Anda di halaman 1dari 12

Makalah

Perbedaan Birokrasi Klasik dan Birokrasi Modern

OLEH :
Siti Fazira Aranda
20042283
Fauzan Rezki Pratama
19042128

DOSEN :
Drs. M. Fachri Adnan, Ph.D

Jurusan Ilmu Administrasi Negara


Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Padang
2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kami
panjatkan puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayah-NyA
kepada kami sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk
masyarakat.
Makalah ini sudah kami susun dengan maksimal dan mendapat bantuan dari berbagai pihak
sehingga bisa memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan terimakasih
kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari segala hal tersebut, Kami sadar sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karenanya kami dengan lapang dada
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya ini bisa
memberikan manfaat maupun inspirasi untuk pembaca.
Padang, 5 April 2022
Isi
BAB I ...................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ................................................................................................................................. 4
A. Latar Belakang .......................................................................................................................... 4
BAB II .................................................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ................................................................................................................................ 6
A. Birokrasi Klasik ..................................................................................................... 6
B. Birokrasi Modern Kolonial (Beamtenstaat) ........................................................................... 6
C. Perbedaan Birokrasi Klasik dengan Birokrasi Modern .................................... 9
BAB II .................................................................................................................................................. 11
PENUTUP ............................................................................................................................................ 11
A. Kesimpulan .............................................................................................................................. 11
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat yang kehadirannya tidak


mungkin dapat dihindari. Birokrasi adalah sebuah konsekuensi logis bahwa negara memiliki
tujuan untuk mensejahterakan rakyatnya. Karena itu negara harus berperan aktif dan terlibat
langsung dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya, bahkan jika perlu negara yang memutuskan
apa yang terbaik untuk rakyatnya. Untuk itu negara harus membangun sistem administrasi
dengan tujuan melayani kepentingan rakyatnya dan lebih akrab kita dengar dengan istilah
birokrasi.

Berkenaan dengan upaya pelayanan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat, birokrasi


memiliki peranan yang lebih besar untuk mencapai tujuan ini. Semua yang terkait dalam
penyelenggaraan negara tidak terlepas dari konteks public service dan public affairs,
kebutuhan yang semakin kompleks mengharuskan birokrasi dikelola secara efisien dan
efektif.

Peran pemerintah yang strategis, akan banyak dibantu oleh birokrasi dalam
melaksankan tugas dan fungsinya. Tantangan terbesar yang dihadapi birokrasi adalah
bagaimana melaksanakan secara efektif dan efisien, karena selama ini birokrasi diidentikkan
dengan kinerja yang berbelit-belit, struktur yang gendut, penuh dengan korupsi dan
nepotisme, serta tidak ada standar yang pasti. Seharunya birokrasi dan demokrasi dapat
berjalan berdampingan yang akan melahirkan democratic governance yang dapat diartikan
sebagai akuntabilitas dan transparansi dalam pemerintahan mampun mengutamakan
kepentingan publik.

Reformasi birokrasi merupakan upaya penataan mendasar yang diharapkan dapat


berdampak pada perubahan sistem dan struktur. Sistem yang berkaitan dengan unsur dan
elemen saling mempengaruhi dan berkaitan mebentuk suatu totalitas. Perubahan pada satu
elemen dapat mempengaruhi elemen lain dan sistem itu sendiri. Struktur berhubungan dengan
tatanan yang tersusun secara teratur dan sistematis. Sedangkan perubahan sarana dan
prasarana, organisasi dan lingkungan dalam kerangka pencapaian tujuan efisiensi
penyelenggaraan organisasi pemerintah. Mustafa juga menjelaskan bahwa kegaggalan
birokrasi terjadi karena belum tercapainya tujuan reformasi birokrasi salah satu tujuannya
adalah menyelesaikan permasalahan yang muncul di sektor publik. Keterpilihan pejabat
politik yang dihasilkan dari pesta demokrasi tingkat lokal, pemilihan pemimpin secara
langsung oleh masyarakat yang menempatkan posisi rakyat sebagai kontrol.
Pada akhirnya birokrasi hidup untuk menjamin kepentingan relasi politik dan
kepentingan kelompok, yang mengakibatkan meningkatnya tingkat korupsi, masyarakat tidak
care terhadap birokrasi. Malkepemimpinan kepala daerah sering terjadi diberbagai daerah,
yang seringkali terjadi setelah dalam Pilkada adalah bagaimana membagi kekuasaan sesuai
dengan perjanjian politik yang disepakati dalam proses pencalonan pemimpin lokal dengan
kata lain relasi politik dalam Pilkada.kepala daerah terpilih dan dilantik. Agenda kerja yang
utama adalah bagaimana memilih pembantunya sesuai dengan keinginan dari pemimpin
tersebut. Fenomena mutasi dan promosi jabatan yang menjadi tren yang tidak dapat dihindari
diberbagai daerah. Sejalan dengan kemenangan pemimpin lokal

