Anda di halaman 1dari 23

TUGAS MATA KULIAH

MANAJEMEN PROYEK SEKTOR PUBLIK

OLEH:
LA ODE ADAM ABIDARDA

S1A118026

KELAS A

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat, taufik, hidayah dan inayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan masalah makalah tentang reformasi birokrasi pada
administrasi publik dengan tepat waktu.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan


bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih


ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasa dan
kami menyadari bahwa pengetahuan kami sangatlah terbatas. Oleh karena
itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah yang telah kami susun
ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap para pembaca.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................i

DAFTAR ISI ..............................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ...............................................................................1

1.2. Rumusan Masalah..........................................................................1

1.3. Tujuan.............................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Konsep Reformasi Birokrasi...............................................................5

2.2. Sejarah Birokrasi...............................................................................7

2.3. Birokrasi Zaman Kolonial...................................................................8

2.4. Birokrasi Zaman Orde Lama..............................................................9

2.5. Birokrasi Zaman Orde Baru................................................................10

2.6. Evolusi Model Birokrasi Dalam Pespektif Ekonomi...............................15

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan ....................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Reformasi birokrasi saat ini sangat diperlukan dalam rangka


perbaikan kualitas aparatur sipil negara. Dari sudut pandang masyarakat,
birokrasi selama ini dianggap sebagai sesuatu yang menyulitkan, berbelit-
belit, dan tidak profesional. Dari sudut pandang pemerintah sendiri mulai
merasa tidak nyaman dengan status aparatur sipil negara yang mempunyai
predikat sewenang-wenang, koruptif dan tidak melayani. Pemerintah
menghendaki adanya peningkatan pencitraan birokrasi dimata masyarakat,
sehingga pemerintah sendiri juga menginginkan segera dilakukan
perbaikan citra aparatur sipil negara melalui program reformasi birokrasi.

Reformasi birokrasi merupakan sebuah kebijakan yang dibuat


untuk mengubah atau membuat suatu perbaikan dalam birokrasi
pemerintahan Indonesia saat ini. Perubahan atau perbaikan yang ingin
dilakukan dalam reformasi birokrasi mencakup struktur dan proses dalam
penyelenggaraan pelayanan publik, serta perubahan pada mindset dan
culturset pegawai. Reformasi birokrasi juga bertujuan untuk memperbaiki
prosedur administrasi dibirokrasi pemerintah, perbaikan penggunaan
keuangan negara dan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Dasar
hukum pelaksanaan kebijakan reformasi birokrasi ini tertuang dalam
Peraturan Presiden No.81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi
Birokrasi 2010-2025. Penjabarannya dituangkan dalam Permenpan & RB
No.20 Tahun 2010 dan Permenpan & RB No.11 Tahun 2015 tentang road
map Reformasi Birokrasi.

Sistem birokrasi sangat diharapkan dapat menjalankan perannya


secara optimal. Namun, dalam kenyataannya, keberadaan birokrasi dalam

1
pemerintah sering kali dipandang secara dikotomis, selain dibutuhkan untuk
melaksanakan urusan pemerintah sehari-hari, birokrasi juga sering kali dianggap
sebagai sistem yang menyebabkan jalannya pemerintahan dan layanan publik
tersendat dan bertele-tele. Gejala penyakit birokrasi seperti ini , tampak pula
dalam sistem birokrasi pemerintahan di Indonesia. Berbagai kritik tentang in-
efisiensi dalam sistem birokrasi Indonesia, kuantitasnya yang terlalu besar dan
kaku sudan sering dinyatakan terbuka (Thoha, 1987; Dwiyanto, 2002). Sistem
pencaloan yang merajalela, nepotisme serta terjadinya berbagai patologi birokrasi
menyiratkan bahwa reformasi birokrasi pemerintah harus dilakukan.

Reformasi birokrasi pemerintah sangat mendesak untuk dilakukan ketika


dikaitkan dengan berbagai perubahan dalam konteks global, antara lain perubahan
paradigma kekuasaan yang terjadi dengan dinamis selama periode pertengahan
abad 20 hingga awal abad 21. Gelombang demokratisasi yang ditandai dengan
kemerdekan negara-negara bekas jajahan, peralihan kekuasaan dari rezim
otoritarian, kecenderungan sentralistik dan runtuhnya komunisme membawa
perubahan yang berarti dalam sistem kekuasaan menjadi lebih demokratis dan
terdistribusi (desentralisasi).

