Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

NETRALITAS BIROKRASI

DOSEN PENGAMPU:
Afrinaldy Rustam, S.IP, M.Si

Disusun Oleh:
Nuria Putri Julika (12070526344)
Riani Fitra Febriani (12070526180)
Tamara Wilga Sari (12070525931)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU


FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
ILMU ADMINISTRASI NEGARA
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT. Karna atas rahmat, karunia serta kasih sayang-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah mengenai Netralitas Birokrasi ini dengan sebaik mungkin. Sholawat
serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi terakhir, penutup para nabi sekaligus satu-satunya uswatun
hasanah kita, Nabi Muhammad SAW. Tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Afrinaldy
Rustam, S.IP, M.Si.

Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari masih banyak terdapat kesalahan dan kekeliruan, baik
yang berkenaan dengan materi pembahasan maupun dengan teknik pengetikan, walaupun demikian, inilah
usaha maksimal kami selaku para penulis.

Semoga dalam makalah ini para pembaca dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan dan diharapkan
kritik yang membangun dari pembaca guna memperbaiki kesalahan sebagaimana mestinya.

Enok, 24 September 2021

Kelompok 2

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................................3
BAB I...............................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................4
A. Latar Belakang.......................................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah..................................................................................................................................5
C. Tujuan.....................................................................................................................................................5
BAB II.............................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN..............................................................................................................................................6
A. Netralitas Birokrasi................................................................................................................................6
B. TUNTUTAN AKAN NETRALITAS BIROKRASI...........................................................................11
C. UPAYA DALAM MENJAGA NETRALITAS...................................................................................14
BAB III..........................................................................................................................................................16
PENUTUP.....................................................................................................................................................16
A. KESIMPULAN.....................................................................................................................................16
B. SARAN..................................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................................17

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Birokrasi pemerintah merupakan suatu kekuatan yang besar sekali, sebab kegiatannya
menyentuh setiap kehidupan manusia. Baik suka atau tidak suka manusia tidak bisa lepas dari
kegiatan birokrasi pemerintah. Kebijakan yang dibuat (dijalankan) oleh birokrasi sangat
berpengaruh terhadap sendi-sendi kehidupan manusia. Suka atau tidak suka, manusia yang hidup
dalam suatu negera tertentu harus mau menerima suatu kebijakan yang telah di buat oleh birokrasi.
Birokrasi pemerintah merupakan garis terdepan yang berhubungan dengan pemberian pelayanan
umum kepada masyarakat. Oleh karena itu, birokrasi pemerintah harus bersikap netral baik dari sisi
politik yaitu bukan merupakan bagian dari kekuatan politik tertentu (partai politik) mau pun dari
sisi administratif. Sebab apabila birokrasi menjadi bagian dari kekuatan politik tertentu maka akan
menjadi tidak netral yaitu memihak kepada kekuatan /aliran politik tersebut.padahal dalam
memberikan pelayan umum, birokrasi pemerintah diharapkan tidak akan memihak kepada
kelompok tertentu, dengan tujuan agar pelayanan umum yang dilakukan oleh pemerintah bisa
diberikan pada seluruh masyarakat, tanpa membedakan aliran atau partai politik yang diikuti oleh
anggota masyarakat tersebut.

Di Indonesia birokrasi telah melahirkan banyak studi, diantaranya, Karl D Jackson menilai
bahwa birokrasi di Indonesia adalah model bureaucratic polity dimana terjadi akumulasi kekuasaan
pada negara dan menyingkirkan peran masyarakat dari ruang politik dan pemerintahan. Richard
Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia sebagai bureaucratic capitalism. Sementara
Hans Dieter Evers melihat bahwa proses birokrasi di Indonesia berkembang model birokrasi ala
Parkinson dan ala orwel. Birokrasi ala Parkinson adalah pola dimana terjadi proses pertumbuhan
jumlah personil dan pemekaran structural dalam birokrasi secara tidak terkendali. Sedang birokrasi
ala arwel adalah pola birokratisasi sebagai proses perluasaan kekuasaan pemerintah dengan maksud
mengontrol kegiatan ekonomi, politik dan social dengan peraturan, regulasi dan bila perlu melalui
pemaksaan. Dengan demikian birokrasi di Indonesia tidak berkembang menjadi lebih efisien, tetapi
justru sebaliknya infesiensi, berbelit-belit dan banyak aturan formal yang tidak ditaati. Birokrasi di
Indonesia ditandai pula dengan tingginya pertumbuhan pegawai dan pemekaran struktur organisasi
dan menjadikan birokrasi semakin besar dan membesar. Birokrasi juga semakin mengendalikan dan
mengontrol masyarakat dalam bidang politik, ekonomi dan social.

