Anda di halaman 1dari 53

MAKALAH

Kajian Geografi Politik terhadap Birokrasi Pemerintah

KELOMPOK : 3

1. Anugrah
2. Rahmat Hidayat
3. Dalil Choirul Ummah
4. Desi Ratnasari
5. Mulianti

MATA KULIAH : GEOGRAFI POLITIK

JURUSAN GEOGRAFI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur tak henti-hentinya, kami hanturkan yang telah


memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah Kajian GeografiPpolitik terhadap Birokrasi Pemerintah ini.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah geografi
politik.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat mengetahui apa yang di
maksud geografi politik, apa itu birokrasi, pemikiran dalam geografi politik,
geopolitik sebagai dokrin dasar negara, dan kajian geografi terhadap birokrasi
Terimakasih kami ucapkan kepada seluruh pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini, yaitu kepada dosen Serta semua pihak yang
membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih memiliki
kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna, untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna sempurnanya
makalah ini. Kami berharap semoga makalah yang kami buat bermanfaat
bagi kita semua dan bagi pembaca pada umumnya.

Makassar, 25 Oktober 2017

Tim Penyusun,
DAFTAR ISI

Sampul
Kata pengantar ...................................................................................... i
Daftar isi................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 7
C. Tujuan ........................................................................................ 7
D. Manfaat ...................................................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah Geografi Politik .............................................................. 8
B. Sejarah Politik Indonesia ............................................................. 11
C. Birokrasi ...................................................................................... 12
D. Masalah birokrasi ........................................................................ 18
BAB II PEMBAHASAN
A. Geografi Politik ........................................................................... 35
B. Hubungan Geografi Politik dengan Birokrasi ............................. 42
C. Faktor-faktor yang mempengaruhi Birokrasi .............................. 46
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 49
B. Saran ............................................................................................ 49
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 50
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perilaku politik adalah perilaku dasar dari kehidupan sosial
manusia kemudian, kehidupan juga bersifat geografi politik yang
keduanya telah berkembang cukup lama, yaitu ketika kelompok manusia
menetapkan wilayah kekuasaannya sejak manusia hidup eksis di
permukaan bumi. Meskipun demikian, studi Geografi Politik mulai
nampak di akhir abad ke-19.
Dalam struktur ilmu geografi, geografi politik masuk kepada
geografi sosial/manusia (Human Geography). Dikarenakan mengacu pada
kehidupan manusia yang berperilaku rajin ataupun pemalas disebabkan
faktor alam, maka muncullah pandangan bahwa kehidapan manusia
bersifat deterministik serta lahirlah istilah penganut enviromentalist yang
disematkan kepada filsuf yang memegang paham ini. Geografi politik
mengkaji hasil proses politik yang tidak merata secara keruangan dan cara
struktur keruangan memengaruhi proses politik. Geografi politik
menggunakan struktur tiga tingkat untuk keperluan analisis: kajian
wilayah di bawah, kajian negara di tengah, dan kajian hubungan
internasional (atau geopolitik) di atas. Ketiga subdisiplin geografi politik
ini dapat disebut sebagai keterkaitan hubungan antara manusia, negara,
dan wilayah.
Birokrasi dan politik bagai dua mata uang yang tidak bisa
dipisahkan satu sama lain. Birokrasi dan politik memang merupakan dua
institusi yang memiliki karakter yang erbeda, namun saling mengisi. Dua
karakter yang berbeda antara ini memerikan sisi positif terkait dengan
sinergi, namun disisi lain tidak dapat dipisahkan dengan aroma
perselingkuhan. Syafuan Rozi menyatakan bahwa birokrasi sebagai
wewenang atau kekuasaan yang beragai departemen pemerintahan dan
cabang-cabangnya memperebutkan sesuatu untuk kepentingan diri sendiri
mereka sendiri, atau sesame warga negara. Ciri khas birokrasi adalah
bentuk institusi yang berjanjang, rekuitmen berdasarkan keahlian, danb
ersifat impersonal.Sedangkan politik adalah usaha untuk menentukan
peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebahagian besar warga
untuk membawa masyarakat kearh kehidupan bersama yang harmonis.
Birokrasi adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh
pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang
jabatan. Fenomena birokrasi selalu ada bersama kita dalam kehidupan kita
sehari-hari dan setiap orang seringkali mengeluhkan cara berfungsinya
birokrasi sehingga pada akhirnya orang akan mengambil kesimpulan
bahwa birokrasi tidak ada manfaatnya karena banyak disalahgunakan oleh
pejabat pemerintah (birokratisme) yang merugikan masyarakat.
Birokrasi bukanlah suatu fenomena yang baru bagi kita karena sebenarnya
telah ada dalam bentuknya yang sederhana sejak beribu-ribu tahun yang
lalu. Namun demikian kecenderungan mengenai konsep dan praktek
birokrasi telah mengalami perubahan yang berarti sejak seratus tahun
terakhir ini. Dalam Masyarakat yang modern, birokrasi telah menjadi suatu
organisasi atau institusi yang penting. Pada masa sebelumnya ukuran
negara pada umumnya sangat kecil, namun pada masa kini negara-negara
modern memiliki luas wilayah, ruang lingkup organisasi, dan administrasi
yang cukup besar dengan berjuta-juta penduduk.
Kajian birokrasi sangat penting dipelajari, karena secara umum dipahami
bahwa salah satu institusi atau lembaga, yang paling penting sebagai
personifikasi negara adalah pemerintah, sedangkan personifikasi
pemerintah itu sendiri adalah perangkat birokrasinya (birokrat).
Membicarakan tentang birokrasi tentunya sangat penting bagi kita untuk
mengetahui bagaimana sejarah birokrasi. Birokrasi memiliki asal kata dari
Burcau, digunakan pada awal abad ke 13 di Eropa Barat bukan hanya
untuk menunjuk pada meja tulis saja, akan tetapi lebih pada kantor,
semisal tempat kerja dimana pegawai bekerja. Makna asli dari birokrasi
berasal dari Prancis yang artinya pelapis meja. Bentuk birokrasi paling
awal terdiri dari tingkatan kasta rohaniawan / tokoh agama. Negara
memformulasikan,memaksakan dan menegakkan peraturan dan memungut
pajak, memberikan kenaikan kepada sekelompok pegawai yang bertindak
untuk menyelenggarakan fungsi tersebut.
Sangat menarik membicarakan tentang birokrasi, karena dalam realita
kehidupan birokrasi terkesan negatif dan menyulitkan dalam melayani
masyarakat, padahal para pegawai birokrasi itu dibayar dari duit
masyarakat. Dan terkadang wewenang yang diberikan kepada pegawai
dari birokrasi disalahgunakan. Misalnya seperti masalah tentang korupsi di
dirjen pajak yang hangat-hangatnya dibicarakan akhir-akhir ini. Oleh
karena itu sangat diperlukan adanya reformasi birokrasi

Berdasarkan studi Guelermo O'Donnel bahwa negara telah


muncul sebagai kekuatan politik yang tidak hanya relatif mandiri
berhadapan dengan faksi-faksi elit pendukungnya serta masyaraklu sipil,
tetapi ia telah menjadi kekuatan dominan yang marnpu mengatasi
keduanya. Otoritarian Birokratik memang diciptakan untuk melakukan
pengawasan yang kuat terhadap masyarakat sipil, terutama dalam upaya
mencegah massa rakyat di bawah keterlibatan politik yang terlampau aktif
agar proses akselerasi industrialisasi tidak tergangggu (Guelermo
O'Donnel dalam Muhammad AS Hikam, Jurnal IImu Politik No.8, AIPI
LIPI Jakarta 1991: 68).
Studi Fred W Rigg tentang Bureaucratic Polity dan
GuelermO'Donnel tentang Bureaucratic Authoritarian nampaknya
menggarisbawahi bahwa dalam masyarakat tertentu posisi birokrasi sudah
berada di bawah kontrol politik kekuasaan dalam rangka mendapatkan
sumber legitimasi politik melalui sarana birokrasi. Jika dalam studi Rigg
birokrasi. berkolaborasi dengan kekuasaan pemerintah, maka model
O'Donnell birokrasi itu tidak hanya berkolaborasi dengan kekuasan tetapi
juga melibatkan diri hampir di semua bidang kegiatan. Keterlibatan negara
tidak hanya dalam bidang poitik formal, namun menjalar sampai kepada
kegiatan ekonomi sosial budaya termasuk juga ideologi.
Menurut Etzioni-Havely birokrasi adalah organisasi hirarkis
pemerintah yang ditunjuk untuk menjalankan tugas melayani kepentingan
umum. Ciri khas yang melekat dalam tubuh birokrasi adalah bentuk
organisasi yang berjenjang, rekrutmen berdasarkan keahlian, dan bersifat
impersonal. Birokrasi juga merupakan unit yang secara perlahan
mengalami penguatan, independen, dan kuat. Penguasaan berbagai sumber
daya oleh birokrasi menjadikan birokrasi menjadi kekuatan besar yang
dimiliki oleh negara. Sedangkan politik merupakan institusi yang disebut
juga dengan pusat kekuasaan. Kekuasaan yang dimiliki oleh politik
berlangsung dalam berbagai arena, seperti pembuatan, penerapan, dan
evaluasi kebijakan publik. Dalam arti yang lebih luas, segala sesuatu yang
berkaitan dengan partai, demokrasi, dan kebijakan disebut juga dengan
politik.
Sementara birokrasi adalah sebuah institusi yang mapan dengan
segala sumber dayanya, namun pada lain sisi sistem kenegaraan
mensyaratkan politik masuk sebagai aktor yang mengepalai birokrasi
melalui mekanisme politik formal. Oleh karena itu, birokrasi pemerintah
tidak bisa dilepaskan dari kegiatan politik. Pada setiap gugusan
masyarakat yang membentuk tata pemerintahan formal, tidak bisa
dilepaskan dari aspek politik.
Pada gilirannya, birokrasi mau tidak mau harus rela dikepalai oleh
mereka yang umumnya bukan berasal dari kalangan birokrasi. Artinya,
kepentingan politik dengan sendirnya akan turut bermain dalam sistem
penyelenggaraan pemerintah. Persoalan yang mengemuka adalah
mampukah kepala daerah memberikan peluang kepada birokrasi yang
dipimpinya dengan arif untuk tetap mengikuti kaidah demokrasi yang
normatif.
Dalam berbagai macam pola hubungan antara birokrasi dan
politik, institusi politik -sebagaimana diketahui bersama- terdiri atas
orang-orang yang berprilaku politik yang diorganisasikan secara politik
oleh kelompok-kelompok kepentingan dan berusaha untuk mempengaruhi
pemerintah untuk mengambil dan melaksanakan suatu kebijakan. Oleh
karena itu, birokrasi pemerintah secara langsung ataupun tidak langsung
selalu berhubungan dengan kelompok kepentingan politik tersebut.
Politik, kekuasaan, dan birokrasi dalam dinamika pemerintahan
Indonesia bagaikan kesatuan yang tidak terpisahkan. Hubungan ketiganya
dapat dilacak dari sejarah awal pembentukan negara ini, dari masa
kerajaan, zaman kolonial hingga setelah kemerdekaan. Tarik menarik
politik dan kekuasaan berpengaruh kuat terhadap pergeseran fungsi dan
peran birokrasi selama ini. Birokrasi yang seharusnya bekerja melayani
dan berpihak kepada rakyat berkembang menjadi melayani penguasa
dengan keberpihakan pada politik dan kekuasaan. Sampai saat ini,
pengaruh kuat pemerintah terhadap birokrasi membuat sulitnya mesin
birokrasi member pelayanan publik yang profesional, rentan terhadap
tarik-menarik kepentingan politik, korupsi, kolusi, nepotisme, inefisiensi,
dan berbagai penyakit birokrasi lainnya.
Di Indonesia hubungan birokrasi dan politik telah melahirkan
banyak studi, diantaranya, Karl D Jackson menilai bahwa birokrasi di
Indonesia adalah model bureaucratic polity di mana terjadi akumulasi
kekuasaan pada negara dan menyingkirkan peran masyarakat dari ruang
politik dan Pemerintahan. Richard Robinson dan King menyebut birokrasi
di Indonesia sebagai bureaucratic capitalism. Sementara Hans Dieter
Evers melihat bahwa proses birokrasi di Indonesiaberkembang model
birokrasi ala Parkinson dan ala Orwel. Birokrasi ala Parkinson adalah pola
dimana terjadi proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran
structural dalam birokrasi secara tidak terkendali. Sedang birokrasi ala
Orwel adalah pola birokratisasi sebagai proses perluasan kekuasaan
Pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan ekonomi, politik dan
sosial dengan peraturan, regulasi dan bila perlu melalui paksaan. Dengan
demikian birokrasi di Indonesia tidak berkembang menjadi lebih efisien,
tetapi justru sebaliknya inefisiensi, berbelit-belit dan banyak aturan formal
yang tidak ditaati. Birokrasi di Indonesia ditandai pula dengan tingginya
pertumbuhan pegawai dan pemekaran struktur organisasi dan menjadikan
birokrasi semakin besar dan membesar. Birokrasi juga semakin
mengendalikan dan mengontrol masyarakat dalam bidang politik, ekonomi
dan sosial.
Cap birokrasi Indonesia seperti itu ternyata bukan sampai di situ
saja, tetapi melalui pendekatan budaya birokrasi Indonesia masuk dalam
kategori birokrasi patrimonial. Ciri-ciri dari birokrasi patrimonial adalah
(1) para pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi; (2) jabatan dipandang
sebagai sumber kekayaan dan keuntungan; (3) para pejabat mengontrol
baik fungsi politik maupun fungsi administrasi; dan (4) setiap tindakan
diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik. Munculnya birokrasi
patrimonial di Indonesia merupakan kelanjutan dan warisan dari system
nilai tradisional yang tumbuh di masa kerajaan-kerajaan masa lampau dan
bercampur dengan birokrasi gaya kolonial. Jadi, selain tumbuh birokrasi
modern tetapi warisan birokrasi tradisional juga mewarnai dalam
perkembangan birokrasi di Indonesia.
Bergulirnya roda reformasi sejak 1998 menuntut agar terjadi
perubahan di segala bidang, tidak terkecuali masalah birokrasi. Terjadinya
perubahan sistem politik tentunya juga mempengaruhi sistem birokrasi
apalagi Indonesia yang menggunakan sistem Demokrasi, mau tak mau
Indonesia juga turut membuka arus globalisasi. Penulis berasumsi bahwa,
dengan arus demokrasi dan globalisasi tentu mempengaruhi birokrasi di
nasional.
Hubungan politik-birokrasi di Indonesia pada saat ini menjadi
wacana menarik untuk dicermati. Pola hubungan politik-birokrasi yang
diistilahkan oleh beberapa ahli yakni relasi antara “cinta” dan “benci”
menjadi topik yang hangat diperdebatkan. Politik-birokrasi adalah “dua
sejoli” yang dianalogikan sedang “berpacaran”. Layaknya “orang yang
sedang berpacaran” akan selalu ada dua perasaan yang muncul silih
berganti yaitu perasaan “cinta “ dan “benci”. Di satu sisi mereka ingin
selalu berdekatan dan bekerja sama, tetapi di sisi lain ingin saling menjauh
dan berdiri sendiri. Dengan analogi ini maka hubungan politik-birokrasi
ini seperti “dua sisi mata uang” yang tidak bisa dipisahkan (unseparated)
tetapi berdiri sendiri (integrated).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, penulis
mengajukan rumusannya masalah secara singkat sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan geografi politik?
2. Apakah hubungan antara geografi politik dengan birokrasi
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi birokrasi?