Pada awalnya, penyelenggaraan pemerintahan secara sentralistik


dipandang akan lebih efektif dan efisien, tapi asumsi ini mengalami perubahan
ketika menghadapi tantangan dimasa kini yang menuntut pemerintah untuk makin
responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Akan tetapi,berbagai penyimpangan
yang terjadi sebagai dampak dari sentralisasi menyebabkan legitimasi pemerintah
menurun dimata publik. Ketika negara tidak lagi cukup memiliki kemampuan
untuk memaksakan kepatuhan masyarakat dan makin luasnya keterbukaan akses
informasi publik, maka yang terjadi adalah fenomena kegagalan negara untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam jangka panjang, penurunan kapasitas
negara ini akan berdampak negatif karna mengarah deligitimasi

2
pemerintahan, apatisme publik, dan berpotensi memunculkan anarkisme.
Kegagalan negara dalam arti pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarkat
akan menimbulkan keraguan publik terhadap urgensi kehadiran negara dalam hal
ini pemerintah. Kondisi ini bila dibiarkan akan mengarah kepada ketidakpastian
dan pelemahan jaminan hukum bagi seluruh lapisan masyarakat.

Reformasi birokrasi pemerintah menjadi bagian dari upaya untuk


memperkuat negara karena melalui reformasi birokrasi, peran dan lingkup
intervensi negara dalam hal hal ini yaitu pemerintah didefinisikan ulang untuk
menjawab tantangan zaman. Karena itu, reformasi birokrasi juga tidak sekedar
menyederhanakan struktur birokrasi, tapi mengubah pola pikir (mind set) dan pola
budaya (cultural set) birokrasi untuk berbagi peran dalam tata kelola
pemerintahan. Birokrasi pemerintah merupakan unsur yang sangat vital dalam
menentukan arah untuk mencapai keberhasilan suatu penyelenggaraan negara.
Dengan kemajuan teknologi terutama teknologi informasi dan komunikasi yang
demikian pesat serta persaingan global yang semakin ketat, masyarakat sangat
peka terhadap kinerja birokrasi pemerintahan dan sangat peduli dengan
peningkatan kualitas hidupnya. Baik atau buruk kinerja birokrasi pemerintah akan
sangat menentukan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahnya.

(Dede Mariana, Caroline Paskarina, Heru Nurasa, tahun 2010)

1.2 Tujuan Dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini :

 Untuk mengetahui perkembangan reformasi birokrasi di Indonesia


 Untuk mengetahui pengaruh-pengaruh pada masa reformasi birokasi terhadap
perizinan penanaman modal didaerah kota bekasi
 Untuk mengetahui evolusi model birokrasi dalam pespektif ekonomi
 Untuk mengetahui bagaimana strategi reformasi birokrasi

3
 Untuk lebih memahami tentang akuntabilitas dalam birokasi
 Reformasi birokrasi sendiri bertujuan untuk memberikan pelayanan sebaik-
baiknya kepada masyarakat, dengan meningkatkan kualitas sumber daya
manusia
Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini :

 Mengetahui berbagai permasalahan yang ada di Indonesia


 Mengetahui perkembangan reformasi di Indonesia
 Mengetahui tujuan didirikannya reformasi birokrasi
 Mengetahui Strategi Reformasi

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Reformasi Birokrasi

Dalam kaitan penyelenggaraan pemerintahan, sifat dan lingkup pekerjaannya,


serta kewenangan yang dimilikinya birokrasi menguasai aspek-aspek yang sangat
luas dan strategis. Birokrasi menguasai kewenangan terhadap akses-akses seperti
sumber daya alam, anggaran, pegawai, proyek-proyek, serta menguasai akses
pengetahuan dan informasi yang tidak dimiliki pihak lain. Dengan posisi,
kemampuan, dan kewenangan yang dimilikinya tersebut, birokrasi bukan saja
mempunyai akses yang kuat untuk membuat kebijakan yang tepat secara teknis,
tetapi juga untuk memperoleh dukungan yang kuat dari masyarakat dan dunia
usaha. Selain itu, birokrasi dengan aparaturnya juga memiliki berbagai keahlian
teknis terspesialisasi yang tidak dimiliki oleh pihak-pihak diluar birokrasi, seperti
dalam hal perencanaan pembangunan, pengelolaan infrastruktur, penyelenggaraan
pendidikan, pengelolaan transportasi transportasi dan lain-lain. Dalam konteks
policy making process, birokrasi di Indonesia juga memegang peranan penting
pada semua tahapan mulai dari tahap perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan
berbagai kebijakan publik, serta dalam evaluasi kinerjanya. Dari gambaran di atas
nyatalah, bahwa birokrasi di Indonesia memiliki peran yang cukup besar.
Besarnya peran birokrasi tersebut akan turut menentukan keberhasilan pemerintah
dalam menjalankan program dan kebijakan pembangunan. Jika birokrasi buruk,
upaya pembangunan akan dipastikan mengalami banyak hambatan. Sebaliknya,
jika birokrasi bekerja secara baik, maka

