Anda di halaman 1dari 188

Pengelola

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010 Penanggung Jawab Ahmad Syafii Maarif Jeffrie Geovanie Rizal Sukma Fajar Riza Ul Haq Muhd. Abdullah Darraz Clara Juwono Moeslim Abdurrahman M. Amin Abdullah Haedar Nashir M. Deddy Julianto Luthfi Assyaukanie AhmadNorma Permata Hilman Latief Endang Tirtana, Defi Nopita M. Supriadi Sarwono Harhar, benangkomunikasi MAARIF Institute for Culture and Humanity Jl. Tebet Barat Dalam II No. 6, Jakarta 12810 Telp +62-21 8379 4554 Fax +62-21 8379 5758 email : maarif@maarifinstitute.org website : www.maarifinstitute.org Donasi dapat disalurkan melalui rekening : Yayasan Ahmad Syafii Maarif BNI MH. Thamrin (Wisma Nusantara) 0114179273

Pemimpin Umum Pemimpin Redaksi Redaktur Ahli

Redaktur Pelaksana Sekretaris Redaksi Sirkulasi Design, Lay Out Alamat Redaksi

Redaksi mengundang para cendikiawan, agamawan, peneliti, dan aktifis untuk mengirimkan tulisan, baik berupa hasil penelitian maupun gagasan, sesuai dengan visi dan misi MAARIF Institute. Tulisan merupakan hasil karya sendiri, belum pernah dipublikasikan, penulisan mengacu standar ilmiah dengan panjang tulisan 600010.000 karakter. Redaksi berhak menyeleksi dan mengedit tulisan tanpa mengurangi atau menghilangkan substansi. Media MAARIF terbit setiap empat bulan.

Daftar Isi

Pengantar Redaksi

Kekerasan dan Rapuhnya Politik Multikultural Negara...................... Muhd. Abdullah Darraz Kekeliruan Politik Multikultural Kita.................................................. Donny Gahral Adian Kekerasan di Batin Kita ....................................................................... Radhar Panca Dahana Mencari Keadilan dalam Masyarakat Majemuk ................................. F. Budi Hardiman Anatomi Perilaku Kekerasan:Perspektif Neuroscience ........................ Ratna Megawangi Sejarah Kekerasan dan Kekerasan Sejarah .......................................... Asvi Warman Adam Tuntaskanlah Kekerasan (Politik) Masa Lalu ...................................... Usman Hamid Mematahkan Banalitas Kekerasan....................................................... Wahyudi Akmaliah Muhammad Viktimisasi Perempuan ........................................................................ Saparinah Sadli Melawan Kekerasan yang Tidak Kasat Mata ....................................... Farha Ciciek Yang Menderita Yang Menghidupkan ................................................ Josep Antonius Ufi dan Sr. Brigitta Renyaan, PBHK Solidaritas Bagi Kebebasan Beragama ................................................. Agnes Dwi Kekerasan Adalah Gaya ....................................................................... Phaerly Maviec Musadi Ratulangi Kekerasan Atas Nama Agama .............................................................. Franz Magnis-Suseno SJ Budaya Kekerasan dan Manajemen Masyarakat Multikultural ......... Zakiyuddin Baidhawy Radikalisme, Ketidakadilan, dan Rapuhnya Ketahanan Bangsa ........ Ahmad Syafii Maarif Media dan Konflik: Sebuah Tinjauan ................................................. Rudi Sukandar Kebisuan Media, Kegarangan Massa ................................................... Ade Armando Muhammadiyah: Pergulatan Sebuah Gerakan Keagamaan dalam Konteks Pluralitas Masyarakat Indonesia ................................. A. Elga Joan Sarapung

Kekerasan, Politik Multikultural, dan Kekeliruan Pilihan Ideologis

12 26 34 50

Kekerasan (Politik) Masa Lalu

57 63 75

Kekerasan, Perempuan, dan Subkultur

83 89 103 115 123

Radikalisme dalam Balutan Sentimen Keagamaan

129 135 147

Media dan Kekerasan

159 164

Opini

172 185

Profil MAARIF Institute .............................................................................

Kekerasan dan Rapuhnya Politik Multikultural Negara


Muhd. Abdullah Darraz

Indonesia sejatinya dikenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian, toleransi, dan gotong royong. Namun dewasa ini cerminan tersebut terlihat buram, karena dinodai oleh pelbagai aksi kekerasan dan konflik horisontal di tingkat akar rumput. Apa sebenarnya yang tengah melanda bangsa ini? Benarkah bangsa ini telah kehilangan rasa empati dan sikap kasih sayang terhadap sesama sehingga wajah bengis dan kebrutalan senantiasa terumbar dimanamana? Atau adakah yang salah dengan pengelolaan negara terhadap berbagai potensi konflik dan kemajemukan yang menjadi keniscayaan bangsa ini? Dalam Jurnal MAARIF edisi kali ini, kami mengangkat tema Kekerasan dan Rapuhnya Politik Multikultural Negara. Pemilihan tema ini didasarkan pada alasan ontologis yang cukup jelas tentang munculnya berbagai fenomena kekerasan dewasa ini di Indonesia. Namun kadang kita terlalu samar untuk mencerapnya. Dalam pandangan kami, kekerasan yang kerap muncul ini tidak bisa dipisahkan dari struktur politik berbangsa dan bernegara Indonesia dewasa ini, dimana dimensi-dimensi sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang tumbuh dan berjalan saat ini sangat berpengaruh terhadap munculnya fenomena kekerasan yang nyaris menjadi biasa ini.

Pemimpin Redaksi Media MAARIF, Direktur Program MAARIF Institute

Pengantar Redaksi

Akar ontologis yang dimaksud adalah keniscayaan tentang kemajemukan dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya pada bangsa ini yang tidak benar-benar dikelola secara baik oleh negara. Negara seolah bingung dan limbung tak tahu bagaimana menahkodai bahtera kehidupan bangsa yang penuh dengan kebhinekaan ini. Bukan hanya bingung, tapi juga mungkin negara nyaris tidak punya arah kebijakan yang jelas dalam mengelola kemajemukan budaya. Bahkan akhir-akhir ini, kita melihat kepemimpinan SBY seolah kehilangan perspektif dalam melihat realitas partikular kemajemukan dalam kapal besar yang bernama Indonesia ini. Sehingga pergolakan di tingkat akar rumput menjadi tak bisa terelakkan. Ketidaktangguhan pengelola negara dalam menerjemahkan kemajemukan bangsa di kehidupan nyata disempurnakan oleh ketidaksiapan sebagian kelompok masyarakat dalam menerima pelbagai perbedaan dengan menyikapinya melalui berbagai tindak kekerasan. Konflik-konflik kecil yang seharusnya bisa dikelola secara baik, pada akhirnya menjadi petaka yang mencabik-cabik keharmonisan hidup berbangsa. Dan ketidaktegasan negara dalam menindak aksi-aksi kekerasan komunal tersebut menjadi bukti kongkrit akan limbungnya pemerintah dalam mengarahkan haluan politik multikultural. Dalam jurnal edisi akhir tahun ini terdapat 17 tulisan inti tentang kekerasan ditinjau dalam beberapa perspektif dan satu tulisan opini mengenai Muhammadiyah. Namun perspektif utama pengkajian isu kekerasan ini didasarkan pada asumsi kekeliruan pilihan ideologi politik demokrasi kita dan rapuhnya politik multikultural yang dikelola oleh negara. Perspektif lain yang dihadirkan melalui tulisan-tulisan pada jurnal ini adalah perspektif sejarah dalam menyoroti kekerasan di masa lampau. Ketidakjelasan penyelesaian berbagai konflik dan kekerasan masa lalu menjadi alasan penting mengapa akar historis terjadinya kekerasan perlu diungkap. Perspektif lain yang juga penting untuk diadakan adalah menganalisis kekerasan dan kaitannya dengan perempuan, mengingat selama ini perempuan cenderung menjadi korban dalam berbagai bentuk tindak kekerasan dan konflik yang pernah terjadi. Namun selain itu, penting pula melihat peran dan andil perempuan dalam upaya pencegahan kekerasan dan resolusi konflik.

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Pengantar Redaksi

Kekerasan dalam sentimen keagamaan juga penting untuk dimunculkan dalam jurnal ini sebagai sebuah perspektif, untuk melihat sejauh mana kekerasan model ini berakar dalam kehidupan masyarakat beragama di Indonesia. Dan perspektif terakhir adalah terkait dengan peran media dalam menghentikan berbagai aksi kekerasan yang terjadi dengan menghadirkan jurnalisme yang damai.

Politik Multikultural dan Kekeliruan Pilihan Ideologi


Meningkatnya eskalasi kekerasan komunal di Indonesia terkait erat dengan pilihan ideologis politik pasca Reformasi yang keliru. Era Reformasi seolah memberi ruang yang cukup tinggi terhadap terjadinya konflik dan kekerasan di berbagai wilayah, karena peran negara telah melemah dan cenderung melakukan pembiaran dalam menghadapi kekerasan yang selama ini terjadi, sedangkan kekuatan sipil dengan mengatasnamakan demokrasi yang serba permisif semakin berani dan bebas dalam bertindak. Tesis Donny Gahral Adian telah menegaskan kekeliruan pilihan ideologis dari politik multikultural kita saat ini, yakni yang berlandaskan pada ideologi liberalisme. Konsekuensinya adalah pengakuan akan kebebasan individu dalam politik multikultural yang liberal akan memberangus kemajemukan kultur komunal (lihat hal. 13-14 pada jurnal ini ). Dalam proses penerapan demokrasi-liberal yang serba permisif ini, moral dan hukum pun akhirnya ditinggalkan. Dalam demokrasi semu yang tanpa aturan dan mengabaikan hukum ini menjadikan kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya dijalankan seperti dalam kehidupan di hutan rimba, dimana yang paling kuat memberangus yang lemah dan menguasai kehidupan di dalamnya. Budayawan Radhar Panca Dahana dalam tulisannya Kekerasan dalam Batin Kita mengafirmasi tesis tersebut dengan menyatakan bahwa kekerasan menjadi sebuah keniscayaan dalam kehidupan masyarakat Indonesia karena kondisi sosial, ekonomi, hukum dan politik kita menghendaki dan menciptakan semua bentuk kekerasan tersebut. Dalam praktek demokrasi yang dinaungi ideologi liberalisme ini, sistem dan praktek ekonomi hanya menjadi milik segelintir elit saja, hukum dipelintir hanya untuk kepentingan penguasa dan orang berduit,

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Pengantar Redaksi

sedangkan kehidupan politik dijalankan bukan untuk menciptakan kesejahteraan, namun lebih untuk melanggengkan kekuasaan (lih. hal. 29-31). Dalam situasi seperti ini, kehidupan sosial masyarakat mengalami frustasi yang sangat akut. Maka kekerasan pada akhirnya menjadi pilihan akhir dalam interaksi sosial masyarakat, karena sesungguhnya selama ini mereka pun telah dijejali oleh berbagai kekerasan sosial, ekonomi, hukum dan politik yang dimainkan oleh para elit. Untuk merangkum kondisi di atas, maka ketidakadilan menjadi kata kunci yang tepat untuk membongkar akar masalah kekerasan yang selama ini terjadi. Dalam pelbagai tindak kekerasan di atas, keadilan seringkali terabaikan dalam struktur kehidupan elit-akar rumput, mayoritasminoritas, serta dominan-marjinal. Dr. Fransisco Budi Hardiman telah sangat akurat membongkar akar masalah kekerasan ini yang menurutnya bersumber dari ketidakjelasan konsep dan penerapan keadilan. Namun pertanyaan mendasar yang ia ajukan adalah keadilan dalam perspektif siapa yang sepatutnya dijadikan pegangan dan bagaimana mewujudkan keadilan tersebut dalam masyarakat majemuk seperti di Indonesia ini. Lagi-lagi masalahnya akan kembali pada pilihan ideologis dalam praktek politik kita yang ia sebut sebagai konteks-konteks keadilan dengan meminjam istilah Rainer Forst. Apa yang disebut sebagai konteks-konteks keadilan ini terdiri dari 4 model keadilan: Keadilan Komunitarian, Keadilan Liberal, Keadilan Multikultural, dan Keadilan Transformasional. (hal. 36) Kegagalan untuk menerapkan keadilan dalam masyarakat majemuk tidak lain karena kekeliruan dalam memilih di antara keempat model di atas. Ia mengusulkan bahwa model keadilan transformasional adalah model keadilan yang paling cocok untuk diterapkan dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia ini.(hal. 43).

