Anda di halaman 1dari 24

PEMIKIRAN TENTANG ORGANISASI DAN KEPEMIMPINAN YANG

BERMANFAAT BAGI ADMINISTRASI PUBLIK

Makalah

Oleh :

MUSPIRA
NIM. 21 111 175

MUTIARA
NIM. 21 111 124

ARMAL NONDITA
NIM. 21 111 134

MULIANA
NIM. 21 111 161

FAKULTAS SOSIAL DAN HUMANIORA


UNIVERSITAS CAHAYA PRIMA
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wata’ala


atas karunia, rahmat, dan nikmat-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan makalah yang berjudul Pemikiran Tentang Organisasi Dan
Kepemimpinan Yang Bermanfaat Bagi Administrasi Publik. Makalah ini
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas.

Penyusunan makalah ini merupakan salah satu tugas dan persyaratan


untuk menyelesaikan tugas ini. Dalam penulisan makalah ini penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak dosen pengampu dan kepada
pihak-pihak yang memberikan motivasi dalam upaya penyelesaian makalah ini.
Makalah ini juga masih jauh dari kata sempurna karena memiliki banyak
kekurangan, baik dalam hal isi dan sistematika maupun dalam teknik
penulisannya. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis


dan umumnya bagi para pembaca.

Watampone, 27 Oktober 2023

Penulis,

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul................................................................................................ i

Kata Pengantar............................................................................................... ii

Daftar Isi.......................................................................................................... iii

Bab I Pendahuluan......................................................................................... 1

A...Latar Belakang...................................................................................... 1
B...Rumusan Masalah................................................................................. 3
C...Tujuan................................................................................................... 3

Bab II Pembahasan......................................................................................... 4

A...Konsep Organisasi................................................................................ 4
B...Pemimpin dan Kepwmimpinan............................................................ 5
C...Kepemimpinan Untuk Pelayanan Administrasi Publik........................ 12

Bab III Penutup.............................................................................................. 10

A...Kesimpulan........................................................................................... 10
B...Saran..................................................................................................... 10

Daftar Pustaka................................................................................................ 21

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peter F. Drucker bukunya Manage the Future menyatakan: “Leadership is


a means”. Dari pernyataan tersebut tersirat bahwa kepemimpinan merupakan
suatu sarana atau media untuk mencapai tujuan yang diinginkan, yang tentu dalam
konotasi positif, yaitu untuk kesejahteraan banyak orang. Dengan kata lain,
pemimpin adalah suatu amanah, bukan suatu kekuasaan, apalagi sebagai raja. Jadi
jika seorang pemimpin menganggap dirinya adalah raja, maka lambat laun akan
ditinggalkan pengikutnya. Terlebih jika seorang menganggap bahwa posisinya
adalah jabatan yang harus dimanfaatkan seoptimal mungkin, pemimpin seperti ini
pasti tidak akan disukai pengikutnya.
Hal tersebut tentu sudah dipahami oleh banyak orang. Setiap orang
mendambakan untuk mempunyai pemimpin yang kompeten, arif, dan
mengedepankan kepentingan banyak pihak. Namun demikian, dalam tataran
empirik, masih banyak pemimpin pada institusi publik yang mempunyai kualitas
jauh dari yang diharapkan. Masih cukup banyak pemimpin yang bervisi feodal
yang lebih menekankan pada kekuasaan formal.
Salah satu fihak yang mensinyalir hal tersebut adalah Kepala Lembaga
Administrasi Negara (LAN) pada saat menutup Diklat Kepemimpinan Tingkat I
Angkatan XII tahun 2007. Menurutnya, kepemimpinan birokrasi yang bersifat
feodal masih terjadi di beberapa instansi pemerintah. Hal senada dikemukakan
oleh Ginanjar Kartasasmita (Basuki, 2007: 4) bahwa tantangan besar yang
dihadapi administrasi publik di hampir semua negara adalah prevalensi dari
patologi birokrasi, yaitu kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri (self-
serving), mempertahankan status quo dan resisten terhadap perubahan, cenderung
terpusat (centralized), dan dengan kewenangannya yang besar seringkali
memanfaatkan kewenangan itu untuk kepentingan sendiri. Kemudian Basuki
(2007: 4) menyatakan sembilan patologi birokrasi yaitu (1) kekurangmampuan

1
2

pemimpin dalam menerapkan gaya kepemimpinan yang tepat; (2) orientasi


kekuasaan dan bukan pada pelayanan; (3) rendahnya profesionalisme birokrasi
pemerintah; (4) primordialisme, kroniisme, dan nepotisme; (5) sikap mengabaikan
norma-norma moral dan etika; (6) tidak taat azas; (7) perilaku disfungsional para
birokrasi; dan (8) budaya organisasi yang tidak kondusif dalam penciptaan,
penumbuhan, dan pemeliharaan etos kerja yang tercermin dalam loyalitas kepada
negara, disiplin kerja, kepatuhan, dan ketekunan; serta (9) inkonsistensi kebijakan
yang berdampak pada menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat dan dunia
usaha terhadap pemerintah.
Sinyalemen-sinyalemen tersebut tentu merupakan hal yang
memprihatinkan. Para pemimpin institusi publik yang seharusnya menjadi
lokomotif bagi para bawahannya untuk memberikan pelayanan terbaik, justru
berperan menjadi raja yang harus dilayani. Di sisi lain, masyarakat berada dalam
posisi yang lebih lemah, seolah-olah menjadi abdi dalem yang harus menjadi
pelayan. Mengingat pola paternalistik yang masih kuat, jika hal tersebut memang
terjadi, maka tentu para bawahan pun cenderung akan mengikuti perilaku
atasannya. Sebagai akibatnya pelayanan kepada masyarakat tidak akan optimal.
Hal ini tentu menyimpang dari esensi keberadaan aparatur pemerintah yang
seharusnya menjadi pemberi layanan terbaik kepada masyarakat. Kondisi tidak
optimalnya pelayanan kepada masyarakat, hingga saat ini pun masih nampak.
Sebetulnya hal ini sangat disadari oleh Pemerintah, bahkan pelayanan publik pun
sampai dirasakan perlu untuk diundangkan. Sebagai wakil pemerintah,
Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) akan menerbitkan
buku dan piringan bergambar (VCD) tentang panduan pelayanan publik. Buku
dan VCD itu, menurut Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara disusun
dari rangkuman keberhasilan sejumlah daerah yang dianggap berhasil
memberikan pelayanan publik yang prima.
Namun demikian, sekalipun pemerintah sudah berupaya memperendah
tingkat pelayanan yang buruk, hal tersebut tetap berulang. Hal ini tentu
disebabkan oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang dianggap signifikan adalah
kurangnya pemimpin institusi publik yang mempunyai kapabilitas yang
3

