* Kairo - Mesir *
RESTSI P
Media Silaturahmi, Informasi dan Analisa
Analisa Nusantara
Politikus Negeri Tikus Sudah Kehilangan Etika (?)
Oase Lemper
Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang memang berjiwa kriminil, biar pun dia sarjana. Pram, Anak Semua Bangsa
Assalamu'alaikum wa rahmatullah wa barakatuh. Dari Redaksi 02 Selaksa syukur dihembus satu-satu lewat angin kering penghujung musim dingin; PRESTSI Edisi ke-96 telah Editorial 03 lahir lagi, kali ini dari rahim metafora yang berpesta semalaman dalam dialog analogis. Ajang perebutan Teras 04 kursi legislatif tahun ini yang disebut-sebut sebagai pesta demokrasi untuk seluruh rakyat Indonesia 06 diibaratkan dalam banyak hal, mencari jarum dalam Analisa Nusantara tumpukan jerami, air di daun talas, bahkan cinta yang 08 tak terbalas. Setiap kita mungkin butuh ruang Timur Tengah tersendiri untuk meluapkan keegoisan masa muda, 10 sesekali, keengganan terhadap birokrasi dan semua Opini sistemnya. Kru redaksi PRESTSI menganggap itu sebuah kewajaran, dan di kesempatan kali ini Kajian 12 memberi ruang seluas-luasnya untuk mengadu, mendiskusi dalam kata-kata atau juga merenungkan Lensa KSW 16 berbagai sisi ke-pemilu-an, mulai dari partisipan, penyelengara hingga pelaku politik sendiri. Kata Mereka 18 Terlalu luasnya sebuah organisasi raksasa bernama negara inilah yang memungkinkan ketidakResensi 19 sepahaman dan ketidak-saling-pengertian sering kali terjadi, antar individu atau kelompok. Menyatukannya 20 adalah tugas para penyelenggara negara, maka Oase kredibilitas atau paling tidak sekedar pencitraan 22 menjadi standar. Sejauh mana peran seseorang Sastra mampu memimpin sebuah negara yang di dalamnya 25 banyak antar perorangan masih sulit untuk saling Serba-Serbi mengerti, kami ingin memberi gagasan mengenai hal tersebut. Berdasarkan apa yang kami amati dari Catatan Pojok 27 kacamata kepolosan dan keluguan masa muda kami. Tapi kami tidak selalu benar-benar polos dan lugu. Redaksi menerima tulisan dan Kami dedikasikan tema Nasi kotak; Menu Politik ini artikel yang sesuai dengan visiteruntuk masisir, dan semua jiwa muda di seluruh misi buletin. tanah air Indonesia. Merdeka! Saran dan kritik kirim Kemudian, selamat membaca! ke facebook kami: Prestsi KSW.
P RESTSI
Media Silaturahmi, Informasi dan Analisa
Pelindung: Ketua KSW | Dewan Redaksi: Ronny G. Brahmanto, Landy T. Abdurrahman, Muhammad Fardan Satrio Wibowo, Uly Ni'matil Izzah, Nashifuddin Luthfi | Pimpinan Umum: Choiriya Dina Safina | Pimppinan Redaksi: Muhammad Fadhilah Rizqi | Pimppinan Usaha: Sopandi | Sekretaris Redaksi: Wais Al-Qorny | Redaktur Pelaksa: Muhammad Miftakhuddin Wibowo, Zulfah Nur Alimah, Zuhal Qobili, Rizqi Fitrianto | Reporter: Muhammad Nurul Mahdi, Iis Isti'anah, Fathimah Imam Syuhodo | Distributor: Azhar Hanif, Mahfud Washim | Layouter: Alaik Fashalli, al-Muzakky | Karikaturis: Rijal Rizkillah | Editor: Muhammad Ulul Albab Mushaffa, Annisa Fadlilah, Abdul Wahid Satunggal
02
Editorial
Oleh: Zuhal Qobili
Keliru
ntuk yang kesekian kalinya bangsa Indonesia kembali memasuki musim pesta politik, yaitu ajang pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan terakhir pemilihan orang nomor satu Indonesia, Presiden. Tentunya pada musim tersebut tidak ada satu pun dari warga dewasa Indonesia yang tidak terlibat walaupun konsentrasinya berbeda-beda. Ada yang konsentrasinya menjadi pelaku politik seperti anggota partai, calon DPR, calon MPR dan calon Presiden, ada yang menjadi panitia pelaksana yaitu anggota KPU atau PPLN bagi yang berada di luar negeri, dan ada yang hanya menjadi objek politik atau calon pemilih. Mengamati kenyataan kondisi di lapangan, agaknya ada suatu kekeliruan yang telah terjadi dengan diri bangsa Indonesia pada musim pesta politik tersebut. Mulai dari pelaku politik itu sendiri, banyak kita saksikan partai politik (parpol) merekrut para artis yang nyeleneh, dengan artian para artis tersebut kelihatan belum pantas dijadikan anggotanya, apalagi dengan serta merta diangkat menjadi calon anggota DPR RI. Dari fenomena tersebut memberikan kesan bahwa para parpol hanya mencari popularitas mereka dengan tujuan semata-mata mendapatkan kursi di pemerintahan, dan sama sekali mengesampingkan niatan untuk memperbaiki nasib rakyat jika sudah terpilih nanti. Atau parpol yang mengusung tukang ojek menjadi wakil rakyat. Bukan mau merendahkan jabatan mereka sebelumnya dan serta merta menghukumi ketidak mampuan mereka, akan tetapi perlu menyelipkan sedikit pertanyaan apa yang menjadi dasar pemilihan tersebut? Begitu juga dengan panitia pelaksananya yaitu KPU atau lebih khusus PPLN Mesir sebagai panitia pelaksana pemilu bagi warga Indonesia yang berada di Mesir. Kegiatan mereka seakan kurang greget, tanpa progres dan kurang inovatif. Karena yang terlihat konsentrasi
mereka hanya mengupayakan bagaimana caranya agar gawe mereka tersebut berjalan dengan lancar dan ramai tho', Padahal gawe pemilu bukanlah gawe sembarangan, karena keputusan dari hasil gawe tersebut bakal menentukan nasib Indonesia dan bangsanya untuk 5 tahun kedepan. Kemudian objek politik, masyarakat Indonesia. Banyak yang mengeluhkan tidak terkenalnya nama calon wakil rakyat mereka, entah karena track record mereka yang tidak bisa kita lihat, atau kita lah yang apatis terhadap perkembangan tokoh-tokoh baru Indonesia?. Tidak jauh beda dengan Masisir. Mereka yang statusnya merupakan seorang mahasiswa, pelajar yang menempati strata pendidikan teratas juga masih belum menjiwai dengan penuh sepenting apa pesta politik tersebut. Terbukti dalam sejarahnya, masisir kebanyakan mau berangkat untuk menunaikan haknya dalam ajang pemilihan tersebut ketika diiming-imingi dengan transportasi antar-jemput dan dijamu dengan hidangan menu spesial. Walaupun ada beberapa simpatisan partai yang ikut geger mengiklankan wakil DPR dari partai mereka, entah mereka kenal atau hanya ikut-ikutan proyek partainya. Dengan melihat kenyataan ini, sekilas bisa disimpulkan bahwa sampai saat ini, pengetahuan dan penjiwaan masyarakat Indonesia akan urgensi pesta politik yang ditujukan untuk kesejahteraan bersama ini, masih sangatlah minim. Kenapa fenomena yang keliru ini bisa terjadi? Tidak ada akibat tanpa berawal dari sebab yang mendahului. Berangkat dari pertanyaan inilah, pada edisi kali ini buletin PRESTSI sebagai media silaturahmi, informasi dan analisa masisir akan menyajikan hidangan spesial tentang politik dengan tema Nasi Kotak; Menu Politik. Pastinya dengan sudut pandang yang menarik sebagaimana ciri khasnya pada edisi-edisi sebelumnya. Selamat menikmati.
