Anda di halaman 1dari 12

PEMBANGUNAN POLITIK DINASTI RATU ATUT CHOSIAH DI PROVINSI

BANTEN

A. PEMBAHASAN
1. Latar Belakang Masalah
Dialetika demokrasi Indonesia semenjak tahun 1980 yang ditandai dengan
runtuhnya rezim Soeharto berdampak pada munculnya berbagai model
pembangunan politik diberbagai daerah di Indonesia. Pembangunan politik sangat
menentukan perkembangan daerah yang baru mulai memiliki ototnomi.
Pembangunan politik yang cukup menarik untuk dicermati dari beberapa daerah di
Indonesia adalah pembangunan politik di Provinsi Banten. Titik awal
pembangunan politik di Provinsi Banten yang patut ditelaah adalah ketika tahun
2002 Banten berpisah dari Jawa Barat dan resmi menjadi provinsi sendiri sebagai
dampak dari desentralisasi di Indonesia.
Masyarakat Banten mengenal Tubagus Chasan Sochib atau yang biasa
dipanggil Abah Chasan sebagai tokoh yang paling berperan dalam berdirinya
Provinsi Banten. Tubagus Chasan Sochib merupakan tokoh jawara yang paling
disegani di Banten dan memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam sektor budaya,
sosial, dan ekonomi. Dalam kebudayaan masyarakat Banten, jawara memiliki
posisi yang paling kharismatik dan memiliki posisi yang setingkat raja karena dia
dikenal masyarakat sebagai ketua para jawara. Kejawaraan ini memiliki pengaruh
yang berdampak pada aspek ekonomi, terutama dalam ranah infrastruktur seperti
proyek pembanguna jalan dan gedung di Banten.
Pada awalnya Tubagus Chasan Sochib tidak terlalu dikenal dalam kancah
politik. Namun pasca munculnya isu desentralisasi menjadi dorongan untuk
Banten turut serta dalam pemekaran wilayah. Hal ini dijadikan momentum oleh
Tubagus Chasan Sochib memperkuat eksistensinya sebagai tokoh Banten
sekaligus melanggegkan bisnisnya dalam sektor infrasturktur. Dinasti politik ini
diawali dengan pencalonan anak dari Ratu Atut Chosiah sebagai calon wakil
gubernur Banten yang disandingkan dengan Hakamuddin Djamal, yang kemudian
digantiikan oleh Ratu Atut menajdi gubernur menggantikan Djamal yang saat itu
tersandung kasus korupsi. Ratu Atut menjadi gubernur untuk periode 2005-2007.
Sejak saat itulah pembangunan politik diansti keluarga ini mulai dirintis dan
dikembangkan kedalam berbagai sektor politik strategis di Bnaten. Dari
kemenangan dalam perebutan posisi nomor satu di Banten pada tahun 20117-2012
dan kembali terpilih ditahun 2012. Ratu Atut yang dibayangi oleh sosok ayahnya
berhasil membawa masuk keluarga dan kerabatnya dalam jabatan elit politij
pemerintahan Banten. Proses pembangunan politik dinasti ini begitu gemilang dan
berjalan mulus tanpa hambatan yang berarti. Kekuatan politik dinasti yang
dibangun mengakar dari tingkat pusat provinsi, kabupaten, kecamatan, bahkan
desa.
Kegemilangan pembangunan politik dinasti Ratu Atut sempat mengalami
pukulan pada tahun 2011. Hal ini dikarenakan ayah dari Ratu Atut, Tubagus
Chasan Sochib meninggal dunia dan membuat Ratu Atut sangat terpukul. Banyak
pihak yang meramalkan bahwa politik dinasti Ratu Atut akan runtuh karena tokoh
dibelakang layar yang selama ini menjadi figur andalan Ratu Atut sudah tidak ada.
Prediksi para pengamat politik akan runtuhnya diansti ratu atut seakan
mendapatkan kebenaran. Pada tahun 2013 ratu atut dan adiknya tubagus chairil
wardana berhasil ditangkap KPK atas kasus suap hakim Mahkamah Konstitusi,
Akil Mochtar, dan korupsi alat kesehatan.
Para pengamat politik berbicara mengenai potensi korupsi yag sangat besar
dalam lingkaran dinasti keluarga Ratu Atut. Disamping para pengamat politik ini
juga sedang membidik keluarga dan kerabat Ratu Atut di Banten akan kasus
korupsi dan pelanggaran etika politik. Namun pemilihan legislatif 2014 dan
pilkada serentak 2015 mematahkan berbagai prediksi para pakar dan pengamat
politik. Kerabat ratu atut berhasil terpilih kembali dan seolh tidak terjadi apa-apa
pada tahun 2013.