diharapkan. Kapabilitas yang dimaksud di sini tidak hanya kapabilitas intelektual,


akan tetapi juga sikap, moral, dan etika.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Organisasi?
2. Bagaimana Pemimpin dan Kepemimpinan?
3. Bagaimana Kepemimpinan Untuk Pelayanan Administrasi Publik?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Konsep Organisasi.
2. Untuk Mengetahui Pemimpin dan Kepemimpinan.
3. Untuk Mengetahui Kepemimpinan Untuk Pelayanan Administrasi Publik.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Organisasi
Organisasi berasal dari kata Yunani organon, dan istilah Latin organum
yang berarti alat, bagian, anggota atau badan. Menurut James D Mooney,
“Organisasi adalah bentuk setiap perserikatan manusia untuk mencapai suatu
tujuan bersama”. Sedangkan Chester I. Barnard memberi pengertian organisasi
sebagai suatu sistem dari aktifitas kerja sama yang dilakukan oleh dua orang atau
lebih. Selanjutnya menurut Prajudi Atmosudirdjo organisasi adalah struktur tata
pembagian kerja dan struktur tata hubungan kerja antara kelompok orang
pemegang posisi yang bekerjasama secara tertentu untuk tujuan tertentu. Dari
beberapa definisi di atas dapatlah dikatakan bahwa definisi dari organisasi itu
adalah sekelompok orang yang bekerja sama untuk mencapai suatu atau beberapa
tujuan tertentu.1
Publik berasal dari bahasa latin “public” yang berarti “of people”
berkenaan dengan masyarakat. Mengenai pengertian publik, Inu Kencana Syafiie
dkk (1999) memberikan pengertian sebagai berikut: “Sejumlah manusia yang
memiliki kebersamaan berpikir, perasaan, harapan, sikap dan tindakan yang benar
dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang mereka miliki”. Itulah sebabnya, Inu
Kencana Syfiie dkk., mengatakan bahwa publik tidak langsung diartikan sebagai
penduduk, masyarakat, warga negara ataupun rakyat, karena kata-kata tersebut
berbeda.
Organisasi publik sering dilihat pada bentuk organisasi pemerintah yang
dikenal sebagai birokrasi pemerintah (organisasi pemerintahan). Menurut Prof. Dr.
Taliziduhu Ndraha, organisasi publik adalah organisasi yang didirikan untuk
memenuhi kebutuhan msyarakat akan jasa publik dan layanan sipil. Organisasi
publik adalah organisasi yang terbesar yang mewadahi seluruh lapisan masyarakat
dengan ruang lingkup negara dan mempunyai kewenangan yang absah
1
Basuki J. 2007. Tantangan Ilmu Administrasi Publik: Paradigma Baru Kepemimpinan
Aparatur Negara. Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap Sekolah Tinggi Ilmu
Administrasi Negara. Jakarta.

4
5

(terlegitimasi) di bidang politik, administrasi pemerintahan, dan hukum secara


terlembaga sehingga mempunyai kewajiban melindungi warga negaranya, dan
melayani keperluannya, sebaliknya berhak pula memungut pajak untuk pendanaan,
serta menjatuhkan hukuman sebagai sanksi penegakan peraturan.
Organisasi ini bertujuan untuk melayani kebutuhan masyarakat demi
kesejahteraan sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi sebagai pijakan dalam
operasionalnya. Organisasi publik berorientasi pada pelayanan kepada masyarakat
tidak pada profit/ laba/ untung.
B. Pemimpin Dan Kepemimpinan
Kepemimpinan sebagai inti manajemen, memiliki peran sentral dalam
tataran keberlangsungan organisasi. Pemimpin menjadi penggerak, pendorong,
pelindung, pelayan sekaligus penanggungjawab berbagai aktivitas organisasional.
Sehingga pemimpin harus mampu mengenali secara tepat dan utuh mengenai
dirinya maupun kondisi dan aspirasi masyarakat yang dipimpinnya,
perkembangan dan permasalahan lingkungan stratejik yang dihadapi dalam
berbagai bidang kehidupan serta paradigma dan sistem administrasi dimana ia
berperan. Untuk itu setiap pemimpin tidak hanya harus memenuhi kompetensi dan
kualifikasi tertentu, namun lebih dari itu harus menjadi agen perubahan yang
handal.
Dengan kata lain, pemimpin harus mampu mengkombinasikan berbagai
potensi diri yang dimiliki dengan kondisi masyarakat dan perkembangan
lingkungan internal maupun eksternal yang senantiasa mengalami perubahan.
Pemimpin menjadi ³super¥, karena memiliki kekuatan dan kearifan terhadap
semua orang dengan membantu bawahannya untuk menyalurkan seluruh
kemampuannya dengan baik. Untuk itu, peran kepemimpinan masa depan
seharusnya tidak hanya berada di puncak organisasi tetapi juga harus mampu
berada di bawah bersama-sama seluruh sumber daya organisasi untuk bergerak
maju seiring perubahan waktu dan tuntutan lingkungan. Menurut McFarland (2002:
34- 35), pada era sekarang kepemimpinan diibaratkan sebagai mata uang. Sebagai
suatu mata uang, maka kepemimpinan harus diinvestasikan untuk membangun
6

