Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH KOMUNIKASI POLITIK DI INDONESIA

Disusun dalam rangka memenuhi Tugas Mata Kuliah

Pengantar Ilmu Komunikasi Kelas 7

Dosen Pengampu : Dr. Hapsari Dwiningtyas Sulistyani, MA

ROHMAT ARIEF JULIANTO

14040120130136

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2020
BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan sebuah negara hukum yang berbentuk kesatuan dengan


pemerintahan berbentuk republik dan sistem pemerintahan presidensial dengan sifat
parlementer. Indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan melainkan pembagian
kekuasaan. Pemerintahan Indonesia tidak luput dari kegiatan komunikasi politik yang bertujuan
untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai suatu pemerintahan dan
presidennya.

Seorang presiden haruslah mempunyai kemampuan komunikasi politik yang efektif.


Menurut Aristoteles, dalam komunikasi yang terpenting adalah dapat mempersuasi dan
mempengaruhi publik agar percaya kepada orang tersebut. Teknik persuasi yang dikemukakan
oleh Aristoteles antara lain, logos (logis/masuk akal), pathos (ikatan emosional), dan ethos
(karakter/pembawaan). Susilo Bambang Yudhoyono merupakan salah satu pemimpin negara
yang berhasil menjadi seorang komunikator dengan menggunakan teknik persuasi. Maka tidak
heran jika beliau bisa menjabat sebagai presiden sampai 2 periode.

Melihat kasus tersebut, maka penulis tertarik untuk menganalisa bagaimana kegiatan
komunikasi politik teknik persuasi logos, pathos, dan ethos yang dilakukan oleh bapak Susilo
Bambang Yudhoyno yang terkenal punya citra bagus ketika berbicara di depan publik pada saat
kampanye pemilu dan saat menjabat presiden.
BAB II

PEMBAHASAN

Pada pemilihan umum di Indonesia biasanya tim sukses dari pasangan calon presiden
dan calon wakil presiden melakukan kampanye visi dan misi calon pemimpin kepada rakyat.
Saat waktu itu juga para pemimpin partai politik membuat diri mereka terus mempersuasi
masyarakat untuk mendapatkan popularitas sekaligus melindungi kekuasaan politiknya.

Susilo Bambang Yudhoyono memiliki komunikasi yang bagus kepada publik, beliau
kerap terlihat ketika berbicara kepada publik melalui pidato atau agenda lain di media massa
atau publik. Tahun 2004 ketika pemilihan umum pertama kali rakyat memilih langsung presiden,
banyak rakyat indonesia yang memuji SBY sebagai sosok yang kemanusiaan, religius dan
bermartabat. Singkatnya, mantan presiden Republik Indonesia ke-6 ini sangat menawan.
Alhasil SBY yang dipasangkan dengan Yusuf Kalla terpilih sebagai presiden walau harus
berhadapan dengan tokoh sekelas Amien Rais, dan juga ada Megawati Soekarnoputri, Wiranto,
beserta Hamzah Haz. Saat kembali mencalonkan dirinya menjadi presiden untuk kedua kalinya
(2009-2014), SBY masih sanggup memikat sebagian besar masyarakat Indonesia. Alhasil, SBY
yang saat itu berpasangan dengan Boediono kembali terpilih sebagai presiden.

SBY bisa dikategorikan bagaikan seseorang komunikator yang sukses, bisa


menyampaikan pesan kepada publik bahwa beliau adalah sosok yang mampu memimpin
negara, santun, beretika dan toleran terhadap KKN. Selain itu, SBY juga mempunyai
kredibilitas, daya tarik dan kekuatan. Menurut Aristoteles, jika seorang komunikator memiliki
ethos (karakter/pembawaan), pathos (ikatan emosional), dan logos (logis/masuk akal), ia dapat
memperoleh kredibilitas.

Dari segi Ethos

Ethos ialah sekumpulan pandangan tentang kekuatan komunikator, sehingga publik


mau menerima, mempercayai, dan mengikutinya. Aristoteles menjelaskan ethos inilah yang
terkuat dan paling berpengaruh diantara 3 teknik persuasi tersebut, dengan dilatarbelakangi
oleh rekam jejak, catatan sikap, serta suri teladan.

