Anda di halaman 1dari 6

Ada hal yang menarik ketika akan berlangsungnya pemilihan kepala daerah, yakni

tentang ikhwal primordialisme putra daerah dan bukan putra daerah, di mana kata
putra daerah menjadi salah satu nilai jual yang selalu di dengung-dengungkan oleh
sebagian marketing politik pihak lawan yang dianggap rival terberat dengan tujuan
agar masyarakat tidak memilihnya.

Isu putra daerah juga seringkali dipergunakan untuk menekan keinginan bakal
calon yang berasal dari luar daerah tersebut untuk mencalonkan diri sebagai kepala
daerah di daerah tersebut. Permainan isu primodial dalam proses pilkada bukan
barang baru lagi. Walaupun terkesan strategi politik klasik, nyatanya mengangkat
isu primodial masih menjadi topik yang laku dijual dalam perhelatan pilkada di
beberapa daerah. Isu kesukuan, putra daerah, isu agama, bergaris keturunan raja,
ahli waris, selalu menjadi tema kampanye untuk meraup suara dari calon pemilih.

 Isu seperti ini juga bisa muncul apabila terdapat sebuah partai politik atau
gabungan partai politik yang mencalonkan atau mengusung calon kepala daerah
yang bukan berasal dari wilayah bersangkutan. Di satu sisi, hal ini jelas tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tentu saja
merupakan hak partai politik yang bersangkutan untuk mengusung kandidat yang
memiliki kapabilitas dan nilai jual tinggi.

Di sisi lain, sudah menjadi rahasia umum peran pemilik modal atau cukong begitu
besar dalam setiap pesta demokrasi, termasuk pemilihan kepala daerah, dimana
pemilik modal punya andil besar bagi partai politik untuk mengusung kandidat.
Sejogyanyalah, apapun aspirasi politik masyarakat adalah sebuah fakta sosial yang
harus ditangkap secara cerdas oleh partai politik. Partai politik yang besar adalah
partai yang aspiratif terhadap kehendak politik rakyat, bukan para cukong yang
memiliki kepentingan terselubung dibalik semua itu. Karena jika tidak, partai akan
kehilangan kepercayaan masyarakat. 
Sebelum kita salah langkah terlalu jauh,ada baiknya jika kita mengetahui makna
putra daerah itu sendiri. Untuk lebih jelasnya silahkan membaca artikel yang
pernah saya tulis tentang, “Putra Daerah dan Kearifan Lokal Dalam Sebuah
Perspektif” yang sudah di publish media on/off line antara lain, metrojambi.com
pada tanggal 1 Desember 2016.  Mengenai persyaratan untuk menjadi kepala
daerah, dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 8 tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota. Calon kepala daerah bisa merupakan pasangan
calon yang di usulkan oleh partai politik dan/atau bisa juga merupakan pasangan
calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Berdasarkan persyaratan
diatas dapat dilihat bahwa tidak ada syarat yang mengharuskan seorang calon
kepala daerah harus berasal dari daerah pemilihan tersebut atau merupakan putra
asli daerah tersebut.

Pertanyaannya, Apakah putra daerah sebagai kepala daerah dapat menjadi jaminan
terhadap kesejahteraan masyarakat dan memberikan kontribusi nyata terhadap
pembangunan daerah? Menurut Huntington  dalam buku yang berjudul 
Kebangkitan Peran Budaya yang diterbitkan di Jakarta oleh Pustaka LP3ES pada
tahun 2006, mendiskusikan  tentang putra daerah versus bukan putra daerah boleh
jadi penting, tetapi bukan segalanya. Menurutnya, soal putra daerah atau bukan
putra daerah, perkara tersebut adalah perkara sekunder belaka.

Sementara yang lebih primer adalah kelayakan kepemimpinan sang kandidat.