03
Teras
Oleh: Wais al-Qarny
04
Teras
Mengawali dari gejala Masisir yang belum siuman dari kondisi komanya. Dengan pernyataan: bagaimana mungkin mahasiswa bisa tidak mengerti makna dari pemilu? Di sini tidak ada yang meragukan bahwa mahasiswa tidak mengerti makna pemilu. Lho, itu kan hanya sebuah akronim dari kepanjangan Pemilihan Umum atau juga sistem negara dalam memutuskan para penggedenya, ya dengan cara kita datang ke T P S lalu mencoblosnya setelah itu diberi nasi kotak, lalu pulang. Mungkin itu jawaban dari sebagian Masisir terhadap pemilu dan itu tidak salah, karena mereka melihat dari sudut pandang yang sangat elementer terhadap pemilu, sehingga di sini bentuk yang paling primordial belum terjamah sama sekali; 'kesadaran dalam berpolitik'. Sepertinya iklim 'kesadaran berpolitik' harus lebih digalakkan lagi di zona Masisir saat ini. Melihat jika yang dipakai model kuantitatif, dengan ramai-ramai mendatangi TPS makan lalu pulang tanpa ada kesadaran penuh, maka pemilu tak ubahnya seperti acara kondangan bertemu dengan pengantinnya, bersalaman makan lalu pulang. Dari sini barangkali kita bepijak pada tahapan yang lebih serius; antara 'berpolitik' dengan 'kesadaran berpolitik'. Mengikuti pemilu dengan mencoblos di TPS mungkin itu sudah dibilang 'berpolitik' namun tidak sampai pada tataran 'kesadaran berpolitik'. Dalam pengertiannya yang primordial 'kesadaran berpolitik' bisa digambarkan dengan tidak hanya sekedar mengikuti pemilu dengan datang ke TPS, lebih-lebih cuma mengharapkan nasi kotak yang disiapkan oleh panitia atau sekedar agar bisa jalan-jalan ke sungai Nil secara gratis, tapi juga dengan adanya upaya perefleksian dan pendalaman kembali terhadap makna esensial pemilu itu sendiri. Hadirnya ilusi fatal di kalangan Masisir: menghadiri pemilu cuma mengharap nasi kotak atau agar dapat berwisata ke sungai Nil tanpa mengeluarkan uang, di sebabkan beberapa alasan kemungkinan. Kemungkinan pertama , karena mereka melihat adanya ketidak jelasan rekam jejak (track record) dari figur politik yang dicalonkan. Kemungkinan kedua, adanya rekam jejak yang bagus dari figur politik dan mempunyai visi-misi yang jelas, namun adanya ketidaktahuan mereka terhadap figur yang dicalonkan karena minimnya sosialisasi terhadap publik. Sedangkan kemungkinan ketiga, disebabkan karena kejengahan mereka terhadap gelagat figur politik yang ujug-ujug menjadi 'sholeh' dan dinilai hanya melakukan aksi 'tampan' hanya demi pencitraan; mulai dari blusukan ke daerah-daerah terpencil, rela berorasi sambil berbanjir ria, memborong sayur di pasar loak, sampai pada pembagian uang dan sembako secara suka rela. Sehingga dari sebab-sebab kemungkinan itu tersunatnya gairah Masisir dalam mengikuti pemilu. Oleh karenanya, posisi P P L N (Panitia Pemilihan Luar Negeri) Mesir di sini dalam m e ny u ks e s ka n p e m i l u s a n gat u rge n , mengingat fungsi PPLN sebagai media dalam penyelenggaraan dan pensosialisasian atas pemilu. Namun jika meraba-raba hipotesis di atas, peran PPLN dalam mensosialisasikan kepada kalangan Masisir dirasa masih sangat kurang; baik rangkaian acara pemilu pun juga dalam pengenalan figur yang akan dicalonkan . Sebab masih banyak dari kalangan Masisir yang belum tahu tentang rangkaian pemilu dan siapa figur politik yang akan dicalonkan. Pada akhirnya di samping memang tidak m u d a h u n t u k m e n y e ga r k a n ke m b a l i 'kesadaran berpolitik' di kalangan Masisir. Kiranya perlu juga bagi kita untuk menggaris bawahi bahwa ketika sikap ketidakikutsertaan berpartisipasi dalam pemilu menjadi sebuah pilihan bagi sebagian Masisir, itu bukanlah menjadi akhir sebuah cerita dalam semarak suasana perpolitikan Masisir, justru dengan pilihan mereka untuk tidak ikutserta, Masisir lebih terlihat 'organik'; karena Masisir mempunyai caranya sendiri dalam berpolitik.
05
Analisa Nusantara
Oleh: Iis Istianah
06
Analisa Nusantara
memajukan bangsa, seakan luntur oleh sodoran tangan partai. Terganti oleh imingiming kekuasaan yang lebih tinggi. Inilah yang dimaksud dengan hilangnya etika berpolitik. Kita tentunya masih sangat ingat, bahwa Indonesia pernah amat kuat bahkan bertaring ketika berada dalam genggaman seseorang macam Soekarno, yang berani berkoar bahkan berteriak : Inggris kita linggis Malaysia kita ganyang. Punya martabat dan kedudukan yang jelas di mata bangsa lain. Bahkan, seorang Gamal Abdul Naseer, presiden Mesir yang satu masa dengan Soekarno kala itu, ketika memiliki niatan untuk membubarkan instansi sekelas Al Azhar, ia meminta pendapat d a r i S o e ka r n o . L a l u ket i ka S o e ka r n o mengatakan untuk tidak membubarkan Al Azhar, Gamal pun urung merealisasikan niatnya. Atau pada masa Habibie, yang meski menjabat sebagai presiden pada masa transisi pasca revolusi tapi mampu membawa Indonesia menjadi lebih stabil, bahkan menghantarkannya menuju ruang demokrasi yang sesungguhnya. Sehingga di tangan mereka Indonesia menjadi negeri yang bernyali. Apa yang mereka lakukan sehingga mampu membawa indonesia lebih bermartabat, tak lain karena dalam berpolitik mereka mempunyai etika yang jelas. Pada masa pemerintahannya, Habibie dengan tegas melarang pejabat negara, siapapun, untuk menjadi pengurus partai politik. Tak ada pejabat yang rangkap jabatan, apalagi presiden. Karena sejatinya, partai politik memang hanya sebuah jalan menuju kekuasaan, jika apa yang ditujukan sudah di tangan, maka silahkan tinggalkan dan mulai bekerja mengabdi untuk bangsa. Karena itu adalah tujuan yang sebenarnya. Seorang Soekarno, membangun negeri dengan prestasi, bukan hanya sekedar sensasi. Visi dan misi yang terlontar untuk membangun bangsa, sama dengan tindakan yang dilakukan. Pada akhirnya, bahwa Islam sejatinya telah mengajarkan, tidak ada pemisahan antara politik dan agama. Karena Islam sendiri adalah norma, yang akan membimbing para individunya agar bertindak sesuai prinsip kebaikan yang disemaikan oleh Islam. Kemudian indonesia, yang meskipun bukan merupakan negara Islam, namun ia punya pancasila yang jika dikaji dan diimplementasikan secara nyata, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya amat beriringan dengan prinsip dan ajaran Islam. Hal inilah yang rupanya harus segera disadari para pelaku politik. Berjalan pada norma dan etika yang jelas. Karena jabatan atau kekuasaan, selain amanah dari rakyat yang harus ditunaikan, juga merupakan sesuatu yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Barangkali, jika mereka menyadari hal ini, dengan kesadaran yang mendarah daging, bukan hanya kesadaran ilusi yang biasa tergambar dengan mengenakan peci, kehidupan berpolitik akan tetap sehat. Jauh d a r i s e ga l a ke b o b ro ka n d a n p r i l a k u menyimpang, yang selanjutnya menjadikan rakyat kehilangan rasa percaya.
