Anda di halaman 1dari 19

ETIKA BIROKRASI PUBLIK DAN NETRALITAS BIROKRASI

Nama Kelompok 5

Nama : 1.) Bagus Hardiantoro ( 17.11.086 )

2.) Ahmad Desra Riadie ( 17.11.105 )

3.) Rudiono ( 16.11.302 )

SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI SATYA NEGARA

PALEMBANG TAHUN 2020


KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini. Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai sumber dan berbagai aspek sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah. Terlepas dari semua itu, Kami
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat
maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala
saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki. Akhir kata kami berharap
semoga makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakat ini dapat
memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Palembang,16 November 2020


DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

Latar belakang ..................................................................................................... 1

Rumusan Masalah ................................................................................................ 2

Tujuan ..................................................................................................................... 2

BAB 2 PEMBAHASAN

Sejarah Birokrasi ..................................................................................................... 3

Etika Birokrasi ....................................................................................................... 4

Netralitas Birokrasi ................................................................................................ 10

BAB 3 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan .......................................................................................................... 15

Saran ...................................................................................................................... 15
1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, kesejahteraan masyarakat


sangat tergantung pada kemampuan mereka mendapat akses dan kemampuan untuk dapat
menggunakan pelayanan publik. Akan tetapi permintaan akan pelayanan tersebut
biasanya jauh melebihi kemampuan pemerintah untuk dapat memenuhinya. Hal ini
dikarenakan pemusatan segala urusan publik hanya kepada negara dan urusan pelayanan
publik yang demikian kompleks mustahil dapat diurus secara menyeluruh oleh institusi
negara (sentralisasi). Oleh karena itulah kemudian dicetuskan ide desentralisasi, yang
mencoba menggugat kelemahan yang ada pada diskursus sentralisasi tersebut. pasca
Gerakan Reformasi 1998, Indonesia mengalami proses transisi yang melibatkan
pelembagaan politik sebagai upaya konsolidasi demokrasi dan desentralisasi
pemerintahan. Proses transisi ini telah menghasilkan beberapa hal positif bagi bangsa
Indonesia, termasuk di dalamnya meningkatkan partisipasi politik rakyat, tapi juga
menimbulkan kekhawatiran yang cukup besar akan dampak negatifnya. Lebih dari itu,
gerakan netralitas birokrasi juga memunculkan pluralisme birokrasi (bureaucratic
pluralism), dimana format kebijakan lebih merupakan hasil dari kompetisi aktor-aktor
ketimbang monopoli negara. Salah satu indikasi penting yaitu peluang untuk
mempengaruhi kebijakan publik lebih dimungkinkan dan juga relatif

meningkatnya tanggung jawab birokrasi terhadap masalah-masalah sosial dan tekanan


sosial.

Di tengah era reformasi dewasa ini yang membuka peluang bagi


berkembangnya pluralisasi dan polarisasi kepartaian, termasuk keterbukaan pola
rekrutmen politik, mirip pengalaman era Demokrasi Parlementer tahun 1950-an di masa
lalu, kiranya kita telah menyaksikan bersama suatu kontestasi seru persaingan partai dan
politisi yang berlomba untuk dapat merebut kursi atau minimal berusaha mempengaruhi
kinerja birokrasi pemerintahan. Khususnya di level daerah/lokal dari provinsi hingga
kota/kabupaten, realitas ini bahkan seolah kian terlegitimasikan penguatannya lewat UU
Pemerintahan Daerah, baik UU No. 22/1999 yang telah ditinggalkan maupun UU No.
32/2004 yang baru, beserta peraturan pelaksanaannya yang bersemangatkan otonomi
daerah.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian dan kenyataan di atas, maka rumusan masalah ini yakni :

1.) Apa iu etika pelayanan publik ?

2.) Apa tu netralitas birokrasi ?

