Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Arti dilalah secara umum adalah memahami sesuatu atas sesuatu. Kata “sesuatu” yang
disebutkan pertama disebut “madlul” yaitu yang ditunjuk. Dalam hubungannya dengan
hukum, yang disebut madlul itu adalah “hukum” itu sendiri.
Kata sesuatu yang kedua kalinya disebut “dalil” yaitu yang meliputi petunjuk. Dalam
hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut dalil hukum.[1]
Pembahasan dilalah ini begitu penting dalam ilmu ushul fiqh, karena termasuk dalam salah
satu sistem berfikir. Untuk mengetahui sesuatu tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu
itu secara langsung, tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berfikir dengan
menggunakan petunjuk dan isyarat disebut berfikir secara dilalah.
BAB II
PEMBAHASAN

DILALAH MENURUT ULAMA HANAFIYAH

Ulama Hanafiyah membagi dilalah kepada dua macam, yaitu dilalah lafzhiyah dan dilalah
ghairu lafzhiyah.[2]
A. Dilalah Lafzhiyah
Dilalah lafzhiyah yaitu dilalah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada
sesuatu dalam bentuk lafaz, suara atau kata.[3] Dilalah lafzhiyah terbagi kepada 4 macam
yang berbeda tingkatan kekuatannya.
1. Dilalah Ibarah
Dilalah ibarah yaitu makna yang dapat dipahami dari apa yang disebut dalam lafaz, baik
dalam bentuk nash maupun zahir.
Contoh :
Firman Allah yang berbunyi :
Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka)”.[4]
2. Dilalah Isyarah
Dilalah isyarah ialah suatu pengertian yang ditangkap dari suatu lafaz, sebagai kesimpulan
dari pemahaman terhadap suatu ungkapan (ibarat) dan bukan dari ungkapan itu sendiri.[5]
Contoh :
Firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) : 187
Artinya :
“Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”. [6]

Contoh lainnya dalam surat an-Nisa ayat 3 :


Artinya :
“Kemudian apabila kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja”.
[7]

3. Dilalah al-Dilalah atau Dilalah Nash


Dilalah nash adalah penunjukkan oleh lafaz yang tersurat terhadap apa yang tersirat
dibalik lafaz itu. Hukum yang terdapat dalam suatu lafaz yang tersurat, berlaku pula pada apa
yang tersirat dibalik lafaz itu, karena diantara keduanya terdapat hubungan.[8]
Dilalah al-Dilalah itu terbagi dua :
 Hukum yang akan diberlakukan kepada kejadian yang tidak disebutkan dalam nash,
keadaannya lebih kuat dibandingkan dengan kejadian yang ada dalam nash.
Contoh :
Firman Allah dalam surat al-Isra’ (17) : 23
Artinya :
“Janganlah kamu ucapkan kepada dua orang ibu bapakmu ucapan ‘ah’ dan janganlah kamu
membentak keduanya”.
 Hukum yang akan diberlakukan pada kejadian yang tidak disebutkan dalam nash,
keadaannya sama dengan kejadian yang ada dalam nashnya.
Contoh :
Firman Allah dalam surat an-Nisa (4) : 10
Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya”.

4. Dilalah al-Iqtidha
Dilalah al-Iqtidha yaitu penunjukkan (dilalah) lafaz terhadap sesuatu, dimana
pengertian lafaz tersebut tidak logis kecuali dengan adanya sesuatu tersebut.
Contoh :
Firman Allah dalam surat Yusuf (12) : 82
Artinya :
“tanyailah kampung tempat kita berada, dan kafilah kita bertemu dengannya".[9]
Menurut zhahir ungkapan ayat tersebut terasa ada yang kurang, karena bagaimana
mungkin bertanya kepada “kampung” yang bukan makhluk hidup. Karenanya dirasakan perlu
memunculkan suatu kata agar ungkapan dalam ayat itu menjadi benar. Kata yang perlu
dimunculkan ialah “penduduk” sebelum kata “kampung”, sehingga menjadi “penduduk
kampung” yang dapat ditanya dan memberi jawaban.

Ditinjau dari segi keharusan mentakdirkan suatu lafaz yang terbuang, para ulama
Ushul FIqh membagi dilalah al-Iqtidha menjadi tiga macam :
a. Dilalah al-Iqtidha yang harus mentakdirkan lafaz yang terbuang, lantaran suatu nash tidak
dapat dipahami dengan benar menurut syara’ kecuali dengan mentakdirkan lafaz yang
terbuang.
Contoh :
‫ﻻ ﺻﻴﺎﻢ ﻟﻤﻦ ﻠﻢ ﻴﺒﺖ ﺍ ﻟﻨﻴﺔ‬
Artinya :
“Tidak sah puasa seseorang yang tidak berniat pada waktu malam”.
b. Dilalah al-Iqtidha yang harus mentakdirkan lafaz yang terbuang, lantaran suatu nash tidak
dapat dipahami secara sah menurut akal, kecuali dengan mentakdirkan lafaz yang terbuang.
Contoh :
Firman Allah yang berbunyi dalam surat al-Alaq ayat 17 :
Artinya :
“Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya)”.