4
Cap birokrasi Indonesia seperti itu ternyata bukan sampai disitu saja, tetapi melalui
pendekatan budaya birokrasi Indonesia masuk dalam kategori birokrasi patrimonial. Ciri-ciri dari
birokrasi patrimonial adalah (1) para pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi (2) jabatan
dipandang sebagai sumber kekayaan dan keuntungan (3) para pejabat mengontrol baik fungsi
politik maupun fungsi administrasi, dan (4) setiap Tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan
politik. Munculnya birokrasi patrimonial di Indonesia merupakan kelanjutan dan warisan dari
system nilai tradisional yang tumbuh dimasa kerajaan-kerajaan masa lampau dan bercampur dengan
birokrasi gaya colonial. Jadi selain tumbuh birokrasi modern tetapi warisan birokrasi tradisonal juga
mewarnai dalam perkembangan birokrasi di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu netralitas birokrasi?


2. Bagaimana tuntutan sebuah negara akan adanya netralitas birokrasi?
3. Bagaimana upaya-upaya dalam menjaga netralitas birokrasi

C. Tujuan

1. Netralitas birokrasi
2. Menjelaskan tuntutan sebuah negara akan adanya netralitas birokrasi
3. Menjelaskan upaya-upaya dalam menjaga netralitas birokrasi.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Netralitas Birokrasi

Netralitas birokrasi yakni menempatkan pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan


publik yang tidak dipengaruhi oleh kekuatan politik. Kenetralan birokrasi penting untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat secara efektif dan efisien. Dalam perkembangan
netralitas birokrasi telah lama menjadi perdebatan oleh para pakar. Garis tegas telah memisahkan
dua kelompok yakni menyangkut netralitas birokrasi dalam politik dan birokrasi memihak pada
kekuatan dominan.
Dalam perkembangan awal konsepsi birokrasi, kenetralan birokrasi sudah sering dibicarakan
para pakar. Polemik antara Karl Marx dan Hegel yang menyoroti konsep kenetralan birokrasi
dengan masing-masing argumen yang berbeda. Marx memulai mengelaborasi konsep birokrasi
dengan menganalisis dan mengkritik falsafa Hegel mengenai negara. Sedangkan analisis Hegelian
menggambarkan bahwa administrasi negara atau birokrasi sebagai suatu jembatan antara negara
dengan masyarakatnya (Thoha, 2014 : 20) . Hegel menilai bahwa birokrasi seharusnya melayani
kepentingan umum, karena kenyataan kebijaksaan negara sering kali hanya menguntungkan
sekelompok orang saja dalam suatu masyarakat . Menurut Thoha, Birokrasi Hegel ini berpandangan
bahwa birokrasi merupakan jembatan yang menghubungkan antara negara dan masyarakatnya
(Thoha, 2014: 22). Masyarakat rakyat ini terdiri dari atas para profesional dan pengusaha yang
mewakili berbagai kepentingan khusus, sedangkan negara mewakili kepentingan-kepentingan
umum. Diantara kedua hal ini, birokrasi pemerintah merupakan perantara yang memungkinkan
pesan-pesan dari kepentingan khusus tersalurkan ke kepentingan umum. Dengan kata lain bahwa
birokrasi Hegelian ini menekankan posisi birokrasi harus netral teradap kekuatan-kekuatan
masyarakat lainnya.
Untuk mengetahui netralitas birokrasi pemerintahan Indonesia, dapat ditelusuri sejarah
