Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
2024
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT., Tuhan Yang Maha Esa, pada akhirnya makalah yang
penulis susun dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Administrasi Publik yang
berjudul: “Memahami Birokrasi dan Administrasi Publik dalam Pemerintah":, telah
dapat diselesaikan. Makalah ini disusun dengan mengacu pada beberapa sumber bacaan dan
akses internet.
Tulisan yang amat sederhana ini tidak akan terselesaikan tanpa adanya peran dan bantuan
serta masukan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, sudah semestinya penulis mengucapkan
terimakasih yang tidak terhingga kepada Ibu Holilah selaku pengampu mata kuliah. Serta
pada orang tua dan teman-teman penulis, yang selalu memberikan motivasi dan beberapa
masukan-masukan dalam penyusunan makalah ini. Saya menyadari bahwa penulisan makalah
ini jauh dari sempurna. Namun, harapan penulis semoga karya yang sederhana ini ada setitik
manfaatnya, terutama untuk penulis pribadi dan teman-teman yang telah membaca makalah
ini. Amin ya Rabbal ‘alamin.
Penulis
DAFTAR ISI
COVER MAKALAH....................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................1
BAB I......................................................................................................................................................8
PENDAHULUAN......................................................................................................................................8
A. Latar Belakang............................................................................................................................8
B. Rumusan Masalah......................................................................................................................8
C. Tujuan Penulisan........................................................................................................................9
BAB II.....................................................................................................................................................9
PEMBAHASAN........................................................................................................................................9
A. Konsep Dasar Birokrasi dan Administrasi Publik........................................................................9
B. Sejarah Birokrasi......................................................................................................................13
C. Peran Birokrasi dan Administrasi Publik...................................................................................18
D. Efektifitas dan Reformasi Birokrasi Publik................................................................................20
BAB IV PENUTUP..................................................................................................................................23
A. Kesimpulan...............................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................24
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Birokrasi dan administrasi publik adalah dua elemen penting yang menjadi tulang
punggung dari fungsi pemerintahan di berbagai negara di dunia. Birokrasi sebagai sistem
pengaturan formal dalam pemerintahan, sedangkan administrasi publik mencakup
serangkaian kegiatan untuk mengelola sumber daya dan memberikan layanan kepada
masyarakat. Dalam konteks global yang terus berkembang, pemahaman yang mendalam
tentang birokrasi dan administrasi publik menjadi semakin penting bagi para pemangku
kepentingan, baik itu pemerintah, masyarakat, maupun sektor swasta.
B. Rumusan Masalah
Dalam konteks tersebut, makalah ini akan mencoba untuk menjawab beberapa
pertanyaan mendasar, antara lain:
1. Apa definisi dan karakteristik utama dari birokrasi dalam administrasi publik?
2. Bagaimana struktur organisasi birokrasi bekerja dalam konteks pemerintahan?
3. Apa peran utama birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan
publik?
4. Apa tantangan utama yang dihadapi oleh birokrasi dalam menjalankan fungsinya?
5. Bagaimana solusi dan rekomendasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
birokrasi dalam administrasi publik?
C. Tujuan Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
Birokrasi merujuk pada sistem organisasi formal yang terstruktur hierarkis, di mana
tugas-tugas dilaksanakan sesuai dengan aturan dan prosedur tertentu. Secara umum, birokrasi
melibatkan penggunaan aturan yang telah ditetapkan secara formal untuk mengatur tindakan
dan interaksi di dalam organisasi atau lembaga. Birokrasi seringkali dikaitkan dengan
pemerintahan, namun juga dapat ditemukan di berbagai institusi lain seperti perusahaan
swasta, lembaga pendidikan, dan organisasi nirlaba.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, praktek-praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
(KKN) serta kepentingan para penguasa tampaknya menjadi perilaku yang umum terjadi di
kalangan birokrat. Bahkan, birokrasi yang beroperasi di bawahnya tampaknya dibentuk untuk
memperkuat penguasa dan digambarkan sebagai kerajaan pejabat. Padahal, peran birokrasi ini
memiliki dampak yang signifikan terhadap kemiskinan, kesenjangan, dan pertumbuhan
ekonomi suatu negara. Perilaku birokrat yang cenderung terlibat dalam korupsi, kolusi, dan
nepotisme semakin memperburuk citra negatif birokrasi publik di mata masyarakat.(Malik et
al., 2023)
Lebih lanjut, survei telah menunjukkan bahwa indeks integritas layanan publik
Indonesia berada pada peringkat 70 dari 109 negara, bahkan berada di bawah negara-negara
tetangga seperti Timor Leste, Filipina, Malaysia, dan Thailand. Survei tersebut menunjukkan
bahwa komponen administrasi layanan publik menjadi yang terburuk dengan peringkat 97.