c. Dilalah al-Iqtidha yang harus mentakdirkan lafaz yang terbuang, lantaran suatu nash tidak
dapat dipahami secara sah menurut syara’, kecuali dengan mentakdirkan lafaz yang terbuang.
Contoh :
Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 178 :
Artinya :
“Hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang
diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula)”.
[10]

Ditinjau dari segi bentuk yang harus ditakdirkan (dimunculkan) untuk kebenaran atau
kesahan suatu lafaz secara hukum, dilalah iqtidha dibagi dua :
1. Yang ditakdirkan adalah “sebuah kata”. Umpamanya kata “sah” dalam sabda Nabi
Muhammad SAW :
‫ﻻ ﺻﻼﺓ ﻟﻤﻦ ﻟﻢ ﻳﻘﺮﺃ ﻔﻳﮭﺎ ﺑﻔﺎ ﺗﺤﺔ ﺍ ﻟﮑﺗﺎ ﺏ‬.
Artinya :
“Tiada shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-fatihah dalam shalat”.
2. Yang ditakdirkan adalah suatu peristiwa hukum. Umpamanya si A mengatakan kepada si B,
“wakafkanlah kebunmu itu untuk (atas nama) saya dengan bayaran 10 Juta Rupiah.”[11]

B. Dilalah Ghairu Lafzhiyah


Dilalah ghairu lafzhiyah yaitu dalil yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan
lafaz, dan bukan pula dalam bentuk kata. Hal ini berarti bahwa “diam” atau “tidak
bersuaranya” sesuatu dapat pula memberi petunjuk kepada sesuatu.[12]
Menurut Ulama Hanafi, dilalah ghairu lafzhiyah ada empat macam :
1. Kelaziman dari menyebutkan sesuatu untuk menetapkan hukum terhadap yang tidak
disebutkan.
Contohnya Firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 11
Artinya:
“Untuk dua orang ibu bapak masing-masing mendapat seperenam bila pewaris meninggalkan
anak. Bila ia tidak meninggalkan anak sedangkan yang mewarisinya adalah ibu bapaknya,
maka untuk ibunya adalah sepertiga”.
2. Dilalah (penunjukkan) keadaan diamnya seseorang yang fungsinya adalah untuk memberi
penjelasan.
Contoh:
“Seseorang yang diberi tugas untuk memberikan penjelasan atas sesuatu, namun ia dalam
keadaan tertentu diam saja memberikan petunjuk atas sesuatu. Begitu pula seseorang yang
diberi tugas untuk melarang suatu perbuatan tapi suatu ketika ia menyaksikan perbuatan yang
dilarang itu dilakukan orang, namun ia diam saja. Diamnya itu memberi petunjuk atas suatu
hukum”.
3. Menganggap diamnya seseorang yang diam sebagai berbicara untuk menghindarkan
penipuan.
Contoh:
“Seorang wali (orang yang melindungi anak dibawah umur) bersikap diam pada saat orang
yang berada dibawah perwaliannya melakukan tindakan yang bertalian dengan hartanya,
seperti jual beli. Orang yang berada dibawah perwaliannya itu baru sah tindakannya bila
secara jelas diijinkan oleh walinya, tidak hanya diam semata.”
4. Dilalah sukut (penunjukkan diam) yang menyatakan ma’dud (sesuatu yang terbilang) namun
telah bisa dibuang untuk menghindarkan panjangnya ucapan kalau disebutkan.[13]
Contoh:
“Dalam tata bahasa Arab bila seorang berkata “seratus dan satu gantang beras”, dalam
pemakaian bahasa Arab yang lengkap mestinya dijelaskan dengan ucapan “seratus gantang
dan satu gantang” untuk maksud bilangan “101 gantang”. Namun telah terbiasa membuang
kata “gantang” yang pertama dalam rangka menghindarkan panjangnya ucapan”.

BAB III
KESIMPULAN
Arti dilalah secara umum adalah memahami sesuatu atas sesuatu. Kata “sesuatu” yang
disebutkan pertama disebut “madlul” yaitu yang ditunjuk. Dalam hubungannya dengan
hukum, yang disebut madlul itu adalah “hukum” itu sendiri.
Ulama Hanafiyah membagi dilalah kepada dua macam, yaitu dilalah lafzhiyah dan
dilalah ghairu lafzhiyah.
Dilalah lafzhiyah yaitu dilalah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada
sesuatu dalam bentuk lafaz, suara atau kata. Dilalah lafzhiyah terbagi kepada 4 macam yang
berbeda tingkatan kekuatannya.
Dilalah ghairu lafzhiyah yaitu dalil yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan
lafaz, dan bukan pula dalam bentuk kata.

DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.


