PENDAHULUAN
Arti dilalah secara umum adalah memahami sesuatu atas sesuatu. Kata “sesuatu” yang
disebutkan pertama disebut “madlul” yaitu yang ditunjuk. Dalam hubungannya dengan
hukum, yang disebut madlul itu adalah “hukum” itu sendiri.
Kata sesuatu yang kedua kalinya disebut “dalil” yaitu yang meliputi petunjuk. Dalam
hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut dalil hukum.[1]
Pembahasan dilalah ini begitu penting dalam ilmu ushul fiqh, karena termasuk dalam salah
satu sistem berfikir. Untuk mengetahui sesuatu tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu
itu secara langsung, tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berfikir dengan
menggunakan petunjuk dan isyarat disebut berfikir secara dilalah.
BAB II
PEMBAHASAN
Ulama Hanafiyah membagi dilalah kepada dua macam, yaitu dilalah lafzhiyah dan dilalah
ghairu lafzhiyah.[2]
A. Dilalah Lafzhiyah
Dilalah lafzhiyah yaitu dilalah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada
sesuatu dalam bentuk lafaz, suara atau kata.[3] Dilalah lafzhiyah terbagi kepada 4 macam
yang berbeda tingkatan kekuatannya.
1. Dilalah Ibarah
Dilalah ibarah yaitu makna yang dapat dipahami dari apa yang disebut dalam lafaz, baik
dalam bentuk nash maupun zahir.
Contoh :
Firman Allah yang berbunyi :
Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka)”.[4]
2. Dilalah Isyarah
Dilalah isyarah ialah suatu pengertian yang ditangkap dari suatu lafaz, sebagai kesimpulan
dari pemahaman terhadap suatu ungkapan (ibarat) dan bukan dari ungkapan itu sendiri.[5]
Contoh :
Firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) : 187
Artinya :
“Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”. [6]
4. Dilalah al-Iqtidha
Dilalah al-Iqtidha yaitu penunjukkan (dilalah) lafaz terhadap sesuatu, dimana
pengertian lafaz tersebut tidak logis kecuali dengan adanya sesuatu tersebut.
Contoh :
Firman Allah dalam surat Yusuf (12) : 82
Artinya :
“tanyailah kampung tempat kita berada, dan kafilah kita bertemu dengannya".[9]
Menurut zhahir ungkapan ayat tersebut terasa ada yang kurang, karena bagaimana
mungkin bertanya kepada “kampung” yang bukan makhluk hidup. Karenanya dirasakan perlu
memunculkan suatu kata agar ungkapan dalam ayat itu menjadi benar. Kata yang perlu
dimunculkan ialah “penduduk” sebelum kata “kampung”, sehingga menjadi “penduduk
kampung” yang dapat ditanya dan memberi jawaban.
Ditinjau dari segi keharusan mentakdirkan suatu lafaz yang terbuang, para ulama
Ushul FIqh membagi dilalah al-Iqtidha menjadi tiga macam :
a. Dilalah al-Iqtidha yang harus mentakdirkan lafaz yang terbuang, lantaran suatu nash tidak
dapat dipahami dengan benar menurut syara’ kecuali dengan mentakdirkan lafaz yang
terbuang.
Contoh :
ﻻ ﺻﻴﺎﻢ ﻟﻤﻦ ﻠﻢ ﻴﺒﺖ ﺍ ﻟﻨﻴﺔ
Artinya :
“Tidak sah puasa seseorang yang tidak berniat pada waktu malam”.
b. Dilalah al-Iqtidha yang harus mentakdirkan lafaz yang terbuang, lantaran suatu nash tidak
dapat dipahami secara sah menurut akal, kecuali dengan mentakdirkan lafaz yang terbuang.
Contoh :
Firman Allah yang berbunyi dalam surat al-Alaq ayat 17 :
Artinya :
“Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya)”.
c. Dilalah al-Iqtidha yang harus mentakdirkan lafaz yang terbuang, lantaran suatu nash tidak
dapat dipahami secara sah menurut syara’, kecuali dengan mentakdirkan lafaz yang terbuang.
Contoh :
Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 178 :
Artinya :
“Hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang
diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula)”.
[10]
Ditinjau dari segi bentuk yang harus ditakdirkan (dimunculkan) untuk kebenaran atau
kesahan suatu lafaz secara hukum, dilalah iqtidha dibagi dua :
1. Yang ditakdirkan adalah “sebuah kata”. Umpamanya kata “sah” dalam sabda Nabi
Muhammad SAW :
ﻻ ﺻﻼﺓ ﻟﻤﻦ ﻟﻢ ﻳﻘﺮﺃ ﻔﻳﮭﺎ ﺑﻔﺎ ﺗﺤﺔ ﺍ ﻟﮑﺗﺎ ﺏ.