Hal ini menandakan perlunya perbaikan, terutama dalam aspek administrasi publik, untuk
meningkatkan penyelenggaraan pelayanan publik.
Selama era reformasi, pembaharuan di berbagai sektor dilakukan, termasuk empat kali
perubahan terhadap UUD 1945. Sistem desentralisasi juga diterapkan dengan tujuan untuk
mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh daerah dalam mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang baik. Namun, penerapan desentralisasi juga membawa dampak negatif,
seperti penyebaran KKN di tingkat daerah, ketimpangan layanan publik antar daerah, dan
kurangnya sanksi terhadap daerah yang memberikan layanan publik yang buruk kepada
masyarakat.(Prayitno, 2020)
Kegagalan birokrasi dalam menanggapi krisis, baik itu krisis ekonomi maupun politik,
akan mempengaruhi tercapainya good governance. Kegagalan ini dipengaruhi oleh faktor-
faktor seperti kekuasaan, insentif, akuntabilitas, dan budaya birokrasi. Dari semua komponen
bangsa, birokrasi adalah yang paling lambat berubah.
Birokrasi, pada dasarnya, merujuk pada suatu sistem organisasi formal yang
terstruktur dengan ketat, yang mengatur pelaksanaan tugas dan tanggung jawab melalui
aturan dan prosedur tertentu. Definisi birokrasi mencakup penggunaan struktur hierarkis,
formalitas, dan pembagian kerja yang jelas dalam upaya mencapai tujuan organisasi atau
lembaga. Birokrasi memiliki peran penting dalam administrasi publik, dengan fokus pada
penyelenggaraan tugas pemerintah dan penyediaan layanan kepada masyarakat.
Peran birokrasi dengan fungsi administrasi negara dilakukan oleh birokrasi. Jadi
birokrasi diartikan sebagai keseluruhan lembaga pemerintahan negara, yang meliputi aparatur
kenegaraan, aparatur pemerintahan, serta sumber daya manusia birokrasi yang terdiri atas
pejabat negara dan pegawai negeri.
Birokrasi secara leksikal berarti alat kelengkapan negara, terutama meliputi bidang
kelembagaan, ketatalaksanaan, dan kepegawaian, yang mempunyai tanggung jawab
melaksanakan roda pemerintahan sehari-hari. Secara umum, pembangunan birokrasi
mencakup berbagai aktivitas terencana yang berkelanjutan yang ditujukan untuk
meningkatkan efektivitas pemerintahan dalam menjalankan fungsi-fungsinya
Pembangunan birokrasi yang bersih dan bebas KKN menyangkut seluruh sendi
birokrasi, bukan hanya PNS/birokrat, namun meliputi pembangunan struktur, sistem, business
process, dan karakter/etika moral. Secara terencana pembangunan Birokrasi pun dilakukan
melalui sebuah proses multidimensi yang disebut Reformasi Birokrasi. Secara khusus
Presiden telah menetapkan Perpres No.81/2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi
2010 – 2025. Upaya penataan pembangunan birokrasi yang komprehensif seperti inilah yang
secara substansi oleh Sofian Effendi (2010) disebut juga sebagai reformasi birokrasi.
Kekuasan yang memusat mengakibatkan tidak adanya transparansi sehingga menyulitkan
lahirnya pertanggung jawabab publik. Tidak adanya keterbukaan dikalangan instansi dan
pejabat pemerintah, mengakibatkan akses melakukan kontrol rakyat menjadi buntu dan
mampet. Selain itu reposisi dan restrukturisasi kelembagaan pemerintah perlu segera ditata
ulang, yang memungkinkan adanya kejelasan antara posisi jabatan politik dan birokrasi
karier. Dengan demikian pertanggung jabaran publik bisa didorong dengan melakukan
desentralisasi kekuasaan, transparansi, reposisi dan restrukturisasi kelembagaan pemerintah.