perkembangannya dibawah ini:
a. Pada masa kemerdekaan tahun 1945-1950. Sikap birikrasi pemerintah kita masih netral.
Semangat perjuangan masih mewarnai birokrasi kita. Semangat nasional untuk membela
dan mepertahankan negara proklamasi masih melekat kuat pada putra-putri bangsa. Pada
awal tahun kemerdekaan ada semacam kesepakatan pendapat dari putra-putri bangsa,
6
bahwa birokrasi merupakan sarana politik yang baik untuk mempersatukan bangsa.
Anggapan ini beralasan karna hanya birokrasilah satu-satunya sarana yang menjangkau
rakyat sampai ke desa-desa.
b. Periode tahun 1950-1959. Pada masa ini, semua partai politik berkeinginan menguasai
kementrian pemerintah. Kehidupan birokrasi sangat diwarnai dan dipengaruhi oleh
patronika. Rekrutmen pegawai berbau jacksonisme, surat wasiat (kata belece)
mempengaruhi penentuan terhadap siapa yang akan diangkat dalam jabatan birokrasi,
sehingga kehidupan birokrasi pemerintah sudah mulai tidak netral. Walaupun birokrasi
pemerintah sudah mulai tidak netral, ada satu hal yang masih dirasa menguntungkan. Di
antara partai-partai politik yang saling bersaing untuk menguasai kementerian
pemerintah itu, mereka semuanya menginginkan adanya pemerintah yang demokrasi.
Pada periode ini pemilu untuk pertama kali di selenggarakan setelah merdeka. Partai
politik berpaling kepada aparat birokrat, karena menurut jumlahnya merupakan potensi
pendukung untuk memenangkan partai dalam pemilu. Pada waktu itu timbullah
kelompok-kelompok pegawai negeri yang berafialisasi dengan partai politik.
c. Masa antara tahun 1960-1965. Pada periode ini, birokrasi semakin jelas diincar oleh
aliran politik. Keinginan tiga aliran politik untuk menguasai birokrasi pemerintah
semakin mengkristal. Dibawah label demokrasi terpimpin, tiga aliran politik ( Nasional,
agama dan komunis/ Nasakom) membangun akses kebirokrasi pemerintah. Keadaan
system politik yang primordial membawa pengaruh kuat terhadap birokrasi, sehingga
ciri birokrasi saat itu adalah sangat birokratis, primordial dan patronika yang sangat
kental. Tiga aliran politik (Nasakom) berambisi mempergunakan jabatan-jabatan
birokrasi pemerintah sebagai building block untuk membangun organisasinya.
Kemudian perbedaan yang mencolok dari sikap birokrasi pemerintah kita pada masa
orde lama dengan baru adalah: pada masa orde lama, keinginan tiga aliran politik
semakin mengkristal. Dibawah label demokrasi terpimpin, tiga aliran politik
membangun akses ke birokrasi pemerintah. Pada masa ini birokrasi pemerintah
digunakan untuk menyokong kekuasaan aliran politik yang ada yaitu NASAKOM.
Sedangkan pada masa orde baru-1998 yang lalu, birokrasi kita menjadi “alat” kekuatan
social dan politik yang dominan yaitu golkar. Kemenangan golkar pada empat kali
pemilu, salah satu factor yang menentukan kemenangan itu adalah peranan birokrasi
kita. Birokrasi kita ikut memilih dalam pemilu, dan tidak ada alternatif lain yang dipilih
kecuali golkar. Jadi secara singkat letak perbedaan masa orde lama dan orde baru
terhadap birokrasi kita adalah pada orde lama, tiga aliran politik sama-sama mempunyai