C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengkaji kembali
bagaimana keadaan serta hubungan birokrasi dengan politik di Indonesia.
Selain itu, pembuatan makalah ini juga bertujuan untuk mengkaji lebih
dalam mengenai bagaimana proses dari reformasi birokrasi itu sendiri di
Indonesia yang pada kenyataannya belum berjalan secara efektif.

D. Manfaat
Adapun manfaat dari makalah ini, yaitu :
1. Dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa mengenai geografi politik.
2. Dapat mengetahui pemikiran dalam geografi politik.
3. Mahasiswa dapat mengetahui pengertian birokrasi.
4. Dapat mengenali perkembangan politik di Indonesia.
5. Mahasiswa dapat mengetahui hubungan antara politik dan birokrasi.
6. mahasiswa mengetahui konsep geografi kaitan dengan birokrasi
pemerintah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah Geografi Politik


Dalam struktur ilmu geografi, geografi politik merupakan bagian
dari geografi manusia. Prinsip studi geografi politik sejak kelahirannya
mengutamakan prinsip relationship, yaitu mempelajari hubungan antara
political behaviour dengan physical features. Artinya perilaku politik
penduduknya ditafsirkan atau dijelaskan dari keterikatannya dengan
gambaran fisik lingkungannya dimana komunitas manusia itu hidup.
Asumsi yang dibangun adalah bahwa perbedaan dan keanekaragaman
wilayah suatu Negara mempengaruhi kondisi penduduknya, atau
sebaliknya kemampuan manusia suatu bangsa dapat menciptakan ruang
Negara yang lebih baik dan atau lebih rusak oleh pengaruh manusia yang
hidup di dalamnya.
Geografi politik adalah bidang geografi manusia yang berkaitan
dengan studi yang tidak merata baik secara spasial hasil dari politik proses
dan cara-cara dimana proses politik itu sendiri dipengaruhi oleh struktur
spasial. Geografi politik konvensional mengadopsi 3 struktur skala untuk
tujuan analisis dengan studi mengenai Negara di pusat, di atas ini adalah
studi tentang hubungan internasional ( atau geopolitik), dan di bawahnya
adalah studi mengenai daerah. Keprihatinnan utama dari sub-disiplin dapat
diringkas sebagai antar hubungan antara masyarakat, Negara dan wilayah.
Asal-usul geoografi politik terletak pada asal-usul geografi
manusia itu sendiri dan praktisi awal prihatin terutama dengan militer dan
konsekuensi politik dari hubungan antara fisik geografi, wilayah negara,
dan kekuasaan Negara. Secara khusus ada hubungan dekat dengan daerah
geografi, dengan focus pada karakteristik daerah yang unik, dan
determenisme lingkungan dengan penekanan pada pengaruh lingkungn
fisik pada kegiatan-kegiatan manusia.
Definisi geografi politik adalah ilmu yang mempelajari relasi
antara kehidupan dan aktivitas politik dengan kondisi-kondisi alam dan
suatu negara, atau dengan kata lain mempelajari the states and its natural
environment. Selain itu, geografi politik juga mempelajari negara sebagai
sebuah politic region yang mencakup baik internal geographical factors,
maupun eksternal, yaitu hubungan antarnegara. Robinson yang dikutip
oleh Abdurachmat (1982) mengatakan bahwa geografi politik adalah
“…that the major objective of polltical geography is the analysis of inter-
state relationships and of internal adaptations to environmental
conditions”. Objek dan geografi politik adalah analisa dan hubungan
antarnegara dan adaptasi terhadap kondisi lingkungan di dalam negara
tersebut. Dengan demikian geografi politik dapat diartikan sebagai: “... is
the geography of states and provide a geographical interpretation of
international reIations.
Berdasarkan pengertian di atas, ruang lingkup kajian geograli
politik hanya ada tiga yang pokok, yaitu mengkaji tentang Environmental
Relationships, National power dan Political Region. Environmental
Relationships menekankan pada studi perbedaan dan keanekaragaman
wilayah negara dan penduduknya di muka bumi. Konsep Environmental
Relationships menekankan kepada hubungan antara kehidupan manusia
dan lingkungan alamnya akibat dorongan kehidupan dan keanekaragaman
wilayah negara. Alexander dalam Abdurachmat (1987) mengatakan bahwa
ada “..correlation between cultural differences on the one hand and
differences in physical phenomena. Such as climate, soils, and landforms
on the onter.”Prinsip ini merupakan prinsip paling tua yang dimulai dan
determinisme lingkungan (environmental determinism) yang memandang
kehidupan manusia, masyarakat dan negara dipengaruhi dan ditentukan
oieh keadaan alam sampai pada aliran possibilisme sebagaimana telah
dijelaskan di atas.
Lingkup kajian kedua adalah National Power, yaitu menekankan
kepada masalah power atau kekuasaan negara. Prinsip National Power
dikembangkan oleh Ratzel yang membahas secara sistematis tentang
pengaruh lingkungan alam terhadap ketahanan dan kekuatan nasional.
Terdapat tujuh hukum perkembangan (The Seven Laws of The Expansion
af State) menurut Alexander dalam Abdurachmat (1987), yaitu:
1. The space of states grows with the growth of culture.
2. The growth of states follows otheraspects of development, such as
commerce, ideas, and missionary activity.
3. States grows through the amalgamation and absorption of smaller
units.
4. The frontier is the peripheral organ of the state and reflects the growth,
the strength and the changes in the state.
5. In the process of growth the state seeks to include politically valuable
areas, such as coastlines, river valleys, plain, and regions which are
rich in resources.
6. The first impetus for territorial growth comes to a primitive state from
be borders, from a higher civilization.
7. The generaltrend toward amalgamation transmits the tendency
forexpans state to state and increase the tendency in the process of
transmission ( words, the process of amalgamation what the appetite
for gre aterexpansi.

Hukum Perkembangan pertama menerangkan bahwa pertumbuhan


keruangan negara bersamaan dengan pertumbuhan kebudayaan. Hokum
perkembangan kedua menyebutkan pertumbuhan negara diikuti oleh
perkembangan aspek lain seperti perdagangan, ideologi dan aktivitas
keagamaan. Hukum Perkembangan ketiga menyebutkan bahwa negara
tumbuh melalui penggabungan dan penyerapan unit negara terkecil.
Hukum Perkembangan keempat menyebutkan bahwa garis perbatasan
adalah organ lingkungan suatu negara yang menggambarkan pertumbuhan,
kekuatan dan perubahan dalam suatu negara. Hukum Perkembangan
kelima dalam proses pertumbuhan suatu negara, negara akan mencari
wilayah politik yang berharga seperti garis pantai, lembah sungai, dataran
dan daerah yang kaya akan sumber daya alam. Hokum Perkembangan
keenam menyebutkan bahwa dorongan pertama untuk pertumbuhan
teritorial datang dan sebuah negara yang primitif di luar dari perbatasan,
berasal dan peradaban yang lebih tinggi. Hukum yang terakhir
menyebutkan gejala umum terhadap penggabungan cenderung sebagai
ekspansi dan satu negara ke negara lain dan cenderung menambah proses
penyebaran, dengan kata lain hasrat proses penggabungan untuk ekspansi
selalu meningkat dan akan lebih besar.

Lingkup kajian ketiga adalah Political Region. Pada awal abad 20


para ahli geografi mulai meninggalkan konsep National Power dalam
membahas negara karena dinilai kurang objektif. Konsep Political Region
menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat teoritis seperti dasar, tujuan dan
ruang lingkup geografi politik serta pengorganisasian keruangan. Konsep
Political Region membahas tentang pembagian wilayah administrasi, batas
negara dan masalah yang berhubungan dengan pengawasan wilayah
kekuasaan negara.

B. Sejarah politik Indonesia


Berbicara tentang system politik suatu Negara, tidak akan dapat
dilepaskan dari system dan bentuk pemerintahan yang dianut oleh Negara
tersebut. Sebab system politiklah yang kemudian menentukan bentuk dan
susunan pemerintah yang bagaimana yang seharusnya dikembangkan
dalam negera tersebut. Oleh karena itu pilihan terhadap system
pemerintahan yang dianut oleh suatu Negara merupakan cerminan dari
system politik yang dianut.
Bangsa Indonesia yang besar baru dipersatukan oleh para pendiri
Negara melalui proklamasi 17 agustus 1945, setelah melalui proses yang
cukup panjang dan berliku. Sebelum itu Indonesia yang kerap nusantara ,
adalah kumplan bangsa-bangsa yang mandiri dan berdaulat, yang tidak
jarang antara, kerajaan yang satu dengan kerajaan yang lainnya saling
menyerang untuk memperluas pengaruh. Sebagai contoh kebesaran
kerajaan sriwijaya , karena mampu menaklukan wilayah kerajaan
sekitarnya, kebesaran kerajaan majapahit, Karena mampu menunjukkan
kerajaan-kerajaan yang lainnya, demikian pula halnya kebesaran kerajaan
mataram dan gowa Makassar.
Sehingga kalau kita jujur mengakui sebagai bangsa kita mampu
bersatu dengan suka rela dengan sejuta harapan yang besar untuk meraih
kehidupan yang baik secara bersama-sama adalah pada masa awal
.kemerdekaan. Pada saat proklamasi dikumandangkan oleh bung karno
dan bung hatta, hamper seluruh nusantara bersatu mendukung proklamasi
dengan sukacita. Dukungan yang sama juga diberikan oleh para pemimpin
Negara-negara bagian RIS pada tanggal 17 Agustus 1950, andai saja
mereka menolak bentuk Negara kesatuan atau menolak bergabung dengan
pemerintah Jakarta, maka akan sulit kalau tidak mustahil, pemerintah
Jakarta sanggup menytukan Indonesia.

