Anda di halaman 1dari 2

TRANSAKSI PIKIRAN, BUKAN POLITIK TRANSAKSIONAL

Oleh : Imannul Yakin

Dalam kehidupan politik kita akhir-akhir ini, kita kekurangan pikiran, kelebihan ambisi dan
kekuasaan. Padahal kemewahan dalam bernegara adalah ketika terjadi transaksi pikiran.
_Rocky Gerung_

Design sistem politik Indonesia yang tertuang dalam UUD 1945 menghendaki adanya transaksi
pikiran antara negara dan warga negara. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa,
negara Indonesia adalah negara demokrasi yang berkedaulatan rakyat serta dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar. Pasal tersebut mengkonfirmasi bahwa dalam setiap proses
politik harus terlibat di dalamnya rakyat sebagai pemilik kedaulatan, bukan berdasarkan pada
kekuasaan semata. Di sinilah ide transaksi pikiran itu terjadi.
Selain mengonfirmasi adanya transaksi pikiran dalam rezim politik Indonesia, pasal tersebut
juga menurunkan berbagai peraturan pokok dalam menjalankan sistem politik yang demokratis.
Peraturan-peraturan tersebut di antaranya adalah peraturan mengenai sistem pemilihan umum
presiden dan legislatif, serta sistem pemilihan kepala daerah. Sistem pemilihan umum di-desing
melalui UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, sementara sistem pemilihan kepala
daerah diatur dalam UU No. 1 Tahun 2015, Jo. UU No. 8 Tahun 2015, Jo. UU No. 10 Tahun
2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Satu nafas baru yang kemudian lahir dari peraturan-peraturan tersebut adalah adanya
pemilihan umum berkala yang dilakukan secara serentak. Tujuannya, mengefisiensi jumlah
pengeluaran negara dalam penyelenggaraan pemilu. Namun sayangnya, berbicara soal sistem
politik bukan sekedar berbicara seberapa besar ongkos yang dikeluarkan negara. Tetapi lebih
kepada bagaimana penciptaan iklim demokrasi yang kondusif yang ditandai dengan hadirnya
masyarakat yang melek politik.
Dalam mewujudkan suatu iklim politik yang kondusif dengan masyarakat melek terhadap politik
tersebut, tentunya harus ditempuh dengan melakukan suatu pendidikan politik yang efektif dan
efisien. Pada posisi inilah sesungguhnya partai politik sebagai sarana atau alat politik dapat
dimintai pertanggung jawabannya. Di mana partai politik harus mampu menjadikan masyarakat
melek terhadap politik, serta mencetak kader-kader berintegritas dalam menjalankan roda-roda
politik negara.
Namun, apa yang baru-baru ini terjadi dalam ranah politik kita seperti mengonfirmasi bahwa
dalam setiap pertarungan politik, partai politik menjadi dalang utama terjadinya berbagai
kebobrokan melalui suatu transaksi politik yang tidak sehat. Atau sederhanya dapat diistilahkan
dengan politik transaksional. Politik transaksional itu dapat berwujud seperti tergambar ketika
politik bagi-bagi kursi di dalam kabinet, yang dilakukan secara dingin dan tampak seperti
sebuah kewajaran. Tetapi perlu dimaklumi bahwa keadaan tersebut merupakan kehendak dari
sistem.
Seperti syarat pencalonan kepala daerah yang diatur dalam undang-undang tentang pemilihan
kepala daerah. Meskipun dalam undang-undang tersebut memberi dua opsi kepada calon
kepala daerah untuk maju melalui jalur partai atau perorangan, tetapi tetap saja jalur partai
menjadi yang paling banyak diminati oleh para kandidat calon. Sebabnya adalah, calon yang
memilih maju melalui jalur perseorangan harus mengumpulkan dukungan penduduk dengan
jumlah tertentu, yang juga sangat mengekang para kandidat calon. Para kandidat calon pada
akhirnya lebih memilih langkah praktis dengan mengumpulkan dukungan partai atau gabungan
partai, yang tentunya harus ditempuh melalui langkah pragmatis dengan lobi-lobi politik atau
politik transaksional.
Yang lebih parah lagi ketika melihat praktik yang biasa terjadi pasca pemilihan presiden dan
wakil presiden. Praktik pembagian koalisi merupakan hal yang lumrah dan biasa terjadi dalam
praktik pemerintahan kita. Padahal jika ditengok dari sudut pandang yang berbeda, praktik
