mengapa kuatnya anggapan bahwa putra daerahlah yang paling layak untuk dipilih sebagai
kepala daerah dari sudut pandang wawasan nusantara
Nama : Jundarta
Nim : 044967957
UPBJJ : Pangkalpinang
Menurut pendapat saya anggapan bahwa putra daerahlah yang paling layak untuk dipilih
sebagai kepala daerah, istilah putra daerah memiliki arti seorang laki-laki yang lahir dan
besar di suatu wilayah administratif, dua kata tersebut kerap digunakan pada musim
Pemilihan Kepala daerah ( pilkada) ketika ada calon yang diusung berasal dari tempat
tersebut, beragam argumen dilontarkan bahwa seorang Putra daerah dinilai ideal untuk
memimpin di mana daerahnya berasal. Adapun alasan isu tersebut karena lebih mengetahui
asal-usul, latar belakang, dan keadaan sosial-budaya dari daerah tersebut.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi masyarakat beranggapan putra daerah layak
memimpin daerah tersebut
Jika kita pelajari mengenai persyaratan untuk menjadi kepala daerah, dapat dilihat dalam UU
8/2015. Calon kepala daerah (gubernur, walikota, atau bupati) bisa merupakan pasangan
calon yang diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik; dan/atau bisa juga
merupakan pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang, Ini berarti,
tidak ada keharusan bahwa kepala daerah harus berasal dari daerah tersebut atau merupakan
putra daerah tersebut.
Sumber referensi :
"Merayakan Keragaman, Melawan Politik Primordialisme"
selengkapnya https://news.detik.com.
Demikian jawaban saya pada sesi ini silahkan di tanggapi untuk rekan-rekan, terima kasih.
Situasi umum lainnya yang perlu mendapatkan perhatian semua pihak adalah
praktik ujaran kebencian (hate speech) yang berujung pada diskriminasi suku,
agama, ras dan antargolongan yang juga menjadi bagian dari politik primordialisme.
Penggunaan media sosial dan dunia maya menjadi sarana paling masif dari praktik
tersebut dan perlu pembuktian yang akurat, apakah melibatkan pasangan calon/tim
kampanye ataupun terstruktur melalui pendukung fanatik.
Amartya Sen (Kekerasan dan Identitas, 2016) menengarai politik identitas ini
cenderung menimbulkan agresivitas dan kekerasan, baik langsung mau pun tidak
langsung. Pendekatan semacam itu lazim disebut dengan pemikiran soliteris yang
memandang manusia hanya memiliki satu identitas. Celakanya, apabila paham ini
terus direproduksi secara masif dan dikaitkan dengan kontestasi pemilihan kepala
daerah, penghargaan akan nilai keberagaman cenderung menurun dan potensi
konflik sulit dikelola.
Melawan Primodialisme
Konsep formal demokrasi menyoroti dua aspek utama, yaitu kesetaraan politik
warga negara dan gagasan pemerintahan yang baik (Diskursus Politik Lokal, 2015).
Kesetaraan politik tidak hanya sebatas kesamaan kesempatan dan ruang ekspresi
pilihan politik, akan tetapi juga perlindungan politik sebagai mekanisme utama yang
dikembangkan, serta selalu harus diperjuangkan juga keyakinan bahwa kelompok
minoritas niscaya mendapat perlindungan dalam segenap ekspresi politik mereka.
Dengan dasar apapun baik ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik,
asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya, tindakan
diskriminasi tidak dibenarkan. Penguatan aturan kepemiluan baik melalui undang-
undang ataupun peraturan teknis oleh penyelenggara diharapkan membawa
kesegaran dan mampu mengurangi tindakan diskriminasi, termasuk perumusan
sanksi yang paling tepat
Kedua, Penegakan Hukum. Peran yang tidak kalah penting, mendorong penegakan
hukum secara objektif dan imparsial dengan jerat KUHP, UU Nomor 40 Tahun 2008
tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta UU Informasi dan Transaksi
Elektronik. Perang melawan politik primordialisme yang terwujud dalam tindakan
aktif berupa penyebarluasan paham diskriminasi, tidak saja menjadi domain
pengawas kepemiluan, akan tetapi memerlukan sinergi dan peran lembaga-lembaga
negara lain yang diberikan mandat pengawasan.
Agus Suntoro staf senior Komnas HAM, menekuni isu HAM dengan tema pemilu,
terorisme, konflik sumber daya alam dan hukum
(mmu/mmu)
pilkada serentak 2018
Sementara yang lebih primer adalah kelayakan kepemimpinan sang kandidat. Pemilih yang
hanya menimbang "keaslian darah" sang kandidat berarti menjebak diri menjadi "pemilih
primordial". Mereka belum menjadi "pemilih rasional-kalkulatif," yang menimbang perkara putra
daerah dalam kaitan dengan kualitas kelayakan kepemimpinan sang kandidat.Pemilih rasional-
kalkulatif, sambil menimbang asal daerah kandidat, mempersoalkan: Seberapa jauh sang
kandidat terbukti memiliki pemahaman, pengetahuan dan empati yang layak terhadap
persoalan-persoalan daerah? Seberapa realistis dan menjanjikan rancangan program dan
kebijakan-kebijakan yang ditawarkannya? Seberapa jauh pula ia bisa dipercaya, terutama
dikaitkan dengan rekam jejak karier politik dan ekonominya? Adakah jejak korupsi (politik
dan/atau ekonomi) dalam karier itu? Seberapa besar kemauan dan komitmen sang kandidat
untuk bekerja keras dan mewakafkan seluruh waktunya sebagai pemimpin daerah? Seberapa
mampu ia membangun kepemimpinan kolektif yang profesional, kompeten, dan berintegritas?