07
Timur Tengah
Oleh: Nashifuddin L
08
Timur Tengah
tersebut bisa sangat mudah. Statementstatement itu seringkali ditemukan dalam orasi politik, seperti orasi politiknya bapak poklamator Indonesia, Ir. Soerkarno, dan gagasannya KH.Hasyim Asyari dalam membela Negara dari penjajah dan dalam buku-buku yang membahas politik ataupun tema-tema sentral pembangunan politik kebangsaan. Berbeda lagi pembahasan strategi perpolitikan di atas. Mari menengok kembali perpolitikan di Mesir. Sejenak, kita akan dibawa untuk memahami karakter masyarakat Mesir dari masa ke masa. Bahwa sejak dulu kala, Mesir selalu mengalami revolusi dan pemberotakan. Sebelum Mesir menjadi Negara Republik Arab Mesir, demografi Mesir berubah-rubah setiap waktu. Hanya saja, kesamaan karakter Negara Mesir dari waktu ke waktu itu adalah revolusi dan kesiapannya militer untuk menjaga rakyat Mesir bersamasama. Berangkat dari gagasan revolusi ini, pemetaan laku dan relasi politik Mesir di konteks modern mendapatkan kesamaannya. Kesamaan dalam arti peristiwa bukan konsep revolusi secara umum. Peristiwa yang sama ini, sebagai bentuk penyaringan sementara lingkaran kesadaran masyarakat Mesir dalam kurun waktu sekian lama, untuk mencari bentuk karakter laku sosial dari rakyat Mesir. Jika melihat pada revolusi tahun 2011 di tanggal 25 Januari, faktor terbesarnya adalah ke s a d a ra n ko m u n a l u n t u k m e n g u s i r kejengahan rakyat atas otoriter persiden dalam memerintah dan spirit keberanian r a k y a t Tu n i s i a d a l a m m e l a k u k a n p e m b e r o t a k a n ke p a d a p e r s i d e n n y a mempengaruhi rakyat Mesir untuk melakukan revolusi di negaranya. Meski sebenarnya ada pihak ketiga yang mengatur propaganda revolusi, tapi itu adalah bagian dari penafsiran atas kehendak manusia. Di sini, penafsiran atas kehendak pihak ketiga tidak dibahas, karena penulis menfokuskan pada kejadian di ruang realitas apa adanya. Berbeda pula dengan faktor terjadinya revolusi di tahun 1952, yang diketuai oleh Jedral Ahmad Naquib dan didukung oleh kekuatan tentara dari Jamal Abdul Nasir dalam pertahanan perpolitikannya. Atas problem suap dan komprominya Raja Farouk dengan pihak asing. Membuat penduduk Mesir untuk memberontak agar Raja Farouk agar mampu mengayomi rakyat dan turun tahta, akan tetapi semua tawaran itu ditolak, sehingga memancing Ahmad Naquib untuk menyusun gerakan dalam melengserkan Raja Farouk. Dari data analisa Anwar Sadad mengenai peristiwa tersebut, berpendapat bahwa pelaku sebenar-benarnya dalam menjalankan revolusi tahun 1952 adalah Jamal Abdul Nasir atas kekuasaan Raja Farouk, dikarenakan banyaknya suap di kerajaan. Pemberontakan rakyat Mesir waktu menjadi penanda penting bahwa masyarakat Mesir, dengan karakter kerasnya, selalu dipengaruhi oleh lingkungannya, padang sahara dan doktrin keagamaan. Fenomena revolusi yang berbeda tahun ini dan berjarak ini, mempunyai kaitan besar dengan karakter pribumi rakyat Mesir. Siapapun pemimpin di Mesir, akan selalu mendapatkan perlawanan sengit dari rakyatnya. Semua pemimpin di Mesir, hampir kebanyakan dibunuh dan misteri. Fakta ini menguatkan logika tentang terciptanya cara berpikir rakyat Mesir keras kepala dan memberontak jika keinginannya tidak dipenuhi. Selain dari pada itu, doktrin agama di Negara Mesir sangat kuat, baik itu Islam garis keras, Islam garis moderat, atau pun doktrin agama Kristennya, sangat kuat pula. Atas kekuasaan doktrin dan lingkungan padang sahara ini, ego untuk mengalah menjadi sangat minim diharapkan, hingga perdamaian dalam ruang demokrasi minim direalisasikan. Lepas dari pembacaan atas kekuasaan egolingkungan dan doktrin agama ini, fenomena perpolitikan Mesir selalu berulang dan hanya berganti tokohnya saja. (Bersambung ke hal 25)
09
Opini
Oleh: M. Nurul Mahdy
10
Opini
setiap pemimpin. Seperti yang kita ketahui, Indonesia adalah negara kepulauan dengan beragam agama, ras dan budaya yang sangat rentan terhadap perbedaan. Sehingga kita membutuhkan sosok pemimpin yang mampu menyatukan dan mengayomi semua unsur yang berbeda tersebut. Bukan bermaksud menyeragamkan, akan tetapi menjaga kerukunan dan keutuhan negara agar tidak tercerai berai. Ketiga, seorang pemimpin negara harus mempunyai keberanian, kebijaksanaan dan integritas tinggi dalam menjalankan roda kepemimpinan agar tidak mudah dikendalikan oleh pihak-pihak tertentu. Keberanian bukanlah sekedar lawan kata dari ketakutan/rasa takut. Keberanian adalah suatu sifat mempertahankan dan memperjuangkan apa yang dianggap penting d a n b e n a r d i s e r ta i d e n ga n ke s i a p a n menghadapi segala macam konsekuensinya. Ketika seseorang mengambil suatu keputusan dengan kesiapan menerima segala macam akibatnya, maka pada dasarnya ia sudah mempunyai keberanian. Dan dari keberanian inilah timbul kebijaksanaan. Seperti yang dikatakan Aristoteles, The conquering of fear is the beginning of wisdom kemampuan menaklukan rasa takut merupakan awal dari kebijaksanaan. Keberanian seorang pemimpin sangatlah penting untuk menjaga stabilitas dan eksistensi sebuah negara. Karena apabila s e o ra n g p e m i m p i n t i d a k m e m p u nya i keberanian dan pendirian yang teguh, maka ia akan mudah terombang-ambing dalam kebimbangan dan berakibat kemunduran negara. Hal ini selaras dengan apa yang pernah dikatakan oleh Bung Karno, "Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun." Keempat, selain kriteria di atas, seorang pemimpin Negara juga harus cerdas. Kecerdasaan tidak melulu tertuju kepada pengetahuan atau berapa banyak prestasi yang ditorehkan seseorang. Akan tetapi kecerdasaan juga bisa mencakup kreativitas, kepribadian, watak dan kebijaksanaan. S e o ra n g p r e s i d e n h a r u s m e m p u nya i ke c e rd a s a a n i nte l e k t u a l , a ga r d a p at menyelesaikan segala macam persoalan yang ia hadapi. Akan tetapi dalam menerapkan setiap kebijakannya, seorang presiden juga harus mempunyai keberanian dan kekuatan. Karena pemimpin yang berilmu tetapi tidak ku at m a ka s e t i a p ke b i j a ka n nya s u l i t diterapkan. Sebaliknya, pemimpin yang kuat tetapi tidak berilmu maka setiap kebijakannya tidak akan pernah menyentuh kepentingan rakyat banyak dan hanya terbatas pada kalangan-kalangan tertentu saja. Kelima, seorang presiden harus amanah dalam menjalankan tugasnya. Ketika seorang presiden mempunyai sifat amanah, maka ia akan senantiasa menjaga kepercayaan masyarakat yang telah ditaruh di pundaknya. Berbicara tentang amanah, bangsa kita kini sedang mengalami krisis pemimpin yang amanah. Hal ini terbukti dengan banyaknya pemimpin yang 'berlomba-lomba' masuk penjara karena terjerat kasus korupsi. Fenomena seperti ini sama persis dengan apa yang pernah dikatakan Bung Karno kepada bangsa indonesia Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri. Miris, ketika kita seharusnya saling menolong satu sama lain, malah mementingkan diri sendiri dan acuh tak acuh dengan sesama. Sebagai warga Negara yang baik tentunya kita mengharapkan yang terbaik untuk negeri ini. Berharap Indonesia kembali mengguncang dunia lewat prestasi dan kemajuannya di segala bidang. Oleh karenanya kita butuh seorang pemimpin negara yang serupa dengan Bung Karno. Sosok yang benar-benar mengabdikan jiwa dan raganya untuk Indonesia, sosok yang tak pernah mengeluh d a n p u t u s a s a d e m i ke m a j u a n d a n kemerdekaan yang hakiki. (Bersambung ke hal 25)
11
Kajian
Oleh: Nurul Ahsan
Sekelumit Potret
Politik Indonesia
Politik Uang Pemilihan umum anggota legislatif tidak lama lagi akan dihelat oleh pemerintah Indonesia tepatnya tanggal 5 April di Mesir dan 9 April di Indonesia. Banyak suara sumbang terdengar bahwa pemilu kali ini masih dipenuhi wajahwajah lama yang nuansa kepemimpinannya sarat dengan praktik-praktik korupsi. Hasil pemilihannya kelak juga dinilai tidak akan pernah membawa perubahan signifikan bagi bangsa Indonesia. Satu hal yang lazim terjadi sebelum pesta demokrasi berlangsung adalah maraknya janji politik para calon legislatif yang menembus hingga ruang-ruang yang tak terbatas. Hilangnya politik uang (money politics) juga dianggap masih belum terlalu dapat diharapkan. Padahal hampir semua sepakat bahwa keberadaannya menjadi ancaman serius bagi masa depan negara penganut sistem demokrasi seperti Indonesia. Walaupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sudah dibentuk permanen, tapi tampaknya regulasi yang dibuat tidak dapat diterapkan begitu saja. Hal ini diduga karena undangundang pemilu memang sengaja dibuat mandul, terutama terhadap praktik politik uang. Ada yang mengatakan undang-undang tak mungkin bisa menyentuh persoalan politik uang. Selain undang-undang yang tak memadai, tindak kejahatan politik uang bergerak dalam suatu struktur di balik hukum. Struktur di balik hukum adalah jaringan politik informal peninggalan Orde Baru yang menghubungkan partai, politisi, pengusaha, pemuka masyarakat, dan birokrat, sedangkan hukum yang ada sekarang ini terperangkap dalam jaringan itu. Para legislator tidak serius memberangus ancaman ini(?) Kinerja KPU Pemilu 2014 adalah pemilu besar di antara pemilu-pemilu lain yang pernah diselenggarakan di seluruh dunia. Sekitar
12
Kajian
