Anda di halaman 1dari 3

Cairnya Politik Kita

Oleh : Randi Syach Hadinata


Peneliti Muda Spektrum Politika Institute
Rasa-rasanya tidak ada orang waras di republik ini yang tidak sepakat bahwa dinamika politik
yang terjadi akhir-akhir ini kepalang mencela nalar. Pasalnya, selain disuguhkan kepada praktik nepotisme
yang secara vulgar menampilkan perselingkuhan politik antara lembaga yudikatif dengan eksekutif, kita
juga dihadapkan dengan kebingungan yang membuat kita bertanya: apa sih yang sedang terjadi?. Lahirnya
putusan MK terkait syarat Capres dan Cawapres untuk maju di pilpres 2024 yang menyatakan usia paling
rendah adalah 40 tahun dan atau pernah/sedang menduduki jabatan kepala daerah, yang kemudian
disambut oleh pengusungan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres dari Koalisi Indonesia Maju,
menunjukan bahwa hal ini sudah diatur sedemikian rupa oleh “tangan-tangan perkasa” agar putusan ini
bisa berjalan mulus.

Kita bisa sebut bahwa nepotisme adalah watak alamiah elite dalam menjalankan republik ini, dari
masa orde baru hingga pasca reformasi ,praktik semacam ini bisa dengan mudah kita temui baik di tingkat
daerah maupun pusat. Namun dalam konteks demokrasi, mewajarkan putra sulung presiden yang tengah
menjabat sebagai Cawapres berikutnya apalagi sampai mengobrak-ngabrik Mahkamah Konstitusi yang
berfungsi sebagai penjaga gawang konstitusi, merupakan sebuah preseden yang buruk bagi
keberlangsungan demokrasi republik ini ke depannya.

Berdaulatnya ketiga pilar trias politica (eksekutif,legislatif, dan yudikatif) atas dirinya masing-
masing adalah harga mati. Ia tak bisa ditawar, sebab mekanisme check and ballance dari ketiga pilar
tersebut merupakan privilage dari menganut sistem demokrasi. Apabila salah satunya pincang, atau
diperalat demi kepentingan politik praktis agar seolah olah terlihat tetap konstitusional, maka siap siap
saja menuju kemunduran demokrasi.

Dalam spektrum lain, gonjang-ganjing terkait pilpres ini, sebenarnya mengindikasikan betapa
cairnya politik kita. Jika diibaratkan film, maka pilpres 2024 adalah film yang memiliki plot twist. Siapa
yang menyangka kalau kita tarik ingatan kepada pilpres 2014 dan 2019, di mana keterbelahan publik
begitu jelas dirasakan akibat perseteruan antara Jokowi Vs Prabowo, lalu sekarang, tiba-tiba entah
keajaiban apa yang terjadi: kedua pihak mendadak berada di kolam yang sama begitu saja.

Ontrang-antring politik juga terjadi di kelompok lainnya. Misalnya, Partai Demokrat yang
sebelumnya berada dalam barisan Koalisi Perubahan, memilih keluar barisan setelah Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) bergabung ke dalam koalisi. Partai Demokrat kecewa karena Koalisi Perubahan lebih
memilih Cak Imin ketimbang AHY sebagai Cawapres. Fenomena ini kemudian menjustifikasi bahwa
tidak ada lawan dan kawan yang abadi dalam politik selain kepentingan.

Centang perenang kondisi politik yang sedang terjadi merupakan implikasi dari cairnya dinamika
politik di ranah elite. Fenomena politik sebentar menjadi lawan sebentar menjadi kawan ini sebenarnya
hanyalah gejala dari rusaknya sesuatu yang lebih fundamental, yaitu partai politik. Akrobat politik para
elite setidaknya bisa diminimalisir seandainya partai politik menjalankan fungsinya dengan
benar.Mengapa demikian? Apa pentingnya partai politik? Dan apa yang rusak dari partai politik?