7
akses ke birokrasi. Sedangkan pada masa orde baru, birokrrasi “diwajibkan” memihak
ke Golkar.
d. Pada masa reformasi kedudukan birokrasi atau sikap birokrasi pemerintah masih penuh
tanda tanya. Karena pada masa reformasi ini telah muncul Kembali multi partai,
sehingga (1) tidak ada kekuatan politik yang dominan (2) kepada siapa harus memihak
(3) golkar masih cukup kuat. Menurut perkembangan awal dari komsep birokrasi ini.
Menurut perkembangan awal dari konsepsi birokrasi ini, kenetralan birokrasi itu sudah
ramai dibicarakan oleh pakar. Misalnya, polemik antara Karl Marx dan Hegel yang menyoroti
tentang konsep kenetralan birokrasi. Marx memulai mengelaborasi konsep birokrasi dengan
menganalisis dan mengkritik falsafah hegel mengenai negara. Analisis hegelian menggambarkan
bahwa administrasi negara atau birokrasi sebagai suatu jembatan antara negara dengan masyarakat
rakyatnya (the civil society). Masyarakat rakyat ini terdiri atas para profesional dan pengusaha yang
mewakili dari berbagai kepentingan khusus, sedangkan negara mewakili kepentingan kepentingan
umum. Diantara kedua hal ini, birokrasi pemerintah merupakan perantara (medium) yang
memungkinkan pesan pesan dari kepentingan khusus tersebut tersalurkan ke kepentingan umum.
Tiga Susunan ini ( negara, birokrasi dan masyarakat) diterima oleh marx, akan tetapi diubah isinya.
Birokrasi hegel meletakkan pengertiannya dengan melawan antara kepentingan khusus dan umum,
maka Marx mengkritiknya bahwa meletakkan posisi birokrasi semacam itu tidak mempunyai arti
apa-apa. Menurut Marx negara itu tidak mewakili kepentingan umum akan tetapi mewakili
kepentingan khusus dari kelas dominan. Dalam perspektif ini maka birokrasi itu sebenarnya
merupakan perwujudan kelompok sosial yang amat khusus. Lebih tepatnya birokrasi itu menurut
Marx merupakan suatu instrumen dimana kelas dominan melaksanakan dominasinya atas kelas
sosial lainnya. Dalam hal ini, jelas masa depan dan kepentingan birokrasi menurut konsepsi Marx
pada tingkat tertentu menjalin hubungan sangat intim dengan kelas yang dominan dalam suatu
negara.
Dari polemik antara Karl Marx dan hegel inilah netralisasi birokrasi sudah ramai dibahas.
Dari polimik pendapat antara hegel dan Marx ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hegel
menghendaki kenetralan birokrasi sedangkan Marx yang terkenal dengan teori kelasnya itu
menyatakan dengan tegas bahwa birokrasi itu tidak netral dan harus memihak, yakni memihak pada
kelas yang dominan (Achamt-Batinggi 1999). Dari berbagai pandangan di muka dapat disimpulkan
bahwa belum ada kesepakatan yang pasti tentang netralitas birokrasi.
Ilmuwan lain Max Weber, melihat birokrasi atau aparat pemerintah merupakan unsur
penting bagi pertumbuhan dan perkembangan dari organisasi pemerintah. Organisasi pemerintah
merupakan alat untuk mencapai tujuan tertentu dalam suatu negara. Oleh karena itu perhatian
Weber tertuju pada struktur yang diatur secara normatif dan punya mekanisme untuk
8
mempertahankan struktur tersebut. Selanjutnya, dalam pandangan Weber, birokrasi ini bisa terjadi
baik di organisasi pemerintah maupun organisasi non-pemerintah. Di suatu perusahaan birokrasi
bisa terjadi. Demikian pula, di suatu organisasi yang besar birokrasi akan terjadi. Birokrasi
merupakan suatu sistem untuk mengatur organisasi yang besar agar diperoleh pengelolaan yang
efisien, rasional, dan efektif (Thoha, 2008: 15). Dalam kontek ini birokrasi yang dimaksud dalam
tulisan ini adalah birokrasi pemerintah yaitu pegawai negeri dari pejabat eselon atau jabatan
structural sampai jabatan fungsional yang langsung berhadapan dengan masyarakat. Model
birokrasi Weberian yang selama ini dipahami merupakan sebuah mesin yang disiapkan untuk
menjalankan dan mewujudkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Dengan demikian setiap pegawai
dalam birokrasi pemerintah merupakan penggerak dari sebuah mesin yang tidak mempunyai kaitan
dengan kepentingan pribadi. Oleh karena itu setiap pejabat pemerintah tidak mempunyai tanggug
jawab publik kecuali pada bidang tugas yang dibebankan kepadanya. Sepanjang tugas dan tanggung
jawab sebagai mesin itu dijalankan sesuai dengan proses dan prosedur yang telah ditetapkan, maka
akuntabilitas pejabat birokrasi pemerintah telah diwujudkan. Pandangan seperti ini menjadikan
birokrasi bertindak sebagai instrumen yang profesional, netral dari pengaruh kekuasaan dan
kepentingan politik tertentu. Aspek netralitas dari fungsi birokrasi pemerintahan dalam pemikiran
Weber dikenal sebagai konsep konservatif bagi para pemikir pada zaman itu. Weber menganggap
bahwa birokrasi dibentuk harus independen dari kekuatan politik, artinya birokrasi pemerintah
diposisikan sebagai kekuatan yang netral. Netralitas birokrasi bukan diartikan untuk menjalankan
kebijakan atau perintah dari kekuatan politik, tetapi lebih diutamakan kepada kepentingan negara
dan rakyat secara keseluruhan. Sehingga siapapun kekuatan politik yang memerintah, birokrasi
tetap memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakatnya (Rakmawanto, 2007:
112) .Mengingat tugas birokrasi ini sangat vital dalam penyelenggaraan negara dan pelayanan
publik, maka profesionalisme birokrasi mutlak menjadi ruh, derap, dan langkah setiap apparat
birokrasi. Politisasi birokrasi dalam kancah politik praktis sesaat jelas merusak tatanan birokrasi
profesional yang diidamkan.