Artinya :
“Tiada shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-fatihah dalam shalat”.
2. Yang ditakdirkan adalah suatu peristiwa hukum. Umpamanya si A mengatakan kepada si B,
“wakafkanlah kebunmu itu untuk (atas nama) saya dengan bayaran 10 Juta Rupiah.”[11]
BAB III
KESIMPULAN
Arti dilalah secara umum adalah memahami sesuatu atas sesuatu. Kata “sesuatu” yang
disebutkan pertama disebut “madlul” yaitu yang ditunjuk. Dalam hubungannya dengan
hukum, yang disebut madlul itu adalah “hukum” itu sendiri.
Ulama Hanafiyah membagi dilalah kepada dua macam, yaitu dilalah lafzhiyah dan
dilalah ghairu lafzhiyah.
Dilalah lafzhiyah yaitu dilalah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada
sesuatu dalam bentuk lafaz, suara atau kata. Dilalah lafzhiyah terbagi kepada 4 macam yang
berbeda tingkatan kekuatannya.
Dilalah ghairu lafzhiyah yaitu dalil yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan
lafaz, dan bukan pula dalam bentuk kata.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), hal 126
[2] Ibid,.... hal 129
[3] Ibid,... hal 126
[4] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010), hal 209
[5] Ibid, ..... hal 205
[6] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh...... hal 133
[7] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh....... hal 205
[8] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh...... hal 135
[9] Ibid. .... hal 137
[10] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh....... hal 214
[11] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, ..... hal 140
[12] Ibid...... hal 128
[13] Ibid,.... hal 144
Pengertian Dilalah Beserta
Jenis & Contohnya
Muamala Team | Mei 12, 2018 | Fiqih Umum, Syariah
Dilalah – Dalam melakukan istimbath hukum dan upaya yang dilakukan oleh
para Mujtahid untuk memahami nash tidak saja memperhatikan apa yang
tersurat yaitu bentuk lafal nash dan susunan kalimatnya, tetapi juga
memperhatikan yang tersirat, seperti isyarat yang terkandung dibalik lafal
nash serta begitu pula dengan dalalahnya.
Penjelasan Lengkap: Kaidah Kesulitan Mendatangkan Kemudahan
Pembahasan tentang Ijtihad dan Mujtahid Lengkap
Pengertian Qawaid Fiqhiyah dan Contoh Penerapannya
Penjelasan Ringkas Ta’arud dan Tarjih
Berkenaan dengan cara penunjukan dilalah lafal nash ini, ternyata dikalangan
ulama ushul fiqh terdapat perbedaan cara atau metode dalam penunjukan
nash yang mereka tempuh.
Menurut ulama Hanafiah, membagi dilalah kepada dua macam yaitu dilalah
lafzhiyah dan dilalah ghairu lafzhiyah. Dalam metode penunjukan nash dilalah
lafzhiyah terbagi menjadi 4 yaitu ibarah al-nash, isyarah al-nash, dalalah al-
nash, dan iqtida’al-nash.
Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai istilah-istilah tersebut serta cara
bagaimana penunjukannya.
“Dilalah adalah apa yang dikehendaki oleh lafal, ketika lafal itu diucapkan
secara mutlak”.3
2. Pembagian Dilalah yang Ditinjau dari Segi Bentuk Dalil
Ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu,
dilalah itu ada dua macam, yaitu : dilalah lafzhiyyah dan dilalah ghairu
lafzhiyyah.
1. Melalui hal-hal yang bersifat alami yang dapat dipahami oleh semua
orang dimana saja. Penunjukan seperti ini disebut “thabi’iyah”; secara
lengkapnya: dilalah ghairu lafzhiyyah thabi’iyah.
2. Melalui akal. Maksudnya, meskipun tidak ada suara atau kata, namun
akal dapat mengetahui apa yang terdapat di balik diamnya sesuatu.
Penunjukan dalam bentuk ini disebut “aqliyyah”; secara lengkapnya:
dilalah ghairu lafzhiyyah aqliyyah.
