Anda di halaman 1dari 39

REVITALISASI NASIONALISME MADANI DAN PENGUATAN NEGARA DI ERA DEMOKRASI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada

Oleh: Prof. Dr. Muhadjir M. Darwin

REVITALISASI NASIONALISME MADANI DAN PENGUATAN NEGARA DI ERA DEMOKRASI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada

Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah mada pada Tanggal 11 April 2007 di Yogyakarta

Oleh: Prof. Dr. Muhadjir M. Darwin

Bismillahir-rochmaanir-rohim Assalamualaikum wa rohmatullaahi wa barokatuh Yang terhormat, Ketua, Sekretaris, dan Anggota Majelis Wali Amanah, Universitas Gadjah Mada Ketua, Sekretaris, dan Anggota Majelis Guru Besar, Universitas Gadjah Mada Ketua, Sekretaris, dan Anggota Senat Akademik, Universitas Gadjah Mada Rektor, Wakil Rektor Senior, dan Wakil Rektor, Universitas Gadjah Mada Para Dekan, Wakil Dekan, dan Ketua Lembaga di lingkungan Universitas Gadjah Mada Para Dosen, Karyawan, dan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada Para hadirin dan tamu undangan yang saya muliakan. Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan yang Maha Kuasa, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga pada hari ini saya dapat menyampaikan pidato pengukuhan saya sebagai Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, melalui mimbar yang terhormat ini. Perkenankan di kesempatan yang baik ini saya menyampaikan pidato pengukuhan dengan judul Revitalisasi Nasionalisme Madani dan Penguatan Negara di Era Demokrasi. PENDAHULUAN Hadirin yang saya muliakan Saat ini bangsa Indonesia tengah mengalami masa-masa sulit di segala bidang kehidupan, ekonomi, politik, sosial, dan keamanan, yang membuat kita semua cemas tentang masa depan bangsa dan negara ini. Dalam pidato pengukuhan sebagai guru besar UGM di ruangan ini 24 Februari lalu, Menko Ekuin Prof. Dr. Budiono, M.Sc. mencemaskan kelangsungan demokrasi Indonesia karena bangsa kita

2 masih berada di tingkat kesejahteraan ekonomi yang belum aman. Namun, ada hal lain di luar kesejahteraan ekonomi yang menurut beliau juga penting diperhatikan, yaitu masalah kohesi sosial. Melihat runyamnya keharmonisan hubungan antarkelompok sosial dan politik di masyarakat saat ini, Pak Bud mengatakan kehidupan demokrasi yang mantap dalam iklim hubungan sosial yang kohesif tampaknya masih terlalu mewah untuk dinikmati generasi sekarang. Tugas generasi sekarang adalah menanamnya agar anak cucu kita nanti dapat memetik buahnya. Akan tetapi, persoalannya adalah apakah saat ini bangsa Indonesia memang sedang asyik menanamnya ataukah sebenarnya justru sedang sibuk merusaknya? Pertanyaan seperti ini perlu diajukan karena tidak mungkin terjadi pertumbuhan ekonomi berbasis luas dan berkelanjutan seperti yang diharapkan Prof Budiono dalam pidatonya, jika carut marut kehidupan berbangsa tidak dibenahi terlebih dahulu. Kita perlu mencermati kembali proyek pembangunan bangsa yang telah diperjuangkan oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia dengan darah, mencoba mencari tahu kenapa proyek raksasa ini dapat terbengkelai di era demokrasi yang seharusnya penuh harapan ini, kemudian mencoba mencari solusinya. DEMOKRASI DAN PROSPEK NEGARA Hadirin yang terhormat Tumbangnya rezim otoriter Orde Baru pada 1998 menjadi simbol bangkitnya kembali demokrasi, namun pada saat yang sama juga merupakan titik awal dari masa ketidakpastian yang panjang dan mencemaskan. Krisis multidimensi yang dialami Indonesia belum tertangani dengan baik hingga sekarang dan membuat semua orang cemas apakah bangsa Indonesia mampu keluar dari krisis ini serta bangkit menjadi bangsa besar dan maju atau bangsa ini justru akan terpuruk pecah berkeping-keping menjadi negara-negara kecil dan lemah? Kecemasan sekaligus harapan masyarakat tersebut tercermin pada skenario Indonesia 2010 yang dibangun oleh kelompok Indonesia Masa Depan (IMD) dan Komnas HAM. Dua lembaga

3 tersebut selama 18 bulan (1999-2000) melakukan proses dialog membangun skenario Indonesia 2010. Selama waktu itu dilakukan 14 kali dialog dan enam kali kolokium. Hasilnya adalah 64 skenario dari berbagai kota di Indonesia. Dari 64 skenario tersebut, dilakukan penggabungan dan hasilnya adalah empat skenario perkiraan tentang situasi Indonesia 2010. Skenario pertama dinamakan Di Ujung Tanduk. Di situ digambarkan Indonesia mengalami eskalasi konflik antara pusat dan daerah, konflik antardaerah, konflik antaragama, suku, buruh-majikan, bahkan antara pribumi dan warga keturunan. Indonesia ketika itu juga sangat kacau karena anarki dan main hakim semakin luas serta pembangkangan sipil semakin meningkat. Untuk mengatasinya, pemerintah menggunakan pendidikan dan agama untuk menyeragamkan cara berpikir rakyat. Pertumbuhan ekonomi diterapkan dengan mendorong industri berteknologi tinggi dan bermodal besar. Namun akibatnya justru disintegrasibeberapa daerah, seperti Aceh, Papua, dan Riau, melepaskan diri dari Indonesia. Skenario kedua disebut Masuk ke Rahang Buaya. Kondisi Indonesia digambarkan berubah menjadi negara otoriter akibat kebijakan ekonomi tertutup. Untuk menyubsidi rakyat, pemerintah menguras sumber daya alam. Tidak banyak pabrik beroperasi karena bahan baku sulit diperoleh. Kebijakan Cultuur Stelsel seperti masa penjajahan Belanda kembali diberlakukan. Setiap perlawanan rakyat dibungkam lewat kekerasan dan teror. Kelompok militer profesionalnasionalis bergabung dengan kekuatan nasionalis-kerakyatan dan melakukan kudeta. Di samping dua skenario buruk, IMD dan Komnas HAM juga menawarkan dua skenario lain yang bersifat positif. Skenario ketiga yang mereka bangun dinamakan Mengayuh Biduk Retak. Di situ digambarkan Indonesia tumbuh menjadi lebih demokratis karena ada jaminan kemerdekaan pers, penegakan supremasi hukum, dan otonomi daerah yang seluas-luasnya. Selain itu, pertumbuhan ekonomi terjadi bukan hanya karena mengalirnya investasi baru, tetapi juga karena keberhasilannya mendorong pemanfaatan aset yang ada. Skenario keempat lebih positif lagi dan diberi nama: Lambat tetapi Selamat karena menggambarkan adanya penerapan otonomi daerah dan desentralisasi sehingga Indonesia selamat dari kehancuran.

4 Kekerasan telah mereda, keadilan menjadi landasan untuk menyelesaikan konflik, dan kehidupan demokratis telah terkonsolidasi dengan baik. Semua itu membuat kepercayaan dunia pulih sehingga investor kembali masuk. Ekonomi pun tumbuh mencolok dan pemerataan berlangsung sampai ke daerah-daerah (Supeli dan Eisy, 2000). Sekarang kita berada di tahun 2007, hanya tiga tahun sebelum 2010, kita masih terombang-ambing antara dua kemungkinan yang masih terbuka. Indonesia masih tegak berdiri, tetapi belum juga mencapai kemajuan seperti yang diharapkan. Indonesia tidak berada di ujung tanduk dan tidak juga masuk ke rahang buaya. Demokrasi masih hadir, bahkan tahun 2004 terjadi pemilu dan pemilihan presiden langsung yang sangat demokratis dan cukup aman, lebih aman dibandingkan dengan Pemilu 1999. Disintegrasi wilayah juga tidak terjadi (kecuali Timor Timur yang lepas dari Indonesia sebelum skenario tersebut dibangun). Aceh justru menjadi damai (paling tidak untuk saat ini) setelah perjanjian Helsinki. Sekarang Aceh telah mendapatkan status otonomi khusus dan pemerintahan provinsi tersebut dipimpin oleh mantan pemberontak GAM dan tokoh oposisi yang pernah menuntut referendum. Papua juga masih menjadi bagian NKRI meskipun OPM belum berhasil ditumpas habis. Sementara itu, organisasi separatisme tidak muncul di Riau dan tidak ada juga tandatanda ke arah sana. Konflik fisik Kristen versus Islam yang pernah mengemuka di Maluku dan Poso tidak meluas ke tempat-tempat lain. Meskipun masih dapat dikatakan selamat, Indonesia belum sepenuhnya bebas dari kemungkinan buruk di masa depan karena perjalanan sejarah Indonesia tidak juga sebagus yang digambarkan dalam skenario ketiga atau keempat. Desentralisasi dan otonomi daerah yang luas memang sudah diterapkan seperti diramalkan, tetapi cara pengelolaan otonomi daerah sekarang ini justru memiliki implikasi kebangsaan yang mengkhawatirkan. Demokrasi tetap terjaga seperti yang diramalkan, tetapi ancaman konflik dan kekerasan masih menghadang. Pemerintah masih tetap menonjolkan paradigma pertumbuhan ekonomi seperti diramalkan, tetapi pemerintah juga masih belum berhasil menciptakan pertumbuhan tinggi yang sustainable dan kurang berhasil pula dalam mengurangi kemiskinan dan menciptakan keadilan sosial. Kemerdekaan pers juga masih