Kekerasan (Politik) Masa Lalu


Dalam konteks Indonesia, kita perlu mengurai akar masalah kekerasan berdasarkan perspektif sejarah. Perlunya melakukan pelacakan terhadap akar kekerasan yang telah terjadi sejak masa kolonial ditekankan oleh Sejarawan terkemuka Asvi Warman Adam. Menurutnya sejalan dengan pelaksanaan misi politik etis pada akhir abad ke-19, kekerasan melalui ekspedisi militer ke berbagai daerah di Nusantara gencar dilangsungkan.

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Pengantar Redaksi

(hal. 57). Bahkan itu dilakukan atas saran dan permufakatan Christian Snouk Hurgronje yang tak lain adalah tokoh terpenting politik etis. Oleh karenanya tak salah bila sejarawan Belanda Henk Schulte Nordholt menyimpulkan bahwa era politik etis merupakan masa ketika kekerasan di Indonesia mulai mengakar. Dalam tulisannya ini, Asvi Warman Adam bukan saja menguraikan sejarah kekerasan di Indonesia yang merentang sejak zaman kolonial Belanda hingga masa-masa paska kemerdekaan, namun ia juga mendedah kekerasan sejarah yang diciptakan oleh rejim penguasa (terutama Orde Baru terhadap orang-orang yang dituduh terlibat sebagai komunis). Baginya sejarah ibarat dua mata pisau yang bisa digunakan sebagai alat menciptakan kekerasan dan penindasan di satu sisi, dan menjadi kekuatan pembebas sebuah bangsa di sisi lain. Dan sepatutnyalah sejarah diarahkan untuk menjadi pembebas sebuah bangsa dari belenggubelenggu masa lalu. Dengan latarbelakang sebagai seorang aktivis KontraS, Usman Hamid memfokuskan pembahasan kekerasan masa lalu dengan memberi aksentuasi pada kekerasan rejim Orde Baru hingga awal Reformasi. Uraiannya ini ditulis berdasarkan perspektif dan pengalamannya sebagai seorang aktivis yang telah melakukan pendampingan terhadap korbankorban dan keluarga korban kekerasan politik Orde Baru. Ia menandai bahwa kekerasan Orde Baru sangat dicirikan oleh kekerasan yang diperankan oleh kalangan militer sebagai alat negara. Pada masa tersebut kekuatan militer amat menonjol digunakan di berbagai sektor kehidupan masyarakat. (hal. 64) Sealur dengan pembahasan Usman Hamid, artikel yang ditulis oleh Wahyudi Akmaliah Muhammad memberikan ulasan lanjutan mengenai kekerasan semasa rejim Orde Baru yang telah menjadi warisan di masamasa sekarang ini. Kekerasan telah menjadi budaya dan kebiasaan yang dipelihara sejak masa Orde Baru. Dengan meminjam teori banality of evil Hannah Arendt, Wahyudi menjelaskan bahwa kekerasan secara sengaja dipelihara oleh rejim baik pada masa Orde Baru maupun paska Reformasi, sehingga kekerasan dipandang sebagai sesuatu yang biasa, sesuatu yang lumrah untuk dilakukan. Sehingga lambat laun menipiskan ingatan bahkan kesadaran tentang kejam dan buruknya sebuah tragedi kekerasan. Kondisi inilah yang telah berhasil diwariskan oleh rejim Orde Baru dewasa ini.
MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Pengantar Redaksi

Kekerasan, Perempuan, dan Subkultur


Beberapa artikel yang disusun dalam subtema ini tidak lain berasal dari pengalaman pribadi penulisnya dalam mendekati dan meneliti fenomena kekerasan dalam kehidupan masyarakat terutama kekerasan terhadap perempuan, anak, dan remaja. Kecuali tulisan Saparinah Sadli, seorang pengamat masalah perempuan, di dalamnya tertuang gambaran tentang pelbagai bentuk kekerasan yang kerap menimpa perempuan dalam perspektif psikologis. Sadli ingin menekankan bahwa selama ini kekerasan terhadap perempuan adalah sebuah proses viktimisasi perempuan. Yang ia maksud adalah, dalam berbagai tindak kekerasan terhadap perempuan, perempuan senantiasa menjadi korban. Ia mencontohkan beberapa bentuk kekerasan tersebut adalah perkosaan, KDRT, pelecehan seksual, kekerasan terhadap anak perempuan, termasuk khitan terhadap anak perempuan. Dalam kasus perkosaan, seringkali yang disalahkan adalah perempuan sebagai korban perkosaan. Inilah yang ia maksud sebagai viktimisasi perempuan. Adapun artikel Farha Ciciek merupakan hasil dari penelitiannya terhadap pergulatan kaum perempuan dalam melawan tindak kekerasan non-fisik di sebuah pesantren yang memproduksi ideologi radikal dan mengabaikan kesetaraan gender di Siraman, Jawa Tengah. Ia menyebut model kekerasan non-fisik seperti ini sebagai kekerasan yang tidak kasat mata. Dalam penelitian tersebut, Ciciek mendapatkan strategi perlawanan yang dilakukan oleh perempuan-perempuan tercerahkan di lembaga itu dilakukan dengan menggunakan pendekatan struktural, yakni dengan mengambil alih hak pengelolaan kawasan keputrian di tangan mereka dan melibatkan diri dalam struktur kepengurusan yang ada di dalamnya. Mereka mengembangkan apa yang dia sebut sebagai sistem dan tatanan politik ala perempuan secara terbuka. Meskipun pergerakan perempuan ini dipandang kecil, namun ia mampu menginspirasi komunitas perempuan lainnya di pesantren yang berbeda. Tidak jauh berbeda dengan perlawanan perempuan ala pesantren di Siraman yang diungkapkan Farha Ciciek, di Ambon-Maluku, perempuanperempuan lintas agama menghimpun kekuatan dalam meredakan konflik keagamaan yang terjadi pada masa itu. Mereka sebenarnya adalah perempuan-perempuan korban kekerasan konflik yang terjadi di Ambon, namun mereka mampu menjadi pelopor gerakan anti-kekerasan yang menjadi suluh bagi upaya perdamaian dan rekonsiliasi konflik

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Pengantar Redaksi

tersebut. (hal. 104-106) Artikel yang ditulis oleh Josep Antonius Ufie dan Suster Brigitta Renyaan ini merekam jejak para perempuan korban konflik yang melakukan pemberdayaan diri mereka sendiri dalam sebuah komunitas bernama Gerakan Perempuan Peduli. Mereka adalah perempuan-perempuan yang menderita kekerasan namun menghidupkan perdamaian. Tesis utama Jurnal ini menyatakan bahwa kekerasan kerap terjadi karena kegagalan politik multikultural yang dikelola oleh negara sehingga membuat kemajemukan menjadi malapetaka, dan bukan sebagai kekayaan bangsa. Salah satu kasus yang mencuat di tahun 2010 ini adalah insiden penusukan jemaah HKBP di Bekasi. Kasus ini terjadi berlarut-larut karena ketidaksigapan yang ditampakkan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam mencegah terjadinya tindak kekerasan. Dalam uraiannya, Agnes Dwi menegaskan bahwa diamnya negara terhadap kasus ini menjadi bukti lemahnya kewibawaan pemerintah dan gagalnya penegakkan hukum dan undang-undang. Pada artikel selanjutnya yang ditulis oleh Phaerly Maviec, seorang aktivis peneliti budaya subkultur remaja, didapatkan sebuah kenyataan bahwa budaya kekerasan di tingkat remaja subkultur bukan hanya merupakan sebuah kebiasaan, namun lebih dari sebuah keharusan. Kekerasan adalah Gaya, begitulah kesimpulan yang ia dapatkan ketika mendalami pola tindakan dan perilaku remaja subkultur di Bandung. Kekerasan adalah sebuah identitas primer, yang seolah mesti dimiliki oleh mereka, karena tanpa kekerasan, maka kehidupan tidak lagi keren. Bagi mereka kekerasan adalah gaya, maka untuk menjadi gaya dan ngetrend di lingkungan mereka, maka kekerasan menjadi sebuah kemestian, bahkan keniscayaan. (hal. 123, 126)

Radikalisme dalam Balutan Sentimen Keagamaan


Di Indonesia, kekerasan dengan sentimen keagamaan kerap terjadi. Kasus terakhir yang mencuat adalah insiden HKBP di Ciketing Bekasi dan pembakaran masjid Ahmadiyah di Ciampea Bogor. Kekerasan dengan sentimen keagamaan menurut Romo Franz Magnis-Suseno disebabkan salah satunya oleh ketidaksiapan sebagian masyarakat dalam menerima perbedaan dan kemajemukan. (hal. 132). Alih-alih menerima perbedaan, mereka cenderung berkehendak untuk menindas, meniadakan, dan memberangus entitas kelompok (agama) lain yang berbeda.
MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Pengantar Redaksi

Untuk mengikis ketidaksiapan dalam menerima perbedaan dan kemajemukan ini, maka perlu diciptakan manajemen baru dalam mengatur hubungan yang lebih harmonis antar elemen bangsa yang sangat plural dan multikultural ini. Zakiyuddin Baidhawy menuturkan bahwa pola manajemen masyarakat majemuk pada masa lalu sudah tidak lagi memadai, mengingat berbagai perubahan yang sangat signifikan dalam struktur masyarakat multikultur Indonesia dewasa ini. Maka baginya, saat ini Indonesia membutuhkan manajemen masyarakat multikultural yang mengandung beberapa prasyarat yang mutlak dipenuhi. Dalam pandangan Buya Ahmad Syafii Maarif, kekerasan dalam balutan sentimen keagamaan yang terjadi di Indonesia berjalin-berkelindan dengan ketidakadilan struktur kehidupan dalam masyarakat. Ketidakadilan politik dan ekonomi yang tak kunjung selesai sangat cepat menyulut berbagai aksi kekerasan yang selama ini terjadi. Selain itu kerapuhan internal masyarakat muslim di Indonesia terhadap berbagai ketidakadilan global memicu berbagai tindakan kekerasan tandingan yang justru merugikan eksistensi kaum muslim itu sendiri.

Kekerasan dan Media


Perspektif media dalam melihat kekerasan perlu diangkat, karena selama ini media ditengarai justru telah melanggengkan praktek kekerasan dengan memberitakan secara vulgar berbagai aksi kekerasan dalam masyarakat, sehingga banalitas kekerasan dalam benak dan sistem kesadaran masyarakat menjadi semakin meluas dan melanggeng. Oleh karenanya, Rudi Sukandar menegaskan pentingnya jurnalisme damai (peace journalism) untuk mencegah meluasnya kekerasan dan meminimalisir dampak fisik dan psikologis yang negatif daripadanya. Analisis yang berbeda diutarakan oleh Ade Armando, seorang pengamat media, yang menyatakan bahwa selama ini media kurang begitu kritis terhadap berbagai praktek kekerasan yang terjadi. Media yang terkungkung dalam logika industri seakan bungkam melihat maraknya kekerasan yang terjadi. Ketika kekerasan dibiarkan begitu saja, terutama karena kebisuan media, maka akibatnya adalah keberulangan praktek kekerasan dalam kehidupan masyarakat.