5
program-program pembangunan akan berjalan lebih lancar. Pada tataran ini,
birokrasi menjadi salah satu prasyarat prasyarat penting keberhasilan
pembangunan.

Peran birokrasi dengan fungsi administrasi negara dilakukan oleh birokrasi.


Jadi birokrasi diartikan sebagai keseluruhan lembaga pemerintahan negara, yang
meliputi aparatur kenegaraan, aparatur pemerintahan, serta sumber daya manusia
birokrasi yang terdiri atas pejabat negara dan pegawai negeri.

Birokrasi secara leksikal berarti alat kelengkapan negara, terutama meliputi


bidang kelembagaan, ketatalaksanaan, dan kepegawaian, yang mempunyai
tanggung jawab melaksanakan roda pemerintahan sehari- hari. Secara umum,
pembangunan birokrasi mencakup berbagai aktivitas terencana yang berkelanjutan
yang ditujukan untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan dalam menjalankan
fungsi-fungsinya (Adi Suryanto, 2012).

Pembangunan birokrasi yang bersih dan bebas KKN menyangkut seluruh


sendi birokrasi, bukan hanya PNS/birokrat, namun meliputi pembangunan
struktur, sistem, business process, dan karakter/etika moral. Secara terencana
pembangunan Birokrasi pun dilakukan melalui sebuah proses multidimensi yang
disebut Reformasi Birokrasi. Secara khusus Presiden telah menetapkan Perpres
No.81/2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025. Upaya
penataan pembangunan birokrasi yang komprehensif seperti inilah yang secara
substansi oleh Sofian Effendi (2010) disebut juga sebagai reformasi birokrasi.
Kekuasan yang memusat mengakibatkan tidak adanya transparansi sehingga
menyulitkan lahirnya pertanggung jawabab publik. Tidak adanya keterbukaan
dikalangan instansi dan pejabat pemerintah, mengakibatkan akses melakukan
kontrol rakyat menjadi buntu dan mampet. Selain itu reposisi dan restrukturisasi
kelembagaan pemerintah perlu segera ditata

6
ulang, yang memungkinkan adanya kejelasan antara posisi jabatan politik dan
birokrasi karier. Dengan demikian pertanggung jabaran publik bisa didorong
dengan melakukan desentralisasi kekuasaan, transparansi, reposisi dan
restrukturisasi kelembagaan pemerintah. Struktur kelembagaan pemerintah
warisan pemerintah Orde Baru perlu diperbaiki dan disempurnakan sesuai dengan
perubahan strategis nasional kita di era reformasi ini. Selain itu dengan
memperhatikan prinsip efisiensi, penghematan, kordinasi, integrasi dan
rasionalitas maka perampingan susunan kelembagana birokrasi pemerintah perlu
dipikirkan. Selain itu efisiensi, penghematan, kordinasi, integrasi dalam susunan
kelembagaan pemerintahan perlu dilakukan sehingga tidak ada lagi kekembaran
lembaga yang tugas dan fungsinya sama.(Thoha, 2002)

2.2 Sejarah Birokrasi

Perjalanan Birokrasi Indonesia Dari Masa ke Masa


 Birokrasi Zaman Kerajaan

Sebagian besar wilayah Indonesia sebelum kedatangan bangsa asing pada abad
ke-16, menganut sistem kekuasaan dan pengaturan masyarakat yang berbentuk
sistem kerajaan. Dalam sistem kerajaan, pucuk pimpinan ada di tangan raja
sebagai pemegang kekuasaan tunggal atau absolute. Segala keputusan ada di
tangan raja dan semua masyarakat harus patuh dan tunduk pada kehendak sang
Raja. Birokrasi pemerintahan yang terbentuk pada saat itu adalah birokrasi
kerajaan, yang memiliki cirri-ciri sebagai berikut :

1. Penguasa menganggap dan menggunakan administrasi publik sebagai urusan


pribadi.
2. Administrasi adalah perluasan rumah tangga istana.
3. Tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja.