C. Birokrasi
Jika dilihat dari segi bahasa, birokrasi terdiri dari dua kata yaitu
biro yang artinya meja dan krasi yang artinya kekuasaan. Birokrasi
memiliki dua elemen utama yang dapat membentuk pengertian, yaitu
peraturan atau norma formal dan hirarki. Jadi, dapat dikatakan pengertian
birokrasi adalah kekuasaan yang bersifat formal yang didasarkan pada
peraturan atau undang-undang dan prinsip-prinsip ideal bekerjanya suatu
organisasi. Secara etimologi birokrasi berasal dari istilah “buralist” yang
dikembangkan oleh Reineer von Stein pada 1821, kemudian menjadi
“bureaucracy” yang akhir-akhir ini ditandai dengan cara-cara kerja yang
rasional, impersonal dan leglistik (Thoha, 1995).
Birokrasi dapat dirujuk kepada empat pengertian yaitu,
o Birokrasi dapat diartikan sebagai kelompok pranata atau lembaga
tertentu.
o Birokrasi dapat diartikan sebagai suatu metoda untuk mengalokasikan
sumber daya dalam suatu organisasi.
o “Kebiroan” atau mutu yang membedakan antara birokrasi dengan
jenis organisasi lain. (Downs, 1967 dalam Thoha, 2003)
o Kelompok orang yang digaji yang berfungsi dalam pemerintahan.
(Castle, Suyatno, Nurhadiantomo, 1983)

Birokrasi Menurut Weber


Menurut Weber demokrasi tidak sama dengan birokrasi di mana
dalam birokrasi memerlukan persyaratan dalam pengangkatan
seseorang/pejabat, sedangkan demokrasi mensyaratkan pemilihan
seseorang/pejabat oleh banyak orang, tidak diangkat.
Batas-batas lingkup sistem-sistem otoritas umumnya dan demokrasi
khususnya dikelompokkan menjadi 5, yaitu kolegialitas, pemisahan
kekuasaan, administrasi amatir, demokrasi langsung, dan representasi
(perwakilan).

Konsep birokrasi menurut Max Weber

Birokrasi ialah alat kekuasaan bagi yang menguasainya, dimana para


pejabatnya secara bersama-sama berkepentingan dalam kontinuitasnya. Weber
memandang birokrasi sebagai arti umum, luas, serta merupakan tipe birokrasi
yang rasional. Weber berpendapat bahwa tidak mungkin kita memahami setiap
gejala kehidupan yang ada secara keseluruhan, sebab yang mampu kita lakukan
hanyalah memahami sebagian dari gejala tersebut. Satu hal yang penting ialah
memahami mengapa birokrasi itu bisa diterapkan dalam kondisi organisasi negara
tertentu. Dengan demikian tipe ideal memberikan penjelasan kepada kita bahwa
kita mengabstraksikan aspek-aspek yang amat penting yang membedakan antara
kondisi organisasi tertentu dengan lainnya.
Menurut weber, proses semacam ini bukan menunjukkan objektivitas dari
esensi birokrasi, dan bukan pula mampu menghasilkan suatu deskripsi yang benar
dari konsep birokrasi secara keseluruhan, tetapi hanya sebagai suatu konstruksi
yang bisa menjawab suatu masalah tertentu pada kondisi waktu dan tempat
tertentu. Menurut weber tpe ideal birokrasi yang rasional itu dilakukan dalam
cara-cara sebagai berikut :
1. Pejabat secara rasional bebas, tetapi dibatasi oleh jabatannya
2. Jabatan disusun oleh tingkat hierarki dari atas ke bawah dan kesamping
dengan konsekuensinya berupa perbedaan kekuasaan.
3. Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik
berbeda satu sama lain
4. Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan.
5. Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya
6. Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun.
7. Terdapat struktur pengembangan karieryang jelas
8. Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya untuk
kepentingan pribadi
9. Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem
yang dijalankan secara disiplin. (Weber, 1978 dan Albrow, 1970)
Dalam pemerintahan, kekuasaan publik dijalankan oleh pejabat
pemerintah/para birokrat yang melaksanakan tugasnya sesuai dengan peranan
dan fungsinya dalam sistem birokrasi negara dan harus mampu mengendalikan
orang-orang yang dipimpin. Birokrasi dalam ha ini mempunyai tiga arti, yaitu
:
1. Sebagai Tipe organisasi yang khas.
2. Sebagai suatu sistem (struktur).
3. Sebagai suau tatanan jiwa tertentu dan alat kerja pada organ negara untuk
mencapai tujuannya.
b. Birokrasi dan Fungsi Pelayanan
Dalam negara administratif, pemerintah dan seluruh jajarannya dikenal
sebagai abdi masyarakat dalam pemberian berbagai jenis pelayanan yang
diperlukan oleh seluruh warga masyarakat. Keseluruhan jajaran pemerintahan
negara merupakan satuan birokrasi pemerintahan yang juga dikenal dengan
istilah civil service. Pemerintah beserta seluruh jajaran aparatur birokrasi
bukanlah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab untuk
menyelenggarakan berbagai kegiatan pembangunan nasional, tetapi
merupakan kenyataan bahwa peranan pemerintah dan jajarannya bersifat
dominan.
Diantaranya berbagai satuan kerja yang terdapat dalam lingkungan
pemerintahan, terdapat pembagian tugas yang pada umumnya didasarkan pada
prinsip fungsionalisasi. Fungsionalisasi berarti bahwa setiap instansi
pemerintah berperan selaku penanggung jawab utama atas terselenggaranya
fungsi tertentu, dan perlu bekerja secara terkoordinasi dengan instansi lain.
Setiap instansi pemerintah mempunyai “kelompok pelanggan” dimana
kepuasan kelompok ini harus dijamin oleh birokrasi pemerintahan, antara lain
kelompok masyarakat yang memerlukan pelayanan di bidang pendidikan dan
pengajaran dilayani oleh instansi yang secara funsional menangani bidan
pendidikan dan pengajaran, dan sebagainya.

c. Birokrasi dan Fungsi pengaturan


Fungsi pengaturan terselenggara dengan efektif karena kepada suatu
pemerintahan negara diberi wewenang untuk melaksanakan berbagai
peraturan perundang-undangan yang ditentukan oleh lembaga legislatif
melalui berbagai ketentuan pelaksanaan dan kebijaksanaan. Pada dasarnya
seringkali aparatur pemerintah bekerja berdasarkan pendekatan legalistik.
Pendekatan tersebut antara lain bahwa dalam menghadapi permasalahan,
pemecahan yang dilakukan dengan mengeluarkan ketentuan normatif dan formal,
misalnya peraturan dan berbagaiperaturan pelaksanaannya.
Menurut Peter Al Blau dan Charles H.Page dalam Bintoro, birokrasi
dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus
dilakukan oleh banyak orang. Birokrasi adalah tipe organisasi yang bertujuan
mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengoordinasikan
secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang
B. Patologi birokrasi
Berbagai perkiraan mengenai masa depan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara memberikan petunjuk bahwa tantangan yang akan dihadapi oleh
Birokrasi Pemerintah di masa depan akan semakin besar, baik dalam bentuk dan
jenisnya, maupun intensitasnya.
Mengenai penanganan patologi birokrasi dan terapinya, berarti agar seluruh
birokrasi pemerintahan negara mampu menghadapi berbagai tantangan yang
mungkin timbul, baik yang sifatnya politis, ekonomis, sosio-kultural, dan
teknologikal. Berbagai penyimpangan yang dilakukan para birokratperlu
diidentifikasikan untuk dicari terapi yang paling efektif, sehingga patologi
demokrasi dapat dikategorikan dalam kelompok-kelompok tertentu.

C. Birokrasi pemerintahan dan Perilaku Birokrasi di Indonesia


a. Masa Lalu
Kondisi birokrasi pemerintahan Indonesia di era orde baru merupakan
perpaduan antara karakteristik birokrasi modern yang legal-rasional dengan
karakteristik birokrasi yang berakar dalam sejarah seperti terdapatnya posisi
seseorang yang tidak sesuai dengan keahliannya. Birokrasi Indonesia yang tidak
bisa dipisahkan dari faktor historis tersebut disebut sebagai “Birokrasi
Patrimonial” sebagai warisan budaya masa lampau
Priyo budi santoso menyebut model teoritis untuk memahami karakteristik
politik dan birokrasi Indonesia khususnya pada masa Orde Baru guna melengkapi
konsep birokrasi patrimonial tersebut yang disebut dengan model bureaucratic-
polity (politik birokrasi). Karl D Jackson menjelaskan sebagai berikut:
Politik birokrasi adalah suatu sistem politik di mana kekuasaan dan
partisipasi politik dalam pengambilan keputusan terbatas sepenuhnya pada para
penguasa negara, terutama para perwira militer dan pejabat tinggi birokrasi,
termasuk khususnya para ahli berpendidikan tinggi yag terkenal sebagai
teknokrat, dalam hal ini militer dan birokrasi tidak bertanggung jawab kepada
kekuatan-kekuatan politik lain seperti partai-partai politik, kelompok-kelpompok
kepentingan, atau organisasi kemasyarakatan. Berbagai tindakan didesain untuk
mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah yang berasal dari dalam elit itu
sendiri tanpa banyak memerlukan partisipasi atau mobilisasi massa. Kekuasaan
tidak dilibatkan oleh artikulasi kepentingan sosial dan geografi di sekitar
masyarakat.
Secara lebih sempit, Harold crouch mencatat bahwa bureaucratic-polity di
Indonesia mengandung tiga ciri utama, yaitu lembaga politik yang dominan
adalah birokrasi, lembaga-lembaga politik lainnya seperti parlemen, partai politik,
dan kelompok-kelompok kepentingan berada dalam keadaan lemah sehingga tidak
mampu mengimbangi atau mengontrol kekuatan birokrasi, serta massa di luar
birokrasi secara politik dan ekonomis adalah pasif, yang sebagian adalah
merupakan kelemahan parpol dan secara timbal balik menguatkan birokrasi.
b. Masa Kini
Seymour Martin Lipset dalam Miftah Thoha, mengatakan bahwa
komponen pembangunan ekonomi salah satunya adalah industrialisasi. Semula
masyarakatnya bersifat agraris serta serba manual dan kemudian pelan-pelan atau
cepat akan mengarah ke tatanan masyarakat yang industrialis. Salah satu ciri yang
menonjol adalah gerak yang dinamis yang mempengaruhi struktur dan mekanisme
kerja birokrasi di Indonesia yang disertai oleh sikap kritis masyarakat sebagai
akibat meningkatnya tingkat pendidikan.
Menurut Miftah Thoha, gerak dinamis dan sikap kritis tersebut
mempengaruhi kualitas hidup suatu bangsa. Masyarakat akan menuntut
demokratisasi di segala bidang termasuk pelayanan dan sistem birokrasi
pemerintah dimana kejahatan konvensional yang sangat mengganggu ekonomi
nasional adalah korupsi. Menurut Afan Gafar, kebijakan publik di Indonesia
mewajibkan rakyat untuk ikut terlibat didalamnya, sehingga masyarakat dapat
mengeluh hingga berbuat anarkis, minimal dengan cara demonstrasi di jalan.
c. Masa Depan
Model birokrasi yang ideal bukan bertumpu pada kultur semata, tetapi juga
bertumpu pada profesionalisme birokrasi terutama aparat birokrasinya.
Profesionalisme birokrasi ini terfokus pada adanya perjenjangan struktur secara
tertib dengan pendelegasian wewenang , posisi jabatan dengan tugas-tugas, dan
aturan-aturan yang jelas, serta tersedianya personel yang memiliki kecakapan dan
kredibilitas yang memadai dalam bidang tugasnya.
Menurut Akhmad Setiawan, birokrasi di Indonesia tergolong birokrasi yang tidak
bebas berpolitik. Hal ini tercermin dalam birokrasi yang sulit untuk tidak terlibat
politik sementara ciri patrimonial masih melekat. Hal inilah yang menjadikan
keikutsertaan masyarakat dalam pengambilan keputusan menjadi lebih terlihat.
Birokrasi pemerintahan yang ideal tercipta ketika karakter birokrasi ideal
terpenuhi, yaitu birokrasi yang terstruktur baik, tidak adanya jabatan yang
inefisien, aturan yang jelas, personel yang cakap, birokrasi yang apolitis, dan
berorientasi pada pelayanan masyarakat.

