Anda di halaman 1dari 2

POLITIK IDENTITAS: IRONI DALAM NEGARA DEMOKRASI

Selasa, 28 Agustus 2018 | 10:41:10 WIB


Share Facebook Twitter WhatsApp

Line

DALAM sebuah negara yang menganut sistem politik demokrasi,  menjadi wajar jika iklim perpolitikan dan
pemerintahan didalamnya akan selalu berdinamika terlebih di saat proses pesta demokrasi rakyat negara tersebut
sedang berlangsung.

Demikian juga negara kita, dalam perjalanan lebih dari 20 tahun kita memilih demokrasi sebagai sistem politiknya
dinamika pemerintahan pasti akan terjadi menjelang proses pemilu. Di dalam tulisan ini penulis akan membahas
bagaimana ironi negara yang katanya berdemokrasi tapi menjadi negara yang dihegemoni oleh kekuatan politik
identitas.

Pilkada Jakarta dan #2019gantipresiden

Penulis menganggap bahwa semua orang  sepakat bahwa pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017 yang lalu merupakan
arena pertunjukan sempurna  kekuatan politik identitas di dalam merebut kekuasaan, setuju atau tidak dari yang penulis
analisis lebih dari 50 persen faktor yang membawa  kemenangan pasangan Anies-Sandi lebih adalah faktor politik
identitas dan isu SARA dan hal itu juga diakui oleh PKS sebagai salah satu partai yang mengusung Anies-Sandi.

Saat itu, kita melihat penggiringan opini yang sangat masif oleh kelompok organisasi masyarakat mayoritas tertentu
mendiskriminasi pemimpin mereka sendiri yang berasal dari kalangan minoritas. Hasilnya bisa ditebak, kelompok
mayoritas berhasil mendapatkan kekuasaan dengan cara yang legal dan tidak melanggar hukum.

Menjelang pemilu tahun depan muncul tagline #2019gantipresiden yang banyak menimbulkan kontroversi, banyak
pihak menganggap bahwa tagline ini merupakan sikap politik yang dapat memprovokasi masyarakat dan tidak sedikit
juga pihak yang menyatakan tagline ini adalah gerakan yang sah secara konstitusional dan tidak melanggar hukum.
Penulis melihat munculnya gerakan ini sebagai aplikasi dari pemahaman politik identitas, kelompok gerakan ini memiliki
militansi yang sangat kuat dan cenderung menempatkan lawan politiknya sebagai musuh serta dianggap
merepresentasikan kelompok dan agama tertentu.

Arah gerakan ini hampir pasti memiliki maksud politis, jika pada pilpres tahun depan gerakan ini memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap kemenangan salah satu pasangan calon rasanya memang ada yang salah dengan pemaknaan politik
identitas di negara kita ini.

Di negara demokrasi kita bebas untuk menentukan pilihan kita sendiri karena semua itu diatur dengan jelas di dalam
konstitusi bahwa  kita dapat memilih pemimpin  tanpa tekanan dan paksaan dari pihak manapun, kenyataannya narasi
memilih pemimpin sekarang adalah bukan lagi tentang track record, visi misi atau integritas tapi lebih berorientasi
kepada kesamaan agama, ras, suku dan kedaerahan.
Konstitusi kita mengatur bahwa selama masyarakat memilih pemimpin dengan asas-asas pemilu di negara kita
(Luberjurdil), selama itu pula tidak ada aturan konstitusi yang dilanggar karena konstitusi kita tidak mengatur alasan kita
untuk  memilih suatu pemimpin tetapi dikembalikan kepada masyarakat yang mempunyai hak suara untuk digunakan.
Negara demokrasi selama ini terkenal dengan tagline “rakyat menetukan nasibnya sendiri” artinya suara masyarakat
adalah suara untuk menentukan nasib mereka sendiri ke depannya dan dalam menentukan nasib mereka itu salah
satunya ketika memilih pememimpin negara atau daerah.