Abu Zahrah, Muhammad. 2010. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus

[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), hal 126
[2] Ibid,.... hal 129
[3] Ibid,... hal 126
[4] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010), hal 209
[5] Ibid, ..... hal 205
[6] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh...... hal 133
[7] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh....... hal 205
[8] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh...... hal 135
[9] Ibid. .... hal 137
[10] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh....... hal 214
[11] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, ..... hal 140
[12] Ibid...... hal 128
[13] Ibid,.... hal 144
Pengertian Dilalah Beserta
Jenis & Contohnya
Muamala Team | Mei 12, 2018 | Fiqih Umum, Syariah
Dilalah – Dalam melakukan istimbath hukum dan upaya yang dilakukan oleh
para Mujtahid untuk memahami nash tidak saja memperhatikan apa yang
tersurat yaitu bentuk lafal nash dan susunan kalimatnya, tetapi juga
memperhatikan yang tersirat, seperti isyarat yang terkandung dibalik lafal
nash serta begitu pula dengan dalalahnya.
 Penjelasan Lengkap: Kaidah Kesulitan Mendatangkan Kemudahan
 Pembahasan tentang Ijtihad dan Mujtahid Lengkap
 Pengertian Qawaid Fiqhiyah dan Contoh Penerapannya
 Penjelasan Ringkas Ta’arud dan Tarjih
Berkenaan dengan cara penunjukan dilalah lafal nash ini, ternyata dikalangan
ulama ushul fiqh terdapat perbedaan cara atau metode dalam penunjukan
nash yang mereka tempuh.

Menurut ulama Hanafiah, membagi dilalah kepada dua macam yaitu dilalah
lafzhiyah dan dilalah ghairu lafzhiyah. Dalam metode penunjukan nash dilalah
lafzhiyah terbagi menjadi 4 yaitu ibarah al-nash, isyarah al-nash, dalalah al-
nash, dan iqtida’al-nash.

Sedangkan menurut ulama mutakallimin, membagi dilalah dalam metode


penunjukan nash kepada dua macam yaitu manthuq dan mafhum.

Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai istilah-istilah tersebut serta cara
bagaimana penunjukannya.

Dilalah atau Dalil


Makalah ini di susun menjadi beberapa bagian, yaitu:

1. Pengertian umum tentang dilalah.


2. Pembagian dilalah yang ditinjau dari segi bentuk dalil.
3. Metode lafaz dilalah (penunjukan) nash atas hukum menurut ulama Hanafi.
4. Metode lafaz dilalah (penunjukan) nash atas hukum menurut ulama
Mutakallimin.
5. Pembagian macam-macam mafhum menurut ulama Mutakallimin.
6. Berhujjah dengan mafhum mukhalafah.
7. Syarat berhujjah dengan mafhum mukhalafah.
1. Pengertian Umum Tentang Dilalah
Secara bahasa kata “‫ ”دل لـة‬adalah bentuk mashdar (kata dasar) dari kata “-‫دل‬
‫ ”يـدل‬yang berarti menunjukan dan kata dilâlah sendiri berarti petunjuk atau
penunjukkan. Arti dilalah secara umum adalah: “memahami sesuatu atas
sesuatu”. Kata “sesuatu” yang disebutkan pertama disebut “madlul” (yang
ditunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul itu adalah
“hukum” itu sendiri. Kata “sesuatu” yang disebutkan kedua kalinya disebut
“dalil” (yang menjadi petunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum,dalil itu
disebut “dalil hukum”.1
Dalam kalimat “asap menunjukan adanya api”. Kata “api” disebut madlul
sedangkan “asap” yang menunjukan adanya “api” disebut dalil. Pembahasan
tentang “dilalah” ini begitu penting dalam ilmu logika dan ushul fiqih, karena
termasuk dalam salah satu system berpikir. Untuk mengetahui sesuatu tidak
mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung, tetapi cukup
dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir dengan menggunakan
petunjuk dan isyarat disebut berpikir secara dilalah.2
Dilalah adalah petunjuk yang menunjukan makna yang dimaksudkan. Dalam
Al-misbahul munir, disebutkan:

“Dilalah adalah apa yang dikehendaki oleh lafal, ketika lafal itu diucapkan
secara mutlak”.3
2. Pembagian Dilalah yang Ditinjau dari Segi Bentuk Dalil
Ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu,
dilalah itu ada dua macam, yaitu : dilalah lafzhiyyah dan dilalah ghairu
lafzhiyyah.

a. Dilalah Lafzhiyyah (Penunjukan berbentuk lafaz)


Yaitu dilalah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada
sesuatu dalam bentuk lafaz, suara atau kata. Dengan demikian, lafaz , suara
dan kata, menunjukan kepada maksud tertentu. Penunjukannya kepada
maksud tertentu itu diketahui melalui 3 hal :

