Anda di halaman 1dari 3

Politik Dinasti

Oleh: Muhammad Mubarak C.P


Belakangan ini isu politik dinasti kembali menguat sejak Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang
dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Operasi tersebut terkait penangkapan Ketua
Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar terkait Pemilukada Kabupaten Lebak, Banten yang melibatkan
kerabat Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah.
Dari sana kemudian terungkap ada sekitar 56 kepala daerah di seluruh Indonesia yang
melakukan praktik politik dinasti. Demikian info dari Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Ujung dari
pembahasan di media adalah pemikiran untuk membatasi keterlibatan anggota keluarga dalam politik
dan untuk mengembalikan lagi fungsi DPRD dalam memilih kepala daerah sehingga kepala daerah tidak
lagi dipilih langsung. Mari kita cek penggunaan istilah dinasti politik dan apakah dinasti politik itu baik
atau buruk bagi demokrasi dan pembangunan negeri.
Buah apel jatuh tak jauh dari pohonnya, pepatah tersebut tepat digunakan untuk menyebut
para kandidat pemilu yang terpilih dan memiliki hubungan dekat kekeluargaan dengan elit politik yang
pernah menjabat kekuasaan di kursi pemerintahan. Negara Indonesia yang berasas demokrasi,
fenomena tersebut beken dengan istilah politik dinasti. Sebuah wacana serius dalam kancah
perpolitikan di Indonesia untuk dijadikan bahan diskusi bersama.
Secara harfiah, dinasti berarti kekuasaan yang dipegang secara turun temurun dalam satu garis
keturunan atau kerabat dekat. Namun politik dinasti disini yaitu sebuah dinasti dalam konteks negara
dengan sistem demokrasi. Demokrasi tetapi dinasti, sebenarnya apa yang salah dengan Demokrasi di
Negara kita?
Istilah dinasti politik atau politik dinasti dimengerti sebagai praktik membangun kekuasaan yang
menggurita oleh sejumlah orang yang masih memiliki kaitan kekerabatan. Dalam kasus Atut, istilah tadi
bahkan distempel konotasi buruk, yakni kekuasaan kekerabatan yang cenderung koruptif dan
melambatkan pencapaian kesejahteraan masyarakat. Secara riil, dampak dinasti politik sangat
tergantung dari konteks sejarah negara masingmasing dan relasi sosial yang berkembang bersamaan
dengan tumbuhnya dinasti politik.
Poitik Dinasti adalah satu realita yang tak terbantahkan , dan tidak bisa dihindari apapun bentuk
Pemerintahan satu Negara. Bahkan Amerika serikat yang dijadikan contoh Negara Paling Demokratis
dan yang telah mengeterapkan system demokrasi ratusan tahun tidak terhindar dari Politik Dinasti.
Seperti dilansir banyak media Dinasti Bush dan Kennedy merupakan dinasti yang mentradisi dalam
Politik Dinasti di Amerika Serikat.
Akan tetapi, berbeda halnya dengan yang terjadi di Indonesia, praktik politik dinasti terpilih
bukan karena kualitas sang kandidat, namun hanya numpang popularitas dari nama elit terdahulunya.
Dan ironisnya banyak dari mereka ujung-ujungnya hanya orientasi materi belaka, bahkan ada yang
korupsi.
Sebuah strategi politik untuk mempertahankan kekuasaan atau status quo dengan cara
mewariskan kepada orang lain yang masih memiliki hubungan keluarga. Bisa dikatakan dengan rezim
kekuasaan politik yang dijalankan secara turun-temurun oleh salah satu keluarga atau kerabat dekat.
Sebuah rezim yang terbentuk dengan latar belakang concern yang sangat tinggi antara anggota
keluarga terhadap perpolitikan.
Faktor Internal
Tak bisa dipungkiri, faktor internal menjadi penyebab utama terjadinya praktik politik dinasti ini.
Bagaimana tidak, seseorang yang sedang memiliki kekuasaan pasti ingin mempertahankan
kekuasaannya walaupun dengan berbagai cara. Namun, regulasi dan kepatutan biasanya menghalangi
langkah incumbent untuk mencalonkan atau dicalonkan kembali. Akhirnya, pilihan jatuh pada keluarga
terdekatnya, baik suami, istri, anak, menantu atau kerabat lainnya.
Entah, pengajuan kandidat pemilu atas inisitaf parpol atau incumbent sendiri yang sebenarnya
masih ingin berkuasa. Mayoritas penduduk Indonesia yang relatif masih rendah dalam pendidikan politik,
cenderung fanatis dalam memilih para wakilnya. Kemudian fanatisme tersebut dimanfaatkan oleh
parpol yang berasumsi bahwa fanatisme pemilih terhadap incumbent jauh lebih besar dan dapat
