Anda di halaman 1dari 21

COVER MAKALAH

Memahami Birokrasi dan Administrasi Publik dalam Pemerintah

Dosen Pengampu:

Holilah, S.Ag, M.Si

Disusun Oleh:

Muhammad Ghazi Al Ghiyast (10010123014)

Najma Nabilah Mei Aryanto (10020123049)

Nanda Alvionita Sari (10020123050)

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2024
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Segala puji bagi Allah SWT., Tuhan Yang Maha Esa, pada akhirnya makalah yang
penulis susun dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Administrasi Publik yang
berjudul: “Memahami Birokrasi dan Administrasi Publik dalam Pemerintah":, telah
dapat diselesaikan. Makalah ini disusun dengan mengacu pada beberapa sumber bacaan dan
akses internet.

Tulisan yang amat sederhana ini tidak akan terselesaikan tanpa adanya peran dan bantuan
serta masukan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, sudah semestinya penulis mengucapkan
terimakasih yang tidak terhingga kepada Ibu Holilah selaku pengampu mata kuliah. Serta
pada orang tua dan teman-teman penulis, yang selalu memberikan motivasi dan beberapa
masukan-masukan dalam penyusunan makalah ini. Saya menyadari bahwa penulisan makalah
ini jauh dari sempurna. Namun, harapan penulis semoga karya yang sederhana ini ada setitik
manfaatnya, terutama untuk penulis pribadi dan teman-teman yang telah membaca makalah
ini. Amin ya Rabbal ‘alamin.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Surabaya, 24 Februari 2024

Penulis
DAFTAR ISI

COVER MAKALAH....................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................1
BAB I......................................................................................................................................................8
PENDAHULUAN......................................................................................................................................8
A. Latar Belakang............................................................................................................................8
B. Rumusan Masalah......................................................................................................................8
C. Tujuan Penulisan........................................................................................................................9
BAB II.....................................................................................................................................................9
PEMBAHASAN........................................................................................................................................9
A. Konsep Dasar Birokrasi dan Administrasi Publik........................................................................9
B. Sejarah Birokrasi......................................................................................................................13
C. Peran Birokrasi dan Administrasi Publik...................................................................................18
D. Efektifitas dan Reformasi Birokrasi Publik................................................................................20
BAB IV PENUTUP..................................................................................................................................23
A. Kesimpulan...............................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................24
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Birokrasi dan administrasi publik adalah dua elemen penting yang menjadi tulang
punggung dari fungsi pemerintahan di berbagai negara di dunia. Birokrasi sebagai sistem
pengaturan formal dalam pemerintahan, sedangkan administrasi publik mencakup
serangkaian kegiatan untuk mengelola sumber daya dan memberikan layanan kepada
masyarakat. Dalam konteks global yang terus berkembang, pemahaman yang mendalam
tentang birokrasi dan administrasi publik menjadi semakin penting bagi para pemangku
kepentingan, baik itu pemerintah, masyarakat, maupun sektor swasta.

B. Rumusan Masalah

Dalam konteks tersebut, makalah ini akan mencoba untuk menjawab beberapa
pertanyaan mendasar, antara lain:

1. Apa definisi dan karakteristik utama dari birokrasi dalam administrasi publik?
2. Bagaimana struktur organisasi birokrasi bekerja dalam konteks pemerintahan?
3. Apa peran utama birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan
publik?
4. Apa tantangan utama yang dihadapi oleh birokrasi dalam menjalankan fungsinya?
5. Bagaimana solusi dan rekomendasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
birokrasi dalam administrasi publik?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang konsep birokrasi dan


administrasi publik kepada pembaca.
2. Untuk menganalisis peran birokrasi dalam pemerintahan dan pelayanan publik.
3. Untuk mengidentifikasi tantangan dan masalah utama yang dihadapi oleh
birokrasi.
4. Untuk menyajikan solusi dan rekomendasi yang dapat meningkatkan kinerja
birokrasi dalam administrasi publik.
5. Untuk memberikan sumbangan dalam diskusi dan pengembangan ilmu
administrasi publik secara luas.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Birokrasi dan Administrasi Publik

Birokrasi merujuk pada sistem organisasi formal yang terstruktur hierarkis, di mana
tugas-tugas dilaksanakan sesuai dengan aturan dan prosedur tertentu. Secara umum, birokrasi
melibatkan penggunaan aturan yang telah ditetapkan secara formal untuk mengatur tindakan
dan interaksi di dalam organisasi atau lembaga. Birokrasi seringkali dikaitkan dengan
pemerintahan, namun juga dapat ditemukan di berbagai institusi lain seperti perusahaan
swasta, lembaga pendidikan, dan organisasi nirlaba.