3. Melalui kebiasaan dalam menggunakan sesuatu sebagai tanda atau
isyarat untuk maksud tertentu. Penunjukan seperti ini disebut
“wadh’iyyah”; secara lengkapnya: dilalah ghairu lafzhiyyah wadh’iyyah.5
Kedua bentuk dilalah di atas (dilalah lafziyah dan ghairu lafzhiyah) selain
dibahas dalam ilmu mantiq (logika), juga dikaji dalam ilmu ushul fiqih,
meskipun di antara mereka ada perbedaan dalam menggunakan
pengistilahannya. Bentuk dilalah yang luas penggunaannya adalah dilalah
lafzhiyah karena mengandung maksud yang langsung dan jelas tentang
hukum. Bentuk dilalah dengan “diam” dalam dilalah ghairu lafzhiyah juga
digunakan dalam penunjukan terhadap hukum, tetapi mengundang banyak
perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul fiqih.6
3. Metode Lafaz Dilalah (Penunjukan) Nash atas Hukum
Menurut Ulama Hanafi
Ulama hanafiyah membagi dilalah kepada dua macam, yaitu dilalah lafzhiyyah
dan dilalah ghairu lafzhiyyah.Dilalah lafzhiyyah dalam pengertian ini, ialah
yang menjadi dalil adalah lafaz menurut lahirnya. Dilalah ghairu lafzhiyyah
ialah yang menjadi dalil bukan melalui lafaz menurut lahirnya.
Lafal nash ini mempunyai dua makna; pertama bahwa jual beli tidak sama
dengan riba, dan kedua jual beli hukumnya halal, sedangkan riba hukumnya
haram. Kedua makna ini dipahami dari lafal nash dan susunan asli dari
kalimat. Ayat ini merupakan jawaban dari pendapatorang yahudi yang
mengatakan jual-beli sama dengan riba yang dipahami dari lafal dn susunan
kalimat yang bukan asli.7
Adapun sebagian pendapat para ulama:
“makna yang dapat dipahami dari apa yang disebut dalam lafaz, baik dalam
bentuk nash maupun zahir”.
“dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara yang ma’ruf”. (QS. Al-baqarah : 233)
Dipahami melalui ibaratun nash bahw nafkah dan pakain ibu merupakan
tanggung jawab suami. Namun dipahami melalui isyaratun nash, bahwa ayah
saja yang berkewajiban memberikan nafkah kepada anaknya karena anaknya
itu adalah anaknya sendiri. Kalau ayah mengambil atau membinasakan harta
anaknya, maka si ayah tidak dituntut untuk mengganti, karena harta tersebut
adalah harta anaknya sendiri.9
Adapun sebagaian pendapat para ulama:
“apa yang terungkap memang bukan ditunjukan untuk itu, namun dari
perhatian yang mendalam ditemukan suatu makna dari lafaz itu, tidak lebih
dan tidak kurang”.
Definisi lainnya yang mirip dengan yang diatas adalah :
“dilalah lafaz yang disebutkan dalam penetapan hukum adalah untuk yang
tidak disebutkan karena ada hubungannya yang dapat dipahami berdasarkan
pemahaman dari segi bahasa.
Definisi yang agak beda dikemukakan oleh al-sarkhisi :
“apa yang ditetapkan dengan makna menurut aturan bahasa dan bukan
melalui cara istimbath dengan menggunakan daya nalar”.12
)ظْدللللةة اظْلفقظْت لatau disebut juga iqtidha al-nash.
4. Dilalah al-iqtidha (ضاَةء
Yang dimaksud dengan iqtidhaun nash ialah pengertian yang diambil dari
suatu lafal yang tidak akan jelas arti kalimatnya kalau lafal itu tidak dita’wilkan,
maka dengan ta’wil barulah pengertian sesuai dengan kenyataanya.
Sebagai contoh dapat dilihat dalam firman Allah pada surat al-Ma’idah, ayat 3
berikut ini:
“penunjukan lafaz kepada setiap sesuatu yang tidak selaras maknanya tetapi
memunculkannya”.
A. Dilalah manthuq
Dilalah manthuq dalam pandangan pandangan ulama syafi’iyah adalah :
“penunjukan lafaz menurut apa yang diucapkan atas hukum menurut apa
yang disebutkan dalam lafaz itu”.
Definisi ini mengandung arti bila kita memahami suatu hukum menurut apa
yang tersurat secara jelas dalam lafaz itu, pemahaman ini disebut secara
“manthuq”.17 Secara garis besarnya, dilalah manthuq terbagi 2, yaitu: manthuq
sharikh/jelas dan manthuq ghair sharikh/yang tidak jelas.
Manthuq sharikh ialah manthuq yang penunjukannya itu timbul dari
“wadh’iyah muthabiqiyah” dan “wadh’iyah tadhamminiyah”. manthuq sharikh
dalam istilah ulama syafi’iyah ini adalah apa yang diistilahkan dengan dilalah
ibarah dalam pengertian ulama hanafiyah.