5 dijamin seperti yang diramalkan, tetapi penegakan hukum tidak berjalan. Ada upaya-upaya besar untuk menciptakan birokrasi yang bersih, tetapi korupsi justru semakin meluas. Ada upaya untuk memulihkan kepercayaan internasional dan mengundang investasi asing seperti diramalkan, tetapi belum banyak investor yang datang. Melihat gambaran tadi, apa yang dialami Indonesia mirip kisah tokoh yang diperankan Bruce Willis dalam film Die Hard yang terusmenerus terancam maut, tetapi selalu dapat selamat. Namun seberapa lama kita mampu menyelamatkan diri? Biduk yang kita naiki saat ini masih biduk yang retak yang sewaktu-waktu dapat berada di ujung tanduk atau bahkan masuk ke rahang buaya. Tampaknya kita perlu memperbaiki terlebih dahulu biduk tersebut dari keretakan lalu mengayuhnya dengan hati-hati agar tidak mengalami nasib seburuk kapal Levina I, terbakar dan karam ke dasar laut. Jika kita pandai mengayuhnya, kita akan sampai di pulau harapan, tetapi jika tidak, pada suatu saat sejarah akan betul-betul tidak berpihak kepada kita, sebab bukankah sejarah tidak pernah mengenal belas kasihan? Salah satu langkah kunci untuk menyelamatkan diri dari keterpurukan adalah pembangunan bangsa (nation building). Riwanto Tirtosudarmo (2005:65-80) mengatakan maraknya konflik dan kekerasan setelah kejatuhan Orde Baru merupakan indikasi gagalnya proyek pembangunan bangsa. Ada dua faktor yang menurut hemat saya penting dalam pembangunan bangsa, yaitu nasionalisme dan tata pemerintahan. Suatu bangsa dapat berdiri tegak dan kokoh jika dalam diri anak-anak bangsa terbangun visi kebangsaan yang sama yang dapat menyatukan perbedaan di antara mereka dan pada saat yang sama terbangun tata pemerintahan yang kuat yang dapat dapat melindungi seluruh warganegara dan membawanya kepada kehidupan bersama yang aman, adil, dan sejahtera. NASIONALISME DAN PEMBANGUNAN BANGSA Para hadirin yang saya muliakan Nasionalisme didefinisikan oleh Snyder (2000:23) sebagai the doctrine that people who see themselves as distinct in their culture, history, institutions, or principles should rule themselves in a political

6 system that expresses and protects those distinctive characteristics. Dengan demikian, nasionalisme dikatakan hidup jika terpenuhi dua syarat utama: adanya kesadaran berbagi budaya, sejarah, atau kelembagaan dari para warga bangsa; dan adanya prinsip untuk mengatur diri dalam suatu sistem politik tertentu yang memberi tempat bagi terekspresinya dan terlindunginya karakteristik kebangsaan mereka. Marilah kita sedikit menoleh ke belakang. Doktrin seperti inilah yang ditegakkan oleh para pendiri negara kita sejak mereka menemukan kata Indonesia untuk memberi nama wilayah jamrud di Katulistiwa yang pada zaman penjajahan disebut Hindia Belanda. Doktrin ini pula yang menginspirasi para pemuda yang datang dari berbagai pulau dengan baju etnisitas dan agamanyaJong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bondberkumpul dalam Kongres Pemuda II di Jakarta pada 28 Oktober 1928 dan menggelorakan Sumpah Pemuda. Di kongres itu pula lagu kebangsaan Indonesia Raya diperdengarkan pertama kali oleh WR Supratman. Kongres tersebut adalah tonggak penting yang menandai adanya loncatan peradaban yang luar biasa, sebuah transformasi kultural dari nasionalisme etnis (ethnic nationalism) menjadi nasionalisme madani (civil nationalism). Nasionalisme etnis adalah kesadaran kebangsaan yang dibangun atas dasar kesamaan etnis, kebudayaan, atau agama dari para warganya (Snyder, 2000: 15), seperti nasionalisme Jawa, nasionalisme Batak, nasionalisme Ambon, atau nasionalisme Islam. Sementara itu, nasionalisme madani adalah suatu gagasan kebangsaan yang mengedepankan kesatuan identitas kolektif sebagai warga yang menempati suatu wilayah negara yang mengatasi perbedaan suku, agama, ras, dan kelas sosial di antara para warganya (Snyder, 2000: 17). Nasionalisme Indonesia adalah merupakan nasionalisme madani karena kesadaran kebangsaan tersebut menyatukan perbedaan suku, agama, ras atau golongan sosial dari semua penduduk yang mendiami suatu kesatuan wilayah bernama Indonesia. Kata madani yang berasal dari kata Madina saya pakai sebagai terjemahan kata civil agar konsisten dengan terjemahan yang sudah lazim terhadap istilah civil society, yaitu masyarakat madani. Madani berasal dari kata Madina, yaitu negara yang pada awal sejarah Islam

7 memberi hak dan kewajiban kewarganegaraan yang sama terhadap warga negara apapun latar belakang agama dan sukunya. Nasionalisme madani tersebut terus-menerus mengkristal ketika para pelajar dan tokoh masyarakat membentuk organisasi-organisasi sosial atau partai politik yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Nasionalisme mengambil bentuk yang lebih nyata ketika para pemimpin bangsa merumuskan dasar negara Pancasila dan konstitusi negara UUD 1945 dan ketika para tokoh Islam bersedia menanggalkan tujuh kata dengan menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk pemiliknya saat menyusun pembukaan UUD 1945 sebagai bentuk penerimaan mereka terhadap watak pluralisme negara yang akan mereka dirikan. Menyebut diri sebagai bangsa Indonesia menjadi sesuatu yang membanggakan karena peran kepemimpinan Indonesia di dunia Non Block yang dijuluki Bung Karno sebagai The New Emerging Forces. Semangat kebangsaan seperti itu saat ini mulai redup. Banyak orang merasakan pudarnya rasa keindonesiaan kita. Sebuah seminar bertema Kita Indonesia yang digelar di Jakarta, 10 Maret 2007 menyuarakan kegelisahan, kejengkelan, dan kecemasan yang sedang melanda hati anak-anak bangsa. Mereka mengatakan kita bukan lagi bangsa Indonesia. Kita sekadar kumpulan manusia yang menghuni wilayah geografis yang bernama Indonesia. Kita telah kehilangan ciri pokok bangsa, yaitu kemampuan berbagi kehidupan (sharing life), berbagi ingatan tentang masa lampau (sharing memory), dan berbagi pengalaman sejarah (sharing history) (Buchori, 2007: 6). Agar kita sedikit terhibur, saya perlu menegaskan apa yang dialami Indonesia bukanlah satu-satunya yang terjadi di dunia. Pengalaman dari banyak negara di dunia menunjukkan merawat nasionalisme madani bukanlah perkara mudah. Di banyak negara multietnis, nasionalisme madani dan nasionalisme etnis dapat hidup bersama, bahkan saling berkompetisi. Banyak negara berhasil mempertahankan nasionalisme madani, tetapi tidak sedikit pula yang gagal karena tergerus derasnya arus nasionalisme etnis. Cara-cara otoriter yang dipakai pemerintah untuk meredam tumbuh dan berkembangnya nasionalisme etnis acap kali justru membuat sentimen kebangsaan etnis tersebut mengeras. Pengerasan sentimen seperti ini dapat meledak menjadi konflik nasionalisme, bahkan perpecahan

8 bangsa jika mendapatkan momentumnya. Menurut Snyder (2000), jatuhnya penguasa tiran dan kebangkitan demokrasi sering kali menjadi momentum bangkitnya nasionalisme etnis. Sebagai contoh, bangkitnya nasionalisme etnis negara-negara bagian di Uni Soviet yang membuat negara itu pecah berkeping-keping terjadi setelah bangkrutnya ideologi pemersatu komunisme dan dibukanya pintu demokrasi oleh Gorbachev melalui kebijakan Perestroika. Contoh lain adalah Yugoslavia yang juga pecah menjadi tiga negara etnis: Serbia, Kroasia, dan Bosnia, setelah pemimpin diktator Yugoslavia, Josip Broz Tito, meninggal dan komunisme di negara tersebut runtuh (Helds, 1992). Lengsernya penguasa tiran Soeharto dan proses demokratisasi yang berlangsung setelah kejatuhannya telah terbukti juga menjadi momentum bangkitnya kembali nasionalisme etnis dan eskalasi konflik komunal di sejumlah daerah di Indonesia. Namun tidak seluruh negara yang mengalami proses demokratisasi mengalami eskalasi konflik, kekerasan, atau perpecahan. Jepang mengalami demokratisasi dengan mulus setelah perang dunia kedua. Korea Selatan mengalami proses demokratisasi yang nyaris tanpa gejolak sejak naiknya Kim Dae Jung tahun 1998. Taiwan juga mengembangkan pemerintahan demokratis tanpa diikuti kekerasan komunal. Afrika Selatan mengakhiri politik Apartheid dan memunculkan tokoh kulit hitam Nelson Mandela melalui proses pemilu yang demokratis dan damai. Lalu faktor-faktor apakah yang menentukan terbebasnya proses demokratisasi dari ancaman eskalasi konflik dan kekerasan atau yang membuat nasionalisme madani mampu bertahan dari gempuran nasionalisme etnis? Salah satu faktor pentingnya adalah derajat kemajemukan (pluralitas). Semakin tinggi perbedaan antarkelompok yang ada di masyarakat, semakin tinggi pula potensi terjadinya konflik. Negara di Asia Timur yang disebutkan di atas adalah negaranegara yang memiliki satu etnis dominan. Di negara-negara tersebut kesadaran kebangsaan madani dan kesadaran kebangsaan etnis menyatu sehingga tidak mungkin terjadi kompetisi di antara keduanya. Sebaliknya, perbedaan etnis dan budaya di Uni Soviet dan Yugoslavia begitu tajam sehingga potensi konflik sangat tinggi. Namun pluralitas tidak serta merta menciptakan situasi konflik