2. Identifikasi Masalah
Permasalahan dalam penulisan makalah ini dapat diidentifikasi
permasalahannua sebagai berikut:
3. Pembatasan Masalah
Agar penulisan makalah ini lebih terarah, terfokus, dan menghindari
pembahasan menjadi terlalu luas, maka penulis perlu membatasinya. Adapun
batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Pembahasan mengenai dinasti politik pada masa kepemimpinan Ratu
Atut.
b. Pemaparan mengenai strategi Ratu Atut dalam mempertahankan poltik
dinastinya.
c. Analisis kasus dinasti Ratu Atut dalam Etika Administrasi Negara.
4. Rumusan Masalah
a. Bagaimana dinasti politik di Provinsi Banten pada masa kepemimpinan
Gubernur Ratu Atut?
b. Bagaimana strategi Ratu Atut dalam mempertahankan politik dinastinya?
c. Bagaimana pandangan kasus dinasti politik Ratu Atut dalam Etika
Administrasi Negara?
B. KAJIAN PUSTAKA
1. Dinasti Politik

Pablo Querubin (2010) mendefinisikan dinasti politik sebagai sejumlah kecil


keluarga yang mendominasi distribusi kekuasaan dalam area geografis tertentu. Mark
R. Thompson (2012) menjelaskan dinasti politik hanya sebagai jenis lain dari
transisi (peralihan) kekuasaan politik, langsung maupun tidak langsung, yang
melibatkan anggota keluarga. Definisi ini tidak jauh berbeda dengan yang
dirumuskan Yasushi Asako dkk (2012) yang mendefinisikan dinasti politik secara
sederhana sebagai sekelompok politisi yang mewarisi jabatan publik dari salah
satu anggota keluarga mereka.

Kebangkitan dinasti politik, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak hasil studi


yang dilakukan para ahli di berbagai negara memang memiliki hubungan sangat
erat dengan kepentingan keluarga atau politik kekerabatan. Dalam studi Eisenstadt
S.N. dan Roniger Luis (1984) dikemukakan, bahwa pemberian prioritas kepada
anggota keluarga dan kerabat dalam kehidupan politik itu didasarkan pada 4
(empat) argumentasi, yakni:
1) Kepercayaan (trusty), maksudnya bahwa keluarga atau kerabat lebih dapat
dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti yang lazim dilakukan politisi
pemburu kekuasaan.
2) Kesetiaan (loyality), bahwa kerabat akan jauh memiliki loyalitas tinggi
dalam konteks menjalankan semua tugas politik terutama dalam hal
menjaga wibawa dan kehormatan kerabat besar ketimbang orang lain.
3) Solidaritas (solidarity), artinya kerabat dipastikan jauh memiliki tingkat
solidaritas yang tangguh terutama dalam menolong klan keluarga besar
dari kebangkrutan kekuasaan dan kekayaan ketimbang mereka yang bukan
dari kalangan kerabat.
4) Proteksi (protection), hal ini terkait dengan kepentingan mempertahankan
gengsi dan kehormatan keluarga besar. Mereka yang berasal dari klan
yang sama akan cenderung mampu menjaga apa yang telah dimiliki
keluarga ketimbang orang lain.

Leo Agustino (2014) melihat, bahwa praktik dinasti politik memberi


pengaruh buruk pada pembangunan sosial-politik dan sosial-ekonomi, karena
peluang politik dan ekonomi setiap warga negara menjadi amat terbatas sebab
dimonopoli oleh penguasa serta keluarga dan para kerabatnya.