Sejarah birokrasi dapat ditelusuri kembali ke masa-masa awal peradaban manusia,


tetapi konsep modern tentang birokrasi berkembang pada abad ke-19. Pada masa itu, dengan
berkembangnya negara-negara modern, terjadi kebutuhan akan struktur organisasi yang lebih
teratur dan efisien untuk mengelola urusan pemerintahan dan administrasi. Salah satu tokoh
yang berkontribusi besar dalam pemikiran tentang birokrasi adalah Max Weber, seorang
sosiolog Jerman, yang mengemukakan teori tentang birokrasi ideal. Menurut Weber, birokrasi
adalah sistem organisasi yang terdiri dari aturan hukum yang rasional, struktur hierarkis yang
jelas, pembagian kerja yang terdefinisi dengan baik, dan kriteria seleksi pekerjaan
berdasarkan kualifikasi teknis.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, praktek-praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
(KKN) serta kepentingan para penguasa tampaknya menjadi perilaku yang umum terjadi di
kalangan birokrat. Bahkan, birokrasi yang beroperasi di bawahnya tampaknya dibentuk untuk
memperkuat penguasa dan digambarkan sebagai kerajaan pejabat. Padahal, peran birokrasi ini
memiliki dampak yang signifikan terhadap kemiskinan, kesenjangan, dan pertumbuhan
ekonomi suatu negara. Perilaku birokrat yang cenderung terlibat dalam korupsi, kolusi, dan
nepotisme semakin memperburuk citra negatif birokrasi publik di mata masyarakat.(Malik et
al., 2023)

Masuknya era reformasi, pemerintah Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk


membangun tata kelola pemerintahan yang baik dengan mengatasi kekurangpercayaan
masyarakat terhadap layanan publik. Krisis ini, yang dipicu oleh struktur birokrasi yang
dibangun selama masa Orde Baru, bahkan mengakibatkan protes baik di tingkat pusat
maupun daerah. Akibatnya, tujuan awal birokrasi dalam memberikan layanan publik bergeser
menjadi lebih pragmatis, yang mengakibatkan penurunan integritas dan kualitasnya.
Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh aparat pemerintah seharusnya dilakukan tanpa
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Lebih lanjut, survei telah menunjukkan bahwa indeks integritas layanan publik
Indonesia berada pada peringkat 70 dari 109 negara, bahkan berada di bawah negara-negara
tetangga seperti Timor Leste, Filipina, Malaysia, dan Thailand. Survei tersebut menunjukkan
bahwa komponen administrasi layanan publik menjadi yang terburuk dengan peringkat 97.
Hal ini menandakan perlunya perbaikan, terutama dalam aspek administrasi publik, untuk
meningkatkan penyelenggaraan pelayanan publik.

Selama era reformasi, pembaharuan di berbagai sektor dilakukan, termasuk empat kali
perubahan terhadap UUD 1945. Sistem desentralisasi juga diterapkan dengan tujuan untuk
mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh daerah dalam mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang baik. Namun, penerapan desentralisasi juga membawa dampak negatif,
seperti penyebaran KKN di tingkat daerah, ketimpangan layanan publik antar daerah, dan
kurangnya sanksi terhadap daerah yang memberikan layanan publik yang buruk kepada
masyarakat.(Prayitno, 2020)

Kegagalan birokrasi dalam menanggapi krisis, baik itu krisis ekonomi maupun politik,
akan mempengaruhi tercapainya good governance. Kegagalan ini dipengaruhi oleh faktor-
faktor seperti kekuasaan, insentif, akuntabilitas, dan budaya birokrasi. Dari semua komponen
bangsa, birokrasi adalah yang paling lambat berubah.

Dalam perspektif administrasi publik, good governance merupakan hasil dari


penyelenggaraan pelayanan publik yang memerlukan kompetensi birokrasi dalam merancang
dan melaksanakan kebijakan. Tanpa reformasi pada sistem birokrasi Indonesia, era saat ini
mungkin tidak akan jauh berbeda dengan rezim Orde Baru dalam hal penerapan pelayanan
publik yang akuntabel, transparan, sesuai aturan, responsif, inklusif, efektif, dan efisien, serta
melibatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat dalam implementasinya. Idealnya,
birokrasi harus mampu menata administrasi kebijakan publik dan terhindar dari segala bentuk
kepentingan politik. Namun, kenyataannya, birokrasi saat ini sangat terkait dengan
kepentingan politik.

Birokrasi, pada dasarnya, merujuk pada suatu sistem organisasi formal yang
terstruktur dengan ketat, yang mengatur pelaksanaan tugas dan tanggung jawab melalui
aturan dan prosedur tertentu. Definisi birokrasi mencakup penggunaan struktur hierarkis,
formalitas, dan pembagian kerja yang jelas dalam upaya mencapai tujuan organisasi atau
lembaga. Birokrasi memiliki peran penting dalam administrasi publik, dengan fokus pada
penyelenggaraan tugas pemerintah dan penyediaan layanan kepada masyarakat.

Sejarah perkembangan birokrasi melibatkan evolusi konsep dan praktik organisasi


dalam pemerintahan dan lembaga-lembaga lainnya. Puncak pengembangan teori birokrasi
terjadi pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, di mana tokoh-tokoh seperti Max Weber
memberikan kontribusi signifikan. Dalam pandangan Weber, birokrasi diidealkan sebagai
sistem yang memiliki aturan hukum rasional, struktur hierarkis yang terorganisir, dan kriteria
seleksi pekerjaan berdasarkan kualifikasi teknis.

Karakteristik birokrasi mencakup formalitas dalam pengambilan keputusan, struktur


hierarkis yang jelas, pembagian kerja yang terorganisir, impersonalitas dalam pelaksanaan
tugas, dan ketidakmampuan untuk cepat beradaptasi terhadap perubahan lingkungan.
Birokrasi cenderung menciptakan tatanan yang terdokumentasi dengan baik, namun,
keterbatasan fleksibilitasnya dapat menyebabkan tantangan dalam menghadapi dinamika dan
perubahan dalam masyarakat dan lingkungan.

