahgunaan kekuasaan yang mana dilakukan oleh para
penguasa dengan mewujudkan tata kelola pemerintah daerah yang koruptif, yang mana pada
kemudian hari akan mengakibatkan adanya penghambatan terhadap pembangunan daerah
yang merugikan masyarakat maupun negara.
Pengaturan politik dinasti setelah adanya putusan MK No. 33/PUUXIII/2015 adalah
lepasnya regulasi secara yuridis yang sebelumnya diatur di dalam pasal 7 huruf r UU No. 8
tahun 2015, hal ini tentunya mengakibatkan meningkatnya pilkada tingkat daerah yang mana
calonnya adalah kerabatnya ataupun keluarga sendiri, sehingga bibit bibit untuk melakukan
politik dinasti timbul. Hal ini tentunya memicu dampak yang kurang baik, karena selain
berpotensi menimbulkan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme tentunya juga dikhawatirkan
menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan yang ditakutkan terjadi perputaran kekuasaan
hanya di keluarga itu saja.

3. Pandangan Islam Terhadap Hukum Islam

13
“Peneliti:57 calon Dinasti Politik Menang Pilkada 2020”,CNN Indonesia, diakses pada tanggal 3 April , 2022,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210412184019-32- 628960/peneliti-57-calon-dinasti-politik-menang-
pilkada-2020
Permasalahan krusial yang dihadapi umat Islam setelah wafatnya Rasulullah, adalah
tentang siapa yang akan menggantikan kedudukan beliau sebagai pemimpin umat. Ini terjadi
karena baik al-Qur’an maupun sunnah Rasul sendiri tidak ada yang secara tegas menjelaskan
bagaimana sistem suksesi dan bentuk pemerintahan yang harus dilaksanakan oleh umat Islam
setelah beliau. Ini menimbulkan berbagai penafsiran dan perbedaan pendapat yang pada
gilirannya melahirkan berbagai aliran politik dalam Islam 14. Disisi lain, dalam perkembangan
sejarah Islam, keragaman aliran politik ini melahirkan pula berbagai praktek ketatanegaraan
yang berbeda antara umat Islam di satu tempat dan masa dengan ditempat dan masa yang
lain. Hal ini wajar.
Sistem pemerintahan pada masa klasik, yaitu pada awalnya diterapkan sistem demokrasi
(pemilihan pemimpin oleh umat Islam secara langsung maupun perwakilan dan penunjukkan
oleh pemimpin sebelumnya atas restu dari umat Islam) oleh para Khulafa al-Rasyidin dan
kemudian diganti oleh Dinasti Umayyah dengan sistem kerajaan (penyerahan kekuasaan
kepada seseorang dari pemimpin yang berkuasa secara turun temurun) yang secara langsung
sistem tersebut juga menjadi pilihan oleh dinasti dan pemerintahan selanjutnya. Kemudian
kebijakan Usman bin Affan ketika mengamanahkan jabatan-jabatan pemerintahan kepada
karib kerabatnya, menimbulkan suatu tindakan politik yang dikenal dengan politik dinasti,
yaitu menyerahkan kekuasaan secara turun temurun dan pembagian kekuasaan secara merata
hanya untuk keluarga dan kerabat.
Para ulama juga tidak membahas secara jelas tentang praktek politik dinasti tersebut,
hanya saja para ulama membahas kepada hal-hal yang mendekati atau mencerminkan praktek
politik dinasti itu sendiri. Sedangkan menurut pandangan penulis sendiri, bahwa praktek
politik dinasti merupakan suatu hal yang dipakai dan sesuai dengan sistem awal
pemerintahan Islam. Hal ini dilator belakangi pada factor Rasul yang berasal dari keturunan
Quraisy sebagai pemimpin awal pemerintahan Islam, serta diperkuat dengan hadist Nabi
yang menyatakan bahwa “para pemimpin harus berasal dari Quraisy”. Hadist ini pun menjadi
pedoman dasar bagi para sahabat setelah Rasulullah wafat dan menjadi suatu syarat yang
harus dipenuhi oleh para pemimpin menurut sebagian ulama.
Supaya terwujudnya praktek politik dinasti tersebut, maka proses pengangkatan
pemimpin yang lebih efektif dan terjamin, harus dilakukan dengan penunjukan. Walaupun
sistem atau cara yang dipakai dalam penunjukan tersebut berbeda-beda. Di sisi lain
pengangkatan pemimpin dengan pemilihan masih member ruang untuk terwujudnya praktek
dinasti politik.
Demi menjaga stabilitas praktek politik dinasti tersebut, maka harus diperhatikan bentuk
negara itu sendiri. Dari sekian banyak bentuk negara, hanya beberapa bentuk negara yang
berpeluang terwujudnya praktek politik dinasti, seperti bentuk negara monarki, namun
bentuk negara demokrasi dan republik serta komunis pun juga bisa menerapkan praktek
politik dinasti.
Dari pandangan para ulama di atas, sehingga penulis berkesimpulan berdasarkan kepada :
14
Iqbal, Muahmmad. 2007. Fiqh Siyasah Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta; Gaya Media Pratama, hal
55
Pertama, politik dinasti tidak diatur dalam al-Qur’an, dengan kata lain bahwa ayat-ayat al-
Qur’an tidak menjelaskan tentang hubungan dan hal-hal yang berkaitan dengan
politik dinasti itu sendiri.
Kedua, sama halnya dengan ayat-ayat al-Qur’an di atas, hadist juga tidak membahas tentang
politik dinasti tersebut secara jelas. Walaupun ada yang menghubungkan dengan
hadist nabi “para pemimpin harus berasal dari Quraisy”. Namun hadist ini masih
diperdebatkan oleh para ulama karena selain hadist ini dijadikan sebagai syarat
pemimpin, hadist ini menjadi penghalang bagi umat Islam yang bukan keturunan
Quraisy untuk menjadi pemimpin.
Ketiga, tidak jauh berbeda dengan al-Qur’an dan hadist, ijma’ juga tidak mengkaji tentang
politik dinasti tersebut. Namun para ulama hanya membahas tentang hal-hal yang
berkaitan dan mengarah kepada praktek politik dinasti itu sendiri, seperti syarat-
syarat pemimpin.
Keempat, sebagaimana yang dijabarkan di atas, bahwa ayat-ayat al-Qur’an dan hadist serta
ijma’ tidak membahas tentang politik dinasti tersebut secara jelas, oleh sebab itu
politik dinasti yang merupakan bagian dari muamalah dapat dilihat berdasarkan
kepada kaedah-kaedah yang ada, seperti di bawah ini:

‫ لذلك هناك سبب وهو محظور‬،‫القانون األساسي لكل شيء مباح‬


Artinya : hukum yang pokok dari segala sesuatu adalah boleh, sehingga terdapat dalil yang
mengharamkannya (Mudjib, 2004)
Dengan kaedah ini, politik dinasti dapat dikuatkan dengan hadist, yakni:

)‫ر مسلم‬.‫( هـ‬. ‫ أنت أعلم بأمور دنياكم‬:‫ قال‬...‫وعن عائشة رضي هللا عنها أن النبي‬
Artinya : Dari Aisyah ra, sesungguhnya Nabi …, Berkata: Kamu lebih mengetahui dengan
urusan duniamu.(H.R Muslim)
Dengan demikian dapat dipahami, berdasarkan kaedah yang di atas dan selama syarat-
syarat pemimpin tersebut sesuai dengan tuntunan Islam, serta proses pengangkatan pemimpin
dilakukan dengan penetapan atau pemilihan kemudian jugamemakai sistem pemerintahan
bersifat monarki atau tidak, asalkan rakyat mendukungdan sesuai dengan ajaran Islam untuk
kemaslahatan umat, maka praktek politik dinasti tersebut boleh dilakukan. Akan tetapi
bilamana dinasti politik di salah gunakan, denganmaksud menggapai kekuasaan dengan tipu
muslihat, hanya ingin mendapat dukunganrakyat namun tidak mengakomodasi harapan
harapan rakyat tatkala telah menjadi penguasa, dan menjalankan pemerintahan tidak sesuai
dengan ajaran Islam, bukannyamemberi kemaslahatan umat, namun menjadi masalah dan
derita bagi rakyat, makapraktek politik dinasti ini tidak boleh di terapkan.
Politik dinasti tidak diatur secara jelas dalam Islam, namun dalam fakta sejarah Islam,
politikdinasti tersebut sudah ada pada masa Khulafa al-Rasyidin khususnya pada masa
UsmanbinAffan yang kemudian juga diterapkan dalam dinasti bani Umayyah serta dinasti-
dinasti ataupemerintahan-pemerintahan sesudah itu. Secara umumnya politik dinasti sudah
diterapkansemenjak periode klasik kemudian periode pertengahan serta periode moderen
sampai sekarang ini dalam dunia perpolitikan. Politik dinasti menurut Islam merupakan suatu
hal yang dibolehkan, tetapi harus berdasarkan pada syarat- syarat pemimpin yang ada dan
harus sesuai dengan proses pengangkatan yang dicontohkan Rasul dan sahabat.15 Dalam hal
ini, akhirnya penulis membagi atas beberapa menjadi: Politikdinasti boleh apabila pemimpin
sesuai dengan harapan rakyat dan pemimpin tersebut ahli di bidangnya. Akan tetapi politik
dinasti tidak boleh apabila seorang pemimpin merupakankehendak pribadi atau golongan dan
tidak ahli sebagai pemimpin serta mendahulukankepentingan pribadi maupun golongan.
Untuk menjadi dan mencari seorang pemimpin yang dilihat pertama kali bukanfaktor dari
keturunannya, tapi yang harus diperhatikan adalah kecakapan dan kepantasanseseorang untuk
menjadi seorang pemimpin. Di lain halnya, untuk menjaga stabilitas pemerintahan, seorang
pemimpin tidak bisa berharap pada unsur kekeluargaan dengan katalain memposisikan
anggota-anggota keluarga dalam suatu pemerintahan, tapi demi terciptanya stabilitas
pemerintahan, maka seorang pemimpin harus berlaku adil.