2. Korupsi

Korupsi berasal dari kata latin corrumpere, corruptio atau corruptus yang artinya
penyimpangan dari kesucian, tindakan tak bermoral, kebejatan, kebusukan,
ketidakjujuran atau kecurangan.

Dalam kamus bahasa Indonesia yang terbaru dapat ditemukan bahwa korupsi
berarti penyelewengan atau penggelapan (uang negara, perusahaan dan sebagainya)
untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Terdapat 2 macam korupsi yaitu korupsi
uang dan korupsi waktu.

Dirumuskan pula tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi:

1) Setiap perbuatan diapapun untuk kepentingan diri sendiri, orang lain


atau suatu badan yang langsung menyebabkan kerugian bagi keungan
dan perekonomian negara
2) Setiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima
gaji dari keungan negara ataupun dari suatu badan yang menerima
bantuan dari keungan negara atau daerah yang dengan mempergunakan
kesempatan atau kewenanga ataupun kekuasaan yang secara langsung
maupun tidak membawa keuntungan atau material baginya

Istilah lain yang biasanya dihubungkan dengan korupsi adalah manipulasi yang
berarti memainkan, menggunakan, menyelewengkan atau mendalangi. Nepotisme
juga punya kaitan erat dengan korupsi merkipun istilah ini kurang mendapatkan
perhatian yang memadai dari para penulis masalah korupsi. Nepotisme adalah usaha-
usaha yang disengaja oleh seoraang pejabat denga memanfaatkan kedudukan dan
jabatannya untuk menguntungkan posisi, pangkat, dan karier diri sendiri, famili dapat
berupa kewenangan, pangkat, kesempatan atau keuntungan material.

Menurut Robert C. Brooks, terdapat 7 jenis korupsi yaitu :

1) Korupsi atraktif : adanya kesepakatan timbal-balik antara pihak


pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan
secara aktif mereka mengusahakan keuntungan tersebut.
2) Pemerasan : dimana pihak pemberi dipaksa menyerahkan uang suap
untuk mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya.
3) Defensif : perilaku korban korupsi dengan pemerasan, jadi korupsinya
dalam rangka mempertahankan diri.
4) Investif : pemberian barang atau jasa tanpa memperoleh keuntungan
tertentu, selain keuntungan yang masih dalam angan-angan.
5) Nepotisme : korupsi kekerabatan meliputi penunjukan secara tidak sah
terhadap sanak saudara untuk emnduduki jabatan dalam pemerintahan.
6) Otogenik : korupsi yang pelakunya hanya satu orang saja.
7) Korupsi dukungan : yang dilakukan untuk melindungi atau
memperkuat korupsi yang sudah ada maupun yang akan dilaksanakan.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Dinasti Politik pada masa Gubernur Ratu Atut di Provinsi Banten

Awal mula kemunculan fenomena dinasti politik di Banten dimulai sejak Ratu
Atut Chosiyah naik posisi dari Wakil Gubernur menjadi Pelaksana Tugas (Plt)
Gubernur pada tahun 2005, menggantikan Djoko Munandar, Gubernur Banten
definitif pertama pasca provinsi yang diberhentikan karena kasus korupsi dana
perumahan anggota DPRD Banten. Namun demikian, sinyal dan potensi ke arah
terbentuknya dinasti politik sebetulnya sudah mulai tampak sejak Pilgub pertama
tahun 2001.

Sinyal dan potensi itu paling tidak, tampak pada dominasi Tb. Chasan Sochib,
ayahanda Ratu Atut, dengan kekuatan jaringan jawaranya yang mendominasi jalannya
proses perhelatan Pilgub pada waktu itu. Kurang lebih setahun setelah menjabat
sebagai Plt Gubernur Banten, tahun 2006 Pilgub Banten kedua yang untuk pertama
kalinya dilaksanakan secara langsung digelar. Ratu Atut kemudian maju sebagai calon
Gubernur didampingi Masduki, dan terpilih. Sejak menjadi orang nomor satu di
Banten inilah, satu per satu anggota keluarga besar Ratu Atut masuk ke arena politik
praktis, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif di berbagai tingkatan lembaga
perwakilan. Diawali oleh Airin Rachmi Diany yang maju dalam Pilkada Kabupaten
Tangerang tahun 2008 sebagai calon Wakil Bupati mendampingi Jazuli Juwaini
(politisi PKS). Airin adalah adik ipar Ratu Atut; isteri Tb. Chaeri Wardana. Pada
waktu itu pasangan mereka dikalahkan pasangan petahana, Ismet Iskandar-Rano
Karno. Pada tahun ini juga adik tiri Atut, Tubagus Haerul Jaman, maju sebagai calon
Wakil Walikota Serang berpasangan dengan Bunyamin dan menang.