1. Melalui hal-hal yang bersifat alami yang menunjuk pada maksud


tertentu yang dapat diketahui oleh setiap orang diseluruh alam ini.
Penunjukan (dilalah) seperti ini disebut “thabi’iyyah”; secara lengkap
biasa disebut dilalah lafzhiyyah thabi’iyyah.
2. Melalui akad. Maksudnya, dengan perantaraan akal pikiran, seseorang
dapat mengetahui bahwasuara atau kata yang didengarnya memberi
petunjuk kepada maksud tertentu. Penunjukan secara suara tersebut
dinamai “aqliyah”; secara lengkap biasa disebut dilalah lafzhiyyah
‘aqliyah.
3. Melalui “istilah” yang dipahami dan digunakan bersama untuk maksud
tertentu. Penunjukan bentuk ini disebut “wadh’iyah”; secara lengkap
biasa disebut “dilalah lafzhiyyah wadh’iyyah”.4
b. Dilalah Ghairu Lafzhiyyah (Dilalah bukan lafaz)
Yaitu dalil yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan lafaz dan bukan
pula dalam bentuk kata. Hal ini berarti bahwa “diam” atau “tidak bersuaranya“
sesuatu dapat pula memberi petunjuk kepada sesuatu, contohnya seperti
“raut muka” seseorang mengandung maksud tertentu. Diamnya sesuatu itu
dapat diketahui maksudnya melalui hal-hal sebagai berikut :

1. Melalui hal-hal yang bersifat alami yang dapat dipahami oleh semua
orang dimana saja. Penunjukan seperti ini disebut “thabi’iyah”; secara
lengkapnya: dilalah ghairu lafzhiyyah thabi’iyah.
2. Melalui akal. Maksudnya, meskipun tidak ada suara atau kata, namun
akal dapat mengetahui apa yang terdapat di balik diamnya sesuatu.
Penunjukan dalam bentuk ini disebut “aqliyyah”; secara lengkapnya:
dilalah ghairu lafzhiyyah aqliyyah.
3. Melalui kebiasaan dalam menggunakan sesuatu sebagai tanda atau
isyarat untuk maksud tertentu. Penunjukan seperti ini disebut
“wadh’iyyah”; secara lengkapnya: dilalah ghairu lafzhiyyah wadh’iyyah.5
Kedua bentuk dilalah di atas (dilalah lafziyah dan ghairu lafzhiyah) selain
dibahas dalam ilmu mantiq (logika), juga dikaji dalam ilmu ushul fiqih,
meskipun di antara mereka ada perbedaan dalam menggunakan
pengistilahannya. Bentuk dilalah yang luas penggunaannya adalah dilalah
lafzhiyah karena mengandung maksud yang langsung dan jelas tentang
hukum. Bentuk dilalah dengan “diam” dalam dilalah ghairu lafzhiyah juga
digunakan dalam penunjukan terhadap hukum, tetapi mengundang banyak
perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul fiqih.6
3. Metode Lafaz Dilalah (Penunjukan) Nash atas Hukum
Menurut Ulama Hanafi
Ulama hanafiyah membagi dilalah kepada dua macam, yaitu dilalah lafzhiyyah
dan dilalah ghairu lafzhiyyah.Dilalah lafzhiyyah dalam pengertian ini, ialah
yang menjadi dalil adalah lafaz menurut lahirnya. Dilalah ghairu lafzhiyyah
ialah yang menjadi dalil bukan melalui lafaz menurut lahirnya.

A. Dilalah Lafzhiyyah (‫)ظْدللللةة للففظْظييةة‬


Dilalah lafzhiyyah terbagi menjadi 4 macam yang berbeda tingkatan
kekuatannya :

1. Dilalah ‘ibarah ( ‫ )ظْدللللةة ظْعلباَلرةة‬atau disebut juga ‘ibarat nash .


Yang dimaksud dengan ibaratun nash ialah petunjuk lafal kepada suatu
pengertian atas suatu ketentuan hukum yang diungkapkan langsung oleh lafal
nash itu sendiri. Sebagai contoh Firman Allah dalam surat al-Baqarah, ayat
275 berikut ini.

‫… حواحححـلل ا ا ايلحبــييـحع حوححـلرحم الـررحبـا‬


“padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”(QS. Al-
baqarah:275)

Lafal nash ini mempunyai dua makna; pertama bahwa jual beli tidak sama
dengan riba, dan kedua jual beli hukumnya halal, sedangkan riba hukumnya
haram. Kedua makna ini dipahami dari lafal nash dan susunan asli dari
kalimat. Ayat ini merupakan jawaban dari pendapatorang yahudi yang
mengatakan jual-beli sama dengan riba yang dipahami dari lafal dn susunan
kalimat yang bukan asli.7
Adapun sebagian pendapat para ulama:

Menurut abu zahrah :

‫حوههحي يالحميعحنىَ يالحميفْاهيوهم همحن الليلفْهظ حسحواءء حكاحن حن ل‬


‫صا احيو حظاههررا‬

“makna yang dapat dipahami dari apa yang disebut dalam lafaz, baik dalam
bentuk nash maupun zahir”.

Penulis kitab al-Tahrir memberikan definisi :

“penunujukan lafaz atas makna dalam keadaan sesuai dengan yang


dimaksud secara asli, meskipun dalam bentuk lazim (lafaz jenis inilah yang
diperhitungkan oleh ulama ushul dalam nash) atau bukan dalam bentuk asli”.8
‫ )ظْدللللةة الظْ ل‬atau disebut juga isyarah al-nash.
2. Dilalah isyarah (‫شاَلرةة‬
Yang dimaksud dengan isyaratun nash ialah makna yang dapat dipahami
bukan dari lafal dan susunan kalimat nash, tetapi dari luar nash.

