OLEH:
LA ODE ADAM ABIDARDA
S1A118026
KELAS A
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat, taufik, hidayah dan inayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan masalah makalah tentang reformasi birokrasi pada
administrasi publik dengan tepat waktu.
Akhir kata kami berharap semoga makalah yang telah kami susun
ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap para pembaca.
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.3. Tujuan.............................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
pemerintah sering kali dipandang secara dikotomis, selain dibutuhkan untuk
melaksanakan urusan pemerintah sehari-hari, birokrasi juga sering kali dianggap
sebagai sistem yang menyebabkan jalannya pemerintahan dan layanan publik
tersendat dan bertele-tele. Gejala penyakit birokrasi seperti ini , tampak pula
dalam sistem birokrasi pemerintahan di Indonesia. Berbagai kritik tentang in-
efisiensi dalam sistem birokrasi Indonesia, kuantitasnya yang terlalu besar dan
kaku sudan sering dinyatakan terbuka (Thoha, 1987; Dwiyanto, 2002). Sistem
pencaloan yang merajalela, nepotisme serta terjadinya berbagai patologi birokrasi
menyiratkan bahwa reformasi birokrasi pemerintah harus dilakukan.
2
pemerintahan, apatisme publik, dan berpotensi memunculkan anarkisme.
Kegagalan negara dalam arti pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarkat
akan menimbulkan keraguan publik terhadap urgensi kehadiran negara dalam hal
ini pemerintah. Kondisi ini bila dibiarkan akan mengarah kepada ketidakpastian
dan pelemahan jaminan hukum bagi seluruh lapisan masyarakat.
3
Untuk lebih memahami tentang akuntabilitas dalam birokasi
Reformasi birokrasi sendiri bertujuan untuk memberikan pelayanan sebaik-
baiknya kepada masyarakat, dengan meningkatkan kualitas sumber daya
manusia
Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini :
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
program-program pembangunan akan berjalan lebih lancar. Pada tataran ini,
birokrasi menjadi salah satu prasyarat prasyarat penting keberhasilan
pembangunan.
6
ulang, yang memungkinkan adanya kejelasan antara posisi jabatan politik dan
birokrasi karier. Dengan demikian pertanggung jabaran publik bisa didorong
dengan melakukan desentralisasi kekuasaan, transparansi, reposisi dan
restrukturisasi kelembagaan pemerintah. Struktur kelembagaan pemerintah
warisan pemerintah Orde Baru perlu diperbaiki dan disempurnakan sesuai dengan
perubahan strategis nasional kita di era reformasi ini. Selain itu dengan
memperhatikan prinsip efisiensi, penghematan, kordinasi, integrasi dan
rasionalitas maka perampingan susunan kelembagana birokrasi pemerintah perlu
dipikirkan. Selain itu efisiensi, penghematan, kordinasi, integrasi dalam susunan
kelembagaan pemerintahan perlu dilakukan sehingga tidak ada lagi kekembaran
lembaga yang tugas dan fungsinya sama.(Thoha, 2002)
Sebagian besar wilayah Indonesia sebelum kedatangan bangsa asing pada abad
ke-16, menganut sistem kekuasaan dan pengaturan masyarakat yang berbentuk
sistem kerajaan. Dalam sistem kerajaan, pucuk pimpinan ada di tangan raja
sebagai pemegang kekuasaan tunggal atau absolute. Segala keputusan ada di
tangan raja dan semua masyarakat harus patuh dan tunduk pada kehendak sang
Raja. Birokrasi pemerintahan yang terbentuk pada saat itu adalah birokrasi
kerajaan, yang memiliki cirri-ciri sebagai berikut :
7
4. “Gaji” dari raja kepada bawahan pada hakikatnya adalah anugerah yang juga
dapat ditarik sewaktu- waktu sekehendak raja.
Para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehndak hatinya terhadap rakyat, seperti
halnya dilakukan oleh raja. Aparat kerajaan dikembangkan sesuai dengan
perkembangan kebutuhan raja. Di dalam pemerintahan pusat (keratin), urusan
dalam pemerintahan diserahkan kepada empat pejabat setingkat menteri (wedana
lebet) yang dikoordinasikan oleh seorang pejabat setingkat Menteri Kordinator
(pepatih lebet). Pejabat- pejabat kerajaan tersebut masing-masing membawahi
pegawai (abdidalem) yang jumlahnya cukup banyak. Daerah di luar keraton,
seperti daerah pantai raja menunjuk bupati-bupati yang setia kepada raja untuk
menjadi penguasa daerah. Para bupati biasanya bupati lama yang telah
ditaklukkan oleh raja, pemuka masyarakat setempat, atau saudara raja sendiri.