Dalam kaitan penyelenggaraan pemerintahan, sifat dan lingkup pekerjaannya, serta


kewenangan yang dimilikinya birokrasi menguasai aspek-aspek yang sangat luas dan
strategis. Birokrasi menguasai kewenangan terhadap akses-akses seperti sumber daya alam,
anggaran, pegawai, proyek-proyek, serta menguasai akses pengetahuan dan informasi yang
tidak dimiliki pihak lain.

Dengan posisi, kemampuan, dan kewenangan yang dimilikinya tersebut, birokrasi


bukan saja mempunyai akses yang kuat untuk membuat kebijakan yang tepat secara teknis,
tetapi juga untuk memperoleh dukungan yang kuat dari masyarakat dan dunia usaha. Selain
itu, birokrasi dengan aparaturnya juga memiliki berbagai keahlian teknis terspesialisasi yang
tidak dimiliki oleh pihak-pihak diluar birokrasi, seperti dalam hal perencanaan pembangunan,
pengelolaan infrastruktur, penyelenggaraan pendidikan, pengelolaan transportasi transportasi
dan lain-lain. Dalam konteks policy making process, birokrasi di Indonesia juga memegang
peranan penting pada semua tahapan mulai dari tahap perumusan, pelaksanaan, dan
pengawasan berbagai kebijakan publik, serta dalam evaluasi kinerjanya. Dari gambaran di
atas nyatalah, bahwa birokrasi di Indonesia memiliki peran yang cukup besar. Besarnya peran
birokrasi tersebut akan turut menentukan keberhasilan pemerintah dalam menjalankan
program dan kebijakan pembangunan. Jika birokrasi buruk, upaya pembangunan akan
dipastikan mengalami banyak hambatan. Sebaliknya, jika birokrasi bekerja secara baik, maka
program-program pembangunan akan berjalan lebih lancar. Pada tataran ini, birokrasi
menjadi salah satu prasyarat prasyarat penting keberhasilan pembangunan.

Peran birokrasi dengan fungsi administrasi negara dilakukan oleh birokrasi. Jadi
birokrasi diartikan sebagai keseluruhan lembaga pemerintahan negara, yang meliputi aparatur
kenegaraan, aparatur pemerintahan, serta sumber daya manusia birokrasi yang terdiri atas
pejabat negara dan pegawai negeri.

Birokrasi secara leksikal berarti alat kelengkapan negara, terutama meliputi bidang
kelembagaan, ketatalaksanaan, dan kepegawaian, yang mempunyai tanggung jawab
melaksanakan roda pemerintahan sehari-hari. Secara umum, pembangunan birokrasi
mencakup berbagai aktivitas terencana yang berkelanjutan yang ditujukan untuk
meningkatkan efektivitas pemerintahan dalam menjalankan fungsi-fungsinya

Pembangunan birokrasi yang bersih dan bebas KKN menyangkut seluruh sendi
birokrasi, bukan hanya PNS/birokrat, namun meliputi pembangunan struktur, sistem, business
process, dan karakter/etika moral. Secara terencana pembangunan Birokrasi pun dilakukan
melalui sebuah proses multidimensi yang disebut Reformasi Birokrasi. Secara khusus
Presiden telah menetapkan Perpres No.81/2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi
2010 – 2025. Upaya penataan pembangunan birokrasi yang komprehensif seperti inilah yang
secara substansi oleh Sofian Effendi (2010) disebut juga sebagai reformasi birokrasi.
Kekuasan yang memusat mengakibatkan tidak adanya transparansi sehingga menyulitkan
lahirnya pertanggung jawabab publik. Tidak adanya keterbukaan dikalangan instansi dan
pejabat pemerintah, mengakibatkan akses melakukan kontrol rakyat menjadi buntu dan
mampet. Selain itu reposisi dan restrukturisasi kelembagaan pemerintah perlu segera ditata
ulang, yang memungkinkan adanya kejelasan antara posisi jabatan politik dan birokrasi
karier. Dengan demikian pertanggung jabaran publik bisa didorong dengan melakukan
desentralisasi kekuasaan, transparansi, reposisi dan restrukturisasi kelembagaan pemerintah.
Struktur kelembagaan pemerintah warisan pemerintah Orde Baru perlu diperbaiki dan
disempurnakan sesuai dengan perubahan strategis nasional kita di era reformasi ini. Selain itu
dengan memperhatikan prinsip efisiensi, penghematan, kordinasi, integrasi dan rasionalitas
maka perampingan susunan kelembagana birokrasi pemerintah perlu dipikirkan. Selain itu
efisiensi, penghematan, kordinasi, integrasi dalam susunan kelembagaan pemerintahan perlu
dilakukan sehingga tidak ada lagi kekembaran lembaga yang tugas dan fungsinya sama.
(Musri & Mulia, 2022)

B. Sejarah Birokrasi

Birokrasi Zaman Kerajaan

Sebagian besar wilayah Indonesia sebelum kedatangan bangsa asing pada abad ke-16,
menganut sistem kekuasaan dan pengaturan masyarakat yang berbentuk sistem kerajaan.
Dalam sistem kerajaan, pucuk pimpinan ada di tangan raja sebagai pemegang kekuasaan
tunggal atau absolute. Segala keputusan ada di tangan raja dan semua masyarakat harus patuh
dan tunduk pada kehendak sang Raja. Birokrasi pemerintahan yang terbentuk pada saat itu
adalah birokrasi kerajaan, yang memiliki cirri-ciri sebagai berikut :

1. Penguasa menganggap dan menggunakan administrasi publik sebagai urusan


pribadi.