Dilalah manthuq ghairu sharikh yang penunjukan (dilalah) nya tidak dimaksud
oleh pembicara hanya terbatas pada satu bentuk yang disebut “dilalah
isyarah” yang di kalangan ulama hanfiyah juga disebut “dilalah isyarah” atau
dengan istilah isyarah al-nash yang telah dibicarakan dalam uraian tentang
“pembagian dilalah dalam pandangan ulama hanafiyah”.18
B. Dilalah mafhum
Dilalah mafhum adalah penunjukan lafaz yang tidak dibicarakan atas
berlakunya hukum yang disebutkan terhadap apa yang tidak disebutkan atau
tidak berlakunya hukum itu. Mafhum terbagi menjadi dua macam, yaitu :
mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.19
5. Pembagian Macam-Macam Mafhum Menurut Ulama
Mutakallimin
Mafhum terbagi menjadi dua macam, yaitu : mafhum muwafaqah dan mafhum
mukhalafah.
A. Mafhum Muwafaqah
Mafhum muwafaqah ialah mafhum yang lafaznya menunjukan bahwa hukum
yang tidak disebutkan sama dengan hukum yang disebutkan dalm lafaz. Dari
segi kekuatan berlakunya hukum pada apa yang yang tidak disebutkan,
mafhum muwafaqah terbagi dua, yaitu :
1. Mafhum aulawi
Yaitu berlakunya hukum pada peristiwa yang tidak disebutkan itu lebih kuat
atau lebih pantas dibandingkan dengan berlakunya hukum pada apa yang
disebutkan dalam lafaz. Kekuatan hukum itu ditinjau dari segi alas an
berlakunya hukum pada manthuqnya.
2. Mafhum musawi
Yaitu berlakunya hukum pada peristiwa yang tidak disebutkan dalam
manthuq. Para ulama sependapat tentang sahnya berhujjah (menjadikan
sebagai cara dalam menetapkan hukum) dengan mafhum muwafaqqah.
Hanya kalangan ulama zhahiri yang menolak menetapkan hukum menurut
mafhum sebagaimana juga menolak menggunkan qiyas, karena maenurut
mereka, mafhum muwafaqah dalam hal ini sama dengan qiyas.
B. Mafhum mukhalafah
Mafhum mukhalafah ialah mafhum yang lafaznya menunjukan bahwa hukum
yang tidak disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan. Mafhum
mukhalafah terbagi kepada beberapa bentuk, di antaranya (yang pokok)
adalah :
1. Mafhum sifat
Yaitu penunjukan suatu lafaz yang menggunakan suatu sifat terhadap hukum
yang berlawanan pada sesuatu yang tidak disebutkan bila sifat tersebut tidak
ada.
2. Mafhum syarat
Yaitu penunjukan suatu lafaz yang pada lafaz itu berlaku hukum yang
dikaitkan kepada suatu syarat, terhadap kebalikan hukum pada sesuatu yang
tidak disebutkan bila syarat itu tidak terpenuhi.
4. Mafhum al-adad/bilangan
Yaitu penunjukan suatu lafaz menjelaskan berlakunya hukum dengan
bilangan tertentu, terhadap hukum kebalikannya untuk bilangan lain dari
bilangan yang ditentukan itu.
Ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu,
dilalah itu ada dua macam, yaitu : dilalah lafzhiyyah dan dilalah ghairu
lafzhiyyah.
Ulama hanafiyah membagi dilalah kepada dua macam, yaitu dilalah lafzhiyyah
dan dilalah ghairu lafzhiyyah. Dilalah lafzhiyyah dalam pengertian ini, ialah
yang menjadi dalil adalah lafaz menurut lahirnya. Dilalah ghairu lafzhiyyah
ialah yang menjadi dalil bukan melalui lafaz menurut lahirnya. Dilalah
lafzhiyyah terbagi menjadi 4 macam yang berbeda tingkatan kekuatannya
yaitu : ‘ibarat nash, isyarah al-nash, dilalah al-nash, iqtidha al-nash.
Sedangkan dalam pandangan Mutakallimin dilalah itu ada dua macam, yaitu :
dilalah manthuq dan dilalah mafhum. Dilalah manthuq terbagi 2, yaitu:
manthuq sharikh/jelas dan manthuq ghair sharikh/yang tidak jelas. Mafhum
terbagi menjadi dua macam, yaitu : pertama mafhum muwafaqah dengan
pembagiannya yaitu mafhum aulawi dan mafhum musawi. Dan yang ke dua
yaitu mafhum mukhalafah dengan pembagiannya yaitu mafhum sifat, mafhum
syarat, mafhum al-ghayah/limit waktu, mafhum al-adad/bilangan, dan mafhum
al-laqab/gelar atau sebutan.