D. Masalah Birokrasi
Pemerintahan sebagai pilar utama penyelenggara negara semakin
dihadapkan pada kompleksitas global, sehingga perannya harus mampu dan
cermat serta proaktif mengakomodasi segala bentuk perubahan. Kondisi tersebut
sangat memungkinkan karena aparatur berada pada posisi sebagai perumus dan
penentu daya kebijakan, serta sebagai pelaksana dari segala peraturan. Sementara
itu, kondisi objektif dari iklim kerja aparatur selama ini masih dipengaruhi oleh
teori atau model birokrasi klasik yang diperkenalkan oleh Taylor, Wilson, Weber,
Gullick, dan Urwick, yaitu (i) struktur, (ii) hierarki, (iii) otoritas, (iv) dikotomi
kebijakan administrasi rantai pemerintah, dan (v) sentralisasi. Meskipun model
tersebut memaksimumkan nilai efisiensi dan efektifitas ekonomi, namun pada
kenyataannya teori tersebut tidak dapat memberikan jawaban secara faktual sesuai
dengan banyak temuan penelitian di berbagai tempat.
Teori birokrasi tersebut telah menimbulkan berbagai implikasi negatif yang
sangat terkait dengan gejala sebagai berikut:
1. Smith, menyebutkan Inmobilism-inability to function, adalah kenyataan
yang terkait dengan adanya hambatan dan ketidakmampuan menjalankan
fungsi secara efektif.
2. E. bardock, mengemukakan gejala kelemahan adalah tekonisme, yaitu
kecenderungan sikap administratoryang menyatakan mendukung suatu
kebijaksanaan dari atas secara terbuka tetapi sebenarnya hanya melakukan
sedikit sekali partisipasi dalam pelaksanaannya. Partisipasi yang sangat
kecil tersebut dapat pula berbentuk procrastination, yaitu bentuk partisipasi
dengan penurunan mutu atau kualitas pelayanan.
3. kelemahan lain adalah koordinasi yang dapat menimbulkan kelebihan
(surpluses) maupun kekurangan (shortages)
4. Kelemahan lain adalah kebocoran dalam kewenangan (linkage of
authority), yaitu kebijaksanaan pimpinan ditafsirkan dan diteruskan oleh
pembantu pimpinan secara berlainan dalam arus perintah pada bawahan
sesuai dengan pertimbangannya sendiri.
5. Selain itu terdapat juga gejala resistance,baik secara terang-terangan
maupun tersembunyi oleh aparat dalam menjalankan tugas-tugas
kedinasan
Birokrasi harus dihindarkan dari rancangan pihak-pihak yang tidak menghiraukan
kepentingan publik untuk menjadikannya sebagai power center karena dapat
mengancam potensi masyarakat.
Dalam hal patologi demokrasi dapat dikategorikan dalam lima kelompok, yaitu :
1. Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para pejabat di
lingkungan birokrasi, contohnya :
1. Penyalahgunaan wewenang dan jabatan
2. Penguburan masalah
3. Menerima sogok atau suap
4. Pertentangan kepentingan
5. kecenderungan mempertahankan status quo / ketakutan pada
perubahan
6. Arogansi dan intimidasi
7. Kredibilitas relatif rendah / nepotisme
8. Paranoia dan otoriter astigmatisme
9. Patologi yang disebabkan karna kurang / rendahnya pengetahuan
dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan
operasional. Artinya, rendahnya produktivitas kerja dan mutu
pelayanan tidak semata-mata disebabkan oleh tindakan dan
perilakuyang disfungsional, tetapi juga karena tingkat pengetahuan
dan keteramplan yang tidak sesuai dengan tuntutan tugas yang
diemban.
10. Patologi yang timbul karena tindakan para anggota birokrasi yang
melanggar norma-norma hukum dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Yang digolongkan dalam melanggar tindakan hukum, antara lain :
1. Menerima sogok / suap
2. Korupsi, dan
3. Tata buku yang tidak benar
4. Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrasi yang bersifat
disfungsional / negative, yaitu bertindak sewenang-wenang dan melalaikan
tugas.
5. Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai analisis
dalam lingkungan pemerintahan.
Pemahaman patologi birokrasi secara tepat memerlukan analisis mendalam
mengenai konfigurasi birokrasi tersebut yang akan terlihat dalam berbagai situasi
internal yang dapat berakibat negatif terhadap birokrasi yang bersangkutan, antara
lain :
1. penempatan tujuan dan sasaran yang tidak tepat
2. eksploitasi
3. tidak tanggap
4. motivasi yang tidak tepat
5. kekuasaan kepemimpinan
6. beban kerja yang terlalu berat
7. perubahan sikap yang mendadak.

b. Reformasi Birokrasi Menuju Pemerintahan yang Bersih, Kuat, dan Berwibawa


Selama kedudukan dominan berada di tangan birokrat, maka tidak
menutup kemungkinan terjadinya kolusi atau penyalahgunaan wewenang untuk
setiap urusan / keperluan. Birokrasi pemerintahan yang semakin kuat dan
menentukan cenderung melakukan penyalahgunaan jabatan, wewenang, dan
kekuasaan. Selama kekuasaan legislatif dan judikatif berada dibawah penguasa
sebab peran kepela eksekutif sangat mempengaruhi kedudukan, jabatan, dan
posisi di kedua lembaga tersebut. Lembaga legislatif tidak dapat melakukan fungsi
pengawasan secara efektif karena eksekutif lebih kuat daripada legislatif
sedangkan lembaga judikatif tidak kuat dan tidak independen karena adanya
campur tangan dari kepala eksekutif. Dengan demikian, pelaksanaan pancasila
dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen menjadi terabaikan sebab lemahnya
fungsi kontrol legislatif.
Berdasarkan hal tersebut, sistem ketatanegaraan yang perlu direformasi
adalah mencakup bidang politik, ekonomi, dan hukum pada tataran sistem, serta
reformasi bidang moral intelektual dan sosial budaya pada tataran karakter. Di
bidang politik, perubahan itu berkenaan dengan penyempurnaan undang-undang
pemilihan umum partai politik, susunan dan kedudukan anggota DPR, MPR,dan
DPRD, serta kebebasan mengeluarkan pendapat. Di bidang ekonomi, diperlukan
undang-undang anti monopoli, perlindungan konsumen, serta perbaikan terhadap
undang-undang ketenagakerjaan. Bidang hukum, diperlukan undang-undang
tentang HAM dan bela negara. Sedangkan dalam tatanan karakter, perlu dibuat
undang-undang etika pemerintahan dan menegakkan law enforcement . Selain itu,
peran birokrasi juga harus dikembangkan kepada prinsip pelayanan yang cepat
dan tepat, efisien, dan efektif.
Pemerintah juga dituntut untut untuk memprioritaskan pembenahan sistem yang
menyangkut kelembagaan dan sistem pendukung lainnya. Fungsi birokrasi
termasuk aparatur negara hendaknya bisa sebagai penyelesai masalah (a world of
solution) I serta menghindarkan diri dari sumber masalah (source of problem).

Birokrasi ideal menurut weber


Max Weber sebagai bapak birokrasi mengatakan bahwa birokrasi
menjadi elemen penting yang menghubungkan ekonomi dengan
masyarakat. Weber mengajukan sebuah model birokrasi ideal yang
memiliki karakteristik sebagai berikut :
· Pembagian Kerja (division of labour)
· Adanya prinsip hierarki wewenang (the principle of hierarchi)
· Adanya sistem aturan (system of rules)
· Hubungan Impersonal (formalistic impersonality)
· Sistem Karier (career system)

Faktor-faktor yang mempengaruhi birokrasi:

a. Faktor budaya

 Budaya dan perilaku koruptif yang sudah terlembaga (“uang


administrasi” atau uang “pelicin”)
 Budaya “sungkan dan tidak enak” dari sisi masyarakat
 Masyarakat harus menanggung biaya ganda karena zero sum game
 Internalisasi budaya dalam mekanisme informal yang profesional

b. Faktor individu

 Perilaku individu sangat bersifat unik dan tergantung pada mentalitas


dan moralitas.
 Perilaku individu juga terkait dengan kesempatan yang dimiliki
seseorang yang memiliki jabatan dan otoritas
 Perilaku opportunistik hidup subur dalam sebuah sistem yang korup
 Individu yang jujur seringkali dianggap menyimpang dan tidak
mendapat tempat.

c. Faktor organisasi dan manajemen

 Meliputi struktur, proses, leadership, kepegawaian dan hubungan


antara pemerintah dan masyarakat.
 Struktur birokrasi masih bersifat hirarkis sentralistis dan tidak
terdesentralisasi.
 Proses Birokrasi seringkali belum memiliki dan tidak melaksanakan
prinsip-prinsip efisiensi, transparansi, efektivitas dan keadilan.
 Birokrasi juga sangat ditentukan oleh peran kepemimpinan yang
kredibel.
 Dalam aspek kepegawaian, Birokrasi dipengaruhi oleh rendahnya
gaji, proses rekrutmen yang belum memadai, dan kompetensi yang
rendah.
 Hubungan masyarakat dan pemerintah dalam Birokrasi belum setara;
pengaduan dan partisipasi masyarakat masih belum memiliki tempat
(citizen charter)

d. Faktor politik

 Ketidaksetaraan sistem birokrasi dengan sistem politik dan sistem


hukum.
 Birokrasi menjadi “Geld Automaten” bagi partai politik.
 Kooptasi pengangkatan jabatan birokrasi oleh partai politik

Paradigma Birokrasi

Paradigma birokrasi menekankan pada hal-hal berikut:

1. Kepentingan publik, efisiensi, administrasi, dan kontrol, artinya


kepentingan publik menjadi prioritas utama yang harus diperjuangkan oleh
birokrasi melalui penyelenggaraan kerja sama yang efisien dengan
pengawasan yang ketat.
2. Mengutamakan fungsi, otoritas, dan struktur, maksudnya adalah
penerapan fungsi-fungsi administrasi merupakan landasan utama dalam
pencapaian tujuan. Otoritas (kewenangan) yang dimiliki didapat
berdasarkan pelaksanaan fungsi dan struktur yang ada juga memperoleh
penekanan.
3. Menilai biaya, menekankan tanggung jawab, artinya biaya
diperhitungkan secara ketat untuk meraih efisiensi sehingga tanggung
jawab individu ataupun kelompok mendapatkan penekanan.
4. Ketaatan pada aturan dan prosedur, artinya aturan dan prosedur
kerja yang berlaku harus dijalankan secara konsisten tanpa penyimpangan.
5. Beroperasinya sistem-sistem administrasi. Administrasi publik
sebagai sistem terdiri atas subsistem-subsistem. Kegagalan pada subsistem
menghambat operasional sistem secara keseluruhan yang pada gilirannya
menghambat pencapaian tujuan.

Paradigma PascaBirokrasi
Michael Barzeley menggunakan istilah post-bureaucratic paradigm untuk
menggambarkan perubahan dri model birokrasi tradisional menuju manajemen
publik modern. Karakteristik konsep manajemen publik modern menurut Barzelay
adalah:
1. Pergeseran dari kepentingan publik menjadi focus pada hasil dan citizen’s
value.
2. Pergeseran dari efisiensi menjadi focus pada kualitas dan value.
3. Pergeseran dari administrasi menjadi produksi pelayanan.
4. Pergeseran dari ketaatan pada aturan (norma) ke focus pada pengendalian.
5. Pergeseran dari enentuan fungsi, otoritas, dan struktur menjadi focus pada
misi, pelayanan pelanggan, dan outcomes.
6. Pergeseran dari pertimbanagan biaya menjadi fokus pada pemberian nilai.
7. Pergeseran dari memaksakan tanggung jawab menjadi membangun tanggung
jawab.
8. Pergeseran dari mengikuti aturan dan prosedur menjadi berfokus pada
pemahaman dan penerapan norma, identifikasi dan penyelesaian masalah, serta
perbaikan proses secara berkelanjutan.
9. Pergeseran dari pemenuhan sistem administratif menjadi fokus pada pelayanan
dan pengendalian, memperluas ilihan publik, mendorong tindakan kolektif,
pemberian insentif, pengukuran dan analisia hasil kerja.
D. Fungsi birokrasi menurut Tjokrowinoto menyatakan ada 4 yaitu :

1. Fungsi instrumental,yaitu menjabarkan perundang-undangan dan


kebijaksanaan public dalam kegiatan-kegiatan rutin untuk memproduksi
jasa,pelayanan ,komoditi,atau mewujudkan situasi tertentu.

2. Fungsi politik,yaitu member input berupa saran, informasi, visi ,dan


profesionalisme untuk mempengaruhi sosok kebijaksanaan.

3. Fungsi katalis Public Interest,yaitu mengartikulasikan aspirasi dan


kepentingan public dan mengintegrasikan atau menginkorporasikannya di dalam
kebijaksanaan dan keputusan pemerintah

4. Fungsi Entrepreneural, yaitu memberi inspirasi bagi kegiatan-kegiatan


inovatif dan non rutin, mengaktifkan sumber-sumber potensial yang idle, dan
menciptakan resources –mix yang optimal untuk mencapai tujuan (Feisal
tamin,2002)

D. Politik

1. Pengertian Politik

Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam


masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan,
khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan
antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal
dalam ilmu politik.

Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara


konstitusional maupun nonkonstitusional.

Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda,
yaitu antara lain:

 Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan


kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
 Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan
dan negara
 Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaan di masyarakat.
 politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan
kebijakan publik.

Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci,


antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik,
partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk
mengetahui seluk beluk tentang partai politik.

Sejarah Birokrasi sejak Masa Kolonial Sampai Reformasi

1.) Model Negara dan Birokrasi Pasca Kolonial.

Model ini diperkenalkan oleh Anderson (1983). Menurutnya, negara dan


birokrasi merupakan kelanjutan dalam pola-pola tertentu yang berasal dari negara
kolonial sebelumnya. Dalam hal demikian, model ini mirip dengan konsep negara
Beamstenstaat (negara pegawai) versi McVey, yang menunjuk adanya persamaan
gaya politik pemerintahan (masa Orde Baru) dengan gaya pemerintahan kolonial
Belanda, terutama pada masa-masa akhir tahun 1930-an. Keduanya
memperlihatkan ciri-ciri yang sama dalam hal perhatiannya terhadap proses
administrasi daripada terhadap proses politik, keahlian teknis, dan pembangunan
ekonomi. Sehingga negara menjadi mesin birokrasi yang efisien (the state as
efficient bureaucratic machine) Tetapi, berbeda dengan McVey yang lebih
menekankan gejala-gejala di permukaan, Anderson lebih menukik dengan
memberikan penjelasan teoritis tentang kontradiksi yang tajam antara negara dan
bangsa.

Kontradiksi itu terjadi antara kepentingan-kepentingan negara di satu


pihak dengan kepentingan-kepentingan masyarakat yang lebih populis,
partisipatoris, dan representatif pada pihak lain. Dalam dua kutub kepentingan
terbentang spektrum luas.
Pertama: kutub kepentingan negara secara penuh mensubordinasikan
kepentingan-kepentingan partisipatoris (seperti pada situasi rezim militeris atau
kolonialis).

Kedua: pada kutub yang lain, keadaan ketika negara mengalami disintegrasi, dan
kekuasaan sedang bergeser kepada organisasi ekstra negara yang berbasis suka
rela dan massal, seperti halnya dalam studi revolusi.

Dalam perspektif modernisasi, model negara pasca kolonial memiliki dua varian.

Pertama: model ini seharusnya bersifat netral, mewakili kepentingan


umum, dan tidak terkait dengan kepentingan-kepentingan golongan tertentu.
Karena itu, para pendukungnya, terutama yang duduk dalam pemerintahan, adalah
figur-figur modern yang memiliki keahlian tertentu, atau dengan kata lain para
teknokrat.

Kedua: ketika harapan-harapan idealistik dalam varian pertama mulai


dilaksanakan, tugas utama negara pasca kolonial dalam mendukung pembangunan
nasional adalah menciptakan tertib politik. Stabilitas suatu negara berfungsi
sebagai prasyarat kelangsungan suatu bangsa. Maka, "modern" atau "tidak
modern" suatu bangsa bukan ditentukan oleh ada tidaknya lembaga,
mekanisme, atau nilai-nilai demokrasi, melainkan pada kemampuannya
menciptakan dan memelihara stabilitas sosial, politik, dan ekonomi.

2) Birokrasi Pada Masa Kemerdekaan :

Setelah memperoleh kemerdekaan, Negara ini berusaha mencari


format pemerintahan yang cocok untuk kondisi saat itu. Berakhirnya masa
pemerintahan kolonial membawa perubahan sosial politik yang sangat berarti bagi
kelangsungan sistem birokrasi pemerintahan. Perbedaan pandangan yang terjadi
diantara pendiri bangsa di awal masa kemerdekaan tentang bentuk Negara yang
akan didirikan, termasuk dalam pengaturan birokrasinya, telah menjurus ke arah
disintegrasi bangsa dan keutuhan aparatur pemerintahan.Pada masa awal
kemerdekaan, Negara ini mengalami perubahan bentuk Negara, dan ini yang
berimplikasi pada pengaturan aparatur Negara atau birokrasi.
Perubahan bentuk Negara dari kesatuan menjadi federal berdasarkan
konstitusi RIS melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur pemerintah.
Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis menyangkut birokrasi pada saat
itu.Pertama, bagaimana cara menempatkan pegawai Republik Indonesia yang
telah berjasa mempertahankan NKRI, tetapi relatif kurang memiliki keahlian
dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan pegawai
yang telah bekerja pada Pemerintah belanda yang memiliki keahlian, tetapi
dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap NKRI.Selain perubahan bentuk
Negara, berganti-gantinya kabinet mempengaruhi jalannya kinerja pemerintah.
Seringnya terjadi pergantian kabinaet menyebabkan birokrasi sangat
terfragmentasi secara politik. Kinerja birokrasi sangat ditentukan oleh kekuatan
politik yang berkuasa pada saat itu. Di dalam birokrasi tejadi tarik-menarik antar berbagai
kepentingan partai politik yang kuat pada masa itu.Banyak kebijakan atau
program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa kepentingan politik dari
partai yang sedang berkuasa atau berpengaruh dalam suatu departemen.Dalam
memandang model birokrasi yang terjadi seperti ini, Karl D Jackson menyebutnya
sebagai bureaucratic polity.

Model ini merupakan birokrasi dimana negara menjadi akumulasi dari


kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari politik dan pertahanan . Jika
melihat peta politik pada masa orde lama, peran seorang presiden sangat dominan
dalam mengatur segala kebijakan baik Melihat realitas birokrasi di Indonesia,
sedikit berbeda dengan pendapat Karl D. Jackson, Richard Robinson dan King menyebut
birokrasi di Indonesia sebagai bureaucratic Authoritarian. Ada juga yang
menyebutnya sebagai birokrasi patrimonial.

Pada masa orde baru, sistem politik didominasi atau bahkan dihegemoni
oleh Golkar dan ABRI. Kedua kekuatan ini telah menciptakankehidupan politik
yang tidak sehat. Hal itu bisa dilihat adanya hegemonic partysystem diistilahkan
oleh Afan Gaffar (1999). Sedangkan menurut William Liddle,kekuasaan orde baru
terdiri dari (1) kantor kepresidenan yang kuat, (2) militer yang aktif berpolitik, dan (3)
birokrasi sebagai pusat pengambilan kebijakan yang tepat.
4) Birokrasi Pada Masa Orde Baru

Pada masa antara 1965 sampai masa Orde Baru (era


pemerintahan Soeharto), birokrasi lebih jelas kepemihakannya kepada
kekuatan sosial politik yang dominan; dalam hal ini Golkar. Salah satu faktor
yang menentukan kemenangan Golkar pada enam kali pemilu (sampai 1997)
adalah karena peranan birokrasi yang cukup kuat. Kesadaran politik di masa
awal kemerdekaan yang memandang birokrasi sebagai alat pemersatu bangsa
yang sangat ampuh, rupanya dipakai pula pada masa tersebut. Politik floating-
mass (masa mengambang) men-jadikan birokrasi dapat menjangkau ke seluruh
wilayah pelosok desa-desa di tanah air kita ini.

Pada masa orde baru tersebut terlihat sekali terjadinya politisasi


terhadap birokrasi yang seharusnya lebih berfungsi sebagai pelayan masyarakat.
Jajaran birokrasi diarahkan sebagai instrument politik kekuasaan Soeharto
pada saat itu.Seperti dalam pandangan William Liddle, bahwa Soeharto
sebagai politisi yang mempunyai otonomi relatif, merupakan pelaku utama
transformasi meski puntidak penuh model pemerintahan yang bersifat
pribadi kepada yang lebih terinstitusionalisasi. Birokrasi dijadikan alat
mobilisasi masa guna mendukung Soeharto dalam setiap Pemilu. Setiap
Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah anggota Partai Golkar.

Meskipun pada awalnya, Golkar tidak ingin disebut sebagai


partai,tetapi hanya sebagai golongan kekaryaan. Namun permasalahannya,
Golkar merupakan kontestan Pemilu dan itu berarti dia adalah partai
politik.Pada masa orde baru, pemerintahan yang baik belum terlaksana.
Misalnya, saja dalam pelayanan dan pengurusuan administrasi masih saja
berbelit-belit danmemerlukan waktu yang lama. Membutuhkan biaya
tinggi karena ada pungutan- pungutan liar. Pembangunan fisik pun juga
masih sering terbengkalai atau lamban dalam perbaikan.

Hal ini merupakan potensi kemenangan yang diraih Golkar untuk


menguasai birokrasi, apalagi birokrat diperbolehkan untuk menggunakan hak
pilihnya (menjadi peserta pemilu) yang pilihannya tidak ada lain kecuali harus
memilih Golkar sehingga dengan demikian birokrasi identik dengan Golkar.
Dengan menggunakan model 3 jalur yang dikenal dengan jalur ABG (ABRI,
Birokrasi dan keluarga Golkar) semakin jelas mengisyaratkan bahwa birokrasi
sudah terpolitisir oleh satu kekuatan politik tertentu. Mulai dari Presiden,
Menteri, Gubernur dengan segala jajaran di bawahnya duduk di kepengurusan
Golkar menunjukkan betapa sulitnya membedakan antara pemerintah
(birokrasi) dan politik (Golkar).

KORPRI yang diharapkan menjadi wadah aktivitas kedinasan seluruh


pegawai negeri yang keberadaannya tidak berafiliasi kepada satu kekuatan
politk apapun, namun betapa sulitnya mem-pertahankan kenetralannya
manakala melihat hanya Golkarlah satu-satunya kekuatan sosial politik yang
mempunyai akses ke birokrasi sedang kekuatan politik yang lain hanya berada
di luar garis. Angin reformasi mulai bergulir sejak rezim Soeharto jatuh, dan
muncul Habibi menggantikannya. Namun kondisi birokrasi di Indonesia tidak
jauh berubah, karena semua tahu bahwa naiknya Habibi (1998) menggantikan
Soeharto adalah didukung sepenuhnya oleh Golkar. Kemudian Habibi
digantikan oleh duet Gus Dur-Mega memunculkan nuansa baru dibidang
pemerintahan termasuk birokrasi, karena pemerintahan Gus Dur disusun atas
dasar kompromistis dari hampir semua kekuatan politik yang ada sehingga
memunculkan apa yang kemudian dikenal dengan Kabinet Persatuan Nasional
atau Kabinet Gotong Royong, di mana para menteri yang duduk di dalamnya
terdiri dari unsur partai politik besar yang memperoleh suara signifikan dalam
pemilu 1999.

Dari sinilah kemudian wacana tentang birokrasi menjadi marak


kembali. Salah satu bentuk gerakan reformasi adalah reformasi di bidang
birokrasi. Reformasi birokrasi sebagai bagian dari reformasi administrasi,
walaupun menyangkut dimensi yang luas dan komplek namun memiliki tujuan
yang jelas yaitu meningkatkan administrative performance dari birokrasi
pemerintah. Agenda kebijakan reformasi birokrasi diarahkan untuk
memperbaiki kinerja administrasi baik secara individu, kelompok maupun
institusi agar dapat mencapai tujuan kerja mereka lebih efektif, lebih ekonomis,
dan lebih cepat. Jelasnya, bahwa pandangan ini lebih spesifik lagi ditujukan
pada penyempurnaan struktur birokrasi dan perubahan perilaku aparatnya
menjadi conditio sine qua non bagi upaya peningkatan kinerja birokasi
pemerintah.

Siagian (1983) melihat pentingnya arah reformasi administrasi di


Indonesia lebih ditujukan kepada pengembangan administrative infrastructure
yang meliputi pengembangan aparat birokrasi, struktur organisasi, sistem dan
prosedur kerja. Sedangkan menurut Tjokroamidjojo (1985) ketika menganalisis
administrasi pembangunan di Indonesia menegaskan bahwa arah reformasi
birokrasi perlu ditujukan ke tujuh wilayah penyempurnaan administrasi yaitu:
penyempurnaan dalam bidang pembiayaan pembangunan; penyempurnaan
dalam bidang penyusunan program-program pembangunan di berbagai bidang
ekonomi dan non-ekonomi dengan pendekatan integrative (integrative
approach); re-orientasi kepegawaian negeri kearah produktivitas, prestasi dan
pemecahan masalah; penyempurnaan administrasi untuk mendukung
pembangunan daerah; administratif partisipatif yang mendorong kemampuan
dan kegairahan masyarakat; kebijaksanaan administratif dalam rangka menjaga
stabilitas dalam proses pembangunan; dan bersihnya pelaksanaan administrasi
negara (good governance)

5) Birokrasi Era Reformasi

Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan


diikuti pula dengan perubahan besar pada desain kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik yang menyangkut dimensi
kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun kultural. Perubahan struktur,
kultur dan paradigma birokrasi dalam berhadapan dengan masyarakat
menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan mengingat birokrasi
mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis
multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini. Namun, harapan
terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan
sebagaimana birokrasi di Negara - Negara maju tampaknya masih sulit
untuk diwujudkan. Osborne dan Plastrik ( 1997 ) mengemukakan bahwa
realitas sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi oleh Negara - Negara
yang sedang berkembang sering kali berbeda dengan realitas sosial yang
ditemukan pada masyarakat di negara maju.