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka yang menjadi tujuan penulisan makalah
ini adalah agar mahasiswa memahami apa itu netralitas birokrasi dan etika birokrasi

2
3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Birokrasi

Birokrasi memiliki asal kata dari Bureau, digunakan pada awal abad ke 18 di Eropa
Barat bukan hanya untuk menunjuk pada meja tulis saja, akan tetapi lebih pada kantor,
semisal tempat kerja dimana pegawai bekerja. Makna asli dari birokrasi berasal dari
bahasa perancis berarti pelapis meja. Kata birokrasi sendiri kemudian digunakan segera
setelah Revolusi Perancis tahun 1789, dan kemudian tersebar ke negara lain. Kata
imbuhan -kratia berasal dari bahasa Yunani atau kratos yang berarti kekuasaan atau
kepemimpinan. Birokrasi secara mendasar berarti kekuasaan perkantoran ataupun
kepemimpinan dari strata kepegawaian (Thoha, 2004).

Di Cina, dinasti Song (960 AD) sebagai contoh membentuk birokrasi sentralistis
dengan staf berasal dari rakyat jelata yang terdidik. Sistem kepemimpinan ini kemudian
mendorong konsentrasi kekuasaan di dalam tangan kaisar dan birokrasi istana daripada
yang diperoleh oleh dinasti sebelumnya. Teori Karl Marx tentang birokrasi berasal dari
teori mengenai historical materialisme, asal muasal birokrasi dapat ditemukan dalam
empat sumber: agama, pembentukan negara, perdagangan, dan teknologi. Kemudian,
bentuk birokrasi paling awal terdiri dari tingkatan kasta rohaniawan/tokoh agama,
pegawai pemerintah dan pekerja yang mengoperasikan aneka ritual, dan tentara yang
ditugaskan untuk mentaati perintah. Di dalam transisi sejarah dari komunitas egaliter
primitif ke dalam civil society terbagi kelas-kelas sosial dan wilayah, muncul sekitar
10.000 tahun yang lalu, dimana kewenangan terpusat, dan dipaksakan oleh pegawai
pemerintah yang keberadaannya terpisah dari masyarakat.Negara memformulasikan,
memaksakan dan menegakkan peraturan, dan memungut pajak, memberikan kenaikan
kepada sekelompok pegawai yang bertindak untuk menyelenggarakan fungsi tersebut.
Kemudian, negara melakukan mediasi bila terjadi konflik di antara masyarakat dan
menjaga konflik agar masih dalam batas kewajaran; negara juga mengatur pertahanan
wilayah. Terutama, hak umum perorangan untuk membawa dan menggunakan senjata
untuk mempertahankan diri sedikit demi sedikit dibatasi; memaksakan orang lain untuk
berbuat sesuatu menjadi hak legal negara dan aparat pemerintah untuk melakukannya
B. Etika Birokrasi

1. Pengertian Etika

Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu “Ethes” berarti kesediaan jiwa akan
kesusilaan, atau secara bebas dapat diartikan kumpulan dari peraturan-peraturan
kesusilaan. Dalam pengertian kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan sebetulnya
tercakup juga adanya kesediaan karena kesusilaan dalam dirinya minta minta ditaati pula
oleh orang lain.

Aristoteles juga memberikan istilah Ethica yang meliputi dua pengertian yaitu etika
meliputi Kesediaan dan Kumpulan peraturan, yang mana dalam bahasa Latin dikenal
dengan kata Mores yang berati kesusilaan, tingkat salah saru perbuatan (lahir, tingkah
laku), Kemudian perkataan Mores tumbuh dan berkembang menjadi Moralitas yang
mengandung arti kesediaan jiwa akan kesusilaan1. Dengan demikian maka Moralitas
mempunyai pengertian yang sama dengan Etika atau sebaliknya, dimana kita berbicara
tentang Etika Birokrasi tidak terlepas dari moralitas aparat Birokrasi penyelenggara
pemerintahan itu sendiri.Etika dan moralitas secara teoritis berawal dari pada ilmu
pengetahuan (cognitive) bukan pada efektif. Moralitas berkaitan pula dengan jiwa dan
seamangat kelompok masyarakat. Moral terjadi bila dikaitkan dengan masyarakat, tidak
ada moral bila tidak ada masyarakat dan seyogyanya tidak ada masyarakat tanpa moral2,
dan berkaitan dengan kesadaran kolektif dalam masyarakat. Immanuel Kant, teori
moralitas tidak hanya mengenai hal yang baik dan yang buruk, tetapi menyangkut
masalah yang ada dalam kontak social dengan masyarakat, ini berarti Etika tidak hanya
sebatas moralitas individu tersebut dalam artian aparat birokrasi tetapi lebih dari itu
menyangkut perilaku di tengah-tengah masyarakat dalam melayani masyarakat apakah
sudah sesuai dengan aturan main atau tidak, apakah etis atau tidak.