Sebagai contoh dapat dilihat dalam surat al-Baqarah, ayat 233:

‫حوحعـحلىَ ايلحميول ايوهد حلــاه هريزاقــاهـلن حوهكـيسـحواتاهـلن هبايلحميعـاريو ه‬


(۲۳۳: ۲ / ‫ف … )البقـرة‬

“dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara yang ma’ruf”. (QS. Al-baqarah : 233)

Dipahami melalui ibaratun nash bahw nafkah dan pakain ibu merupakan
tanggung jawab suami. Namun dipahami melalui isyaratun nash, bahwa ayah
saja yang berkewajiban memberikan nafkah kepada anaknya karena anaknya
itu adalah anaknya sendiri. Kalau ayah mengambil atau membinasakan harta
anaknya, maka si ayah tidak dituntut untuk mengganti, karena harta tersebut
adalah harta anaknya sendiri.9
Adapun sebagaian pendapat para ulama:

Menurut Abu Zahrah :


“apa yang ditunjuk oleh lafaz melalui ibaratnya”.
Ulama hanafiyah dalam al-tahrir memberi definisi :

‫صرل‬ ‫)هدحللحاتاه(احيه اللليفْهظ حعحلىَ حمالحيم حييق ا‬


‫صيدهبهه اح ي‬

“lafaz yang dilalahnya terhadap sesuatu, tidak dimaksud untuk itumenurut


asalnya”.
Al-sharkhisi dari ulama hanafiyah memberi definisi :

“apa yang terungkap memang bukan ditunjukan untuk itu, namun dari
perhatian yang mendalam ditemukan suatu makna dari lafaz itu, tidak lebih
dan tidak kurang”.
Definisi lainnya yang mirip dengan yang diatas adalah :

“penunjukan sebuah ucapan terhadap arti bukan yang dimaksud secara


langsung tetapi merupakan kelaziman bagi arti yang ucapan diungkapkan
untuk itu”.10
‫ )ظْدللللةة الين ص‬atau disebut juga dilalah al-nash.
3. Dilalah al-dilalah (‫ص‬
Yang dimaksud dengan dilalatun nash ialah arti makna yang dipahami dari
jiwa dan arti yang dapat dipikirkan dari nash itu. Karena itu, kalau ibaratun
nash menunjukan suatu kasus yang sudah ditetapkan hukumnya dan
diterangkan tentang sebab (‘illat) hukumnya, maka apabila ditemui kasus lain
yang sebabnya sama dengan kasus yang sudah terjadi, baik kuantitas sebab
pada kasus yang baru itu sama dengan kuantitas sebab pada kasus yang
terdahulu atau lebih berat lagi, maka hukum kedua kasus itu dinamakan,
karena dipahami bahwa nash itu mencakup hukum pada kedua kasus itu.
Contoh: Untuk maksud ini dapat dilihat dalam surat al-Isra’ ayat 23 berikut ini

‫حفلح حتـاقـيل حلــاهـحما أ ا ف‬


‫ف‬

“maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan


“ah” . (QS. Al-isra :23)

Dipahami dari ibaratun nash, yaitu dilarang mengucapkan ah kepada kedua


orang tua, sebab akan menyakiti perasaannya. Oleh sebab itu, dilarang juga
dalm perbuatan lain, seperti memukul dan mencaci karena memukul lebih
berat daripada mengucapkan ah.11
Adapun pendapat para ulama :

Menurut Abu Zahrah :

‫ت احيكهم حمااذهكحر لهحما اسهك ح‬


‫ت حعيناه لهحفْيههم ايلحمحناهط هبامحجلرهدحفيههم الللحغهة‬ ‫دحلحلاة اللليفْظ حعحلىَ اثابيو ه‬
“dilalah lafaz yang disebutkan dalam penetapan hukum adalah untuk yang
tidak disebutkan karena ada hubungannya yang dapat dipahami berdasarkan
pemahaman dari segi bahasa.
Definisi yang hampir sama, dikemukakan oleh pengarang at-tahrir :

“dilalah lafaz yang disebutkan dalam penetapan hukum adalah untuk yang
tidak disebutkan karena ada hubungannya yang dapat dipahami berdasarkan
pemahaman dari segi bahasa.
Definisi yang agak beda dikemukakan oleh al-sarkhisi :

“apa yang ditetapkan dengan makna menurut aturan bahasa dan bukan
melalui cara istimbath dengan menggunakan daya nalar”.12
‫ )ظْدللللةة اظْلفقظْت ل‬atau disebut juga iqtidha al-nash.
4. Dilalah al-iqtidha (‫ضاَةء‬
Yang dimaksud dengan iqtidhaun nash ialah pengertian yang diambil dari
suatu lafal yang tidak akan jelas arti kalimatnya kalau lafal itu tidak dita’wilkan,
maka dengan ta’wil barulah pengertian sesuai dengan kenyataanya.