19.700 kandidat legislatif yang tersebar di 2.450 daerah pemilihan bersiap-siap menjadi wakil dari daerahnya. Pemilu ini juga akan diikuti oleh sekitar 186 juta pemilih (angka persis DPT [Daftar Pemilih Tetap] 2014 yang ditetapkan KPU sebesar 186.612.255 pemilih). Keputusan ini diumumkan KPU pada 4 November 2013. Berdasarkan hasil survei yang d i l a ku ka n o l e h L S I ( L e m b a ga S u r v e i Indonesia), sebagian besar pemilih Indonesia memperlihatkan animo yang tinggi untuk berpartisipasi dalam pemilu 2014. Namun di sisi lain informasi terkait pemilu yang mereka dapatkan masih sangat terbatas. Hanya 20% yang cukup banyak mendapatkan informasi, 52% mendapatkan sedikit informasi sedangkan 21% manunjukkan sama sekali tidak mendapatkan informasi pemilu. KPU tidak serius melakukan sosialisasi kepada masyarakat Indonesia(?) Mindset Orang Indonesia Sistem pemilihan umum merupakan salah satu instrumen penting dalam kelembagaan negara demokrasi. Substansi dari instrumen ini harus disadari sebagai upaya menciptakan kepemimpinan yang adil serta cerdas. Dengan pemilu, harapannya kedepan Indonesia akan menjadi negara besar, bukan hanya murni dalam rangka menghantarkan seseorang ke tampuk kekuasaan. Semua orang menginginkan perubahan ke arah lebih baik. Salah satu proses yang terlebih dahulu harus dilalui dalam rangka mewujudkan impian perubahan adalah memberikan hak pilihnya kelak kepada orang yang mempunyai kredibilitas serta kapabilitas teruji. Pemilih harus mengetahui sejauh mana track record calon pemimpin yang hendak dipilihnya dan sejauh mana prestasi yang dihasilkan selama ini. Prestasi saja tidak cukup selama tingkat kejujurannya masih disangsikan. Sejauh ini fakta yang harus diterima bangsa Indonesia adalah tingginya tingkat elektabilitas tokoh-tokoh lama yang beberapa di antaranya pernah mengisi lembar hidupnya dengan sejarah kelam. Fakta ini sangat mengherankan sekaligus merisaukan. Bagaimana tidak, di tengah arus informasi yang berkembang sedemikian masifnya masih saja banyak yang tidak tahu secara persis sepak-terjang tokoh-tokoh pilihannya. Bisa jadi masyarakat sebenarnya telah lupa dengan sejarah para tokoh tersebut atau bisa jadi mereka telah memaafkannya meski tidak melupakannya. Padahal pemimpin yang mempunyai track record buruk akan selalu disibukkan dengan persoalannya sendiri ketika memimpin, di samping suatu saat ia juga berpotensi mengulangi kesalahannya kembali. Teori ini mengacu pada data tindak terorisme mayoritas dilakukan oleh orang-orang yang sebelumnya pernah menjalani hukuman penjara karena kasus serupa. Mindset orang Indonesia tidak serius bermimpi akan masa depan negaranya(?) Presiden Militer Dari masa Orde Lama, Orde Baru hingga era Reformasi di Indonesia telah dilaksanakan sepuluh kali pemilu legislatif. Namun yang menarik untuk diperhatikan adalah data partisipasi pemilih dari pemilu 1971 hingga pemilu 2004 menunjukkan grafik penurunan. Pada pemilu 2004 dan 2009 jumlah partisipan pemilu turun signifikan, bahkan pemilu 2014 ini juga diprediksi akan menurun secara signifikan. Artinya, persentase pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya (golput) menunjukkan kecenderungan meningkat. Namun demikian jika dibandingkan dengan tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu Amerika Serikat yang hanya mencapai kisaran 45% hingga 50%, partisipasi pemilih di Indonesia relatif lebih baik. Namun adanya kecenderungan persentase golput yang diprediksi melesat ke angka 57% di pemilu 2014 ini layak dicermati sebagai sebuah realitas perjalanan dinamika demokrasi di Indonesia. Sebagian dari jumlah pemilih di atas beranggapan bahwa Indonesia harus dipimpin oleh sosok berlatar belakang milier. Indonesia yang susunan masyarakatnya heterogen harus
13
Kajian
dipimpin orang kuat agar suasana politik tetap kondusif sekaligus terkendali. Fakta disipliner sekaligus gaya leadership di dunia militer dipandang sebagai syarat mutlak menjadi seorang presiden agar Indonesia menjadi negara berwibawa. Barangkali pertimbangan paling mendasar dari anggapan ini adalah sikap tegas seorang tentara dalam menghadapi berbagai macam ancaman serta loyalitasnya kepada bangsa dan negara. Wacana ini muncul dari beberapa tokoh t e r ke m u k a h i n g g a a k h i r n y a b a n y a k mempengaruhi warga negara Indonesia. Faktanya, dengan tegas penulis mengatakan, tidak selalu berbanding lurus dengan militer! Misalnya di Indonesia ada Ir. Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia, yang ketegasannya telah banyak mendapat legitimasi banyak kalangan. Mayoritas Presiden Amerika Serikat juga tidak dari kalangan militer sedangkan pengendalian politiknya cukup dapat dikatakan sukses. Bagi penulis, persoalan presiden adalah persoalan kepemimpinan bukan persoalan latar belakang militer maupun bukan. Mereka tidak serius melihat fakta ini (?) Kebohongan Politik Ada yang mengatakan politik itu bohong, ada yang mengatakan politik itu kotor, tapi ada juga yang mengatakan politik itu seni. Boleh jadi ketiganya benar. Perbedaan hanya terletak p a d a d i m e n s i d a n sta n d a r i s a s i ya n g digunakan. Semua bisa melihat kebohongan tersetruktur era Orde Baru hingga mengakibatkan Indonesia menjadi negara terkorup dunia. Kejahatan korupsi dilakukan mulai dari elit politik hingga perangkat desa, nyaris tanpa terkecuali. Meskipun demikian, fakta kebohongan terstuktur ini masih saja banyak mendapatkan simpatik, hingga partai sebagai representasinya diprediksi akan meraup suara terbesar kedua pada pemilu 2014. Bukan hanya itu, kebohongan juga masuk pada ruang-ruang sejarah hingga validitas sejarah Bangsa Indonesia dikatakan hanya 50% saja sedangkan selebihnya hanya
ungkapan-ungkapan manipulatif. Ungkapan politik kotor bisa jadi juga benar. Sudah berapa banyak korban kejahatan yang timbul akibat pergolakan politik. Dalam konteks Indonesia banyak sekali kebijakan diskriminatif yang dikeluarkan oleh otoritas pemerintah hingga mengakibatkan kesejahteraan tidak merata meskipun pasca reformasi kebijakan itu kini mulai banyak dikoreksi. Kita juga masih ingat bagaimana kebijakan politik menutupi kejahatan kemanusiaan atas orang-orang kiri di tahun 1965 dan sesudahnya, kebijakan-kebijakan ekonomi yang sangat memihak kalangan tertentu, pengebirian kaum intelektual termasuk kasus Petisi 50, dan seterusnya. Ironisnya kejahatan itu lama-lama menjelma hingga mampu diterima sebagai suatu kebenaran. Dalam konteks kekinian, politisi tidak jujur di Indonesia masih terlalu banyak jumlahnya. Mereka memang harus ada sebagai rangkaian dinamika politik dan bahan evaluasi dalam mengawal perjalanan sejarah Bangsa Indonesia. Meskipun demikian sebisa mungkin angkanya jangan terlalu dominan agar eksistensinya tidak terlalu menjadi hambatan progresivitas seperti yang terjadi di Indonesia sekarang ini. Jika terlalu dominan konsekuensi logisnya adalah gagasan kontruktif tidak akan pernah berjalan mulus
14
Kajian
lantaran terjadi dialektika-dekontruktif dari banyak kalangan yang lazimnya dilatarbelakangi perbedaan pandangan politik. Seakan-akan doktrin politik yang dipahmi mereka hanya satu: sebrilian dan sevisioner apapun gagasan yang dibangun rival politik harus diruntuhkan bersama-sama. Tidak serius memberangus kebohongan politik(?) Kejujuran Politik Dalam konteks lebih luas terkait cita-cita membentuk bangsa dan negara Indonesia yang lahir dari proses politik yang sehat, kejujuran dalam berpolitik mutlak menjadi landasan etisnya. Sayangnya kejujuran seakan menjadi mitos politik yang mungkin dianggap terlalu konvensional. Kejujuran nyaris hilang dalam setiap dinamika demokrasi seperti pemilu, pemilukada atau yang lainnya. Dimulai d a r i ket i d a k j u j u ra n , p e rs o a l a n te r u s merangkak hingga kerja mengurus rakyat secara serius dan kongkret selalu terhambat dan terbengkalai. Kejujuran dalam berpolitik mutlak memerlukan keberanian sebuah keberanian yang dilandasi kesadaran. Kejujuran mutlak harus menjadi panglima di alam politik Indonesia. Maksudnya, kejujuran harus terus diwacanakan sebagai gema yang menekan dan menelanjangi para politisi yang bermain politik secara tidak sehat melalui berbagai macam ketidakjujuran. Akan Tetapi, media massa yang seharusnya menjadi corong pembelajaran politik sehat bagi masyarakat justru saat ini dominan dikuasai politisi tertentu yang gencar menyebarkan p ro p a ga n d a d e m i m e m e n u h i a m b i s i politiknya. Tidak serius membangun kejujuran politik Indonesia(?) Saran dan Penutup Membangun perubahan memang bukan hal mudah ketika orang-orang yang tidak mempunyai kepribadian baik telah banyak mewarnai gelang gang politik dengan menguasai posisi-posisi penting, baik di l e g i s l at i f m a u p u n e ks e ku t i f s e m b a r i memanfaatkan situasi demokrasi yang masih berproses dan relatif masih muda. Lebih tidak mudah lagi, lantaran ada indikasi ketidakjujuran telah menjadi semacam virus yang menjangkiti cara berfikir masyarakat hingga hak pilih yang mereka gunakan dalam pemilu, mudah dikendalikan dan jatuh ke tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Tentu semua sepakat bahwa ketidakjujuran adalah prilaku sangat tidak terpuji: sebuah prilaku yang harus dijadikan musuh bersama. Bagi penulis, tidak menggunakan hak pilihnya (golput) sama sekali tidak akan membuat perubahan apa-apa meskipun kali ini mereka diprediksi mutlak 'memenangkan' pemilu. Sudah sepantasnya dalam pemilu kali ini masyarakat mulai cerdas menggunakan hati nurani yang bersih sembari meletakkan segala kepentingan sementara dengan berfikir realistis demi masa depan Indonesia. Jika masih saja tidak terjadi perubahan, bisa jadi memang kita tidak pernah serius bermimpi masa depan Indonesia!