Ada beberapa tipe birokrasi ideal yang ditawarkan oleh Weber :


1. Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia
menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya. Pejabat tidak bebas
menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk
keluarganya.
2. Jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan ke samping.
Konsekuensinya ada jabatan atasan dan bawahan, dan ada pula yang menyandang kekuasaan
lebih besar dan ada yang lebih kecil.
9
3. tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda satu sama
lain.
4. setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian tugas masing-
masing pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang dan tanggung jawab yang harus
dijalankan dengan kontrak.
5. Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, idealnya hal tersebut
dilakukan melalui ujian yang kompetitif.
6. Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai dengan
tingkatan hierarki jabatan yang disandangnya. Setiap pejabat bisa memutuskan untuk keluar
dari pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginannya dan kontraknya bisa diakhiri
dalam keadaan tertentu.
7. Terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas
dan merita sesuai dengan pertimbangan yang obyektif.
8. Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan resources
instansinya untuk kepentingan pribadinya dan keluarganya.
9. Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang dijalankan
secara disiplin (Thoha, 2014 : 18-19).

Sedangkan menurut Sondang P Siagian birokrasi harus netral, artinya prinsip ini
diinterpretasikan dengan mengatakan bahwa birokrasi pemerintah harus tetap berfungsi
sebagaimana mestinya , terlepas dari pengaruh partai politik manapun yang berkuasa karena
menang dalam pemilihan umum. Sondang mengatakan bahwa netralitas tidak boleh
diinterpretasikan sebagai sikap ”menurut secara membabi buta”, misalnya jika terjadi pergantian
partai politik yang memegang tampuk pemerintahan karena menang dalam suatu pemilihan umum
dan partai politik tersebut menentukan suatu kebijakan yang berakibat pada perubahan radikal
dalam hal eksistensi negara, teori modern mengajarkan bahwa aparatur pemerintah tidak boleh
netral terhadap kebijakan demikian. Tegasnya jika eksistensi dan keutuhan negara sebagaimana
dimaksud oleh para pendiri negara terancam, aparatur pemerintah justru tidak boleh bersikap netral
melainnkan harus berada di garis depan untuk membela dan menjamin keutuhan negara (Siagian.
2001:135)
Pada dasarnya birokrasi harus netral karena ada beberapa alasan, yaitu:
1. Untuk menghindari pengkotakan, konflik kepentingan dan diskriminasi pelayanan,
birokrasi sebagai aparat pelayanan publik, diwajibkan bekerja secara profesional.
Berbagai tunjangan yang diberikan oleh negara mengandung konsekuensi akan

10
keprofesionalan lembaga birokrasi. Pelayanan harus adil, cepat, transparan, dan tidak
memihak kepada salah satu pihak atau unsur.
2. Menjamin birokrasi sebagai perekat persatuan bangsa dalam kerangka NKRI: sebagai
sebuah lembaga atau organisasi yang sangat besar, tentunya dibutuhkan persatuan dan
kesatuan diantara anggota organisasi itu sehingga akan tercipta persatuan yang lebih
kuat lagi di tingkat negara.
3. Netralitas birokrasi sebagai salah satu prakondisi untuk meningkatkan profesionalisme
birokrasi: dengan netral dari pihak manapun, maka akan menjadi syarat utama
profesionalitas birokrasi karena netralitas ini merupakan unsur kewajiban yang paling
berat diantara unsur-unsur yang lain.
4. Alasan netralitas birokrasi seperti tersebut di atas, terlihat sangat urgent bagi sebuah
negara. Di Indonesia, alasan netralitas birokrasi ini masih ditambah dengan pengalaman
pengalaman masa lalu
5. Pada masa orde lama 1959-1965 di mana jatuh bangunnya kabinet berdampak pada
stabilitas kepegawaian birokrasi.
6. Pada masa orde baru 1966-1997 birokrasi dijadikan alat politik untuk mempertahankan
kekuasaan.
7. Dan pada masa reformasi birokrasi dijadikan alat politik untuk memenangkan salah satu
kandidat.

B. TUNTUTAN AKAN NETRALITAS BIROKRASI

Bergulirnya reformasi tahun 1998, telah memberikan kondisi kepolitikan yang lebih baik di
daerah dibanding dengan pemerintahan sebelumnya. Adanya otonomi daerah dan desentralisasi
politik telah meningkatkan partisipasi politik publik. Ini adalah hal yang positif bagi pembangunan
demokrasi di daerah. Tapi juga dapat menimbulkan kekhawatiran akan dampak negatifnya. Lebih
dari itu, gerakan netralitas birokrasi juga memunculkan pluralisma Birokrasi (beurakratic
plouralism), dimana format kebijakan lebih merupakan hasil dari kompetisi aktor-aktor ketimbang
monopoli negara. Salah satu indikasi penting yaitu, peluang untuk mempengaruhi kebijakan publik
lebih dimungkinkan dan juga relatif meningkatnya tanggungjawab birokrasi terhadap masalah-
masalah sosial dan tekanan sosial. Miftah Thoha mengatakan ”netralitas birokrasi sebagai posisi
birokrasi pemerintah yang seyogyanya tidak memihak, sengaja dibuat untuk memihak kepada
kepentingan politik atau partai politik”. Riant Nugroho menyebutkan, pembangunan di Indonesia
dilakukan dalam paradigma politik yang dicerminkan ganti penguasa ganti peraturan. Karena dalam

11
konsep ini, peraturan ditempatkan sebagai bukti kekuasaan, dan kekuasaan is the core of the
politics. Dalam pengertian tersebut, maka pembangunan dilakukan dengan paradigma politik bukan
manejemen. Manejemen dalam bentuk sebuah paradigma melihat segala sesuatunya sebagai sebuah
upaya untuk mengoptimalkan semua asset yang ada, termasuk aset yang diberikan oleh manajemen.
Hal ini sejalan dengan slogan when politic end, administration begin. Artinya, ketika seorang
politisi menduduki jabatan publik, maka ia menanggalkan status politisnya untuk menjadi seorang
negawaran. Negarawan yang berdiri di atas semua kepentingan dan golongan.