9 jika ada kedewasaan semua pihak dalam menyikapi fenomena pluralitas tersebut. Oleh karena itu, faktor kedua yang harus ada agar nasionalisme madani dapat bertahan adalah penerimaan terhadap doktrin pluralisme. Pluralisme yang saya maksud di sini adalah suatu cara pandang moderat yang berkembang di masyarakat dalam memahami perbedaan, keterbukaan timbal balik antarkelompok dengan bersedia berkomunikasi untuk menjembatani jurang ketidaktahuan dan kesalahan timbal balik antarbudaya seraya membiarkan mereka berbicara dan mengungkapkan pandangan mereka dalam bahasa masing-masing (Cribb, 2005). PARADOKS KARAKTER BANGSA Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu yang saya hormati Dilihat dari kedua syarat tersebut, bagaimana dengan nasionalisme madani Indonesia? Dilihat dari syarat pertama, Indonesia tidak seberuntung negara-negara di Asia Timur yang memiliki satu etnis dominan. Indonesia adalah bangsa majemuk yang terdiri dari kurang lebih 500 etnis, bahasa, dan budaya lokal. Indonesia juga adalah bangsa majemuk dilihat dari agama yang dianut penduduknya. Oleh karena itu, jika dilihat dari syarat pertama di atas, Indonesia rawan mengalami konflik sosial dan perpecahan. Namun apakah dilihat dari syarat kedua Indonesia juga tidak beruntung? Jawabannya tidak sederhana karena dalam diri bangsa Indonesia terdapat paling tidak empat paradoks, yang jika kita mampu mengelolanya dengan baik, kita akan dapat hidup rukun, tetapi jika keliru mengelolanya, konflik antargolongan masyarakat atau bahkan perpecahan bangsa, sangat mungkin terjadi. Paradoks pertama. Di satu pihak kita adalah bangsa plural, tetapi di lain pihak banyak suku bangsa di Indonesia hidup dalam komunitas yang homogen dengan identitas kultur dan batas-batas teritorialnya sendiri. Di kampung halamannya, etnis lokal atau kultur pribumi merupakan sesuatu yang dominan, yang berfungsi sebagai sistem acuan dalam membimbingdengan selektifanggota komunitas tersebut melaksanakan aktivitas kesehariannya dan cara mereka memandang keadaan sekelilingnya dengan mereka sebagai

10 bagian mikro di dalamnya. Pada masa lalu, percampuran kelompok etnis hanya ditemukan di kota-kota atau pusat-pusat urban saja. Namun saat ini, hampir semua wilayah Indonesia terbilang heterogen secara etnis seiring dengan kedatangan migran dari kelompok etnis yang berbeda dan hidup berdampingan dengan komunitas etnis lokal. Hal ini tidak hanya terjadi di kota-kota atau pusat-pusat urban saja, tetapi juga di desa-desa dan daerah-daerah pedalaman sehingga hubungan antaretnis menjadi lebih interaktif dibandingkan dengan masa sebelumnya (Suparlan, 2003). Sayangnya, kecenderungan kepada pluralitas atau penerimaan masyarakat terhadap pluralisme etnis sekarang ini terhambat oleh kebijakan pemerintah daerah yang diskriminatif terhadap suku pendatang atau kecenderungan politisi daerah menggunakan isu etnis atau agama dalam pemaknaan yang lebih eksklusif untuk memobilisasi dukungan dari konstituennya. Paradoks kedua. Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah dan lembut, tetapi Indonesia juga mempunyai tradisi komunal yang keras. Robert Cribb (2005:47) mengatakan secara intrinsik masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang damai. Belanda menyebut orang Jawa sebagai manusia yang paling lembut di muka bumi (het zachtste volk ter aarde), tetapi sejarah Jawa abad ke-18 penuh simbahan darah akibat peperangan dan pembantaian. Kekejaman suku Jawa dan sukusuku lain di Indonesia juga tampak ketika sekitar 2 juta pengikut PKI dibantai pada 1965. Suku Madura mempunyai tradisi Carok, suku Bugis Makassar mempunyai tradisi Siri, keduanya adalah tradisi membalas dendam karena dipermalukan harga diri dan kehormatannya dengan menantang berkelahi dengan pihak yang mempermalukannya sampai salah satu di antara mereka tewas. Suku Dayak mempunyai sejarah perang suku dengan memenggal leher musuh dan suku Batak mempunyai sejarah memakan daging musuhnya. Konflik di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah antara suku Dayak dan Madura adalah pertemuan antara tradisi Carok suku Madura dengan tradisi perang suku orang Dayak (Darwin, 2000; Alqadri, 2003; Anwar, dkk., 2005; Masoed, dkk., 2000). Paradoks ketiga. Masyarakat Indonesia dikenal sangat moderat, toleran, dan damai dalam beragama tetapi sejarah Indonesia tidak bersih dari radikalisme dan kekerasan berbasis agama. Paradoks seperti ini sebenarnya tidak mengejutkan karena dalam diri agama itu

11 sendiri juga terdapat paradoks. Dalam agama terdapat banyak ajaran tentang kasih sayang terhadap sesama manusia. Akan tetapi, agama yang mempunyai klaim-klaim kebenaran transedental yang mutlak dapat membuat para penganut fanatiknya berperilaku keras terhadap pihak lain yang mempunyai kepercayaan berbeda. Harus disadari, semua agama di dunia mempunyai sejarah kekerasan baik antaraliran dalam satu agama atau antaragama. Sejarah Kristen Eropa abad pertengahan sarat dengan konflik berdarah antara Katolik dan Prostestan, sementara Islam juga mempunyai sejarah konflik berdarah yang panjang antara pengikut aliran Sunni dan Syiah. Masyarakat Kulit Putih Kristen mempunyai kebencian mendalam terhadap bangsa Yahudi (antisemitisme) dan pernah melahirkan tragedi pembantaian jutaan orang Yahudi yang dikenal dengan peristiwa Holocaust. Pada sisi lain, Islam mempunyai sejarah konflik yang panjang dengan Yadudi dan Kristen. Perang salib (the crusades) pada abad ke-11 sampai ke-13 adalah merupakan sejarah kelam hubungan Islam dan Kristen yang telah menciptakan kebencian mendalam diantara kedua penganut agama tersebut hingga sekarang. Penjajahan negara-negara Eropa terhadap Asia dan Afrika dengan semboyan, Glory, Gold, and Gospel, adalah merupakan pembalasan atas kekalahan pasukan Kristen dalam perang salib. Sementara itu, pada abad ke-19 di dunia Islam muncul gerakan Pan-Islamisme yang berhasrat mengembalikan kejayaan Islam di dunia. Gema Pan-Islamisme tersebut kembali mengemuka di zaman ini dengan munculnya pandangan radikal di dunia Islam yang menganggap hegemoni barat Kristen dan Yahudi sebagai ancaman terhadap Islam. Pada sisi lain, Agama Kristen dan Yahudi juga mengalami radikalisasi. Evangelical Christianity adalah suatu aliran agama Kristen radikal di Amerika Serikat yang menganggap Islam sebagai ancaman bagi peradaban modern. Mereka berkonspirasi dengan kelompok Yahudi Radikal membentuk kelompok lobi politik yang kuat membayang-bayangi politik luar negeri AS yang anti arab dan anti Islam (Victor, 2005). Teror yang dilakukan oleh kelompok radikal Islam dengan sasaran simbol-simbol barat Kristen dan Yahudi serta teror militer yang lebih barbarian oleh tentara Bush di Afganistn dan Irak, juga ketegangan antara AS dan Iran dalam isu nuklir sekarang ini, adalah kelanjutan dari ancient hatred dari kedua

12 kelompok agama tersebut. Akan tetapi di Indonesia kedua agama tersebut pernah (dan mudah-mudahan masih) hadir sebagai agama yang sejuk dan damai. Bahkan dapat dikatakan perlakuan negara Indonesia yang mayoritas Islam terhadap pemeluk agama minoritas lebih baik jika dibandingkan dengan perlakuan negara Filipina yang mayoritas Katolik terhadap minoritas Islam di Mindanao atau perlakuan kerajaan Thailand yang mayoritas Budha terhadap minoritas Islam Patani. Garis moderat menonjol pada sebagian besar gerakan organisasi sosial Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha yang hidup di Indonesia. Para tokoh dari organisasi-organisasi tersebut banyak mengupayakan dialog antaragama di Indonesia dan menciptakan suasana kehidupan beragama yang sejuk. Namun Indonesia tidak bebas dari radikalisasi agama atau kekerasan berbasis agama. Pada abad ke-19 muncul gerakan Islam radikal yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda, seperti gerakan Padri di Minangkabau, pemberontakan pimpinan Haj Wachia di Lampung, dan sejumlah pemberontakan berbasis Islam di Palembang, Riau, dan Aceh (Reid, 2003). Sekarang Indonesia disibukkan oleh munculnya radikalisasi Islam, konflik berdarah antara kelompok Kristen dan Islam di Poso dan Maluku dan teror bom di sejumlah daerah. Terhadap radikalisasi Islam yang berlangsung pada abad ke-19 banyak analis yang dapat memakluminya. Reid dan Dijk misalnya, berpendapat pemberontakan berbasis Islam terhadap penjajah Belanda pada abad ke-19 merupakan reaksi logis dari penduduk pribumi terhadap perilaku VOC yang sangat kejam dengan menghancurkan pusat dan jalur pedagangan Islam. Pemberontakan tersebut bahkan dianggap sebagai embrio dari bangkitnya nasionalisme Indonesia abad ke-20 (Reid, 2003; Dijk, 2003). Ketika itu konsep bangsa Indonesia sebagai bangsa madani memang belum dikenal dan Islam menawarkan alternatif konsep yang mudah diterima untuk membangkitkan semangat perlawanan terhadap penjajah Belanda, seperti konsep jihad untuk memaknai aksi perlawanannya atau konsep kafir sebagai label yang diberikan kepada penjajah. Tetapi radikalisasi agama dan penggunaan simbol-simbol seperti tersebut tadi mempunyai dampak yang berbeda jika diterapkan saat ini, ketika Indonesia sudah merdeka dan membangun suatu bangsa