2. Administrasi adalah perluasan rumah tangga istana.

3. Tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja.

4. “Gaji” dari raja kepada bawahan pada hakikatnya adalah anugerah yang juga
dapat ditarik sewaktu- waktu sekehendak raja.

Para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehndak hatinya terhadap rakyat, seperti
halnya dilakukan oleh raja. Aparat kerajaan dikembangkan sesuai dengan perkembangan
kebutuhan raja. Di dalam pemerintahan pusat (keratin), urusan dalam pemerintahan
diserahkan kepada empat pejabat setingkat menteri (wedana lebet) yang dikoordinasikan oleh
seorang pejabat setingkat Menteri Kordinator (pepatih lebet). Pejabat-pejabat kerajaan
tersebut masing-masing membawahi pegawai (abdidalem) yang jumlahnya cukup banyak.
Daerah di luar keraton, seperti daerah pantai raja menunjuk bupati-bupati yang setia kepada
raja untuk menjadi penguasa daerah. Para bupati biasanya bupati lama yang telah ditaklukkan
oleh raja, pemuka masyarakat setempat, atau saudara raja sendiri.(Aksa, n.d.)

Birokrasi Zaman Kolonial

Pelayanan publik pada masa pemerintahan kolonial Belanda tidak terlepas dari sistem
administrasi pemerintahan yang berlangsung pada saat itu. Kedatangan penguasa kolonial
tidak banyak mengubah sistem birokrasi dan adminitrasi pemerintahan yang berlaku di
Indonesia, sebagai bangsa pendatang yang ingin menguasai wilayah nusantara baik secara
politik maupun ekonomi, pemerintah kolonial menjalin hubungan politik dengan pemerintah
kerajaan yang masih disegani oleh masyarakat, motif utamanya adalah menanamkan
pengaruh politiknya terhadap elite politik kerajaan. Selama pemerintahan kolonial terjadi
dualisme sistem birokrasi pemerintahan. Di satu sisi telah mulai diperkenalkan dan
diberlakukan sistem administrasi kolonial (binnenlandcshe Bestuur) yang mengenalkan
sistem birokrasi dan administrasi modern, sedangkan pada sisi lain, sistem tradisional
(Inheemsche Bestuur) masih tetap dipertahankan.

Birokrasi pemerintahan kolonial disusun secara hierarki yang puncaknya pada Raja
Belanda. Dalam mengimplementasikan kebijakan pemerintahan di Negara jajahan, Ratu
Belanda menyerahkan kepada wakilnya, yakni seorang gubernur jenderal. Kekuasaan dan
kewenangan gubernur jenderal meliputi seluruh keputusan politik di wilayah Negara jajahan
yang dikuasai. Gubernur Jenderal dibantu oleh para gubernur dan residen. Gubernur
merupakan wakil pemerintah pusat yang berkedudukan di Batavia untuk wilayah provinsi,
sedangkan di tingkat kabupaten terdapat asisten residen dan pengawas yang diangkat oleh
gubernur jenderal untuk mengawasi bupati dan wedana dalam menjalankan pemerintahan
sehari-hari.

Birokrasi Zaman Orde Lama

Berakhirnya masa pemerintahan kolonial membawa perubahan sosial politik yang


sangat berarti bagi kelangsungan sistem birokrasi pemerintahan. Perbedaan-perbedaan
pandangan yang terjadi diantara pendiri bangsa di awal masa kemerdekaan tentang bentuk
Negara yang akan didirikan, termasuk dalam pengaturan birokrasinya, telah menjurus ke arah
disintegrasi bangsa dan keutuhan aparatur pemerintahan. Perubahan bentuk Negara dari
kesatuan menjadi federal berdasarkan konstitusi RIS melahirkan dilematis dalam cara
pengaturan aparatur pemerintah. Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis
menyangkut birokrasi pada saat itu. Pertama, bagaimana cara menempatkan pegawai
Republik Indonesia yang telah berjasa mempertahankan NKRI, tetapi relatif kurang memiliki
keahlian dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan pegawai
yang telah bekerja pada Pemerintah belanda yang memiliki keahlian, tetapi dianggap
berkhianat atau tidak loyal terhadap NKRI.(Ciptaningsih, n.d.)

Demikian pula penerapan sistem pemerintahan parlementer dan sistem politik yang
mengiringinya pada tahun 1950-1959 telah membawa konsekuensi pada seringnya terjadi
pergantian kabinet hanya dalam tempo beberapa bulan. Seringnya terjadi pergantian kabinaet
menyebabkan birokrasi sangat terfragmentasi secara politik. Di dalam birokrasi tejadi tarik-
menarik antar berbagai kepentingan partai politik yang kuat pada masa itu. Banyak kebijakan
atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa kepentingan politik dari partai
yang sedang berkuasa atau berpengaruh dalam suatu departemen. Program-program
departemen yang tidak sesuai dengan garis kebijakan partai yang berkuasa dengan mudah
dihapuskan oleh menteri baru yang menduduki suatu departemen. Birokrasi pada masa itu
benar- benar mengalami politisasi sebagai instrument politik yang berkuasa atau berpengaruh.
Dampak dari sistem pemerintahan parlementer telah memunculkan persaingan dan sistem
kerja yang tidak sehat di dalam birokrasi. Birokrasi menjadi tidak professional dalam
menjalankan tugas-tugasnya, birokrasi tidak pernah dapat melaksanakan kebijakan atau
program-programnya karena sering terjadi pergantian pejabat dari partai politik yang
memenangkan pemilu. Setiap pejabat atau menteri baru selalu menerapkan kebijakan yang
berbeda dari pendahulunya yang berasal dari partai politik yang berbeda. Pengangkatan dan
penempatan pegawai tidak berdasarkan merit system, tetapi lebih pada pertimbangan loyalitas
politik terhadap partainya.