10

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Pengantar Redaksi

Akhirnya
Kami ingin mempersembahkan rangkaian ide-ide yang terkandung dalam tulisan-tulisan pada jurnal ini sebagai bagian dari upaya kecil kami dalam merespon berbagai aksi kekerasan yang akhir-akhir ini kerap mewarnai kehidupan bangsa Indonesia. Penguraian dan identifikasi akar masalah kekerasan dalam berbagai tulisan di jurnal ini menjadi poin penting yang telah coba dilakukan agar jelas dimana letak penyakitnya yang mesti disembuhkan itu dan bagaimana cara menyembuhkannya, sehingga masalah kekerasan tidak lagi terulang. Desakan terhadap pemerintah agar menciptakan kebijakan yang lebih tegas terhadap fenomena kekerasan ini selalu digaungkan. Namun desakan tidak akan berpengaruh apapun, manakala kelimbungan dan kebimbangan masih terus dipertahankan oleh negara yang sebenarnya memiliki otoritas untuk menghentikan semua ini.

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

11

Kekeliruan Politik Multikultural Kita


Donny Gahral Adian

Pengantar
Kekerasan terhadap minoritas adalah fakta sosial yang memprihatinkan dalam hidup bersama bangsa ini. Hidup bersama yang dicita-citakan pendiri bangsa adalah hidup yang damai, makmur, demokratis dan cerdas (pembukaan UUD 1945). Namun, kenyataannya sebagai bangsa kita terus menerus dirobek oleh tindak kekerasan terhadap minoritas. Pada tahun 2009 SETARA Institute mencatat 200 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan yang mengandung 291 jenis tindakan. Terdapat 10 wilayah dengan tingkat pelanggaran tertinggi yaitu, Jawa Barat (57 peristiwa), Jakarta (38 peristiwa), Jawa Timur (23 peristiwa), Banten (10 peristiwa), Nusa Tenggara Barat (9 peristiwa), Sumatera Selatan, Jawa Tengah, dan Bali masing-masing (8 peristiwa), dan berikutnya Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur masing-masing (7 peristiwa). Selain tergeletak sebagai fakta sosial, kekerasan terhadap minoritas di Indonesia juga merupakan pertanyaan terhadap tesis modal sosial yang dikemukakan Robert Putnam (Hefner, 2001: 9). Kekerasan terhadap minoritas yang dilakukan oleh ormas keagamaan tertentu menggugat tesis Putnam bahwa asosiasi sukarela dapat berfungsi sebagai modal sosial yang berkontribusi bagi demokrasi. Bagi Putnam, Demokrasi memerlukan politik informal berbasis masyarakat sipil yang mendorong keadaban publik dan partisipasi. Persoalannya

Donny Gahral Adian adalah Dosen Filsafat Politik Universitas Indonesia

12

Kekerasan, Politik Multikultural, dan Kekeliruan Pilihan Ideologis

alih-alih menjadi faktor pendorong keadaban publik ormas keagamaan justru mempromosikan rasisme, chauvinisme dan bahkan kekerasan. Putnam gagal memahami betapa masyarakat sipil di Indonesia tidak homogen melainkan tercabik oleh etnis, bahasa, keyakinan, gender dan ideologi. Kondisi sedemikian membuat modal sosial yang tersembunyi di berbagai asosiasi sukarela justru dimanfaatkan secara sektarian untuk memerangi minoritas.

Politik multikultural memutarbalikkan hubungan antara negara modern dengan kebudayaan. Apabila sebelumnya negara modern meratakan kebudayaan dengan mematok identitas politik universal, maka sekarang negara modern justru mengakui kemajemukan budaya

Tesis Putnam memang gagal memahami dinamika masyarakat sipil di Indonesia. Namun, tesis tersebut justru mengingatkan kita betapa pentingnya memahami peran politik multikultural dalam mengelola kemajemukan. Artikel ini bermaksud menunjukan betapa politik multikultural di Indonesia bersandar pada ideologi yang keliru. Politik multikultural kita bersandar pada liberalisme. Akibatnya, politik sedemikian hanya mengenali individu sebagai subjek legal dan moral namun gagap memahami komunitas budaya sebagai subjek serupa yang setara. Sementara, politik multikultural sejatinya adalah politik demokrasi yang mengakui kelompok atau komunitas budaya sebagai subjek legal dan moral. Politik multikultural tidak sekadar mengakui kesamaan legal atau moral orang per orang melainkan hak orang untuk berbeda dalam mengaksentuasi identitas kulturalnya. Politik multikultural memutarbalikkan hubungan antara negara modern dengan kebudayaan. Apabila sebelumnya negara modern meratakan kebudayaan dengan mematok identitas politik universal, maka sekarang negara modern justru mengakui kemajemukan budaya. Politik multikultural menjadi kekhususan dalam politik demokrasi, khususnya demokrasi liberal. Politik multikultural menyangkal humanisme universal demokrasi liberal namun tetap memberi ruang pada prinsip kesetaraan kesempatan, sejauh kesempatan dipahami sebagai kesempatan untuk berbeda.

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

13

Kekeliruan Politik Multikultural Kita

Persoalannya, seringkali terjadi trade off antara politik multikultural dengan politik identitas. Politik multikultural dapat melahirkan sektarianisme keras yang pada akhirnya dapat menggagalkan seantero proyek multikulturalisme itu sendiri. Kegagalan politik multikultural berpotensi membiakkan kekerasan, khususnya kekerasan terhadap minoritas. Artikel ini adalah refleksi terhadap kekeliruan politik multikultural di Indonesia dan kemungkinan rehabilitasinya.

Kekeliruan Politik
Minoritas di Indonesia diwakili oleh mereka yang berkeyakinan lain dari mayoritas. Relasi Islam-Kristen, Islam-Hindu, Islam-Budha adalah beberapa contoh relasi politik antara mayoritas dan minoritas. Namun, bisa juga minoritas tersembunyi di dalam mayoritas sebagai sub-kultur yang berbeda. Hubungan antara Islam mainstream dan ahmadiyah adalah salah satu contoh yang tepat. Untuk itu, perlu dipahami secara seksama bentuk-bentuk kemajemukan atau pluralitas dalam masyarakat multikultural. Bhikhu Parekh (2000) membedakan pluralitas menjadi tiga: pluralitas subkultural, pluralitas perspektival dan pluralitas komunal. Pluralitas subkultural terjadi ketika anggota komunitas berbagi budaya yang sama namun pada saat yang sama merajut cara hidup berbeda dalam komunitas bersangkutan. Sebagian kaum gay dan lesbian tetap mematuhi lembaga pernikahan sebagai kultur heteroseksual namun merajut cara hidup berbeda dalam lembaga tersebut. Aliran Ahmadiyah, misalnya, berbagi sebagian besar kultur keislaman dengan Islam mainstream namun menciptakan tradisinya sendiri dalam kultur tersebut. Patut dicatat bahwa keberadaan subkultur dalam kultur dominan tidak berupaya untuk menjadi kultur alternatif sebab irisan mereka dengan kultur dominan masih cukup besar. Apa yang mereka lakukan adalah memajemukan kultur dominan dengan membuka ruang-ruang perbedaan dalam kultur dominan. Kedua adalah pluralitas perspektival. Pluralitas ini terjadi ketika anggota komunitas melancarkan kritik keras terhadap prinsip atau nilai fundamental dalam kultur dominan dan berupaya untuk merekonstruksinya secara baru. Kaum feminis, misalnya, menyerang bias patriarkal dalam lembaga pernikahan sebagai kultur heteroseksual.

14

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Politik Multikultural, dan Kekeliruan Pilihan Ideologis

Kelompok Hizbut Tahrir menyerang bias sekularitas dalam kultur demokrasi yang dominan saat ini. Aktivis lingkungan yang berprinsip Deep Ecology menolak antroposentrisme yang bersarang pada kultur ekologisme belakangan ini. Kelompok-kelompok seperti di atas bukan subkultur sebab mereka memboikot fundamen kultur dominan dan berusaha keras mentransformasinya secara politik. Ketiga adalah pluralitas komunal. Masyarakat modern senantiasa memuat berbagai komunitas otonom dan terorganisir yang menjalankan hidup dengan prinsip dan nilai mereka sendiri. Imigran Yahudi, Gipsi dan Amish, misalnya, tetap mempertahankan tradisi mereka di teritori baru yang mereka diami. Komunitas otonom bisa juga berupa kelompok kultural yang terkonsentrasi secara kultural seperti Basques, Catalans, Scots, Welsh dan Quebecois. Di Jawa Tengah, khususnya di sekitaran Blora, kita mengenal kaum Samin sebagai komunitas yang mempertahankan kombinasi ajaran Hindu-Dharma, Syiwa-Budha, dan Syeh Siti Jenar untuk kemudian mengolahnya secara politik sebagai kultur anti feodalisme dan kapitalisme. Ketiga jenis pluralitas di atas sering beririsan satu sama lain dan memiliki benang karakter yang sama. Kita dapat saja mengkategorikan kaum Samin sebagai bentuk pluralitas perpektival (kritis terhadap kultur feodal) sekaligus komunal (komunitas otonom yang menjalankan ajaran sendiri). Namun demikian, Parekh (2000) yakin bahwa ketiganya tetap dapat dibedakan secara jernih dan terpilah (clear and distinct). Pluralitas subkultur tertanam dalam kultur bersama namun berupaya untuk membuka kemungkinan dan memajemukannya. Tantangan mereka terhadap kultur dominan sangat terbatas dalam cakupan diartikulasikan dalam kosakata kultur dominan seperti otonomi dan pilihan personal. Pluralitas perspektival lebih radikal dan komprehensif dibanding pluralitas subkultur sehingga tidak dapat diakomodasi dengan mudah. Itu merepresentasikan sebuah visi kehidupan yang hanya dapat direspon kultur dominan dengan dua cara: ditolak seluruhnya atau diterima dengan syarat (diterima dalam teori namun tidak dalam praktik). Pluralitas komunal berbeda dari kedua varian pluralitas terdahulu. Itu lahir dari dan dirawat oleh pluralitas komunitas dengan sejarahnya masing-masing yang cukup panjang. Historisitas pluralitas komunal membuatnya lebih kokoh dan stabil. Tingkat kesulitan untuk mengakomodasi pluralitas komunal sangat tergantung pada kedalaman dan tuntutan mereka.
MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