13 madani yang merangkum semua warga dengan latar belakang agama yang beragam. Inilah persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini dengan maraknya kembali kekerasan berbasis agama. Jika cara-cara kekerasan dalam mengekspresikan keberagamaan terus terjadi, kita berarti mundur dua abad ke belakang ke zaman ketika kita belum mengenal konsep nasionalisme madani atau bahkan mundur lebih jauh ke belakang ke zaman kuno ketika perbedaan selalu diselesaikan dengan otot dan senjata, bukan dengan hati nurani dan akal sehat. Paradoks keempat. Indonesia mempunyai hukum nasional yang mengikat semua warga negara untuk patuh, tetapi masyarakat Indonesia juga mempunyai hukum sendiri (agama, adat atau komunal) yang sering kali berbeda atau berlawanan dengan hukum nasional. Dengan demikian, masyarakat Indonesia mempunyai tradisi dualisme hukum. Pada tingkat akar rumput, hukum komunal lebih menonjol dibandingkan dengan hukum nasional. Dualisme hukum sudah ada sejak zaman Belanda. Pemerintah Belanda sangat sentralistik dalam sistem pemerintahannya, tetapi sangat desentralis dalam bidang hukum. Belanda membiarkan masyarakat pribumi mengatur diri melalui hukum adat mereka. Kebebasan hukum seperti itu diberikan sebagai kompensasi dari eksploitasi ekonomi VOC untuk mengurangi kecenderungan resistensi pribumi terhadap rezim penjajah (Cribb, 2005:53). Dualisme hukum warisan Belanda ini tidak hilang ketika Indonesia merdeka. Banyak masalah hukum diselesaikan masyarakat dengan cara mereka sendiri, bukan melalui prosedur hukum negara. Masyarakat desa menghukum orang yang diketahui berbuat zina dengan menelanjangi mereka dan membawa mereka keliling kampung. Di Jakarta orang yang diduga mencuri ditangkap oleh penduduk lalu dibakar hidup-hidup. Partai-partai politik dan organisasi massa membentuk serdadu sipil (Santoso, 2000) dan melakukan aksi yang dalam negara hukum menjadi tanggung jawab polisi. Repotnya, lembaga keamanan negara, militer dan polisi, seringkali terperangkap ke dalam perilaku komunal yang melanggar hukum, misalnya premanisme politik (seperti penyerbuan kantor PDI 27 Juli 1996), budaya tawuran (seperti baku tembak antarpasukan karena masalah privat), atau perilaku gali (seperti menodong anggota masyarakat yang membutuhkan jasa keamanan).

14 Dualisme hukum juga tampak dalam pengelolaan isu ketidakadilan gender (Darwin, 2005). Salah satu contohnya adalah dalam masalah perkawinan poligami. UU Perkawinan No. 1/1974 menyatakan prinsip perkawinan yang diperbolehkan adalah perkawinan monogami. Poligami dibolehkan dalam situasi darurat, yaitu ketika istri mengalami catat fisik sehingga tidak dapat melayani kebutuhan biologis suami, istri tidak dapat memberikan keturunan, dan perkawinan tersebut harus disetujui istri yang terdahulu. Undangundang yang sebenarnya masih bias gender inikarena meletakkan istri sebagai subordinat dan objek dalam relasi seksual dengan suamibanyak dilanggar oleh para poligam karena banyak dari perkawinan poligami tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan undang-undang. Ketika perkawinan seorang dai kondang menimbulkan polemik di masyarakat, bahkan SBY sempat memerintahkan bawahannya untuk merevisi peraturan pemerintah mengenai poligami, beberapa tokoh agama memberi pembelaan terhadap para poligam dengan mengatakan: apa yang sudah dibenarkan oleh agama jangan dilarang oleh negara. Karena dinyatakan oleh tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh, secara tidak disadari pernyataan tersebut ditangkap masyarakat sebagai pendapat hukum yang menciptakan dualisme hukum. Masyarakat yang sejak lama tidak mempunyai tradisi taat hukum negara seperti memperoleh pembenaran untuk mengabaikan hukum negara. DINAMIKA KEBANGSAAN Saudara-Saudara para hadirin yang saya hormati Keempat paradoks tersebut tercermin dalam kehidupan sosial politik dan mewarnai dinamika pembangunan bangsa dari waktu ke waktu. Ada saat ketika nasionalisme etnis hadir dan menggeser wacana nasionalisme madani, tetapi ada situasi tertentu yang membuat sentimen nasionalisme madani muncul kembali ke permukaan dan memberi tanda belum matinya kesadaran kebangsaan madani. Kebangkitan nasionalisme etnis dapat ditunjukkan dengan pemberontakan GAM di Aceh, pemberontakan OPM di Papua, atau pengibaran bendera RMS di Maluku. Sebaliknya, ketika Malaysia

15 berulah di Ambalat, nasionalisme madani kembali bangkit seperti ditunjukkan oleh banyaknya pemuda yang mendaftarkan diri menjadi sukarelawan untuk berperang melawan negeri Jiran tersebut. Ketika Aceh luluh lantak oleh tsunami dan Yogya-Klaten porak poranda karena goncangan gempa, bukan hanya penduduk di daerah bencana yang menangis, tetapi semua rakyat Indonesia. Masih utuhnya Aceh dan Papua sebagai bagian dari NKRI juga merupakan pertanda tidak semua orang di daerah tersebut menginginkan disintegrasi. Banyak yang berpendapat gerakan separatisme di sana berlangsung bukan karena semangat nasionalisme etnis, tetapi lebih sebagai ekspresi ketidaksetujuan mereka terhadap kebijakan pemerintah pusat yang lebih memperhatikan pengurasan kekayaan alam daripada memajukan kehidupan masyarakat di kedua daerah tersebut (Mishra, 2001, Tadjoeddin dkk., .2001; Feulner, 2001). Dinamika nasionalisme madani juga dapat dilihat dari cara masyarakat Indonesia menyikapi perbedaan agama dalam hubungan sosial. Secara tradisional masyarakat Indonesia cenderung moderat dan toleran dalam mensikapi perbedaan agama. Iklim toleransi beragama seperti ini tercermin pada setiap kali diselenggarakan perhelatan-perhelatan publik bernuansa agama, seperti Musabaqoh Tiwalatil Quran, atau perayaaan-perayaan hari besar agama, apakah Idul Fitri, Natal, Nyepi, Waisak, atau Tahun Baru Imlek. Beberapa kali Musabaqoh Tilawatil Quran diadakan di daerah yang bukan mayoritas Islam, seperti di Manado yang mayoritas Kristen atau di Bali yang mayoritas Hindu. Para peserta acara akbar tersebut mendapat sambutan yang hangat dari penduduk setempat. Perayaan agama, khususnya Idul Fitri dan Natal, sering menjadi momen kerukunan hidup beragama. Banyak orang nonmuslim mengikuti tradisi syawalan dan banyak orang nonkristiani ikut memeriahkan acara peringatan hari Natal. Hubungan mesra ini sempat terpengaruh ketika MUI mengeluarkan fatwa mengharamkan umat Islam mengucapkan selamat hari Natal kepada umat Kristen. Fatwa tadi sedikit banyak mempengaruhi tradisi kontak antaragama masyarakat pada tingkat akar rumput. Ada sejumlah kasus guru-guru di sekolah mengajarkan kepada muridnya supaya jangan berhubungan dengan anak-anak dari agama lain (Magnis-Suseno, 2003:124-125). MUI juga pernah

16 mengeluarkan fatwa mengharamkan aliran Ahmadiyah, sekularisme, liberalisme dan pluralisme agama. Sasaran tembak dari fatwa tersebut sebenarnya adalah kelompok intelektual Islam muda Jaringan Islam Liberal (JIL) yang melakukan dekonstruksi ultraliberal terhadap fikih Islam dan penganut aliran Ahmadiyah yang dianggap sesat. Namun yang tertembak oleh fatwa tersebut adalah seluruh umat yang sedang gelisah karena memudarnya tradisi toleransi dan diselimuti perasaan takut karena maraknya kekerasan bernuansa agama. Masyarakat gagal memperoleh fatwa yang dapat menjadi penyejuk suasana dan pemuas dahaga perdamaian dan kerukunan hidup antaragama. Akan tetapi, menurut hemat saya, kecenderungan kepada toleransi agama di masyarakat masih lebih menonjol dibandingkan dengan kecenderungan kepada radikalisasi dan kekerasan bernuansa agama. Hal ini tampak dari reaksi sebagian besar umat beragama terhadap terorisme. Beberapa kali terjadi ledakan bom di gereja atau ledakan bom bunuh diri di tempat-tempat umum yang dilakukan oleh kelompok Islam radikal. Pernah pula kelompok Kristen di Maluku membantai umat Islam yang sedang menjalankan salat Idul Fitri di lapangan terbuka. Ketika peristiwa-peristiwa seperti itu terjadi, banyak tokoh agama yang membuat pernyataan apa yang dilakukan kelompok tersebut berlawanan dengan ajaran agama mereka dan mereka meyakinkan kepada publik bahwa agama mereka mengajarkan perdamaian dan toleransi. Menarik untuk disimak, dalam beberapa kali perayaan Natal di kota-kota di Indonesia yang dihantui ancaman peledakan bom, barisan keamanan dari organisasi pemuda Islam, Kristen, Katolik, Budha, dan Hindu bahu-membahu mengamankan perayaan agama tersebut. Mereka secara implisit memberi pesan: Kami menolak kekerasan agama. Kami mendambakaan perdamaian dan kerukunan hidup antaragama. KEHADIRAN NEGARA Para hadirin yang saya muliakan Terjadinya eskalasi kekerasan yang menggerogoti kesadaran kebangsaan madani dan mengancam kelangsungan bangsa tidak lepas dari gagalnya negara di dalam menjalankan peran-peran dasarnya.