Tidak sampai tiga tahun kemudian, Jaman naik menjadi Walikota Serang,
menggantikan Bunyamin yang meninggal dunia. Pada Pilkada Kota Serang tahun
2013, Jaman kembali maju dan menang. Tahun 2010, giliran adik kandung Ratu Atut,
Ratu Tatu Chasanah, mengikuti Pilkada Kabupaten Serang sebagai calon Wakil
Bupati Serang 2010-2015 mendampingi Taufik Nuriman dan terpilih. Pada tahun
2010 ini juga, Airin yang gagal di Pilkada Kabupaten Tangerang tahun 2008, kembali
maju pada Pilkada Kota Tangerang Selatan sebagai calon Walikota. Berpasangan
dengan Benyamin Davnie, Airin akhirnya terpilih sebagai Wali Kota Tangerang
Selatan 2011-2015. Tahun 2011, Heryani, ibu tiri Ratu Atut, juga tak ketinggalan. Ia
maju sebagai calon Wakil Bupati Kabuapaten Pandeglang periode 2011-2016
mendampingi Erwan Kurtubi dan terpilih. Pada tahun ini pula Ratu Atut kembali
mencalonkan diri sebagai Gubernur Banten didampingi Rano Karno. Untuk kedua
kalinya, Ratu Atut terpilih sebagai Gubernur Banten periode 2012-2017, hingga
akhirnya datanglah malapetaka itu: Ratu Atut divonis 4 tahun (kemudian diperberat
menjadi 7 tahun oleh MA) karena terbukti melakukan penyuapan terhadap Akil
Mochtar untuk memenangi gugatan PHPU Pemilukada Lebak tahun 2013 bersama
Wawan yang divonis 5 tahun penjara oleh Majelis Hakim Tipikor.

Berikut ini adalah nama-nama keluarga yang dilibatkan dalam dinasti di Arena
Eksekutif dan Legislatif Era Kepemimpinan Gubernur Banten Ratu Atut 2006-2013:

No Nama Jabatan Eksekutif Jabatan Hubungan


Legislatif Keluarga
1 Tb. Khaerul Jaman Wakil Walikota Serang - Adik
2 Airin Rachmi Diani Walikota Tangsel Adik Ipar
3 Tatu Chasanah Wabup Serang Adik
4 Heryani Wabup Pandenglang Ibu tiri
5 Hikmat Tomet - Anggota DPR Suami (Alm)
RI
6 Andika Hazrumy - Anggota DPR Anak
RI
7 Ade Rossi Ch - Anggota DPRD Menantu
Kota Serang
8 Ratna Komalasari - Anggota DPRD Ibu tiri
Kota Serang
9 Aden A kholik - Anggota DPRD Adik ipar
Provinsi Banten
Berikut ini adalah nama-nama Keluarga Dinasti di Kadin Provinsi Banten Era
Kepemimpinan Gubernur Banten Ratu Atut 2006-2013 :

No Nama Jabatan Hubungan


Keluarga
1 Tb. Chaeri Wardana Ketua Umum Adik
2 Hikmat Tomet Ketua Dewan Suami (Alm)
3 Ratu Tatu Chasanag Anggota Dewan Penasihat Adik
4 Tb. Khaerul Jaman Anggota Dewan Penasihat Adik
5 Aden Abdul Khalik Anggota Dewan Penasihat Adik Ipar
6 Ratu Lilis Karyawati Wakil Ketua Umum Bidang Adik tiri
Perikanan dan Kelautan
7 Ratu Ella yatibi Wakil Ketua Umum Bidang Sepupu
Perkebunan dan Kehutanan
8 Ratu Wawat Cherawati Komite Tetap Pengolahan dan Adik tiri
Pemanfaatan Limbah Industri
Pertambangan

