Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

“POLITIK DINASTI”

Mata Kuliah: Pengantar Hukum Indonesia


DOSEN PENGAMPUH
Ahmad Fadella A Lega, SH.MH

OLEH:

Reni Arruan Bamba

Nim: F0123502

POGRAM STUDI ILMU POLITIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULAWESI BARAT
2023
KATA PENGANTAR

Politik dinasti telah menjadi topik perdebatan dan perhatian yang luas
dalam konteks politik global. Dalam makalah ini, kami akan menjelaskan dan
menganalisis fenomena politik dinasti serta dampaknya dalam tatanan politik
suatu negara. Politik dinasti merujuk pada praktik dimana keluarga atau keturunan
politisi yang sudah berkuasa memiliki kendali yang signifikan dalam
pemerintahan dan memegang jabatan-jabatan kunci.

Makalah ini bertujuan untuk mendalami berbagai aspek politik dinasti,


termasuk sejarahnya, faktor-faktor yang memungkinkan munculnya dinasti
politik, serta implikasinya terhadap tatanan politik, ekonomi, dan sosial suatu
negara. Kami juga akan mengeksplorasi perspektif-perspektif yang berbeda
tentang politik dinasti, termasuk argumen yang membenarkan keberadaan dinasti
politik dalam beberapa kasus, sekaligus argumen yang menentangnya sebagai
ancaman terhadap demokrasi dan keadilan.

Makalah ini juga mencoba memberikan gambaran tentang bagaimana


politik dinasti mempengaruhi dinamika politik di berbagai negara dan apakah ada
upaya untuk mengatasi atau mengurangi praktik politik dinasti. Selain itu, kami
akan mengevaluasi pengaruh global terhadap politik dinasti dan apakah tindakan
atau inisiatif internasional dapat memainkan peran dalam memerangi fenomena
ini.

Kami berharap bahwa makalah ini akan memberikan pemahaman yang


lebih mendalam tentang politik dinasti dan menginspirasi pembaca untuk lebih
memahami tantangan dan peluang yang dihadapi dalam menjaga tatanan politik
yang adil dan transparan. Terima kasih atas perhatian Anda dalam membaca
makalah ini, dan kami berharap Anda dapat meraih wawasan yang berharga dari
pembahasan ini.

penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Perumusan Masalah Dan Ruang Lingkup.....................................................2

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2

A. Politik Dinasti...............................................................................................2

BAB III PENUTUP................................................................................................6

A. Kesimpulan...................................................................................................6

B. Saran..............................................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................8
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-undang nomer 7 tahun 1945 telah mengatur bahwa masa


jabatan eksekutif berlaku selama lima tahun, dan hanya dapat terpilih satu
periode setelah masa tersebut habis. Undang-undang ini dibuat untuk
mencegah adanya kekuatan absolut yang terus menerus. Beberapa golongan
yang telah lama berkuasa, kebanyakan akan mencari cara untuk lolos dari
undang-undang ini dan tetap mempertahankan kekuasaannya di strata atas
elit politik.
Apa yang dilakukan Sutrisno merupakan salah satu contoh nyata
dinasti politik di Indonesia. Kedua istrinya, Haryati dan Nurlaila, bersaing
untuk memperebutkan gelar bupati suaminya. Sutrisno sendiri telah
menjabat di Kediri selama dua periode (sepuluh tahun) lamanya.
Jelas pencalonan kedua “nyonya Sutrisno” ini menimbulkan banyak
tanda tanya di benak masyarakat Kediri: apakah ini merupakan bentuk dari
perpanjangan tangan suaminya untuk mengatur Kediri lebih lama. Apabila
salah satu dari kedua istrinya terpilih, maka secara tidak langsung, keluarga
Sutrisno akan berkuasa selama lima belas tahun di wilayah tersebut.
Kasus ini menjadi momok yang menarik, terutama apabila kita
melihatnya dalam kacamata demokrasi sosial. Penulis akan membahas
mengenai permasalahan ini lebih jauh dalam bab II.