Sebagai contoh dapat dilihat dalam firman Allah pada surat al-Ma’idah, ayat 3
berikut ini:

‫ت حعـلحييـاكام ايلـحمـييـحتــحة حواللدحم حولحيحـحم ايلـهخـينـازييـهر‬


‫…احـررحم ي‬

“Diharamkan atas kamu bangkai, darah dan daging babi”

Untuk kasus dalam ayat ini maksudnya “diharamkan memakan atau


memanfaatkan darah dan daging babi.Sebab keharaman tanpa hubungan
dengan perbuatan manusia tidak ada manfaatnya.13
Adapun sebagian pendapat para ulama :

Menurut sebagian ahli ushul :

“penunjukan lafaz kepada sesuatu yang tidak disebutkan, yang kebenarannya


tergantung kepada yang tidak tersebut itu”.
Secara sederhana Abu Zahrah memberi definisi :

“penunjukan lafaz kepada setiap sesuatu yang tidak selaras maknanya tetapi
memunculkannya”.

Sedangkan pengarang al-Tahrir mendefinisikan :

‫صيدحقاه حعلحييهه احيو ه‬


‫صلححتاه‬ ‫ت حيحتحولق ا‬
‫ف ه‬ ‫هاين حدلل اللليفْ ا‬
ْ‫ظ حعحلىَ حميساك يو ت‬
“lafaz yang menunjukan kepada sesuatu yang tidak disebutkan, yang
mungkin kebenaran dan keshahihannya tergantung kepada yang tidak
disebutkan”.14
B. Dilalah Ghairu Lafzhiyyah (‫)ظْدللللةة لغفيةر للففظْظييةة‬
Dilalah ini disebut juga dilalah sukut atau bayan al-dharurah. Para ulama
ushul hanafiyah membagi dilalah yang bukan lafal dalam empat bagian, yang
semuanya dinamakan bayan dharurat, yaitu penjelasan yang dapat dipahami
dengan mudah. Sifat dari keempat lafal tersebut adalah dilalah sukut, artinya
petunjuk yang dapat dipahami bila dihubungkan dengan perkataan (dilalah
lafal) dalam memfaedahkan hukum.15
Menurut ulama hanafi ada 4 Macam, yaitu :

‫احين حييلحزم حعين حميذاكيوهر حميساكيو ه‬


‫ت حعيناه‬

“kelaziman dari menyebutkan sesuatu untuk menetapkan hukum terhadap


yang tidak disebutkan”.
‫ت حوهظييحفْاتاه الحبحيان اميطحلرقا‬
‫ت اللهذيى حكاحن ي‬
‫دحلحلة ححاهل اللساهك ه‬

“dilalah (penunjukan) keadaan diamnya seseorang yang fungsinya adalah


untuk memberi penjelasan”.
‫ت حدحللحاة حكاللنيطهق لهحديفهع اللتيغهرييهر‬ ‫هايعهتحباار اساكيو ه‬
‫ت اللساهك ه‬

“menganggap diamnya seseorang yang diam sebagai berbicara untuk


menghindarkan penipuan”.
ِ‫طيوهل الحكحلهم هبهذيكهره‬ ‫ت حعحلىَ حتيعهيييهن حميعاد يوتْد حتاعيواد ححيذفااه ح‬
‫ضاريوحرحة ا‬ ‫دحللحاة اللساكيو ه‬

“dilalah sukut ( penunjukan diam ) yang menyatakan ma’dud (sesuatu yang


terbilang) namun telah biasa dibuang untuk menghindarkan panjangnya
ucapan kalau disebutkan”. 16
4. Metode Lafaz Dilalah (Penunjukan) Nash Atas Hukum
Menurut Ulama Mutakallimin
Dalam pandangan Mutakallimin dilalah itu ada dua macam, yaitu : dilalah
manthuq dan dilalah mafhum.

A. Dilalah manthuq
Dilalah manthuq dalam pandangan pandangan ulama syafi’iyah adalah :

“penunjukan lafaz menurut apa yang diucapkan atas hukum menurut apa
yang disebutkan dalam lafaz itu”.

Definisi ini mengandung arti bila kita memahami suatu hukum menurut apa
yang tersurat secara jelas dalam lafaz itu, pemahaman ini disebut secara
“manthuq”.17 Secara garis besarnya, dilalah manthuq terbagi 2, yaitu: manthuq
sharikh/jelas dan manthuq ghair sharikh/yang tidak jelas.
Manthuq sharikh ialah manthuq yang penunjukannya itu timbul dari
“wadh’iyah muthabiqiyah” dan “wadh’iyah tadhamminiyah”. manthuq sharikh
dalam istilah ulama syafi’iyah ini adalah apa yang diistilahkan dengan dilalah
ibarah dalam pengertian ulama hanafiyah.

Manthuq ghairu sharikh (tidak jelas) adalah manthuq yang penunjukannya


timbul dari “wadh’iyah iltizhamiyah”.

Manthuq ghairu sharikh ini terbagi kepada dua macam, yaitu :

Penunjukannya itu dimaksud oleh pembicara, dan

Penunjukannya itu tidak dimaksud oleh pembicara.

