Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

“MURJI’AH”

Disusun oleh:

1. ROFI’I ( 20192550007)

PROGRAM PENDIDIKAN PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA

2020

1
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kaum muslimin terpecah menjadi beberapa kelompok yang mengusung


beragam pemikiran. Hal ini, tidak lain karena kaum muslimin jauh dari ajaran
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jauh dari pemahaman para
sahabatnya dalam beragama. Mengenai perpecahan ini, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mensinyalir dalam sebuah hadits yang
berarti:

“Sesungguhnya, barangsiapa di antara kalian yang hidup, maka ia akan


melihat perselisihan yang banyak. Dan berhati-hatilah kalian dari perkara
yang baru, karena ia adalah kesesatan. Barang siapa di antara kalian yang
mendapatinya, maka wajib berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah
para khulafa-ur rasyidin al-mahdiyin; gigitlah ia dengan gigi gerahammu”
[HR At-Tirmidzi]

Al- Asy’ari menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Prinsip-prinsip


Dasar Aliran Theologi Islam, bahwa perpecahan dalam masyarakat muslim
secara implisit muncul sejak pemberontakan terhadap kekhalifahan Utsman
bin Affan. Kemudian terjadi perlawanan Mu’awiyah, Talha dan Zubair
terhadap Ali karena perebutan kekuasaan politik.

Pemberontakan melawan Utsman dipimpin oleh khawarij.


Pemberontakan dan perang saudara ini mengakibatkan reaksi keras umat
muslim. Reaksi ini menimbulkan dukungan masyarakat yang dikenal dengan
irja’. Sikap pragmatis ini, kemudian dirumuskan sebagai ajaran.

Untuk mengenal dan memahami pemikiran aliran ini, maka pemakalah


memaparkan sejarah, pokok ajaran dan sekte-sekte yang muncul dalam aliran
Murji’ah.

2
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah munculnya aliran Murji’ah?
2. Apa ajaran pokok dalam aliran Murji’ah?
3. Apa dan berapa sekte dalam aliran Murji’ah?
C. Tujuan
1. Untuk menguraikan sejarah munculnya aliran Murji’ah.
2. Untuk menguraikan ajaran pokok dalam aliran Murji’ah.
3. Untuk mengulas sekte-sekte dalam aliran Murji’ah.

3
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Sejarah Munculnya Murji’ah
1. Pengertian Murji’ah
Kata al-Murji’ah adalah bentuk isim fa’il yang mendapat ta’ marbutah
(murji’un-murji’atun). Fi’il madhinya (arja’a)-yurji’u-irja’a, artinya bisa
bermacam-macam yaitu menunda (menangguhkan), memberi harapan dan
mengesampingkan. Nurdin menguraikan ketiga makna tersebut sebagai berikut: 1
a. Menunda (menangguhkan) maksudnya ialah dalam menghadapi
sahabat-sahabat yang bertentangan, mereka tidak mengeluarkan
pendapat siapa yang bersalah. Sikap mereka adalah menunda dan
menangguhkan penyelesaian persoalan tersebut di hari akhirat kelak di
hadapan Allah.
b. Memberi harapan maksudnya ialah orang-orang Islam yang berbuat
dosa besar tidak mrnyeabkan mereka menjadi kafir. Mereka tetap
mukmin dan tetap mendapatkan rahmat Allah meskipun mereka harus
masuk lebih dahulu dalam neraka karena perbuatan dosanya. Nama al-
Murji’ah diberikan untuk golongan ini karena mereka memberi
pengharapan bagi orang yang berdosa besar untuk masuk surga.
c. Mengesampingkan maksudnya ialah golongan ini menganggap yang
penting dan diutamakan adalah iman, sedang amal perbuatan hanya
merupakan soal kedua, yang menentukan mukmin atau kafirnya
seseorang adalah imannya bukan perbuatannya. Dengan kata lain
perbuatan itu berada di belakang setelah iman dalam pengertian kurang
penting atau dikesampingkan.

Sedangkan Dr. Abdul Mun’im Al-Hafni menjelaskan bahwa irja’ memiliki


dua makna; yang pertama adalah ta’khir (mengakhirkan, maksudnya; kelompok
ini sepakat untuk mengakhirkan amal setelah iman). Sedangkan makna kedua
adalah i’tha’u ar-raja’a (memberikan harapan; pengikut kelompok ini sepakat

1
M. Amin Nurdin, Sejarah Pemikiran Islam, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2014), h. 24

4
memberi harapan bagi pelaku dosa besar, tetap mendapatkan pahala atas
keimanannya).2

Belum ada bukti yang pasti mengenai siapa yang menamai golongan ini,
Nurdin menyatakan bahwa terdapat kecenderungan golongan mereka sendiri yang
menamainya.3 Penamaan tersebut diilhami oleh ayat Al-Qur’an, QS. At-Taubah
(9): 106;

ِ ِ
)106( ‫يم‬ ٌ ‫وب َعلَْي ِه ْم واهلل َعل‬
ٌ ‫يم َحك‬ ُ ُ‫ألم ِر اهلل َّإما َيت‬
ْ ‫آخ ُرو َن ُم ْر َج ْو َن‬
َ ‫َو‬

“Dan ada (pula) orang-orang lain yang ditangguhkan sampai ada keputusan
Allah; adakalanya Allah akan mengazab mereka dan adakalanya Allah akan
menerima taubat mereka. Dan Allah maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana”(QS. At-Taubah (9): 106 ).

2. Asal-usul Aliran Murji’ah


Lahirnya al-Murji’ah sebagai suatu aliran teologi dalam Islam, merupakan
reaksi terhadap paham-paham yang dilontarkan oleh aliran al-Khawarij, suatu
paham dalam teologi Islam yang dikembangkan oleh segolongan pengikut Ali bin
Abi Thalib, yang tidak menyetujui gencatan senjata dalam perang Shiffin
melawan Muawiyah.4 Hal ini sama dengan pernyataan Fazlu Rahman bahwa
reaksi atas Khawarij ini menimbulkan dukungan terhadap sikap para pasif atau
minimal non-aktivis di masyarakat yang dikenal sebagai irja’.5
Aliran teologi al-Murji’ah sebagaimana juga al-Khawarij, pada mulanya
ditimbulkan oleh kasus politik, tegasnya, persoalan khilafah yang membawa
perpecahan di kalangan umat Islam setelah Utsman bin Affan mati terbunuh.
Muncullah kaum al-Khawarij yang berbalik memusuhi Ali. Perlawanan mereka
ini memperkuat pendukung-pendukung yang bertambah keras membela Ali dan