 Netralitas Birokrasi Dalam Pemilu


Satu hal yang harus dijaga dan menjadi tantangan berat, jika ingin Pemilu berkualitas dan
berjalan LUBER dan JURDIL; adalah mempertahankan atau bahkan meningkatkan netralitas
birokrasi pemerintah. Birokrasi merupakan salah satu struktur politik yang penting dalam proses
demokratisasi. Para birokrat menjadi agen sosialisasi politik yang sangat berperan dalam
menyukseskan penyelenggaraan pemilu, pilpres dan pilkada. Kecenderungan yang terjadi pada
era orde baru yang menjadikan konsep “monoloyalitas birokrasi” sesuai PP No. 12/1969, yang
dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri waktu itu, telah menjadikan birokrasi sebagai alat yang
ampuh untuk menjustifikasi kebijakan pemerintah dan melegitimasi kekuasaan. Jiwa dan
semangat “monoloyalitas” telah tertanam di dalam diri setiap birokrat dan pada tingkat tertentu
juga militer, terhadap keberadaan Golkar pada era itu, menyebabkan pola-pola yang terbentuk,
semakin menampakkan warna dan gejala “birokratik”. Tentu, kita tidak ingin “penyakit lama”
para birokrat termasuk di dalamnya PNS; yakni keberpihakan pada salah satu parpol akan
kambuh kembali. Keluarnya PP No. 5 dan No. 12 tahun 1999, yang membatasi PNS dalam
berkiprah di dunia politik; menjadi “obat” bagi kebuntuan proses demokratisasi yang telah
berjalan puluhan tahun. Untuk menjawab tantangan itu maka diperlukan nitralitas birokrasi.

1. Netralitas PNS
Sejarah birokrasi di Indonesia menunjukkan, PNS selalu merupakan obyek politik dari
kekuatan partai politik (parpol) dan aktor politik. Jumlahnya yang signifikan dan fungsinya
yang strategis dalam menggerakkan anggaran keuangan negara selalu menjadi incaran tiap
parpol untuk menguasai dan memanfaatkan PNS dalam aktivitas politik. Saat-saat
menjelang pemilu, aktivitas politik partisan PNS menjadi kian intensif karena partisipasinya
untuk mendukung kampanye secara terbuka maupun terselubung amat efektif.
Bagi parpol, keterlibatan PNS akan amat membantu dan mempermudah pelaksanaan
kampanye yang sering terjadi melalui pemanfaatan fasilitas negara (mobil, gedung, dan
kewenangan) secara diskriminatif, yang menguntungkan salah satu parpol. Selain itu, di
12
pelosok pedesaan yang mayoritas penduduknya tidak terdidik, figur dan pilihan PNS akan
menjadi referensi bagi pilihan masyarakat.
Pertukaran ekonomi politik antara partai/aktor politik (caleg) dan PNS dalam pemilu tidak
saja menguntungkan sisi politik, tetapi juga PNS sendiri. Keberpihakan PNS dalam pemilu
kepada parpol/caleg dibutuhkan untuk promosi dan karier jabatan. Dalam sistem birokrasi
di Indonesia kini, di mana promosi dan karier jabatan tidak ditentukan oleh kompetensi dan
kinerja, tetapi oleh afiliasi politik, netralitas PNS sulit ditegakkan. Hal inilah yang dapat
menyumbangkan terjadinya blunder dalam pelaksanaan pemilu.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian Negara mengatur secara tegas
netralitas pegawai dalam pemerintahan. Pasal 3 UU No 43/1999 mengatur, (1) Pegawai
negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam
penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan; (2) Dalam kedudukan dan
tugas sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), pegawai negeri harus netral dari pengaruh
semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Ketentuan ini jelas melarang keberpihakan PNS dalam menjalankan
fungsi pemerintahan dan pembangunan. Dalam praktik, tercatat ada tiga bentuk pelanggaran
yang dilakukan PNS dan pejabat pemerintahan dalam pemilu.
Pertama, penyalahgunaan kewenangan yang dimiliki, antara lain menerbitkan aturan yang
mewajibkan kampanye kepada bawahan, pengumpulan dana bagi parpol tertentu, pemberian
izin usaha disertai tuntutan dukungan kepada parpol/caleg tertentu, penggunaan bantuan
pemerintah untuk kampanye, mengubah biaya perjalanan dinas, dan memaksa bawahan
membiayai kampanye parpol/caleg dari anggaran negara.
Kedua, penggunaan fasilitas negara secara langsung, misalnya penggunaan kendaraan dinas,
rumah dinas, serta kantor pemerintah dan kelengkapannya. Ketiga, pemberian dukungan
lain, seperti bantuan sumbangan, kampanye terselubung, memasang atribut parpol/caleg di
kantor, memakai atribut parpol/caleg, menghadiri kegiatan kampanye dengan menggunakan
pakaian dinas dan kelengkapannya, serta pembiaran atas pelanggaran kampanye dengan
menggunakan fasilitas negara dan perlakuan tidak adil/diskriminatif atas penggunaan
fasilitas negara kepada parpol/caleg. Larangan penggunaan fasilitas pemerintah ini juga
diatur dalam Pasal 84 Ayat 1 Huruf h Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pasal 41 Ayat 1 Huruf h Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden.
2. Netralitas TNI/POLRI