Begini, baik buruknya kualitas demokrasi suatu negara ditentukan oleh kualitas partai politiknya.
Mereka memainkan peran yang fundamental dalam menjaga demokrasi. Karena sebagai representasi
rakyat di dalam suatu sistem perwakilan, partai politik tentu membawa kehendak rakyat untuk menuju
kehidupan bernegara yang lebih baik. Dalam teorinya, partai politik adalah sarana formal bagi rakyat
untuk masuk ke dalam sistem politik.

Partai politik lahir dari kesadaran rakyat badarai bahwa aspirasi mereka akan lebih massif dan bisa
diterima di dalam sistem bila mereka mengorganisir diri. Singkatnya, partai politik adalah milik rakyat
dan sudah seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat. Namun, yang terjadi di Indonesia adalah
partai politik justru dibajak dari rakyat oleh elite. Rakyat kemudian hanya dijadikan objek politik sebagai
lumbung suara dalam pemilu. Segala cara dilakukan untuk menang dalam pemilu, bahkan jika harus
menegasikan nilai-nilai dan ideologi yang mereka miliki.

Partai politik kini hanya berorientasi kepada kekuasaan. Mereka satu sama lain saling membentuk
koalisi pelangi tidak peduli seberapa dalam jurang perbedaan nilai-nilai dasar yang mereka miliki.
Akibatnya, siapa saja bisa menjadi kawan dan menjadi lawan dalam sekejap. Meskipun publik bingung
dengan sikap mereka, ini tidak jadi soal. Apapun akan dilakukan demi kekuasaan. Praktik inilah yang
tengah kita saksikan, di mana partai politik seharusnya menjadi penjaga pintu antara yang benar dan yang
batil, alih-alih justru menjadi aktor utama menciptakan kesemrawutan politik.

Kita ambil contoh kepada kondisi politik pasca pemilu 2019. Di mana, partai-partai yang
tergabung di Koalisi Indonesia Adil Makmur seharusnya menjadi oposisi agar adanya check and ballance
kekuasaan terhadap koalisi yang menang pemilu. Tetapi Gerindra malah bergabung ke dalam kabinet dan
mengecewakan pendukungnya. Padahal, partai politik lah yang seharusnya mengawasi kinerja lembaga-
lembaga negara agar tetap memiliki integritas dan berjalan sesuai tupoksinya.

Merekalah yang seharusnya mencegah lobi-lobi politik yang menyengsarakan rakyat. Merekalah
yang seharusnya memberikan pendidikan politik kepada rakyat dan menjadi pelopor utama dalam
menciptakan politik yang berbasiskan kepada gagasan. Meminjam istilah Dan Slater, seorang ilmuwan
politik, partai politik di Indonesia didominasi oleh partai kartel yang identik dengan keinginan bersama
untuk bagi-bagi jatah jabatan alih-alih perbedaan ideologi atau kebijakan. Partai tidak lagi mewakili
konstituennya di parlemen, tetapi malah semakin berlomba-lomba mengakses sumber daya baik ekonomi
maupun politik agar status quo yang mereka miliki tetap terjaga.

Lemahnya penerapan ideologi atau bahkan partai politik terkesan tidak memiliki ideologi sama
sekali, juga berimplikasi kepada rusaknya pelembagaan partai politik. Ideologi sebagai pedoman utama
bagi parpol dalam menjalankan lembaganya dianggap tidak penting sebab ke-khasan corak ideologi
dianggap menghambat manuver parpol ketika mengonsolidasikan kekuasaan. Selain itu pengaburan
ideologi sengaja dilakukan agar partai politik menjadi semakin inklusif sehingga bisa meraih dukungan
dari berbagai macam tipe pemilih.

Inilah mengapa saya katakan bahwa partai politik lah yang bertanggung jawab terhadap centang
perenang kondisi politik yang kita hadapi. Sebab, semua ini terjadi akibat lobi-lobi politik yang mereka
lakukan, juga keabaian mereka dalam membina demokrasi. Saya pikir, jika kita masih ingin demokrasi
berumur panjang, maka sudah saatnya kita mendorong reformasi di tubuh partai politik demi mencegah
praktik partai kartel dan penyelewengan ideologi terjadi di masa depan. Cairnya politik ini tidak akan
memberikan kita apa-apa selain persengkokolan demi persengkokolan yang akan terus terjadi~

Anda mungkin juga menyukai