2
Abdul Mun’im Al-Hafni, Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai dan
Gerakan Islam (terj.), (Jakarta: Soegeng Sarjadi Syndicate bekerjasama dengan Grafindo
Khazanah Ilmu, 2006), h. 808
3
M. Amin Nurdin, Sejarah Pemikiran Islam......, h. 25
4
M. Amin Nurdin, Sejarah Pemikiran Islam......, h. 22, lihat Dedi Supriyadi, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: CV Pustaka Setia, 2008), h.. 111
5
Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam-Studi Tentang Fundamentalisme
Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 94

5
akhirnya mereka membentuk golongan tersendiri dalam Islam yang dikenal
dengan nama Syi’ah (Syi’atu Aliyin). Meskipun Syi’ah dan al-Khawarij
bermusuhan, namun mereka sama-sama menentang kekuasaan Bani Umayah
dengan motif yang berlainan. Al-Khawarij menentang Bani Umayah karena
mereka manganggap Bani Umayah telah menyeleweng dari ajaran Islam, sedang
Syi’ah menentang Bani Umayah karena memandang mereka telah merampas
kekuasaan dari Ali dan keturunannya.6
Pemimpin Murji’ah ini adalah Hasan bin Bilal Al-Muzni, Abu Salat as-
Saman, Tsauban Dliror bin Umar. Penyair Murji’ah yang terkenal pada
pemerintahan Bani Umayah ialah Tsabit bin Quthanah, mengarang syair
kepercayaan-kepercayaan kaum Murji’ah.7
Abu Zahirah dalam Nurdin menjelaskan bahwa dalam suasanan
pertentangan semacam inilah muncul golongan al-Murji’ah yang ingin bersikap
netral dan tidak mau turut dalam praktik kafir mengkafirkan di antara golongan
yang bertentangan itu. Bagi mereka, sahabat-sahabat yang bertentangan itu
merupakan orang-orang yang dapat dipercaya dan tidak keluar dari jalan yang
benar. Oleh karena itu, kaum al-Murji’ah tidak mengeluarkan pendapat tentang
siapa yang sebenarnya bersalah. Mereka memandang lebih baik menunda
penyelesaian persoalan mereka kepada Tuhan di akhirat kelak.8
Dengan sikap tersebut, Murji’ah tidak mengalami tekanan dari Bani
Umayah seperti yang dialami oleh Khawarij dan Syiah serta secara tidak langsung
Murji’ah mendukung kekuasaan dinasti Umayah. Sehingga reduplah nama
Murji’ah seiring lenyapnya kekuasaan dinasti Umayah dikemudian hari.
Selain teori yang diungkapkan oleh Nurdin di atas, terdapat beberapa teori
lain tentang asal-usul al-Murji’ah seperti yang tertulis dalam buku Rosihon Anwar
yang berjudul Ilmu Kalam, sebagai berikut:9
a. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja’ atau arja dikembangkan
oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan
umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga menghindari
6
Ibid., h. 23
7
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam)-Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), h. 152
8
Ibid. Lihat juga Muhammad Abu Zahirah, Tarikh al-Mazahib al-Islami, (Kairo: Dar al-
Fikr al-Arabi), h. 221
9
Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), h. 56

6
sektarianisme. Murji’ah, baik sebagai kelompok politik maupun teologis,
diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syi’ah dan Khawarij,
kelompok ini merupakan musuh berat Khawarij.
b. Teori kedua10 mengatakan bahwa, gagasan irja’, yang merupakan basis
doktrin Murji’ah, muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang
diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad
Al-Hanafiyah sekitar tahun 695 H. Penggagas teori ini menceritakan
bahwa 20 tahun setelah kematian Muawiyah , pada tahun 680 H dunia
Islam dikoyak oleh pertikaian sipil. Al-Mukhtar membawa paham Syi’ah
ke Kufah dari tahun 685-687 H; Ibn Zubayr mengklaim kekhalifahan di
Mekah hingga yang berada di bawah kekuasaan Islam. Sebagai respon
dari keadaan ini, muncul gagasan irja’ atau penangguhan
(postponenment). Gagasan ini pertama kali dipergunakan oleh cucu Ali
dalam surat pendeknya. Dalam surat itu, Al-Hasan menunjukkan sikap
politiknya dengan mengatakan, “Kita mengakui Abu Bakar dan Umar,
tetapi menangguhkan keputusan atas persoalan yang terjadi pada konflik
sipil pertama yang melibatkan Utsman, Ali dan Zubayr”. Dengan sikap
politik ini al-Hasan mencoba menanggulangi perpecahan umat Islam. Ia
kemudian mengelak berdampingan dengan kelompok Syiah
10
Dalam Al-Hafni dijelaskan dengan uraian yang berbeda, bahwa sebagian orang
berpendapat, yang pertama kali mengenalkan paham irja’ adalah Hasan bin Muhammad bin Ali
bin Abi Thalib atau yang dikenal sebagai Abu Hanafiyyah. Ia telah menulis sejumlah kitab yang
disebarluaskan ke berbagai penjuru. Menurutnya, orang yang berbuat dosa besar tidak dihukumi
sebagai orang kafir, sebab ketaatan seseorang melakukan untuk melaksanakan perintah Allah dan
menjauhi larangan-Nya bukan merupakan dasar iman. Oleh karena itu, hilangnya ketaatan
seseorang tidak akan menyebabkan hilangnya keimanannya. Diriwayatkan pula dari Bukhari,
Muslim dan Ibnu Hibban, dari Al-A’masy, Zubaid bin Harits dan Sulaiman bin Harb ia berkata
“Aku pernah menanyakan kepada Abu Wa’il tentang paham Murji’ah, ia menjawab, Abdullah
telah menceritakan kepadaku bahwa Nabi Saw bersabda: “Mencaci orang Muslim adalah
perbuatan fasik dan membunuhnya adalah perbuatan kufur”. Dan diriwayatkan dari Abu Daud
Ath-Thayalisi dari Syu’bah dari Zubaid ia berkata “Ketika faham Murji’ah muncul, aku
mendatangi Abu Wa’il dan aku menyebutkan kepadanya tentang hal itu”. Dari riwayat yang kedua
ini, dapat dipahami bahwa pertanyaan Zubaid tersebut mengenai akidah kaum Murji’ah dan
pertanyaan tersebut ditujukan kepada Abu Wa’il pada saat munculnya kelompok Murji’ah. Dalam
sejarah, Abu Wa’il wafat pada tahun 99 H atau menurut sebagian yang lain, pada tahun 82 H. Dari
sini, dapat disimpulkan bahwa paham Murji’ah bukanlah merupakan paham yang baru tetapi ia
telah ada sejak lama. Bahkan Al-Hafni menulis dalam bukunya bahwa Rasulullah Saw bersabda,
“Kaum Murji’ah dilaknat oleh Allah SWT melalui mulut 70 Nabi”. Seorang sahabat bertanya,
“Siapa yang dimaksud dengan kaum Murji’ah? ” Rasulullah menjawab, “Yaitu orang-orang yang
mengatakan bahwa iman adalah ucapan saja”. Dari uraian ini, dapat disimpulkan bahwa substansi
paham irja’ telah lama ada. Lihat Abdul Mun’im Al-Hafni, Ensiklopedia Golongan, Kelompok,
Aliran, Mazhab, Partai dan Gerakan Islam (terj.), (Jakarta: Soegeng Sarjadi Syndicate
bekerjasama dengan Grafindo Khazanah Ilmu, 2006), h. 809