koalisi tersebut merupakan praktik memecah kubu pemerintahan dengan cara yang santun.
Praktik pemerintahan yang seharusnya dijalankan dengan sinergis, malah justru dipecah
menjadi dua kubu atau lebih, dengan berbagai kepentingannya masing-masing.
Namun kebiasaan koalisi seperti ini tak bisa dipermasalahkan karena praktik tersebut
merupakan implikasi dari sistem pemilu yang memang menghendaki lahirnya praktik oligarki.
Dengan banyaknya jumlah partai yang dikehendaki oleh sistem multipartai Indonesia, membuka
peluang terjadinya politik transaksional dalam pelaksanaan pemerintahan. Ditambah lagi,
sistem pemilu yang menghendaki pencalonan presiden harus dengan perolehan 20 persen
kursi di DPR atau 25 persen perolehan suara sah nasional. Aturan ini menuntut kandidat calon
presiden, harus berkoalisi atau memanfaatkan gabungan partai untuk dapat memenuhi
persyaratan tersebut. Koalisi atau gabungan partai inilah yang kemudian melahirkan suatu
pratik politik transaksional yang terjadi di dalam tubuh kabinet.
Anehnya siklus ini tidak pernah berhenti. Alih-alih menyadari hal tersebut, pemerintah mencoba
mengutak-atik berbagai peraturan. Seperti peraturan tentang pemilu yang sudah beberapa kali
diubah namun hasilnya tetap sama. Begitupun undang-undang tentang pilkada yang meskipun
telah beberapa kali dimodifikasi masih juga tetap menampilkan model politik transaksional.
Jelas saja praktiknya akan berulang, karena yang direvitalisasi ternyata salah sasaran.
Undang-undang pemilu dan pilkada telah beberapa kali diubah, namun sayang undang-undang
partai politik seperti kurang mendapat perhatian. Padahal jembatan yang menghubungkan
serangkaian proses politik baik pemilu atau pilkada adalah partai politik. sehingga apa yang
menjadi semangat revitalisasi undang-undang pemilu maupun pilkada, seharusnya juga
berdampak pada penguatan partai politik. Dengan demikian, partai politik pula-lah yang harus
menjadi sasaran utama revitalisasi.
UU No. 2 Tahun 2008 Jo. UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik masih memiliki banyak
kekurangan yang mestinya mendapat perhatian pemerintah. Peluang politik transaksional lahir
karena proses kaderisasi partai politik yang diatur dalam undang-undang tersebut masih sangat
tertutup. Kurangnya perhatian negara dalam pendanaan partai politik juga menjadi penyebab
terbukanya peluang politik transaksional, sebab partai politik akan mencari cara sendiri dalam
mencukupi biaya politik yang dinilai sangat mahal.
Selain itu, peran partai politik yang juga masih sangat minim dalam melaksanakan pendidikan
politik, menjadi masalah serius yang juga harus diperhatikan. Partai politik saat ini dianggap
tidak memberi andil yang cukup nyata dalam menciptakan masyarakat yang melek politik.
Imbasnya adalah pilihan masyarakat menjadi tidak rasional dan hanya memanfaatkan cara-cara
yang pragmatis. Pada akhirnya masyarakat akan terus dibutakan dan terus dibutakan, dengan
praktik politik penguasa yang pragmatis.
Sehingga, untuk menghadirkan kembali nuansa transaksi pikiran antara negara dan warga
negara, serta mengikis kebiasaan politik pragmatis dan transaksional, perlu kiranya
memperbaiki 3 aspek dalam undang-undang partai politik yang juga menjadi semangat
penguatan partai politik. Pertama, penataan sistem kaderisasi yang mapan yang dilakukan
dengan cara yang terbuka, tujuannya meminimalisir peluang terjadinya politik transaksional,
oligarki politik, serta politik dinasti. Kedua, menaikkan jumlah dana bantuan negara kepada
partai politik dan menekan jumlah transfer swasta kepada partai politik, dengan tujuan
memandirikan partai politik agar terlepas dari kapitalisasi pihak swasta terhadap partai politik.
Ketiga, menata kembali pola pendidikan politik yang efektif dan efisien serta dilaksanakan
dengan asas kontinuitas, dengan tujuan terciptanya suatu masyarakat yang cerdas dalam
berpolitik, sehingga transaksi pikiran antara negara dan warga negara dapat terjalin dengan
harmonis.

Anda mungkin juga menyukai