Realitas empirik tersebut berlaku pula bagi birokrasi pemerintah,


dimana kondisi birokrasi di Negara - Negara berkembang saat ini sama
dengan kondisi birokrasiyang dihadapi oleh para reformis di Negara -
Negara maju pada sepuluh dekade yang lalu. Persoalan birokrasi di Negara
berkembang, seperti merajalelanya korupsi, pengaruh kepentingan politik
partisan, sistem Patron-client yang menjadi norma birokrasi sehingga pola
perekrutan lebih banyak berdasarkan hubungan personal dari pada faktor
kapabilitas, serta birokrasi pemerintah yang digunakan oleh masyarakat
sebagai tempat favorit untuk mencari lapangan pekerjaan merupakan
sebagian fenomena birokrasi yang terdapat di banyak Negara berkembang,
termasuk di Indonesia.

Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa


reformasi,tampaknya belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur
birokrasi diIndonesia. Perkembangan birokrasi kontemporer
memperlihatkan bahwa arogansi birokrasi sering kali masih terjadi. Kasus Brunei
Gate dan Bulog Gate setidak - tidaknya memperlihatkan bahwa pucuk
pimpinan birokrasi masih tetap mempraktikkan berbagai tindakan yang
tidak transparan dalam proses pengambilan keputusan. Birokrasi yang
seharusnya bersifat apolitis, dalam kenyataannya masih saja dijadikan alat
politik yang efektif bagi kepentingan - kepentingan golongan atau partai
politik tertentu. Terdapat pula kecenderungandari aparat yang kebetulan
memperoleh kedudukan atau jabatan strategis dalam birokrasi, terdorong
untuk bermain dalam kekuasaan dengan melakukan tindak KKN.

Keadaan ini pula yang menyebabkan timbulnya penyimpangan-


penyimpangan lain berikut, seperti :
 Maraknya tindak KKN
 Tingginya keterlibatan birokrasi dalam partai politik sehingga
pelayanan terhadap masyarakat tidak maksimal
 Pelayanan publik yang diskriminatif
 Penyalahgunaan wewenang
 Pengaburan antara pejabat karir dan non-karir

6) Reformasi Birokrasi

Masa birokrasi harus merupakan bagian dari reformasi sistem dan


proses, administrasi negara. Dalam konteks (SANKRI), reformasi administrasi
negara dan birokrasi di dalamnya pada hakikinya merupakan transformasi
berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam konstitusi. Dalam hubungan itu,
reformasi birokrasi juga merupakan jawaban atas tuntutan akan tegaknya
aparatur pemerintahan yang berdaya guna, berhasil guna, bertanggung jawab,
bersih dan bebas KKN memerlukan pendekatan dan dukungan sistem
administrasi negara yang mengindahkan nilai dan prinsip-prinsip good
governance, dan sumber daya manusia aparatur negara (pejabat politik, dan
karier) yang memiliki integritas, kompetensi, dan konsistensi dalam
menerapkan prinsip-prinsip tersebut, baik dalam jajaran eksekuti, legislatif,
maupun yudikatif. Selain dari unsur aparatur negara tersebut, untuk
mewujudkan good governance dibutuhkan juga komitmen dan konsistemsi dari
semua pihak, aparatur negara, dunia usaha, dan masyarakat; dan
pelaksanaannya di samping menuntut adanya koordinasi yang baik, juga
persyaratan integritas, profesionalitas, etos kerja dan moral yang tinggi. Dalam
rangka itu, diperlukan pula perubahan perilaku yang sesuai dengan dimensi-
dimensi nilai SANKRI, "penegakan hukum yang efektif” (effective law
enforcement), serta pengembangan dan penerapan sistem dan pertanggung-
jawaban yang tepat, jelas, dan nyata, sehingga penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan dapat berlangsung secara berdayaguna dan berhasilguna,
bersih dan bertanggung jawab serta bebas KKN.
Untuk dapat meluruskan kembali birokrasi pada posisi dan misi atau
perannya yang sebenamya selaku “pelayan publik” (public servant), diperlukan
kemampuan dan kemauan kalangan birokrasi untuk melakukan langkah-
langkah reformasi birokrasi yang mencakup perubahan perilaku yang
mengedepankan “netralitas, professionalitas, demokratis, transparan, dan
mandiri”, disertai perbaikan semangat kerja, cara kerja, dan kinerja terutama
dalam pengelolaan kebijakan dan pemberian pelayanan publik, serta komitmen
dan pemberdayaan akuntabilitas instansi pemerintah. Untuk memperbaiki cara
kerja birokrasi diperlukan birokrasi yang berorientasi pada hasil. Di sinilah
peran akuntabilitas dalam menyatukan persepsi anggota organisasi yang
beragam sehingga menjadi kekuatan bersama untuk mencapai kemajuan dalam
mewujudkan cita-cita dan tujuan NKRI.

Selanjutnya, diperlukan sosok pemimpin yang memiliki komitmen dan


kompetensi terhadap reformasi administrasi negara secara tepat, termasuk
dalam penyusunan agenda dan pelaksanaan kebijakan pemerintahan dan
pembangunan yang ditujukan pada kepentingan rakyat, peningkatan ketahanan
dan daya saing bangsa. Dalam rangka itu, diperlukan pula reformasi struktural,
seperti independensi sistem peradilan dan sistem keuangan negara, disertai
upaya peningkatan transparansi dan akuntabilitasnya kepada publik. Untuk
memberantas korupsi diperlukan agenda dan prioritas yang jelas dengan
memberikan sanksi kepada pelakunya (law enforcement).

Di samping itu perlu dilakukan kampanye kepada masyarakat agar


korupsi dipandang sebagai penyakit sosial, tindakan kriminal yang merupakan
musuh publik. Pers sebagai kontrol sosial harus diberi kebebasan yang
bertanggung jawab dalam mengungkap dan memberitakan tindak korupsi.
Pengembangan budaya maIu harus disertai dengan upaya menumbuhkan
budaya bersalah individu dalam dirinya (quilty feeling).

Akhirnya satu kondisi dasar untuk pemberantasan korupsi adalah suatu


keranka hukum nyata dan menegakkan hukum tanpa campur tangan politik.
Tujuannya adalah untuk menghindari konflik kepentingan dan intervensi
kekuasaan terhadap proses hukum. Reformasi birokrasi akan dapat menjadi
syarat pemberantasan korupsi, bila terwujud badan peradilan dan sistem
peradilan yang independen, didukung dengan keterbukaan dan sistem
pengawasan yang efektif.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Geografi Politik
Dari geografi politik ini. Sebagian besar dari manusia adalah tipe orang
yang yang menyukai belajar berbagai bidang keilmuwan secara umum.
Namun, sebagian lagi merupakan tipe orang yang menyukai memperdalam
suatu bidang keilmuwan agar lebih fokus. Jika kita mengetahui benar tentang
macam- macam bidang keilmuwan yang dipelajari di dunia ini, maka kita
akan menemukan banyak sekali bidang keilmuwan tersebut. Salah satu
bidang keilmuwan yang dipalajari di dalam dunia pendidikan adalah ilmu
Geopolitik.
Geografi politik sendiri merupakan satu cabang ilmu yang masih
berhubungan dengan cabang keilmuwan besar, yakni Ilmu Sosial. Dimana ini
dapat dilihat dari namanya. Geopolitik ini seperti gabungan dari dua kata
yang tidak asing di telinga kita, yakni “geo” + “politik”. “Geo” juga dipakai
dalam beberapa cabang keilmuwan, yakni geografi, geologi, geodesi, dan
sebagainya. Dimana “Geo” ini mempunyai arti sebagai “Bumi”. Semnata
“Politik” kita sering mendengarnya berkaitan dengan pemerintahan. Pada
kesempatan ini kita akan membahas mengenai pengertian dari geopolitik
menurut para ahli serta beberapa orang yang mempelopori teori
Geopolitik ini berasal dari kata geo dan politik. “Geo” sendiri
mempunyai arti bumi, sementara politik berasal dari bahasa Yunani yakni
“politeia”. “Poli” yang mempunyai arti sebagai kesatuan masyarakat yang
berdiri sendiri atau independent. Sementara “teia” mempunyai arti yakni
urusan. Sementara itu, jika kita melirik ke bahasa Inggris yang menjadi
Bahasa Internasional, “politics” mempunyai arti sebagai yakni suatu
rangkaian asas atau prinsip, keadaan, cara, dan juga alat yang digunakan
untuk mencapai suatu tujuan tertentu. semendata di dalam Bahasa Indonesia
sendiri, “politik” mempunyai arti kepentingan umum warga negara pada
suatu bangsa. Lebih sempit lagi, politik ini mempunyai arti sebagai suatu
rangkaian asas, prinsip, keadaan, jalan atau cara, dan juga alat yang
digunakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang seseorang tuju.
Geopolitik ini biasa juga disebut dengan wawasan nusantara.

Berikut adalah pengertian geopolitik menurut beberapa ahli.

1. Menurut Frederick Ratzel (1897)

Frederick Ratzel marupakan tokoh yang terkenal mempunyai Teori Geopolitik.


Pendapat dari Frederick Ratzel ini juga disebut dengan Teori Ruang. Ratzel
menyatakan bahwa “Negara dalam hal- hal tertentu dapat disamakan dengan
organism, yaitu mengalami fase kehidupan dalam kombinasi dua tau lebih antara
lahir, tumbuh, berkembang, mencapai puncak, surut, kemudian mati”. Inti ajaran
Ratzel ini adalah ruang yang ditempati oleh kelompok- kelompok politik (negara-
negara) yang mengembangkan hukum ekspansionisme baik di bidang gagasan,
perutusan, maupun bidang produk.

2. Karl Houshoffer (1896 – 1946)

Pendapat dari Karl Houshiffer mengenai geopolitik ini juga disebut atau dikenal
dengan Teori Ekspansionisme. Karl Houshoffer dalam teori ekspansionismenya
mengajarkan paham geopolitik ini sebagai ajaran ekspansionisme dalam bentuk
politik geografi yang mempunyai titik berat pada persoalan- persoalan strategi
perbatasan, ruang hidup dari bangsa dan juga tekanan rasial, ekonomi dan sosial
sebagai faktor yang mengharuskan pembagian baru kekayaan di dunia. Pandangan
Karl Haushofer ini berkembang di Jerman di bawah kekuasaan Adolf Hitler, juga
dikembangkan ke Jepang dalam ajaran Hako Ichiu yang dilandasi oleh semangat
militerisme dan juga fasisme. Pokok- pokok dari teori Haushofer ini pada
dasarnya menganut teori Kjellen yang sudah dibahas sebelumnya.

3. Menurut Sir Harold Mackinder

Mackinder ini merupakan penganut teori kekuatan, yang mencetuskan wawasan


benua sebagai konsep pengembangan kekuatan darat. Teorinya menyetakan
bahwa “barang siapa menguasai daerah jantung (haertland) yaitu benua di
duniaseperti Eropa- Asia akan dapat menguasai pulau- pulau dunia dan akhirnya
akan menjadi pengusas dunia. Teori ahli Geopolitik yang satu ini menganut
“konsep kekuatan”. Ia mencetuskan wawasan benua yaitu konsep kekuatan di
darat. Ajaran ilmuwan ini menyatakan bahwa barang siapa dapat menguasai
“daerah jantung”, yakni Eropa dan Asia akan dapat menguasai “pulau dunia”
yaitu Eropa, Asia, Afrika dan akhirnya dapat menguasai dunia.

4. Sir Walter Raleigh dan Alfred Mahan

Pendapat dari kedua ahli tersebut sering dikenal sebagai wawasan bahari. Teori
Raleigh dan Mahan ini pada dasarnya merupakan teori kekuatan lautan atau
kekuatan bahari. Mereka mengatakan bahwa siapa saja yang menguasai lautan
akan menguasai jalur perdagangan dunia, yang berarti menguasai kekuatan
kekuatan dunia sehingga akhirnya akan dapat mengusai dunia. Barang siapa
menguasai lautan akan dapat menguasai perdagangan. Dan menguasai
perdagangan berarti menguasai kekayaan dunia, dan pada akhirnya kan menguasai
dunia.