13
Salah satu bentuk dukungan Tni terhadap netralitas pemilu adalah embali menegaskan
jaminannya bahwa TNI akan bersikap netral pada Pemilu, Penegasan TNI untuk netral
sudah dicanangkan sejak 2004 dan pada 2008 makin dimantapkan dengan diterbitkannya
buku saku Netralitas TNI. Diantaranya yang menjadi bentuk netralitas TNI/ Polri
diantaranya adalah:
a. Mengamankan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada sesuai dengan tugas dan fungsi
bantuan TNI kepada Polri.
b. Netral dengan tidak memihak dan memberikan dukungan kepada salah satu kontestan
Pemilu dan Pilkada.
c. Satuan / Perorangan / fasilitas TNI tidak dilibatkan pada rangkaian kegiatan Pemilu dan
Pilkada dalam bentuk
d. Apapun di luar tugas dan fungsi TNI. Prajurit TNI tidak menggunakan hak memilih baik
dalam Pemilu maupaun dalam Pilkada.
e. Khusus bagi prajurit TNI (Istri / Suami / anak prajurit TNI), hak memilih merupakan hak
individu selaku warga Negara, institusi atau satuan dilarang memberi arahan didalam
menentukan pelaksanaan dari hak pilih tersebut.

C. UPAYA DALAM MENJAGA NETRALITAS

Birokrasi merupakan salah satu struktur politik yang penting dalam proses demokratisasi.
Para birokrat menjadi agen sosialisasi politik yang sangat berperan dalam menyukseskan
penyelenggaraan pemilu, pilpres dan pilkada. Kecenderungan yang terjadi pada era orde baru yang
menjadikan konsep “monoloyalitas birokrasi” sesuai PP No. 12/1969, yang dikeluarkan oleh
Menteri Dalam Negeri waktu itu, telah menjadikan birokrasi sebagai alat yang ampuh untuk
menjustifikasi kebijakan pemerintah dan melegitimasi kekuasaan. Jiwa dan semangat
“monoloyalitas” telah tertanam di dalam diri setiap birokrat dan pada tingkat tertentu juga militer,
terhadap keberadaan Golkar pada era itu, menyebabkan pola-pola yang terbentuk, semakin
menampakkan warna dan gejala “birokratik”. Pemilu legislatif yang dijadwalkan berlangsung 9
April 2009 lalu, ditengarai akan banyak mendapatkan gangguan dari parpol, terutama parpol
pemenang pemilu 2004. Mereka dewasa ini telah menanamkan pengaruhnya terhadap birokrasi
lokal; yang tentu saja dikhawatirkan akan mempengaruhi sikap netral para birokrat lokal, menjelang
pemilu 2009. Birokrasi harus kembali ke fitrahnya sebagai pelayanan masyarakat serta tidak bias
oleh godaan politik dan kekuasaan. Untuk mewujudkan hal itu, diperlukan setidaknya tiga pilar
utama, yakni, organisasi yang pro-fesional, tata laksana yang efektif, serta sumber daya manusia