Menurut Drs.Haryanto, MA. Bahwa Etika merupakan instrumen dalam masyarakat


untuk menuntun tindakan (perilaku) agar mampu menjalankan fungsi dengan baik dan
dapat lebih bermoral.3 Ini berarti Etika merupakan norma dan aturan yang turut mengatur

4
perulaku seseorang dalam bertindak dan memainkan perannya sesuai dengan aturan main
yang ada dalam masyarakat agar dapat dikatakan tindakannya bermoral.

Dari beberapa pendapat yang menegaskan tentang pengertian Etika di atas jelaslah
bagi kita bahwa Etika terkait dengan moralitas dan sangat tergantung dari penilaian
masyarakat setempat, jadi dapat dikatakan bahwa moral merupakan landasan normative
yang didalamnya mengandung nilai-nilai moralitas itu sendiri dan landasan normative
tersebut dapat pula dinyatakan sebagai Etika yang dalam Organisasi Birokrasi disebut
sebagai Etika Birokrasi.

2. Pengertian Birokrasi

Berikut ini adalah beberapa pengertian birokrasi dalam pandangan beberapa pakar:

1) Max Weber

Weber menulis banyak sekali tentang kedudukan pejabat dalam masyarakat


modern. Baginya kedudukan pejabat merupakan tipe penanan sosial yang makin penting.
Ciri-ciri yang berbeda dari peranan ini ialah: pertama, seseorang memiliki tugas-tugas
khusus untuk dilakukan. Kedua, bahwa fasilitas dan sumber-sumber yang diperlukan
untuk memenuhi tugas-tugas itu diberikan oleh orang orang lain, bukan oleh pemegang
peranan itu. Dalam hal ini, pejabat memiki posisi yang sama dengan pekerja pabrik,
sedang Weber secara modern mengartikannya sebagai individu dari alat-alat produksi.
Tetapi pejabat memiliki ciri yang membedakannya dengan pekerja: ia memiliki otoritas.
Karena pejabat memiliki otoritas dan pada saat yang sama inilah sumbangannya, ia
berlaku hampir tanpa penjelasan bahwa suatu jabatan tercakup dalam administrasi (setiap
bentuk otoritas mengekspresikan dirinya sendiri dan fungsinya sebagai administrasi).
Bagi Weber membicarakan pejabat-pejabat administrasi adalah bertele-tele. Meskipun
demikian konsep tersebut muncul pertama kalinya. Perwira Tentara, Pendeta, Manajer
Pabrik semuanya adalah pejabat yang menghabiskan waktunya untuk
menginterpretasikan dan memindahkan instruksi tertulis. Ciri pokok pejabat birokrasi
adalah orang yang diangkat, bukan dipilih. Dengan menyatakan hal ini Weber telah
hampir sampai pada definisi umumnya yang dikenakan terhadap birokrasi. Weber
memandang Birokrasi sebagai birokrasi rasional atau ideal sebagai unsur pokok dalam

5
rasionalisasi dunia modern, yang baginya jauh lebih penting dari seluruh proses sosial
(Sarundajang, 2003).