Birokrasi Zaman Orde Baru

Birokrasi pada masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme Negara
yang bertujuan untuk mendukung penetrasinya ke dalam masyarakat, sekaligus dalam rangka
mengontrol piblik secara penuh. Strategi politik birokrasi tersebut merupakan strategi dalam
mengatur system perwakilan kepentingan melalui jaringan fungsional nonideologis, dimana
sistem tersebut memberikan berbagai lisensi pada kelompok fungsional dalam masyarakat,
seperti monopoli atau perizinan, yang bertujuan untuk meniadakan konflik antar kelas atau
antar kelompok kepentingan dalam masyarakat yang memiliki konsekuensi terhadap
hilangnya pluralitas social,politik maupun budaya. Pemerintahan Orde Baru mulai
menggunakan birokrasi sebagai premium mobile bagi program pembangunan nasional.
Reformasi birokrasi yang dilakukan diarahkan pada :

1. Memindahkan wewenang administratif kepada eselon atas dalam hierarki


birokrasi.

2. Untuk membuat agar birokrasi responsif terhadap kehendak kepemimpinan


pusat.

3. Untuk memperluas wewenang pemerintah baru dalam rangka


mengkonsolidasikan pengendalian atas daerah-daerah.

Birokrasi Zaman Reformasi

Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti pula dengan
perubahan besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik yang
menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun kultural. Perubahan struktur,
kultur dan paradigma birokrasi dalam berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu
mendesak untuk segera dilakukan mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar
terhadap terjadinya krisis multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini. Namun,
harapan terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana
birokrasi di Negara-negara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan. Osborne dan
Plastrik (1997) mengemukakan bahwa realitas sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi oleh
Negara-negara yang sedang berkembang seringkali berbeda dengan realitas sosial yang
ditemukan pada masyarakat di negara maju.

Realitas empirik tersebut berlaku pula bagi birokrasi pemerintah, dimana kondisi
birokrasi di Negara-negara berkembang saat ini sama dengan kondisi birokrasi yang dihadapi
oleh para reformis di Negara-negara maju pada sepuluh dekade yang lalu. Persoalan birokrasi
di Negara berkembang, seperti merajalelanya korupsi, pengaruh kepentingan politik partisan,
sistem Patron-client yang menjadi norma birokrasi sehingga pola perekrutan lebih banyak
berdasarkan hubungan personal daripada faktor kapabilitas, serta birokrasi pemerintah yang
digunakan oleh masyarakat sebagai tempat favorit untuk mencari lapangan pekerjaan
merupakan sebagian fenomena birokrasi yang terdapat di banyak Negara berkembang,
termasuk di Indonesia.

Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi, tampaknya


belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di Indonesia. Perkembangan
birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi birokrasi sering kali masih terjadi.
Kasus Brunei Gate dan Bulog Gate setidak-tidaknya memperlihatkan bahwa pucuk pimpinan
birokrasi masih tetap mempraktikkan berbagai tindakan yang tidak transparan dalam proses
pengambilan keputusan. Birokrasi yang seharusnya bersifat apolitis, dalam kenyataannya
masih saja dijadikan alat politik yang efektif bagi kepentingan-kepentingan golongan atau
partai politik tertentu.

Terdapat pula kecenderungan dari aparat yang kebetulan memperoleh kedudukan atau
jabatan strategis dalam birokrasi, terdorong untuk bermain dalam kekuasaan dengan
melakukan tindak KKN. Mentalitas dan budaya kekuasaan ternyata masih melingkupi
sebagian besar aparat birokrasi pada masa reformasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk
semenjak masa birokrasi kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari
perilaku aparat atau pejabat birokrasi. Masih kuatnya kultur birokrasi yang menempatkan
pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai pihak yang
dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya dilayani dengan baik, telah
menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap
masyarakat

Dalam kondisi pelayanan yang sarat dengan nuansa kultur kekuasaan, publik menjadi
pihak yang paling dirugikan. Kultur kekuasaan dalam birokrasi yang dominan membawa
dampak pada terabaikannya fungsi dan kultur pelayanan birokrasi sebagai abdi masyarakat.
Pada tataran tersebut sebenarnya berbagai praktik penyelewengan yang dilakukan oleh
birokrasi terjadi tanpa dapat dicegah secara efektif. Penyelewengan yang dilakukan birokrasi
terhadap masyarakat pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan yang
dapat dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi. Inefisiensi
kinerja birokrasi dalam penyelengaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik masih
tetap terjadi pada masa reformasi.

Birokrasi sipil termasuk salah satu sumber terjadinya inefisiensi pemerintahan.