7
4. “Gaji” dari raja kepada bawahan pada hakikatnya adalah anugerah yang juga
dapat ditarik sewaktu- waktu sekehendak raja.

Para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehndak hatinya terhadap rakyat, seperti
halnya dilakukan oleh raja. Aparat kerajaan dikembangkan sesuai dengan
perkembangan kebutuhan raja. Di dalam pemerintahan pusat (keratin), urusan
dalam pemerintahan diserahkan kepada empat pejabat setingkat menteri (wedana
lebet) yang dikoordinasikan oleh seorang pejabat setingkat Menteri Kordinator
(pepatih lebet). Pejabat- pejabat kerajaan tersebut masing-masing membawahi
pegawai (abdidalem) yang jumlahnya cukup banyak. Daerah di luar keraton,
seperti daerah pantai raja menunjuk bupati-bupati yang setia kepada raja untuk
menjadi penguasa daerah. Para bupati biasanya bupati lama yang telah
ditaklukkan oleh raja, pemuka masyarakat setempat, atau saudara raja sendiri.

2.3 Birokrasi Zaman Kolonial

Pelayanan publik pada masa pemerintahan kolonial Belanda tidak terlepas


dari sistem administrasi pemerintahan yang berlangsung pada saat itu. Kedatangan
penguasa kolonial tidak banyak mengubah sistem birokrasi dan adminitrasi
pemerintahan yang berlaku di Indonesia, sebagai bangsa pendatang yang ingin
menguasai wilayah nusantara baik secara politik maupun ekonomi, pemerintah
kolonial menjalin hubungan politik dengan pemerintah kerajaan yang masih
disegani oleh masyarakat, motif utamanya adalah menanamkan pengaruh
politiknya terhadap elite politik kerajaan. Selama pemerintahan kolonial terjadi
dualisme sistem birokrasi pemerintahan. Di satu sisi telah mulai diperkenalkan
dan diberlakukan sistem administrasi kolonial (binnenlandcshe Bestuur) yang
mengenalkan sistem birokrasi dan administrasi modern, sedangkan pada sisi lain,
sistem tradisional (Inheemsche Bestuur) masih tetap dipertahankan.

8
Birokrasi pemerintahan kolonial disusun secara hierarki yang puncaknya pada
Raja Belanda. Dalam mengimplementasikan kebijakan pemerintahan di Negara
jajahan, Ratu Belanda menyerahkan kepada wakilnya, yakni seorang gubernur
jenderal. Kekuasaan dan kewenangan gubernur jenderal meliputi seluruh
keputusan politik di wilayah Negara jajahan yang dikuasai. Gubernur Jenderal
dibantu oleh para gubernur dan residen. Gubernur merupakan wakil pemerintah
pusat yang berkedudukan di Batavia untuk wilayah provinsi, sedangkan di tingkat
kabupaten terdapat asisten residen dan pengawas yang diangkat oleh gubernur
jenderal untuk mengawasi bupati dan wedana dalam menjalankan pemerintahan
sehari-hari.

2.4 Birokrasi Zaman Orde Lama


Berakhirnya masa pemerintahan kolonial membawa perubahan sosial politik yang
sangat berarti bagi kelangsungan sistem birokrasi pemerintahan. Perbedaan-
perbedaan pandangan yang terjadi diantara pendiri bangsa di awal masa
kemerdekaan tentang bentuk Negara yang akan didirikan, termasuk dalam
pengaturan birokrasinya, telah menjurus ke arah disintegrasi bangsa dan keutuhan
aparatur pemerintahan. Perubahan bentuk Negara dari kesatuan menjadi federal
berdasarkan konstitusi RIS melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur
pemerintah. Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis menyangkut
birokrasi pada saat itu. Pertama, bagaimana cara menempatkan pegawai Republik
Indonesia yang telah berjasa mempertahankan NKRI, tetapi relatif kurang
memiliki keahlian dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana
menempatkan pegawai yang telah bekerja pada Pemerintah belanda yang
memiliki keahlian, tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap NKRI.
Demikian pula penerapan sistem pemerintahan parlementer dan sistem politik
yang mengiringinya pada tahun 1950-1959 telah membawa konsekuensi pada
seringnya terjadi pergantian kabinet hanya dalam