anggota organisasi. Kinerja organisasi publik itu harus dioptimalkan melalui


transformasi kepemimpinan.
Proses transformasi bermaksud menjadikan kepemimpinan dalam suatu
organisasi menjadi lebih bermakna. Kepemimpinan yang bermakna menjadi
penting karena kepemimpinan itu membuat suatu perbedaan yang muncul dalam
kehidupan pada pengikut, di dalam suatu kelompok atau organisasi. Contoh
kepemimpinan yang bermakna yaitu ketika pemimpin mampu membantu
mengurangi keraguan dan ketidakpastian dalam hidup bawahan, yang dilakukan
melalui tindakantindakan konstruktif yang menggunakan kekuatan-kekuatan
sosial yang kompleks untuk mencapai tujuan dan sasaran konkrit jangka panjang.
Tetapi, pemimpin melakukan lebih dari itu, dengan memberikan alasan-alasan
yang jelas dan positif untuk suatu tujuan, tindakan, dan pencapaiannya. Itulah arti
pemimpin yang memberi makna, dimana para pemimpin menambahkan kejelasan
dan arahan bagi kehidupan bawahan dan membuat kehidupan itu menjadi lebih
berarti. Bahkan lebih penting lagi, para pemimpin yang baik akan membantu
bawahan belajar membuat makna sendiri dalam kehidupan. Artinya, para
pemimpin mengajarkan bahwa bawahannya bisa mengendalikan kehidupan dan
menciptakan maknanya sendiri, melalui tindakan-tindakannya sendiri. Singkat
kata, pemimpin yang baik untuk konteks masa depan bukanlah pemimpin yang
menggunakan kekuatan dan ancaman untuk memunculkan kepatuhan bawahan
dalam memperoleh hasil. Namun pemimpin yang saat pekerjaannya selesai dan
tujuan organisasi tercapai, para pengikut atau bawahannya akan berkata ³kami
sendiri yang mengerjakan hal itu!¥.2
Kepemimpinan yang semacam itu disebut oleh Goleman, Boyatzis dan
McKee (2006: 4-5) sebagai kepemimpinan yang memiliki resonansi, yaitu
kepemimpinan yang cerdas secara emosi yang mampu menguatkan dan
memperpanjang gema nada dan dampak emosi kepemimpinannya masuk dalam
seluruh qalbu anggota organisasi. Dengan demikian, karakteristik pemimpin yang
demikian itulah yang menjadi kebutuhan publik masa kini dan untuk masa depan.

2
Sashkin, Marshall dan Molly G. Sashkin. 2011. Prinsip-prinsip Kepemimpinan. Rudolf
Hutahuruk (Alih Bahasa). Jakarta: Erlangga.
7

Bukan lagi pemimpin yang bernilai super karena memerintah, berkharisma atau
memiliki kekuatan tunggal. Publik memerlukan pemimpin yang mampu
membantu para pengikutnya untuk dapat menjadi pemimpin bagi diri mereka
sendiri. Dengan kata lain, publik memerlukan pemimpin yang mampu melayani
bawahan atau pengikutnya. Tentunya pemimpin yang mampu memberi
kebermaknaan bagi kehidupan organisasi memiliki sejumlah karakteristik.
Karakter pemimpin dalam tuntutan masa kini tersebut harus memiliki sejumlah
nilai unggul yang disebut dengan integritas. Menurut Bennis, pemimpin harus
memiliki tiga hal integritas, yaitu: pengenalan diri, ketulusan, dan kedewasaan.
Ketiga hal inilah yang dapat membedakan antara seorang pemimpin yang baik
dengan pemimpin yang buruk.3 Sementara Fogleman (dalam Shelton, 2002: 12)
mengemukakan bahwa para pemimpin bekerja dengan sumber daya dasar yang
sama, tetapi pemimpin yang baik dan atau buruk dibedakan oleh keberanian dan
keteguhan mereka, kerangka kerja mereka dalam mengambil keputusan, kesetiaan
dan komitmen mereka terhadap pengikutnya (rakyatnya), yang memiliki karakter
dan kepemimpinan yang memiliki resonansi.
Dalam suatu organisasi pemimpin mempunyai peran yang besar dan
strategis. Tujuan suatu organisasi akan tercapai hanya apabila pemimpinnya
mempunyai kompetensi yang memadai untuk mengelola berbagai sumber daya
yang ada. Dengan kata lain, kinerja suatu organisasi sangat dipengaruhi oleh
keberadaan seorang pemimpin yang handal. Pernyataan tersebut sejalan dengan
hasil penelitian B. Guy Peters yang menunjukkan bahwa reformasi dan
peningkatan kinerja organisasi memiliki korelasi yang signifikan dengan
kepemimpinan dan kompetensi pemimpin organisasi pemerintah dan dunia usaha.
Banyak makna dan/atau definisi mengenai kepemimpinan. Kartini Kartono
menyatakan sebagai berikut: “Pemimpin adalah pribadi yang memiliki kecakapan
khusus,dengan atau tanpa pengangkatan resmi dapat mempengaruhi kelompok
yang dipimpinnya untuk melakukan usaha bersama mengarah pada pencapaian
sasaran tertentu”. Sedangkan menurut Panji Anogara: “Seorang pemimpin adalah