15

Kekeliruan Politik Multikultural Kita

Multikulturalisme adalah pluralitas kultural yang harus dipahami sebagai perbedaan yang tertanam secara kultural (Parekh, 2000: 3). Multikulturalisme bukan menyoal perbedaan dan identitas semata melainkan perbedaan dan identitas yang tertanam secara kultural. Perbedaan yang tertanam secara kultural berbeda dengan perbedaan akibat pilihan individu. Perbedaan yang tertanam secara kultural mengangkut sekian derajat otoritas tertentu dan terpola atau terstruktur dalam sistem makna atau pemaknaan yang terwarisi secara historis. Multikulturalisme bukan sekadar deskripsi fakta sosial (pluralitas) melainkan respon normatif terhadap masyarakat multikultural yang memuat tiga jenis pluralitas sekaligus (subkultur, perspektival dan komunal). Sebagai respon normatif maka multikultiralisme dapat dikategorikan sebagai politik pengakuan dan perlindungan (politics of recognition and protection). Pertanyaannya, apakah liberalisme sebagai agenda politik sudah lebih dari cukup untuk menjalankan peran sebagai politik pengakuan-perlindungan? Liberalisme meyakini prinsip kesetaraan kesempatan, yaitu semua orang berhak atas barang primer spiritual dan material untuk pengembangan diri secara leluasa. Semua orang memiliki kapasitas rasional yang sama untuk menjalani hidup yang bermakna. Apa yang membedakan mereka hanyalah akses terhadap barang primer (kesehatan, pendapatan, pendidikan). Sebab itu, kesetaraan kesempatan mensyaratkan distribusi barang primer secara adil. Sampai di sini kelihatannya liberalisme sebagai agenda politik sebangun dengan multikulturalisme. Persoalan baru kentara ketika multikulturalisme dipahami sebagai perbedaan yang tertanam secara kultural. Liberalisme bersandar pada perlakuan yang sama terhadap individu. Sementara, setiap individu adalah perbedaan yang tertanam secara kultural yang menolak prinsip perlakuan yang sama. Marx dalam Critique of the Gotha Programme (1875) memandang kesetaraan sebagai abstraksi borjuis yang meratakan partikularitas material orang per orang. Menurut Marx modus kesetaraan liberal mengadopsi bentuk komoditas yang mana nilai tukar (exchange value) meratakan partikularitas nilai pakai (use value). Perlakuan yang sama dalam bingkai multikulturalisme jangan diartikan sebagai memberi perlakuan sama. Perlakuan yang sama adalah memberi perhatian yang sama terhadap kebutuhan dan keinginan

16

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Politik Multikultural, dan Kekeliruan Pilihan Ideologis

spesifik orang per orang sebagai yang tertanam secara kultural. Dengan demikian, setiap konsep kesetaraan yang otentik menyiratkan gagasan mengenai perbedaan. Kesetaraan menjadi pertanyaan tentang subjek bukan objek. Kesetaraan adalah persoalan bagaimana kita selaku subjek memperlakukan satu sama lain dan bukan persoalan properti atau atribut yang sama yang terdapat di semua objek. Manusia tidak memiliki esensi yang sama (akal budi, nurani) yang membuatnya menuntut perlakuan yang sama. Manusia, sekali lagi, adalah perbedaan yang tertanam secara kultural. Teori politik pun berpisah menjadi dua jalan: naturalisme dan kulturalisme (Parekh, 2000: 10-11). Naturalisme mengandaikan eksistensi esensi manusia yang ajek dan tidak terpengaruh oleh variabel kultural dan sosial. Kebudayaan bagi naturalisme hanyalah efek samping daya adaptasi manusia dan dipatok dalam ranah adat dan ritus yang a-politis (tidak berpengaruh pada administrasi sosial dan politik). Kulturalisme, sebaliknya, memandang manusia sebagai bentukan kultural yang politik multikultural-liberal bermasalah. berbeda dari satu kultur ke kultur Politik multikultural-liberal hanya lain. Manusia satu dengan lainnya tidak berbagi esensi yang sama mengakui dan melindungi individu dan yang berdasarkannya administrasi memandang persoalan multikultural moral dan politik dijalankan. Multikulturalisme pun memakai beres dan gerak ganda pengakuankulturalisme sebagai pijakan filsafat perlindungan tersebut politiknya. Berdasarkan argumen di atas, politik multikultural-liberal bermasalah. Politik multikultural-liberal hanya mengakui dan melindungi individu dan memandang persoalan multikultural beres dan gerak ganda pengakuanperlindungan tersebut. Persoalan politik multikultural-liberal adalah persoalan republik ini. Kekeliruan politik multikultural di Indonesia terletak pada cara pandang terhadap kebudayaan. Kebudayaan cenderung dipersepsi sebagai pilihan individu dan bukan rentang struktural yang mana individu tertanam di dalamnya. Akibatnya, budaya sebagai unit politik tak pernah dikenali sehingga varian subkultur, perspektif dan komunal dalam budaya dominan diabaikan begitu saja. Kekeliruan politik ini disebabkan euforia demokrasi liberal pasca reformasi yang begitu mengagungkan individu dan melupakan komunitas. Individu
MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

17

Kekeliruan Politik Multikultural Kita

Kekeliruan politik ini disebabkan euforia demokrasi liberal pasca reformasi yang begitu mengagungkan individu dan melupakan komunitas

dipandang sebagai penyandang hak legal dan moral yang memerlukan proteksi. Proteksi individu dianggap sudah barang tentu proteksi kultural. Sebab, kultur dipandang sebagai pilihan individu dan bukan sesuatu yang membenamkannya.

Absennya pengakuan adalah nihilnya proteksi yang sekaligus berarti lampu hijau bagi kekerasan terhadap minoritas. Mayoritas/minoritas di sini jangan diukur dari jumlah semata-mata, melainkan posisi meminggirkan atau terpinggirkan dalam kultur dominan. Jumlah penganut Ahmadiyah bisa dibilang besar dan mereka yang menyerang penganut Ahmadiyah (Islam fundamentalis) justru minoritas dalam kultur Islam Sunni di Indonesia. Mayoritas Islam Sunni yang tergabung dalam organisasi Nahdlatul Ulama justru bersikap moderat dalam merespon Ahmadiyah. Bertolak belakang dengan organisasi sipil seperti NU, kekeliruan politik membuat posisi negara menjadi ambigu dalam merespon kekerasan terhadap minoritas. Ambiguitas ini membuahkan dua tindakan yang sama fatalnya terhadap hidup bersama dalam kemajemukan: pembiaran (omission) dan pelanggaran (commision). Data SETARA Institute (2009) membuktikan bahwa dari 291 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, terdapat 139 pelanggaran yang melibatkan negara sebagai aktornya, baik melalui 101 tindakan aktif negara (by commission), maupun 38 tindakan pembiaran yang dilakukan oleh negara (by omission). Institusi negara yang paling banyak melakukan Bertolak belakang dengan organisasi pelanggaran adalah kepolisian (48 sipil seperti NU, kekeliruan politik tindakan), Departemen Agama (14 membuat posisi negara menjadi tindakan), Walikota (8 tindakan), ambigu dalam merespon kekerasan Bupati 6 (tindakan), dan pengadilan terhadap minoritas. Ambiguitas ini (6 tindakan). Selebihnya adalah membuahkan dua tindakan yang sama institusi-institusi dengan jumlah tindakan di bawah 6 tindakan. fatalnya terhadap hidup bersama dalam kemajemukan: pembiaran (omission) dan pelanggaran (commision)

18

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Politik Multikultural, dan Kekeliruan Pilihan Ideologis

Anti Sektarianisme
Politik multikultural berpijak pada konsep tua bernama toleransi. Toleransi sendiri adalah konsep yang bersejarah. Toleransi berakar pada sejarah politik Eropa, khususnya Belanda abad ke-16. Toleransi di Belanda pada abad tersebut dijamin oleh Union of Utrecht (1579) yang melindungi kebebasan nurani dan penyelenggaraan upacara keagamaan pribadi. Meski demikian, toleransi di sini adalah toleransi dengan pengecualian yang cukup luas. Kaum bidah dalam Protestan dan kaum Katolik tidak menikmati hak sipil dan politik sebagaimana warga negara kelas satu (anggota Dutch Reformed Church). Mereka tidak dapat menempati berbagai jabatan publik dan hanya dapat menjalankan keyakinan mereka secara sembunyi-sembunyi. Toleransi terhadap kaum bidah dalam Protestan, Katolik dan Yahudi diberikan sejauh praktik keagamaan mereka tidak bertempat di ruang publik. Union of Utrecht (1579) lambat laun mulai meluaskan cakupan toleransi dengan menjamin kebebasan nurani yang lebih umum bagi kelompok minoritas seperti Mennonites dan Yahudi. Pada abad ke-17 dan ke-18, pembatasan terhadap pembangunan Gereja publik bagi non penganut Dutch Reformed Church mulai dilonggarkan. Meski, di lain pihak, pembatasan terhadap minoritas untuk menempati jabatan publik semakin diperketat. Apa pun, Belanda di abad ke-17 dan ke-18 dianggap sebagai musim semi toleransi. Sikap toleran publik dituntut terhadap praktik keagamaan di ruang pribadi dengan syarat praktik tersebut berkaitan langsung dengan keyakinan keagamaan. Toleransi juga diberikan kepada keberatan terhadap wajib militer dengan alasan keagamaan. Di Belanda, saat itu, jika seorang menolak kewajiban legal tertentu dengan alasan keagamaan, maka hakim akan menimbang untuk memberikan semacam pengecualian legal bagi yang bersangkutan. Di Belanda abad ke-17, batas toleransi adalah ketertiban publik. Definisi gangguan terhadap ketertiban publik sendiri adalah gangguan terhadap ajaran Dutch Reformed Church, sebagai agama resmi negara. Berdasarkan itu, kaum Yahudi dan Lutheran menikmati kebebasan yang lebih luas daripada kaum Mennonites, Katolik dan Arminian. Ketiga kaum yang disebut belakangan tersebut dipandang sebagai agama alternatif yang mengancam ketertiban publik berdasarkan dominasi Dutch Reformed Church.

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

19

Kekeliruan Politik Multikultural Kita

Dalam ranah pemikiran, jenis objek toleransi yang diakomodasi pun lambat laun meluas. Cakupan toleransi secara progresif meluas dari mulai keyakinan, praktik keagamaan, kebebasan pers, keberatan berdasarkan nurani dan pembangkangan sipil. Prioritas toleransi pada keyakinan keagamaan pun mulai dipersoalkan. Gagasan filsafat dan politik pun pada akhirnya menjadi objek toleransi selain keyakinan keagamaan. Saat ini literatur-literatur kontemporer tentang toleransi sudah membuka pintu toleransi kepada semua jenis keyakinan dan aktivitas manusia. Perluasan objek toleransi pun mengundang diskusi mengenai batas toleransi. Batas toleransi pun bergeser dari gangguan terhadap ketertiban publik yang sangat lentur ditafsirkan rejim dominan. John Stuart Mill (1859) memberi sumbangan penting bagi diskusi tentang ketertiban publik. Menurut Mill, batas toleransi adalah prinsip jangan menyakiti (no harm principle). Justifikasi untuk membatasi toleransi adalah apabila sebuah keyakinan dimaterialisasi ke dalam tindak menyakiti individu konkret. Justifikasi ini bercorak eksistensial. Seorang, misalnya, tidak ditolerir ketika melakukan tindak bom bunuh diri berdasarkan (tafsir) keyakinan keagamaan yang dianutnya. Justifikasi ini menimbulkan persoalan lanjutan: apakah (tafsir) keyakinan si pelaku bom bunuh diri perlu dinyatakan sebagai ajaran terlarang? Apakah bentuk intoleransi sekadar penangkapan pada si pelaku atau juga restriksi legal pada keyakinannya? Sebagian pemikir toleransi kontemporer berkeras bahwa justifikasi lain untuk membatasi toleransi adalah toleransi itu sendiri. Berbeda dengan no harm principle yang bercorak eksistensial, justifikasi ini bercorak normatif. Kita tidak dapat menolerir keyakinan yang memusuhi toleransi itu sendiri, sebab itu berarti self-defeating argument (argumen yang menyangkal dirinya sendiri). Persoalan ini adalah persoalan Menurut Mill, batas toleransi adalah toleransi terhadap intoleran. prinsip jangan menyakiti (no harm Filsuf Richard Rorty memberi principle). Justifikasi untuk membatasi sumbangan penting pada diskusi seputar justifikasi batas toleransi. toleransi adalah apabila sebuah Rorty menolak justifikasi metafisik keyakinan dimaterialisasi ke dalam terhadap batas toleransi. Apa yang ia maksud dengan justifikasi metafisik tindak menyakiti individu konkret. adalah pendasaran toleransi pada Justifikasi ini bercorak eksistensial pondasi obyektif, a-historis dan