Banyaknya pro kontra yang mengiringi isu ini tidak langsung membuat masyarakat mengerti tentang bagaimana
memaknai  politik identitas ini dengan baik, secara naluri memang sangat sulit untuk memisahkan proses demokrasi dan
politik identitas tersebut  tapi bukan berarti pola fikir masyarakat tidak dapat kita arahkan menjadi pemaknaan yang
positif karena sejatinya politik identitas ini bisa menjadi pemersatu dan memperkuat situasi politik masyarakat di
daerah.

Pemaknaan  Politik Identitas


Politik identitas sangat sulit dipisahkan dari sebuah negara yang menganut sistem politik Demokrasi, terlebih di negara
kita yang terdiri dari banyak sekali daerah dan kepentingan di dalamnya. Penulis memaknai politik identitas menjadi dua
hal, pemaknaan pertama adalah politik identitas bisa menjadi penguat persatuan dan kestabilan politik di daerah.

Pemaknaan ini jika politik identitas dilaksanakan dalam rangka memilih pemimpin dan wakil rakyat berdasarkan
trackrecord dan visi misi yang baik, bukan berdasarkan  dari kesamaan suku, agama dan ras. Jika ada calon pemimpin
baik dari kalangan mayoritas dan minoritas yang telah memiliki integritas dan merepresentasikan kepentingan bersama
itulah pemimpin yang seharusnya dipilih oleh masyarakat. Memilih pemimpin itu bukan soal mayoritas dan minoritas,
tapi soal kepentingan dan keberlangsungan kesejahteraan masyarakat kedepannya.

Pemakanaan kedua dan yang saat ini terjadi adalah politik identitas menjadi pertunjukan kekuatan mayoritas kepada
minoritas. Dalam hal apapun yang berkaitan dengan kekuasaan pemerintahan, pemaknaan politik identitas ini
semuanya harus dikuasai oleh pihak mayoritas dan tidak menyisakan ruang bagi kelompok minoritas. Sejak pilkada DKI
Jakarta, sentimen politik identitas ini kembali menguat karena melihat bagaimana keberhasilan kelompok mayoritas
mendapatkan kekuasaan dan dengan adanya gerakan #2019gantipresiden nampaknya isu ini akan kembali terjadi
pemilu 2019 yang akan datang.

Penulis menganggap bahwa masyarakat sudah dapat memahami bahwa kepentingan bersama itu jauh lebih penting
dibandingkan kepentingan kelompok tertentu saja, pemimpin itu bukan tentang mayoritas dan minoritas saja tetapi
lebih dari pada itu adalah persatuan dan kesatuan yang harus selalu kita jaga.

Seandainya kelompok masyarakat mayoritas ingin terus menggunakan politik identitas sebagai alasan untuk memilih
pemimpin maka itu
adalah hak kelompok masyarakat tersebut, yang perlu kita pastikan adalah penggunaan politik identitas tersebut tidak
bertentangan dengan aturan konstitusi.

Menjadi harapan penulis dan masyarakat pada umumnya bahwa pemaknaan politik identitas ini dapat dimaknai secara
baik oleh masyarakat, ditengah kondisi dan situasi bangsa yang sedang menghangat kedewasaan masyarakat dalam
memahami isu ini menjadi penting karena ketika pemaknaan politik identitas itu dilakukan secara baik maka akan
muncul pemimpin yang benar-benar bekerja untuk rakyat dan mewakili semua golongan masyarakat.

Namun, bila politik identitas ini salah dimaknai oleh masyarakat akan terpilih pemimpin yang hanya mewakili golongan
masyarakat tertentu, bekerja untuk masyarakat tertentu dan akhirnya negara ini kembali menjauh dari negata yang
dimimpikan oleh  para pendirinya.

Penulis adalah Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Jambi, Intelektual Muda
Nahdlatul Ulama

Penulis: Deki.R.Abdillah
Editor: Ikbal Ferdiyal

Anda mungkin juga menyukai