3
Bennis, Warren dan Robert Townsend. 1998. Reinventing Leadership (Terjemahan oleh
Clara Suwendo: Menciptakan Kembali Kepemimpinan). Batam Centre: Interaksara.
8

seseorang yang aktif membuat rencana-rencana, mengkoordinasi, melakukan


percobaan dan memimpin pekerjaan untuk mencapai tujuan bersama-sama”.
Kemudian John Age Alle mengatakan: “Pemimpin ialah pemandu, penunjuk,
penuntun, dan komandan”. Sementara itu, Bennis (Basuki, 2007: 19), menyatakan
bahwa seorang pemimpin harus memiliki integritas, dimana integritas sendiri
berkaitan dengan tiga hal, yaitu pengenalan diri, ketulusan, dan kedewasaan.
Adapun peran pemimpin menurut Henry Mintzberg adalah: (1) peran hubungan
antar perorangan, dalam kasus ini fungsinya sebagai pemimpin yang dicontoh,
pembangun tim, pelatih, direktur, mentor konsultasi; (2) peran informal sebagai
monitor, penyebar informasi dan juru bicara; dan (3) peran pembuat keputusan,
berfungsi sebagai pengusaha, penanganan gangguan, sumber alokasi, dan
negosiator. Dari berbagai pengertian tersebut, dapat dilihat betapa pentingnya
keberadaan seorang pemimpin yang kompeten dalam mengarahkan organisasi
yang dipimpinnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Zwell (2000) bahwa salah satu
tonggak keberhasilan organisasi adalah kompetensi yang dimiliki oleh pemimpin
organisasi.
Seperti halnya makna pemimpin, makna kepemimpinan pun beragam.
Menurut George R. Terry: “Kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-
orang agar merasa suka berusaha mencapai tujuan-tujuan kelompok”. Kemudian
Ordway Tead menyatakan bahwa kepemimpinan adalah: “Kegiatan
mempengaruhi orang-orang agar mereka mau bekerja sama untuk mencapai
tujuan yang diinginkan”. Sementara itu, definisi yang dikemukakan oleh Warren
Bennis adalah sebagai berikut: “Kepemimpinan adalah proses dengan mana
seorang agen menyebabkan bawahannya bertingkah laku menurut cara tertentu’.
Sedangkan menurut Lembaga Administrasi Negara: “Kepemimpinan adalah
kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang atau orangorang lain melalui
komunikasi baik langsung maupun tidak langsung dengan maksud untuk
menggerakkan orang-orang tersebut agar dengan penuh kesadaran,dengan
pengertian,senang hati bersedia mengikuti kehendak pimpinan”. Dari beragam
pendapat tersebut dapat ditarik beberapa sebagai berikut: (1) kepemimpinan
melibatkan dua pihak yaitu pihak yang berusaha mempengaruhi dan pihak yang
9

dipengaruhi; (2) pemimpin berusaha mempengaruhi pihak lain untuk berperilaku


sesuai dengan yang diharapkan dan mengerahkan potensi yang dimiliki untuk
mencapai tujuan yang ditentukan; (3) pemimpin yang efektif adalah pemimpin
yang mampu meyakinkan mereka apa yang diharapkan pemimpin ditujukan untuk
kepentingan bersama dan bahwa pihak yang dipengaruhi mempunyai kontribusi
besar dalam mencapai kepentingan bersama tersebut.
Kepemimpinan transformasional, yang merupakan hasil kajian James
McGregor Burns adalah salah satu pola kepemimpinan yang cukup ramai
dibicarakan dalam beberapa waktu terakhir. Kepemimpinan transformasional
diperkenalkan oleh Burns (1975) dalam bukunya yang berjudul Leadership. Dalam
karyanya tersebut, Burns mengkategorikan kepemimpinan menjadi dua kategori:
transaksional dan transformasional. Kepemimpinan transaksional merupakan pola
kepemimpinan yang lebih menekankan adanya transaksi antara pemimpin dengan
yang dipimpinnya. Motivasi yang digunakan oleh pemimpin dalam pola ini adalah
melalui penghargaan dan sanksi. Dengan kata lain, seorang bawahan akan
menerima penghargaan jika dapat menyelesaikan tugasnya sesuai dengan
kesepakatan yang ditentuan sebelumnya. Sebaliknya, yang bersangkutan akan
terkena sanksi apabila tidak dapat menyelesaikan pekerjaan seperti yang
seharusnya.
Sedangkan kepemimpinan transformasional lebih menekankan pada upaya
membangun komitmen diantara para anggota organisasi dan memberikan
kepercayaan pada anggota organisasi untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah
ditetapkan. Selain itu, kepemimpinan transformasional lebih menekankan pada
pemenuhan kebutuhan anggota organisasi dan secara bersama-sama berupaya
mencapai tujuan yang ditentukan. Dalam hal ini, pemimpin transformasional
memerankan dirinya sebagai model bagi bawahannya. Hal ini sejalan dengan
pemikiran Bryman (Stewart and McGoldrick, 1996:15) sebagai berikut: “The
transforming leader seeks to enggage the follower as a whole person, and not
simply as an individual with a restricted range of basic needs. Transforming
leadership adresses the higher order needs of followers and looks to the full range
10

of motives that make them. Both leaders and followers are changed in pursuit of
goals which express aspirations in which they can identify themselves”.
Pakar lain yang kemudian melanjutkan kajian mengenai kedua pola
kepemimpinan tersebut adalah Bass. Secara konseptual, kepemimpinan
transformasional didefinisikan oleh Bass (Basuki, 2007: 25) sebagai berikut:
“Kemampuan pemimpin mengubah lingkungan kerja, motivasi kerja, pola kerja,
dan nilai-nilai kerja yang dipersepsikan bawahan sehingga mereka lebih mampu
mengoptimalkan kinerja untuk mencapai tujuan organisasi”. Dengan demikian,
sebuah proses transformasional terjadi dalam hubungan kepemimpinan manakala
pemimpin membangun sebuah kesadaran bawahan akan pentingnya nilai kerja,
memperluas dan meningkatkan kebutuhan melampaui minat pribadi serta
mendorong perubahan tersebut ke arah kepentingan bersama termasuk
kepentingan organisasi.
Asumsi yang mendasari kepemimpinan transformasional menurut Bass
(nn-1:tt) adalah: (1) kesadaran akan pentingnya tugas-tugas yang diberikan akan
meningkatkan motivasi pegawai, dan (2) fokus pada kelompok kerja atau
organisasi akan menghasilkan produktivitas kerja yang lebih baik. Dari dua
asumsi tersebut dapat dikatakan bahwa kepemimpinan transformasional adalah
kepemimpinan yang membutuhkan tindakan memotivasi para bawahan agar
bersedia bekerja demi sasaran-sasaran yang lebih tinggi untuk kepentingan
organisasi, bukan kepentingan pribadi. Kemudian Bass (nn-1:tt dan Wirawan,
2002: 49) menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional dibangun di atas
suatu fondasi yang terdiri dari empat komponen sebagai berikut: (1) idealized
influence; (2) inspirational motivation; (3) intellectual stimulation; dan (4)
individualized consideration.
Idealized influence berarti bahwa pemimpin berupaya mempengaruhi
bawahannya melalui komunikasi langsung dengan menekankan pentingnya nilai-
nilai, asumsi-asumsi, komitmen dan keyakinan, serta memiliki tekad untuk
mencapai tujuan dengan senantiasa mempertimbangkan akibat moral dan etik dari
setiap keputusan yang dibuat. Pemimpin dengan karakter seperti ini
memperlihatkan kepercayaan pada cita-cita, keyakinan, dan nilai-nilai hidupnya.
11