20

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Politik Multikultural, dan Kekeliruan Pilihan Ideologis

universal seperti ajaran karitas Kristianitas, hak asasi, atau dialektika sejarah. Justifikasi eksistensial batas toleransi adalah kekejaman (cruelty) sebagai imbas langsung intoleransi. Rorty mempersonifikasikan batas toleransi tersebut ke dalam gagasannya tentang liberal ironist. Liberal Ironist terdiri dari dua konsep: liberal dan ironist. Liberal dan Ironist adalah dua sifat yang melekat pada diri orang per orang. Orang liberal adalah dia yang berjuang melawan kekejaman dan menegakkan keadilan sosial. Orang ironist adalah dia yang mempersoalkan absolutisme keyakinan dan keinginan utama mereka. Liberal Ironist adalah dia yang berjuang melawan kekejaman dan ketidakadilan namun mengakui absennya fondasi metafisika bagi perjuangannya tersebut. Liberal Ironist tidak mencari alasan bagi kepedulian terhadap penderitaan melainkan memastikan bahwa dirinya mengenali penderitaan ketika itu terjadi (Rorty, 1993: 93). Liberal ironist dibedakan Rorty dengan dua jenis orang: liberal metaphysics dan non-liberal ironist. Liberal metaphysics adalah dia yang mempersoalkan kekejaman dan keadilan sosial dan yakin tentang adanya kosakata final (HAM) untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Liberal metaphysics percaya bahwa reduksi kekejaman akan terjadi apabila HAM diakui dan ditegakkan. Non-liberal ironist adalah dia yang peduli dengan hidup pribadi yang bermakna (otonom, relijius) namun gagap merespon kekejaman dan ketidakadilan sosial. Liberal Ironist memecah kebuntuan dua jenis orang tersebut dengan mensublasinya (menggabung sekaligus mengatasi keduanya). Gagasan Rorty mengenai liberal ironist menyampaikan pesan politik yang cukup terang. Pertama, kekejaman harus diminimalisir dan keadilan sosial mutlak ditegakkan. Kedua, pikiran yang bekerja untuk meminimalisir ketidakadilan adalah pikiran seorang liberal ironist. Ketiga, liberal ironist membelah dua jenis urusan yang kadung disatukan: urusan pribadi dan urusan publik. Urusan hidup pribadi yang bermakna bukan urusan publik yakni perjuangan melawan ketidakadilan. Pribadi yang religius tidak otomatis seorang pejuang anti kekejaman. Justru sikap orang melawan kekejaman bersumber dari ketakniscayaan atau kebisajadian pilar-pilar utama keyakinan religiusnya. Aksioma politik Rorty cukup terang: Absolutisme melahirkan intoleransi, kontigensi membuahkan toleransi. Rorty di sini mengikuti jalan pikiran justifikasi normatif terhadap batas toleransi. Tindakan kekejaman bagi Rorty semata-mata
MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

21

Kekeliruan Politik Multikultural Kita

manifestasi material dari keyakinan yang kebal gugatan. Untuk itu, musuh toleransi bukan sekadar tindak kekejaman an sich melainkan absolutisme keyakinan. Rorty memang tidak mengatakan bahwa keyakinan absolut harus dilarang demi minimalisasi kekejaman. Sebab, dalam setiap keyakinan pasti tersembunyi prinsip pertama yang tak terbantahkan. Filsafat Rorty bukan hardikan melainkan petuah terhadap orang liberal metaphysics dan non-liberal ironist untuk memeluk liberal ironist. Politik multikultural bagi Rorty adalah semacam konversi massal orang-orang sektarian menjadi liberal ironist. Sederhananya, (tafsir) keyakinan keagamaan yang mendorong kekejaman terhadap minoritas dilawan dengan tafsir alternatif yang menolak kekejaman. Rorty mengajak kita untuk tidak menolerir absolutisme/sektarianisme. Absolutisme/sektarianisme adalah batas toleransi kita yang hidup dalam masyarakat demokratis yang berkeadaban. Saya sependapat dengan Rorty mengenai absolutisme/sektarianisme sebagai batas toleransi. Namun, saya ingin menajamkan lagi batas tersebut dengan mencoba mendaftar bentuk-bentuk ekspresi absolutisme/ sektarianisme yang membahayakan keadaban publik. Saya melihat ada dua bentuk ekspresi absolutisme/sektarianisme yang perlu dicermati. Pertama, kolektivisasi keyakinan absolut/sektarian. Keyakinan tidak menjadi persoalan ketika tinggal di ruang pribadi dan tertutup. Persoalan mulai timbul ketika keyakinan tersebut diorganisir secara kolektif dan kerap melakukan kekerasan di ruang publik. Bagi saya, keyakinan bukan subjek pelarangan namun organisasi keyakinan yang mengancam keselamatan orang per orang patut dipertimbangkan untuk dibekukan. Kelompok keagamaan tertentu yang terbukti kerap melakukan kekerasan terhadap minoritas bukan subjek politik multikultural melainkan objek penegakan hukum sebagai juru selamat multikulturalisme itu sendiri. Tentu saja, relasi antara ideologi kelompok dengan tindak kekerasan yang dilakukan patut diserahkan pada diskusi publik terlebih dahulu. Yang jelas, politik multikultural bukan sekadar petuah moral atau konversi massal melainkan penegakan hukum yang berporos pada keselamatan publik. Bentuk penegakan hukum terhadap kelompok-kelompok sektarian adalah proyek mitigasi atau penanganan intoleransi.

22

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Politik Multikultural, dan Kekeliruan Pilihan Ideologis

Kedua, pidato pembangkit kebencian (hate speech) sebagai tindak ujaran. Selama ini kita jarang mengenali tindak ujaran sebagai perbuatan melawan hukum. Padahal, dampak yang ditimbulkannya tidak kalah mematikan dengan tindak fisik. Ujaran adalah tindakan. Filsuf Austin (1962) membedakan tindak ujaran ilokusionari dan perlokusionari. Tindak ujaran ilokusionari bukan sekadar mengucapkan sederet kata melainkan mengucapkannya dalam konteks, kondisi dan intensi tertentu (Searle, 1999: 24-25). Seorang pengantin pria yang mengucapkan janji di depan calon istrinya bukan sekadar mengumbar kata melainkan sedang mengikatkan diri dengan calon istri di depan penghulu. Janji serupa di tengah restoran ramai tidak bermakna apa-apa sebab situasi dan konteks tidak mendukung. Tindak ujaran ilokusionari terdiri atas menyampaikan, menanyakan, memerintahkan, menjanjikan. Seorang pemuka agama yang menyitir ayat anti minoritas pada waktu khotbah bisa dibilang tengah melakukan tindak ujaran ilokusionari. Tindak ujaran ilokusionari yang memiliki dampak nyata pada tindakan, pikiran dan keyakinan orang lain disebut sebagai tindak ujaran perlokusionari (Searle, 1999: 25). Ketika seorang berargumen, dia tengah meyakinkan orang lain. Ketika seorang meminta tolong, dia membuat orang melakukan sesuatu untuk dirinya. Ketika seorang memberi informasi, dia bisa saja tengah mencerahkan, memberi inspirasi atau menyadarkan orang lain. Si pemuka agama yang khotbahnya membuat orang membenci minoritas bisa dikatakan sudah melakukan tindak ujaran perlokusionari. Pidato pembangkit kebencian (hate speech) si pemuka agama adalah perbuatan yang berbahaya. Kategorisasi pidato pembangkit kebencian sebagai perbuatan melawan hukum adalah bentuk preventif dari politik multikultural.

Kesimpulan
Politik multikultural kita mengalami dua kekeliruan fatal. Pertama, politik multikultural gagal mengenali komunitas budaya sebagai subjek legal dan moral sehingga proteksi individu dianggap mencukupi sebagai proteksi kelompok. Padahal, perbedaan multikultural bukan hasil pilihan individu melainkan perbedaan yang tertanam secara kultural. Dijaminnya hak individu untuk berpendapat tidak otomatis menjamin hak untuk berbicara dengan bahasa lokal. Meski demikian, proteksi terhadap komunitas budaya menyimpan bahaya. Komunitas
MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

23

Kekeliruan Politik Multikultural Kita

yang tertutup, sektarian dan anti kontigensi membahayakan hidup bersama dengan tindak kekerasan terhadap the Other. Toleransi mau tidak mau harus menarik garis terhadap intoleransi. Justifikasi batas toleransi berayun dari eksistensial (menyakiti orang lain) ke normatif (membatalkan prinsip toleransi itu sendiri). Kekeliruan kedua politik multikultural kita adalah sikap abu-abu terhadap intoleransi. Rorty sudah mengingatkan betapa keyakinan yang menolak kontigensi dapat melahirkan kekerasan dan ketidakadilan. Politik multikultural kita harus mengambil sikap tegas terhadap bentuk-bentuk ekspresi intoleransi. Proteksi terhadap hak kultural dapat dikorbankan ketika hak itu dipakai untuk menghancurkan multikulturalisme itu sendiri. Proyek penyelamatan multikulturalisme bercabang dua: mitigasi dan preventif. Mitigasi dilakukan dengan membubarkan kelompok sektarian yang terbukti berulang kali melakukan kekerasan terhadap minoritas. Preventif dilakukan dengan mengkategorikan pidato pembangkit kebencian (hate speech) sebagai perbuatan melawan hukum. Politik multikultural, dengan demikian, tidak dapat dijadikan apologi bagi tindak pembiaran. Politik multikultural sejatinya adalah minimalisasi kekerasan dengan tidak menolerir yang intoleran.

24

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Politik Multikultural, dan Kekeliruan Pilihan Ideologis

Kepustakaan
Bennett, David (ed.). 1998. Multicultural States: Rethinking Difference and Identity. London: Routledge Hefner, Robert W (ed.). 2001. The Politics of Multiculturalism: Pluralism and Citizenship in Malaysia, Singapore and Indonesia. Honolulu, University of Hawaii Press L Austin, John. 1975. How to Do Things with Words. Cambridge, Harvard University Press. Parekh, Bikhu. 2000. Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory. London, MacMillan Press Rorty, Richard. 1993. Contingency, Irony, and Solidarity. Cambridge, Cambridge University Press Searle, John. 1999. Speech Acts: an Essay in the Philosophy of Language. Cambridge, Cambridge University Press Setara Institute. 2009. Negara Harus Bersikap: Tiga Tahun Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia (2007-2009) Stuart Mill, John. 1977. On Liberty Collected Works of John Stuart Mill. Toronto, University of Toronto Press Van Der Burg, Wibren. Beliefs, Persons, Practices: Beyond Tolerance. Ethical Theory and Moral Practice Vol. 1 No.2 Juni 1998, hal. 227-254

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

25

Kekerasan di Batin Kita


Radhar Panca Dahana

Bukanlah demokrasi yang memerintah di dunia ini. Fakta yang lebih baik Anda benamkan di kepala Anda: dunia ini diperintah oleh kekerasan. Tapi kupikir, hal itu lebih baik tidak dikatakan. Bob Dylan Ketika tulisan ini dibuat, dua bersaudara kandung, Korea Utara dan Selatan, untuk ke sekian kalinya tengah berhadapan dalam tensi tertinggi, siap untuk sebuah peperangan terbuka. Di balik mereka, kekuatan raksasa Amerika Serikat dan Cina pasang kuda-kuda, di belakang negara binaan mereka masing-masing, semata untuk gengsi dan kepentingan ekonomi-politik nasional mereka. Dunia pun menanti dengan cemas. Setelah bencana ekonomi, bencana teknologi, bencana alam, hingga bencana kebudayaan datang silih berganti, bencana militer (perang) dalam skala yang lebih luas pun kini menanti. Kekerasan memang belakangan ini menjadi salah satu wajah terkuat dari peradaban mutakhir yang kita jalani dan bentuk saat ini. Dan negeri kepulauan, dimana nyiur melambai, senyum bertebaran, dan tongkat kayu menjadi tanaman, ini pun tidak dapat mengelak dari citra dan fakta yang serupa. Kekerasan dalam berbagai tingkat dan dimensinya bukan lagi menjadi renda-renda berita, namun hampir menjadi rutin dari headlines media massa kita, di semua matranya.