B. Perumusan Masalah Dan Ruang Lingkup

Masalah-masalah di dalam makalah ini dirumuskan menjadi


beberapa pertanyaan:
1. Apakah dinasti politik?
2. Faktor apa saja yang mendorong terjadinya dinasti politik?
3. Mengapa banyak penguasa yang melakukan dinasti politik?
4. Manfaat dan kerugian apa yang ditimbulkan oleh dinasti
politik?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Politik Dinasti

Apakah wajar apabila jabatan seorang kepala pemerintahan diteruskan


oleh istri, anak , atau kerabat dekatnya? Di negara kita sedang terjadi
praktek penerusan kekuasaan pada orang-orang terdekat. Politik dinasti
adalah fenomena politik munculnya calon dari lingkungan keluarga kepala
pemerintahan yang sedang berkuasa. Dinasti politik yang dalam bahasa
sederhana dapat diartikan sebagai sebuah rezim kekuasaan politik atau
aktor politik yang dijalankan secara turn-temurun atau dilakukan oleh salah
keluarga ataupun kerabat dekat. Rezim politik ini terbentuk
dikarenakan concern yang sangat tinggi antara anggota keluarga terhadap
perpolitikan dan biasanya orientasi dinasti politik ini adalah kekuasaan.
Dinasti politik di Indonesia sebenarnya adalah sebuah hal yang jarang
sekali dibicarakan atau menjadi sebuah pembicaraan, padahal pada
prakteknya dinasti politik secara sadar maupun tidak sadar sudah menjadi
benih dalam perpolitikan di Indonesia sejak zaman kemerdekaan. Dinasti
politik sebenarnya adalah sebuah pola yang ada pada masyarakat modern
Barat maupun pada masyarakat yang meniru gaya barat. Hal ini dapat
terlihat dalam perpolitikan di Amerika dan juga di Filipina. Dinasti politik
tidak hanya tumbuh di kalangan masyarakat demokratis-liberal. Tetapi pada
hakikatnya dynast politik juga tumbuh dalam masyarakat otokrasi dan juga
masyarakat monarki, dimana pada system monarki sebuah kekuasaan sudah
jelas pasti akan jatuh kepada putra mahkota dalam kerajaan tersebut.
Dinasti politik di Indonesia sebenarnya sudah muncul di dalam
keluarga Presiden pertama Indonesia, Preseiden Soekarno. Hal tersebut
terbukti dari lahirnya anak-anak Soekarno yang meneruskan pekerjaan
ayahnya sebagai seorang politisi. Seperti Megawati Soekarno Putri (yang
akhir-akhir ini juga semakin memperlihatkan gejala kedinastian politik
Indonesia pada diri anaknya –Puan Maharani), Guruh Soekarno Putra, dll.
Dalam tatanan kontempoerer, dinasti politik juga sekarang terlihat muncul
pada diri keluarga mantan Presiden Indonesia Alm K.H. Abdurrahman
Wahid, dengan munculnya saudara-sudara kandungnya dan juuga anak
kandungnya ke dalam dunia perpolitikan Indonesia. Kecenderungan dinasti
politik juga ditunjukkan dalam keluarga Presiden Indonesia saat ini Susilo
Bambang Yudhoyono, yang ditunjukkan dengan kiprah anaknya Eddie
Baskoro yang berhasil menjadi anggota DPR periode 2009/2014.
Etika adalah sesuatu yang berkenaan dengan akhlak, nilai mengenai
sesuatu yang baik dan yang buruk. Ada nilai-nilai yang berkembang di
masyarakat, nilai tentang sesuatu yang pantas untuk dilakukan dan tidak
pantas untuk dilakukan. Bila dianalisis dari segi etika, politik dinasti tidak
baik apabila dilakukan oleh elit politik.
Kalau seseorang elit politik maju dengan mengandalkan politik
dinastinya dan dengan mengesampingkan etika sosial, maka tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan terus merosot. Rakyat
akan menilai ternyata bangsa ini di zaman reformasi dibangun dengan
sistem nepotisme. Pembentukan politik dinasti akan menciptakan tatanan
politik yang tak sehat. Walaupun menurut undang-undang hal itu tak
dilarang, namun hal itu dinilai tidak sesuai dengan etika.
Menurut Zulkieflimansyah, apabila politik dinasti ini diteruskan, akan
muncul banyak dampak negatif. Pertama, menjadikan partai sebagai mesin
politik semata yang pada gilirannya menyumbat fungsi ideal partai sehingga
tak ada target lain kecuali kekuasaan. Dalam posisi ini, rekruitmen partai
lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan caleg untuk meraih
kemenangan. Di sini kemudian muncul calon instan dari kalangan selebriti,
pengusaha, “darah hijau” atau politik dinasti yang tidak melalui proses
kaderisasi.
Kedua, sebagai konsekuensi logis dari gejala pertama, tertutupnya
kesempatan masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas.
Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di lingkungan elit dan pengusaha semata
sehingga sangat potensial terjadinya negosiasi dan penyusunan konspirasi
kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan.
Ketiga, sulitnya mewujudkan cita-cita demokrasi karena tidak
terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good
governance). Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif
sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi,
kolusi dan nepotisme sangat besar. Efek negatif dari dinasti politik yang
paling sering kita dengar adalah nepotisme dimana hubungan keluarga
membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan. Tapi hal
sebaliknya pun bisa terjadi, dimana orang yang kompeten menjadi tidak
dipakai karena alasan masih keluarga. Di samping itu, cita-cita kenegaraan
menjadi tidak terealisasikan karena pemimpin atau pejabat negara tidak
mempunyai kapabilitas dalam menjalankan tugas. Sebagai contoh, marilah
kita baca cuplikan berita berikut ini:
Politik Dinasti, Abaikan Nurani
Belakangan ini upaya alih kekuasaan dari suami ke istri, atau dari
bapak ke anak, cenderung mengalami peningkatan mencengangkan. Dari
fenomena itu, tentu yang paling mencolok, terjadi pada Pemilukada
Kabupetan Kediri, yang bakal digelar 12 Mei 2010 mendatang.