Dampaknya adalah dikagumi, dipercaya, dihargai, dan bawahan berusaha


mengidentikan diri dengannya. Hal ini disebabkan perilaku yang menomorsatukan
kebutuhan bawahan, membagi resiko dengan bawahan secara konsisten, dan
menghindari penggunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian,
bawahan bertekad dan termotivasi untuk mengoptimalkan usaha dan bekerja ke
arah tujuan bersama. Dalam hal ini pemimpin bertindak sebagai role model atau
panutan. Ia menunjukkan keteguhan hati, ketetapan dalam mencapai tujuan,
mengambil tanggung jawab sepenuhnya untuk tindakannya dan menunjukkan
percaya diri yang tinggi terhadap visi. Pemimpin siap untuk mengorbankan diri,
prestasi, penghargaan, dan kehormatan kepada para pengikut.
Inspirational motivation berarti bahwa pemimpin bertindak dengan cara
memotivasi dan memberikan inspirasi kepada bawahan melalui pemberian arti
dan tantangan terhadap tugas bawahan. Bawahan diberi kesempatan untuk
berpartisipasi secara optimal dalam hal pemberian gagasan-gagasan, memberi visi
mengenai keadaan organisasi masa depan yang menjanjikan harapan yang jelas
dan transparan. Pengaruhnya diharapkan dapat meningkatkan semangat kelompok,
antusiasme dan optimisme dikobarkan sehingga harapan-harapan itu menjadi
penting dan bernilai bagi mereka dan perlu direalisasikan melalui komitmen yang
tinggi. Dengan kata lain, pemimpin menciptakan gambaran jelas mengenai
keadaan masa yang akan datang secara optimis dan dapat dicapai dan mendorong
pengikut untuk meningkatkan harapan dan mengikatkan diri kepada visi.
Intellectual stimulation berarti pemimpin bertindak dengan cara
mendorong bawahan untuk memikirkan kembali cara kerja dan mencari cara-cara
kerja baru dalam menyelesaikan tugasnya. Pengaruhnya, bawahan merasa bahwa
pimpinan menerima dan mendukung mereka untuk memikirkan cara-cara kerja
mereka, mencari cara-cara baru dalam menyelesaikan tugas, dan merasa
menemukan cara-cara kerja baru dalam mempercepat tugas-tugas mereka. Dengan
kata lain, pemimpin menstimulasi bawahan agar kreatif dan inovatif. Pemimpin
mendorong para pengikutnya untuk memakai imajinasi mereka dan menantang
untuk melakukan sesuatu yang diterima oleh sistem sosial.
12

Individualized consideration berarti pimpinan memberikan perhatian


pribadi kepada bawahannya, seperti memperlakukan mereka sebagai pribadi yang
utuh dan menghargai sikap peduli mereka terhadap organisasi. Pengaruh terhadap
bawahan antara lain, mereka merasa diperhatikan dan diperlakukan secara
manusiawi oleh atasannya. Dengan pola ini pemimpin mengembangkan orang
dengan menciptakan lingkungan dan cuaca pendukung.
Disamping keempat aspek tersebut, Bass menekankan perlunya tiga aspek
moral sebagai berikut: (1) the moral character of the leader; (2) the ethical values
embedded in the leader’s vision, articulation, and program (which followers either
embrace or reject); dan (3) the morality of the processes of social ethical choice
and action that leaders and followers engage in and collectively pursue. Dari
pernyataan Bass tersebut, terlihat betapa pentingnya aspek moral dalam suatu
kepemimpinan. Seorang pemimpin harus memiliki moral yang baik dan karakter
yang kuat untuk dapat mempengaruhi pihak yang dipimpinnya. Kemudian, nilai-
nilai etika yang dimiliki oleh seorang pemimpin harus terlihat dalam visi yang
dibangun serta dalam implementasi dan program-program yang direncankan.
Selain itu, nilai-nilai moral ini terwujud dalam etika sosial yang disepakati
bersama dalam rangka mencapai tujuan bersama.4
C. Kepemimpinan Untuk Pelayanan Administrasi Publik
Dalam perspektif administrasi negara, mimpi masyarakat adalah
munculnya pemimpin yang mampu membawa perubahan dan berkemampuan
mengelola informasi serta menciptakan produktivitas pegawai yang berbasis ilmu
pengetahuan. Maka para pemimpin di lingkungan aparatur negara yang
hakikatnya merupakan aktor utama dan panutan, harus melakukan
perubahanperubahan dalam pendekatan kepemimpinan yang dipergunakan.5
Apabila ditinjau dari dimensi temporal, globalisasi mengakibatkan proses
administrasi negara berkembang dengan cepat dan dinamis, sehingga
ketidakmampuan seorang administrator dalam mengantisipasi perkembangan
4
Wirawan. (2002) Kapita Selekta Teori Kepemimpinan – Pengantar untuk Praktek dan
Penelitian (1). Jakarta: Yayasan Bangun Indonesia dan Uhamka Press.
5
Dwiyanto, Agus. 1997. "Pemerintahan yang Efisien, Tanggap, dan Akuntabel: Kontrol
atau Etika?" dalam Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik (JKAP), Yogyakarta : MAP UGM,
Vol. I, No.2 , Juli 1997.
13