Pemilih yang hanya menimbang keaslian darah sang kandidat berarti menjebak diri
menjadi pemilih primordial. Mereka belum menjadi pemilih rasional-kalkulatif,
yang menimbang perkara putra daerah dalam kaitan dengan kualitas kelayakan
kepemimpinan sang kandidat. Pemilih rasional-kalkulatif, sambil menimbang asal
daerah atau silsilah kandidat, mempersoalkan seberapa jauh sang kandidat terbukti
memiliki pemahaman, pengetahuan dan empati yang layak terhadap persoalan-
persoalan daerah.

Seberapa realistis dan menjanjikan rancangan program dan kebijakan-kebijakan


yang ditawarkannya, seberapa jauh pula ia bisa dipercaya, terutama dikaitkan
dengan rekam jejak karier politik dan ekonominya, adakah jejak korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN) dalam kariernya yang saat ini sudah merajalela, seberapa
besar kemauan dan komitmen sang kandidat untuk bekerja keras dan mewakafkan
seluruh waktunya sebagai pemimpin daerah ataupun seberapa mampu ia
membangun kepemimpinan kolektif yang profesional, kompeten dan berintegritas.
Hal-hal tersebut yang seharusnya lebih dipertimbangkan untuk memilih pemimpin
yang lebih profesional dibandingkan hanya bermodalkan tanah kelahiran,asal-usul
dan silsilah.

Pola isu putra daerah memang dulu populer pada saat zaman orde baru, lalu apakah
kita masih tetap akan mengkondisikan isu putra daerah, yang sebenarnya kita tahu
bahwa isu ini adalah bentuk pendangkalan wacana berfikir dalam frame negara
kesatuan dan realitas ini merupakan bentuk kejanggalan dalam demokrasi (dari,
oleh dan untuk rakyat).  Momentum pemilukada harus dibaca sebagai suatu
keinginan untuk mendapatkan seorang pemimpin atau kepala daerah yang handal,
berintegritas, memiliki komitmen yang tinggi, dipercaya oleh masyarakat dan
mampu membawa perbaikan kongkrit dalam kehidupan masyarakat.

Dengan demikian, pemilukada juga menuntut suatu proses pemilihan yang fair,


adil dan terbuka, jauh dari praktek money politic dan black campaign, adu domba,
fitnah, intimidasi ataupun cara-cara kotor yang melawan moral sosial dan moral
agama. Masyarakat diharapkan menjadi pemilih yang cerdas dalam melihat
fenomena apapun dalam proses pemilukada yang merupakan strategi marketing
politik calon kepala daerah.
Demokrasi sebagai salah satu alasan untuk menentukan pilihan yang baik dan
bukan untuk memecah belah persatuan. Siapa saja boleh menjadi pemimpin asal
sesuai dengan konsep kebangsaan. Keberagaman sudah ada sejak dulu dan bukan
hanya pada lingkaran sosial saja melainkan dalam lingkaran kecil dikehidupan
manusia. Tetapi harus dipahami bahwa yang membuat Indonesia merdeka adalah
persatuan dan kesatuan serta keberagaman tersebut.(*)

Pemilihan Legislatif dan Pemilu Presiden secara langsung yang ke tiga kalinya
semakin dekat dan sudah di ambang pintu. Jika tidak ada aral melintang, maka
tanggal 9 April 2014 akan menjadi hari yang sangat bersejarah. Nasib Indonesia
untuk lima tahun ke depan ditentukan pada hari itu. Partisipasi kita, sebagai
warga Negara yang baik akan sangat dibutuhkan dalam mensukseskan event
besar ini. Suara kita akan menjadi penentu. Jika kita memilih orang yang tepat,
maka bisa dipastikan, tugas dan amanat rakyat akan terpenuhi. Sebaliknya,kita
harus siap untuk merasakan hal yang sama seperti sebelum-sebelumnya, jika
pilihan kita berada pada orang-orang yang salah.

Terkait menentukan pilihan, sudah seharusnya kita bersikap cerdas dan memilih
orang yang kita faham betul akan track recordnya. Jangan karena godaan rupiah
yang jumlahnya sedikit membuat kita lupa nasib bangsa ini ke depan. Kita boleh
saja mendukung seseorang untuk kita jagokan, tapi harus tetap pada koridor yang
benar. Sekali lagi jangan asal pilih.