9 Ratu Heni Chendrayani Ketua Komite Tetap Asurasi Adik tiri


Kendaranaan

b. Strategi Ratu Atut dalam mempertahankan Dinasti politiknya


Keberhasilan Ratu Atut mengembangkan dinasti politiknya di berbagai ranah
politik di Banten tidak terlepas dari dukungan politik massa, jejaring yang
dimiliki, serta modal materi (sumber daya finansial) yang dimiliki Ratu Atut dan
keluarga besarnya. Dukungan publik itu berasal dari berbagai elemen masyarakat
Banten, mulai dari kalangan jawara, pengusaha, politisi, birokrat, para kyai,
pimpinan Ormas dan aktifis LSM, bahkan juga dari kalangan intelektual kritis di
kampus-kampus. Berikut ini adalah beberapa strategi politik yang dilakukan Atut
untuk merawat dukungan publik dan loyalitas jejaringnya dalam mempertahankan
dan memperluas kekuasaan dinastiknya:

1) Kontrol terhadap birokrasi melalui proses dan mutasi para pejabat di


lingkungan Pemprov Banten. Selama era kepemimpinan Gubernur Ratu
Atut proses rekruitmen di lingkungan birokrasi praktis lebih didasarkan
pada performa kedekatan dan loyalitas pejabat yang bersangkutan daripada
prinsip meritokrasi dan profesionalitas. Salah satu tolok ukur kedekatan
dan loyalitas itu dipetakan pada saat perhelatan pemilu atau pilkada.
Pejabat yang loyal dan turut membantu proses pemenangan kontestasi
akan mendapat prioritas ketika kebijakan mutasi atau rotasi jabatan
birokrasi dilakukan. Tolok ukur lain adalah kepatuhan yang nyaris mutlak
seorang pejabat kepada Ratu Atut.
2) Menguasai asosiasi-asosiasi bisnis (KADIN dan GAPENSI),
organisasiorganisasi sosial dan pendidikan (PMI, Tagana, Himpaudi),
organisasi olahraga dan kepemudaan (KONI, KNPI, Karang Taruna). Cara
ini dilakukan dengan menempatkan anggota keluarga sebagai pimpinan
atau pengurus pada ormas dan/atau asosiasi bisnis itu. Dengan posisi
tersebut, anggota keluarga Ratu Atut memiliki peluang dan kesempatan
untuk sewaktu-waktu menduduki jabatan strategis lain, terutama dalam
mencapai kedudukan sebagai kepala daerah. Dalam praktiknya,
penempatan anggota keluarga di ormas dan asosiasi bisnis ini memang
menjadi batu loncatan para anggota dan kroni Ratu Atut untuk menduduki
posisiposisi penting di lembaga legislatif dan eksekutif, atau sebaliknya.
3) Mengkooptasi elemen-elemen masyarakat sipil lainnya seperti partai
politik, ormas, asosiasi pendidikan, LSM, pers, kampus, pesantren, dll)
dengan memberikan kucuran dana (hibah APBD maupun dana pribadi)
dan bansos untuk kegiatan dan operasional pimpinan/pengurus dan
organisasinya, termasuk membiayai perjalanan ibadah haji dan umroh
sejumlah ulama dan tokoh masyarakat Banten.
4) Membeli suara para pemilih pada setiap pelaksanaan pemilu maupun
pemilukada melalui timses dan jejaring yang dibangunnya di seluruh
kabupaten dan kota di Banten. Praktik money politics ini dilakukan
dengan beragam cara dan melalui berbagai jaringan yang berhasil
dikooptasi bahkan dikendalikan, selain tentu saja melalui tim sukses
dan/atau organ yang dibentuk khusus untuk memenangkan para kandidat
dari lingkungan keluarga Ratu Atut pada setiap pemilu atau pilkada.