yang akan terjadi mengakibatkan ketertinggalan. Oleh karena itu, wawasan


futuristic merupakan salah satu kualitas yang menjadi tuntutan di masa kini. Maka
dari itu, proses administrasi tidak seharusnya dilihat semata-mata dari perspektif
waktu masa sekarang, akan tetapi harus mengantisipasi proses perubahan yang
terjadi di masa depan.
Salah satu manifestasi dari perkembangan pemikiran yang dimaksud
tersebut, yaitu dikembangkannya teori administrasi negara yang berwawasan jauh
ke depan, diantaranya tentang forward focused organization (Harper, 2001: 291).
Asumsi yang mendasari teori ini adalah perubahan-perubahan prinsipil yang
seringkali terjadi secara cepat memerlukan kepemimpinan yang visioner.
Kepemimpinan visioner memiliki tiga kemampuan, yakni pertama, mampu
melihat perubahan sebagai peluang dan bukan ancaman. Kedua, mampu melihat
kebutuhan akan perubahan pada saat posisinya di dalam dimensi temporal masih
berada di dalam kekinian. Ketiga, mampu menciptakan iklim dimana bawahan
dapat menerima perubahan sebagai sesuatu yang wajar. Dengan kata lain, teori ini
berpendapat bahwa diperlukan sosok kepemimpinan yang dapat membawa
organisasi kepada perubahan, yang mampu menciptakan masa depan bagi
organisasi yang dipimpinnya. Meskipun teori-teori tentang future focused
organization ini belum sepenuhnya berkembang, namun hal ini merupakan
tuntutan organisasi di dalam globalisasi, yang mencakup penyebaran nilai-nilai
politik yang dipandang berlaku universal, seperti penghormatan terhadap hak-hak
asasi manusia (HAM), demokratisasi, nilai-nilai kepemerintahan yang baik, dan
sebagainya. Hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah bahwa proses globalisasi
menuntut perubahan mindset dan kemampuan yang oleh Moran dan Riesenberger
(2003: 66), disebut sebagai global competencies.
Pelayanan merupakan suatu bentuk produk dari suatu organisasi yang
tidak dapat dilihat, akan tetapi dapat dirasakan. Pelayanan merupakan sesuatu
yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara pihak yang memberikan
layanan dengan pihak pemberi layanan. Hal ini sejalan dengan pendapat Gronroos
(Ratminto dan Winarsih, 2005) sebagai berikut: “Pelayanan adalah suatu aktivitas
atau serangkaian aktivitas yang bersifat kasat mata yang terjadi sebagai akibat
14

adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal-hal lain yang
disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksudkan untuk
memecahkan permasalahan konsumen/pelanggan”. Dari pernyataan tersebut
tersirat bahwa setiap pelayanan yang diberikan harus memberikan kepuasan pada
pihak yang menerima layanan. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh
Davidow dan Uttal (1989:19) sebagai berikut: “…whatever enhances customer
satisfaction”. Dengan kata lain, pelayanan yang tidak memberikan kepuasan tidak
dapat dikategorikan sebagai suatu pelayanan.
Dalam kaitannya dengan pelayanan publik, Roth (1987:1) menyatakan
sebagai berikut: “Any services available to the public, whether provided publicly
(as is a museum) or privately (as is a restaurant meal)”. Pendapat lain mengenai
pelayanan publik dikemukakan oleh Londsdale dan Enyedi (1991:3) sebagai
berikut: “Something made available to the whole of population and it involves
things which people can not provide for themselves, i.e. people must act
collectively”. Sementara itu dalam Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 dinyatakan sebagai berikut:
“Pelayanan Publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh
penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima
pelayanan, maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-
undangan”. Dari beberapa pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa pelayanan
publik adalah kewajiban pemerintah dalam memenuhi kebutuhan dan kepuasan
masyarakat sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam kaitannya dengan
pelayanan publik, maka pemerintah melalui Keputusan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, menyatakan
bahwa suatu pelayanan publik harus mempunyai asas-asas sebagai berikut: (a)
transparansi, artinya bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak
yang membutuhkan, dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti; (b)
akuntabilitas, artinya dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan; (c) kondisional, artinya sesuai dengan kondisi dan
kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsi
efisiensi dan efektivitas; (d) partisipatif, artinya mendorong peran serta
15

masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan


aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat; (e) kesamaan hak, artinya tidak
diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender,
dan status ekonomi; dan (f) keseimbangan hak dan kewajiban, artinya pemberi
dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing-
masing.
Asas-asas tersebut ditujukan agar masyarakat sebagai penerima jasa
layanan publik memperoleh kepuasan sebagaimana yang mereka inginkan. Untuk
itu pemerintah, melalui Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
Nomor Kep/25/M.Pan/2/2004 Tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks
Kepuasan Masyarakat, menentukan 14 unsur/kriteria dalam rangka pengukuran
kepuasan masyarakat atas layanan jasa yang diberikan. Adapun keempat belas
unsur tersebut adalah sebagai berikut: (1) Prosedur Pelayanan, yaitu kemudahan
tahapan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dilihat dari sisi
kesederhanaan alur pelayanan; (2) Persyaratan Pelayanan, yaitu persyaratan teknis
dan administratif yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan
jenis pelayanannya; (3) Kejelasan Petugas Pelayanan, yaitu keberadaan dan
kepastian petugas yang memberikan pelayanan (nama, jabatan, serta kewenangan
dan tanggung jawabnya); (4) Kedisiplinan Petugas Pelayanan, yaitu kesungguhan
petugas dalam memberikan pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja
sesuai ketentuan yang berlaku; (5) Tanggung Jawab Petugas Pelayanan, yaitu
kejelasan wewenang dan tanggung jawab petugas dalam penyelenggaraan dan
penyelesaian pelayanan; (6) Kemampuan Petugas Pelayanan, yaitu tingkat
keahlian dan ketrampilan yang dimiliki petugas dalam
memberikan/menyelesaikan pelayanan kepada masyarakat; (7) Kecepatan
Pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu yang
telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan; (8) Keadilan mendapatkan
Pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak membedakan
golongan/status masyarakat yang dilayani; (9) Kesopanan dan Keramahan Petugas,
yaitu sikap dan perilaku petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
secara sopan dan ramah serta saling menghargai dan menghormati; (10)
16