A. Rumusan Masalah

Bagaimana perbedaan birokrasi klasik dengan birokrasi modern.

B. Tujuan Masalah

Mendeskripsikan bagaimana perbedaan birokrasi klasik dengan birokrasi modern.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Birokrasi Klasik

Birokrasi di Indonesia telah ada sebelum kedatangan Belanda yang ditandai dengan
adanya kekuasaan pemerintahan di era kerajaan seperti Majapahit, Sriwijaya, dan sebagainya.
Di masa ini, struktur sosial masyarakat secara umunya terbagi ke dalam beberapa golongan
yaitu kelas abangan, santri dan priyayi. Abangan dan santri adalah masyarakat yang berada di
luar struktur organisasi birokrasi, sedangkan kaum priyayi adalah elit yang ada dalam
organisasi birokrasi. Sedangkan Priyo membagi kelas ini ke dalam dua golongan, yaitu kelas
yang memerintah dan kelas yang diperintah (Priyo Budi Santoso, 1995:38). Kelas yang
memerintah ini terdiri dari kaum aristokrat (priyayi) yang mempunyai hubungan kekerabatan
dengan penguasa dan telah ditanamkan pada diri mereka untuk memberikan ketaatan dan
kesetiaan hanya kepada penguasa (Donald K. Emerson, 1983:33).

Di samping kelas priyayi, dalam sistem birokrasi tradisional, administrasi juga berada
ditangan golongan kstaria dan ada kalanya diambil dari golongan elit religius yang
kedudukannya ditentukan oleh keinginan pihak yang berkuasa ( Anak Agung Gde Putra
Agung, 2001:122). Pada tingkat lokal, tidak ada perbedaan dengan birokrasi yang berada
dipusat, di mana para birokrat juga didominasi oleh keluarga kaum aristokrat yang diwarisi
secara turun temurun dan mereka ini menjadi bupati ataupun para pembesar di daerah (Media
Akademika, 2011:97). Selain itu, rekrutmen pegawai birokrasi dan promosi jabatan tidak
ditentukan oleh kemampuan birokrat, tetapi ditentukan oleh hubungan kekerabatan dengan
penguasa. Para kerabat dekat raja akan mendapatkan jabatan penting di dalam sistem
pemerintahan, baik itu menjadi menteri ataupun jabatan-jabatan tinggi lainnya, sedangkan
birokrat lainnya harus bersaing secara individu untuk dapat dekat dengan penguasa agar
memperoleh jabatan tinggi di dalam struktur hierarki organisasi birokrasi. Gambaran birokrasi
seperti ini disebut oleh Weber sebagai birokrasi patrimonial (Media Akademika, 2011:98).

B. Birokrasi Modern Kolonial (Beamtenstaat)

Belanda masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-16, birokrasi di Indonesia mulai mengalami
perubahan dari birokrasi tradisional ke birokrasi kolonial. Perubahan tersebut dimulai ketika
Belanda mulai mendirikan V.O.C (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada tahun 1603
yang tujuannya untuk memonopoli perdagangan dan pengeksploitasian sumber alam di
Indonesia. Berdirinya V.O.C pada awalnya memang tidak membawa pengaruh secara
langsung pada birokrasi kerajaan di Indonesia, namun semakin lama pengaruh mereka
semakin besar. V.O.C yang didirikan oleh Belanda setahap demi setahap mulai menguasai
sistem politik di Indonesia (D. Lombard, 2005:105).