17 Negara gagal menciptakan keadilan ekonomi antardaerah yang kemudian menjadi faktor pemicu bangkitnya nasionalisme etnis di beberapa daerah yang kaya sumber daya alam. Birokrasi pemerintah sebagai perantara antara negara dan masyarakat dan memiliki posisi pivotal serta peran yang amat menentukan dalam menghadapi masyarakat yang majemuk belum menjalankan peran intermediary yang baik (Effendi, 1998:1). Sebaliknya, para elite politik nasional dan lokal sering kali justru menjadi faktor pemecah belah ketika mereka menggunakan sentimen suku dan agama yang hidup di masyarakat untuk memobilisasi dukungan dari rakyat. Etnisitas dan agama memang merupakan simbol yang mudah sekali dimanipulasi untuk membangun identitas kelompok dan membangkitkan dukungan yang fanatik dari konstituen. Politisasi sentimen primordial seperti ini dalam banyak kasus membuat konflikkonflik di daerah yang sebenarnya hanyalah konflik kecil, bersifat privat, dan mudah diselesaikan mengalami eskalasi luar biasa menjadi konflik komunal dan konflik politik yang luas dan kompleks (Klinken, 2005:91-117). Oleh karena itu, salah satu persoalan mendasar dalam merawat nasionalisme madani terletak pada kehadiran negara. Negara harus hadir dan berbuat sesuatu untuk penguatan kesadaran kebangsaan. Negara harus mampu menyosialisasikan nilai-nilai multikulturalisme melalui berbagai jalurseperti pendidikan, ketenagakerjaan, atau sistem kepegawaian, memberi kondisi bagi berkembangnya hubungan yang inklusif antarkelompok masyarakat, menciptakan keamanan di masyarakat dengan melindungi mereka dari rasa takut (freedom from fear), menegakkan hukum secara tidak pandang bulu terhadap perilaku kekerasan yang berkembang di masyarakat, meredam perilaku komunal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan hak-hak asasi manusia, dan menciptakan keadilan sosial dan ekonomi antargolongan dan antardaerah. Semua itu dimaksudkan agar jarak sosial dan kecemburuan sosial dapat berkurang atau dieliminasi. Untuk dapat terjadi seperti demikian, negara terlebih dahulu harus menjadi kuat. Di sinilah persoalannya. Negara Indonesia adalah negara lemah (weak state) dengan ciri seperti digambarkan oleh Francis Fukuyama (2004:6-7): inability of states to plan and execute

18 policies and enforce laws cleanly and transparently. Bahkan Indonesia sudah mendekati ciri negara gagal (failed state) seperti digambarkan oleh Noam Chomsky (2006:1-2): (1) inability or willingness to protect their citizens from violence and perhaps even destruction, (2) tendency to regard themselves as beyond the reach of domestic or international law, (3) if they have democratic forms, they suffer from a serious democratic deficit that deprives their formal democratic insitutions of real substances. Marilah kita urai fenomena weak state atau failed state di Indonesia seperti yang dimaksud oleh kedua pakar tersebut. Ketidakmampuan Negara Negara mempunyai fungsi-fungsi dasar, seperti fungsi pertahanan dan keamanan, fungsi hubungan internasional, fungsi pemerintahan dalam negeri, fungsi penegakan hukum, fungsi keuangan negara, fungsi penyediaan sarana dan prasarana fisik, fungsi kesejahteraan sosial, dan fungsi pelayanan publik. Agar dapat menjalankan fungsi-fungsi tadi dengan baik, negara harus memiliki institusi pemerintah yang capable, aparatur pemerintah yang profesional, akuntabel, dan responsif, sistem manajemen publik yang efisien dan efektif, didukung oleh kemampuan anggaran yang memadai dan manajemen keuangan yang akuntabel (Holzer & Callahan, 1998; Welsh, 2002). Kapabilitas seperti itu belum kita jumpai di era demokrasi sekarang ini. Negara kita seperti kehilangan kapasitas untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melindungi warganya dari kekerasan, kerusuhan, teror, atau bencana. Studi yang dilakukan oleh Kemitraan dan PSKK UGM (Dwiyanto, 2006) mengenai kinerja tata pemerintahan daerah di Indonesia menemukan lemahnya kapasitas pemerintahan daerah dalam sejumlah hal: kemampuan untuk memenuhi hak-hak politik, kemampuan membuat regulasi yang sehat, kemampuan mengelola konflik dan mencegah kekerasan, kemampuan menciptakan kepastian hukum, kemampuan memberantas korupsi, dan kemampuan menyelenggarakan pelayanan publik. Karena lemahnya kapasitas pemerintah tersebut, terjadi ketidakpercayaan publik yang sangat besar terhadap pemerintah.

19 Karena ketidakpercayaan tersebut, masyarakat kemudian mencari solusi sendiri terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi dengan hukum atau norma adat atau komunal yang mereka miliki. Dengan kata lain, lemahnya pemerintah atau absennya negara memberi kondisi bagi bangkitnya kembali komunalisme dan dalam banyak hal komunalisme yang hadir adalah yang bersifat negatif, yaitu insting kekerasan yang ada di masyarakat. Kekerasan yang berakumulasi di Poso dan Maluku adalah contoh bangkitnya komunalisme negatif karena mereka tidak percaya kepada kemampuan negara untuk menyelesaikan masalah. Ketidakterjangkauan Hukum Penegakan hukum juga terkait dengan bagaimana para politisi, pemimpin negara, atau elite masyarakat memperlakukan hukum. Dalam negara demokrasi atau negara hukum, tidak ada satu orang atau lembaga yang kebal hukum. Sementara itu, kita melihat banyak pelanggaran hukum gagal dijangkau oleh hukum nasional atau internasional. Satu contoh adalah kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada berbagai kasus, seperti kasus Trisakti, kasus kerusuhan Juli, berbagai kasus selama DOM di Timtim, Papua, dan Aceh, yang sampai sekarang belum terselesaikan secara hukum. Orang yang sangat keras memperjuangkannya, yaitu Munir, dibunuh dan kasus pembunuhan tersebut hingga sekarang belum terselesaikan secara hukum. Masih ada daftar panjang fenomena kekebalan hukum ini. Hukum tidak dapat tegak karena kemampuan pemerintah yang lemah dalam penegakan hukum. Survei penilaian kinerja pemerintah daerah (Dwiyanto, 2006) menunjukkan jumlah pelanggaran hukum yang diproses di peradilan. Hampir separuh responden menilai penegakan hukum di daerah tidak adil, baik menyangkut keputusan yang diambil maupun akses memperoleh perlindungan hukum. Lebih banyak lagi (55 persen) responden yang menilai proses peradilan di daerah tidak jujur. Defisit Demokrasi Demokrasi dikatakan mengalami defisit jika perolehan atau

20 manfaat yang diterima masyarakat dengan hadirnya demokrasi lebih rendah dibandingkan dengan ongkos untuk membiayai demokrasi. Ongkos demokrasi dalam arti finansial adalah uang yang dikeluarkan rakyat atau negara untuk menggelar Pemilusejak pemilihan anggota legislatif, presiden, gubernur, bupati, walikota, sampai kepala desa belanja yang harus dikeluarkan pemerintah pusat dan daerah untuk menggaji para politisi di lembaga-lembaga negara, menyubsidi partai politik (resmi atau tidak resmi), atau uang yang dikeluarkan para pendukung partai untuk membiayai partai dan kampanye politik mereka. Ongkos dalam arti nonfinansial adalah kekerasan atau kerusakan fisik atau ketidaknyamanan yang dialami masyarakat di setiap peristiwa politik (kampanye, demonstrasi massa), pengotakkotakan masyarakat menurut partai atau ideologi yang berakibat pada lemahnya keharmonisan dan kohesi sosial. Sementara itu, perolehan atau manfaat yang seharusnya diterima masyarakat dengan adanya demokrasi adalah rasa aman, kemakmuran ekonomi, pemerintahan yang bersih dari korupsi, dan kuatnya penegakan hukum di masyarakat. Secara mudah dapat dilihat, ongkos yang menjadi beban masyarakat ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan dengan manfaat yang diterima masyarakat. Demokrasi tidak melahirkan rasa aman, kemakmuran ekonomi, pemerintahan yang bersih, dan penegakan hukum yang adil. Sebaliknya, ongkos demokrasi yang harus ditanggung masyarakat sedemikian besar, baik dalam arti finansial maupun nonfinansial. Di tengah situasi defisit ini, pemerintah acap kali melakukan divestasi (investasi negatif) politik dengan membuat keputusan politik yang memperparah defisit. Divestasi dilakukan, misalnya dengan membuat kebijakan yang melayani kepentingan pejabat, bukan kepentingan rakyat. Beberapa contohnya adalah keluarnya PP No. 39/2006 tentang insentif komunikasi politik bagi anggota DPRD dan pembagian laptop kepada semua anggota Dewan. KESIMPULAN Saudara-Saudara para hadirin yang saya hormati Sejak lengsernya Soeharto, Indonesia sudah menentukan