Struktur kelembagaan pemerintah warisan pemerintah Orde Baru perlu diperbaiki dan
disempurnakan sesuai dengan perubahan strategis nasional kita di era reformasi ini. Selain itu
dengan memperhatikan prinsip efisiensi, penghematan, kordinasi, integrasi dan rasionalitas
maka perampingan susunan kelembagana birokrasi pemerintah perlu dipikirkan. Selain itu
efisiensi, penghematan, kordinasi, integrasi dalam susunan kelembagaan pemerintahan perlu
dilakukan sehingga tidak ada lagi kekembaran lembaga yang tugas dan fungsinya sama.
(Musri & Mulia, 2022)
B. Sejarah Birokrasi
Sebagian besar wilayah Indonesia sebelum kedatangan bangsa asing pada abad ke-16,
menganut sistem kekuasaan dan pengaturan masyarakat yang berbentuk sistem kerajaan.
Dalam sistem kerajaan, pucuk pimpinan ada di tangan raja sebagai pemegang kekuasaan
tunggal atau absolute. Segala keputusan ada di tangan raja dan semua masyarakat harus patuh
dan tunduk pada kehendak sang Raja. Birokrasi pemerintahan yang terbentuk pada saat itu
adalah birokrasi kerajaan, yang memiliki cirri-ciri sebagai berikut :
4. “Gaji” dari raja kepada bawahan pada hakikatnya adalah anugerah yang juga
dapat ditarik sewaktu- waktu sekehendak raja.
Para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehndak hatinya terhadap rakyat, seperti
halnya dilakukan oleh raja. Aparat kerajaan dikembangkan sesuai dengan perkembangan
kebutuhan raja. Di dalam pemerintahan pusat (keratin), urusan dalam pemerintahan
diserahkan kepada empat pejabat setingkat menteri (wedana lebet) yang dikoordinasikan oleh
seorang pejabat setingkat Menteri Kordinator (pepatih lebet). Pejabat-pejabat kerajaan
tersebut masing-masing membawahi pegawai (abdidalem) yang jumlahnya cukup banyak.
Daerah di luar keraton, seperti daerah pantai raja menunjuk bupati-bupati yang setia kepada
raja untuk menjadi penguasa daerah. Para bupati biasanya bupati lama yang telah ditaklukkan
oleh raja, pemuka masyarakat setempat, atau saudara raja sendiri.(Aksa, n.d.)
Pelayanan publik pada masa pemerintahan kolonial Belanda tidak terlepas dari sistem
administrasi pemerintahan yang berlangsung pada saat itu. Kedatangan penguasa kolonial
tidak banyak mengubah sistem birokrasi dan adminitrasi pemerintahan yang berlaku di
Indonesia, sebagai bangsa pendatang yang ingin menguasai wilayah nusantara baik secara
politik maupun ekonomi, pemerintah kolonial menjalin hubungan politik dengan pemerintah
kerajaan yang masih disegani oleh masyarakat, motif utamanya adalah menanamkan
pengaruh politiknya terhadap elite politik kerajaan. Selama pemerintahan kolonial terjadi
dualisme sistem birokrasi pemerintahan. Di satu sisi telah mulai diperkenalkan dan
diberlakukan sistem administrasi kolonial (binnenlandcshe Bestuur) yang mengenalkan
sistem birokrasi dan administrasi modern, sedangkan pada sisi lain, sistem tradisional
(Inheemsche Bestuur) masih tetap dipertahankan.
Birokrasi pemerintahan kolonial disusun secara hierarki yang puncaknya pada Raja
Belanda. Dalam mengimplementasikan kebijakan pemerintahan di Negara jajahan, Ratu
Belanda menyerahkan kepada wakilnya, yakni seorang gubernur jenderal. Kekuasaan dan
kewenangan gubernur jenderal meliputi seluruh keputusan politik di wilayah Negara jajahan
yang dikuasai. Gubernur Jenderal dibantu oleh para gubernur dan residen. Gubernur
merupakan wakil pemerintah pusat yang berkedudukan di Batavia untuk wilayah provinsi,
sedangkan di tingkat kabupaten terdapat asisten residen dan pengawas yang diangkat oleh
gubernur jenderal untuk mengawasi bupati dan wedana dalam menjalankan pemerintahan
sehari-hari.