Walaupun dari aspek politiknya V.O.C berhasil menguasai Indonesia, namun ternyata di
dalam tubuh V.O.C mengalami masalah administrasi yang genting yang berdampak pada
masalah keuangan perusahaan. Oleh itu, pemerintah Belanda berusaha untuk memperbaiki
sistem administrasinya di Hindia Belanda dengan mengirim Hermen Willem Daendels (1808-
1811) ke Batavia. Dalam reformasi V.O.C, Daendels menjalankan sistem administrasi yang
terpusat dan enggan untuk menjalin kerjasama dengan penguasa lokal. Beliau saat itu
bermaksud mensentralisasikan kekuasaan di Batavia dan mengkontrol sistem administrasi dan
keuangan yang masih dimonopoli oleh kerajaan dan kaum aristokrat (Media Akademika,
2011:98).

Namun belum lama Deandles memerintah, pada masa ini terjadi peralihan kekuasaan dari
Belanda ke Inggeris, pemerintah Inggeris menunjuk Thomas Stamford Rafles (1811-1816)
untuk menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda. Sebagaimana Daendles, Rafles juga
menjalankan polisi liberalisasi dan berusaha untuk menghapuskan sistem feodalisme yang
bertujuan untuk membangun sistem birokrasi yang handal dan dapat membawa keuntungan
lebih besar kepada kolonial. Hal ini karena elit priyayi dalam pandangan Rafles hanya
mengambil keuntungan untuk diri mereka sendiri dan tidak memperhatikan kepentingan
rakyat (Akhmad, 1998:90). Namun program yang dilakukan oleh Daendels dan Rafles
mengalami kegagalan, karena kuatnya penentangan dari raja-raja di tanah Jawa (Lombard,
2005:74).

Ketika Gubernur Jenderal G.A Baron van der Cappelllen (1818-1826) memerintah, beliau
juga melakukan reformasi di dalam birokrasi Hindia Belanda. Selain elit priyayi, penguasa
tanah juga ditarik sepenuhnya ke dalam struktur organisasi birokrasi dan mereka diberikan
digaji sebagaimana pegawai birokrasi lainnya. Sedangkan tanah yang mereka kuasai dulu
telah beralih ke tangan pengusahapengusaha bangsa Eropa. Pada tahun 1830, ketika Hindia
Belanda di bawah kuasa Gabenor Jeneral J. van de Bosch (1830-1833) telah terjadi perubahan
di dalam organisasi birokrasi, di mana van de Bosch mengintegrasikan sepenuhnya elit
priyayi ke dalam organisasi birokrasi kolonial yang disebut dengan nama Pangreh Praja.
Proses integrasi yang dilakukan oleh van de Bosch inilah awal terjadinya birokratisasi di
Indonesia, sebagaimana disebutkan oleh Evers bahwa “Colonial bureaucratization started in
Indonesia around 1830 with the new administration of Governor-General Van den Bosch and
the introduction of the cultivation system.”( Media Akademika, 2011:99).
Setelah berakhirnya kekuasaan van de Bosh, maka pada pertengahan abad ke 19, sedikit demi
sedikit hak istimewa kaum birokrat ini mulai dihapuskan oleh pemerintah Batavia. Upacara-
upacara untuk merekapun disederhanakan. Elit priyayi ini tidak lagi tampil sebagai pembesar,
tetapi hanya sebagai pegawai pemerintah. Mereka dididik dan sekolah-sekolah khusus dan
didirikan pula sekolah untuk anak-anak priyayi yang bertujuan untuk menggantikan
kedudukan orang tua mereka menjadi birokrat (Lombard, 2005:107).