- - - -
- - - -
15
Lensa KSW
Oleh: Ulien Saifullah*
biasa. Membicarakan pemilu kurang lengkap rasanya tanpa mendedah politik. Karena politik merupakan salah satu elemen yang tidak bisa dipisahkan dari pesta demokrasi. Politik mempunyai makna dan implementasi yang beragam. Jika dikaitkan dengan Masisir terkhusus organisasi kekeluargaan sebagian makna dan implementasinya terdapat keterkaitan dan sesuai dengan nilai-nilai organisasi kekeluargaan sedangkan, sebagian yang lain tidak sesuai dengannya. M a k n a p o l i t i k ya n g j a m a k d i p a h a m i masyarakat sekarang adalah lembaga politik praktis (partai politik). Dalam hal ini sebenarnya tidak ada keterkaitan antara partai politik dengan organisasi kekeluargaan. Karena keduanya mempunyai karakteristik dan cara berkomunikasi yang berbeda. Kekeluargaan bisa dikatakan merupakan keluarga bagi Masisir selama mereka menjalani studi di bumi Kinanah. Karakter keluarga menjadi aspek yang paling dominan. Sebab, organisasi kekeluargaan memang sudah seharusnya menjadi pengayom seluruh warganya. Di sanalah warga kekeluargaan berkumpul untuk saling berbagi dan saling berkomunikasi. Mereka berkumpul bukan karena ada kepentingan tertentu yang ingin
16
Lensa KSW
dicapai tetapi lebih karena faktor merasa keluarga sendiri. Hal tersebut jelas berbeda dengan partai politik, parpol yang merupakan organisasi dari aktivis-aktivis yang disatukan oleh kesamaan ide, nilai, cita-cita atau bahkan kepentingan mempunyai orientasi untuk menguasai pemerintah. Dalam mewujudkan tujuan-tujuan mereka sudah barang tentu p e rs a i n ga n d e n ga n ke l o m p o k ya n g b e rs e b ra n ga n p a n d a n ga n t i d a k b i s a dihindarkan. Sederhananya persaingan dalam partai politik adalah lumrah, ini jelas berbeda dengan organisasi kekeluargaan. Walaupun tidak ada keterkaitan secara langsung antara politik praktis dengan organisasi kekeluargaan, namun kekeluargaan tetap mempunyai peran dalam membangun politik praktis yang berkualitas. Membangun pemilih cerdas setidaknya itulah peran yang bisa dilaksanakan. Pemilih cerdas adalah pemilih yang kritis terhadap persoalanpersoalan bangsa, mengerti rekam jejak calon pemimpinnya, dan bersikap idealis menjaga u nt u k t i d a k i ku t s e r ta d a l a m p o l i t i k transaksional. Di alam demokrasi seperti saat ini pemilih cerdas sangat diperlukan guna menciptakan demokrasi yang berkualitas untuk melahirkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas pula. Dari pemimpin berkualitas inilah harapan agar Indonesia menjadi lebih baik terasa lebih realistis. Jika kita pikirkan secara bijak, sebenarnya ada bentuk politik lain yang bisa dijalankan dalam organisasi kekeluargaan. Bentuk politik lain yang dimaksud di sini yaitu politik kebangsaan. Istilah politik kebangsaan bagi sebagian kalangan mungkin terasa asing karena yang selalu nampak belakangan ini melulu politik praktis, sehingga banyak orang mengeneralisir politik, seolah politik tak lain adalah politik praktis tidak ada politik selain itu. Maksud dari politik kebangsaan yakni politik yang berorientasi pada implementasi dari cita-cita luhur para pendiri bangsa yaitu berupa gotong-royong dan kekeluargaan. Mungkin kita perlu memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dari gotong-royong supaya pemahaman kita terhadap politik kebangsaan bisa lebih mendalam. Secara gamblang Ir. Soekarno menjelaskan makna dari gotongroyong sebagai berikut gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantumembantu bersama, amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Berpijak dari pengertian gotong-royong tadi kekeluargaan seyogyanya mampu untuk menerapkan gotong-royong dalam menjalankan roda organisasi, sehingga dengan demikian disadari atau tidak kekeluargaan telah menjadi wahana bagi warganya untuk melatih hidup gotong-royong. Satu sama lain belajar untuk saling memahami, saling membantu dan menjadi makhluk sosial. *Wakil Ketua DP-KSW 2013/2014
17
Kata Mereka
Muhammad Saifuddin, MA. Ketua Panitia PPLN Mesir
Adalah suatu kebanggaan, rakyat diberi hak untuk memilih pemimpin mereka, wakil mereka secara langsung, bebas dan rahasia. Rakyat jelata mempunyai hak yang sama dengan pejabat, konglomerat dalam menentukan pemimpin yang akan mengatur negeri selama lima tahun ke depan. Dengan sistem one man one vote, nilai satu suara WNI di pelosok negeri, sama dengan WNI yang ada di pusat pemerintahan atau di Luar Negeri. Dengan sistem perolehan kursi di DPR berdasarkan suara terbanyak, maka satu suara sangat berharga. Bisa jadi calon legislatif (Caleg) yang berkualitas dan mempunyai integritas moral yang bagus, kalah oleh caleg kurang bermutu hanya karena selisih suara sejumlah jari tangan. Karena pemilu adalah satu-satunya cara suksesi kepemimpinan negeri dan anggota-anggota legislatif yang paling aman dan adil, maka marilah kita ganti pemimpin negeri kita, anggota-anggota legislatif kita dengan wajah-wajah yang lebih berkualitas, mempunyai integritas moral yang bagus. Setelah itu kita terus pantau, beri masukan, kritik mereka ketika mereka sudah menjadi pemimpin dan wakil kita, sebagai perwujudan demokrasi politik yang sebenar-benarnya.
Fathul Manan Mahasiswa Fak. Syariah Universitas Al-Azhar Kairo Pemilu merupakan kabar menggembirakan sekaligus cobaan untuk rakyat, dikatakan menggembirakan karena dengan adanya pemilu kita diberikan kesempatan memilih pemimpin yang benar-benar dibutuhkan untuk 5 tahun kedepan sesuai dengan pilihan rakyat, tentu saja dengan kepemimpinan yang lama rakyat tahu kinerja wakil-wakilnya yang betul-betul bekerja untuk memakmurkan rakyat dan wakil rakyat yang memakmurkan kerabatnya sendiri, dengan pemilu ini tentu sebuah kesempatan yang benar-benar harus digunakan sebaik baiknya untuk memilih pemimpin- pemimpin demi untuk kemakmuran negara dimasa depan. Akan tetapi pemilu juga sebagai cobaan rakyat karena sebagian rakyat tidak tahu sosok masing-masing calon wakil mereka, dari kepribadian, kehidupan dan sebagainya. Tentu dengan keadaan seperti ini merupakan hal yang sulit dan cobaan yang luar biasa bagi rakyat untuk memilih siapa pemimpin yang terbaik untuk memimpin sebuah Negara, yang diketahui hanyalah gambar partai yang memang sudah tidak asing lagi. Maka tidak asing sebagian partai mengangkat sosok artis-artis sebagai calon-calon legislatif dari partai tersebut, karena dinilai merupakan sebagian langkah jitu untuk memenangkan pemilu ini dengan sosok yang sudah dikenal oleh rakyat .Perubahan ada ditangan kita, maka kita harus gunakan hak pilih kita sebaik-baiknya, kalau bukan kita siapa lagi, kalau tidak sekarang kapan lagi.