14
yang optimal, pola kepemimpinan yang kuat, mulai pusat hingga daerah, mulai menteri hingga
tingkat seksi. Pola kepemimpinan yang kuat bisa menekan perilaku korupsi birokrasi. Dengan
memangkas kultur korupsi tersebut, efek samping berupa kolusi dan nepotisme yang menggerogoti
kualitas birokrasi bisa berkurang.
Partai politik dewasa ini telah menanamkan pengaruhnya terhadap birokrasi lokal ; yang
tentu saja dikhawatirkan akan mempengaruhi sikap netral para birokrat lokal, menjelang pemilu.
Untuk itu upaya untuk menjaga netralitas harus senantiasa dilakukan sedini dan semaksimal
mungkin. Memberikan pendidikan pemilih bagi para birokrat ; menjadi salah satu alternatifnya, dan
pelaksanaannya tentu saja bisa dilakukan oleh KPUD atau KORPRI setempat. Dengan pendidikan
ini, diharapkan mereka akan bebas memilih sesuai hati nuraninya tanpa paksaan atau tekanan dari
atasan. Sekaligus bisa menjadi “rem” bagi pejabat yang suka memobilisasi bawahannya secara
tertutup menjelang pemilu. Alternatif yang lain adalah mangeluarkan aturan yang lebih tegas yang
melarang para birokrat untuk terlibat dalam kegiatan kampanye politik, khususnya pada hari kerja.
Hal ini untuk mencegah penggunaan fasilitas negara oleh parpol dalam kampaye, baik itu
pemakaian kendaraan dinas, biaya dinas dsb.

15
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Konsep netralitas birokrasi sangat erat dengan perkembangan analisis sosial dan buah
pikiran para pemikir klasik seperti Karl Mark, Max Weber, Jhon Stuart Mill, Gaestano Mosca dan
Robert Michels (Fischer & Sirriani; 1984) Sekitar abad ke 20, konsep netralitas organisasi birokrasi
menjadi
sangat penting dalam kehidupan sosial politik modern. Kemudian bila dibandingkan dengan
kondisi birokrasi di Indonesia khususnya pada era Orde Baru yang berjalan hampir 32 tahun di
mana jelas bahwa birokrasi sudah menampakkan keberpihakannya kepada satu kekuatan politik
tertentu (Golkar) sebenarnya juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah politik Orde Baru itu sendiri.
Perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia khususnya Tata Kelolola pemerintahan daerah,
diharapkan akan memberikan pelajaran yang berharga betapa sulitnya bagi Birokrasi untuk bisa
steril dari pengaruh partai politik ataupun kepentingan penguasa. Untuk memperbaiki adanya
hambatan-hambatan untuk menjadi birokrasi yang netral maka mutlak untuk melakukan perbaikan
dan perubahan terhadap sikap dan prilaku Birokrat sehingga tumbuh menjadi Birokrasi yang
Profesional dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai Pelayan Masyarakat. Seorang
administrator publik mempunyai kewajiban untuk melakukan tugasnya untuk melayani masyarakat
sebaik mungkin tanpa ada pilih kasih dan tanpa memihak.

B. SARAN

Dalam memecahkan berbagai permasalahan kenegaraan disini dibutuhkannya birokrasi


pemerintahan yang sifatnya netral guna menjamin kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai hal
tersebut birokrasi pemerintah diberikan kekuasaan yang sebesar-besarnya dalam mengelola sumber
daya yang ada melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat. emangat netralitas itu, pada prinsipnya
juga merupakan bagian dari amanat reformasi. Netralitas birokrasi merupakan hal prinsipil yang
harus diwujudkan dalam rangka mengembalikan peran birokrasi sabagai abdi negara dan
16
masyarakat sebagai public servant. Dengan terwujudnya netralitas birokrasi akan semakin
profesional dalam mendukung pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat. Kuatnya konflik
kepentingan politik dalam sistem kerja birokrasi menjadi salah satu penyebab lemahnya kompetensi
birokrasi di Indonesia. Sehingga optimalisasi pola kepemimpinan yang berkarakter kuat, tegas, serta
bertanggung jawab merupakan variabel yang menentukan dalam upaya pengembalian fungsi
birokrasi sebagai public servant . Dan untuk mewujudkan netralitas birokrasi, diperlukan kerja
keras dan perubahan pola pikir (mind set) dan kesatuan Tindakan sejak dari pusat dan daerah baik
legislative maupun eksekutif termasuk para elit pemerintahan dan politik.

DAFTAR PUSTAKA

http://opzloper.blogspot.com/2017/11/makalah-tentang-kekuasaan-dan.html?m=1
http://juniarwibisana.blogspot.com/2017/05/contoh-makalah-netralitas-birokrasi.html?m=1
Ritan, Sipirianus Sina, Netralitas Birokrasi Dalam Pilkada (stu-di kasus Pilkada Kabupaten Flores
Timur, TesisMAP UGM, 2005.
Thoha , Miftah, (2008), Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi, Kencana Media,
JakartaFirman. (2017). Meritokrasi dan Netralitas Aparatus Sipil Negara (ASN) dalam Pengaruh
Pilkada Langsung. The Indonesian Journal of Public Administration, 3(2).Firnas, A. M. (2016).
Politik dan Birokrasi: Masalah Netralitas Birokrasi di Indonesia Era Reformasi. Jakarta: UIN
Syarief Hidayatullah.

17

Anda mungkin juga menyukai