2) Farel Heady (1989)

Birokrasi adalah struktur tertentu yang memiliki karakteristik tertentu: hierarki,


diferensiasi dan kualifikasi atau kompetensi. Hierarkhi bekaitan dengan struktur jabatan
yang mengakibatkan perbedaan tugas dan wewenang antar anggota organisasi.
Diferensisasi yang dimaksud adalah perbedaan tugas dan wewenang antar anggota
organisasi birokrasi dalam mencapai tujuan. Sedangkan kualifikasi atau kompetensi
maksudnya adalah seorang birokrat hendaknya orang yang memiliki kualifikasi atau
kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya secara
profesional. Dalam hal ini seorang birokrat bukanlah orang yang tidak tahu menahu
tentang tugas dan wewenangnya, melainkan orang yang sangat profesional dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya tersebut.

3) Hegel

Birokrasi adalah institusi yang menduduki posisi organiik yang netral di dalam
struktur sosial dan berfungsi sebagai penghubung antara negara yang memanifestasikan
kepentingan umum, dan masyarakat sipil yang mewakili kepentingan khusus dalam
masyarakat. Hegel melihat, bahwa birokrasi merupakan jembatan yang dibuat untuk
menghubungkan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan negara yang dalam
saat-saat tertentu berbeda. Oleh sebab itu peran birokrasi menjadi sangat strategis dalam
rangka menyatukan persepsi dan perspektif antara negara (pemerintah) dan masyarakat
sehingga tidak terjadi kekacauan.

4) Karl Marx

Birokrasi adalah Organisasi yang bersifat Parasitik dan Eksploitatif. Birokrasi


merupakan Instrumen bagi kelas yang berkuasa untuk mengekploitasi kelas sosial yang
lain (yang dikuasai). Birokrasi berfungsi untuk mempertahankan privilage dan status quo
bagi kepentingan kelas kapitalis. Dalam pandangan Marx yang berbeda dengan Hegel,
birokrasi merupakan sistem yang diciptakan oleh kalangan atas (the have) untuk

6
memperdayai kalangan bawah (the have not) demi mempertahankan dan meningkatkan
kesejahteraan mereka sendiri. Dalam hal ini birokrasi menjadi kambing hitam bagi
kesalahan penguasa terhadap rakyatnya. Segenap kesalahan penguasa akhirnya tertumpu
pada birokrasi yang sebenarnya hanya menjadi alat saja.

5) Blau dan Meyer

Birokrasi adalah sesuatu yang penuh dengan kekakuan (inflexibility) dan


kemandegan struktural (structural static), tata cara yang berlebihan (ritualism) dan
penyimpangan sasaran (pervesion goals), sifat pengabaian (alienation) serta otomatis
(automatism) dan menutup diri terhadap perbedaan pendapat (constrain of dissent).
Dengan demikian Blau dan Meyer melihat bahwa birokrasi adalah sesuatu yang negatif
yang hanya akan menjadi masalah bagi masyarakat.

6) Yahya Muhaimin

Birokrasi adalah keseluruhan aparat pemerintah, baik sipil maupun militer yang
bertugas membantu pemerintah (untuk memberikan pelayanan publik) dan menerima gaji
dari pemerintah karena statusnya itu.

Jadi , Etika birokrasi merupakan suatu tingkah laku bagi aparat birokrasi dalam
menjalankan tugas pelayanan bagi masyarakat. Etika birokrasi harus menempatkan
kepentingan publik diatas kepentingan pribadi maupun kelompoknya.

Etika Pelayanan Publik Indonesia

Mengenai bentuk pelayanan itu tidak akan terlepas dari tiga macam pelayanan yaitu :

1) Pelayanan dengan lisan

2.) Pelayanan melalui tulisan

3.) Pelayanan dengan perbuatan

Ketiga bentuk pelayanan tersebut dalam setiap organisasi tidaklah dapat selamanya
berdiri secara murni, melainkan sering kombinasi. Apalagi pelayanan tersebut pelayanan
publik pada Kantor Pemerintah.

7
Faktor utama dalam keterpurukan pelayanan publik di Indonesia adalah
lemahnya etika sumber daya manusia (SDM), yaitu birokrat yang bertugas memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Etika pelayanan publik harus berorientasi kepada
kepentingan masyarakat berdasar asas transparansi (keterbukaan dan kemudahan akses
bagi semua pihak) dan akuntabilitas (pertanggungjawaban sesuai dengan peraturan
perundang-undangan) demi kepentingan masyarakat.

Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia, pelanggaran


moral dan etika dapat kita amati mulai dari proses kebijakan publik yaitu (pengusulan
program, proyek, dan kegiatan yang tidak didasarkan atas kenyataan), desain organisasi
pelayanan publik (pengaturan struktur, formalisasi, dispersi otoritas) yang sangat bias
terhadap kepentingan tertentu, proses manajemen pelayanan publik yang penuh rekayasa
dan kamuflase (mulai dari perencanaan teknis, pengelolaan keuangan, sumber daya
manusia, informasi,dsb.) yang semuanya itu nampak dari sifat-sifat tidak transparan, tidak
responsif, tidak akuntabel, tidak adil, dsb, sehingga tidak dapat memberikan kualitas
pelayanan yang unggul kapada masyarakat.

Sudah sepantasnnya pelayanan umum dilakukan secara beretika agar tidak adanya
kekecewaan dalam suatu masyarakat. Etika yang sewajarnya ada kini sudah mulai luntur
oleh tindakan kurang terpuji dari pihak aparatur negara. Tindakan-tindakan tidak terpuji
tersebut diantaranya adalah :

1.) Aparat belum memberikan informasi yang jelas dan benar kepada pengguna jasa,
terkadang terkesan berbelit-belit dan akhirnya para aparatur berkesempatan untuk
mendapatkan uang lebih dari tawarannya yang menguntungkan, misalkan dapat
menyelesaikan pembuatan KTP dengan cepat, namun dengan sedikit imbalan atas usaha
yang dilakukannya.

2.) Aparat belum menunjukkan sikap ramah, sopan, dan santun pada pengguna jasa. Sikap
semena-mena yang ditunjukkan sebagian aparatur terkesan seperti merajai atau
menggurui, meskipun dengan orang yang lebih tua. Sikap tersebut dikarenakan oleh
derajat yang dia miliki dia rasakan sebagai derajat yang paling tingggi, meski sebenarnya
dia tahu bahwa dia merupakan pelayan bagi masyarakat.

8
3.) Masih ada pegawai yang tidak berada pada tempat kerjanya atau mejanya kosong
disaat pengguna jasa membutuhkan pelayanan. Adanya „Bolos‟ kerja yang dilakukan
aparatur membuat masyarakat merasa dirugikan, tak jarang masyarakat yang ingin
meminta bantuan jasa merupakan masyarakat yang datang dari jauh dan ternyata setelah
sampai ditempat pelayanan, para pelayan masyarakat sedang tidak ada ditempat.

4.) Masih ada pegawai yang mementingkan kepentingan pribadi dan terlalu tunduk
dengan apa yang diperintahkan pimpinan. Pekerjaan seharusnya tidak boleh dicampur
dengan urusan pribadi agar tidak adanya kekacauan dalam pekerjaan terhadap mayarakat.
Jika pelayan masyarakat terlalu tunduk dengan atasan maka tak jarang pekerjaan untuk
melayani masyarakat menjadi terbengkalai, karena dia lebih menjadi pelayan pimpinan
daripada pelayan masyarakat.

Dalam etika pelayanan publik ada seperangkat nilai yang dapat digunakan
sebagai acuan, referensi, dan penuntun bagi birokrasi publik dalam melaksanakan tugas
dan kewenangannya, yakni :

1. Efisiensi, nilai efisiensi artinya tidak boros. Sikap, perilaku dan perbuatan birokrasi
publik dikatakan baik jika mereka efisien (tidak boros). Menurut Darwin (1999) mereka
akan menggunakan dana publik (public resources) secara hati-hati agar memberikan
manfaat/hasil yang sebesar-besarnya bagi publik. Efisiensi dapat dicapai manakala setiap
anggota organisasi dapat memberikan kontribusi kepada organisasi. Karena itu, perlu
ditegakkan sebuah prinsip “janganlah bertanya apa yang saudara dapatkan dari
organisasi, tapi bertanyalah apa yang dapat saudara berikan kepada organisasi”.