21 pilihannya, yaitu memilih jalur demokrasi dalam upaya mencapai tujuan-tujuan bangsa. Akan tetapi, demokrasi yang berkembang ternyata diikuti dengan eskalasi konflik dan kekerasan, dan lebih parah lagi, diikuti dengan merosotnya kesadaran kebangsaan. Watak bangsa yang penuh paradoks gagal dikelola dengan baik sehingga Indonesia mengalami krisis kebangsaan. Negara yang diharapkan menjadi faktor penting untuk menjaga persatuan nasional juga gagal menjalankan fungsi dasarnya dan bahkan ada indikasi menjadi negara gagal. Elemen-elemen demokrasi yang seharusnya berperan memperkuat institusi demokrasi dalam praktik justru melakukan langkah-langkah kontraproduktif yang kemudian menciptakan defisit demokrasi. Jika demikian, apakah kita keliru memilih jalur demokrasi? Saya tidak berpendapat demikian, pilihan demokrasi bagi Indonesia bukanlah pilihan yang keliru. Banyaknya masalah yang terjadi menyusul terjadinya demokratisasi tidak harus menjadi alasan untuk kembali kepada sistem otoriter seperti yang pernah diterapkan pada zaman Orde Baru karena ongkos sosial dari otoritarianisme sangatlah besar. Semua kekuatan politik harus mengupayakan terjadinya konsolidasi demokrasi. Demokrasi adalah sistem yang harus tetap dipertahankan at all cost. Namun agar demokrasi tidak membawa Indonesia kepada kehancuran kita harus kembali kepada jati diri bangsa. Meminjam istilah Tukul Arwana, kita perlu kembali ke laptop, bukan bagi-bagi laptop. Maksud saya, selama ini kita kehilangan rasa kebersamaan sebagai sebuah bangsa seperti terlihat dari mengemukanya konflik komunal karena perbedaan agama, ras, suku, atau kelas sosial. Kita tidak mungkin mengatasi masalah tersebut dengan menghilangkan perbedaan atau menghilangkan pluralitas masyarakat. Kita juga tidak mungkin membangun semacam tembok Berlin yang menyekat wilayah-wilayah berdasarkan pembagian suku atau agama dan membiarkan masing-masing mengembangkan eksklusivisme. Seperti yang dikatakan Clifford Geertz (1971:19): (A)rchipalegic in geography, eclectic in civilization, and heterogeneous in culture, (Indonesia) flourishes when it accept and capitalizes on its diversity and disintegrates when it denies and surpresses it. Jika yang dipilih adalah menerima dan memanfaatkan

22 perbedaan, maka mau tidak mau kita harus kembali ke jati diri kita sebagai bangsa dengan melakukan revitalisasi terhadap visi kebangsaan yang digagas oleh para founding fathers kita, yang saya sebut di sini sebagai nasionalisme madani, suatu konsep kebangsaan yang dibangun berdasarkan pengakuan dan penghormatan secara timbal balik antarwarga atau kelompok masyarakat yang berbeda agama, kepercayaan, ideologi, etnisitas, identitas gender, atau kelas ekonomi, dan kesediaan di antara mereka untuk hidup secara damai. Agar tercipta kehidupan sosial yang aman, harmonis, adil, dan sejahtera, negara harus mempunyai kapasitas dan kemauan kuat untuk menciptakan situasi aman bagi seluruh warga. Negara tidak boleh dibiarkan berada dalam kondisi yang lemah dan tidak pula dapat dibiarkan menjadi negara gagal. Dengan begitu, penguatan negara dalam kerangka demokrasi haruslah menjadi agenda pertama. Karena pengalaman yang panjang berada di bawah kekuasaan Orde Baru yang represif dan korup, serta karena euforia demokrasi, rakyat tidak mudah percaya kepada pemerintahnya sehingga apa pun kebijakan yang dibuat pemerintah selalu dianggap keliru oleh masyarakat. Akan tetapi, di lain sisi, elemen-elemen negara (politisi, birokrat, militer, atau aparat penegak hukum) bukannya berinvestasi untuk menanamkan kepercayaan kepada masyarakat dengan menonjolkan sikap dan perilaku terpuji, menjaga rasa keadilan masyarakat, tetapi justru terus-menerus memproduksi ketidakpercayaaan publik (public distrust). Oleh karena itu, ke depan para stakeholder negara harus mampu mengembangkan kebijakan dan perilaku publik yang bertanggung jawab, serta mampu memproduksi public trust sehingga mempunyai kewibawaan dalam menangani berbagai masalah yang mendera masyarakat. Upaya memperkuat negara tidak dapat dilepaskan dari faktor agama. Posisi agama dalam konstitusi negara cukup unik. Republik Indonesia bukan negara sekuler, juga bukan negara agama. Karena bukan negara sekuler, agama tidak diprivatkan. Sebaliknya, karena bukan negara agama, kitab suci agama tertentu tidak menjadi konstitusi. Di negara yang bukan-bukan ini dualisme hukum menjadi tidak terhindarkan dan penegakan hukum menjadi sulit dilakukan karena adanya tarik-menarik yang sangat kuat antara kecenderungan memprivatkan agama dan mengagamakan negara. Jika konflik seperti

23 ini dibiarkan, kesatuan dan persatuan bangsa menjadi taruhannya. Konflik wacana seperti ini saya kira perlu dikembalikan kepada citacita luhur para founding fathers ketika memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dan menyusun konstitusi negara yang mengayomi semua rakyat tanpa kecuali. Dengan itu, saya tidak mau mengatakan agama perlu dipinggirkan. Sebaliknya, agama justru harus hadir di tempat yang terhormat, yaitu sebagai sumber inspirasi bangsa, sebagai kekuatan pendamai dan pemersatu, bukan sebagai faktor pemecah belah, seperti harapan Romo Suharyatmoko (2003:xii): Agama harus menjadi fondasi yang kuat untuk menghadapi dunia yang gelisah dan bukannya justru menjadi penyebab kegelisahan atau sumber pembenaran kekerasan. Untuk menjadi demikian, agama sarat dengan ajaran yang menyejukkan. Dalam Alquran, Allah SWT berfirman: Wamaa arsalnaaka illa rahmattallil alamin (tidaklah kami mengutus kamu [hai Muhammad] melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam). Sementara itu, Rosulullah Muhammad SAW yang membawa mandat Allah sebagai pemberi rahmat bersabda, Irkhamuu manfilardhi yarkhamkum manfissama (sayangilah orang yang tinggal di bumi, maka yang di langit akan mengasihi kalian). Sebagai bahan renungan bagi kita semua dalam mengelola bangsa yang tengah berada dalam situasi carut-marut ini, saya bacakan ke hadapan para hadirin yang saya hormati sepenggal puisi pamflet Rendra (Haryono, 2005: hlm.210): Keadilan di dalam alam boleh dilihat, boleh ditunggu Keadilan di masyarakat harus dijaga tanpa ragu Keadilan di masyarakat tidak datang dari langit harus dibina dengan keringat, harus dicapai walaupun sulit UCAPAN TERIMA KASIH Para hadirin yang saya hormati Sampailah saatnya saya menyampaikan bagian akhir dari pidato saya ini, yaitu mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang berjasa dalam kehidupan dan karier akademis saya. Tanpa mengurangi rasa hormat yang mendalam kepada semua pihak yang berjasa,

24 izinkan saya untuk tidak menyebut nama karena alasan yang sangat sederhana. Pertama, karena keterbatasan waktu. Kedua, untuk menghindari kesalahan lupa menyebut orang yang terlalu penting untuk tidak disebut. Apalagi menurut saya sangat banyak nama penting yang sangat berhak untuk mendapat apresiasi. Saya mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Republik Indonesia, Menteri Pendidikan Nasional, Pimpinan UGM, yang memberi saya kepercayaan sebagai guru besar di Jurusan Administrasi Negara, Fisipol UGM, dan semua pihak yang berjasa dalam proses pengurusan guru besar saya. Terima kasih kepada banyak teman yang bersedia membaca draf pidato saya sebelum saya serahkan ke Majelis Guru Besar dan memberikan komentar-komentar kritisnya. Saya mengucapkan terima kasih kepada guru-guru saya sejak di TK Negeri Mutihan dan SR Negeri Mutihan Kotagede, SMP Negeri IX Yogyakarta, SMA Negeri VI Yogyakarta, Jurusan Administrasi Negara, Fisipol UGM, dan School of Public Administration, University of Southern California, USA, yang membekali saya dengan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. Terima kasih kepada para pendiri, pimpinan, senior, dan kolega kerja saya di PSKK UGM, tempat saya bekerja sejak saya lulus S1 tahun 1977. Lembaga ini telah membesarkan dan mendewasakan saya sejak sebagai asisten peneliti, mengirim saya belajar ke Amerika, dan sekarang memercayakan saya mengelola program Magister Studi Kebijakan. Terima kasih kepada banyak pihak di Uiversitas Sebelas Maret, tempat saya bekerja selama 20 tahun, sejak 1979-1999. Saya menemukan persahabatan yang hangat di sana dan pengalaman mengajar yang sangat berharga. Saya tetap merasa sebagai bagian dari keluarga besar UNS dan senang masih sering dilibatkan dalam kegiatan akademis dan non-akademis di universitas yang saya cintai tersebut. Terima kasih kepada temanteman dosen dan karyawan di Fisipol UGM, khususnya di jurusan Administrasi Negara, yang menerima saya sebagai dosen tetap sejak 1999 dengan persahabatan yang juga hangat. Saya merasa mendapat kehormatan yang sangat tinggi diangkat sebagai guru besar Administrasi Negara di almamater yang sangat saya banggakan ini. Saya mengucapkan terima kasih kepada para undangan yang hadir pada acara ini, para guru, saudara, tetangga, sahabat, para pejabat negara dan pemerintah daerah, pejabat universitas, dosen,