8
Birokrasi pemerintahan kolonial disusun secara hierarki yang puncaknya pada
Raja Belanda. Dalam mengimplementasikan kebijakan pemerintahan di Negara
jajahan, Ratu Belanda menyerahkan kepada wakilnya, yakni seorang gubernur
jenderal. Kekuasaan dan kewenangan gubernur jenderal meliputi seluruh
keputusan politik di wilayah Negara jajahan yang dikuasai. Gubernur Jenderal
dibantu oleh para gubernur dan residen. Gubernur merupakan wakil pemerintah
pusat yang berkedudukan di Batavia untuk wilayah provinsi, sedangkan di tingkat
kabupaten terdapat asisten residen dan pengawas yang diangkat oleh gubernur
jenderal untuk mengawasi bupati dan wedana dalam menjalankan pemerintahan
sehari-hari.
9
tempo beberapa bulan. Seringnya terjadi pergantian kabinaet menyebabkan
birokrasi sangat terfragmentasi secara politik. Di dalam birokrasi tejadi tarik-
menarik antar berbagai kepentingan partai politik yang kuat pada masa itu.
Banyak kebijakan atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa
kepentingan politik dari partai yang sedang berkuasa atau berpengaruh dalam
suatu departemen. Program-program departemen yang tidak sesuai dengan garis
kebijakan partai yang berkuasa dengan mudah dihapuskan oleh menteri baru yang
menduduki suatu departemen. Birokrasi pada masa itu benar- benar mengalami
politisasi sebagai instrument politik yang berkuasa atau berpengaruh. Dampak
dari sistem pemerintahan parlementer telah memunculkan persaingan dan sistem
kerja yang tidak sehat di dalam birokrasi. Birokrasi menjadi tidak professional
dalam menjalankan tugas-tugasnya, birokrasi tidak pernah dapat melaksanakan
kebijakan atau program-programnya karena sering terjadi pergantian pejabat dari
partai politik yang memenangkan pemilu. Setiap pejabat atau menteri baru selalu
menerapkan kebijakan yang berbeda dari pendahulunya yang berasal dari partai
politik yang berbeda. Pengangkatan dan penempatan pegawai tidak berdasarkan
merit system, tetapi lebih pada pertimbangan loyalitas politik terhadap partainya.
Birokrasi pada masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme Negara
yang bertujuan untuk mendukung penetrasinya ke dalam masyarakat, sekaligus
dalam rangka mengontrol piblik secara penuh. Strategi politik birokrasi tersebut
merupakan strategi dalam mengatur system perwakilan kepentingan melalui
jaringan fungsional nonideologis, dimana sistem tersebut memberikan berbagai
lisensi pada kelompok fungsional dalam masyarakat, seperti monopoli atau
perizinan, yang bertujuan untuk meniadakan konflik antar kelas atau antar
kelompok kepentingan dalam masyarakat yang memiliki konsekuensi terhadap
10
hilangnya pluralitas social,politik maupun budaya. Pemerintahan Orde Baru mulai
menggunakan birokrasi sebagai premium mobile bagi program pembangunan
nasional. Reformasi birokrasi yang dilakukan diarahkan pada :
Memindahkan wewenang administratif kepada eselon atas dalam hierarki birokrasi.
Untuk membuat agar birokrasi responsif terhadap kehendak kepemimpinan pusat.
Untuk memperluas wewenang pemerintah baru dalam rangka mengkonsolidasikan
pengendalian atas daerah-daerah.
11
pengaruh kepentingan politik partisan, sistem Patron-client yang menjadi norma
birokrasi sehingga pola perekrutan lebih banyak berdasarkan hubungan personal
daripada faktor kapabilitas, serta birokrasi pemerintah yang digunakan oleh
masyarakat sebagai tempat favorit untuk mencari lapangan pekerjaan merupakan
sebagian fenomena birokrasi yang terdapat di banyak Negara berkembang,
termasuk di Indonesia.
Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi,
tampaknya belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di
Indonesia. Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi
birokrasi sering kali masih terjadi. Kasus Brunei Gate dan Bulog Gate setidak-
tidaknya memperlihatkan bahwa pucuk pimpinan birokrasi masih tetap
mempraktikkan berbagai tindakan yang tidak transparan dalam proses
pengambilan keputusan. Birokrasi yang seharusnya bersifat apolitis, dalam
kenyataannya masih saja dijadikan alat politik yang efektif bagi kepentingan-
kepentingan golongan atau partai politik tertentu. Terdapat pula kecenderungan
dari aparat yang kebetulan memperoleh kedudukan atau jabatan strategis dalam
birokrasi, terdorong untuk bermain dalam kekuasaan dengan melakukan tindak
KKN. Mentalitas dan budaya kekuasaan ternyata masih melingkupi sebagian
besar aparat birokrasi pada masa reformasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk
semenjak masa birokrasi kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk
dilepaskan dari perilaku aparat atau pejabat birokrasi. Masih kuatnya kultur
birokrasi yang menempatkan pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat
sebagai pengguna jasa sebagai pihak yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna
jasa yang seharusnya dilayani dengan baik, telah menyebabkan perilaku pejabat
birokrasi menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat
Dalam kondisi pelayanan yang sarat dengan nuansa kultur kekuasaan,
publik menjadi pihak yang paling dirugikan. Kultur kekuasaan dalam birokrasi
yang dominan membawa dampak pada terabaikannya fungsi dan kultur pelayanan
birokrasi sebagai abdi masyarakat. Pada tataran tersebut
12
sebenarnya berbagai praktik penyelewengan yang dilakukan oleh birokrasi terjadi
tanpa dapat dicegah secara efektif. Penyelewengan yang dilakukan birokrasi
terhadap masyarakat pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek
pelayanan yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun
aparat birokrasi. Inefisiensi kinerja birokrasi dalam penyelengaraan kegiatan
pemerintahan dan pelayanan publik masih tetap terjadi pada masa reformasi.
Birokrasi sipil termasuk salah satu sumber terjadinya inefisiensi pemerintahan.
Inefisiensi kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik terlihat dari masih sering
terjadinya kelambanan dan kebocoran anggaran pemerintah. Jumlah aparat
birokrasi sipil yang terlampau besar merupakan salah satu faktor yang
memberikan kontribusi terhadap inefisiensi pelayanan birokrasi. Lambannya
kinerja pelayanan birokrasi dimanifestasikan pada lamanya penyelesaian urusan
dari masyarakat yang membutuhkan prosedur perizinan birokrasi seperti
pengurusan sertifikasi tanah, IMB, HO dan sebagainya.
Sebagian besar aparat birokrasi masih memiliki anggapan bahwa
eksistensinya tidak ditentukan oleh masyarakat dalam kapasitasnya sebagai
pengguna jasa. Persepsi yang masih dipegang kuat aparat birokrasi adalah prinsip
bahwa gaji yang diterima selama ini bukan dari masyarakat tetapi dari pemerintah
sehingga konstruksi nilai yang tertanam dalam birokrasi yang sangat independen
terhadap publik tersebut menjadikan birokrasi memiliki anggapan bahwa
masayarakat-lah yang membutuhkan birokrasi, bukan sebaliknya. Kecenderungan
perilaku birokrasi yang masih tetap korup dan belum mengubah kultur pelayanan
kepada publik, semakin terlihat pada masa reformasi. Birokrasi di Indonesia saat
ini masih dikuasai oleh kekuatan yang begitu terbiasa berperilaku buruk selama
puluhan tahun, birokrasi tidak hanya mengidap kleptomania tetapi juga
antireformasi. Kontraproduktif dalam birokrasi tersebut sangat berpotensi untuk
terjadinya penularan ke seluruh jaringan birokrasi pemerintah baik Pusat maupun
Daerah, baik di kalangan pejabat
13
tinggi maupun di kalangan aparat bawah. Masih belum efektifnya penegakkan
hukum dan kontrol publik terhadap birokrasi, menyebabkan berbagai tindakan
penyimpangan yang dilakukan aparat birokrasi masih tetap berlangsung.
Pasca runtuhnya era Orde Baru, dalam reformasi birokrasi Indonesia tahap
pertama (2010-2014) Indonesia melakukan transisi dari model birokrasi
sebelumnya, suatu struktur birokrasi yang tampak seperti model Webberian,
namun dalam penerapannya lebih dekat kepada model patronase yang sentralistis.