Muhammad Khalilullah Mahasiswa Fak. Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo April 2014 musim pemilu, yang katanya musim jual nama, musim dukun, musim gelar dan seterusnya. Meskipun demikian, saya hanya ndingkluk ngestuaken pangendikane KH. Wahab Hasbullah seburuk apapun keadaan, kita harus tetap ikut terjun apalagi tentang persoalan Negara. Karena akan menjadi suatu hal yang lucu jika kita tidak ikut memilih, tetapi setelah bakal calon presiden atau legislatif terpilih tidak sesuai dengan yang diharapkan, kita ongkang-ongkang mencak-mencak protes sana sini menginginkan kudeta. Pepatah jawanya ora melu masak, melu mangan. Sehingga menurut saya, ini bukan lagi 'Hak Pilih' melainkan 'Kewajiban Memilih'.
18
Resensi
Oleh: Alaik Fashalli
Agama adalah prinsip kepercayaan kepada Tuhan dengan aturan-aturan syariat yang ditetapkan, dan agama memuat aspek penting dalam kehidupan manusia. Dengan agama manusia dapat hidup teratur dan terarah, berbagai aspek yang menunjang kesejahteraan manusia tidak lepas dari kendali agama seperti, ekonomi, sosial, politik, b u d ay a , i l m u p e n g e t a h u a n d a n l a i n sebagainya, masing-masing memiliki porsi aturan seimbang yang ditakar oleh syariat. Agama Islam secara history memiliki relasi kuat dalam merefleksikan strategi politik yang cukup signifikan dalam hal bernegara, wahyu Al Quran dan sunah Nabi Muhammad Saw. berperan sebagai jantung dari tubuh sistem politik Islam. Khilafah Islamiyah yang digerakkan oleh para Khulafa ar Rasyidun adalah sebuah sistem yang diciptakan untuk merealisasikan sebuah tuntutan agama dan meneruskan visi dan misi Nabi dalam mentransfer nilai-nilai syariat ke dalam tubuh masyarakat malalui sebuah bingkai sistem politik Islam. Sebuah fenomena politik yang berkembang yang membedakan sistem politik referensial (nash) atau sistem politik standar. Abdur Razzaq as Sanhury, salah satu ulama terkemuka di bidang Syariat Islam wal Qonun, juga merupakan anggota penting dalam komite politik Islam timur tengah sekaligus anggota perumus undang-undang dasar (UUD) di beberapa negara Arab selama p u l u h a n t a h u n p a d a a b a d ke - 2 0 - a n berpendapat melalui ijtihadnya, bahwa dunia Islam saat ini membutuhkan kembalinya sistem khilafah, dan untuk mencapai tujuan itu umat Islam harus bersatu dalam satu kesepakatan yang sama untuk menegakkan khilafah. Begitu pula Hasan Al Banna (Pendiri
19
Oase
Oleh: Landy T Abdurrahman*
Lemper
Sebelumnya, saya ingin mengulang pesan Dr. Martinet kepada Minke saat menghadapi Annelies sakit; "Cinta tak lain dari sumber kekuatan tanpa bendungan bisa mengubah, menghancurkan atau meniadakan, m e m b a n g u n ata u m e n g ga l a n g . A ga r setidaknya kita ingat, bahwa kita sedang membicarakan bangsa yang (pernah atau sedang) kita cintai. Dan itu menjadi dasar. *** Tempo hari, di sore yang biasa saja. Saya tengah berada di sebuah obrolan biasa dengan beberapa kawan yang juga biasa saja. Hanya satu yang luar biasa di sore itu, hidangan beberapa potong lemper. Kebetulan obrolan kami yang biasa saja membincang tentang politik; kebiasaannya dan keluarbiasaannya. Megah. Euforia politis jelang hari H kian megah; baliho, iklan, slogan, bahkan propaganda. Salah satu kawan mengungkapkannya dengan nada sedikit menyindir. Tapi semoga tidak memang sedang menyindir. Pun jika menyindir, di antara kami yang duduk di obrolan itu sepertinyatidak ada yang merasa. Tapi menurut satu kawan yang lain, euforia politis jelang pemilu itu biasa. Justru euforia politis di luar event politik itu yang luar biasa! Tambahnya dengan nada yang lebih menyindir. Obrolan di sore itu benar-benar meriah. Seperti pemilu yang meriah; pencoblos (pemilih), penyelenggara, dan figur-figurnya. Dan pada titik ini saya jadi teringat perkataan Pram1; Barang siapa tidak bersetia pada azas, dia akan terbuka pada kejahatan; menjahati atau dijahati. Ya, segala meriahnya pesta politik nasional ini bisa saja sia-sia jika peran masing-masing pelaku tidak didasarkan pada kebajikan. Atau setidaknya, tidak berusaha menjadi pemeran politik yang baik. Pencoblos yang baik, penyelenggara yang baik, dan figur politik yang baik. Pemilih yang baik; (setidaknya) cerdas dan sadar bahwa memilih atau datang ke TPS adalah sebuah kebutuhan yang didasari alasan jangka panjang. Bukan sekedar alasan perkara perut barang satu-dua hari. Penyelenggara yang baik; cerdas dan sadar bahwa kebutuhan bangsa bukan sekedar mendatangkan para pemilih ke TPS, tapi (setidaknya) memberi dan pengetahuan dasar politik yang baik saat pesta politik digelar. Figur politik yang baik; sadar bahwa event politik bukanlah ajang berdagang muka, janji dan popularitas, tapi sedang menentukan kebijakan dan kebajikan bangsa ke depan. Bisa jadi benar, satu saja peran politik tidak dijalankan dengan baik, akan berimbas pada maju-mundurnya bangsa setidaknya- lima tahun ke depan. Tapi terkadang, persoalan baik dan bijaknya pemeran politik terletak pada hal yang lebih mendasar; mentalitas. Pendidikan mental yang lebih sering tidak utuh yang dikenyam para pelaku politik akan m e n j a d i s u m b e r ke r u m i t a n . K a r e n a sewajarnya, mental yang baik itu terletak di nurani dan otak, bukan di perut dan sekitarnya. Dan sewajarnya pula, ada ketidakrelaan saat nasib bangsa dipertaruhkan hanya demi kepentingan politis perut dan sekitarnya. Layak kiranya jika dibilang wajar, pesta politik nasional ini dianggap sebagai sebuah kebutuhan warga negara yang jujur. Jujur akan tanah airnya, akan keberadaannya, dan keberlangsungan bangsanya; Indonesia. Namun terkadang, sifat lupa melanda di saat yang tepat; tepat di tengah meriahnya pesta
20
Oase
politik nasional. Lupa akan mental baik dan azas kebajikan, lalu hanya berusaha mendapat hal yang paling berharga dari para objek pesta politik; perhatian, apapun dan bagaimanapun caranya. Ya, semoga saja yang seperti itu memang sedang lupa atau (mungkin) terlupa, bukan sedang melupakan dengan sadar dan sengaja. Dan semoga saja segera ingat, meski dengan harus diingatkan. Memang, pesta politik besar ini memang selalu sarat dengan suguhan keanekaragaman, p e r b e d a a n , d a n p e rs a i n ga n . N a m u n setidaknya, saat mental sudah terbangun dengan baik atau tepat peletakannya (tidak diletakkan di perut dan sekitarnya), bisa terwujud kerjasama visi dan komunikasi mental; bahwa kita sedang menentukan keberlangsungan sebuah bangsa. Bukan sekedar menentukan keberlangsungan rasa kenyang dalam satu atau dua hari. *** Tiba-tiba saja saya jadi teringat kesan pemilu lima tahun lalu; tumpangan bus pariwisata dan sekotak nasi. Saya jadi berandai, jikalau hidangan pesta pemilu di Kairo ini hanya sepotong lemper, apakah pesta pemilu di Kairo ini masih ramai? Tapi saya juga berandai; sendainya saja harga maju-mundurnya bangsa Indonesia setidaknya- selama lima tahun ke depan tidak semurah sekotak nasi! Lalu saya teringat perkataan Jean Marais pada Minke2; Seorang terpelajar sudah harus belajar berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan. *Mantan Kru PRESTSI _________________________ 1 Pramoedya Ananta Toer. 2 Dua tokoh di Novel Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer.