Dilalah manthuq ghairu sharikh yang penunjukan (dilalah)nya dimaksud oleh


pembicara; ada dua macam: 1. Dilalah iqtidha’, dan 2. Dilalah ima’. Dilalah
iqtidha ini di kalangan ulama hanafiyah juga disebut dilalah iqtidha atau
iqtidha al-nash. Sedangkan yang dimaksud dengan dilalah ima’ adalah
penyertaan sifat dengan hukum dalam bentuk seandainya sifat itu bukan yang
menjadi ‘illat untuk hukum tersebut, maka penyertaan itu tidak ada artinya.

Dilalah manthuq ghairu sharikh yang penunjukan (dilalah) nya tidak dimaksud
oleh pembicara hanya terbatas pada satu bentuk yang disebut “dilalah
isyarah” yang di kalangan ulama hanfiyah juga disebut “dilalah isyarah” atau
dengan istilah isyarah al-nash yang telah dibicarakan dalam uraian tentang
“pembagian dilalah dalam pandangan ulama hanafiyah”.18
B. Dilalah mafhum
Dilalah mafhum adalah penunjukan lafaz yang tidak dibicarakan atas
berlakunya hukum yang disebutkan terhadap apa yang tidak disebutkan atau
tidak berlakunya hukum itu. Mafhum terbagi menjadi dua macam, yaitu :
mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.19
5. Pembagian Macam-Macam Mafhum Menurut Ulama
Mutakallimin
Mafhum terbagi menjadi dua macam, yaitu : mafhum muwafaqah dan mafhum
mukhalafah.

A. Mafhum Muwafaqah
Mafhum muwafaqah ialah mafhum yang lafaznya menunjukan bahwa hukum
yang tidak disebutkan sama dengan hukum yang disebutkan dalm lafaz. Dari
segi kekuatan berlakunya hukum pada apa yang yang tidak disebutkan,
mafhum muwafaqah terbagi dua, yaitu :

1. Mafhum aulawi
Yaitu berlakunya hukum pada peristiwa yang tidak disebutkan itu lebih kuat
atau lebih pantas dibandingkan dengan berlakunya hukum pada apa yang
disebutkan dalam lafaz. Kekuatan hukum itu ditinjau dari segi alas an
berlakunya hukum pada manthuqnya.

2. Mafhum musawi
Yaitu berlakunya hukum pada peristiwa yang tidak disebutkan dalam
manthuq. Para ulama sependapat tentang sahnya berhujjah (menjadikan
sebagai cara dalam menetapkan hukum) dengan mafhum muwafaqqah.
Hanya kalangan ulama zhahiri yang menolak menetapkan hukum menurut
mafhum sebagaimana juga menolak menggunkan qiyas, karena maenurut
mereka, mafhum muwafaqah dalam hal ini sama dengan qiyas.

B. Mafhum mukhalafah
Mafhum mukhalafah ialah mafhum yang lafaznya menunjukan bahwa hukum
yang tidak disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan. Mafhum
mukhalafah terbagi kepada beberapa bentuk, di antaranya (yang pokok)
adalah :

1. Mafhum sifat
Yaitu penunjukan suatu lafaz yang menggunakan suatu sifat terhadap hukum
yang berlawanan pada sesuatu yang tidak disebutkan bila sifat tersebut tidak
ada.

2. Mafhum syarat
Yaitu penunjukan suatu lafaz yang pada lafaz itu berlaku hukum yang
dikaitkan kepada suatu syarat, terhadap kebalikan hukum pada sesuatu yang
tidak disebutkan bila syarat itu tidak terpenuhi.

3. Mafhum al-ghayah/limit waktu


Yaitu penunjukan suatu lafaz yang pada lafaz itu ada hukum yang dibatasi
dengan limit waktu untuk tidak berlakunya hukum tersebut bila limit waktu
sudah berlalu.

4. Mafhum al-adad/bilangan
Yaitu penunjukan suatu lafaz menjelaskan berlakunya hukum dengan
bilangan tertentu, terhadap hukum kebalikannya untuk bilangan lain dari
bilangan yang ditentukan itu.

5. Mafhum al-laqab/gelar atau sebutan


Yaitu penunjukan suatu lafaz yang menjelaskan berlakunya sustu hukum
untuk suatu nama atau sebutan tertentu atas tidak belakunya hukum itu untuk
orang-orang lain.20
6. Berhujjah dengan mafhum mukhalafah
Mafhum mukhalafah adalah suatu istilah yang popular dalam pembahasan
ushul fiqh. Namun tentang penetapkan hukum melalui cara mafhum
mukhalafah terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama.

Tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai kekuatanhukum yang


diitetapkan melalui beberapa bentuk mafhum tersebut dalam kaitannya
dengan teks hukum:

a. Jumhur ulama berpendapat bahwa nash-nash hukum yang memberi


petunjuk tentang hukum atas sesuatu kejadian bila dikaitkan kepada
suatu sifat, syarat, bilangan atau limit waktu, mempunyai kekuatan
untuk menetapkan hukum atas kejadian yang memiliki sifat, syarat,
bilangan atau batas waktu tersebut. Begitu pula, nash hukum tersebut
mempunyai kekuatan dalam menetapkan hukum yang sebaaliknya jika
tidak terdapat sifat, syarat, bilangan ataau batas waktunya sudah
berlalu.
b. Ulama hanafiyah berpendapat bahwa nash syara’ yang menunjukan
hukum pada suatu kejadian bila dikaitkan pada suatu sifat, syarat,
bilangan dan batas waktu, maka mempunyai kekuatan hukum terhadap
kejadian yang disebutkan sifat, syarat, bilangan atau limit waktu itu saja
secara manthuq (tersurat). Adapun nash hukum yang tidak ditemukan
sifat, syarat, bilangan dan batas waktu, maka tidak dapat diketahui
hukumnya hanya dari mafhum mukhalafahnya, tetapi harus melalui dalil
lain. Hal ini berarti, kita tidak dapat menetapkan hukum apapun hanya
melalui mafhum mukhalafah saja.21
7. Syarat berhujjah dengan mafhum mukhalafah
Ulama yang membolehkan berhujjah dengan mafhum mukhalafah
mengemukakan beberapa syarat dalam menggunakan mafhum mukhalafah
sebagai hujjah. Syarat tersebut adalah :

1. Mafhum mukhalafah itu tidak bertentangan dengan dalil manthuq atau


mafhum muwafaqqah, karena keduanya lebih kuat untuk digunakan
dalam istidlal.
2. Hukum yang tersebut dalam nash tidaklah diujukan sekedar
merangsang keinginan seseorang untuk berbuat sesuatu.
3. Hukum yang terdapat dalam nash tidak merupakan jawaban atas
pertanyaan yang menyangkut hukum khusus yang berlaku waktu itu.
4. Dalil manthuqnya (yang tersurat) disebutkan secara terpisah.
Seandainya manthuq tidak terpisah dan disebutkan sebagai rangkaian
bagi dalil lain, maka tidak dapat diambil mafhum mukhalafahnya.
5. Manthuq bukanlah dalam bentuk hal-hal yang biasa berlaku. Bila
manthuq membicarakan hukum atas sesuatu menurut lazimnya
berlaku, maka tidak dapat diambil mafhum mukhalafahnya.22
Untuk sahnya mafhum mukhalafah, diperlukan empat syarat :
1. Mafhum mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat,
baik dalil manthuq maupun mafhum muwafaqah.
2. Yang disebutkan (mantuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi.
3. Yang disebut (mantuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan suatu
keadaan.
4. Yang disebutkan (mantuq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti yang
lain.23
Kesimpulan tentang Dilalah atau Dalil

pengertian dilalah atau dalil


Secara bahasa kata “‫ ”دل لـة‬adalah bentuk mashdar (kata dasar) dari kata “-‫دل‬
‫ ”يـدل‬yang berarti menunjukan dan kata dilâlah sendiri berarti petunjuk atau
penunjukkan. Arti dilalah secara umum adalah: “memahami sesuatu atas
sesuatu”. Kata “sesuatu” yang disebutkan kedua kalinya disebut “dalil” (yang
menjadi petunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut “dalil
hukum”.

Ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu,
dilalah itu ada dua macam, yaitu : dilalah lafzhiyyah dan dilalah ghairu
lafzhiyyah.
Ulama hanafiyah membagi dilalah kepada dua macam, yaitu dilalah lafzhiyyah
dan dilalah ghairu lafzhiyyah. Dilalah lafzhiyyah dalam pengertian ini, ialah
yang menjadi dalil adalah lafaz menurut lahirnya. Dilalah ghairu lafzhiyyah
ialah yang menjadi dalil bukan melalui lafaz menurut lahirnya. Dilalah
lafzhiyyah terbagi menjadi 4 macam yang berbeda tingkatan kekuatannya
yaitu : ‘ibarat nash, isyarah al-nash, dilalah al-nash, iqtidha al-nash.

Sedangkan dalam pandangan Mutakallimin dilalah itu ada dua macam, yaitu :
dilalah manthuq dan dilalah mafhum. Dilalah manthuq terbagi 2, yaitu:
manthuq sharikh/jelas dan manthuq ghair sharikh/yang tidak jelas. Mafhum
terbagi menjadi dua macam, yaitu : pertama mafhum muwafaqah dengan
pembagiannya yaitu mafhum aulawi dan mafhum musawi. Dan yang ke dua
yaitu mafhum mukhalafah dengan pembagiannya yaitu mafhum sifat, mafhum
syarat, mafhum al-ghayah/limit waktu, mafhum al-adad/bilangan, dan mafhum
al-laqab/gelar atau sebutan.

Untuk sahnya mafhum mukhalafah dalam berhujjah, diperlukan empat syarat :

a. Mafhum mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat,


baik dalil manthuq maupun mafhum muwafaqah.
b. Yang disebutkan (mantuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi.
c. Yang disebut (mantuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan suatu
keadaan.
d. Yang disebutkan (mantuq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti yang
lain.

Anda mungkin juga menyukai