Berbeda dengan era Orde Baru, dalam Orde Reformasi sistem birokrasi ditata
kembali untuk menghilangkan model patronase antara lain melalui penyusunan
tupoksi, indikator kinerja dan job grading. Langkah awal penataan birokrasi
sejauh ini patut diapresiasi dan telah menunjukkan hasil dalam kestabilan struktur
birokrasi. Beberapa sektor pemerintah (termasuk Kementerian Keuangan) telah
berhasil menjadi pelopor reformasi birokrasi yang ditunjang oleh upaya keras
pemberantasan korupsi tiada henti oleh KPK. Namun harus diakui di sebagian
sektor pemerintah pusat dan daerah penegakan prinsip- prinsip transparansi,
stabilitas, dan predictability model Webberian dalam pengambilan kebijakan
belum berjalan mulus. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, model birokrasi
kementerian dan lembaga pemerintah Indonesia termasuk Kementerian Keuangan
dan Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan saat ini pada umumnya
masih menganut prinsip- prinsip model Webberian sebagaimana diusung oleh UU
Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok- Pokok Kepegawaian. Walaupun demikian terdapat lembaga pemerintah
seperti Kementerian PPN/Bappenas yang sudah memelopori penerapan sebagian
model NPM sejak tahun 2004 melalui penghapusan dan pengalihan jabatan eselon
IV di kedeputian-kedeputian ke jabatan fungsional perencana (JFP). Unit kerja
eselon IV kini hanya ditemui di Sekretariat Kementerian PPN/Sekretariat Utama
Bappenas, Tata Usaha Kedeputian, dan Inspektorat. Melalui pengalihan ke jabatan
14
fungsional tersebut Bappenas menargetkan terjadi peningkatan kemampuan
profesional dan peningkatan kinerja khususnya para fungsional perencana di
bidang perencanaan baik perencanaan makro, sektoral, dan regional pembangunan
nasional. Upaya Bappenas tersebut selaras dengan wacana pengalihan jabatan
eselon III dan IV ke jabatan fungsional yang telah disuarakan dalam berbagai
kesempatan oleh Kemenpan-RB, dan juga UU ASN yang secara filosofis hanya
mengenal eselonisasi hingga eselon II – eselonisasi yang diistilahkan sebagai
jabatan pimpinan tinggi. Dalam UU ASN, jabatan yang berorientasi pada
administrasi dimasukkan ke dalam jabatan administrasi, sedangkan jabatan yang
berorientasi pada fungsi dimasukkan ke dalam jabatan fungsional.(Setiawan,
2015)
2.6 Evolusi Model Birokrasi Dalam Pespektif Ekonomi
15
pelaksanaan suatu kegiatan sebelumnya. Model ini menekankan pentingnya
kendali terhadap input dan proses pengambilan kebijakan. Keberadaan aturan
yang terdokumentasi dengan baik memungkinkan mutasi pegawai tidak akan
mengganggu roda administrasi pemerintahan, sehingga membuat struktur
birokrasi lebih permanen dan stabil.
Model New Public Management (NPM). Terdapat tiga ciri utama dalam
model NPM yaitu :
16
3. Skema remunerasi.
Beralih ke sistem insentif kinerja yang spesifik dan berbasis remunerasi
(diukur dengan uang atau ekivalen) sebagaimana telah dibuktikan
efektivitasnya pada sistem insentif bagi para profesional di sektor
swasta(Setiawan, 2015)
17
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
18
Selanjutnya, usaha untuk mendorong peningkatan kompetensi aparat birokrasi
pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, sebagai wujud profesionalisme
dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, harus memerhatikan tiga hal pokok di
bawah ini :
1. Peningkatan kesejahteraan aparat birokrasi pemerintah.
2. Peningkatan etika dan moral birokrasi pemerintah.
3. Peningkatan profesionalisme birokrasi pemerintah.
Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola Pemerintahan yang baik, dapat terwujud
apabila semua lapisan masyarakat turut berperan serta dalam upaya pemberharuan
diberbagai bidang khususnya dalam bidang pelayanan (birokrasi) pemerintah,
karena birokrasi pemerintah merupakan proses interaksi / hubungan antara
pemerintah dan masyarakat serta langkah awal dalam mencapai kemajuan suatu
negara dalam berbagai bidang. Dan yang terakhir, untuk mendorong perwujudan
pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN dapat pula diupayakan kepada
peningkatan pengawasan terhadap aparatur negara. Pengawasan ini dapat
dilakukan melalui audit internal maupun audit eksternal.
19
DAFTAR PUSTAKA
http://blochafauros.blogspot.com/2012/08/contoh-makalah-reformasi- birokrasi-
dan.html
http://makalahme02.blogspot.com/2013/05/contoh-makalah-reformasi- birokrasi-
di.html
https://www.google.co.id/search?
q=permasalahan+dan+solusi+dalam+reformasi+birokrasi&oq=permasalah
an+dan+solusi+dalam+reformasi+birokrasi&aqs=chrome..69i57j35i39j0l4.
21806j0j7&sourceid=chrome&ie=UTF-8
http://pemerintah.net/hambatan-dan-tantangan-reformasi-birokrasi/
20