21
Sastra (Cerpen)
Oleh: Zulfah Nur A
22
Sastra (Cerpen)
mirip yang dilakukan anak-anak desa ini yang gemar meneropong langit dengan bambu, hingga akhirnya Pak Kades memperkenalkan sebuah alat peneropong canggih dari kota. Mensosialisasikannya kepada masyarakat dan mengadakan agenda meneropong gratis di setiap hari senin dan selasa. Alat ini bernama Teleskop. Kita bisa mengintip makhluk luar angkasa dengan alat ini! aku masih ingat kata-kata Pak Kades kala itu. Tapi suatu saat nanti, aku pasti akan kesana! kedua matanya memandangiku dan bibirnya mengukir senyum. Bukankah kota adalah suatu tempat menakutkan, sarang para monster perusak! Kau akan cepat mati disana atau paling tidak kau akan menjadi monster seperti mereka! Walau angin berhembus sedikit kencang, suara tawanya masih bisa kudengar. Lagi-lagi dia memandangku dan tersenyum padaku. Ah, aku tak ingin ini berakhir! ***** Perubahanku menjadi siluman serigala setiap kali menonton acara televisi, tidak membuat ibu mengambil inisiatif untuk menyembunyikan televisi itu. Bahkan, ibu tetap membiarkanku duduk bersamanya menonton drama sinetron. Aku sungguh tak mengerti, masyarakat kota yang berpendidikan tinggi, membuat alur drama yang miskin nuansa edukasi, kampungan, sarat akan nuansa semi-porno dan jauh dari etika. Ibu yang menyadari peruahanku, memberi isyarat dengan kedua matanya, yang jika diterjemahkan akan bermakna kurang lebih seperti ini: Jika kau ingin tetap menonton televisi bersama ibu, kendalikan dirimu, kau mengerti? Bukan main usahaku untuk menahan erupsi emosi yang melatup-latup. Di menit ke 59, materil emosi itu akhirnya muntah, ketika drama sinteron berakhir dan dilanjutkan dengan acara debat. Forum debat itu dihadiri oleh kaum intelektual kota yang memiliki gelar berderet-deret di belakang namanya. Aku begitu kesulitan untuk mengulang namanya beserta gelar-gelarnya. Keyakinanku bahwa intelektualitas dan etika adalah persenyawaan yang unsur-unsurnya tak dapat terurai, runtuh sudah. Kaum (yang mengaku) intelekual ini terbakar api pertikaian dan akhirnya terjebak dalam lubang caci maki dan penghujatan. Apa bedanya mereka dengan penduduk rimba yang tak mengenal etika dan gemar berkelahi? Benar-benar tak santun! Ups. Aku memandang ibu dengan senyum getir. Maaf,ucapku menyesal. Ibu diam sejenak, mengambil nafas panjang dan membelai lembut kepalaku. Ka u t a u ke n a p a i b u m a ra h d e n ga n kelakuanmu ini? Aku diam menunduk bagai orang yang terkutuk sinar rembulan. Kota dihuni oleh kaum berpendidikan yang memiliki beribu teori dan konsep. Tapi realitanya kelaparan, kemiskinan dan tindak kriminal menjamur dengan suburnya. Hal ini karena pamer pengetahuan dan menjadi kritikus cerdas lebih mudah daripada menjadi p e l a ku ya n g m e m b a n g u n , ya n g s i a p bermandikan peluh! ***** Betapa terkejutnya, ketika mendengar kepergiannya ke kota. Dengan terburu-buru dan hati yang tak menentu, aku pergi ke kantor Pak Kades. Penjelasan Pak Kades bahwa dia bergabung dengan anak desa pilihan lainnya untuk dikirim ke kota, cukup membuatku mati rasa. Pandanganku menjadi kabur, terhalang oleh airmata. Aku tak dapat mendengar apaapa lagi kecuali teriakan kebencian di hatiku. Aku benci karena dia pergi tanpa mengucap sepatah katapun. Aku benci karena aku belum sempat memberitahunya bahwa aku mengerti sekarang. (Bersambung ke hal 26)
23
Sastra (Sajak)
Kotoran Politik
Oleh: Tsabit Qadami
Pemilu sebentar lagi tiba masanya Aku melihat kotoran di mana-mana Juga mencium polusi beterbangan di udara Para politisi ramai menebar propaganda Simpatisan menelan mentah-mentah, berbuat kegaduhan Wajah dalam spanduk berebut kursi berjejal-jejal Membuat jalanan seperti tempat sampah Awas!!! Kalau saja sampai waktunya Seorang beraroma politik datang mengendap-ngendap Atau tubuh rakyat mulai lunglai keracunan Atau bila anak-anak sudah mabuk berbicara urusan dewasa Awas!!! Jangan pernah lupa! Akan kami hantam mereka sekuatnya Atau pun bila perlu segenap jiwa raga yang membela
;begitu saja
Oleh: Fadhilah
Lalu, arah tidak jadi perkara pertiwi atau buah kiwi jua tak tentu Seandai surga di awang-awang nusantara nyatanya tertuang di wadah-wadah pembuangan; begitu saja Kemudian, semenanjung tak kunjung sepi ia begitu ramai ia begitu berisik ia begitu risih padahal tak satu bahtera berlabuh orang-orang bertopeng itu saling berebut saing mencari muka tanpa sadari harga semua apa naik berkali-kali; begitu saja Seterusnya, tegakkan saja! Biar tau atau tidak, ngerti atau tidak, atau masa bodoh sekalian hingga lain kali, mungkin lain waktu manusia yang terus tidak saling mengerti .. Ini tak dibiarkan; begitu saja. Kairo, April 2014
24
Serba-Serbi
(Sambungan halaman 9, Status Perpolitikan... ) Dengan gagasan paling atas, berbicara bahwa strategi politik atas pengacauan ekonomi tata sosial ini, fenomena yang hadir di ruang realitas ini menunjukan warisan budaya masyarakat Mesir dari tahun ke tahun tidak pernah hilang. Kerusuhan yang dilakukan tidak lebih, hanyalah pemaksaan doktrin agama dan ego untuk saling menguasai, tidak lagi diarahkan dalam membangun Negara beradab dan demokrasi. Jika Negara Mesir berusaha untuk mengikuti paham demokrasi, maka selayaknya sejak dini, pemerataan pendidikan demokrasi sudah mulai merata di kelas manusia. Tidak hanya dimiliki oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi. Maka tak heran, Alfred Stepan dan Graeme B. Robertson, mengatakan dalam artikelnya bahwasanya Mesir termasuk kategori Negara Arab yang menganut madzhab demokrasi, hanya saja, masih abu-abu, tidak benar-benar Demokrasi. Bagi Mereka berdua, negara-negara Arab saat ini, baik yang menganut madzhab sekuler ataupun demokrasi, dalam pelaksanaan politik dan pemilunya jauh dari standar demokrasi yang digunakan oleh masyarakat modern di dunia. Padahal di negara lain, yang Bergama Islam lebih banyak, dalam kenyataannya berhasil dalam menerapkan sistem demokrasi sebagaimana aturan demokrasi di negara maju. (Sambungan halaman 11, Rindu Akan Soekarno) Namun kita sadar bahwa manusia tidak ada yang sempurna. Setiap individu pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Oleh karenanya, sulit kiranya ketika kita mengharapkan pribadi yang sama persis dengan Bung Karno. Tapi setidaknya kekurangan yang dimiliki presiden mendatang bisa ditutupi dengan kelebihan wakil presiden atau para menteri yang duduk di kabinetnya. Semoga Indonesia segera bisa menemukan seorang pemimpin yang mampu membawa Indonesia kembali ke identitas aslinya sebagai negara yang kaya, subur, dan bertabat di mata dunia.[] (Sambungan halaman 20, Pandangan Politik Islam) Daulah Islamiyah yang didirikan pertama kali di Madinah mengandung 3 (tiga) pilar utama. Pertama, pilar yang dibentuk oleh kaum Muhajirin yang dipimpin oleh Umara. Kedua, pilar yang yang terbentuk di masa selanjutnya yang dipimpin oleh Wazir. Ketiga, pilar yang dibentuk oleh Majelis Syura, terdiri dari tujuh puluh sektor saat itu. Setiap pilar mengusung transliterasi Hukum Syariat di setiap masanya, sehingga bisa dikatakan sangat menentang Diktatorisme dan Sekularisme. Pada dasarnya, Politik praktis dalam pandangan islam bukanlah induk Akidah agama atau sebuah kewajiban yang harus dilakukan, namun hanyalah sebuah cabang atau gagasan semata. Sehingga apapun perselisihan yang terjadi di dalam masalah politik selalu berkisar antara benar atau salah, bermanfaat atau tidak, bukan mempersoalkan tentang Iman atau Kufur. Negara Islam sebenarnya menyadari akan adanya macam-macam bentuk agama dan bentuk pemikiran. Memperjuangkan kebebasan dan hak-hak manusia. Secara tidak langsung masyarakat non Islam dapat ikut merasakan keamanan dan hidup damai secara nyaman dalam negara islam. Musyawarah Majelis Syura (Musyawarah) adalah komponen penting dalam politik islam, yang berlaku untuk menjawab segala problematika masyarakat. Seperti pada masa Khulafa al Rasyidin, Abu Bakar ra. kerap membawa perkara-perkara masyarakat ke dalam Majelis untuk dimusyawarahkan bersama Sahabat-sahabat yang lain, begitu pula ketika ingin menetapkan sebuah aturan (undang-undang) baru. Hal itu dilakukan oleh Abu Bakar manakala perkara yang muncul tidak disinggung oleh Nash Al Quran dan Sunah. Dari sini memberitahu kita bahwa Islam telah menjalankan demokrasi jauh-jauh hari sebelum akhirnya ide itu muncul di Yunani. Al-Qurtubi, seorang mufassir mengungkapkan, Musyawarah adalah salah satu anjuran syariat dalam ketentuan hukum yang harus ditegakkan. Maka barang siapa yang menjabat sebagai kepala negara , tetapi ia tidak bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama (ulama) maka harus dipecat. Bentuk pelaksanaan syura memang tak ada yang menjelaskannya. Nabi Muhammad Saw. yang