Dua istri bupati disebut-sebut akan bersaing ketat dalam perhelatan


Pemilukada tersebut. Yakni Hj Haryanti, yang tercatat sebagai istri sah
Bupati Kediri saat ini, Sutrisno sertaHj Nurlaila, tercatat sebagai istri kedua
dengan status nikah sirri. NurIaila juga dikenal sebagai Kepala Desa Wates,
Kecamatan Wates. Sedangkan suami pertamanya meninggal dunia karena
perampokan beberapa tahun silam.
Lantas mengapa kedua istri Bupati Kediri tersebut bersaing untuk
memperebutkan kursi kepala daerah menggantikan suaminya, yang
jabatannya akan resmi berakhir 19 Agustus 2010 mendatang ? Kalau
bersaing untuk merebut hati sang suami, mungkin masih sah-sah dan wajar
saja. Tapi, kalau sampai bersaing secara terbuka demi mewarisi jabatan
empuk sang suami, sungguh sulit diterima akal sehat.
Apa pun yang melatari keinginan kedua istri bupati itu, tampil secara
bersama-sama dalam pemilihan kepala daerah, dapat dipastikan sang suami
sudah mengetahui rencana itu sebelumnya. Tidak tertutup kemungkinan
Sutrisno memang menginginkan dirinya digantikan oleh salah satu di antara
kedua istrinya.
Namun kalau mau jujur, dari segi kalkulasi politik, akan lebih
memungkinkan meraih kemenangan, jika yang maju dalam bursa
pencalonan, hanya satu di antara keduanya. Misalnya cuma istri tua yang
maju, dan istri muda yang juga punya basis massa sangat signifikan itu,
turut aktif memberikan dukungan.
Bila keduanya harus saling berhadap-hadapan, hal itu bermakna, di
antara kedua istri bupati, selama ini memang senantiasa terjadi persaingan
terselebung. Kini, persaingan itu akan semakin menajam, serta terbuka ke
area publik. Atau, jangan-jangan Sutrisno memang sudah punya kalkulasi
sendiri, bahwa keduanya memang sengaja dianjurkan untuk maju, sehingga
siapapun yang bakal menang, tetap bahagian dari rezim lama alias istrinya
juga.
Peluang menang bagi Haryanti dan Nurlaila memang relatif besar.
Sebab, sebagai pejabat incumbent, Bupati Sutrisno sudah barang tentu
memiliki banyak ‘peluru’ untuk menembak kandidat lain yang dianggap
potensial, agar tak turun gelanggang. Alhasil, yang muncul menjadi pesaing
kedua istrinya, hanyalah sejumlah kandidat, yang sejatinya tidak memiliki
modal cukup untuk bersaing dalam meraih kemenangan.
Fenomena yang terjadi di Kediri tersebut, ternyata juga menjadi trend
di sejumlah kabupaten/ kota di Sumatera Utara dan mungkin juga di daerah
lainnya. Di Kabupaten Asahan misalnya, Bupati Drs H Risuddin kini
mendukung istrinya sendiri, Hj Helmiati untuk maju menggantikan dirinya
sebagai bupati.
Demikian halnya di Kabupaten Labuhan Batu, Bupati HT Milwan
juga telah lama mempersiapkan istrinya Hj T Adlina bersaing dalam
Pemilukada. Sementara di Kota Tebingtinggi, Walikota Abdul Hafiz
Hasibuan tengah memoles dan bekerja ekstra keras mendudukkan adiknya
Umar Zunaidi Hasibuan menjadi pengganti dirinya.
Sebenarnya politik dinasti ini tak cuma berlaku di Indonesia. Di negeri
lain, seperti AS, India, Malaysia, Philipina, dan lainnya, juga terjadi hal
serupa. Politik dinasti, memang tak selamanya negatif. Misalnya
seorang Hillary Clinton, yang notabene istri mantan Presiden Bill Clinton,
memang layak menjadi kandidat Presiden AS.
Pertanyannya, apakah istri Bupati Kediri dan yang lainnya itu sudah
memenuhi syarat sebagai kepala daerah ? Jawabnya tak ada di sini. Kita
cuma bisa berharap ; segeralah bercermin dan introspeksi diri.
Memaksakan istri, anak dan menjadi pengganti di kursi kekuasaan,
apalagi tanpa didukung kualitas dan kompetensi yang dapat
dipertanggungjawabkan, selain tak sesuai nurani, juga potensial
memunculkan bumerang dan menuai penyesalan di kemudian hari.
Karenanya, sebelum terlambat, segeralah berhenti melakoni politik dinasti
yang irasional itu.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Politik dinasti sudah mulai marak di Indonesia, terutama pada