Bapak Susilo Bambang Yudhoyono sukses menampilkan dirinya (mengirim pesan ke


sebagian warga Indonesia lewat media) sebagai pribadi yang berkarakter atau berkepribadian
baik. Sehingga kebanyakan orang Indonesia (yang menerima berita) yang terdiri dari bermacam
suku, ras, dan agama bersimpati kepadanya (efek).
Ketika pidato presiden, bagian ethos sangat menonjol pada pembukaan untuk
meningkatkan kredibilitas bapak presiden. Menurut Aristoteles, ethos melibatkan tiga
karakteristik yakni kecerdasan, karakter dan niat baik. Ketiga aspek tersebut tercermin dalam
pidato Presiden SBY, di antaranya yang paling menonjol ialah karakternya. Hal tersebut
tertuang dalam Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia di Istana Negara Tanggal 20
Oktober 2004 pada beberapa kalimat seperti ini :

...Kepada rakyat Indonesia di manapun berada, saya mengucapkan terima kasih, atas

dukungan dan kepercayaan yang diberikan kepada saya, dan Saudara Muhamad Jusuf Kalla.

Walaupun kini saya telah menjadi Presiden, saya tidak berbeda dari saudara semuanya :

saya hanyalah warga biasa yang lahir dari keluarga biasa yang lahir, tumbuh dan dibesarkan

oleh negara dan masyarakat.

Dengan mandat yang saya terima Iangsung dari saudara, saya bertekad bukan saja

untuk menjadi Presiden Republik Indonesia, namun juga menjadi Presiden Rakyat Indonesia,

seluruh rakyat Indonesia.

Saya akan terus menjaga kontrak politik yang mulia dengan rakyat. Pikiran, tenaga dan

waktu yang saya miliki, akan saya dedikasikan untuk memajukan dan melindungi setiap insan

Indonesia.

Kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, saya dan

Wakil Presiden Yusuf Kalla bertekad, akan bekerja-sama dengan saudara-saudara untuk

kepentingan nasional, kepentingan seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan amanah

konstitusi dan undang-undang yang harus sama-sama kita junjung tinggi.

Untuk itu, saya berharap kita dapat bekerja bersama-sama mengatasi berbagai

persoalan yang kita hadapi. Rakyat tentu menuntut kita semua untuk bahu-membahu

menciptakan lapangan kerja, mengatasi kemiskinan, membangun kembali infrastruktur kita,

dan masih banyak lagi persoalan rakyat. Rakyat memerlukan kepemimpinan dan

keteladanan…
Dari kalimat-kalimat dalam pidatonya menunjukkan bahwa bapak Susilo Bambang Yudhoyono
berupaya menampilkan sosok beliau yang jujur, amanah dan berwelas asih kepada
masyarakat.

Dari segi Pathos

Pada aspek pathos ini, Aristoteles mengatakan bahwa jika komunikator ingin
membangkitkan perasaan atau emosi tertentu pada audiens, maka digunakan "aspek tragis"
dalam retorika.

Pada kampanye Pemilu 2009, SBY juga sukses menciptakan pathos ataupun jalinan
emosional yang baik dengan sebagian besar rakyat Indonesia. SBY serta wakilnya Boediono
menunjukkan diri sebagai pasangan calon pressiden serta calon wakil presiden yang berasal
dari rakyat, bukan dari golongan istana seperti Megawati, serta bukan dari golongan orang kaya
ataupun pengusaha seperti Jusuf Kalla. Dalam pidato Presiden SBY ini aspek Pathos terlihat
dalam hal berikut ini:

...Dengan ketekunan, keyakinan, dan kerja keras kita bersama, Insya Allah, bangsa dan

negara kita akan terus berkembang kehidupan rakyat akan semakin sejahtera, dalam

kerangka kehidupan yang semakin aman dan semakin adil. Dan, dengan ini pula, saya yakin,

bangsa kita akan menjadi bangsa yang disegani dan dihormati oleh bangsa-bangsa lain di

dunia.

Saudara sebangsa setanah air,

Suasana gembira hari ini diselimuti oleh rasa optimisme yang besar. Namun kita harus
ingat, bahwa kita akan melampaui masa yang sulit, dan akan menghadapi tantangan yang
berat….

…..Bagi bangsa yang besar, semakin berat ujian yang membebaninya akan semakin tinggi

ketangguhannya; dan semakin hebat cobaan yang dialaminya akan semakin kokoh imannya;

semakin deras ia diterpa badai akan semakin kokoh rasa kesetia-kawanannya; semakin

ditantang rasa kebangsaannya akan semakin kokoh rasa persatuannya. Mari kita buktikan

dan bangun kebesaran kita sebagai bangsa...


Terlihat ada unsur membangkitkan perasan atau emosi dari audiens.

Dari segi Logos

Argumen yang dikemukakan SBY dalam berbagai sesi tanya jawab pada Pemilu 2009
juga dinilai masuk akal (logo atau logika) oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. SBY
seakan ingin menyampaikan pesan kepada masyarakat Indonesia, yaitu ketika memilih calon
pemimpin nasional jangan hanya mendengarkan atau mendengarkan orang lain.