9
tempo beberapa bulan. Seringnya terjadi pergantian kabinaet menyebabkan
birokrasi sangat terfragmentasi secara politik. Di dalam birokrasi tejadi tarik-
menarik antar berbagai kepentingan partai politik yang kuat pada masa itu.
Banyak kebijakan atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa
kepentingan politik dari partai yang sedang berkuasa atau berpengaruh dalam
suatu departemen. Program-program departemen yang tidak sesuai dengan garis
kebijakan partai yang berkuasa dengan mudah dihapuskan oleh menteri baru yang
menduduki suatu departemen. Birokrasi pada masa itu benar- benar mengalami
politisasi sebagai instrument politik yang berkuasa atau berpengaruh. Dampak
dari sistem pemerintahan parlementer telah memunculkan persaingan dan sistem
kerja yang tidak sehat di dalam birokrasi. Birokrasi menjadi tidak professional
dalam menjalankan tugas-tugasnya, birokrasi tidak pernah dapat melaksanakan
kebijakan atau program-programnya karena sering terjadi pergantian pejabat dari
partai politik yang memenangkan pemilu. Setiap pejabat atau menteri baru selalu
menerapkan kebijakan yang berbeda dari pendahulunya yang berasal dari partai
politik yang berbeda. Pengangkatan dan penempatan pegawai tidak berdasarkan
merit system, tetapi lebih pada pertimbangan loyalitas politik terhadap partainya.

2.5 Birokrasi Zaman Orde Baru

Birokrasi pada masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme Negara
yang bertujuan untuk mendukung penetrasinya ke dalam masyarakat, sekaligus
dalam rangka mengontrol piblik secara penuh. Strategi politik birokrasi tersebut
merupakan strategi dalam mengatur system perwakilan kepentingan melalui
jaringan fungsional nonideologis, dimana sistem tersebut memberikan berbagai
lisensi pada kelompok fungsional dalam masyarakat, seperti monopoli atau
perizinan, yang bertujuan untuk meniadakan konflik antar kelas atau antar
kelompok kepentingan dalam masyarakat yang memiliki konsekuensi terhadap

10
hilangnya pluralitas social,politik maupun budaya. Pemerintahan Orde Baru mulai
menggunakan birokrasi sebagai premium mobile bagi program pembangunan
nasional. Reformasi birokrasi yang dilakukan diarahkan pada :
Memindahkan wewenang administratif kepada eselon atas dalam hierarki birokrasi.
Untuk membuat agar birokrasi responsif terhadap kehendak kepemimpinan pusat.
Untuk memperluas wewenang pemerintah baru dalam rangka mengkonsolidasikan
pengendalian atas daerah-daerah.

2.6 Birokrasi Zaman Reformasi


Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti
pula dengan perubahan besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara, baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi
maupun kultural. Perubahan struktur, kultur dan paradigma birokrasi dalam
berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan
mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis
multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini. Namun, harapan
terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana
birokrasi di Negara-negara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan.
Osborne dan Plastrik (1997) mengemukakan bahwa realitas sosial, politik dan
ekonomi yang dihadapi oleh Negara-negara yang sedang berkembang seringkali
berbeda dengan realitas sosial yang ditemukan pada masyarakat di negara maju.
Realitas empirik tersebut berlaku pula bagi birokrasi pemerintah, dimana kondisi
birokrasi di Negara-negara berkembang saat ini sama dengan kondisi birokrasi
yang dihadapi oleh para reformis di Negara-negara maju pada sepuluh dekade
yang lalu. Persoalan birokrasi di Negara berkembang, seperti merajalelanya
korupsi,

