Belakangan ini isu politik dinasti kembali menguat sejak Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Operasi tersebut terkait penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar terkait Pemilukada Kabupaten Lebak, Banten yang melibatkan kerabat Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Dari sana kemudian terungkap ada sekitar 56 kepala daerah di seluruh Indonesia yang melakukan praktik politik dinasti. Demikian info dari Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Ujung dari pembahasan di media adalah pemikiran untuk membatasi keterlibatan anggota keluarga dalam politik dan untuk mengembalikan lagi fungsi DPRD dalam memilih kepala daerah sehingga kepala daerah tidak lagi dipilih langsung. Mari kita cek penggunaan istilah dinasti politik dan apakah dinasti politik itu baik atau buruk bagi demokrasi dan pembangunan negeri. Buah apel jatuh tak jauh dari pohonnya, pepatah tersebut tepat digunakan untuk menyebut para kandidat pemilu yang terpilih dan memiliki hubungan dekat kekeluargaan dengan elit politik yang pernah menjabat kekuasaan di kursi pemerintahan. Negara Indonesia yang berasas demokrasi, fenomena tersebut beken dengan istilah politik dinasti. Sebuah wacana serius dalam kancah perpolitikan di Indonesia untuk dijadikan bahan diskusi bersama. Secara harfiah, dinasti berarti kekuasaan yang dipegang secara turun temurun dalam satu garis keturunan atau kerabat dekat. Namun politik dinasti disini yaitu sebuah dinasti dalam konteks negara dengan sistem demokrasi. Demokrasi tetapi dinasti, sebenarnya apa yang salah dengan Demokrasi di Negara kita? Istilah dinasti politik atau politik dinasti dimengerti sebagai praktik membangun kekuasaan yang menggurita oleh sejumlah orang yang masih memiliki kaitan kekerabatan. Dalam kasus Atut, istilah tadi bahkan distempel konotasi buruk, yakni kekuasaan kekerabatan yang cenderung koruptif dan melambatkan pencapaian kesejahteraan masyarakat. Secara riil, dampak dinasti politik sangat tergantung dari konteks sejarah negara masingmasing dan relasi sosial yang berkembang bersamaan dengan tumbuhnya dinasti politik. Poitik Dinasti adalah satu realita yang tak terbantahkan , dan tidak bisa dihindari apapun bentuk Pemerintahan satu Negara. Bahkan Amerika serikat yang dijadikan contoh Negara Paling Demokratis dan yang telah mengeterapkan system demokrasi ratusan tahun tidak terhindar dari Politik Dinasti. Seperti dilansir banyak media Dinasti Bush dan Kennedy merupakan dinasti yang mentradisi dalam Politik Dinasti di Amerika Serikat. Akan tetapi, berbeda halnya dengan yang terjadi di Indonesia, praktik politik dinasti terpilih bukan karena kualitas sang kandidat, namun hanya numpang popularitas dari nama elit terdahulunya. Dan ironisnya banyak dari mereka ujung-ujungnya hanya orientasi materi belaka, bahkan ada yang korupsi. Sebuah strategi politik untuk mempertahankan kekuasaan atau status quo dengan cara mewariskan kepada orang lain yang masih memiliki hubungan keluarga. Bisa dikatakan dengan rezim kekuasaan politik yang dijalankan secara turun-temurun oleh salah satu keluarga atau kerabat dekat. Sebuah rezim yang terbentuk dengan latar belakang concern yang sangat tinggi antara anggota keluarga terhadap perpolitikan. Faktor Internal Tak bisa dipungkiri, faktor internal menjadi penyebab utama terjadinya praktik politik dinasti ini. Bagaimana tidak, seseorang yang sedang memiliki kekuasaan pasti ingin mempertahankan kekuasaannya walaupun dengan berbagai cara. Namun, regulasi dan kepatutan biasanya menghalangi langkah incumbent untuk mencalonkan atau dicalonkan kembali. Akhirnya, pilihan jatuh pada keluarga terdekatnya, baik suami, istri, anak, menantu atau kerabat lainnya. Entah, pengajuan kandidat pemilu atas inisitaf parpol atau incumbent sendiri yang sebenarnya masih ingin berkuasa. Mayoritas penduduk Indonesia yang relatif masih rendah dalam pendidikan politik, cenderung fanatis dalam memilih para wakilnya. Kemudian fanatisme tersebut dimanfaatkan oleh parpol yang berasumsi bahwa fanatisme pemilih terhadap incumbent jauh lebih besar dan dapat dialihkan dengan mudah kepada sosok kerabat dekatnya, hal