Di mulai dari masa inilah birokrasi di Indonesia mengalami perubahan dari birokrasi
tradisional ke birokrasi modern. Namun birokrasi modern yang dibangun oleh kolonial masih
tetap menggabungkan sistem feudalisme, di mana mereka yang duduk menjadi elit birokrat
adalah elit priyayi. Kaum ini adalah kaum yang lebih maju dari kelompok politik ataupun
masyarakat lainnya, karena mereka mendapat pelatihan dan pendidikan di sekolah khusus
Belanda. Oleh itu, gambaran birokrasi di era kolonial ini menurut Evers tidaklah jauh dari apa
yang disebutkan oleh Weber tentang birokrasi patrimonial ataupun pandangan Parkinson.
Pada era ini juga menunjukkan bahwa percepatan birokratisasi dipengaruhi oleh munculnya
spesialisasi kerja, disiplin dan sebagainya yang bertujuan untuk mempercepat eksploitasi
sumber alam di kawasan Hindia Belanda.

Setelah terbentuknya birokrasi modern di era kolonial Belanda, maka pada saat itu mulai
terjadinya proses perekrutan aparat birokrasi oleh pihak kolonial. Di samping itu pula,
pangreh praja yang direkrut diberikan kekuasaan bukan hanya dari aspek administrasi tetapi
juga dari aspek politik. Tujuannya adalah untuk mengawasi pergerakanpergerakan yang
terjadi di dalam masyarakat dan menjadi jembatan penghubung antara pihak kolonial dengan
rakyat. Gambaran birokrat seperti ini disebut oleh Benda sebagai beamtenstaat (Media
Akademika, 2011:100).

Beamtenstaat merupakan strategi pemerintah Hindia Belanda dalam rangka menguasai dan
mengontrol daerah koloninya yang telah memiliki tradisi politik dan pemerintahan ala
kerajaan-kerajaan nusantara yang membentang sejak zaman pra-Hindu, Hindu dan Islam.
Beamtenstaat sesungguhnya adalah sebuah ruang dialog kebudayaan antara budaya nusantara
yang berorientasi pada sistem nilai magis-religius dengan budaya Barat yang rasional-sekuler
(Kayam, 1989, hlm. 14).

Beamtenstaat mengandaikan sebuah sistem pemerintahan yang apolitik yang terutama


mengandalkan dinamikanya pada birokrasi dan tidak pada kekuatan politik yang hidup dalam
masyarakat. Sistem birokrasi yang dibangun bersifat hirarkis dan berjenjang dengan
memanfaatkan elite ‘priyayi’, sebagai kelompok keturunan bangsawan, yang disulap menjadi
semacam ‘korps’ anggota birokrasi. Sebagai sebuah sistem birokrasi hibrid, beamtenstaat
tidak sepenuhnya bersifat rasional-hirarkis seperti model birokrasi Barat, tapi ia juga masih
mewarisi sistem patrimonial warisan tradisi Jawa.

Harry J. Benda memperkenalkan pengertian Beamtenstaat–negara sebagai mesin birokrasi


yang efisien, dengan penekanan kuat pada administrasi, keahlian teknis dan pembangunan
ekonomi; dan apolitik sifatnya–untuk menggambarkan negara-kolonial Belanda pada periode
akhir kekuasaannya di Indonesia.

Beamtenstaat tersebut adalah suatu alat, suatu instrument, dan suatu negara kolonialis dan
imperialis dengan tujuan utama untuk menempatkan negara taklukan tersebut sebagai bagian
taklukan dan suatu kerajaan besar dan menjadikannya salah satu sumber pendapatan kerajaan
(Kayam, 1989: 17).

Di mulai dari masa inilah birokrasi di Indonesia mengalami perubahan dari birokrasi
tradisional ke birokrasi modern. Namun birokrasi modern yang dibangun oleh kolonial masih
tetap menggabungkan sistem feudalisme, di mana mereka yang duduk menjadi elit birokrat
adalah elit priyayi. Kaum ini adalah kaum yang lebih maju dari kelompok politik ataupun
masyarakat lainnya, karena mereka mendapat pelatihan dan pendidikan di sekolah khusus
Belanda.