11
pengaruh kepentingan politik partisan, sistem Patron-client yang menjadi norma
birokrasi sehingga pola perekrutan lebih banyak berdasarkan hubungan personal
daripada faktor kapabilitas, serta birokrasi pemerintah yang digunakan oleh
masyarakat sebagai tempat favorit untuk mencari lapangan pekerjaan merupakan
sebagian fenomena birokrasi yang terdapat di banyak Negara berkembang,
termasuk di Indonesia.
Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi,
tampaknya belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di
Indonesia. Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi
birokrasi sering kali masih terjadi. Kasus Brunei Gate dan Bulog Gate setidak-
tidaknya memperlihatkan bahwa pucuk pimpinan birokrasi masih tetap
mempraktikkan berbagai tindakan yang tidak transparan dalam proses
pengambilan keputusan. Birokrasi yang seharusnya bersifat apolitis, dalam
kenyataannya masih saja dijadikan alat politik yang efektif bagi kepentingan-
kepentingan golongan atau partai politik tertentu. Terdapat pula kecenderungan
dari aparat yang kebetulan memperoleh kedudukan atau jabatan strategis dalam
birokrasi, terdorong untuk bermain dalam kekuasaan dengan melakukan tindak
KKN. Mentalitas dan budaya kekuasaan ternyata masih melingkupi sebagian
besar aparat birokrasi pada masa reformasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk
semenjak masa birokrasi kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk
dilepaskan dari perilaku aparat atau pejabat birokrasi. Masih kuatnya kultur
birokrasi yang menempatkan pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat
sebagai pengguna jasa sebagai pihak yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna
jasa yang seharusnya dilayani dengan baik, telah menyebabkan perilaku pejabat
birokrasi menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat
Dalam kondisi pelayanan yang sarat dengan nuansa kultur kekuasaan,
publik menjadi pihak yang paling dirugikan. Kultur kekuasaan dalam birokrasi
yang dominan membawa dampak pada terabaikannya fungsi dan kultur pelayanan
birokrasi sebagai abdi masyarakat. Pada tataran tersebut

12
sebenarnya berbagai praktik penyelewengan yang dilakukan oleh birokrasi terjadi
tanpa dapat dicegah secara efektif. Penyelewengan yang dilakukan birokrasi
terhadap masyarakat pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek
pelayanan yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun
aparat birokrasi. Inefisiensi kinerja birokrasi dalam penyelengaraan kegiatan
pemerintahan dan pelayanan publik masih tetap terjadi pada masa reformasi.
Birokrasi sipil termasuk salah satu sumber terjadinya inefisiensi pemerintahan.
Inefisiensi kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik terlihat dari masih sering
terjadinya kelambanan dan kebocoran anggaran pemerintah. Jumlah aparat
birokrasi sipil yang terlampau besar merupakan salah satu faktor yang
memberikan kontribusi terhadap inefisiensi pelayanan birokrasi. Lambannya
kinerja pelayanan birokrasi dimanifestasikan pada lamanya penyelesaian urusan
dari masyarakat yang membutuhkan prosedur perizinan birokrasi seperti
pengurusan sertifikasi tanah, IMB, HO dan sebagainya.
Sebagian besar aparat birokrasi masih memiliki anggapan bahwa
eksistensinya tidak ditentukan oleh masyarakat dalam kapasitasnya sebagai
pengguna jasa. Persepsi yang masih dipegang kuat aparat birokrasi adalah prinsip
bahwa gaji yang diterima selama ini bukan dari masyarakat tetapi dari pemerintah
sehingga konstruksi nilai yang tertanam dalam birokrasi yang sangat independen
terhadap publik tersebut menjadikan birokrasi memiliki anggapan bahwa
masayarakat-lah yang membutuhkan birokrasi, bukan sebaliknya. Kecenderungan
perilaku birokrasi yang masih tetap korup dan belum mengubah kultur pelayanan
kepada publik, semakin terlihat pada masa reformasi. Birokrasi di Indonesia saat
ini masih dikuasai oleh kekuatan yang begitu terbiasa berperilaku buruk selama
puluhan tahun, birokrasi tidak hanya mengidap kleptomania tetapi juga
antireformasi. Kontraproduktif dalam birokrasi tersebut sangat berpotensi untuk
terjadinya penularan ke seluruh jaringan birokrasi pemerintah baik Pusat maupun
Daerah, baik di kalangan pejabat

13
tinggi maupun di kalangan aparat bawah. Masih belum efektifnya penegakkan
hukum dan kontrol publik terhadap birokrasi, menyebabkan berbagai tindakan
penyimpangan yang dilakukan aparat birokrasi masih tetap berlangsung.