7
revolusioner yang terlampau mengagungkan Ali dan para pengikutnya,
serta menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak mengakui
kekhalifahan Muawiyah dengan alasan bahwa ia adalah keturunan si
pendosa Utsman.
c. Teori ketiga menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali
dan Muawiyah, dilakukanlah tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin
Ash, seorang kaki tangan Muawiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi
dua kubu, pro dan kontra. Kelompok kontra yang akhirnya menyatakan
keluar dari Ali, yakni kubu Khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim
bertentangan dengan Al-Qur’an, dalam pengertian, tidak bertahkim
berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa
melakukan tahkim itu dosa besar dan pelakunya dihukumi kafir.
Pendapat ini ditentang sekelompok sahabat bernama Murji’ah, yang
mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, sementara
dosanya diserahkan kepada Allah, apakah Dia akan mengampuni atau
tidak.
Dari seluruh uraian di atas, dapat diketahui bahwa Murji’ah lahir dengan
membawa paham yang sama sekali bertentangan dengan paham Khawarij.

B. Ajaran dalam Murji’ah


1. Ajaran Pokok Murji’ah
Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin
irja’ yang diaplikasikan dalam banyak persoalan baik persoalan politik atau
teologis. Di bidang politik, doktrin irja’ diimplementasikan dengan sikap politik
netral atau nonblok, yang hampir selalu diekspresikan dengan sikap diam. Itulah
sebabnya, kelompok Murji’ah dikenal pula sebagai the queietists (kelompok
bungkam).11
Sedangkan dalam bidang teologi, menurut Ahmad Amin dalam Nurdin,
persoalan yang dibicarakan dalam aliran ini berkisar pada pembahasan tentang
iman, kufur, mukmin dan kafir.12 Persoalan tersebut dibahas dalam aliran ini,
karena melihat golongan Khawarij yang mengkafirkan orang yang melakukan
11
Rosihon Anwar, Ilmu Kalam....., h. 58
M. Amin Nurdin, Sejarah Pemikiran Islam....., h. 25
12

8
dosa besar, dan Syi’ah memasukkan ketaatan kepada imam sebagai salah satu
rukun iman.
Kemudian muncullah pendapat Murji’ah mengenai iman, seperti yang
ditulis oleh Nurdin bahwa iman adalah mengetahui Allah dan rasul-rasul-Nya.
Barangsiapa yang mengetahui bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad
utusan Allah, mereka adalah mukmin. 13 Hanya imanlah yang penting dan yang
menentukan mukmin atau tidaknya seseorang, perbuatan tidak berpengaruh dalam
hal ini. Dengan demikian, ucapan dan perbuatan seseorang tidak merusak iman
seseorang.14
Oleh karena itu, bagi kaum Murji’ah, seorang yang melakukan dosa besar
dengan iman dalam hatinya tidak dihukumi kafir. Sebaliknya, Khawarij
menghukumi kafir pendosa besar, walaupun masih terdapat iman dalam hatinya.
Dengan demikian, jelas bahwa iman bagi Murji’ah hanya keyakinan dalam hati
yang tidak berkaitan dengan amal atau perbuatan. Dasar teologi yang dibangun
oleh Murji’ah tersebut sangat menguntungkan bagi Bani Umayah.
Secara politis, berarti penguasa Bani Umayah tidak putus kedudukannya
sebagai anggota masyarakat karena melakukan sesuatu yang dianggap dosa oleh
orang Islam. Konsekuensinya pendapat demikian ialah bahwa pemberontakan
terhadap Bani Umayah tidak sah menurut hukum. Dengan demikian maka kaum
Murji’ah merupakan golongan pertama dan utama yang mendukung Bani Umayah
atas dasar agama.15
Dengan lindungan dinasti Umayah inilah Murji’ah berkembang, sehingga
timbul perbedaan pendapat antar tokoh didalamnya yang akhirnya memunculkan
sekte-sekte dalam aliran ini. Jumlah sekte dalam aliran ini belum diketahui secara
pasti karena terdapat perbedaan pendapat dari para ahli yang akan dibahas lebih
lanjut pada bagian C.
Berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, W. Montgomery Watt
merincinya sebagai berikut:16

13
Ibid., h. 26
14
Novan Ardi Wiyani, Ilmu Kalam, (Jogjakarta: teeras, 2015), h. 67
15
Ibid., h. 27, lihat juga W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam
(terj.), Basalim dari PPP dan M, (T. tp: Jakarta, 1987), h. 43
16
Rosihon Anwar, Ilmu Kalam....., h. 58

9
a. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah
memutuskannya di akhirat kelak.
b. Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat
Al-Khalifah Ar- Rasyidun.
c. Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang
meakukan dosa besar untuk memperoleh ampunan dari rahmat Allah.
d. Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai (madzhab) para skeptis dan
empiris dari kalangan Helenis.

Masih berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, Harun Nasution dalam


Anwar menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu:17

a. Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa
Al-Asy’ari yang terlibat tahkim dan menyerahkan kepada Allah di hari
kiamat kelak.
b. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang
berdosa besar.
c. Meletakkan (pentingnya) iman daripada amal.
d. Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk
memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.

Sementara itu, Abu A’la Al-Maududi menyebutkan dua doktrin pokok


ajaran Murji’ah:18

a. Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal
dan perbuatan tidak merupakan keharusan. Berdasarkan hal ini,
seseorang tetap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang
difardhukan dan melakukan dosa besar.
b. Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di
hati, setiap maksiat tidak mendatangkan mudharat. Untuk
mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya dengan
menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.

17
Ibid., h. 58-59
18
Ibid., h. 59

10
Selain ajaran-ajaran pokok yang disebutkan oleh para ahli di atas, terdapat
berbagai perbedaan anggapan tentang ajaran dalam aliran ini.