Inefisiensi kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik terlihat dari masih sering terjadinya
kelambanan dan kebocoran anggaran pemerintah. Jumlah aparat birokrasi sipil yang
terlampau besar merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi terhadap inefisiensi
pelayanan birokrasi. Lambannya kinerja pelayanan birokrasi dimanifestasikan pada lamanya
penyelesaian urusan dari masyarakat yang membutuhkan prosedur perizinan birokrasi seperti
pengurusan sertifikasi tanah, IMB, HO dan sebagainya.(Sandiasa & Agustana, 2018)

Sebagian besar aparat birokrasi masih memiliki anggapan bahwa eksistensinya tidak
ditentukan oleh masyarakat dalam kapasitasnya sebagai pengguna jasa. Persepsi yang masih
dipegang kuat aparat birokrasi adalah prinsip bahwa gaji yang diterima selama ini bukan dari
masyarakat tetapi dari pemerintah sehingga konstruksi nilai yang tertanam dalam birokrasi
yang sangat independen terhadap publik tersebut menjadikan birokrasi memiliki anggapan
bahwa masayarakat-lah yang membutuhkan birokrasi, bukan sebaliknya. Kecenderungan
perilaku birokrasi yang masih tetap korup dan belum mengubah kultur pelayanan kepada
publik, semakin terlihat pada masa reformasi. Birokrasi di Indonesia saat ini masih dikuasai
oleh kekuatan yang begitu terbiasa berperilaku buruk selama puluhan tahun, birokrasi tidak
hanya mengidap kleptomania tetapi juga antireformasi. Kontraproduktif dalam birokrasi
tersebut sangat berpotensi untuk terjadinya penularan ke seluruh jaringan birokrasi
pemerintah baik Pusat maupun Daerah, baik di kalangan pejabat tinggi maupun di kalangan
aparat bawah. Masih belum efektifnya penegakkan hukum dan kontrol publik terhadap
birokrasi, menyebabkan berbagai tindakan penyimpangan yang dilakukan aparat birokrasi
masih tetap berlangsung.

C. Peran Birokrasi dan Administrasi Publik

Pembagian kekuasaan dan tanggung jawab dalam birokrasi merupakan fondasi utama
dalam administrasi publik. Birokrasi bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah atau lembaga legislatif. Dengan pembagian tugas yang jelas, birokrasi
memastikan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan layanan publik serta pemenuhan
kewajiban pemerintah kepada masyarakat.

Fungsi birokrasi dalam pemerintahan mencakup berbagai aspek, mulai dari


pengelolaan administrasi hingga pelaksanaan kebijakan publik. Birokrasi menyediakan
infrastruktur administratif yang diperlukan untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan
seperti pengawasan pajak, keamanan publik, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya.
Tanpa peran birokrasi yang kuat, pemerintahan akan kesulitan dalam menjalankan tugas-
tugasnya secara efisien.
Hubungan antara birokrasi dan politik merupakan dinamika yang kompleks dalam
administrasi publik. Di satu sisi, birokrasi bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan
yang dibuat oleh para pemimpin politik. Namun, di sisi lain, birokrasi juga memiliki kekuatan
besar dalam memberikan masukan dan saran kepada para pembuat kebijakan berdasarkan
pengetahuan teknis dan pengalaman administratifnya.

Dalam konteks demokrasi, penting bagi birokrasi untuk tetap independen dan netral
dalam menjalankan tugasnya. Meskipun birokrasi harus menjalankan kebijakan yang
ditetapkan oleh pemerintah terpilih, integritas dan profesionalisme birokrasi harus tetap
terjaga. Hal ini penting agar birokrasi tidak terpengaruh oleh perubahan politik yang mungkin
terjadi dari waktu ke waktu. Selain itu, birokrasi juga berperan sebagai penjaga kestabilan
dalam pemerintahan. Dengan struktur yang kuat dan proses yang terdokumentasi dengan
baik, birokrasi dapat memberikan kontinuitas dalam penyelenggaraan pemerintahan meskipun
terjadi pergantian pemerintahan secara politik.

Namun, terdapat juga kritik terhadap peran birokrasi dalam administrasi publik,
terutama terkait dengan kecenderungan birokrasi untuk menjadi lamban dan kurang responsif
terhadap perubahan. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa birokrasi dapat menjadi terlalu
mandiri dan kehilangan sentuhan dengan kebutuhan masyarakat.

Pengelolaan hubungan antara birokrasi dan politik merupakan tantangan bagi


pemerintahan dalam menjaga keseimbangan antara efektivitas dan akuntabilitas. Terdapat
peran penting bagi pemimpin politik dalam memastikan bahwa birokrasi tetap menjalankan
tugasnya dengan integritas dan efisiensi, sementara birokrasi juga harus mampu memberikan
masukan yang berharga kepada para pemimpin politik berdasarkan keahliannya. Dalam
prakteknya, kerjasama antara birokrasi dan politik seringkali diperlukan untuk mencapai
keberhasilan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Para pemimpin politik harus mampu
memahami peran dan batasan birokrasi, sementara birokrasi juga harus memiliki kemampuan
untuk beradaptasi dengan arah kebijakan yang ditetapkan oleh para pemimpin politik.
(Wibowo & Kertati, 2022)

Dengan demikian, peran birokrasi dalam administrasi publik tidak hanya terbatas pada
pelaksanaan tugas-tugas administratif, tetapi juga melibatkan hubungan yang kompleks
dengan aktor-aktor politik dalam pemerintahan. Keberhasilan administrasi publik seringkali
bergantung pada kerja sama yang baik antara birokrasi dan politik serta pemahaman yang
kuat tentang peran masing-masing dalam mencapai tujuan bersama.