5. Menurut Hagget

Geopolitik atau Geografi politik menurut Hagget merupakan suatu cabang cabang
ilmu geografi manusia yang bidang kajiannya adalah aspek keruangan
pemerintahan atau kenegaraan yang meliputi hubungan regional, hubungan
internasional, dan juga pemerintahan atau kenegaraan dipermukaan bumi.
Menurut Hagget ini, dalam geografi politik lingkungan geografi dijadikan suatu
dasar perkembangan dan juga hubungan kenegaraan. Hagget juga menyatakan
bahwa bidang kajian geografi politik ini relatif luas, seperti aspek keruangan,
aspek politik, aspek hubungan regional hingga internasional.

6. Menurut Preston E. James

Menurut Preston E. James, geografi dalam geopolitik ini mempersoalkan


tata ruang publik untuk kehidupan, yakni sistem dalam hal menempati suatu ruang
yang ada di permukaan bumi. Dengan demikian, geografi mempunyai sangkut
paut dengan interrelasi antara manusia dengan lingkungan tempat hidupnya.
Sedangkan politik merupakan suatu hal yang selalu berhubungan dengan
kekuasaan atau pemerintahan. Dalam studi Hubungan Internasional, geopolitik
merupakan sautu kajian yang memperlihatkan masalah atau hubungan
internasional dari sudut pandang ruang ataupun geosentrik tertentu. Makna dari
Geopolitik ini sebenarnya dapat diringkas dan disederhanakan lagi.

Yakni, geopolitik merupakan suatu studi yang mengkaji masalah- masalah


geografi, sejarah, dan juga ilmu sosial, dengan merujuk kepada politik
internasional. Geopolitik ini adalah suatu bidang yang mengkaji makna strategis
dan juga makna politis suatu wilayah geografi, yang meliputi lokasi, luas
serta jenis jenis sumber daya alam yag berada di wilayah tersebut. Geopolitik ini
mempunyai 4 unsur yang pembangun yang meliputi keadaan geografis, politik
dan strategi, hubungan timbal balik antara geografi dan juga politik, serta unsur
kebijaksanaan.

7. Menurut Rudolf Kjellen

Rudolf Kjellen adalah seorang ilmuwan politik yag berasal dari Swedia pada masa
awal abad ke-20. Menurut Rudolf Kjellen, geopolitik adalah suatu seni dan juga
praktek penggunaan kekuasaan politik atas suatu wilayah tertentu. menurut cara
pandang tradisional, istilah ini hanya diterapkan terutama terhadap dampak
geografi pada politik, namun perlahan- lahan penggunaannya telah berkembang
selama abad ke abad, yakni mencakup konotasi yang lebih luas. Bagi kalangan
akademisi, studi tentang geopolitik akan melibatkan analisis geografi, sejarah dan
juga ilmu sosial dengan mengacu pada tata ruang politik dan pola pada berbagai
skala, mulai dari tingkat negara sampai dengan tingkat internasional.

Menurut Nur Fitrianto (2010), geografi politik merupakan cabang geografi


manusia yang bidang kajiannya adalah aspek keruangan pemerintahan atau
kenegaraan yang meliputi hubungan regional dan internasional, pemerintahan atau
kenegaraan dipermukaan bumi. Dalam geografi politik, lingkungan geografi
dijadikan sebagai dasar perkembangan dan hubungan kenegaraan. Bidang kajian
geografi politik relatif luas, seperti aspek keruangan, aspek politik, aspek
hubungan regional, dan internasional.

Menurut Sukma Perdana, S.Pd., M.T. (Tanpa tahun), jika politik diartikan
sebagai pendistribusian kekuasaan (power) serta kewenangan (rights) dan
tanggung jawab (responsibilities) dalam kerangka mencapai tujuan politik
(nasional), maka geografi politik berupaya mencari hubungan antara konstelasi
geografi dengan pendistribusian tersebut di atas. Hal ini disebabkan karena
bagaimanapun juga pendistribusian itu harus ditebarkan pada hamparan geografi
yang memiliki ciri-ciri ataupun watak yang tidak homogen di seluruh wilayah
negara.
Geografi politik dapat didefinisikan sebagai studi perbedaan-perbedaan
dan persamaan areal dilihat berdasarkan karakter politik sebagai bagian dari
semua hubungan perbedaan-perbedaan dan persamaan areal yang ada. (Harshorne,
1954:178 ; Prescott, 1972:1 dalam Sri Hayati, Jurnal Online “Pengantar Geografi
Politik: Perkembangan Teori Geografi Politik, Tokoh, Pendekatan, Siklus, dan
Perkembangan Negara”)
Menurut Taylor 2000:783 Geografi Politik (political geography) yang
menekankan bahwa teritorial ditafsirkan sebagai hubungan mendasar antara
kedaulatan negara dengan tanah air nasional yang terletak di jantung legitimasi
dan praktik negara modern. Dimana hasilnya adalah analisis-analisis atas wilayah,
kekuasaan dengan ruang yang terfokus yang berpusat pada Negara.
Menurut Friederich Ratzel Geografi Politik menekankan kepada
hubungan antara faktor fisis geografis dengan ras – ras di masing – masing negeri
dan bentuk pemerintahannya ditentkan oleh alam. Paham Fisis Determinis.
Menurut Otto Maul Geografi Politik adalah ajaran mengenai bentang
alam sebagai ruang hidup politik dimana kehidupan negara berlangsung.
Menurut Daniel Sihasale S.Pd,M.Si (2010), geopolitik dimaknai sebagai
ilmu penyelenggaraan negara yang setiap kebijakannya dikaitkan dengan
masalah-masalah geografi wilayah atau tempat tinggal suatu bangsa.
Menurut Sukma Perdana, S.Pd., M.T. (Tanpa tahun), geopolitik
merupakan pengembangan dari Geografi Politik, dimana negara dipandang
sebagai satu organisasi hidup yang berevolusi secara spatial dalam kerangka
memenuhi kebutuhan masyarakat bangsanya atau tuntutan kebutuhan akan
Lebensraum.Lebensraum (ruang hidup) yang secara eksplisit dikaitkan dengan
perkembangan budaya bangsa teritorial dengan perluasan,
Haushofer dalam Sukma Perdana, S.Pd., M.T., dalam artikelnya
“Konsepsi Geopolitik”, menamakan Geopolitik sebagai satu science of the
state yang mencakup bidang-bidang politik, geografi (ruang), ekonomi, sosiologi,
antropologi, sejarah dan hukum dan pertama kali diuraikan dalam bukunya yang
terkenal ’Macht und Erde’ (kekuasaan/power dan dunia).
Menurut Richard Hennig GeoPolitik merupakan ajaran tentang kekuatan
– kekuatan politik didalam keterkaitan kepada bumi dan penerapannya dimasa
mendatang sehubungan dari hasil yang didapat dari study yang dilakukan oleh
Geografi Politik.
Persamaan Geopolitik dan Geografi Politik
a. Adapun persamaannya berada pada lokus (batas atau tempat batasan)
wilayah tertentu. (Heri Mohamad Tohari S. Fil, 2010).
b. Geografi Politik dan Geopolitik sama mengkaji tata ruang di Bumi pada
suatu Negara.
c. sebagai dasar perkembangan suatu negara dan hubungan kenegaraan

4. Perbedaan Geopolitik dan Geografi Politik


Menurut Heri Mohamad Tohari S.Fil (2010), geopolitik merupakan politik
mengenai nation state sebuah negara atau wilayah tertentu. Sedangkan geografi
politik adalah politik yang dibatasi letak geografi tertentu. seperti batas negara
atau wilayah tertentu.
Perbedaan antara geografi politik dengan geopolitik terletak pada
pemanfaatan ilmunya. Geopolitik dipelajari untuk member pemahaman dan
menanamkan keberpihakan warga Negara terhadap negaranya dan Menurut
Preston E James, GeoPolitik lebih merujuk kepada suatu organisme yang semakin
berkembang. Artinya luas suatu negara dapat berkembang dengan kekuatan suatu
negara, dan sebaliknya apabila kekuatan politk suatu negara tersebut lemah maka
akan mudah direbut tertorinya oleh negara lain. Sedangkan Geografi Politik hanya
menekankan kepada studi bentang alam. Sedangkan geografi politik mempelajari
wilayah-wilayah politik (Negara) di dunia secara ilmiah tanpa dibebani oleh
keinginan untuk menanamkan nilai tertentu sebagai warga Negara. Geografi
politik mempelajari kekuatan suatu Negara dilihat dari kepemilikan sumber daya
alam, penduduk, pemilihan umum, dan lain-lain yang di dalamnya terjadi interaksi
antara manusia dan lingkungannya dalam lingkungan kehidupan politik. (Dr. Hj.
Sri Hayati, M.Pd. dan Drs. Ahmad Yani, M.Si., 2007). Dan Richard Hennig,
seorang profesor di Berlin berpendapat, sesungguhnya yang dipelajari oleh
Geografi Politik adalah bentang alam di mana kehidupan negara berlangsung,
namun ilmu tersebut adalah statis. Sehingga, menurutnya harus ada ilmu tentang
bentang alam yang sifatnya dinamis, yaitu Geopolitik.