2. Perbedaan Anggapan dalam Murji’ah


Aliran yang awal pertumbuhannya karena masalah politik, kemudian
pindah ke ranah teologi ini, dalam perkembangannya, terdapat berbagai perbedaan
anggapan pada ajaran-ajaran Murji’ah menurut para pengikutnya:19

a. Iman
Tentang iman terdapat duabelas kelompok anggapan. 1) Kelompok
pertama ialah Jahamiyyah, para pengikut Jaham ibn Shafwan, mereka
beranggapan bahwa iman meliputi pengenalan terhadap-Nya, Rasul-
Nya dan apapun yang didatangkan-Nya sedangkan amal baik tidak
termasuk iman. Lebih jauh kelompok ini beranggapan bahwa
seseorang yang mengenali Allah kemudian mengingkari Allah secara
lisan tidak dianggap kufur (karena perbuatan bukan termasuk iman),
2) Kelompok kedua ialah pengikut Abu al-Husein al-Shali dimana
mereka beranggapan bahwa iman hanya pengenalan terhadap Allah
semata dan kufur pun hanya kejahilan atas-Nya sehingga tiadalah
keimanan tanpa mengenal-Nya dan tiada pula kekufuran kalau tidak
jahil atas-Nya. Oleh karena itu seseorang yang mengatakan Allah itu
ada tiga tidak dianggap kafir kecuali secara dhahir sebagai orang
kafir. Sebab kaum muslimin pun bersepakat (menurut anggapan
mereka) tidak mengkufurkan perkataan seseorang kalau dia bukan
orang kafir, 3) Kelompok ketiga ialah pengikut Yunus al-Samiri,
dimana mereka beranggapan bahwa iman itu pengenalan terhadap-
Nya, patuh atas-Nya, tidak bersikap sombong kepada-Nya dan
mencintai-Nya. Mereka beranggapan seseorang tidak disebut mukmin
kecuali pada dirinya terhimpun hal-hal tersebut. Kadang-kadang
mereka menyebut kafir jika seseorang itu meninggalkan salah satu

19
Abul Hasan Isma’il al-Asy’ari, Prinsip-prinsip Dasar Aliran Theologi Islam (terj.),
(Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), h. 196-219

11
dari hal itu, sekalipun Yunus al-Samiri konon tidak beranggapan
begitu.
Sedangkan kelompok keempat 4) ialah para pengikut Syamriyyah
(pengikut Abu Syamr dan Yunus), mereka beranggapan bahwa iman
itu pengenalan terhadap Allah, patuh atas-Nya, mencintai-Nya
sepenuh hati dan menyatakan ikrar bahwa Dia itu Esa tanpa sesuatu
apapun yang menyerupai-Nya. Maka mereka menganggap iman itu
ialah menyatakan dan membenarkan semua hal ini, sementara
pengenalan terhadap sesuatu yang didatangkan Allah termasuk iman,
5) Kelompok kelima ialah pengikut Tsaubaniyyah, para pengikut Abu
Tsauban. Mereka menganggap iman itu menyatakan ikrar kepada
Allah, rasul-Nya, terhadap apa pun yang boleh secara akal untuk tidak
diperbuat. Karena itu iman, menurut anggapan mereka, bukanlah
sekedar mengenal Allah semata, 6) Kelompok keenam, Najariyyah,
ialah para pengikut Muhammad al-Najar. Mereka beranggapan bahwa
iman itu pengenalan terhadap Allah, rasul-Nya, segenap kewajiban
dari-Nya, patuh atas semua yang diwajibkan-Nya dan menyatakan
ikrar secara lisan. Karena itu kalau seseorang tidak mengenal semua
hal ini ataupun hanya mengenalnya tanpa menyatakan ikrar niscaya
dia pun disebut sebagai orang kafir. 7) Kelompok ketujuh ini,
Ghailaniyyah ialah para pengikut Ghailani. Mereka beranggapan
bahwa, iman itu pengenalan terhadap Allah berdasarkan akal dan
dalil-dalil-Nya, mencintai-Nya, mematuhi-Nya, menyatakan ikrar
kepada rasul-Nya dan atas segenap yang didatangkan-Nya.
Kemudian 8) Kelompok kedelapan ini ialah para pengikut
Muhammad ibn Syabib, beraggapan bahwa Dia adalah Esa tanpa
sesuatu yang menyerupai-Nya, iman itu menyatakan ikrar kepada
Allah dan mengakui segala yang didatangkan oleh Allah kepada orang
muslim melalui Rasulullah SAW seperti halnya salat, puasa dan
lainnya, 9) Kelompok kesembilan ialah para pengikut Hanifah yang
dikenal sebagai Hanafiyyah, iman itu mengenal dan menyatakan ikrar
kepada Allah, rasul-Nya dan apapun yang didatangkan Allah secara

12
total, 10) Kelompok kesepuluh, Tumaniyyah ialah para pengikut Abu
Mu’adz al-Tumani. Mereka beranggapan bahwa iman itu merupakan
hal yang menghindarkan seseorang dari kekufuran, yang penamaan
tersebut diberikan untuk beberapa hal dan kalau seseorang
meninggalkan hal ini ataupun sebagainya, niscaya dia pun disebut
orang kafir, 11) Kelompok kesebelas, Marisiyyah ialah pengikut Bisyr
al-Marisi. Mereka beranggapan bahwa iman merupakan pembenaran
(tashdiq) secara lisan dan hati, (12 Kelompok keduabelas,
Karamiyyah ialah pengikut Muhammad ibn Karam. Mereka
beranggapan bahwa iman itu menyatakan ikrar dan pembenaran secara
lisan, bukan dengan sepenuh hati. Bahkan orang munafik di zaman
Rasulullah pun menurut anggapan mereka pada dasarnya adalah
mukmin. Karena itu disebut kufur jika mengingkari-Nya secara lisan.
b. Batasan Kufur
Tentang hal ini terbagi menjadi tujuh kelompok anggapan. 1)
Kelompok pertama ialah pengikut Jahamiyyah yang beranggapan
kufur itu merupakan sesuatu hal yang berkenaan dengan hati dimana
hati tidak mengenal (jahl) terhadap Allah SWT, 2) Kelompok kedua
beranggapan bahwa kufur itu merupakan banyak hal yang berkenaan
dengan hati ataupun selainnya, 3) Kelompok ketiga ...20, 4) Kelompok
keempat beranggapan bahwa kufur terhadap Allah itu mendustakan-
Nya, membangkang terhadap-Nya dan mengingkari-Nya secara lisan.
Karena itu tidaklah kekufuran kecual dengan lisan dan bukan
selainnya, anggapan ini dikemukakan oleh Muhammad ibn Karam dan
para pengikutnya, 5) Kelompok kelima beranggapan bahwa kufur itu
membangkang, melawan dan mengingkari Allah baik sepenuh hati
ataupun secara lisan, 6) Kelompok keenam ialah pengikut Abu Syamr,
7) Kelompok ketujuh ialah para pengikut Muhammad ibn Syabib.
Adapun sebagian besar pengikut murji’ah tidak mengkufurkan
seseorang yang mentakwilkan Al-Qur’an bahkan tidak mengkufurkan