Saya sangat prihatin dengan orang yang dengan sukarela mensuarakan untuk
memilih putra daerah, sebagai bentuk dukungan untuk seorang calon legislative
dari daerahnya sendiri. Pada awalnya, itu sah-sah saja. Karena setiap warga
Negara yang sudah akil balig berhak menentukan pilihannya. Tapi ketika sudah
menyangkut ranah umum dengan merekomendasikan kepada orang banyak, akan
beda maknanya.
Sebelum kita salah langkah terlalu jauh, ada baiknya jika kita mengetahui makna
“Putra daerah” itu sendiri. Untuk lebih jelasnya saya sarankan kita membaca
artikel tentang “Makna Putra Daerah dalam kampanye Pemilukada” di
http://alluky.blogspot.com. Artikel tersebut memberikan ilmu baru bagi kita
bahwa penamaan putra daerah tidak bisa diartikan dengan makna sempit. Apalagi
dalam memilih pemimpin, pemahaman akan istilah Putra daerah akan
menggerakkan semangat primordialisme (red- fanatisme terhadap ras dan suku
tertentu) yang akan memberikan dampak buruk untuk persatuan bangsa
Indonesia.

Kemudian, Persoalan yang tidak kunjung usai pada bangsa ini, tidak bisa
diselesaikan dengan hanya mendukung putra daerah untuk maju dalam pemilihan
legislatif. Tidak semudah itu. Ini masalah integritas, loyalitas dan kapabilitas
seorang calon pemimpin. Tidak menjamin, seorang putra daerah memiliki kriteria
tersebut. Banyak contoh, mereka yang ketika sudah terpilih, tidak ingat dan pura-
pura lupa terhadap rakyatnya. Indonesia butuh pemimpin yang pro rakyat bukan
yang mahir mengambil hati rakyat (red-pencitraan). Saya setuju dengan slogan
"saatnya Indonesia berubah". Namun, dalam arti yang Berbeda. Berubah untuk
berfikir lebih cerdas. Berubah untuk tidak berfikir sempit. Berubah untuk
mensosialisasikan pemilihan jujur. Berubah untuk tidak golput, sebab satu suara
kita akan menjadi penentu nasib bangsa yang kita cintai ini. Tidak dilarang untuk
memihak kepada salah satu calon pemimpin. Dengan catatan, kita sudah
mempelajari terlebih dahulu asal usul orang yang akan kita pilih. Jangan asal
dukung dan jangan asal pilih. Masalah Indonesia bukan sekedar masalah Putra
Daerah. ***

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Mengutamakan Putra Daerah,
Pentingkah?", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/asahasibuan/54f80a0ba33311f1608b495d/mengutamakan-
putra-daerah-pentingkah
Istilah "Putra Daerah"memiliki arti seorang laki-laki yang lahir dan besar di
suatu wilayah administratif. Dua kata tersebut kerap digunakan pada musim
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ketika ada calon yang diusung berasal
dari tempat tersebut.

Beragam argumen dilontarkan bahwa seorang Putra Daerah dinilai ideal


untuk memimpin di mana daerahnya berasal. Adapun alasan isu tersebut
karena lebih mengetahui asal-usul, latar belakang, dan keadaan sosial-
budaya.

Namun, apakah ini menjadi sebuah keharusan bahwa suatu daerah


harus dipimpin oleh Putra Daerah? Bagaimana di dalam Undang-
Undang (UU) yang berlaku?

Baca Juga: Sejarah BPUPKI Beserta Tujuan dan Fungsi, Badan yang


Dibentuk Zaman Penjajahan Jepang

Sebelum dibahas lebih lanjut, Kepala Daerah yang dimaksud bisa saja pada


tingkat lokal mulai dari Bupati yang memimpin Kabupaten, Walikota yang
memimpin Kota, dan Gubernur yang memimpin Provinsi.

Anda mungkin juga menyukai