Selain kemampuan mensinergikan dukungan politik massa, jejaring dan


strategi politik yang dimainkannya sebagaimana diuraikan di atas, keberhasilan
Ratu Atut mengokohkan, memperluas dan mengembangkan dinasti politiknya
juga dimungkinkan oleh ketersediaan modal materi (sumber daya finansial) yang
dimilikinya. Dengan topangan kekuatan materi inilah pula, berbagai strategi
politik di atas itu dijalankan, terutama strategi penguasaan asosiasi bisnis dan
organisasi sosial-kemasyaratan, kooptasi elemen-elemen masyarakat sipil serta
membeli suara pemilih pada setiap pemilu maupun pilkada.

c. Pandangan Kasus dinasti politik Ratu Atut dalam Etika Administrasi


Negara.

Efek birokratisasi merupakan salah satu sumber penyebab korupsi di


kebanyakan negara berkembang. Karena lahan atau sumber penghasilan yang bisa
digali pegawai itu terbatas maka terdoronglah untuk melakukan tindakan ilegal.
Struktur birokrasi yang berorientasi ke atas juga menjadi penyebab banyaknya
penyelewengan. Yang menjadi masalah adalah jika semua pejabat hanya bertugas
melapor kepada eksekutif puncak, siapa yang akan mengawasi eksekutif puncak
itu sendiri? Jika lembaga legislatif maka seberapa efektif lembaga tersebut?

Seperti kasus dinasti politik Ratu Atut, yang membawa seluruh sanak
keluarganya untuk memiliki jabatan di dalam pemerintahan. Kasus tersebut dapat
digolongkan dalam kasus korupsi nepotisme. Korupsi nepotisme atau korupsi
kekerabatan meliputi penunjukan secara tidak sah terhadap sanak saudara untuk
menduduki jabatan dalam pemerintahan. Orientasi yang dituju adalah sebagai
proses mematangkan jabatan sesuai dengan kedekatan kekerabatan atau keluarga.
Proses ini seringkali merupakan ajang pelanggengan sanak saudara untuk mengisi
jabatan di lingkungan kerja tertentu. Dalam Nepotisme ini juga dapat berdampak
kepada korupsi yang lain dapat juga suap, transaksi jabatan, bahkan korupsi dana
keuangan daerah secara masif dan terstruktur dengan modal kedekatan
kekerabatan.

Merujuk pada etika administrasi negara yang merupakan salah satu wujud
kontrol terhadap administrasi negara dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas
pokok, fungsi dan kewenangannya. Manakala administrasi negara menginginkan
sikap, tindakan dan perilakunya dikatakan baik, maka dalam menjalankan tugas
pokok, fungsi dan kewenangannya harus menyandarkan pada etika administrasi
negara. Etika administrasi negara disamping digunakan sebagai pedoman, acuan,
referensi administrasi negara dapat pula digunakan sebagai standar untuk
menentukan sikap, perilaku, dan kebijakannya dapat dikatakan baik atau
buruk.Karena masalah etika negara merupakan standar penilaian etika
administrasi negara mengenai tindakan administrasi negara yang menyimpang
dari etika administrasi negara (mal administrasi) dan faktor yang menyebabkan
timbulnya mal administrasi dan cara mengatasinya.

Law enforcement sangat membutuhkan adanya akuntabilitas dari birokrasi dan


manajemen pemerintahan sehingga penyimpangan yang akan dilakukan oleh
birokrat-birokrat dapat terlihat dan ter-akuntable dengan jelas sehingga akan
memudahakan law enforcement yang baik pada reinventing government dalam
upaya menata ulang manajemen pemerintahan Indonesia yang sehat dan
berlandaskan pada prinsip-prinsip good governance dan berasaskan nilai-nilai
etika administrasi.

Tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme bisa muncul kapan dan dimanapun
sepanjang jalan terjadi pertemuan antara niat dan kesempatan, seperti apa yang
telah dikemukakan terdahulu. Tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme bisa terjadi
baik pada birokrasi publik tingkat tinggi, menengah maupun rendahan. Oleh
karenanya untuk mencegah atau mengatasi tindakan korupsi, kolusi, dan
nepotisme pada tubuh birokrasi publik harus berupaya untuk tidak
mempertemukan antara niat dan kesempatan tadi. Salah satu upaya untuk
mencegah tidak bertemunya antara niat dan kesempatan tadi adalah menjunjung
tinggi dan menegakkan etika birokrasi pada jajaran birokrasi publik.