20
Kelompok ini tidak dijelaskan oleh Al-Asy’ari

13
siapapun selain yang kekufurannya itu telah disepakati oarang-orang
Islam.
c. Perbuatan Maksiat
Tentang hal ini terbagi menjadi dua kelompok anggapan. 1)
Kelompok pertama ialah para pengikut Bisyr al- Marisi yang
beranggapan bahwa segenap perbuatan maksiat terhadap Allah itu
termasuk dosa besar, 2) Kelompok kedua beranggapan bahwa
perbuatan maksiat ini ada dua macam, yang termasuk dosa besar dan
dosa kecil.
d. Orang yang Taqlid dalam Keimanan
Tentang hal ini terpecah menjadi dua kelompok anggapan. 1)
Kelompok pertama beranggapan bahwa seseorang yang itikadnya atas
keesaan Allah itu taqid tanpa melalui pemikiran, niscaya dia tidaklah
disebut mukmin, 2) Kelompok kedua beranggapan bahwa seseorang
yang itikadnya atas keesaan Allah itu taqlid tanpa melalui pemikiran,
niscaya dia tetaplah disebut mukmin.
e. Kabar yang Didatangkan Allah
Tentang hal ini terpecah menjadi tujuh kelompok anggapan. 1)
Kelompok pertama beranggapan bahwa menyetujui kebenaran kabar
yang didatangkan Allah SWT jika Dia menyatakan akan menyiksa
hamba-Nya yang melakukan dosa besar. Difirmankannya:

)48( ....ُ‫اد ْو َن ذلك لِ َم ْن يشاَء‬


ُ ‫إِ َّن اهلل الََيغْ ِف ُر أَ ْن يُ ْش َر َك بِ ِه َو َيغْ ِف ُر َم‬

Artinya: “Sesungguhnya, Allah tidak mengampuni dosa syirik dan


Dia pun hanya mengampuni dosa selain (syirik) itu, bagi yang
dikehendaki-Nya”. (QS. An-Nisa’ (4): 48)

2) Kelompok kedua, beranggapan bahwa janji pahala Allah


tidaklah mengenal pengecualian, sementara janji siksa-Nya mengenal
pengecualian sekalipun tidak jelas, 3) Kelompok ketiga ialah pengikut
Waqf, mereka beranggapan bahwa kabar yang didatangkan Allah
sebagai kenyataan umum baik yang berupa janji pahala maupun janji

14
siksa, 4) Kelompok keempat ialah pengikut Muhammad ibn Syabib,
mereka membolehkan memaknai secara umum maupun khusus
mengenai ayat-ayat tentang janji siksa dan pahala, 5) Kelompok
kelima beranggapan bahwa tidak ada janji siksa bagi muslim yang ahli
salat, karena janji siksa hanya untuk orang musyrik, 6) Kelompok
keenam beranggapan bahwa barangsiapa mengabarkan Allah
menjanjikan pahala, niscaya Dia pun menepati janjinya. Bahkan
barangsiapa mengabarkan Allah menjanjikan siksa pula kepada
mukmin tersebut, tetapi Dia tidak sampai menyiksanya niscaya itu
merupakan karunia-Nya, 7) Kelompok ketujuh beranggapan bahwa
kabar-kabar yang terdapat dalam Al-Qur’an itu sebenarnya
dimaksudkan secara khusus kecuali yang keumumannya telah
disepakati, begitupun kabar yang berkenaan dengan perintah ataupun
larangan Allah.

f. Perintah dan Larangan


Tentang hal ini terpecah menjadi dua kelompok anggapan. 1)
Kelompok pertama beranggapan bahwa perintah dan larangan Allah
itu sebenarnya dinyatakan secara khusus, sampai nanti datangnya
alasan yang memaksudkannya secara umum, 2) Kelompok kedua
beranggapan bahwa perintah dan larangan Allah itu dinyatakan secara
umum, kecuali datangnya alasan yang memaksudkannya secara
khusus.
g. Kekekalan Orang-orang Kafir
Terbagi menjadi dua kelompok anggapan. 1) Kelompok pertama
ialah pengikut Jaham ibn Shafwan dimana mereka beranggapan bahwa
surga ataupun neraka itu niscaya lenyap bahkan peghuni keduanya pun
niscaya lenyap pula sehingga hanya Allah lah yang tetap ada (maujud)
tanpa sesuatu pun yang menyertai keberadaan-Nya, dan hal ini seperti
keberadaan-Nya semula, dimana ada-Nya tanpa disertai sesuatu pun.
Karena itu Allah pun tidaklah boleh mengekalkan para penghuni surga
di dalamnya, tidak boleh pula mengekalkan para penghuni neraka di
dalamnya, 2) Kelompok kedua ialah para pengikut aliran Murji’ah

15
yang selain kelompok Jahamiyyah, dimana mereka beranggapan
bahwa Allah itu niscaya mengekalkan orang-orang kafir di dalam
neraka.
h. Orang-orang Muslim yang Berdosa Besar
Tentang hal ini Murji’ah terpecah menjadi lima kelompok
anggapan: 1) Kelompok pertama, ialah pengikut Bisyr al-Marisi,
mereka beranggapan bahwa mustahil Allah mengekalkan orang
muslim ahli kiblat yang berdosa besar itu di dalam neraka. Allah
berfirman:

َ ‫) َو َم ْن َي ْع َم ْل ِم ْث َق‬7( ُ‫ال َذ َّر ٍة َخ ْي ًر َاي َره‬


)8( ُ‫ال َذ َّر ٍة َش َّر َّاي َره‬ َ ‫مل ِم ْث َق‬
ْ ‫فَ َم ْن َي ْع‬

Artinya: “ Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat ato


(dzarah)pun, niscaya (balasannya)akan dilihat dan barangsiapa
mengerjakan keburukan seberat atom (dzarah)pun niscaya
(balasannya)dia lihat pula.”(QS. Al-Zalzalah (99): 7-8)
2) Kelompok kedua ialah pengikut abu Syamr dan Muhammad ibn
syabib, beranggapan bahwa boleh-boleh saja Allah memasukkan orang
muslim ahli kiblat yang berdosa besar itu ke dalam neraka baik secara
kekal atau tidak, 3) Kelompok ketiga beranggapan bahwa orang
muslim yang berdosa besar itu niscaya dimasukkan Allah ke neraka
kecuali yang memperoleh syafa’at Rasulullah SAW dimana dia
niscaya dikeluarkan lagi dari neraka dan dimasukkan ke surga, 4)
Kelompok keempat ialah para pengikut Ghailan yang beranggapan
bahwa boleh-boleh saja orang muslim yang berdosa besar itu disiksa
Allah, diampuni-Nya ataupun tidak dikekalkan-Nya di dalam neraka,
sesuai dosa yang dia perbuat, tetapi kalau Allah mengekalkan orang
muslim yang berdosa besar itu di dalam neraka, bahkan kalau
mengampuninya, maka hal itu niscaya berlaku bagi siapapun, 5)
Kelompok kelima, beranggapan bahwa boleh-boleh saja orang muslim
yang berbuat dosa besar itu disiksa Allah atau tidak bahkan sekalipun
disiksa, boleh-boleh saja disiksanya itu dikekalkan Allah atau tidak.