Dari sisi Logos juga mengacu pada apa yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa semua
angka‐angka, grafik dan klaim, bahwa semua itu merupakan hasil penelitian ilmiah adalah
merupakan elemen dari Logos dalam proses retorika.

Dalam Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia di Istana Negara Tanggal 20


Oktober 2004 ini aspek logos terlihat dalam hal berikut ini:

...Dengan keberhasilan ini, kita bukan saja berhasil memantapkan langkah sebagai

negara demokrasi yang besar, kita juga menjadi tauladan bagi komunitas demokrasi dunia.

Bangsa kita telah dua kali melakukan pemilu sejak bergulirnya reformasi : yakni tahun

1999 dan tahun 2004. Dalam transisi demokrasi di negara manapun, pemilu yang kedua

biasanya disebut sebagai pemilu yang kritis, yang merupakan batu ujian dari kematangan

suatu demokrasi…

Saudara sebangsa setanah air,

Suasana gembira hari ini diselimuti oleh rasa optimisme yang besar. Namun kita harus ingat,

bahwa kita akan melampaui masa yang sulit, dan akan menghadapi tantangan yang berat:

- Pertumbuhan ekonomi kita tahun ini, yang masih jauh dibawah 7 %, belum cukup untuk

memberikan lapangan kerja

- Lebih dari 10 juta saudara kita masih menganggur.

- 16 % dari jumlah penduduk kita masih hidup dibawah garis kemiskinan.

- Walaupun ada kecenderungan rasio hutang terhadap PDB menurun, namun masalah

hutang tetap menjadi beban besar yang melilit perekonomian kita.


- Saudara-saudara kita di Aceh dan di Papua masih resah.

- Situasi keamanan di Poso dan Maluku sudah terkendali, namun belum sepenuhnya

pulih.

- KKN masih terus menjadi persoalan sistemik.

- Situasi internasional masih tidak menentu.

- Harga minyak terus melambung jauh di atas asumsi APBN.

- Dan ancaman terorisme serta kejahatan transnasional masih terus menghantui kita.

Karena mendapat simpati dan menarik sebagian besar rakyat Indonesia, SBY akhirnya
mengalahkan Jusuf Kalla dan Megawati pada Pemilu 2009. Sebaliknya, Jusuf Kalla dan
Megawati yang sudah berupaya penuh, gagal menarik simpati sebagian besar warga Indonesia,
karena logos, ethos, dan pathos mereka tidak sesempurna SBY.
BAB III

PENUTUP

Dari hasil komunikasi politik tenik persuasi ethos, pathos dan logos SBY dapat
disimpulkan bahwa tidak semua penyelenggara negara memiliki ciri yang ideal untuk menjadi
pembicara yang handal, memiliki konsep diri yang menarik, memiliki ilmu (knowledge) untuk
menunjang pidatonya, dan memiliki kemampuan retorika yang dibutuhkan untuk berbicara
secara efektif dan membujuk hadirin. Oleh karena itu, dalam menjalankan retorika politik untuk
menjalin komunikasi politik yang efektif, sangat penting untuk memahami logos, pathos, dan
ethos.

Dilihat dari teks pidato Presiden SBY, sisi etos yang paling banyak mempengaruhi
penonton. Aristoteles menjelaskan ethos inilah yang terkuat dan paling berpengaruh diantara 3
teknik persuasi tersebut, dengan dilatarbelakangi oleh rekam jejak, catatan sikap, serta suri
teladan.
DAFTAR PUSTAKA

Hafied, C. (1998). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Hendrikus, P. D. W. (1991). Retorika, Terampil berpidato, berdiskusi, berargumentasi,


bernegosiasi. Kanisius.

Hasan, E., & Gunarsa, A. (2005). Komunikasi pemerintahan. Refika Aditama.

Luhukay, M. S. (2007). Presiden SBY dan Politik Pencitraan: Analisis Teks Pidato Presiden
SBY dengan Pendekatan Retorika Aristoteles. Scriptura, 1(2).

Rakhmat, J. (2000). Retorika modern: pendekatan praktis. Penerbit PT Remaja Rosdakarya.

Subiakto, H., & Ida, R. (2012). Komunikasi Politik. Media dan Demokrasi, Jakarta: Prenada
Media Group.

Yudhoyono, S. B. Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia di Istana Negara Tanggal 20


Oktober 2004. Retrieved December 15, 2020, from http://www.kbri-
canberra.org.au/speeches/2004/041020PresRI.htm

Anda mungkin juga menyukai