2.5 Perkembangan Reformasi Birokrasi di Indonesia

Pasca runtuhnya era Orde Baru, dalam reformasi birokrasi Indonesia tahap
pertama (2010-2014) Indonesia melakukan transisi dari model birokrasi
sebelumnya, suatu struktur birokrasi yang tampak seperti model Webberian,
namun dalam penerapannya lebih dekat kepada model patronase yang sentralistis.
Berbeda dengan era Orde Baru, dalam Orde Reformasi sistem birokrasi ditata
kembali untuk menghilangkan model patronase antara lain melalui penyusunan
tupoksi, indikator kinerja dan job grading. Langkah awal penataan birokrasi
sejauh ini patut diapresiasi dan telah menunjukkan hasil dalam kestabilan struktur
birokrasi. Beberapa sektor pemerintah (termasuk Kementerian Keuangan) telah
berhasil menjadi pelopor reformasi birokrasi yang ditunjang oleh upaya keras
pemberantasan korupsi tiada henti oleh KPK. Namun harus diakui di sebagian
sektor pemerintah pusat dan daerah penegakan prinsip- prinsip transparansi,
stabilitas, dan predictability model Webberian dalam pengambilan kebijakan
belum berjalan mulus. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, model birokrasi
kementerian dan lembaga pemerintah Indonesia termasuk Kementerian Keuangan
dan Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan saat ini pada umumnya
masih menganut prinsip- prinsip model Webberian sebagaimana diusung oleh UU
Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok- Pokok Kepegawaian. Walaupun demikian terdapat lembaga pemerintah
seperti Kementerian PPN/Bappenas yang sudah memelopori penerapan sebagian
model NPM sejak tahun 2004 melalui penghapusan dan pengalihan jabatan eselon
IV di kedeputian-kedeputian ke jabatan fungsional perencana (JFP). Unit kerja
eselon IV kini hanya ditemui di Sekretariat Kementerian PPN/Sekretariat Utama
Bappenas, Tata Usaha Kedeputian, dan Inspektorat. Melalui pengalihan ke jabatan

14
fungsional tersebut Bappenas menargetkan terjadi peningkatan kemampuan
profesional dan peningkatan kinerja khususnya para fungsional perencana di
bidang perencanaan baik perencanaan makro, sektoral, dan regional pembangunan
nasional. Upaya Bappenas tersebut selaras dengan wacana pengalihan jabatan
eselon III dan IV ke jabatan fungsional yang telah disuarakan dalam berbagai
kesempatan oleh Kemenpan-RB, dan juga UU ASN yang secara filosofis hanya
mengenal eselonisasi hingga eselon II – eselonisasi yang diistilahkan sebagai
jabatan pimpinan tinggi. Dalam UU ASN, jabatan yang berorientasi pada
administrasi dimasukkan ke dalam jabatan administrasi, sedangkan jabatan yang
berorientasi pada fungsi dimasukkan ke dalam jabatan fungsional.(Setiawan,
2015)
2.6 Evolusi Model Birokrasi Dalam Pespektif Ekonomi

Model Webberian Model Patronase Model NPM

Menurut model Webberian, administrasi pemerintahan didasarkan atas


dokumen-dokumen tertulis, dan pengambilan keputusan merujuk pada aturan-
aturan yang didokumentasikan dan didasari kebiasaan

15
pelaksanaan suatu kegiatan sebelumnya. Model ini menekankan pentingnya
kendali terhadap input dan proses pengambilan kebijakan. Keberadaan aturan
yang terdokumentasi dengan baik memungkinkan mutasi pegawai tidak akan
mengganggu roda administrasi pemerintahan, sehingga membuat struktur
birokrasi lebih permanen dan stabil.

Berbeda dengan model patronase, pemisahan secara tegas dilakukan antara


pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan. Anggota legislatif bertindak sebagai
pembuat kebijakan dan pemerintahlah kemudian yang mengimplementasikan
kebijakan tersebut.

Model New Public Management (NPM). Terdapat tiga ciri utama dalam
model NPM yaitu :

1. Disagregasi (pemecahan hirarki-hirarki sektor publik)


Mengubah hirarki agar lebih datar (flat) yang diikuti dengan penyesuaian
sistem informasi dan manajerial. Contoh diagregasi dalam hal ini adalah
penghapusan dan pengalihan jabatan eselon III dan IV yang berorientasi
fungsi dan bukan administrasi menjadi jabatan fungsional yang ditunjang
oleh sistem informasi dan manajerial yang sepadan.
2. Kompetisi penyedia sumber daya internal
Menggantikan pengambilan keputusan berjenjang (hirarki) dengan
diversifikasi sumber-sumber penyedia input dan input antara dalam proses
internal organisasi dan persaingan yang sehat. Contohnya adalah dengan
mengurangi rantai komando dan melakukan pengalihan jabatan eselon III dan
IV ke jabatan fungsional yang bekerja berdasarkan merit system. Dengan
penetapan target kinerja, akan terdapat beragam output dari para pejabat
fungsional yang saling berkompetisi untuk memperoleh reward dari unit
organisasi - baik sebagai tim maupun perseorangan.