16
i. Dosa Besar ataupun Kecil
Tentang dosa besar atau kecil, terbagi menjadi dua kelompok: 1)
kelompok pertama menyatakan bahwa setiap perbuatan maksiat itu
merupakan dosa besar, 2) Kelompok kedua, menyatakan bahwa
perbuatan maksiat itu terbagi dua yaitu perbuatan maksiat yang
termasuk dosa kecil dan perbuatan maksiat yang termasuk dosa besar.
j. Pengampunan Allah karena Tobat
Tentang ampunan ini terbagi menjadi dua kelompok: 1) Kelompok
pertama, beranggapan bahwa pengampunan Allah atas dosa besar
karena melakukan tobat itu merupakan suatu karunia-Nya, yang bisa
terjadi tetapi hal ini bukan merupakan suatu kewajiban-Nya, 2)
Kelompok kedua, beranggapan bahwa pengampunan Allah atas dosa
besar karena melakukan tobat itu merupakan suatu kewajiban-Nya.
k. Perbuatan Maksiat Para Nabi
Tentang perkara ini, terbagi menjadi dua kelompok: 1) Kelompok
pertama, beranggapan bahwa perbuatan maksiat yang dilakukan para
nabi itu merupakan dosa besar, karena para nabi pun bisa saja
melakukan dosa besar seperti halnya membunuh, berzina ataupun
perbuatan maksiat lainnya, 2) Kelompok keua beranggapan bahwa
perbuatan maksiat yang dilakukan para nabi itu merupakan dosa kecil,
bukan dosa besar.
l. Timbangan Amal Seseorang
Mengenai timbangan amal, terpecah menjadi dua kelompok: 1)
Kelompok pertama beranggapan bahwa keimnan itu senantiasa
menghapuskan siksa yang diakibatkan oleh fasiqnya seseorang karena
iman timbangannya lebih berat daripada fasiq sehingga Allah pun
niscaya tidak menyiksa orang yang mengesakan-Nya. Adapun
anggapan ini dikemukakan oleh Muqatil ibn Sulaiman, 2) Kelompok
kedua beranggapan bahwa boleh-boleh saja Allah menyiksa orang
yang yang mengesakan-Nya, karena Allah pun niscaya menimbang
berat-ringan amal perbuatan seseorang baik yang berupa keburukan
ataupun kebaikan dan kalau kebaikannya lebih berat ketimbang

17
keburukannya niscaya Allah pun memasukkannya ke surga, begitupun
sebaliknya. Tetapi kalau kebaikannya tidak lebih berat ketimbang
keburukannya, bahkan kalau keburukannya pun tidak lebih berat
ketimbang kebaikannya niscaya pula Allah tetap memasukkannya ke
surga. Adapun anggapun ini dikemukakan oleh Abu Mu’adz.
m. Mengkufurkan Orang yang Mentakwilkan Al-Qur’an
Tentang hal ini, terpecah menjadi tiga kelompok: 1) Kelompok
pertama, beranggapan tidaklah boleh mengkufurkan orang yang
mentakwilkan Al-Qur’an, kecuali kalau kekufuran orang tersebut
disepakati benar oleh segenap orang-orang muslim, 2) Kelompok
kedua, ialah pengikut Abu Syamr yang beranggapan bahwa hanya
mengkufurkan seseorang yang mengingkari anggapannya dalam
masalah qadar dan tauhid bahkan hanya mengkufurkan seseorang yang
ragu-ragu dalam keraguannya terhadap Allah, 3) Kelompok ketiga ini
beranggapan, kekufuran itu tidak mengenal Allah (jahl) semata,
sehingga tidaklah boleh mengkufurkan seseorang, kecuali orang
tersebut memang tidak mengenal Allah. Adapun anggapan ini
dikemukakan oleh Jaham ibn Shafwan.
n. Pengampunan atas Orang Zhalim kepada Sesamanya
Tentang ampunan ini, terpecah menjadi dua kelompok: 1)
Kelompok pertama beranggapan orang yang berbuat zhalim kepada
sesamanya itu sebenarnya diampuni Allah di akhirat kelak, ketika dia
nanti dikumpulkan Allah dengan orang yang dizhaliminya itu
ditukarkan kepadanya, 2) Kelompok kedua, secara akal pun
pengampunan Allah atas orang yang berbuat dosa di dunia ini boleh-
boleh saja, baik yang berbuat dosa kepada Allah ataupun kepada
sesamanya.
o. Mengesakan Allah
Dalam mengesakan Allah, terpecah menjadi tiga kelompok: 1)
Kelompok pertama, pengikut Muqatil ibn Sulaiman, beranggapan
bahwa Allah itu jisim yang terbilang bahkan seperti halnya manusia
yang mempunyai daging, darah, rambut dan tulang sebenarnya Dia