PENUTUP
Dinasti politik sudah ada sejak zaman dulu pada zaman kerajaan-kerajaan yang tumbuh
dan berkembang di nusantara (Indonesia). Bahkan sampai saat ini dinasti politik masih kental
sekali keberadaannya. Baik dari segi konsepsinya sebagai pelaku politik strategi politik, orientasi
politik, dan kemudian menjadi suatu budaya politik yang tetap tumbuh dan berkembang di
tengah-tengah masyarakat Indonesia. Berkembangnya dinasti politik di Indonesia juga bisa
ditafsirkan dalam bentuk‘Cendanaisasi’ lokal. Istilah cendanaisasi ini merujuk pada Keluarga
Cendana semasa 32 tahun kepempinan Presiden Soeharto yang sangat berkuasa dalam ekonomi-
politik Indonesia. Mulaidari anak, menantu, kemenakan, hingga kerabat-kerabat lainnya
menguasai pos-pos strategis pemerintahan sehingga dinasti Keluarga Cendana berkuasa selama 3
dekade pemerintahan.
Pengaturan politik dinasti setelah adanya putusan MK No. 33/PUUXIII/2015 adalah
lepasnya regulasi secara yuridis yang sebelumnya diatur di dalam pasal 7 huruf r UU No. 8 tahun
2015, hal ini tentunya mengakibatkan meningkatnya pilkada tingkat daerah yang mana calonnya
adalah kerabatnya ataupun keluarga sendiri, sehingga bibit bibit untuk melakukan politik dinasti
timbul. Hal ini tentunya memicu dampak yang kurang baik, karena selain berpotensi
menimbulkan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme tentunya juga dikhawatirkan menimbulkan
penyalahgunaan kekuasaan yang ditakutkan terjadi perputaran kekuasaan hanya di keluarga itu
saja.
Politik dinasti tidak diatur secara jelas dalam Islam, namun dalam fakta sejarah Islam,
politik dinasti tersebut sudah ada pada masa Khulafa al-Rasyidin khususnya pada masa Usman
bin Affan yang kemudian juga diterapkan dalam dinasti bani Umayyah serta dinasti-dinasti atau
pemerintahan-pemerintahan sesudah itu. Secara umumnya politik dinasti sudah diterapkan

15
Iqbal, Muahmmad. 2007. Fiqh Siyasah Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta; Gaya Media Pratama, hal
31
semenjak periode klasik kemudian periode pertengahan serta periode moderen sampai sekarang
ini dalam dunia perpolitikan. Politik dinasti menurut Islam merupakan suatu hal yang
dibolehkan, tetapi harus berdasarkan pada syarat- syarat pemimpin yang ada dan harus sesuai
dengan proses pengangkatan yang dicontohkan Rasul dan sahabat.

DARTAR PUSTAKA
Buku
A Bathoro, 2011, “Perangkap Dinasti Politik Dalam Konsolidasi Demokrasi,” Jurnal FISIP
UMRAH Vol. 2, No. 2
Iqbal, Muahmmad. 2007. Fiqh Siyasah Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta; Gaya
Media Pratama
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Cet. 1; Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2000)
Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, (Jakarta:
Penerbit Kencana Prenada Media Group, 2011)
Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusoff , “Patronase Politik Era Reformasi: Analisis
Pilkada Di Kabupaten Takalar Dan Provinsi Jambi”, Jurnal Administrasi Publik Vol. 11,
No. 2, (Oktober 2014)
M Mietzner, Indonesia’s 2009 Elections: Populism, Dynasties and the Consolidation of the
Party System (Lowly Institute: For International Policy, 2009).
Nasir, Rachmad Yuliadi, Negeri Dinasti Politik Praktis, Makalah, Maret 2013
Nurul Qamar dan Farah Syah Reza, Ilmu dan Teknik Pembentukan perundangundangan
(Makasar: Jenius Sosial Politik, 2020)
Nur Solikin, Hukum Masyarakat dan Penegakan hukum, (Pasuruan: Penerbit Qiara Media,2019)

Jurnal
Winda roselina effendi, “Dinasti Politik Dalam Pemerintahan Lokal Studi Kasus Dinasti Kota
Banten”, Jurnal Trias politika 2, No 2, (Oktober 2018),: 234
https://doi.org/10.33373/jtp.v2i2.1471

Surat Kabar
Hendrik, dkk. calon Dinasti Politik Menang Pilkada 2020”,CNN Indonesia, diakses pada tanggal
3 April , 2022, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210412184019-32-
628960/peneliti-57-calon-dinasti-politik-menang-pilkada-2020

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (2) kedaulatan
berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan
Walikota Menjadi Undang-Undang
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015

Anda mungkin juga menyukai