16
3. Skema remunerasi.
Beralih ke sistem insentif kinerja yang spesifik dan berbasis remunerasi
(diukur dengan uang atau ekivalen) sebagaimana telah dibuktikan
efektivitasnya pada sistem insentif bagi para profesional di sektor
swasta(Setiawan, 2015)

17
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Reformasi birokrasi bertujuan memberikan pelayanan sebaik- baiknya


kepada masyarakat, dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia,
sehingga bisa memberikan kesejahteraan dan rasa keadilan pada masyarakat
banyak. Di sisi lain birokrasi sangat sarat dengan banyak tugas dan fungsi, karena
tidak saja hanya terfokus kepada pelayanan publik, tetapi juga bertugas dan
berfungsi sebagai motor pembangunan dan aktivitas pemberdayaan.
Reformasi birokrasi dibutuhkan untuk menjamin terlaksananya reformasi di
bidang lain dalam suatu pemerintahan yang mengaplikasikan konsep administrasi
pembangunan. Oleh karena itu, tanpa mengabaikan reformasi di bidang lain
rekomendasi yang pertama harus dilakukan adalah reformasi birokrasi
yang meliputi kelembagaan dan ketatalaksanaan, sumber daya manusia,
dan pengawasan dalam melaksanakan tugas umum pemerintahan dan
pembangunan. Reformasi kelembagaan dilakukan melalui perampingan struktur
organisasi birokrasi, pemerintah di pusat dan daerah untuk menghindari tumpang
tindih pelaksanaan tugas dan fungsinya. Penyusunan organisasi yang didasarkan
pada analisis jabatan ini harus terus diupayakan. Oleh karena adanya tuntutan
yang mendesak dan harus dilakukan untuk mendorong proses percepatan
reformasi birokrasi, upaya-upaya khusus di bidang kelembagaan adalah
sebagai berikut :
1. Melakukan redefenisi kelembagaan birokrasi termasuk melakukan penataan
kelembagaan sesuai dengan standard operating procedure atau SOP.
2. Melakukan penerapan audit institusi.
3. Di bidang ketatalaksanaan perlu dipertimbangkan sistem rekrutmen dan
promosi pegawai sesuai dengan kecakapan dan kemampuannya dan dapat
diberhentikan jika bekerja secara buruk sebagaimana yang berlaku di lingkungan
swasta.

18
Selanjutnya, usaha untuk mendorong peningkatan kompetensi aparat birokrasi
pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, sebagai wujud profesionalisme
dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, harus memerhatikan tiga hal pokok di
bawah ini :
1. Peningkatan kesejahteraan aparat birokrasi pemerintah.
2. Peningkatan etika dan moral birokrasi pemerintah.
3. Peningkatan profesionalisme birokrasi pemerintah.

Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola Pemerintahan yang baik, dapat terwujud
apabila semua lapisan masyarakat turut berperan serta dalam upaya pemberharuan
diberbagai bidang khususnya dalam bidang pelayanan (birokrasi) pemerintah,
karena birokrasi pemerintah merupakan proses interaksi / hubungan antara
pemerintah dan masyarakat serta langkah awal dalam mencapai kemajuan suatu
negara dalam berbagai bidang. Dan yang terakhir, untuk mendorong perwujudan
pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN dapat pula diupayakan kepada
peningkatan pengawasan terhadap aparatur negara. Pengawasan ini dapat
dilakukan melalui audit internal maupun audit eksternal.

19
DAFTAR PUSTAKA

http://blochafauros.blogspot.com/2012/08/contoh-makalah-reformasi- birokrasi-
dan.html

http://makalahme02.blogspot.com/2013/05/contoh-makalah-reformasi- birokrasi-
di.html

https://www.google.co.id/search?
q=permasalahan+dan+solusi+dalam+reformasi+birokrasi&oq=permasalah
an+dan+solusi+dalam+reformasi+birokrasi&aqs=chrome..69i57j35i39j0l4.
21806j0j7&sourceid=chrome&ie=UTF-8

http://pemerintah.net/hambatan-dan-tantangan-reformasi-birokrasi/

Revitalisasi Administrasi negara reformasi birokrasi dan e-Governance. Editor


Falih Suaedi, Bintoro Wardiyanto.

20

Anda mungkin juga menyukai