18
pun mempunyai anggota tubuh, seperti halnya tangan, kaki, kepala
dan dua mata yang tidak berlubang, tetapi dalam hal ini Dia tidaklah
serupa dengan selain-Nya, karena tiada yang menyerupai-Nya, 2)
Kelompok kedua ini ialah para pengikut al-Jawaribi, dimana mereka
beranggapan sama dengan kelompok pertama, bahkan merekapun
menambahkan bahwa dari mulut sampai dadanya-Nya itu berlubang
sementara anggota tubuh lainnya tertutup rapat, 3) Kelompok ketiga
ini, beranggapan bahwa Allah itu jisim, tetapi Dia tidaklah seperti
layaknya jisim-jisim lain.
p. Melihat (Ru’yah) Allah
Tentang melihat Allah, terpecah menjadi dua kelompok: 1)
Kelompok pertama, cenderung sesuai dengan anggapan Mu’tazilah
yang beranggapan menafikan anggapan bahwa Allah itu niscaya dapat
dilihat dengan penglihatan mata, 2) Kelompok kedua ini beranggapan
bahwa Allah itu niscaya dapat dilihat dengan penglihatan mata, di
akhirat kelak.
q. Al-Qur’an
Tentang Al-Qur’an, terpecah menjadi tiga kelompok: 1) Kelompok
pertama, ini beranggapan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, 2) Kelompok
kedua, beranggapan bahwa Al-Qur’an itu sebenarnya bukan makhluk,
3) Kelompok ketiga, beranggapan bahwa kalamullah (Al-Qur’an) itu
tidak bisa dianggap makhluk, tetapi tidak bisa pula dianggap bukan
makhluk.
r. Hakikat Allah
Tentang hal ini, terpecah menjadi dua kelompok: 1) Kelompok
pertama beranggapan bahwa bagi Allah itu ada hakikat yang tidak
diketahui manusia di dunia ini, tetapi bagi manusiapun telah
diciptakan-Nya indra keenam, yang dengan indra itulah manusia pasti
mengetahui hakikat-Nya di akhirat kelak, 2) Kelompok kedua
beranggapan dengan menolak anggapan kelompok pertama bahkan
sangat menolaknya.

19
s. Qadar
Aliran Murji’ah berbeda anggapan mengenai qadar dan terpecah
menjadi dua kelompok: 1) Memiliki anggapan yang sesuai dengan
aliran Mu’tazilah, 2) Mempunyai anggapan sebaliknya, yang
menisbatkan qadar itu datang dari Allah.
t. Nama-nama dan Sifat-sifat Allah
Para pengikut aliran Murji’ah berbeda anggapan tentang nama dan
sifat Allah, sebagian sesuai dengan aliran Mu’tazilah, sementara
sebagian lainnya bersesuaian dengan anggapan Abdullah ibn
Muhammad ibn Kullab.

C. Sekte-sekte dalam Murji’ah

Di bawah kekuasaan Bani Umayah, berkembanglah Murji’ah sehingga


bermunculan tokoh-tokoh yang memiliki corak pemikiran yang berbeda.21 Dalam
hal ini, terdapat problem yang mendasar ketika pengamat mengklasifikasikan
sekte-sekte Murji’ah. Kesulitannya antara lain adalah ada beberapa tokoh aliran
pemikiran tertentu yang diklaim oleh seorang pengamat sebagai pengikut
Murji’ah, tetapi tidak dikalim penganut lain. Tokoh yang dimaksud adalah Washil
bin Atha dari Mu’tazilah dan Abu Hanifah dari Ahlus Sunnah. Oleh karena itulah,
Ash-Syahrastani, seperti yang dikutip oleh Watt, menyebutkan sekte-sekte
Murji’ah sebagai berikut:22

1. Murji’ah Khawarij
2. Murji’ah Qadariyah
3. Murji’ah Jabariyah
4. Murji’ah Murni
5. Murji’ah Sunni

Sementara itu, Muhammad Imarah menyebutkan 12 sekte Murji’ah, yaitu:23

1. Al-Jahmiyah, pengikut Jahm bin Shafwan.


21
M. Amin Nurdin, Sejarah Pemikiran Islam,..... , h. 25
22
Rosihon Anwar, Ilmu Kalam....., h. 59
23
Ibid.

20
2. Ash-Shalihiyah, pengikut Abu Musa Ash-Shalahi
3. Al-Yunushiyah, pengikut Yunus As-Samary
4. As-Samriyah, pengikut Abu Samr dan Yunus
5. Asy-Syaubaniyah, pengikut Abu Syauban
6. Al-Ghailaniyah, pengikut Abu Marwan Al-Ghailan bin Marwan Ad-
Dimsaqy
7. An-Najariyah, pengikut al-Husain bin Muhammad An-Najr
8. Al-Hanafiyah, pengikut Abu Hanifah An-Nu’man
9. Asy-Syabibiyah, pengikut Muhammad bin Syabib
10. Al-Mu’aziyah, pengikut Muadz Ath-Thaumi
11. Al-Murisiyah, pengikut Basr Al-Murisy
12. Al-Karamiyah, pengikut Muhammad bin Karam As-Sijistany

Sedangkan Abdul Mun'im Al-Hafni menjelaskan bahwa kelompok Murji’ah


terbagi menjadi beberapa sekte sebagai berikut:24

1. Sekte pertama adalah orang-orang yang mengambil sikap irja’ dalam


masalah qadar (takdir) Allah SWT. Dalam sekte ini terdapat beberapa
madzhab, antara lain madzhab Ghilan Ad-Dimsyaqi, madzhab Abu Syamr
dan madzhab Muhammad bin Syabib Al-Bashari. Orang-orang yang
termasuk sekte ini disebut dengan kaum Murji’ah Qadariyyah.
2. Sekte kedua adalah orang yang yang mengambil sikap irja’ dalam masalah
iman. Mereka sefaham dengan kelompok Jahamiyyah yang mengatakan,
manusia sama sekali tidak berkuasa atas perbuatan-perbuatannya karena
yang menciptakan perbuatannya itu adalah Allah SWT. Sekte ini biasa
dikenal dengan nama kelompok Murji’ah Jabariyyah.
3. Sekte ketiga adalah yang terkenal dengan sebutan kelompok Murji’ah
Khalishah. Mereka terbagi menjadi beberapa kelompok kecil, yaitu:
kelompok Yunusiyyah (pengikut Yunus An-Namir), kelompok
Ghassaniyah (pengikut Ghassan bin Abban Al-Kuffi), kelompok
Tsaubaniyyah (pengikut Abu Tsauban Al-Murji’i), kelompok
Taumaniyyah (pengikut Abu Mu’adz At-Taumani), kelompok Murisiyyah
24
Abdul Mun’im Al-Hafni, Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai
dan Gerakan Islam (terj.), (Jakarta: Soegeng Sarjadi Syndicate bekerjasama dengan Grafindo
Khazanah Ilmu, 2006), h. 809-810