2. Membedakan milik pribadi dengan milik kantor, nilai ini dimaksudkan supaya
birokrasi yang baik dapat membedakan mana milik kantor dan mana milik pribadi.
Artinya milik kantor tidak digunakan untuk kepentingan pribadi.

3. Impersonal, nilai impersonal maksudnya adalah dalam melaksanakan hubungan


antara bagian satu dengan bagian yang lain, atau kerjasama antara orang yang satu dengan
lainnya dalam kerjasama kolektif diwadahi oleh organisasi, dilakukan secara formal.
Maksudnya hubungan impersonal perlu ditegakkan untuk menghindari unsur perasaan
daripada unsur rasio dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab berdasarkan peraturan

9
yang ada dalam organisasi. Siapa yang salah harus diberi tindakan, dan yang berprestasi
selayaknya mendapat penghargaan.

4. Merytal system, nilai ini berkaitan dengan rekrutmen atau promosi pegawai,
hendaknya menggunakan “merytal system, artinya dalam penerimaan pegawai atau
promosi pegawai tidak didasarkan atas kekerabatan, namun berdasarkan pengetahuan
(knowledge), ketrampilan (skill), kemampuan (capable), dan pengalaman (experience),
sehingga dengan sistem ini akan menjadikan yang bersangkutan cakap dan profesional
dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab, dan bukan “spoil system”.

5. Responsible, nilai ini berkaitan dengan pertanggungjawaban birokrasi publik dalam


menjalankan tugas dan kewenangannya. Menurut Friedrich dalam Darwin (1988),
responsibilitas merupakan konsep berkenaan dengan standar profesional dan kompetensi
teknis yang dimiliki administrator (birokrasi publik) dalam menjalankan tugasnya. Untuk
bisa menilai perilaku, sikap, dan sepak terjang administrator harus memiliki standar
penilaian sendiri yang bersifat administratif atau teknis, dan bukan politis. Disamping itu,
pertanggungjawaban administratif menuntut administrator harus bertindak berdasarkan
moral. Dalam hal ini birokrasi publik perlu bersikap adil, tidak membedakan client, peka
terhadap ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat, atau memegang teguh kode etik
sebagai pelayan publik. Sehingga dengan demikian diharapkan birokrasi yang
responsible akan mampu memberikan layanan publik yang baik dan profesional.

C. Netralitas Birokrasi

Netralitas birokrasi merupakan hal prinsipil yang harus diwujudkan dalam


rangka mengembalikan peran birokrasi sabagai abdi negara dan masyarakat sebagai
public servant. Dengan terwujudnya netralitas birokrasi akan semakin profesional dalam
mendukung pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat.

Tuntutan akan Netralitas Birokrasi

Bergulirnya reformasi tahun 1998, telah memberikan kondisi kepolitikan


yang lebih baik di daerah dibanding dengan pemerintahan sebelumnya. Adanya
otonomi daerah dan desentralisasi politik telah meningkatkan partisipasi politik publik.
Ini adalah hal yang positif bagi pembangunan demokrasi di daerah. Tapi juga dapat

10
menimbulkan kekhawatiran akan dampak negatifnya. Lebih dari itu, gerakan netralitas
birokrasi juga memunculkan pluralisma Birokrasi (beurakratic plouralism), dimana
format kebijakan lebih merupakan hasil dari kompetisi aktor-aktor ketimbang monopoli
negara. Salah satu indikasi penting yaitu, peluang untuk mempengaruhi kebijakan publik
lebih dimungkinkan dan juga relatif meningkatnya tanggungjawab birokrasi terhadap
masalah-masalah sosial dan tekanan sosial. Miftah Thoha mengatakan ”netralitas
birokrasi sebagai posisi birokrasi pemerintah yang seyogyanya tidak memihak, sengaja
dibuat untuk memihak kepada kepentingan politik atau partai politik”. Riant
Nugroho menyebutkan, pembangunan di Indonesia dilakukan dalam paradigma politik
yang dicerminkan ganti penguasa ganti peraturan. Karena dalam konsep ini, peraturan
ditempatkan sebagai bukti kekuasaan, dan kekuasaan is the core of the politics. Dalam
pengertian tersebut, maka pembangunan dilakukan dengan paradigma politik bukan
manejemen. Manejemen dalam bentuk sebuah paradigma melihat segala sesuatunya
sebagai sebuah upaya untuk mengoptimalkan semua asset yang ada, termasuk aset yang
diberikan oleh manajemen.