25 teman seperjuangan, mahasiswa, mantan mahasiswa, atau kolega yang datang dari dekat dan jauh. Saya tidak dapat menyebut nama saudara satu persatu, tetapi nama saudara satu persatu ada di hati saya yang paling dalam. Waktu dan biaya yang Saudara-Saudara korbankan untuk menghadiri acara ini merupakan penghormatan yang tidak ternilai harganya bagi saya dan keluarga. Sudah barang tentu saya harus mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang sangat dekat di hati saya, bapak saya almarhum dan ibu saya yang hadir di sini, bapak mertua almarhum dan ibu mertua yang juga hadir di sini, saudara-saudara kandung, saudara-saudara ipar, dan keluarganya. Tidak ada yang lebih bernilai dalam hidup ini dibandingkan dengan pengorbanan dan kasih sayang orang tua yang melahirkan, membesarkan, dan mendidik saya, juga persaudaraan sejati dari saudara-saudara kandung saya. Saya juga merasakan kehangatan persaudaraan yang begitu berharga dengan keluarga besar Kotagede dan Klitren Lor. Terhadap itu semua, saya sangat bersyukur dan berterima kasih. Last, but not least, ucapan terima kasih yang sulit diuntai dengan kata saya tujukan kepada istri dan keempat anak laki-laki saya tercinta. Tanpamu saya bukan apaapa, bukan pula siapa-siapa. Karena kehadiran, perhatian, pengorbanan, cinta kasih, dan dukunganmu, saya dapat berdiri di mimbar ini. Kepadamu, pidato pengukuhan ini saya persembahkan. Akhirnya, jika ada kekurangan dan kesalahan dari penyampaian pidato saya, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga kita semua selalu berada dalam taufik dan hidayah dari Allah SWT, Tuhan yang Maha Kuasa. Assalamualaikum wa rohmatullaahi wa barokatuh.

26 DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdullah, Masykuri. 2003. Toleransi Beragama dalam Masyarakat Demokrasi dan Multikultural, dalam Indonesian Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) dan Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini. Leiden-Jakarta. Ahn, Chung-Si & Bertrand Fort (Eds.). 2006. Democracy in Asia, Europe and the World: Toward a Universal Definition. London: Marshall Cavendish Academic. Ala. 2000. Humanisme dan Agama Vis--vis Kekerasan. Kompas, 19 Juni. Alqadri, Syarif Ibrahim. 2003. Faktor-Faktor Penyebab Konflik Etnis, Identitas dan Kesadaran Etnis, Serta Indikasi ke Arah Proses Disintegrasi di Kalomantan Barat, dalam Indonesian Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) dan Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini. Leiden-Jakarta. Anwar, Dewi Fortuna, Helene Bouvier, Glenn Smith dan Roger Tol (Eds.). 2005. Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, LIPI, LASEMA-CNRS, KITLVJakarta. Buchori, Mochtar. 2007. Menggugah Rasa Keindonesiaan. Kompas, 10 Maret, hlm.6. Budiono. 2007. Dimensi Ekonomi-Politik Pembangunan Indonesia. Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar pada Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Case, William. 2002. Politics in Southeast Asia: Democracy or Less. London and New York: Routlege Curzon. Chomsky, Noam. 2006. Failed States: The Abuse of Power and the Assault on Democracy. New York: Metropolitan Books, Henry Holt & Co.

27 Cribb, Robert. 2005. Pluralisme Hukum, Desentralisasi, dan Akar Kekerasan di Indonesia, dalam Dewi Fortuna dkk. Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Darwin, Muhadjir. 2000. Freedom from Fear: Social Disruption and System of Violence in Indonesia, dalam Aris Ananta (Ed.). The Indonesian Crisis: A Human Development Perspective. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Darwin, Muhadjir. 2005. Negara dan Perempuan: Reorientasi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Grha Guru dan Media Wacana. Dijk, Kees van. Ketakutan Penjajah, 1890-1918: Pan-Islamisme dan Persengkokolan Jerman-India, dalam Nico J. G. Kaptein (editor). Kekacauan dan Kerusuhan: Tiga Tulisan tentang PanIslamisme di Hindia-Belanda Timur pada Akhir Abad Kesembilan Belas di Indonesia dan Malaysia. Leiden-Jakata: INIS, hlm. 1-28. Dwiyanto, Agus. 2006. Kinerja Tata Pemerintahan Daerah di Indonesia. Draft presentasi pada seminar di Jakarta, 4 Januari 2007. Efendi, Sofian. 1998. Administrasi Publik dan Konflik Etnis. Disampaikan pada Orasi Ilmiah dalam rangka Wisuda ke-34 STIA-LAN, 18 Juli. Feulner, Frank. 2001. Consolidating Democracy in Indonesia: Contributions of Civil Society and State. Jakarta: United Nations Policy Support for Sustainable Social Economi Recovery (UNSFIR). Fukuyama, Francis. 2004. State Building: Governance and the World Order in the 21st Century. Ithaca, NY: Cornell University Press. Hardiman, F. Budi. 2006. Manusia dari Hak-hak Asasi Manusia, dalam I. Wibowo dan B. Henry Priyono. Sesudah Filsafat. Esai untuk Frans Magnis Suseno. Yogyakarta: Kanisius. Haryono, Edi. 2005. Membaca Kepenyairan Rendra. Yogyakarta: Kepel Press. Haryono, Ribut. 2002. Fundamentalisme dalam Kristen Islam. Yogyakarta: Kalika.

28 Held, Joseph. 1992. The Columbia History of Eastern Europe in the Twentieth Century. New York: Columbia University Press, p.310. Holzer, Mark dan Kathe Kallahan. 1998. Government at Work: Best Practices and Model Programs. London: Sage Publications. Huntington, Samuel P. 1991. Democracys Third Wave. Journal of Democracy, Vol.2, No. 2, Spring, hlm.12. Ignatief, Michael. 2003. The Burden, New York Times Magazine: [Jan 5]:162. Khan, Maulana Wahidudddin. 1999. Islam Anti Kekerasan. Jakarta: Pustaka Al Kautsar. Lake, Anthony. 1994. The Reach of Democracy, New York Times, 23 September. Latuihamallo, Pd. 2003. Menuju Integrasi Sosial, dalam Indonesian Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) dan Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini. Leiden-Jakarta. Magnis-Suseno, Frans. 2003. Faktor-Faktor yang Mendasari Terjadinya Konflik Antara Kelompok Etnis dan Agama di Indonesia: Pencegahan dan Pemecahan, dalam Indonesian Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) dan Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini. Leiden-Jakarta. Masoed, Mochtar, Mochamad Maksum, dan Moh. Soehadha. 2000. Kekerasan Kolektif: Kondisi dan Pemicu. Yogyakarta, P3PK. Mishra, Satish C. 2001. History in the Making; A Systemic Transition in Indonesia. Working Paper Series No. 01/02, Jakarta: United Nations Policy Support for Sustainable Social Economi Recovery (UNSFIR). _______________. 2002. Systemic Transition in Indonesia: The Crusial Next Steps. Working Draft. Jakarta: United Nations Policy Support for Sustainable Social Economi Recovery (UNSFIR).

29 Nelson, Jack dan Pall Mayer. 2004. Is Religion Killing Us? (Membongkar Akar Kekerasan dalam Bibel dan Quran). Yogyakarta: Kahfi. Reid, Anthoni. 2003. Pan Islamisme Abad Kesembilan Belas di Indonesia dan Malaysia, dalam Nico J. G. Kaptein (editor). Kekacauan dan Kerusuhan: Tiga Tulisan tentang PanIslamisme di Hindia-Belanda Timur pada Akhir Abad Kesembilan Belas di Indonesia dan Malaysia. Leiden-Jakata: INIS, hlm. 1-28. Suharyatmoko. 2004. Kata Pengantar, dalam Nelson, Jack dan Pall Mayer. Is Religion Killing Us? (Membongkar Akar Kekerasan dalam Bibel dan Quran). Yogyakarta: Kahfi, hlm. i-xvi. Snyder, Jack. 2000. From Voting to Violence: Democratization ansd Nationalist Conflicts. London: W.W. Norton & Co. Suparlan, Parsudi. 2003. Etnisitas dan Potensinya Terhadap Disintegrasi Sosial di Indonesia, dalam Indonesian Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) dan Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini. Leiden-Jakarta. Supeli, Kartina Leksono dan M. Ridho Eisy (Eds.), 2000. Skenario Indonesia 2010. Indonesia Masa Depan & Komnas HAM. Tadjoeddin, Mohammad Zulfan, Widajajanti I. Suharyo, dan Sartish Mishra. 2001. Regional Disparity and Centre-Regional Conflicts in Indonesia. Working Paper Series No. 01/02, Jakarta: United Nations Policy Support for Sustainable Social Economi Recovery (UNSFIR). Tirtosudarmo, Riwanto. 2005. Demografi dan Konflik: Kegagalan Indonesia melaksanakan proyek pembangunan bangsa?, dalam Dewi Fortuna, Helene Bouvier, Glenn Smith, Roger Tol. Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Victor, Barbara. 2006. The Last Crusade: Religion and the Politics of Misdirection. London: Constable & Robinson Ltd. Welsh, Briget. 2002. Globalization, Weak States, and the Death Toll in East Asia, dalam Kenton Worcester, Sally Avery Bermanzohn, dan Mark Ungar, Violence and Politics:

30 Globalizations Paradox. New York, NY: Routledge, hlm. 6789.

31 BIODATA

Nama : Tempat & Tgl. Lahir : NIP : Pangkat/Golingan : Alamat :

Muhadjir M. Darwin Yogyakarta, 1-1-1953 130 803 680 Pembina Tk. I/IVB Perum Pamungkas, Jl. Gatotkaca A75, Umbul Martani, Ngemplak, Sleman

Istri : Bromida Etiyawati Anak : 1. Alun Bayu Krisna 2. Aditya Purba Kesuma 3. Dimas Cahya Ardhi 4. Dio Damas Permadi Pendidikan: 1977 Doktorandus Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia, Desember. Skripsi: Peranan Kepemimpinan Informal dalam Sosialisasi Kontrasepsi Modern di Perdesaan. Master of Public Administration, University of Southern California, Los Angeles, USA, Mei. Spesialisasi: Population Policy and Management. Doctor of Philosophy in Public Administration, University of Southern California, Los Angeles, USA, Agustus. Spesialisasi: Policy Analysis and Development Administration.