pencalonan kepala daerah di Kabupaten/Kota. Tidak jarang calaon yang
maju sebagai kepala daerah mempunyai hubungan kekerabatan dengan
kepala daerah yang sedang menjabat. Contoh yang paling nyata adalah di
Kediri, Jawa Timur. Dua calon yang maju dalam pemilihan kepala daerah
adalah istri-istri dari Bupati yang sedang menjabat. Hal ini jelas
menunjukkan adanya politik dinasti.
Politik dinasti memunculkan banyak pro dan kontra. Ada yang
menganggapnya baik karena kestabilan politik terjaga dan banyak pula yang
menganggap bahwa politik dinasti hanyalah alat yang digunakan para
pejebat untuk melanggengkan kekuasaannya. Selain itu, politik dinasti juga
mengurangi kesempatan bagi orang lain untuk berpartisipasi lebih untuk
menjadi kepala daerah karena biasanya calon pemimpin hasil dari politik
dinasti lebih banyak dukungan.
Memang, hak setiap warga negara untuk memilih dan dipilih. Tapi
apakah dengan hanya berbekal mempunyai hubungan keluarga dengan
penguasa seseorang dapat dengan leluasa mencalonkan diri? Inikah yang
harus diperbaiki oleh pemerintah agar calon yang maju dalam pemilihan
kepala daerah tidak hanya berdasarkan koneksi dan kesempatan tetapi juga
didukung dengan kualifikasi yang mumpuni untuk menjadi kepala daerah
sehingga memajukan daerah yang dipimpinnya.

B. Saran

Dari berbagai pembahasan dan kesimpulan diatas, saran yang dapat saya
diberikan adalah :
1. Dibuatnya regulasi yang persyaratan pencalonan kepala daerah
sehingga mempunyai kualifikasi yang memadai.
2. Diadakan tes, baik secara tertulis maupun lisan berupa fit and proper
test untuk menilai kemampuan calon kepala daerah dalam berbagai
bidang, sehingga didapat calon kepala daerah yang tidak hanya
berbakat dalam memimpin, tetapi juga mempunya dasar dan
kompetensi yang cukup untuk menjadi kepala daerah.
3. Meningkatkan tingkat perhatian dan partisipasi dari masyarakat
sehingga sadar dan berpartisipasi lebih dalam menentukan pilihan
mereka terhadap para calon kepala daerah.
DAFTAR PUSTAKA

Zulkieflimansyah. “Dari Politik Dinasti, Nepotisme Kekuasaan ke Budaya


Partisipan.” http://www.rumahdunia.net/wmview.php?ArtID=1386&page=1 (Diakses
pada Minggu, 27 November 2010)

Keno, Mike. “Politik Dinasti, Abaikan Nurani.“

http://mikekono.wordpress.com/2010/03/19/politik-dinasti-tak-sesuai-nurani/

(Diakses pada Minggu, 27 November 2010 )

Anda mungkin juga menyukai