21
(pengikut Bisyr bin Ghiyats Al-Murisi) dan kelompok Shalihiyyah
(pengikut Shalih bin ‘Amr Ash-Shalihi).
Jumlah sekte-sekte Murji’ah yang tidak sedikit dengan corak pemikiran
yang berbeda, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua sekte besar, yaitu
Murji’ah moderat dan Murji’ah ekstrim.
Pada golongan Murji’ah yang moderat berpendapat bahwa orang yang
melakukan dosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan
dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang ia lakukan, dan ada
kemungkinan Tuhan akan mengampuninya, sehingga mereka tidak akan masuk
neraka sama sekali. Pada golongan ini terdapat nama al-Hasan Ibnu Muhammad
Ibn ‘Ali Ibn Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa Ahli Hadits. 25
Jadi, iman seluruh umat Islam dianggap sama, baik yang hanya beriman dalam
hati tanpa diiringi perbuatan dengan yang taat beribadah.
Adapun golongan Murji’ah ekstrim, berpendapat bahwa orang Islam yang
percaya pada Tuhan, kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah
menjadi kafir, karena kafir dan imannya seseorang tempatnya bukan dalam bagian
tubuh manusia tetapi dalam hati sanubari. Mereka mengatakan, bahwa orang yang
telah menyatakan iman, meskipun menyembah berhala, melaksanakan ajaran-
ajaran agama Yahudi atau Kristen dengan menyembah salib, menyatakan percaya
pada trinitas, kemudian mati, tidaklah menjadi kafir, melainkan tetap mukmin
dalam pandangan Allah. Pandangan serupa ini muncul dari prinsip yang mereka
anut yaitu bahwa iman tempatnya di hati, ia tidak bertambah dan tidak berkurang
karena perbuatan apapun dan amal tidak punya pengaruh apa-apa terhadap iman.26
Menurut Nasution dalam Nata, Murji’ah ekstrim ini amat berbahaya jika
diikuti, karena dapat menimbulkan kehancuran dalam bidang akhlak dan budi
pekerti luhur, lebih-lebih pada masyarakat yang dilanda berbagai produk budaya
yang tidak bermoral yang pada gilirannya akan menimbulkan sikap
permissivisme, yakni sikap yang mentolelir penyimpangan-penyimpangan dari
norma akhlak dan moral yang berlaku. Karena dalam pandangan Murji’ah yang
dipentingkan hanyalah iman, maka norma-norma akhlak dapat dianggap kurang

25
Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat danTasawuf, (Jakarta:Fajar Interpratama Offset,
1998), h..34
26
Ibid., h. 35-36

22
penting dan diabaikan. Inilah sebabnya nama Murji’ah pada akhirnya
mengandung arti tidak baik dan tidak disenangi.27
Pandangan kelompok ekstrim tersebut sebagai berikut:28
1. Jahamiyah, kelompok Jahm bin Shafwan dan para pengikutnya,
berpandangan bahwa orang yang percaya kepada Tuhan kemudian
menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena
iman dan kufur itu bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain dalam
tubuh manusia.
2. Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman
adalah mengetahui Tuhan, sedangkan kufur adalah tidak tahu Tuhan.
Salat bukan merupakan ibadah kepada Allah. Yang disebut ibadah adalah
iman kepada-Nya dalam arti mengetahui Tuhan. Begitu pula zakat,
puasa, dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar menggambarkan
kepatuhan.
3. Yunusiyah dan Ubudiyah melontarkan pernyataan bahwa melakukan
maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati
dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-peerbuatan jahat yang dikerjakan
tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini, Muqatil bin
Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit tidak
merusak iman seseorang sebagai musyrik (pholitheist).
4. Hasaniyah menyebutkan bahwa jika seorang mengatakan,”saya tahu
Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang
diharamkan itu adaah kambing ini,” maka orang tersebut tetap mukmin,
bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan, “saya tahu Tuhan
mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah Ka’bah
di India atau tempat lain.”

Pada akhir ulasannya mengenai Murji’ah, Nasution menyimpulkan bahwa


golongan Murji’ah moderat, sebagai golongan yang berdiri sendiri telah hilang
dalam sejarah dan ajaran-ajaran mereka mengenai iman, kufr dan dosa besar
masuk ke dalam aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Adapun golongan Murji’ah

27
Ibid., h. 36
28
Rosihon Anwar, Ilmu Kalam....., h. 60

23
ekstrim juga telah hilang sebagai aliran yang berdiri sendiri, tetapi dalam
prakteknya masih terdapat sebagian umat Islam yang menjalankan ajaran-ajaran
ekstrim itu, mungkin dengan tidak sadar bahwa mereka sebenarnya dalam hal ini
mengikuti ajaran-ajaran golongan Murji’ah ekstrim.29

BAB 3
29
Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI press, 1986), h. 32

24
PENUTUP

Kesimpulan:

A. Sejarah Munculnya Murji’ah


Secara subtansi, paham irja’ telah ada sejak lama, namun disebut
sebagai suatu golongan tertentu adalah ketika terjadi permasalahan
politik dalam tubuh umat Islam. Golongan ini muncul seiring munculnya
golongan Khawarij, yang keluar dari Ali r.a dan golongan Syi’ah yang
mendukung bahkan memuja Ali r.a . Murji’ah merupakan golongan yang
memilih diam/pasif terhadap aktifitas politik kala itu. Dari ranah politik
ini, golongan Murji’ah masuk ke ranah teologi dan mengalami
perkembangan di bawah kekuasaan Bani Umayah.
B. Ajaran Pokok Murji’ah
Banyak perbedaan terkait doktrin Murji’ah antar tokoh di
dalamnya. Hal yang mendasar dari ajaran Murji’ah ini adalah masalah
iman, kufur dan dosa.
C. Sekte-sekte dalam Murji’ah
Banyaknya jumlah sekte yang terbentuk, para ahli membagi
Murji’ah menjadi dua kelompok besar, yakni Murji’ah moderat dan
Murji’ah ekstrim.

DAFTAR RUJUKAN

25
Al-Qur’an Al-Karim. 2016. Al-Qur’an Transliterasi. Solo: PT Tiga Seragkai
Pustaka Mandiri.

Abul Hasan Isma’il al-Asy’ari. 1998. Prinsip-prinsip Dasar Aliran Theologi


Islam (terj.). Bandung: CV Pustaka Setia.

Al-Hafni, Abdul Mun’im. 2006. Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran,


Mazhab, Partai dan Gerakan Islam (terj.). Jakarta: Soegeng Sarjadi
Syndicate bekerjasama dengan Grafindo Khazanah Ilmu.

Anwar, Rosihon. 2007. Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia.


Nasir, Sahilun A. 2012. Pemikiran Kalam (Teologi Islam)-Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam, Jakarta: UI press


Nata, Abuddin. 1998. Ilmu Kalam, Filsafat danTasawuf. Jakarta:Fajar
Interpratama Offset

Nurdin, M. Amin. 2014. Sejarah Pemikiran Islam. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Rahman, Fazlur. 2001. Gelombang Perubahan dalam Islam-Studi Tentang
Fundamentalisme Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: CV Pustaka Setia.


Wiyani, Novan Ardi. 2015. Ilmu Kalam. Jogjakarta: Teras.

26

Anda mungkin juga menyukai