Radhar Panca Dahana adalah Budayawan Indonesia

26

Kekerasan, Politik Multikultural, dan Kekeliruan Pilihan Ideologis

Apa yang membuat miris bahkan giris adalah realitas kekerasan negeri ini yang hampir tak terbayangkan, bahkan melampaui kemampuan imajiner seorang sastrawan, melampaui sejarah kekerasan itu sendiri, hampir tanpa preseden. Bagaimana Anda menerima kenyataan seperti yang dilakukan seorang anak lelaki, yang menusuk pinggang kemudian leher (dari depan) ibunya sendiri karena tidak mendapatkan uang yang diharapkan? Bagaimana kita menerima kenyataan seorang ibu yang memelintir leher bayinya sendiri yang baru saja ia lahirkan untuk kemudian ia larungkan di sebuah sungai yang pekat dengan segala racun? Bagaimana Anda menerima seorang ayah yang menghamili anaknya sendiri hingga hamil berulangkali? Bagaimana kita menerima kenyataan seorang ibu yang dengan sadar dan teguh menuangkan berkaleng minyak tanah ke kedua anaknya yang tengah tidur lalu membakarnya? Bagaimana? Bagaimana Anda dapat hidup, bekerja, berimajinasi, memimpikan hidup indah di masa datang, dengan kekerasan (violence) yang dibalut kekejian (cruelty), di tengah cengkeraman kebutuhan dan ancaman peradaban yang kian mencekam ini? Apakah bukan, sebenarnya, kekerasan itu tengah menghampiri Anda? Atau boleh jadi sedang tumbuh dengan perlahan di dalam hati, dalam batin kita sendiri?

Masyarakat yang Patetik


Fenomena kekerasan belakangan ini, barangkali belum pernah dialami oleh bangsa ini, setidaknya sejak masa perjuangan kemerdekaan. Kekerasan yang terjadi pada masa revolusi fisik mungkin menjadi trauma atau pengalaman heroik tersendiri. Pada masa itu dan terlegitimasi hingga saat ini seluruh elemen bangsa bukan hanya memaklumi, tapi juga menerima bahkan sebagian besar merasa sebagai sebuah kewajiban untuk mau tak mau terlibat dalam kekerasan sebuah perang. Tidak lain karena adanya sebuah alasan yang kuat dan kolektif: merebut kemerdekaan. Namun di belakangan hari ini, alasan itu seperti lenyap, kecuali kekerasan yang terjadi karena alasan-alasan yang bersifat kriminal. Banyak kekerasan terjadi hampir tanpa diiringi oleh penjelasan yang cukup rasional dari pelakunya, kecuali semacam impuls emosional atau

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

27

Kekerasan di Batin Kita

psikologis yang tidak dapat mereka kendalikan, yang memaksa dan mendorong mereka untuk melakukannya. Dalam kenyataannya memang bukanlah sang pelaku, terlebih korban, yang harus menjelaskan realitas apa di balik tindak kekerasan itu, yang mendorong kekerasan itu. Tapi para cendekiawan, dan terutama mereka yang bertanggungjawab pada keamanan dan kenyamanan sosiallah yang harus menjawabnya. Pelaku, korban, dan publik terlalu pepat oleh tekanan hidup untuk dituntut memberi argumentasi untuk tindakan-tindakan yang sebagian hanyalah efek atau ekses dari keadaan yang terlalu rumit untuk mereka mengerti. Kenyataan ini pun berlaku pada sekelompok orang yang menciptakan stempel bagi dirinya sebagai pelaku kekerasan sistemik. Entah itu yang dilakukan oleh aparat pemerintah (tentara, polisi, satpol PP, dll) maupun oleh komunitas atau organisasi-organisasi massa yang memberi topeng ideologi (bisa berbentuk agama) bagi aksi kekerasan membela kepentingankepentingan politik dan ekonomi para pemimpinnya. Semacam peristiwa terakhir, dimana kelompok yang bertameng religius menyatakan akan mengerahkan ribuan pengikutnya di bandara Tangerang hanya untuk mencegah datangnya bintang film porno, Miyabi, dari Jepang. Tindakan yang tidak mereka lakukan, saat ratusan pelacur asing masuk ke Indonesia, atau ribuan pelacur Indonesia diterbangkan ke berbagai kota juga mancanegara. Tindak kekerasan yang sporadis itu, bukan hanya dilandasi oleh nafsu publikatif dan selebratif, dimana kekerasan kemudian menjadi konsumsi hangat dan isu seksi yang mengangkat performa sebuah kelompok. Tapi sebenarnya juga lebih dilandasi oleh kenaifan sebagian besar pengikut kelompok itu akan political game dan economical impact dari tindakantindakan itu. Lebih mendasar lagi, tindakan tersebut juga dilandasi oleh ketidakmengertian mereka tentang kenapa kekerasan itu dengan mudah mereka lakukan, bahkan kadang hampir tanpa sebab rasional sama sekali, kecuali sekadar pelampiasan nafsu unjuk diri, premanisme, atau semacam dendam sosial yang samar bentuknya bagi mereka. Kesamaran bentuk itu sesungguhnya muncul dari, bisa pula menghasilkan, semacam kondisi psikologis yang patetik. Kondisi kejiwaan dimana seseorang, bisa juga secara kolektif, mengalami disorientasi dan dislokasi. Sebuah tat dimana seorang manusia tidak memahami dari mana dan mau kemana hidup dan dirinya harus melangkah; tidak memahami

28

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Politik Multikultural, dan Kekeliruan Pilihan Ideologis

realitas juga eksistensi dirinya sendiri. Karena seluruh acuan yang selama ini dapat digenggamnya telah lumer dibenturkan oleh acuan-acuan baru yang datang seperti tsunami ke ranah personalnya, menenggelamkan individuasinya. Pada gilirannya, situasi atau tat itu akan mendorong terciptanya sebuah bangsa yang juga patetik, dalam hal tertentu skizofrenik.

Empat Kondisi Penyebab


Bagaimana realitas kemanusiaan kita sampai di situasi seperti itu, antara lain, diakibatkan oleh adanya beberapa kondisi obyektif yang berlaku di negara kita belakangan ini. Beberapa kondisi itu antara lain: Pertama, kondisi ekonomi, ditandai oleh sistem dan praktik ekonomi terserah sebutan dan julukannya yang menempatkan setiap manusia dan publik awam dalam situasi persaingan yang hanya sehat, fair dan bebas dalam jargon atau retorika politik-teoritik saja. Dalam kenyataannya, persaingan itu tidaklah bebas, fair dan sehat, karena sumber-sumber utama dari ekonomi sudah lebih dulu dimiliki, didominasi dan dikangkangi secara paksa oleh segelintir orang (elit) melalui rekayasa dan manipulasi hukum dan aturan-aturan. Bahkan dapat dikatakan, ketidakadilan dan ketidakseimbangan kompetisi itu sebenarnya sudah berakar dalam premis-premis dasar dari teori dan ideologi yang melatarbelakangi sistem itu (tentu perlu kertas tersendiri untuk menjelaskan hal ini). Kondisi ini membuat setiap insan di negeri ini dalam jumlah yang mayoritas sebenarnya secara logis dan sistemik sudah disingkirkan dari usaha peraihan atau perebutan kesejahteraan. Tak ada kemungkinan kompetisi sehat, fair dan bebas, di antara pedagang dengan modal Rp 10 juta, Rp 10 milyar dan Rp 10 trilyun, bukan hanya karena perbedaan mencolok dalam kuantitas modal, tapi juga kualitas jaringan, relasional, akses infrastruktur, posisi tawar pada kebijakan dan sebagainya yang sangat timpang. Akhirnya, manusia umum memang harus mengambil posisi hanya sebagai obyek dari nafsu kapital pemilik modal besar; kemiskinan pun jadi sistemik bahkan sebagian dirasakan taken for granted. Di titik inilah tragedi itu terjadi. Sebagai produsen, manusia dilumpuhkan, namun sebagai konsumen ia dieksploatasi dengan penciptaan kebutuhan
MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

29

Kekerasan di Batin Kita

hidup yang luar biasa dahsyatnya, luar biasa menggiurkannya, sehingga ia menjadi ukuran atau acuan tetap bagi gengsi, prestise bahkan eksistensi. Konflik di luar pun menjadi konflik di dalam diri manusia, ketika kemampuan semakin tertinggal oleh kebutuhan. Frustrasi yang timbul kian mencekat dan membuat setiap manusia didesak untuk berbuat menyimpang bahkan jahat, hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang telah dikonstruksi para subyek. Kedua, kondisi sosial, belakangan ini juga ditandai oleh semacam frustrasi yang akut, ketika masyarakat mengetahui hidup ekonomis mereka sudah ditaklukan dan tereksploitasi habis-habisan, ditambah lagi harus berhadapan dengan realitas sosial yang sama sekali tidak mendukung, bahkan justru menelikung. Berbagai tatanan sosial yang secara tradisional sebenarnya tangguh bertahan selama ratusan tahun, kini perlahan remuk oleh tatanan baru yang sesungguhnya rapuh karena ia virtual dan artifisial. Hidup sosial semakian membuat manusia merasa sendiri, ketika semua orang cenderung membela kepentingannya masing-masing, dan semakin tak mampu berbuat untuk orang lain. Sementara pihak-pihak yang selama ini dapat menjadi gantungan moral atau material juga ternyata sudah menepiskan diri. Para pemimpin formal dan informal, negara dan aparatusnya malah justru memperdaya nasib dan hidup rakyat alih-alih melindungi dan berusaha mengupayakan kesejahteraan. Itulah kondisi ketiga, kondisi hukum yang ditandai oleh semakin luas dan dalamnya penyimpangan yang dilakukan justru oleh mereka yang seharusnya mengoperasikan dan menjadi keberlangsungan supremasi hukum. Para pejabat hukum berkonspirasi hanya untuk menipu kepentingan publik demi kepentingan (golongan) mereka sendiri. Atas nama hukum mereka menghisap jatah rizki masyarakat, mengooptasi sumber-sumber daya utamanya, dan mengorbankan rakyat sebagai obyek atau budak dari nafsu-nafsu dunia dan primitif mereka. Sebuah kondisi yang membuat sekoci hidup masyarakat bukan hanya terancam badai hebat tapi juga kehilangan harapan untuk diselamatkan. Pada saat yang bersamaan, kondisi politik, sebagai hal keempat menempatkan rakyat pada keputusasaan yang holistik ketika mereka mendapatkan pemerintah yang mereka pilih sendiri, ternyata lebih sibuk mengurusi ambisi permanensi kekuasaan mereka. Permainan jahat yang terjadi

30

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Politik Multikultural, dan Kekeliruan Pilihan Ideologis

di lingkaran kekuasaan membuat Permainan jahat yang terjadi di pemerintahan politik kehilangan lingkaran kekuasaan membuat kemampuan untuk melaksanakan pemerintahan politik kehilangan tanggungjawab utamanya: mengurus negara, menjamin keamanan dan kemampuan untuk melaksanakan kesejahteraan warganya. Segala bitanggungjawab utamanya: mengurus dang kehidupan terasa hambar karenegara, menjamin keamanan dan na pemerintah gagal mengurusnya, tidak berhasil menyelesaikan subkesejahteraan warganya stansi-substansi persoalan di semua bidang pemerintahan dan secara kontradiktif mereka melakukan klaim tiada habisnya pada sukses-sukses artifisial dan superfisial yang ditandai oleh angka, statistik atau parameter material yang menjemukan. Semua kondisi di atas berkelindan hampir secara ajaib dan tak terelakkan, menciptakan sebuah realitas baru yang dalam kemampuan manusia ratarata (awam) sangat sulit bahkan tidak mungkin dapat dikonstitusikan. Realitas itu hablur bersama dengan kenyataan-kenyataan virtual yang tiada hentinya disodorkan sampai di piring sarapan hingga selimut untuk kita tidur. Manusia pun tenggelam dalam mimpi dari dunia bawah sadar yang khaos, menciptakan imaji-imaji ganjil, gairah dan hasrat yang primitif dan kadang tak terkenali, dan impuls-impuls emosional hingga spiritual yang tak terkendali.