Demikian pula penerapan sistem pemerintahan parlementer dan sistem politik yang
mengiringinya pada tahun 1950-1959 telah membawa konsekuensi pada seringnya terjadi
pergantian kabinet hanya dalam tempo beberapa bulan. Seringnya terjadi pergantian kabinaet
menyebabkan birokrasi sangat terfragmentasi secara politik. Di dalam birokrasi tejadi tarik-
menarik antar berbagai kepentingan partai politik yang kuat pada masa itu. Banyak kebijakan
atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa kepentingan politik dari partai
yang sedang berkuasa atau berpengaruh dalam suatu departemen. Program-program
departemen yang tidak sesuai dengan garis kebijakan partai yang berkuasa dengan mudah
dihapuskan oleh menteri baru yang menduduki suatu departemen. Birokrasi pada masa itu
benar- benar mengalami politisasi sebagai instrument politik yang berkuasa atau berpengaruh.
Dampak dari sistem pemerintahan parlementer telah memunculkan persaingan dan sistem
kerja yang tidak sehat di dalam birokrasi. Birokrasi menjadi tidak professional dalam
menjalankan tugas-tugasnya, birokrasi tidak pernah dapat melaksanakan kebijakan atau
program-programnya karena sering terjadi pergantian pejabat dari partai politik yang
memenangkan pemilu. Setiap pejabat atau menteri baru selalu menerapkan kebijakan yang
berbeda dari pendahulunya yang berasal dari partai politik yang berbeda. Pengangkatan dan
penempatan pegawai tidak berdasarkan merit system, tetapi lebih pada pertimbangan loyalitas
politik terhadap partainya.
Birokrasi pada masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme Negara
yang bertujuan untuk mendukung penetrasinya ke dalam masyarakat, sekaligus dalam rangka
mengontrol piblik secara penuh. Strategi politik birokrasi tersebut merupakan strategi dalam
mengatur system perwakilan kepentingan melalui jaringan fungsional nonideologis, dimana
sistem tersebut memberikan berbagai lisensi pada kelompok fungsional dalam masyarakat,
seperti monopoli atau perizinan, yang bertujuan untuk meniadakan konflik antar kelas atau
antar kelompok kepentingan dalam masyarakat yang memiliki konsekuensi terhadap
hilangnya pluralitas social,politik maupun budaya. Pemerintahan Orde Baru mulai
menggunakan birokrasi sebagai premium mobile bagi program pembangunan nasional.
Reformasi birokrasi yang dilakukan diarahkan pada :
Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti pula dengan
perubahan besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik yang
menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun kultural. Perubahan struktur,
kultur dan paradigma birokrasi dalam berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu
mendesak untuk segera dilakukan mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar
terhadap terjadinya krisis multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini. Namun,
harapan terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana
birokrasi di Negara-negara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan. Osborne dan
Plastrik (1997) mengemukakan bahwa realitas sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi oleh
Negara-negara yang sedang berkembang seringkali berbeda dengan realitas sosial yang
ditemukan pada masyarakat di negara maju.
Realitas empirik tersebut berlaku pula bagi birokrasi pemerintah, dimana kondisi
birokrasi di Negara-negara berkembang saat ini sama dengan kondisi birokrasi yang dihadapi
oleh para reformis di Negara-negara maju pada sepuluh dekade yang lalu. Persoalan birokrasi
di Negara berkembang, seperti merajalelanya korupsi, pengaruh kepentingan politik partisan,
sistem Patron-client yang menjadi norma birokrasi sehingga pola perekrutan lebih banyak
berdasarkan hubungan personal daripada faktor kapabilitas, serta birokrasi pemerintah yang
digunakan oleh masyarakat sebagai tempat favorit untuk mencari lapangan pekerjaan
merupakan sebagian fenomena birokrasi yang terdapat di banyak Negara berkembang,
termasuk di Indonesia.
Terdapat pula kecenderungan dari aparat yang kebetulan memperoleh kedudukan atau
jabatan strategis dalam birokrasi, terdorong untuk bermain dalam kekuasaan dengan
melakukan tindak KKN. Mentalitas dan budaya kekuasaan ternyata masih melingkupi
sebagian besar aparat birokrasi pada masa reformasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk
semenjak masa birokrasi kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari
perilaku aparat atau pejabat birokrasi. Masih kuatnya kultur birokrasi yang menempatkan
pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai pihak yang
dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya dilayani dengan baik, telah
menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap
masyarakat
Dalam kondisi pelayanan yang sarat dengan nuansa kultur kekuasaan, publik menjadi
pihak yang paling dirugikan. Kultur kekuasaan dalam birokrasi yang dominan membawa
dampak pada terabaikannya fungsi dan kultur pelayanan birokrasi sebagai abdi masyarakat.