D. Efektifitas dan Reformasi Birokrasi Publik

Kinerja pelayanan publik oleh birokrasi pemerintah daerah selama periode otonomi
daerah yang masih banyak belum mengalami perubahan yang signifikan juga diidentifikasi
oleh Amiruddin (2002). Dalam penelitiannya yang mencakup 9 kota di Indonesia, Amiruddin
(2002) mencatat beberapa sektor layanan publik yang menghadapi berbagai masalah menurut
pengalaman warga, seperti air minum yang belum memenuhi standar untuk dikonsumsi,
sering terjadi pemadaman listrik, pemasangan telepon baru memakan waktu lama dan biaya
besar, kurangnya kontainer sampah yang menyebabkan sampah berserakan, prosedur
pembuatan KTP yang rumit dan mahal, kualitas angkutan kota yang buruk dan tarif yang
tidak stabil, pelayanan di puskesmas yang belum optimal serta adanya diskriminasi di rumah
sakit, biaya pendidikan yang tinggi namun kurangnya jumlah dan kualitas guru, serta jumlah
pedagang kaki lima yang meningkat di berbagai lokasi. Kondisi rendah kinerja pelayanan ini
disebabkan oleh sejumlah faktor, termasuk luasnya wilayah pelayanan, beragamnya jenis
layanan yang harus disediakan, keterbatasan anggaran, kurangnya pengawasan, serta
beragamnya kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan dari pengguna layanan itu
sendiri.

Terdapat asumsi menarik yang memunculkan pertanyaan, yaitu apakah budaya


organisasi birokrasi mempengaruhi proses pelayanan publik, ataukah tradisi pelayanan publik
yang akan membentuk dan memengaruhi budaya organisasi birokrasi? Jika yang pertama
terjadi, maka kemungkinan terjadi stagnasi dan pemeliharaan status quo dalam organisasi
birokrasi; namun, jika yang kedua berlaku, maka perubahan dan pengembangan yang dinamis
akan terjadi dalam organisasi birokrasi. Budaya organisasi, dalam konteks birokrasi,
mencakup kesepakatan bersama mengenai nilai-nilai dalam organisasi dan mengikat semua
anggota organisasi tersebut.

Oleh karena itu, budaya organisasi birokrasi memiliki peran penting dalam
menentukan perilaku para anggota organisasi, menetapkan batasan normatif perilaku,
mengatur pengendalian dan pengawasan organisasi, menentukan gaya manajemen yang
diterima, serta menentukan cara kerja yang tepat. Secara khusus, budaya organisasi birokrasi
membantu dalam menciptakan rasa memiliki terhadap organisasi, membentuk identitas bagi
anggota, menciptakan keterikatan emosional antara organisasi dan anggotanya, menciptakan
stabilitas dalam sistem sosial organisasi, serta menemukan pola perilaku sebagai hasil dari
norma yang terbentuk.

Pengaruh yang kuat dari budaya organisasi birokrasi terhadap perilaku anggota
organisasi memungkinkannya untuk membedakan diri dari organisasi birokrasi lain,
membentuk identitas organisasi dan identitas individu anggotanya, memperkuat komitmen
organisasi, meningkatkan stabilitas sistem sosial, dan berfungsi sebagai mekanisme kontrol
perilaku. Dalam konteks pelayanan publik sebagai kinerja organisasi birokrasi, keterikatan
dan pengaruh budaya organisasi sangat signifikan. Dengan demikian, segala kegiatan yang
dilakukan oleh aparat pelayanan publik haruslah mengikuti aturan dan norma yang telah
ditetapkan oleh organisasi publik sebagai manifestasi dari budaya organisasi publik.

Dennis A. Rondinelli (1981) pernah menyoroti bahwa kegagalan utama dalam


mengimplementasikan orientasi pelayanan publik, terutama dalam proses desentralisasi,
disebabkan oleh komitmen politik yang sempit, kurangnya sumber daya manusia yang terlatih
di tingkat lokal, keterbatasan dana, keengganan untuk mendelegasikan wewenang, dan
kurangnya infrastruktur teknologi dan fisik untuk mendukung pelaksanaan pelayanan publik.
Demikian pula, Malcolm Walters (1994) menambahkan bahwa kegagalan pelayanan publik
juga disebabkan oleh ketidaksadaran birokrasi akan perubahan budaya masyarakat dari
hirarkis ke individualis, fatalis, dan egaliter. Model pelayanan publik yang birokratis cocok
untuk masyarakat dengan budaya hirarkis, sementara model privatasi cocok untuk masyarakat
individualis, model kolektif cocok untuk masyarakat fatalis, dan model pelayanan cepat dan
terbuka cocok untuk masyarakat egaliter. Hal ini menegaskan perlunya penyesuaian
pelayanan publik dengan budaya masyarakat yang bersangkutan.

Menurut Gabriel A. Almond (1960), proses perubahan budaya ini harus


disosialisasikan secara merata kepada masyarakat, dilakukan rekruitmen tenaga kerja yang
profesional, dipahami dengan tepat, diterapkan sebagai kepentingan umum, dan disampaikan
secara dialogis. Harapannya, proses ini dapat menciptakan pengambilan keputusan yang
tepat, membentuk kelompok kerja yang efektif, dan mendirikan tim pengawasan yang jujur
dan objektif. Pada akhirnya, proses ini akan mengarah pada internalisasi kepribadian dan
sinergi ekonomi masyarakat sebagai basis utama.

Pelayanan publik merupakan kegiatan yang dilakukan oleh individu, kelompok, atau
lembaga tertentu untuk memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam
mencapai tujuan tertentu. Kegiatan ini menjadi semakin penting karena selalu terkait dengan
kebutuhan dan kepentingan yang beragam dari masyarakat. Institusi pelayanan publik dapat
berasal dari sektor pemerintah maupun non-pemerintah, dengan pemerintahan sebagai
lembaga utama dalam konteks ini.

Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi memegang peran utama


dalam pelaksanaan pelayanan publik, termasuk dalam berbagai program pembangunan dan
kebijakan pemerintah. Namun, dalam praktiknya, birokrasi seringkali dianggap sebagai
proses yang panjang dan rumit oleh masyarakat, terutama ketika mereka mengurus masalah
terkait pelayanan publik. Akibatnya, citra negatif terhadap birokrasi sering muncul, yang pada
akhirnya tidak menguntungkan perkembangan birokrasi itu sendiri.

Untuk mengatasi kesan buruk tersebut, birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan
dalam sikap dan perilakunya. Pertama, birokrasi harus lebih mengedepankan pendekatan
pelayanan masyarakat daripada pendekatan kekuasaan dan kewenangan. Kedua, perlu
dilakukan penyempurnaan organisasi agar lebih modern, efektif, dan efisien, dengan
kemampuan untuk membedakan tugas-tugas yang perlu ditangani. Ketiga, birokrasi harus
mau melakukan perubahan dalam sistem dan prosedur kerjanya agar lebih cepat, tepat, dan
terbuka, sambil tetap mempertahankan kualitas dan efisiensi.

Selanjutnya, birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayanan publik


daripada sebagai agen pembaharu pembangunan. Hal ini menekankan pentingnya memenuhi
kebutuhan masyarakat daripada sekadar mengubah status quo. Terakhir, birokrasi harus
mampu melakukan transformasi diri dari struktur yang kaku menjadi lebih desentralisasi,
inovatif, fleksibel, dan responsif.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa birokrasi yang efektif dalam memberikan
pelayanan publik adalah yang memiliki struktur yang terdesentralisasi. Hal ini
memungkinkan birokrasi untuk lebih responsif terhadap kebutuhan dan kepentingan
masyarakat serta menyediakan pelayanan sesuai dengan harapan masyarakat. Selain itu,
penting juga untuk mempersiapkan tenaga kerja birokrasi yang memiliki kemampuan,
loyalitas, dan keterkaitan kepentingan yang diperlukan untuk memastikan kesuksesan dalam
penyelenggaraan pelayanan publik.
BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam menjalankan fungsinya, birokrasi memainkan peran penting dalam


penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Namun, tantangan dan masalah yang
dihadapi oleh birokrasi memerlukan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan. Melalui
pembahasan mengenai konsep dasar birokrasi, peran birokrasi dalam administrasi publik,
serta solusi dan rekomendasi untuk meningkatkan kinerja birokrasi, dapat dipahami bahwa
reformasi birokrasi menjadi suatu kebutuhan mendesak.

Implementasi reformasi birokrasi membutuhkan komitmen yang kuat dari pemerintah


dan seluruh pemangku kepentingan terkait. Langkah-langkah konkret harus diambil untuk
menerapkan reformasi, termasuk pembentukan lembaga atau mekanisme khusus yang
bertanggung jawab atas reformasi birokrasi, serta penetapan target dan indikator kinerja yang
jelas. Selain itu, diperlukan koordinasi yang baik antarinstansi pemerintah dan pemangku
kepentingan lainnya untuk memastikan kelancaran implementasi reformasi. Poin penting
yang disorot adalah perlunya transformasi birokrasi menuju ke arah yang lebih responsif,
efisien, dan akuntabel. Hal ini melibatkan berbagai aspek, mulai dari manajemen sumber daya
manusia hingga penerapan teknologi informasi dan komunikasi. Selain itu, penting juga untuk
memperkuat keterlibatan masyarakat dalam memantau dan memperbaiki kinerja birokrasi.

DAFTAR PUSTAKA

Aksa, A. H. (n.d.). ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK; PERANANNYA DALAM

MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE.

Ciptaningsih, R. (n.d.). FISIP-UDIP Jalan Prof. H. Soedarto,SH Tembalang, Semarang,

Kode pos 50275 Telp/Fax. (024) 746540, Email: Departemenap@gmail.com.

Malik, D. E. H., Nurmanto, A., Putra, J. M., & Saputro, A. A. (2023). Analisis Efisiensi

Birokrasi dalam Administrasi Publik: Tinjauan Terhadap Proses Pengambilan

Keputusan. Eksekusi : Jurnal Ilmu Hukum Dan Administrasi Negara, 1(3), Article 3.

https://doi.org/10.55606/eksekusi.v1i3.525

Musri, M., & Mulia, R. A. (2022). Etika Administrasi Publik. CV. Eureka Media Aksara.

Prayitno, B. (2020). Birokrasi Dan Politik: Problematika Dalam Keniscayaan Administrasi

Publik. Jurnal Wacana Kinerja: Kajian Praktis-Akademis Kinerja Dan Administrasi

Pelayanan Publik, 14(1), Article 1. https://doi.org/10.31845/jwk.v14i1.303


Sandiasa, G., & Agustana, P. (2018). Reformasi Administrasi dan Birokrasi Pemerintahan

Daerah Dalam Menigkatkan Kualitas Layanan Publik di Daerah. Public Inspiration :

Jurnal Administrasi Publik, 3(1), Article 1. https://doi.org/10.22225/pi.3.1.2018.1-8

Wibowo, A. A., & Kertati, I. (2022). REFORMASI BIROKRASI DAN PELAYANAN

PUBLIK. Public Service and Governance Journal, 3(01), Article 01.

https://doi.org/10.56444/psgj.v3i01.2785

Anda mungkin juga menyukai