Upaya Menjaga Netralitas

Partai politik dewasa ini telah menanamkan pengaruhnya terhadap birokrasi


lokal ; yang tentu saja dikhawatirkan akan mempengaruhi sikap netral para birokrat lokal,
menjelang pemilu. Untuk itu upaya untuk menjaga netralitas harus senantiasa dilakukan
sedini dan semaksimal mungkin. Memberikan pendidikan pemilih bagi para birokrat ;
menjadi salah satu alternatifnya, dan pelaksanaannya tentu saja bisa dilakukan oleh
KPUD atau KORPRI setempat. Dengan pendidikan ini, diharapkan mereka akan bebas
memilih sesuai hati nuraninya tanpa paksaan atau tekanan dari atasan.

Sekaligus bisa menjadi “rem” bagi pejabat yang suka memobilisasi bawahannya secara
tertutup menjelang pemilu. Alternatif yang lain adalah mangeluarkan aturan yang lebih
tegas yang melarang para birokrat untuk terlibat dalam kegiatan kampanye politik,
khususnya pada hari kerja. Hal ini untuk mencegah penggunaan fasilitas negara oleh
parpol dalam kampaye, baik itu pemakaian kendaraan dinas, biaya dinas dan juga ada
netralitas dari beberapa birokrasi yang harus diperhitungkan.

11
1. Netralitas PNS

Sejarah birokrasi di Indonesia menunjukkan, PNS selalu merupakan obyek politik dari
kekuatan partai politik (parpol) dan aktor politik. Jumlahnya yang signifikan dan
fungsinya yang strategis dalam menggerakkan anggaran keuangan negara selalu menjadi
incaran tiap parpol untuk menguasai dan memanfaatkan PNS dalam aktivitas politik.
Saat-saat menjelang pemilu, aktivitas politik partisan PNS menjadi kian intensif karena
partisipasinya untuk mendukung kampanye secara terbuka maupun terselubung amat
efektif.

Bagi parpol, keterlibatan PNS akan amat membantu dan mempermudah pelaksanaan
kampanye yang sering terjadi melalui pemanfaatan fasilitas negara (mobil, gedung, dan
kewenangan) secara diskriminatif, yang menguntungkan salah satu parpol. Selain itu, di
pelosok pedesaan yang mayoritas penduduknya tidak terdidik, figur dan pilihan PNS akan
menjadi referensi bagi pilihan masyarakat.

Pertukaran ekonomi politik antara partai/aktor politik (caleg) dan PNS dalam pemilu
tidak saja menguntungkan sisi politik, tetapi juga PNS sendiri. Keberpihakan PNS dalam
pemilu kepada parpol/caleg dibutuhkan untuk promosi dan karier jabatan. Dalam sistem
birokrasi di Indonesia kini, di mana promosi dan karier jabatan tidak ditentukan oleh
kompetensi dan kinerja, tetapi oleh afiliasi politik, netralitas PNS sulit ditegakkan. Hal
inilah yang dapat menyumbangkan terjadinya blunder dalam pelaksanaan pemilu.

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian Negara mengatur secara


tegas netralitas pegawai dalam pemerintahan. Pasal 3 UU No 43/1999 mengatur, (1)
Pegawai negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata
dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan; (2)
Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), pegawai negeri
harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Ketentuan ini jelas melarang
keberpihakan PNS dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan. Dalam

12
praktik, tercatat ada tiga bentuk pelanggaran yang dilakukan PNS dan pejabat
pemerintahan dalam pemilu.