dialihkan dengan mudah kepada sosok kerabat dekatnya, hal itu memang fakta kebanyakan yang terjadi
di lapangan.
Menilai politik dinasti dapat dilihat dari berbagai perspektif. Pihak yang pro, mengangkat
demokrasi bahwa semua warga negara berhak untuk memilih dan dipilih tak terkecuali terpaut darah
dengan orang yang sedang atau pernah menjabat kursi kekuasaan. Lain hal dengan yang kontra, menilai
bahwa politik dinasti telah mencederai sistem demokrasi Indonesia sendiri. karena di sebuah negara
demokrasi yang seharusnya demokrasi, telah terjadi suatu bentuk demokrasi yang di politisasi sehingga
seolah-olah demokrasi berjalan demokratis.
Dan melihat fakta yang ada, orang-orang yang menduduki kursi kekuasaan kebanyakan mereka
memiliki hubungan kekeluargaan, hal itu menunjukkan adanya politik dinasti yang dinilai menjadi satu
bentuk nepotisme yang harus diberantas.
Numpang Popularitas
Memang pelik, negara yang menjadi kiblat demokrasi seperti Amerika dijadikan sebagai
landasan betapa politik dinasti itu wajar dan sah-sah saja. Sebagaimana kita lihat, pemimpin negara ayah
dan anak, George Herbert Walker Bush (1989-1993) dan George Walker Bush (2001-2009) atau John
Adams (1797-1801) dan putranya John Quicncy Adams (1825-1829). Begitu pula Perdana Mentri di India
turun temurun dikuasai keluarga Gandhi.
Tentu beberapa contoh diatas tidak bisa kita sandingkan jika dibandingkan dengan praktik
demokrasi di Indonesia. Sebuah perbedaan kualitas yang jauh. Di amerika Serikat, terpilihnya pemimpin
yang notabene dari keturunan, biasanya karena memang benar-benar berkualitas dan mumpuni
sehingga menjadi pilihan rakyat. Dan terbukti selama masa kepemimpinannya memiliki komitmen dan
mampu membawa kemajuan untuk negaranya.
Berbeda halnya dengan yang terjadi di Indonesia, praktik politik dinasti terpilih bukan karena
kualitas sang kandidat, namun hanya numpangpopularitas dari nama elit terdahulunya. Dan ironisnya
banyak dari mereka ujung-ujungnya hanya orientasi materi belaka, bahkan ada yang korupsi.
Tragis, sebagaimana kasus-kasus di beberapa daerah misalnya. Kasus Ketua DPRD Jawa Tengah
Nonaktif, yang divonis 2,5 tahun penjara terkait korupsi dana KAS Daerah Kabupaten Kendal 2003 senilai
Rp. 4,75 miliar. Ia dinyatakan terbukti turut korupsi berkelanjutan bersama Bupati Kendal periode 2000-
2005 yang tidak lain adalah saudara kandungnya.
Lucunya lagi, akibat kekosongan jabatan ditinggalkannya karena harus menjalani penahanan,
jabatan kekuasaan pimpinan DPRD Jawa Tengah beralih pada tokoh lain yang pernah berstatus napi
korupsi. Surat Keterangan tak waras dikeluarkan RSJ Dr. Amino Gondohutomo Semarang ketika yang
bersangkutan mangkir dari sidang kasus korupsi 17 Februari 2009, pejabat tersebut akhirnya divonis 18
bulan penjara terkait kasus korupsi buku perpustakaan dengan kerugian Rp. 4,63 miliar rupiah di
Pengadilan Negeri Purworejo.(Highlight; Metro tv)
Apresiasi pada Mendagri
Kasus-kasus yang sangat merugikan rakyat ini seharusnya tidak terjadi, Karena itu, dibutuhkan
kader-kader bangsa yang benar-benar mempunyai komitmen untuk mengabdi. Kita patut memberikan
apresiasi ketika Mendagri melakukan terobosan dengan menyusun Rancangan Undang-Undang
Pemilukada yang didalamnya berisi mengenai pembatasan politik dinasti.
Hemat penulis, menanggulangi dampak negatif politik dinasti maka dalam rekrutmen kader
harus diberlakukan sistem meritokrasi (merit system), mengelola sumber daya manusia atas dasar
prestasi. Sistem ini sangat fair bagi sebuah negara demokrasi seperti Indonesia ini. Jadi, siapapun
memiliki kesempatan untuk mewakili rakyat dengan pertimbangan prestasi. Untuk itu, parpol harus
membenahi sistem rekrutmen dan kaderisasi.
Parpol tidak perlu tidak pandang bulu dalam perkaderan dengan memprioritaskan kader yang
mempunyai kapabilitas, kredibilitas dan pantas dijadikan pemimpin. Sekaranglah saatnya transisi
kepemimpinan bangsa melalui sistem merit, karena jika tidak akan terjadi proses kemunduran dalam
regenerasi.
Dengan demikian, siapapun yang nanti suatu saaat terpilih untuk menduduki kursi
pemerintahan benar-benar bisa diandalkan kualitas, kapabilitas, dan rasa tanggungjawab dalam
mengemban amanah. Wallahu alam bi al-Shawab.

Anda mungkin juga menyukai