itu memang fakta kebanyakan yang terjadi di lapangan. Menilai politik dinasti dapat dilihat dari berbagai perspektif. Pihak yang pro, mengangkat demokrasi bahwa semua warga negara berhak untuk memilih dan dipilih tak terkecuali terpaut darah dengan orang yang sedang atau pernah menjabat kursi kekuasaan. Lain hal dengan yang kontra, menilai bahwa politik dinasti telah mencederai sistem demokrasi Indonesia sendiri. karena di sebuah negara demokrasi yang seharusnya demokrasi, telah terjadi suatu bentuk demokrasi yang di politisasi sehingga seolah-olah demokrasi berjalan demokratis. Dan melihat fakta yang ada, orang-orang yang menduduki kursi kekuasaan kebanyakan mereka memiliki hubungan kekeluargaan, hal itu menunjukkan adanya politik dinasti yang dinilai menjadi satu bentuk nepotisme yang harus diberantas. Numpang Popularitas Memang pelik, negara yang menjadi kiblat demokrasi seperti Amerika dijadikan sebagai landasan betapa politik dinasti itu wajar dan sah-sah saja. Sebagaimana kita lihat, pemimpin negara ayah dan anak, George Herbert Walker Bush (1989-1993) dan George Walker Bush (2001-2009) atau John Adams (1797-1801) dan putranya John Quicncy Adams (1825-1829). Begitu pula Perdana Mentri di India turun temurun dikuasai keluarga Gandhi. Tentu beberapa contoh diatas tidak bisa kita sandingkan jika dibandingkan dengan praktik demokrasi di Indonesia. Sebuah perbedaan kualitas yang jauh. Di amerika Serikat, terpilihnya pemimpin yang notabene dari keturunan, biasanya karena memang benar-benar berkualitas dan mumpuni sehingga menjadi pilihan rakyat. Dan terbukti selama masa kepemimpinannya memiliki komitmen dan mampu membawa kemajuan untuk negaranya. Berbeda halnya dengan yang terjadi di Indonesia, praktik politik dinasti terpilih bukan karena kualitas sang kandidat, namun hanya numpangpopularitas dari nama elit terdahulunya. Dan ironisnya banyak dari mereka ujung-ujungnya hanya orientasi materi belaka, bahkan ada yang korupsi. Tragis, sebagaimana kasus-kasus di beberapa daerah misalnya. Kasus Ketua DPRD Jawa Tengah Nonaktif, yang divonis 2,5 tahun penjara terkait korupsi dana KAS Daerah Kabupaten Kendal 2003 senilai Rp. 4,75 miliar. Ia dinyatakan terbukti turut korupsi berkelanjutan bersama Bupati Kendal periode 2000- 2005 yang tidak lain adalah saudara kandungnya. Lucunya lagi, akibat kekosongan jabatan ditinggalkannya karena harus menjalani penahanan, jabatan kekuasaan pimpinan DPRD Jawa Tengah beralih pada tokoh lain yang pernah berstatus napi korupsi. Surat Keterangan tak waras dikeluarkan RSJ Dr. Amino Gondohutomo Semarang ketika yang bersangkutan mangkir dari sidang kasus korupsi 17 Februari 2009, pejabat tersebut akhirnya divonis 18 bulan penjara terkait kasus korupsi buku perpustakaan dengan kerugian Rp. 4,63 miliar rupiah di Pengadilan Negeri Purworejo.(Highlight; Metro tv) Apresiasi pada Mendagri Kasus-kasus yang sangat merugikan rakyat ini seharusnya tidak terjadi, Karena itu, dibutuhkan kader-kader bangsa yang benar-benar mempunyai komitmen untuk mengabdi. Kita patut memberikan apresiasi ketika Mendagri melakukan terobosan dengan menyusun Rancangan Undang-Undang Pemilukada yang didalamnya berisi mengenai pembatasan politik dinasti. Hemat penulis, menanggulangi dampak negatif politik dinasti maka dalam rekrutmen kader harus diberlakukan sistem meritokrasi (merit system), mengelola sumber daya manusia atas dasar prestasi. Sistem ini sangat fair bagi sebuah negara demokrasi seperti Indonesia ini. Jadi, siapapun memiliki kesempatan untuk mewakili rakyat dengan pertimbangan prestasi. Untuk itu, parpol harus membenahi sistem rekrutmen dan kaderisasi. Parpol tidak perlu tidak pandang bulu dalam perkaderan dengan memprioritaskan kader yang mempunyai kapabilitas, kredibilitas dan pantas dijadikan pemimpin. Sekaranglah saatnya transisi kepemimpinan bangsa melalui sistem merit, karena jika tidak akan terjadi proses kemunduran dalam regenerasi. Dengan demikian, siapapun yang nanti suatu saaat terpilih untuk menduduki kursi pemerintahan benar-benar bisa diandalkan kualitas, kapabilitas, dan rasa tanggungjawab dalam mengemban amanah. Wallahu alam bi al-Shawab.