Pertama, penyalahgunaan kewenangan yang dimiliki, antara lain menerbitkan aturan


yang mewajibkan kampanye kepada bawahan, pengumpulan dana bagi parpol tertentu,
pemberian izin usaha disertai tuntutan dukungan kepada parpol/caleg tertentu,
penggunaan bantuan pemerintah untuk kampanye, mengubah biaya perjalanan dinas, dan
memaksa bawahan membiayai kampanye parpol/caleg dari anggaran negara.

Kedua, penggunaan fasilitas negara secara langsung, misalnya penggunaan kendaraan


dinas, rumah dinas, serta kantor pemerintah dan kelengkapannya. Ketiga, pemberian
dukungan lain, seperti bantuan sumbangan, kampanye terselubung, memasang atribut
parpol/caleg di kantor, memakai atribut parpol/caleg, menghadiri kegiatan kampanye
dengan menggunakan pakaian dinas dan kelengkapannya, serta pembiaran atas
pelanggaran kampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan perlakuan tidak
adil/diskriminatif atas penggunaan fasilitas negara kepada parpol/caleg. Larangan
penggunaan fasilitas pemerintah ini juga diatur dalam Pasal 84 Ayat 1 Huruf h Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta
Pasal 41 Ayat 1 Huruf h Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden.

2. Netralitas TNI/POLRI

Salah satu bentuk dukungan Tni terhadap netralitas pemilu adalah embali menegaskan
jaminannya bahwa TNI akan bersikap netral pada Pemilu, Penegasan TNI untuk netral
sudah dicanangkan sejak 2004 dan pada 2008 makin dimantapkan dengan diterbitkannya
buku saku Netralitas TNI. Diantaranya yang menjadi bentuk netralitas TNI/ Polri
diantaranya adalah:

1. mengamankan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada sesuai dengan tugas dan


fungsi bantuan TNI kepada Polri.

2. Netral dengan tidak memihak dan memberikan dukungan kepada salah satu
kontestan Pemilu dan Pilkada.

13
3. Satuan / Perorangan / fasilitas TNI tidak dilibatkan pada rangkaian kegiatan
Pemilu dan Pilkada dalam bentuk

4. apapun di luar tugas dan fungsi TNI. Prajurit TNI tidak menggunakan hak
memilih baik dalam Pemilu maupaun dalam Pilkada.

5. Khusus bagi prajurit TNI (Istri / Suami / anak prajurit TNI), hak memilih
merupakan hak individu selaku warga Negara, institusi atau satuan dilarang
memberi arahan didalam menentukan pelaksanaan dari hak pilih tersebut

14
BAB 3

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Netralitas birokrasi merupakan suatu wacana nasional dalam era repormasi


ini, dimana diharapkan para birokrasi tidak lagi diboncenggi muatan atau pengaruh politik
dalam pemilihan umum.

Etika birokrasi merupakan suatu tingkah laku bagi aparat birokrasi dalam
menjalankan tugas pelayanan bagi masyarakat. Etika birokrasi harus menempatkan
kepentingan publik diatas kepentingan pribadi maupun kelompoknya.

B. Saran

Sebagai warga negara yang baik maka saya hanya dapat memberikan saran
yaitu agar aparatur sipil negara dapat memberikan pelayanan publik yang baik dan
memberikan etika yang cukup dalam melakukan kegiatan serta harus menjadi warga yang
netral tidak mendukung faksi manapun untuk kepentingan politik ataupun pribadi.

15
DAFTAR PUSTAKA

Anshori, A. Isa. 1994. “Netralitas Birokrasi”. Makalah disampaikan dalam Seminar


Dikotomi Politik dan Administrasi. Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta.

Thoha, Miftah. 2004. “Birokrasi dan Politik di Indonesia”. Cetakan ke 3. Jakarta

Aristoteles dalam Prof. Drs.H.A.Widjaja, Etika Pemerintahan, Edisi kedua, Bumi Aksara,
Jakarta, 1997

http://mastermakalahadministrasinegara.blogspot.com/2011/05/makalah-etika-birokrasi-
publik.html.

Anda mungkin juga menyukai