Pada tataran tersebut sebenarnya berbagai praktik penyelewengan yang dilakukan oleh
birokrasi terjadi tanpa dapat dicegah secara efektif. Penyelewengan yang dilakukan birokrasi
terhadap masyarakat pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan yang
dapat dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi. Inefisiensi
kinerja birokrasi dalam penyelengaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik masih
tetap terjadi pada masa reformasi.
Sebagian besar aparat birokrasi masih memiliki anggapan bahwa eksistensinya tidak
ditentukan oleh masyarakat dalam kapasitasnya sebagai pengguna jasa. Persepsi yang masih
dipegang kuat aparat birokrasi adalah prinsip bahwa gaji yang diterima selama ini bukan dari
masyarakat tetapi dari pemerintah sehingga konstruksi nilai yang tertanam dalam birokrasi
yang sangat independen terhadap publik tersebut menjadikan birokrasi memiliki anggapan
bahwa masayarakat-lah yang membutuhkan birokrasi, bukan sebaliknya. Kecenderungan
perilaku birokrasi yang masih tetap korup dan belum mengubah kultur pelayanan kepada
publik, semakin terlihat pada masa reformasi. Birokrasi di Indonesia saat ini masih dikuasai
oleh kekuatan yang begitu terbiasa berperilaku buruk selama puluhan tahun, birokrasi tidak
hanya mengidap kleptomania tetapi juga antireformasi. Kontraproduktif dalam birokrasi
tersebut sangat berpotensi untuk terjadinya penularan ke seluruh jaringan birokrasi
pemerintah baik Pusat maupun Daerah, baik di kalangan pejabat tinggi maupun di kalangan
aparat bawah. Masih belum efektifnya penegakkan hukum dan kontrol publik terhadap
birokrasi, menyebabkan berbagai tindakan penyimpangan yang dilakukan aparat birokrasi
masih tetap berlangsung.
Pembagian kekuasaan dan tanggung jawab dalam birokrasi merupakan fondasi utama
dalam administrasi publik. Birokrasi bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah atau lembaga legislatif. Dengan pembagian tugas yang jelas, birokrasi
memastikan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan layanan publik serta pemenuhan
kewajiban pemerintah kepada masyarakat.
Dalam konteks demokrasi, penting bagi birokrasi untuk tetap independen dan netral
dalam menjalankan tugasnya. Meskipun birokrasi harus menjalankan kebijakan yang
ditetapkan oleh pemerintah terpilih, integritas dan profesionalisme birokrasi harus tetap
terjaga. Hal ini penting agar birokrasi tidak terpengaruh oleh perubahan politik yang mungkin
terjadi dari waktu ke waktu. Selain itu, birokrasi juga berperan sebagai penjaga kestabilan
dalam pemerintahan. Dengan struktur yang kuat dan proses yang terdokumentasi dengan
baik, birokrasi dapat memberikan kontinuitas dalam penyelenggaraan pemerintahan meskipun
terjadi pergantian pemerintahan secara politik.
Namun, terdapat juga kritik terhadap peran birokrasi dalam administrasi publik,
terutama terkait dengan kecenderungan birokrasi untuk menjadi lamban dan kurang responsif
terhadap perubahan. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa birokrasi dapat menjadi terlalu
mandiri dan kehilangan sentuhan dengan kebutuhan masyarakat.
Dengan demikian, peran birokrasi dalam administrasi publik tidak hanya terbatas pada
pelaksanaan tugas-tugas administratif, tetapi juga melibatkan hubungan yang kompleks
dengan aktor-aktor politik dalam pemerintahan. Keberhasilan administrasi publik seringkali
bergantung pada kerja sama yang baik antara birokrasi dan politik serta pemahaman yang
kuat tentang peran masing-masing dalam mencapai tujuan bersama.