B. Hubungan Geografi Politik dengan Birokrasi


Hubungan antara birokrasi dan politik telah menjadi tema klasik dalam
studi administrasi public. Dimana muncul konsep Dikotomi antara Politik
dengan Administrasi oleh Woodrow Wilson. Ia menjelaskan bahwa politik
dan administrasi berada di dua posisi yang berbeda. Politik menyangkut
bagaimana membuat kebijakan publik sedangkan administrasi berkaitan
dengan implementasi kebijakan publik. Perjalanan administrasi public tidak
terlepas dengan perkembangan ilmu politik. Dalam Paradigma Ilmu
administrasi antara tahun 1900-1926 terjadi dikotomi Politik dan
Administrasi, namun pada tahun 1950-1970 Administrasi Negara masuk
sebagai ilmu politik. Namun setelah era tersebut sekitar tahun 1970-an sampai
sekarang administrasi negara berdiri sendiri sebagai ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu ilmu politik menjadi bagian tak terpisahkan dari ilmu
administrasi Negara. Kajian birokrasi dan politik, mengingatkan kembali antar
hubungan masa lalu antara ilmu administrasi Negara dengan ilmu politik.
Kedua disiplin ilmu tersebut memilki ranah yang berbeda, namun dalam
prakteknya kedua ilmu tersebut sulit untuk dibedakan. Terkadang keduanya
saling mendukumg bahkan saling menghambat satu sama lain. Melihat
kondisi saat ini dinamika antara birokrasi dan politik sangatlah pelik. Namun
kombinasi keduanya jika ditempatkan dalam posisi yang tepat masih memiliki
kesempatan untuk menuju good governance.
Dalam proses menjalankan suatu kebijakan, birokrasi-birokrasi negara
tidaklah steril dari lingkungan politik suatu negara. Berjalan atau statisnya
implementasi kebijakan negara oleh birokrasi-birokrasi negara sangat
dipengaruhi lingkungan perpolitikan suatu negara. Pengaruh-pengaruh
tersebut dalam berlangsung dari lingkup internal, eksternal, resmi, ataupun
non resmi.
Dimensi Internal-Formal
Dimensi Internal-Formal kegiatan politik dalam birokrasi negara misalnya
hubungan antar individu di dalam birokrasi ataupun antara birokrasi tersebut
dengan kolega birokrasinya. Misalnya, kepolisian nasional suatu negara
menghendaki lintas komunikasi yang positif antara pimpinan tertinggi dengan
jajaran di bawahnya. Fenomena kontemporer semisal konflik di tubuh
Kepolisian Republik Indonesia membuktikan tidak terbangunnya koordinasi
komprehensif antara pimpinan-bawahan. Buruknya hubungan tersebut sedikit
banyak akan mempengaruhi kinerja birokrasi kepolisian, khususnya dalam hal
pemrosesan informasi dan lalu-lintas wewenang di dalam organisasi.
Dimensi Internal-Informal
Kendati sifatnya informal, lobi memainkan peranan khusus dalam
advokasi suatu kebijakan oleh birokrasi negara. Misalnya, dalam kasus
penggusuran atau pengalihan lahan rumah dan pasar-pasar tradisional. Dalam
kasus tersebut, birokrasi negara (misalnya walikota atau gubernur) tidak dalam
sekadar melakukan koordinasi dengan jajaran resmi pemerintah semisal Polisi
Pamong Praja. Kasus tersebut menghendaki pendekatan atau lobbi khusus
terhadap subyek penggusuran atau pengalihan lahan.
Eksternal-Formal
Salah satu hal yang sulit disediakan sendiri oleh birokrasi negara adalah
budget (anggaran). Anggaran suatu departemen diperoleh dari kas negara
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Misalnya, kebijakan alokasi
20% APBN untuk pendidikan nasional merupakan berkah bagi Departemen
Pendidikan Nasional sekaligus musibah bagi departemen-departemen lainnya
yang juga amat membutuhkan anggaran dari kas negara demi operasionalisasi
tujuan-tujuannya.
Eksternal-Informal
Selain mengandalkan pada kas negara, birokrasi-birokrasi negara juga
kerap mengandalkan sumber daya yang bersifat informal. Sumber daya ini
berasal dari klien kebijakan mereka (clientele support). Dapat dicontohkah,
pasca Krisis Ekonomi 1997 dan tatkala melakukan pemulihan ekonomi
nasional, karena keterbatasan dana yang dimiliki, pemerintah c.q. Departemen
Keuangan mengeluarkan kebijakan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Kendati masih memiliki andil pembiayaan awal lembaga tersebut, sebagian
besar dana LPS berasal dari iuran Bank-bank yang menjadi anggota LPS.
Bank-bank rela mengeluarkan dana bagi LPS karena diyakini akan membuat
nasabah dan calon nasabah percaya untuk menyimpan uang di bank-bank
milik mereka.
Konflik Birokrasi
Michael Klaussner and Mary Ann Groves menyatakan, konflik baik di
dalam maupun antar organisasi merupakan suatu hal yang lumrah dalam
perjalanan roda administrasi publik. Konflik-konflik yang mungkin muncul
dapat bersifat : (1) interpersonal (terjadi antar individu dalam organisasi),
antarkelompok antardivisi (antara dua atau lebih kelompok dalam organisasi),
ataupun antarorganisasi (melibatkan dua atau lebih organisasi).
Birokrasi negara adalah pula merupakan sebuah organisasi yang
dianggotai sejumlah individu. Secara teoretis, birokrasi - dalam pemahaman
Max Weber--- mengandaikan keterpaduan antar unsur di dalam organisasi.
Jika keterpaduan tercipta, maka fungsi dan tujuan organisasi lebih mungkin
terselenggara. Namun, birokrasi negara dapat saja menjadi medan tempur di
mana dua atau beberapa individu memperebutkan pengaruh politik ataupun
dukungan politik. Misalnya, birokrasi pemerintahan daerah Indonesia yang
terkonfigurasi dari paduan dua atau lebih partai politik memiliki kepentingan
berbeda-beda. Gubernur atau wakil gubernur yang kebetulan berasal dari dua
partai berbeda dapat saja berkonflik satu sama lain dalam memanajemen
birokrasi.
Dalam literatur Administrasi Publik hubungan politik-birokrasi sudah
lama dibahas oleh ilmuwan Administrasi Publik. Jika melihat konteks
sejarahnya, Ilmu Administrasi Publik lahir dan mendapat pengakuan dari
para scientist berkat tulisan Woodrow Wilson yang berjudul The Study of
Administration yang dimuat pertama kali oleh The Journal Political Science
Quarterlypada tahun 1887. Menurut Wilson, perlu suatu ilmu untuk mengkaji
masalah administrasi dan membantu menerjemahkan kebijakan-kebijakan
politik. Kemudian, Wilson berpendapat bahwa politik dan administrasi harus
dipisah karena keduanya memiliki tugas yang berbeda. Pemisahan antara
politik-administrasi dimaksudkan agar birokrasi publik dapat bekerja secara
profesional melayani kepentingan umum (public interest) tanpa dibebani isu-
isu politik.
Pada tataran praktisnya, hubungan politik-birokrasi yang ditandai oleh
gabungan perasaan “cinta” dan “benci” sudah berlangsung sejak lama di
Indonesia. Jika dirunut berdasarkan konteks sejarahnya kita bisa
memetakannya ke dalam tiga periode. Pertama, periode pra-kolonial
(kerajaan), pada masa ini, jauh sebelum Indonesia merdeka sudah eksis
kerajaan-kerajaan lokal baik yang bercorak Hindu, Budha dan Islam seperti
kerajaan Kutai, Majapahit, Sriwijaya, Samudera Pasai, Mataram, Gowa-Tallo
dan lain-lain. Pada masa ini kegiatan politik lebih diarahkan pada usaha
penaklukan wilayah-wilayah kerajaan lain untuk memperluas kekuasaan.
Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya misalnya melakukan ekspedisi hampir ke
seluruh wilayah nusantara bahkan sampai ke Negeri Sembilan (Malaysia),
Tahiland dan Vietnam sehingga kedua kerajaan ini disebut sebagai kerajaan
nasional. Raja-raja pada setiap kerajaan memiliki pengaruh yang kuat terhadap
kerajaan-kerajaan kecil lain yang menjadi jajahannya. Namun, di setiap
wilayah jajahan tetap diangkat pemimpin lokal (local leaders), yang disebut
juga sebagai bupati, sebagai perpanjangan tangannya, bupati-bupati tersebut
diwajibkan membayar upeti setiap tahunnya, datang ke kerajaan pada hari-hari
dan upacara-upacara tertentu seperti acara Grebek Maulud sebagai wujud
penghormatan kepada raja.
C. Faktor-faktor yang mempengaruhi birokrasi
Jika dilihat dari segi bahasa, birokrasi terdiri dari dua kata yaitu biro yang
artinya meja dan krasi yang artinya kekuasaan. Birokrasi memiliki dua elemen
utama yang dapat membentuk pengertian, yaitu peraturan atau norma formal
dan hirarki. Jadi, dapat dikatakan pengertian birokrasi adalah kekuasaan yang
bersifat formal yang didasarkan pada peraturan atau undang-undang dan
prinsip-prinsip ideal bekerjanya suatu organisasi. Secara etimologi birokrasi
berasal dari istilah buralistyang dikembangkan oleh Reineer von Stein pada
1821, kemudian menjadi bureaucracy yang akhir-akhir ini ditandai dengan
cara-cara kerja yang rasional, impersonal dan leglistik (Thoha, 1995 dalam
Hariyoso, 2002). Birokrasi sendiri, dalam pelaksanaan dipengaruhi 4 faktor
yaitu :

1. FAKTOR BUDAYA
Budaya sebagai pendukung birokrasi dapat diurai berupa :
 Budaya dan perilaku koruptif yang sudah terlembaga (uang
administrasiatau uang pelicin)
 Budaya sungkan dan tidak enak dari sisi masyarakat
 Masyarakat harus menanggung biaya ganda karena zero sum game
 Internalisasi budaya dalam mekanisme informal yang profesional
2. FAKTOR INDIVIDU
Individu sebagai salah satu faktor yang mempengeruhi birokrasi karena :
 Perilaku individu sangat bersifat unik dan tergantung pada mentalitas dan
moralitas
 Perilaku individu juga terkait dengan kesempatan yang dimiliki seseorang
yang memiliki jabatan dan otoritas
 Perilaku opportunistik hidup subur dalam sebuah sistem yang korup
 Individu yang jujur seringkali dianggap menyimpang dan tidak mendapat
tempat
3. FAKTOR ORGANISASI DAN MANAJEMEN
Fungsi manajemen pertama kali diperkenalkan oleh seorang
industrialis Perancis bernama Henry Fayol pada awal abad ke-2. Ketika itu, ia
menyebutkan lima fungsi manajemen, yaitu merancang, mengorganisir,
memerintah, mengordinasi, dan mengendalikan. Namun saat ini, kelima fungsi
tersebut telah diringkas menjadi tiga, yaitu:
1. Perencanaan (planning) adalah memikirkan apa yang akan dikerjakan
dengan sumber yang dimiliki. Perencanaan dilakukan untuk menentukan
tujuan perusahaan secara keseluruhan dan cara terbaik untuk memenuhi
tujuan itu. Manajer mengevaluasi berbagai rencana alternatif sebelum
mengambil tindakan dan kemudian melihat apakah rencana yang dipilih
cocok dan dapat digunakan untuk memenuhi tujuan perusahaan.
Perencanaan merupakan proses terpenting dari semua fungsi manajemen
karena tanpa perencanaan, fungsi-fungsi lainnya tak dapat berjalan.
2. Pengorganisasian (organizing) dilakukan dengan tujuan membagi suatu
kegiatan besar menjadi kegiatan-kegiatan yang lebih kecil.
Pengorganisasian mempermudah manajer dalam melakukan pengawasan
dan menentukan orang yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas yang
telah dibagi-bagi tersebut. Pengorganisasian dapat dilakukan dengan cara
menentukan tugas apa yang harus dikerjakan, siapa yang harus
mengerjakannya, bagaimana tugas-tugas tersebut dikelompokkan, siapa
yang bertanggung jawab atas tugas tersebut, dan pada tingkatan mana
keputusan harus diambil.
3. Pengarahan (directing) adalah suatu tindakan untuk mengusahakan agar
semua anggota kelompok berusaha untuk mencapai sasaran sesuai dengan
perencanaan manajerial dan usaha.
4. FAKTOR POLITIK
Budaya politik sangat mempengaruhi gayaâ dari para birokrat publik
dalam menjalankan fungsinya. Budaya menentukan definisi posisi seorang
birokrat terhadap konsumen publiknya. Apakah posisi mereka sebagai pelayanân
atau yang dilayaniâ, di antaranya dapat kita telusuri dalam konteks budaya politik
ini. Budaya politik ini mempengaruhi para pejabat public dalam melakukan
kegiatan birokrasi mereka. Selain itu, dari sisi warganegara, budaya politik pun
turut memainkan peran dalam menentukan posisi mereka tatkala berhadapan
dengan lembaga-lembaga politik di Negara mereka.
.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Birokrasi dan politik adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Diantara keduanya saling mempengaruhi baik bersama menuju kebaikan
maupun menuju ketidakbaikan. Wajah birokrasi yang tampak terkadang
tergantung dari wajah politiknya. Karena birokrasi merupakan
implementasi dari kebijakan-kebijakan politik. Birokrasi menuntut
keteraturan sedangkan politik malah berlaku sebaliknya, namun diantara
keduanya saling bersinergi membentuk satu kesatuan yang padu.
Dinamika diantara keduanya terjadi saat kondisi diman birokrasi
tidak sejalan dengan politik. Terdapat pemisahan ranah gerak antara
birokrasi dan politik, ranah-ranah tersebut anatara lain dimensi Internal-
formal, Internal-Informal, Eksternal Formal dan eksternal-Informal. Jadi
pada intinya keduanya dapat bergerak secara berkesinambungan dalam
berbagai dimensi. Namun patut untuk dipahami bahwa dimensi-dimensi
tersebut hanya berlaku dalam tataran sisitem, diluar itu masih banyak
actor-aktor yang mewarnai kondisi keduanya. Aktor-aktor itulah yang
menentukan warna dan arah gerak antara birokrasi dan Politik.

B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini kami dari kelompok 3 hanya
membaca literature yang tersedia di internet dan dalam hal ini tidak
menutup kemungkinan terdapat banyak kesalahan baik itu penulisan
maupun bahasa di makalah ini oleh karena itu kami meminta dari pembaca
agar bijak dalam membaca. Dan memperbanyak membaca literature lain.
DAFTAR PUSTAKA

Leo, M. Nur Zakariah.2017. Modul Mata Kuliah Geografi Politik. Makassar.

Widi, Setiya. 2009 (sabtu, 17 Januari). “Makalah Geografi Politik),[online] dari


http://jumlahpenduduktenagakerja.blogspot.co.id/2009/01/makalah geografi-
politik.html (diakses pada 25 Oktober 2017).

Rina. 2012 (21 November). “Geopolitik Indonesia”,[online] dari


https://rinastkip.wordpress.com/2012/11/21/makalah-pkn-geopolitik-
indonesia/ (diakses pada 25 Oktober 2017).

Sumardi, Deddy. 2010 (Kamis, 17 Juni). “Makalah Birokrasi Indonesia”, [online]


dari http://deddysumardi.blogspot.co.id/2010/06/makalah-birokrasi-
indonesia.html (diakses pada 25 Oktober 2017).

Ariyanto. 2012 (Sabtu, 19 Mei). “Pola hubungan Birokrasi dan Politik di


Indonesia”.[online] diakses dari http://ariyantosospol. blogspot.co.id/2012/05/
pola-hubungan-politik-dan-birokrasi-di.html (diakses pada 25 Oktober 2017).

Sopriadi,Ahmad. 2013( Selasa, 07 Mei). “Makalah Reformasi Birokrasi Di


Indonesia” [online] dari http://makalahme02.blogspot.co.id/2013/05/contoh-
makalah-reformasi-birokrasi-di.html (diakses pada 25 Oktober 2017).

Anda mungkin juga menyukai