Kekerasan Menjadi Adab


Di tahap kehidupan seperti inilah, kekerasan pun mengambil peran dan bentuknya, sebagai sebuah pelampiasan dan pelarian yang paling mungkin dari frustrasi yang akut, hidup yang tak terjelaskan, dan imaji yang ganjil itu. Kekerasan sebagai sebuah bentuk ekspresi individu atau masyarakat yang patetik pun menjadi konsekuensi logis dari kerasnya hidup yang didera kebutuhan hebat dan ancaman pekat, serta akibat dari kekerasan yang dilakukan oleh negara (cq. pemerintah dan aparatusnya) yang melakukan pembiaran serta kecerobohan serta kesemberonoan dalam pelaksanaan tanggungjawabnya. Kekerasan itu juga sebuah konsekuensi tak terhindarkan kompetisi dan pertarungan yang kejam dalam ranah politik, ekonomi dan hukum, dimana kekuatan dan kekuasaan menjadi variabel utama untuk
MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

31

Kekerasan di Batin Kita

memenangkannya, menjadi pihak yang mendominasi. Pertarungan kekuasaan sebagai bentuk baru dari survival of the fittest lebih mendorong setiap pihak untuk menaklukan, mendominasi dan mengooptasi pihak lain, bukan untuk bekerjasama dan melahirkan harmoni. Sampai di tingkat terkecil, ketika kekuasaan dan kekuatan seseorang begitu minimnya, kekerasan pun dilakukan pada kerabat atau keluarga yang paling lemah: saudara, istri, bahkan anaknya sendiri. Hingga pada taraf ketika tak ada lagi pihak yang lebih lemah dari dirinya, seseorang akan melakukan kekerasan itu pada dirinya sendiri. Bunuh diri adalah salah satu pengejawantahannya. Kekerasan pun kemudian menjadi adab tersendiri, menjadi sebuah pilihan kultural yang negatif. Kebudayaan yang pada mulanya adalah sebuah perjuangan manusia untuk mencapai kemuliaannya, menciptakan kemajuan hidup yang positif, kini bergeser menjadi semacam ketakutan yang mencekam terhadap hidup itu sendiri. Kecemasan manusia, secara sosial, emosional dan spiritual yang dahulu ditujukan pada kematian, kini berbalik menjadi ketakutan akut pada kehidupan sendiri. Dan kematian bukan lagi sebuah momok atau hal yang mengerikan, bahkan cenderung menjadi sebuah jalan eskapik yang paling mungkin atau malah justru diinginkan. Tak ada jalan lain untuk keluar dari situasi ini, kecuali melakukan terapi psikologis secara habis-habisan dan massif. Bukan hanya pada tingkat personal, tapi lebih tepat secara nasional, bahkan kebudayaan itu sendiri yang harus diterapi. Dan untuk terapi semacam ini, tidak ada lagi perangkat yang lebih baik kecuali kebudayaan itu sendiri yang harus digunakan. Bila di pihak pertama adalah kebudayaan negatif maka di bagian terapinya adalah kebudayaan positif. Pertarungan kekuasaan sebagai bentuk baru dari survival of the fittest lebih mendorong setiap pihak untuk menaklukan, mendominasi dan mengooptasi pihak lain, bukan untuk bekerjasama dan melahirkan harmoni Apa yang sangat menarik dari usaha ini adalah, kebudayaan positif itu tidaklah datang dan ada di luar diri kita, di luar tanah dan air kita, yang ternyata terbukti menjadi stimulus dari semua kondisi yang menggiriskan di atas. Kebudayaan positif itu ada dalam diri kita sendiri, dalam sejarah kita, dalam alam dan

32

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Politik Multikultural, dan Kekeliruan Pilihan Ideologis

relasi-relasi yang terjadi di antaranya. Kebudayaan yang sebenarnya sudah dikreasi, dipertahankan, diwariskan dan dikembangkan selama lebih dari tiga ribu tahun di negeri ini. Kebudayaan yang kita sendiri tahu bahwa di situlah sebenarnya tempat muasal semua acuan kita. Tempat paling primodial dimana semua manusia Indonesia ingin kembali, bertaut dan menegaskan eksistensinya. Kebudayaan seperti apakah itu? Kebudayaan yang terpapar dalam bukubuku teks sekolahan atau penjelasan-penjalasan pseudo-ilmiah para peneliti luar negeri? Tentu saja bukan. Bagaimana jelasnya? Kertas ini membutuhkan lembaran yang lebih panjang lagi. Tentu saja.

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

33

Mencari Keadilan dalam Masyarakat Majemuk


Empat Model Keadilan Politis
F. Budi Hardiman

F. Budi Hardiman adalah Pengajar di STF.Driyarkara dan Universitas Pelita Harapan Jakarta.

Marilah kita bertolak dari peristiwa yang memiliki pengaruh global. Rontoknya sistem gigantis seperti Uni Soviet memicu bangkitnya sentimen-sentimen etnis dan religius yang selama itu ditindas oleh sistem gigantis itu. Etnosentrisme dan fundamentalisme agama menjadi daya sihir baru yang menggantikan komunisme. Di Eropa orang ramai bicara tentang multikulturalisme dan masyarakat paralel (Paralelgesellschaft). Saya tidak ingin mengatakan bahwa sejarah berulang di tempat lain, tetapi sulit menyangkal kenyataan bahwa robohnya sistem politik Orde Baru setelah lengsernya Suharto membawa konsekuensi serupa dengan yang terjadi di Balkan. Dulu, Orde Baru merasa berwewenang untuk mengasuh rakyatnya dalam nilai-nilai (Pancasila ala Orde Baru) dan tentu saja dengan menindas multikulturalitas. Di era reformasi peranan negara dalam sosialisasi nilai-nilai sangat melemah. Demokratisasi dan otonomi daerah malah menjadi pemicu relativisme nilai-nilai yang berujung pada tribalisme, sektarianisme dan fundamentalisme agama. Di dalam konstelasi baru ini salah satu nilai utama kehidupan bersama, yaitu keadilan, juga kehilangan daya normatifnya. Duduk perkaranya dapat dipetakan sebagai berikut: Keadilan bukanlah sekedar suatu nilai yang didefinisikan secara politis, yaitu sebagai hukum, melainkan juga suatu nilai yang diinterpretasi secara kultural oleh kelompok-kelompok etnis, religius dan ideologis dalam masyarakat. Jika sistem hukum

34

Kekerasan, Politik Multikultural, dan Kekeliruan Pilihan Ideologis

nasional lemah dan kehilangan Keadilan bukanlah sekedar suatu nilai kredibilitasnya, keadilan politis itu yang didefinisikan secara politis, yaitu tidak sanggup mengintegrasikan sebagai hukum, melainkan juga suatu berbagai tafsir keadilan yang prapolitis. Akibatnya, konsep-konsep nilai yang diinterpretasi secara kultural pra-politis tentang keadilan yang oleh kelompok-kelompok etnis, religius dianut oleh kelompok-kelompok partikular akan saling bertarung dan ideologis dalam masyarakat dan membingungkan. Voltaire pernah mengomentari perpleksitas macam itu. Apa yang disebut keadilan,demikian tulisnya,adalah juga sewenang-wenang seperti mode.1 Ambil contoh: Hukuman cambuk di suatu daerah dianggap adil, sementara di daerah lain dianggap tak adil karena bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Di lain sisi, lemahnya keadilan politis itu sendiri ikut menambah kerumitan persoalan. Misalnya, lembaga peradilan kita justru menjadi alat bagi para koruptor untuk membebaskan diri dari tuduhan. Pertanyaan kita adalah: Bagaimanakah keadilan dapat diwujudkan dalam masyarakat majemuk seperti masyarakat kita? Tidak mudah menjawab pertanyaan itu. Saya akan menjawabnya dari salah satu aspek saja, yaitu filsafat politik. Filsafat politik tidak sekedar menyentuh persoalan kebijakan, melainkan juga tatanan politis. Persoalan keadilan politis pada dasarnya adalah persoalan integritas sosial sebuah negara. Untuk menjawab duduk perkara, saya akan memodelkan hubungan antara keadilan politis dan keadilan prapolitis dengan empat model. Yang saya maksud dengan keadilan prapolitis adalah pengertian-pengertian tentang keadilan yang berasal dari berbagai kelompok agama dan kebudayaan dan yang belum menjadi hukum positif. Saya berpendapat bahwa masyarakat dapat disebut adil jika konsep keadilan politis dapat mentransformasikan berbagai konsep keadilan prapolitis dalam masyarakat itu sehingga dapat diterima oleh semua kelompok masyarakat tanpa melenyapkan perbedaan-perbedaan di antara mereka. Yang akan saya bela adalah model yang saya sebut keadilan transformasional, sebuah model yang banyak belajar dari teori diskursus (Habermas) dan dekonstruktivisme (Derrida).

Knischek, Stefan (ed.), Lebensweisheiten berhmter Philosophen, Humboldt, Mnchen, 2000, hlm. 281

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

35

Mencari Keadilan dalam Masyarakat Majemuk

Dalam filsafat politik kontemporer hubungan antara keadilan pra-politis dan keadilan politis dijelaskan dalam empat kemungkinan. Keempatnya menunjukkan bahwa keadilan tidak dapat dipahami lepas dari konteks sosial, melainkan harus dihubungkan dalam apa yang disebut Rainer Forst konteks-konteks keadilan.2 Pertama, konsep pra-politis tentang keadilan yang berasal dari kelompok mayoritas atau dari etnik dominan diterima secara politis seperti yang terjadi dalam negara Islam dan negaranegara otoriter. Kedua, berbagai konsep pra-politis tentang keadilan ditoleransi sedemikian rupa sehingga masing-masing berlaku dalam wilayahnya, sementara negara sendiri menetralisasi diri dari konsepkonsep tersebut. Keadilan politis lalu merupakan hasil toleransi itu sendiri. Ketiga, berbagai konsep pra-politis tentang keadilan itu memiliki peluang yang sama untuk menjadi politis. Keempat, berbagai konsep pra-politis itu ditransformasikan menjadi konsep politis lewat deliberasi publik. Keempat kemungkinan di atas dapat kita sebut berturut-turut konsep komunitarian, konsep liberal, konsep multikultural dan konsep transformasional tentang keadilan. Kita juga dapat menyebut keempatnya sebagai model karena perjuangan-perjuangan politis dalam masyarakat majemuk dapat dimodelkan oleh keempatnya.