1986

1990

Pekerjaan: 1978-1984 Asisten Peneliti, Lembaga Kependudukan, Universitas Gadjah Mada, Indonesia.

32 1979-1999 1990-sekarang Dosen, Program S1 Administrasi Negara, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia. Peneliti Senior, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia. Peneliti, S1, Program Master dan Doktor, dalam Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada. Dosen, Program S2 Studi Kependudukan, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada. Pengelola S2 Administrasi Negara, Universitas Gadjah Mada. Anggota, Collaborative Research on Women Empowerment, Arrow & Ford Foundation. Pengelola Program Magister Studi Kebijakan, Universitas Gadjah Mada.

1990-sekarang

1990-sekarang 1999-2002 2002 2003-sekarang

Organisasi Profesional 1997-1998 1998-2004 1994-sekarang 2002-sekarang Asosiasi Indonesia untuk Ilmu Sosial Kesehatan AISKI (Ketua Eksekutif). Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia PKBI, Daerah Istimewa Yogyakarta (Chair III). Asia-Pacific Network on Health Social Science APNET, (Steering Committee). Member of South East Asia Consorsium on Sexuatlity and Health.

Pengalaman Konferensi: 1996 1996 The 3rd APSSAM Conference in Perth, Australia (peserta) An International Conference on Social Sciences and Medicine, Peebles, Scotland, September 2-6 (peserta) Pertemuan tahunan ketujuh Jaringan Epidemologi Nasional, Surabaya, November

1996

33 1996 The 2nd Regional Workshop on Reproductive Tract Infection in Asia Pacific Region, diselenggarakan oleh Health Action Information Network (HAIN) di Caylabne Bay, Ternate, Cavite, Philippines, Mei 6-8 International Workshop on Social Security and Social Policy in Java, diselenggarakan di Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada oleh Pusat Penelitian Kependudukan, Universitas Gadjah Mada, Agustus 6-7 The 4th APSSAM Conference di Yogyakarta (ketua, the organizing committee) The fifth International Conference on AIDS in Malaysia (pemakalah) The fifth APSSAM Conference in Kandy, Srilanka (peserta) Steering Committee Meeting for the Sixth APSSAM Conference in Kunming, China (peserta) The 6th International AIDS Congress for Asia Pacific Region, Melbourne, Australia, 4-10 October (peserta) Workshop on Cross Border Migration and Sexuality in Mekong area, Yogyakarta, Indonesia, January 1718, organized by Center for Population and Policy Studies (ketua, the organizing committee) Southeast Asia Workshop on Cross Border Mobility and Sexuality, Yogyakarta, 8-9 May 2006.

1997

1998 1999 2000 2001 2001

2003

2006

Pengalaman Penelitian 1991 Pengembangan Institusi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah (peneliti utama). Program Research Award dalam Kesehatan Reproduksi Kependudukan dan Pembangunan (koordinator program). Masri Singarimbun Research Award Program dalam Kebijakan dan Aksi Kesehatan Reproduksi

1992-1998

1998-2003

34 berperspektif Gender (koordinator program). Survei dan Penelitian Aksi tentang Kekerasan terhadap Perempuan (peneliti utama). Master Plan untuk Kebijakan Transmigrasi dan Kependudukan: Repeta, Propenas, dan Kebijakan Jangka Panjang Cross Border Migration in South East Asia and Mekong Area (studi kolaboratif regional). Men Search for Sex: Regional Migration and Sexuality in South East Asia and China (Studi kolaboratif regional).

2000 2000

2002-2003 2006-2007

Penghargaan 1981 1986 Dosen Teladan, Universitas Sebelas Maret, Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial dan Politik. Outstanding Leadership Award, University of Southern California, Office for International Students and Scholars. Outstanding Academic Achievement Award, University of Southern California, Office for International Students and Scholars.

1990

Publikasi 1991 1994 Dampak Kependudukan terhadap Perumahan, Populasi, Vol.2, No.2, 1991. hlm.25-35. Kesehatan Reproduksi Pekerja Perempuan, (with Mahendra Wijaya), Populasi, Vol. 5, No. 2, hlm. 5161. Birokrasi dan Demokrasi, dalam Riza Noer Arfani (Ed), Demokrasi Indonesia Kontemporer, Jakarta, PT Raja Gratindo Persada, hlm. 216-38. Pengembangan Aparatur Pemerintah di Indonesia, ibid, hlm. 216-238. Gerakan Kependudukan: dari Keluarga Berencana ke Kesehatan Reproduksi, dalam Agus Dwiyanto

1996

1996 1996

35 dkk. (ed), Penduduk dan Pembanguan, Yogyakarta: Aditya Media, hlm. 167-182. Kesehatan Reproduksi: Ruang Lingkup dan Kompleksitas Masalah, Populasi, Vol. 7, No. 2, hlm. 1-14. Pekerja Seks Jalanan dan Potensi Penularan PMS (Editor bersama Anna Marie Wattie). Yogyakarta: PSKK-UGM.. Kekerasan Seksual terhadap Perempuan (Editor bersama Anna Marie Wattie). Yogyakarta: PSKKUGM. Restrukturisasi Partai di Era Pasca-Soeharto, Catatan Kritis terhadap Rancangan Undang-Undang Partai Politik, Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik, November, Vol. 2. Krisis Nasional: Respon Penduduk Miskin dan Pemerintah, Populasi, 10(1), hlm.1-14 Freedom from Fear: Social Disruption and System of Violence in Indonesia. dalam Aris Ananta (editor). The Indonesian Crisis; A Human Development Perspective. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Aspek Kemanusiaan dari Pengendalian Pertumbuhan Penduduk dalam Faturochman and Agus Dwiyanto, Reorientasi Kebijakan Kependudukan. Yogyakarta: PSKK-UGM. Menggugat Budaya Patriarki (editor bersama Tukiran). Yogyakarta: PSKK-UGM. Dekonstruksi Kultur Patriarki (editor). Yogyakarta: PSKK-UGM & Ford Foundation. Menemukan Tempat Aman Bagi Perempuan (editor), Yogyakarta: PSKK & Ford. Living on the Edges: Cross-Border Mobility and Sexual Exploitation in the Greater Southeast Asia Sub-Region Bersama Anna Marrie Wattie dan Susi Eja Yuarsi. Yogyakarta: CPPS-GMU and Rockefeller Foundation.

1996

1998

1998

1998

1999 2001

2001

2001 2001 2002 2003

36 2004 Memanusiakan Rakyat: Penanggulangan Kemiskinan sebagai Arus Utama Pembangunan. Yogyakarta: Benang Merah. Negara dan Perempuan: Reorientasi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Grha Guru dan Media Wacana.

2005

Paper dipresentasikan dalam seminar 1994 Perempuan, AIDS, dan Kekuasaan, disampaikan dalam seminar terbuka Pusat Penelitian Kependudukan, Universitas Gadjah Mada, 27 Januari. Isu Kesehatan Reproduksi dan Tantangan bagi Pengembangan penelitian dan Pembuatan kebijakan, Seminar Terbuka di Pusat Penelitian Kependudukan, Universitas Gadjah Mada, 27 Januari. Kontroversi Aborsi dan Pilihan Kebijakan, Seminar Terbuka di Pusat Penelitian Kependudukan, Universitas Gadjah Mada, 15 januari. Permintaan terhadap Kebijakan Pelayanan Kesehatan dan Kesehatan Reproduksi, Seminar Terbuka, Pusat Penelitian Kependudukan, Universitas Gadjah Mada, 27 Juli. Permukiman dan Pendidikan Sosial: Struktur Kelembagaan dan Perencanaan Sosial, disajikaa dalam Training Manajemen dan Teknik Pembangunan, Universitas Gadjah Mada, Maret 24 Undang-Undang Partai Politik dan Demokratisasi, ceramah disampaikan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 20 Agustus. Kekerasan Terhadap Perempuan selama Kerusuhan Politik, seminar di Universitas Slamet Riyadi, Surakarta, 24 September. Perilaku Kesehatan Reproduksi sebagai Kecenderungan dalam Penelitian Perempuan dan Kependudukan, dalam lokakarya yang

1994

1998

1998

1998

1998

1996

1996

37 diselenggarakan oleh Pusat Studi Wanita dan Pusat Studi Kependudukan Universitas Jendral Sudirman, Purwokerto, 20 Oktober. Gender dan Agama, disampaikan dalam Training Teknik Analisis Gender, diselenggarakan olejh Pusat Studi Wanita, Universitas Islam Indonesia, 22 Oktober. Birokrasi dan Krisis Nasional, disajikan dalam seminar Krisis Nasional, diselenggarakan oleh HIPIIS, Yogyakarta, October 29. Maskulinitas: Peran Laki-laki dalam Masyarakat patriarkis, Seminar terbuka di Pusat Penelitian Kependudukan, Universitas Gadjah Mada, 24 Juni. Eliminasi Lokalisasi dan Pengendalian HIV/AIDS, Seminar Terbuka di Pusat Penelitian Kependudukan, Universitas Gadjah Mada, 3 Maret Prostitution and HIV/AIDS prevention., disampaikan dalam The Fifth International Congress on Aids in Asia Pacific, Kualalumpur, Malaysia, 2126 Oktober.

1996

1998

1999

1999

1999

Anda mungkin juga menyukai