Kinerja pelayanan publik oleh birokrasi pemerintah daerah selama periode otonomi
daerah yang masih banyak belum mengalami perubahan yang signifikan juga diidentifikasi
oleh Amiruddin (2002). Dalam penelitiannya yang mencakup 9 kota di Indonesia, Amiruddin
(2002) mencatat beberapa sektor layanan publik yang menghadapi berbagai masalah menurut
pengalaman warga, seperti air minum yang belum memenuhi standar untuk dikonsumsi,
sering terjadi pemadaman listrik, pemasangan telepon baru memakan waktu lama dan biaya
besar, kurangnya kontainer sampah yang menyebabkan sampah berserakan, prosedur
pembuatan KTP yang rumit dan mahal, kualitas angkutan kota yang buruk dan tarif yang
tidak stabil, pelayanan di puskesmas yang belum optimal serta adanya diskriminasi di rumah
sakit, biaya pendidikan yang tinggi namun kurangnya jumlah dan kualitas guru, serta jumlah
pedagang kaki lima yang meningkat di berbagai lokasi. Kondisi rendah kinerja pelayanan ini
disebabkan oleh sejumlah faktor, termasuk luasnya wilayah pelayanan, beragamnya jenis
layanan yang harus disediakan, keterbatasan anggaran, kurangnya pengawasan, serta
beragamnya kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan dari pengguna layanan itu
sendiri.
Oleh karena itu, budaya organisasi birokrasi memiliki peran penting dalam
menentukan perilaku para anggota organisasi, menetapkan batasan normatif perilaku,
mengatur pengendalian dan pengawasan organisasi, menentukan gaya manajemen yang
diterima, serta menentukan cara kerja yang tepat. Secara khusus, budaya organisasi birokrasi
membantu dalam menciptakan rasa memiliki terhadap organisasi, membentuk identitas bagi
anggota, menciptakan keterikatan emosional antara organisasi dan anggotanya, menciptakan
stabilitas dalam sistem sosial organisasi, serta menemukan pola perilaku sebagai hasil dari
norma yang terbentuk.
Pengaruh yang kuat dari budaya organisasi birokrasi terhadap perilaku anggota
organisasi memungkinkannya untuk membedakan diri dari organisasi birokrasi lain,
membentuk identitas organisasi dan identitas individu anggotanya, memperkuat komitmen
organisasi, meningkatkan stabilitas sistem sosial, dan berfungsi sebagai mekanisme kontrol
perilaku. Dalam konteks pelayanan publik sebagai kinerja organisasi birokrasi, keterikatan
dan pengaruh budaya organisasi sangat signifikan. Dengan demikian, segala kegiatan yang
dilakukan oleh aparat pelayanan publik haruslah mengikuti aturan dan norma yang telah
ditetapkan oleh organisasi publik sebagai manifestasi dari budaya organisasi publik.
Pelayanan publik merupakan kegiatan yang dilakukan oleh individu, kelompok, atau
lembaga tertentu untuk memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam
mencapai tujuan tertentu. Kegiatan ini menjadi semakin penting karena selalu terkait dengan
kebutuhan dan kepentingan yang beragam dari masyarakat. Institusi pelayanan publik dapat
berasal dari sektor pemerintah maupun non-pemerintah, dengan pemerintahan sebagai
lembaga utama dalam konteks ini.
Untuk mengatasi kesan buruk tersebut, birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan
dalam sikap dan perilakunya. Pertama, birokrasi harus lebih mengedepankan pendekatan
pelayanan masyarakat daripada pendekatan kekuasaan dan kewenangan. Kedua, perlu
dilakukan penyempurnaan organisasi agar lebih modern, efektif, dan efisien, dengan
kemampuan untuk membedakan tugas-tugas yang perlu ditangani. Ketiga, birokrasi harus
mau melakukan perubahan dalam sistem dan prosedur kerjanya agar lebih cepat, tepat, dan
terbuka, sambil tetap mempertahankan kualitas dan efisiensi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa birokrasi yang efektif dalam memberikan
pelayanan publik adalah yang memiliki struktur yang terdesentralisasi. Hal ini
memungkinkan birokrasi untuk lebih responsif terhadap kebutuhan dan kepentingan
masyarakat serta menyediakan pelayanan sesuai dengan harapan masyarakat. Selain itu,
penting juga untuk mempersiapkan tenaga kerja birokrasi yang memiliki kemampuan,
loyalitas, dan keterkaitan kepentingan yang diperlukan untuk memastikan kesuksesan dalam
penyelenggaraan pelayanan publik.
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Malik, D. E. H., Nurmanto, A., Putra, J. M., & Saputro, A. A. (2023). Analisis Efisiensi
Keputusan. Eksekusi : Jurnal Ilmu Hukum Dan Administrasi Negara, 1(3), Article 3.
https://doi.org/10.55606/eksekusi.v1i3.525
Musri, M., & Mulia, R. A. (2022). Etika Administrasi Publik. CV. Eureka Media Aksara.
https://doi.org/10.56444/psgj.v3i01.2785