Kewajaran Biaya Pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya


biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan; (11) Kepastian Biaya Pelayanan, yaitu
kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan; (12)
Kepastian Jadwal Pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan, sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan; (13) Kenyamanan Lingkungan, yaitu kondisi
sarana dan prasarana pelayanan yang bersih, rapi dan teratur sehingga dapat
memberikan rasa nyaman kepada penerima pelayanan; dan (14) Keamanan
Pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit penyelenggara
pelayanan ataupun sarana yang digunakan, sehingga masyarakat merasatenang
untuk mendapatkan pelayanan terhadap resiko-resiko yang diakibatkan dari
pelaksanaan pelayanan.
Sementara itu, Lovelock (Zethami, Parasuraman, Beny, 1990) menyatakan
pendapat yang senada, bahwa dalam kaitannya dengan kepuasan pelanggan,
dalam hal ini masyarakat, terdapat beberapa indikator yang harus dipenuhi yaitu:
(1) tangibles, yakni kualitas pelayanan berupa sarana dan prasarana yang
disediakan oleh lembaga pelayanan untuk mempermudah pelayanan; (2) reliability,
yakni kemampuan dan keandalan lembaga pelayanan untuk menyediakan produk
pelayanan yang dibutuhkan masyarakat; (3) responsiveness, atau kecepatan dan
ketepatan lembaga pelayanan dalam menanggapi keluhan masyarakat terhadap
pelayanan yang diberikan; (4) assurance, yang merupakan kesanggupan lembaga
pelayanan dalam meyakinkan kepercayaan masyarakat; dan (5) empathy, yakni
kemampuan dalam memahami dan memecahkan permasalahan pelayanan dengan
penuh perhatian. Dari beberapa uraian tersebut, terlihat jelas bahwa suatu
pelayanan yang dapat memuaskan pelanggan, dalam hal ini publik harus
memenuhi kriteria-kriteria tertentu.
Pada bagian awal telah diuraikan bahwa masih banyak pelayanan yang
diberikan oleh institusi publik (baca: pemerintah) belum memberikan kepuasan
kepada masyarakat selaku penerima layanan. Kondisi ini diperparah oleh tingkat
kedisiplinan kerja pegawai yang relatif rendah. Sudah bukan rahasia jika banyak
pegawai institusi pemerintah yang meluangkan waktu kerjanya untuk melakukan
hal-hal yang tidak mengarah pada pemberian layanan yang seharusnya diberikan.
17

Kondisi tersebut memang sangat mungkin disebabkan oleh banyak hal. Isu yang
sering mengemuka adalah kesejahteraan. Gaji seorang pegawai institusi
pemerintah seringkali ditengarai sebagai faktor pemicu rendahnya kinerja
pelayanan yang dihasilkan. Belum lagi masalah disproporsionalitas pekerjaan dan
pendapatan, dimana pegawai yang rajin dan yang tidak tetap mendapatkan porsi
penghasilan yang sama yang pada akhirnya memicu demotivasi.
Sebagian isu tersebut mungkin benar adanya. Namun demikian, menjadi
pegawai institusi pemerintah adalah suatu pilihan. Dengan demikian, sebelum
masuk pun setiap orang sudah sadar akan potensi penghasilannya yang relatif
tidak besar, terutama jika dibandingkan dengan sektor swasta atau organisasi
penghasil laba. Esensi public servant (pegawai negeri) adalah mengabdi, bukan
mencari kekayaan. Oleh karena itu, sifat keinginan untuk memberikan layanan
terbaik harus dimiliki oleh setiap pegawai institusi pemerintah. Jika dikaitkan
dengan paparan sebelumnya, maka di sinilah pentingnya peran seorang pemimpin
untuk dapat menjembatani kewajiban dan hak para pegawai. Para pemimpin di
institusi publik pada umumnya dihadapkan pada para pegawai yang mempunyai
mentalitas yang kurang diharapkan dalam memberikan pelayanan terbaik. Dalam
kondisi seperti ini, maka seorang pemimpin harus menjadi model yang baik bagi
para bawahannya. Seorang pemimpin harus mampu memotivasi bawahannya agar
dapat bekerja dengan baik sesuai dengan tujuan organisasi yang dalam konteks
lingkungan institusi pemerintah adalah memberikan pelayanan yang baik kepada
konsumen/masyarakat.
Untuk menjadi model bukanlah persoalan yang mudah, meskipun bukan
merupakan hal yang mustahil. Yang pertama perlu dilakukan adalah adanya
keinginan yang baik dari pemimpin (goodwill) untuk menghasilkan yang terbaik.
Pemimpin yang bersangkutan harus memandang posisinya sebagai suatu profesi
dengan berlandaskan pada etika profesi sebagai berikut: (1) mempunyai
satu/beberapa pengetahuan, ketrampilan sosial, kemahiran teknis, dan pengalaman;
(2) kompeten melakukan kewajiban dan tugas-tugas; (3) mampu bersikap susila
dan dewasa, serta memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi; (4) memiliki
kemampuan untuk mengontrol diri, baik emosi, keinginan, dan seluruh
18