C. Perbedaan Birokrasi Klasik dengan Birokrasi Modern

Berdasarkan beberapa perbedaan yang telah terpaparkan, sebenarnya perbedaan yang


paling mendasar dari tradisional dengan modern. Terletak pada kekuatan organisasi mengatur
segala kegiatan yang akan terkoordinasi. Untuk saat ini, organisasi modern lebih cocok
berlaku. Dari pada organisasi tradisional, sebab organisasi tradisional dianggap kaku dan
kuno. Organisasi modern mudah mendapat penerimaan dari masyarakat, terutama generasi
milenial.Generasi milenial cendenrung tidak terlalu suka mendapat kekangan dan menyukai
kebebasan, sehingga organisasi modern akan lebih cocok. Sebab organisasi modern akan
melibatkan anggotanya dalam mengambil sebuah keputusan, hal tersebut tentu saja sangat
mendukung dengan kondisi generasi saat ini yang umumnya menyukai tantangan kebebasan.
Namun untuk tetap menjaga suatu organisasi, meskipun anggota ikut terlibat dalam
pengambilan sebuah keputusan harus tetap memperhatika aturan-aturan yang berlau. Fungsi
dari hal tersebut agar seluruh saran dan masukan yang terlontarkan oleh anggota tidak
langsung berlaku sebagai pengambilan keputusan, melainkan harus tetap memperhatikan
aturan yang berlaku dan tujuan apa yang hendak terwujud oleh organisasi. Organisasi
menurut jamannya memiliki pertumbuhan yang cukup signifikan sesuai dengan kondisi yang
ada, hal tersebut sangat menarik untuk dibahas. Pada suatu masa pasti memiliki keberagaman
pola pikir dan kondisi masyarakatnya pada umumnya akan mengalami peningkatan, untuk itu
suatu organisasi jika ingin bertahan harus ikut menyesuaikan dengan berkembangnya jamann.
Hal tersebut akan memberi kemudahan pada organisasi untuk tetap bertahan dari suatu masa
ke masa yang berikutnya. Demikian sedikit penjelasan seputar Organisasi. Tradisional dan
Modern. Berdasarkan pengertiannya dan beberapa contohnya. Pada dasarnya sebuah
organisasi akan terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan jaman. Sebab
organisasi yang baik harus dapat menjaga keberlangsungan organisasi untuk jangka yang
panjang, sehingga penyesuaian terhadap lingkungan sangat perlu agar tidak bersifat kaku dan
mengikat.
BAB II

PENUTUP

A. Kesimpulan

Birokrasi adalah instrimen penting dalam masyarkat modern yang kehadirannya tak mungkin
terelakkan. Eksistensi biroktasi ini sebagai konsekuensi logis dari tugas utama negara
“pemerintahan” untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat “social welfare”. Negara
dituntut terlibat dalam memproduksi barang dan jasa yang diperlukan oleh rakyatnya “public
goods and services” baik secara langsung maupun tidak.
Bahkan dalam keadaan tertentu negara yang memustuskan apa yang terbaik bagi rakyatnya,
untuk itu negara membangun sistem administrasi yang bertujuan untuk melayani kepentingan
rakyatnya yang disebut dengan istilah birokrasi.
DAFTAR PUSTAKA

http://digilib.unimed.ac.id/43801/6/9.%20NIM.%204173321004%20CHAPTER%20I.pdf
http://pustakamaya.lan.go.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/ZWU0NDNjMDQ4OTVhY2
E2ZWM4MWI5MWM4MmRjNGZlYmJkNTQ2OTA0Zg==.pdf
https://menpan.go.id/site/berita-terkini/strategi-sistem-pelayanan-publik-hadapi-era-vuca
https://populicenter.org/2021/11/11/birokrasi-pelayanan-publik-di-era-vuca/
https://jogja.idntimes.com/news/jogja/siti-umaiyah/guru-besar-ugm-birokrasi-perlu-menjadi-agile-
dan-inovatif-di-era-vuca/3

Anda mungkin juga menyukai