25
Serba-Serbi
gemar bermusyawarah dengan para sahabatnya tak mempunyai pola dan bentuk tertentu. Sehingga, bentuk pelaksanaan syura bisa disesuaikan dengan kondisi dan zaman umat Islam. Bersifat Demokratis Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti persamaan, keadilan, kebebasan, hak asasi manusia, dan sebagainya. Demokrasi sebagai sistem berbasis politik praktis yang dicetuskan secara etimologi oleh peradaban barat sebenarnya memiliki corak hukum positif, menghubungkan setiap individu masyarakat pada sebuah tataran dan batasan yang sama sebagai komponen bangsa, tidak memberikan hak dan kewajiban yang berbeda antara satu dengan yang lain. Isi dari ide demokrasi tak lain adalah buah pemikiran yang bersifat responsif terhadap lembaran aktual meskipun hanya berkisar pada filosofi dunia saja yang sekedar didasarkan pada pertimbanganpertimbangan dunia. Namun apabila demokrasi itu dipimpin oleh politik Islam akan menggandeng pesan-pesan Tuhan, dan yang paling penting demokrasi ala Islam menjangkau dua dimensi, dunia maupun akhirat. Bekal menuju akhirat Cuma tersedia di dunia, mengatur, menyeimbangkan dan membuat sinkronisasi terhadap arahan-arahan Tuhan, adalah hal yang wajar, karena urgensi turunnya manusia di dunia agar dapat menyesuaikan diri di dunia tapi tidak melepas dan melupakan kewajibannya kepada Tuhan. Abu Hamid Al Ghazali pernah mangatakan, bahwa tuntutan agama belum bisa dicapai secara sempurna jika tatanan dunia belum siap. Dengan kata lain keduanya memiliki relasi yang saling menghubungkan. Kewajiban ibadah misalnya, dengan menjalankan ibadah salat, puasa dan pergi ke tanah Haram untuk haji, semuanya bisa dilaksanakan secara sempurna jika fisiknya sehat, tempat tinggalnya layak, makanan dan keamanannya memadai. Seluruhnya diatur dalam keseimbangan yang sama dalam rangka menciptakan kehidupan dunia yang harmonis dan mencapai cita-cita akhirat yang mendapat lisensi rida dari Allah SWT. Politik praktis oleh Islam tidak dipandang sebagai sesuatu yang tabu bahkan asing, namun hal yang harus dilakukan atas sebuah keharusan untuk manajemen kehidupan dunia. Islam sangat akrab dengan kegiatan politik sejak zaman Nabi dan masa setelahnya. Sebuah pelajaran berharga yang dapat diambil dari seluruh perjalanan politik nabi dan kebijakan para Khulafa al Rasyidin adalah bagaimana umat Islam mengonsepsikannya sebagai sebuah kebijakan yang secara substansial tidak bertolak belakang dari ajaran syariat. Adapun praktek negara dan sistem yang dipakainya tidak perlu menggunakan nama aliansi keislaman, bukan nama atau simbol yang diharapkan, tapi muatan dan unsur kandungannya yang bisa sepihak dengan tujuan-tujuan Tuhan dalam berbagai kemaslahatan dalam kehidupan manusia. (Sambungan halaman 24, Cahaya dan Fajar) Apa bedanya aku dengan paramonster kota itu, jika aku tetap diam, terjebak dalam lubang kenyamanan ini, sedang di tempat lain, aku mendengar rintihan minta tolong? Dan aku benci karena aku masih belum mengerti arti pandangan dan senyumannya itu. Aku benci! Kali ini, kau harus percaya padaku. Cinta dengan merah mudanya mampu membuat orang menjadi tolol. Segala keceriaan dan kegiranganku mendadak lenyap, melebur bersama tetesan air mata. Namun syukurlah, efek cinta ini hanya berlangsung selama dua minggu tiga hari dua jam empat puluh delapan menit. Di saat aku kembali menjadi diriku, kudapati baju-bajuku yang melonggar. Aku mengerti sekarang, kenapa ibu selalu menangis ketika melihatku. Kemari cepat, kau harus lihat ini! teriak adik laki-lakiku. Akhir-akhir ini, kehidupan sering memberiku kejutan. Di layar televisi, dapat kulihat orang yang telah membuatku tolol berhari-hari. Dia terlihat semakin tampan dengan jas dan dasi coklatnya. Saya dan teman-teman yang bergabung dalam Cahaya Fajar, akan berusaha mencarikan solusi untuk mengelurkan kota dari gundukan masalah. Kami siap berjuang untuk mengembalikan manusia di kota ini kepada kemanusiaannya! Bukankah Cahaya adalah namamu dan Fajar itu namanya? Tanya adik laki-lakiku.
26
Catatan Pojok
Oleh: Choiriyya Safina
Childish
uatu hari, seorang ibu rumah tangga sedang sibuk membuat kue pesanan untuk acara arisan, namun tanpa disadari tepung yang sudah dipersiapkan ternyata kurang. Sang ibu mendadak gugup, karena kue yang tengah dipanggang tidak lama lagi matang. Belum lagi, ditambah masih ada adonan yang harus segera dikerjakan. Semerta waktu semakin mepet dengan acara arisan. Maka ia meminta tolong kepada anaknya, yang masih duduk di bangku sekolah dasar, membelikan tepung ke warung terdekat. Bella, tolong belikan tepung di warung bu Arni perintah ibunya. Kapan bu? bella bertanya. Ya sekarang lah! sahut sang Ibu dengan tak sabar. Bella kembali menjawab Yah kog sekarang sih bu, aku masih asyik nonton kartun TV nich. Ntar ketinggalan ceritanya donk. Ya kecuali Ibu belikan DVD kumpulan kartun, jawab Bella sambil tersenyum. Iya iya, nanti Ibu belikan, jawab Ibu dengan menghela nafas dan sedikit terpaksa. Percakapan antara seorang ibu dan anaknya barusan, dapat dikatakan natural dan wajar terjadi dalam kehidupan seorang anak yang masih menduduki bangku sekolah dasar. Dan cukup memberi gambaran pemaknaan childish atas judul yang diangkat. Oleh penulis, percakapan ini merupakan pemantik dan kiasan atas fenomena pemilu yang pernah atau mungkin akan terjadi kembali di Masisir. Ya, mungkin akan kembali terjadi, tidak lain karena berkaca pada pelaksanaan pemilu sebelumnya. Tepatnya atas apa yang berjalan di kalangan Masisir di mana TPS ber-tempat di KBRI (Garden City) yang jauh dari pusat tempat tinggal mayoritas Masisir. Tanpa berpaling dari realitas Masisir yang ada, keadaan seperti ini seakan menjadi beban tersendiri bagi Masisir, bahkan beberapa di
antaranya akan lebih memilih untuk bersantai di rumah daripada membuang waktu untuk perjalanan yang tidak sebentar. Entah terlaksana sejak kapan, penulis sendiri kurang tahu, ada layanan penjemputan Masisir dari PPLN (Panitia Pemilihan Luar Negeri) menuju TPS di KBRI dan menjamin adanya 'makanan berat' setelah selesai melakukan pemilihan. Jika dengan langkah ini, P P L N dapat menghadirkan Masisir -yang tidak lain adalah obyek utama pelaksanaan pemilu di Mesir- ke dalam lokasi pemilihan. Sudah barang tentu salah satu tugas yang diemban PPLN dapat dikatakan berhasil atau sukses. Jadi benar, serta selaras dengan kiasan terhadap kisah dialog antara Bella dan ibunya itu. Sikap Masisir menjadi tidak jauh berbeda dengan tokoh Bella, Si bocah SD itu. Childish. Apalagi ada fenomena yang penulis ketahui istilahnya dari status facebook salah satu kawan tentang pemilihan legislatif, yaitu: NPWP (nomer piro wani piro). Agar tak senyatanya ber-label childish, sudah waktunya kita sebagai Masisir, melek terhadap keadaan dan jati diri kita sebagai mahasiswa. Mahasiswa yang terlanjur terkenal dengan slogan: agent of change. Wajib malu dan mempermalukan diri, sekiranya memilih Pemilu saja, perlu dijemput. Apalagi, harus terbeli suaranya. Semerta tak patut ketika bersikap childish . Sekarang, kita harus menyadari hakikat sebagai mahasiswa serta menjalankan peran kita dengan lebih baik. Ada kutipan indah dari film The Great Debaters, yang mungkin mampu menjadi motivasi diri; when I was child, I spoke as a child. I understood as a child. I thought as a child. But when I became a man, I put away all childish things . Selamat memilih pilihan Anda dengan/dan secara dewasa. [Safina_enbe]
27