Eep Saefulloh FatahWakil Direktur EksekutifThe Indonesian
Instituteesf@theindonesianinestitute.comeepsf@yahoo.com
Jika kita pelajari mengenai persyaratan untuk menjadi kepala daerah, dapat dilihat dalam UU
8/2015. Calon kepala daerah (gubernur, walikota, atau bupati) bisa merupakan pasangan
calon yang diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik; dan/atau bisa juga
merupakan pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang, Ini berarti,
tidak ada keharusan bahwa kepala daerah harus berasal dari daerah tersebut atau merupakan
putra daerah tersebut.
Demikian jawaban saya pada sesi ini silahkan di tanggapi untuk rekan-rekan, terima kasih.
Pembahasan :
Istilah Putra daerah adalah anak yang berasal dari daerah tersebut, misalnya
mengharuskan memiliki kriteria berdasarkan suku, agama, ras, dan warna kulit yang
sesuai dengan daerah asal. Istilah putra daerah dalam pemilu mengharuskan
pemimpin mereka berasal dari golongan tertentu, tidak boleh ada golongan luar
khususnya orang asing yang memimpin karena dianggap merusak citra daerah
tersebut.
Istilah ini sangat bertolak belakang dengan wawasan Nusantara dan Bhinneka
Tunggal Ika, karena masih menganggap perbedaan padahal sudah ditetapkan
bahwa semua keberagaman adalah sama tidak ada yang berbeda. Berikut cara
supaya masyarakat menghilangkan harusnya putra daerah untuk pemilu,
Jawaban Kedua
Menurut pendapat saya hal itu bisa terjadi karena masih rendahnya pemahaman
dan pengamalan Pancasila di Kalangan sebagian masyarakat Indonesia, khususnya
pada sila ke 3 yaitu Persatuan Indonesia.
Jawaban Ketiga
Menurut tanggapan saya, pernyataan anggapan bahwa putra daerah yang paling
layak untuk dipilih sebagai kepala daerah adalah adalah satu permasalahan besar
mengenai mental bangsa Indonesia khususnya di daerah atau golongan tertentu,
sebab dengan beranggapan demikian maka semakin sempit pemikiran seseorang
atau golongan terhadap kemerataan sumber daya, dan kontribusi bagi bangsa
Indonesia. Karena sesungguhnya Indonesia terbagi atas 34 propinsi daerah dengan
berbagai macam suku, ras, budaya, agama dan keberagaman sosial.
Yang jika dimanfaatkan dengan baik maka akan terjalin keharmonisan serta semakin
kuatnya pemikiran bagi pemerintah ataupun instansi untuk menciptakan ide serta
pemerintahan yang semakin nasionalis. Dari keberagaman ide tersebut juga akan
menciptakan kontribusi kontribusi yang beragam serta tepat sasaran bagi
masyarakat yang ada di wilayah pemerintahannya.
Karena di Indonesia sendiri setiap daerah pasti memiliki keberagaman suku dan
budaya, baik yang merantau maupun yang sudah menetap. Nah kontribusi untuk
daerah tersebut dijalin Bersama sama dengan adanya putra daerah bahkan
masyarakat masyarakat rantauan yang ada di daerah tersebut.
Maka cara pandang kita lah sebagai masyarakat Indonesia yang harus berubah
harus cerdas harus berani akan perubahan yang membawa dampak positif bagi
Indonesia.
Jawaban Keempat
Anggapan bahwa putra daerah yang paling layak untuk dipilih sebagai kepala
daerah ini disebabkan karena kurangnya implementasi Wawasan Nusantara hingga
berpengaruh terhadap pemahaman tentang negara kesatuan. Menguatnya sikap
Primordialisme yang dilandasi sifat kedaerahan, kesukuan maupun keagamaan
merupakan salah satu indikator.
Primordialisme adalah salah satu faktor penting yang dapat memperkuat ikatan
suatu kelompok saat ada ancaman dari luar kelompok mereka. Akan tetapi,
primordialisme juga dinilai negatif karena berpotensi mengganggu kelangsungan
hidup masyarakat.
Selain itu, paham ini juga seringkali dianggap memiliki sifat yang merusak, primitif,
dan regresif. Bahkan, primordialisme dianggap bisa menghambat modernisasi,
merusak integrasi nasional, dan proses proses pembangunan nasional. Oleh karena
itu, paham ini bisa saja memicu munculnya konflik antar suku yang ada di suatu
negara.
Oleh sebab itu, untuk menangkal adanya paham primordialisme yang berlebihan.
Setiap kelompok masyarakat wajib mengembangkan budaya toleransi terhadap
budaya atau kelompok lain. Hal ini bertujuan agar mereka bisa menerima
kebudayaan kelompok lain tanpa menganggap mereka sebagai saingan yang perlu
dilawan. Paham ini bisa saja memberikan dampak negatif maupun positif. Hal
tersebu
Mengenai kepala daerah secara umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (“UU Pemerintahan Daerah”).
Sedangkan mengenai ketentuan pemilihan kepala daerah diatur dalam Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota yang telah ditetapkan sebagai undang-undang
oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 (“UU 8/2015”).
Setiap Daerah dipimpin oleh kepala Pemerintahan Daerah yang disebut kepala
daerah.[1] Kepala daerah untuk provinsi disebut gubernur, untuk kabupaten disebut
bupati, dan untuk kota disebut wali kota.[2]
Simak alasan mengapa Putra Daerah diutamakan menjadi Kepala Daerah beserta
apakah ketentuan tersebut tercantum di UU tentang pencalonan Pilkada atau tidak.
Baca Juga: Sejarah BPUPKI Beserta Tujuan dan Fungsi, Badan yang Dibentuk
Zaman Penjajahan Jepang