Nilai-nilai etika birokrasi tadi sebagaimana digambarkan diatas, jika betul-


betul sudah menjadi suatu “norm” yang harus diikuti dan dipatuhi bagi birokrasi
publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, maka akan dapat mencegah
timbulnya tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam tubuh birokrasi publik
kendatipun tidak ada lembaga pengawasan sebagaimana yang telah disebutkan
diatas. Namun diakui, bahwa etika birokrasi tersebut belum cukup untuk
menjamin tidak terjadi perilaku korup, kolusi dan nepotisme pada tubuh birokrasi.
Terdapat hal yang paling penting dan yang terpenting adalah kembali kepada
kepribadian dari masing-masing pelaku (manusianya). Dengan kata lain kontrol
internal dalam bentuk keimanan dan keagamaan yang melekat pada diri
manusianya. Mereka tidak akan melakukan tindakan korupsi, kolusi, dan
nepotisme manakala mereka mengetahui dan menyakini bahwa perbuatan tersebut
merupakan suatu tindakan yang tidak baik, tercela dan tidak terpuji terutama jika
dilihat dari nilai keyakinan dan keagamaan yang mereka anut. Dengan adanya
“kontrol internal” yang kuat pada diri manusia akan dapat mencegah. Munculnya
“niat” untuk melakukan tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme walau ada
kesempatan untuk melakukannya. Dengan bertumpu pada skala prioritas untuk
dapat mencegah timbulnya tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme perlu “kontrol
internal” yang kuat pada diri manusia yang dapat membentuk kepribadian yang
dilandasi oleh nilai-nilai keimanan dan keagamaan ,baru kemudian “etika
birokrasi“, dan yang terakhir adalah kontrol eksternal dalam wujudnya adanya
pengawasan, baik, pengawasan politik, fungsional, maupun pengawasan
masyarakat. Ketiganya harus dilaksanakan secara bersamaan agar KKN bukan
saja dapat dicegah namun dapat juga diberantas.

D. PENUTUP
Politik dinasti keluarga Ratu Atut dibangun oleh seorang tokoh besar bernama
Tubagus Chasan Sochib. Dalam perjalananya Tubagus Chasan Sochib melibatkan
hampir semua anggota keluarga dalam perolehan kursi politik pemerintah daerah.
Berbagai jabatan strategis mulai dari Bupati, DPRD, hingga gubernur dikuasai oleh
keluarga ini. Sempat muncul persepsi bahwa dinasti ini akan runtuh pasca
ditangkapnya Ratu Atut dan Tubagus Chairil Wardana oleh KPK terkait kasus suap
Ketua Mahkamah Konstitusi, Aqil Mochtar, namun persepsi tersebut terbantahkan.
Politik dinasti ini terbukti masih suistanable dengan terpilihnya kembali anggota
keluarga dalam pemilihan legislatif dan pemilihan kepala daerah Banten pada tahun
2014-2015.

E. DAFTAR PUSTAKA

Iwan K Hamdan, “Berhala politik : Esai Praktek Pemerintahan Daerah di Banten”.


2008.
Laporan penelitian UIN Sunan Gunung Djati, Jawara dan Ulama: Studi Tentang
Hubungan Sosial dan Peranan Elit Tradisional Dalam Masyarakat Ciomas, Banten,
Uin Sunan Gunung Djati Press:1995.
https://www.researchgate.net/publication/319854561_Gejala_Proliferasi_Dinasti_Poli
tik_di_Banten_Era_Kepemimpinan_Gubernur_Ratu_Atut_Chosiyah
(Diakses pada tanggal 4 desember 2017 pukul 11.00)
https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jpi/article/download/9329/6436
(Diakses pada tanggal 4 desember 2017 pukul 11.20)

https://nasional.tempo.co/read/540196/begini-riwayat-atut-bangun-dinasti
(Diakses pada tanggal 4 desember 2017 pukul 12.00)

http://nasional.kompas.com/read/2013/12/21/0945086/Dinasti.Atut.Benar-
benar.Runtuh
(Diakses pada tanggal 4 desember 2017 pukul 12.30)

Anda mungkin juga menyukai