perbuatannya; (5) selalu melandaskan diri pada nilai-nilai etis (kesusilaan,


kebaikan); dan (6) dikenai sanksi, ada kontrol diri dan kontrol sosial. Kemudian,
mengingat yang dihadapi dan harus dikendalikan adalah juga para bawahan
dengan semangat kerja yang kurang tinggi, maka pemimpin dituntut selain
mempunyai kompetensi pengetahuan dan/atau keterampilan, juga mempunyai
kompetensi emosi yang matang. Pemimpin yang mempunyai kompetensi emosi
yang matang mempunyai ciri sebagai berikut: (1) mempunyai kesadaran diri yang
berupa kecerdasan emosi, penilaian diri yang akurat, dan kepercayaan diri; (2)
mempunyai pengelolaan diri yang baik yang terdiri dari pengendalian diri,
transparansi, kemampuan menyesuaikan diri, prestasi, inisiatif, dan optimisme; (3)
mempunyai kesadaran sosial yang tinggi yang berupa empati, kesadaran
berorganisasi, dan pelayanan; dan (3) mempunyai pengelolaan relasi yang baik
yang berbentuk inspirasi, pengaruh, mengembangkan orang lain, berperan sebagai
katalisator perubahan, pengelolaan konflik, dan mampu bekerja secara tim dan
berkolaborasi.
Selain itu, mengingat isu yang paling santer berkembang adalah isu
kesejahteraan,, maka pemimpin dituntut untuk dapat meyakinkan para
bawahannya bahwa nilai-nilai dan komitmen merupakan hal yang penting dalam
setiap diri individu, jadi bukan hanya berorientasi pada finansial saja. Namun di
sisi lain, pemimpin yang bersangkutan juga harus mempunyai kemampuan dalam
membagi potensi penghasilan tambahan secara adil. Adil di sini berarti
proporsonal, bukan sama rata sama besar, akan tetapi sesuai dengan beban kerja
dan keterlibatan pegawai dalam suatu pekerjaan. Dalam kaitannya dengan
penyelesaian pekerjaan, maka seorang pemimpin dituntut untuk dapat memotiasi
bawahannya dalam menemukan cara-cara baru dalam penyelesaian pekerjaan.
Dalam tataran praktik, lebih banyak pegawai yang cenderung menggunakan cara-
cara yang selama ini mereka gunakan tanpa melihat adanya kemungkinan cara
kerja lain yang lebih baik. Peran permimpin adalah untuk membangkitkan minat
bawahan untuk menemukan cara lain yang lebih baik tersebut. jika para pegawai
menemukan cara yang lebih baik, maka hasil kerja mereka aka lebih baik yang
berarti pelayanan kepada masyarakat akan lebih baik pula. Seorang pemimpin
19

yang baik adalah pemimpin yang memandang bahwa bawahan adalah partner
dalam bekerja. Dengan kata lain, pemimpin akan menghargai bawahan dengan
segala potensi dan kekurangannya dan mampu memanfaatkan potensi ysb untuk
kepentingan organisasi. Dengan cara seperti ini pemimpin menciptakan
lingkungan yang kondusif dalam bekerja.
Dari uraian tersebut jelas terlihat betapa pentingnya peran seorang
pemimpin dalam mengelola unit kejanya, terutama para bawahannya agar dapat
memberikan pelayanan yang optimal. Persoalan yang kemudian muncul adalah,
tidak mudah menemukan pemimpin yang mempunyai karakteristik seperti yang
telah disebutkan sebelumnya. Namun demikian, hal tersebut tentunya bukan
halangan untuk mendapakan seorang pemimpin yang kompeten. Di Indonesia
banyak terdapat lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan milik pemerintah
yang bertugas untuk menghasilkan kader-kader pemimpin terbaik. Dengan
kesungguhan dalam pengelolaan program, dan dengan keinginan yang kuat untuk
meminimalisir intervensi politis, bukan tidak mungkin sosok pemimpin yang
diharapkan dapat diciptakan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pelayanan sebagai sebuah konsep dasar paradigma baru kepemimpinan,
berangkat dari pemikiran bahwa nilai dasar dari ajaran administrasi negara adalah
memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa membedakan siapa yang
dilayani. Melayani berarti memberikan sesuatu jasa secara ikhlas kepada orang
lain (publik) atau pelayanan berdasarkan hati nurani. Maka dari itu dalam
menjalankan tugas tersebut dibutuhkan konsistensi diri untuk mempersembahkan
kenyamanan dan pemenuhan kebutuhan tidak hanya bagi publik, tetapi juga bagi
anggota organisasi sebagai pengikut pemimpin.
B. Saran

Demiklanlah makalah ini kami buat, alangkah baiknya kita bisa


memahami dan mengamati apa yang menjadi inti materi dalam Pemikiran
Tentang Organisasi Dan Kepemimpinan Yang Bermanfaat Bagi Administrasi
Publik, begitupula besar harapan kami atas kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk makalah kami jika ada yang dianggap kurang, baik dari segi
bahasa maupun lainnya agar kedepannya dapat menjadi pelajaran buat kami.

20
DAFTAR PUSTAKA

Basuki J. 2007. Tantangan Ilmu Administrasi Publik: Paradigma Baru


Kepemimpinan Aparatur Negara. Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar
Tetap Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Negara. Jakarta.

Bennis, Warren dan Robert Townsend. 1998. Reinventing Leadership


(Terjemahan oleh Clara Suwendo: Menciptakan Kembali Kepemimpinan).
Batam Centre: Interaksara.
Dwiyanto, Agus. 1997. "Pemerintahan yang Efisien, Tanggap, dan Akuntabel:
Kontrol atau Etika?" dalam Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik
(JKAP), Yogyakarta : MAP UGM, Vol. I, No.2 , Juli 1997.
Sashkin, Marshall dan Molly G. Sashkin. 2011. Prinsip-prinsip Kepemimpinan.
Rudolf Hutahuruk (Alih Bahasa). Jakarta: Erlangga.
Wirawan. (2002) Kapita Selekta Teori Kepemimpinan – Pengantar untuk Praktek
dan Penelitian (1). Jakarta: Yayasan Bangun Indonesia dan Uhamka Press.

21

Anda mungkin juga menyukai