1. Keadilan Komunitarian
Model pertama kita sebut keadilan komunitarian. Saya mengambil pemikiran-pemikiran komunitarianisme yang dikembangkan di USA oleh Michael Sandel, Charles Taylor dan Alasdair McIntyre sebagai titik tolak model ini. Menurut hemat saya komunitarianisme dapat memodelkan perjuangan-perjuangan politik pengakuan yang sudah lama ada di dalam masyarakat kita. Kelompok-kelompok Islam radikal berjuang keras agar konsep pra-politis mereka tentang keadilan sebagaimana terdapat dalam doktrin religius mereka dapat berlaku sebagai hukum negara dalam masyarakat majemuk. Aspirasi-aspirasi religio-politis tersebut menghendaki berdirinya sebuah negara sebagai suatu ethnos, bukan demos. Sementara demos adalah hubungan-hubungan politis yang ditentukan oleh hukum yang disepakati semua pihak, ethnos adalah hubunganhubungan primordial yang ditentukan oleh sistem kepercayaan atau nilai-nilai kultural yang sama. Keadilan dibayangkan akan terwujud, jika
2 Buku Rainer Forst, Kontexte der Gerechtigkeit, Suhrkamp, Frankfurt a.M., 1994 menunjukkan bahwa konsep keadilan tidak dapat diisolasi dari kondisi masyarakat dan asas-asas kenegaraan modern.

36

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Politik Multikultural, dan Kekeliruan Pilihan Ideologis

masyarakat tidak dimengerti sebagai Gesellschaft, yaitu masyarakat dengan otonomi individu, melainkan sebagai Gemeinschaft, yaitu komunitas yang kepadanya para individu mengidentifikasi diri. Menurut para pendukung model ini, keadilan bukanlah hasil kesepakatan politis berbagai pihak, melainkan merupakan nilai-nilai keutamaan suatu komunitas religio-kultural dominan yang diangkat ke ranah politis menjadi hukum. Keadilan politis itu lalu dianggap berciri substansial, yakni melekat pada kebudayaan atau agama dominan, dan tidak berciri prosedural, yaitu tidak merupakan hasil diskusi rasional berbagai kelompok. Keadilan politis praktis diturunkan dari pemahamanpemahaman moral religius tentang apa yang dianggap adil dan tidak adil oleh kelompok dominan dalam Lebenswelt (dunia kehidupan) kultural kelompok tersebut. Dalam masyarakat kita upaya-upaya politis untuk memberlakukan hukum syariah bergerak dalam model komunitarian ini. Merunut sejarah, keadilan komunitarian memiliki daya tarik yang besar di Indonesia. Kita boleh menyebut di sini paham Soepomo tentang negara integralistik, model negara kekeluargaan a la Orde Baru dan di masa Reformasi ini gerakan-gerakan Perda Syariah di berbagai daerah. Dapat dikatakan bahwa model ini merupakan reaksi konservatif atas modernisasi yang mengikis solidaritas sosial dan menghasilkan krisis moral agama dan relativisme nilai-nilai. Akan tetapi nostalgia tentang komunitas ideal agama yang dibawa oleh model ini malah menghasilkan kesulitan tersendiri dalam masyarakat majemuk. Intensi untuk menegakkan keadilan versi agama tertentu justru menghasilkan ketidakadilan politis, karena keadilan versi agama tertentu yang diangkat ke ranah politis oleh model ini justru akan merepresi, memarginalisasi dan mendiskriminasi kelompok-kelompok lain yang memiliki konsep-konsep keadilan menurut versi agama mereka masing-masing. Yang terjadi di sini adalah supremasi hukum agama mayoritas atas hukum negara. Ketidakadilan akibat supremasi hukum agama atas hukum negara itu dapat kita temukan dalam beberapa kasus di masyarakat kita, seperti kasus hukuman untuk siar agama Kristen,3 kasus larangan terhadap kelompok Ahmadiyah dan berbagai kasus kekerasan yang dilakukan oleh
3 Lih. Hammond, Jeff, Gereja dan Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia, dalam: Tindage, Ruddy et.al. (ed.), Gereja dan Penegakan HAM, Kanisius, Yogyakarta, 2008, h. 152 dst.

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

37

Mencari Keadilan dalam Masyarakat Majemuk

kelompok-kelompok radikal agama. Mengacu pada pemikiran Nancy Fraser, kasus-kasus diskriminasi, represi dan marginalisasi terhadap kelompok-kelompok minoritas dalam masyarakat majemuk merupakan ketidakadilan suatu pemerintahan dalam memberikan pengakuan (recognition) untuk kelompok-kelompok tersebut.4 Ketidakadilan itu terjadi karena status kelompok-kelompok itu disubordinasikan di bawah kelompok dominan.

2. Keadilan Liberal
Di dalam masyarakat kita juga sudah lama ada pemahaman tentang keadilan politis sebagai suatu konsep yang netral dari berbagai nilai religius dan kultural yang spesifik. Keadilan politis tidak diangkat dari konsep pra-politis tertentu tentang keadilan, misalnya konsep agama, melainkan berasal dari meminjam istilah Immauel Kant moral rasional (Vernunftsmoral) yang dapat diterima oleh semua kelompok. Keadilan dalam masyarakat majemuk lalu hanya dapat terwujud, jika terjadi sekularisasi, yakni pemisahan antara hukum-hukum publik dan aturanaturan moral religius berbagai kelompok dalam masyarakat. Hukumhukum publik itu merupakan norma-norma keadilan yang berciri sekular yang netral dari comprehensive religious doctrines. Sebagai sebuah negara hukum modern, negara kita adalah rumah bersama berbagai kelompok etnis dan religius di dalamnya. Karena itu, konstitusi dan hukum negara kita bersifat civil dan imparsial, yaitu tidak memihak salah satu kelompok partikular dalam masyarakat. Model yang sedang kita bicarakan ini adalah keadilan liberal yang dalam etika politik kontemporer terutama diwakili oleh John Rawls. Menurut model ini negara bukanlah suatu totalitas etis seperti dalam model komunitarian, melainkan satu totalitas politis. Apa maksudnya? Kehidupan bersama kita secara politis tidak ditentukan oleh kesamaan iman, keturunan ataupun daerah asal, melainkan dibentuk oleh sistem hukum positif yang netral dari orientasi nilai partikular etnis dan religius. Menurut model ini, keadilan politis tidak diangkat dari keadilan pra-politis dan tidak bersumber dari doktrin agama partikular, melainkan merupakan suatu aturan main yang tidak memihak satu
4 Lih. Fraser, Nancy, Recognition without Ethics?, dalam: Lash, Scott et.al. (ed.), Recognition and Difference, Sage Publications, London, 2002, h. 26

38

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Politik Multikultural, dan Kekeliruan Pilihan Ideologis

kelompok manapun. Aturan main itu sering disebut modus vivendi memungkinkan para individu menjalankan kepentingan privat mereka tanpa gangguan dari pemerintah ataupun individu-individu lain. Mereka berkoeksistensi damai sebagai individu-individu berkepentingan diri, namun tidak terintegrasi ke dalam nilai-nilai kolektif kelompok. Demi fairness untuk semua kelompok dalam masyarakat majemuk, isu-isu politis yang menjadi perhatian publik semua pihak harus dipisahkan dari isu-isu religius atau etnis yang menjadi perhatian internal atau privat kelompokkelompok dalam masyarakat. Demi fairness pula, pemerintah tidak akan mencampuri urusan-urusan kepercayaan religius, orientasi kultural ataupun kepentingan-kepentingan bisnis warganya, sejauh semua itu tidak mengganggu ketertiban umum. Model liberal juga membuat pemisahan ketat antara politik redistribusi dan politik pengakuan. Pemerintah dapat menjamin keadilan sebagai fairness untuk semua pihak hanya jika memusatkan diri pada persoalan redistribusi sosial dan tidak tergoda untuk mengadopsi politik pengakuan kelompok tertentu dalam masyarakat. Ambil contoh, desakan-desakan untuk membubarkan aliran dalam agama tertentu, seperti dalam kasus Ahmadiyah dalam masyarakat kita, merupakan bagian dari politik pengakuan. Jika mengambil konsep pra-politis tentang keadilan yang dianut oleh arus utama Islam, pemerintah akan terjebak pada sikap tidak netral, maka juga dapat bertindak tidak adil terhadap aliran itu. Keadilan liberal mengharuskan pemerintah untuk melokalisasi kasus tersebut sebagai persoalan internal agama yang bersangkutan. Regulasi di bidang identitas religius kelompok tidak tercakup dalam wewenang negara, maka negara tidak memiliki wewenang untuk melarang. Sebaliknya, negara harus menjamin keamanan warganya, termasuk warga aliran yang ditindas oleh arus utama itu. Mengapa? Karena bertindak adil di sini berarti menjamin hak-hak seluruh warganegara tanpa pandang warna kulit, iman, asal-usul dst. Kekuatan-kekuatan politis di dalam masyarakat kita sering berjalan bimbang di antara keadilan komunitarian dan keadilan liberal. Di satu pihak kuatnya primordialisme, etnosentrisme dan sektarianisme dalam birokrasi-birokrasi pemerintah kita menghalangi sikap netral terhadap warganegara. Di lain pihak konstitusi negara kita mengharuskan pemerintah untuk bersikap fair bagi semua pihak karena rakyat dalam negara demokratis adalah suatu demos dan bukan ethnos. Tegangan antara
MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

39

Mencari Keadilan dalam Masyarakat Majemuk

Permainan jahat yang terjadi di lingkaran kekuasaan membuat pemerintahan politik kehilangan kemampuan untuk melaksanakan tanggungjawab utamanya: mengurus negara, menjamin keamanan dan kesejahteraan warganya

yang aktual dan yang normatif itu justru meningkat dalam globalisasi. Proses globalisasi dan liberalisasi pasar yang diharapkan akan membuka wawasan kosmopolitan bagi masyarakat kita justru meningkatkan fundamentalisme dan etnosentrisme. Banyak perusahaan, sekolah dan unversitas kita yang mulai go global, tetapi dengan visi dan kepentingan yang sangat partikularistis. Menurut model liberal paradoks seperti ini tidak akan dapat diselesaikan selama tuntutan-tuntutan normatif kosmopolitan konstitusi negara demokratis, sebagaimana dirumuskan sebagai hak-hak asasi manusia, tidak dicoba diwujudkan ke dalam sistem hukum dan praktik politis yang netral dan menjunjung tinggi fairness untuk semua kelompok dalam masyarakat.

3. Keadilan Multikultural
Konsep multikulturalisme muncul dalam konteks masyarakat-masyarakat kompleks di Eropa dan Amerika Utara. Di dalam masyarakat-masyarakat itu, berbagai kelompok imigran membawa kebudayaan mereka masingmasing dan menuntut pengakuan akan eksistensi mereka, misalnya untuk menyelenggarakan sekolah khusus mereka sendiri dan menjalankan norma-norma agama mereka sendiri. Jadi, konteksnya adalah masuknya kultur kelompok-kelompok pendatang. Jika masyarakat kita disebut masyarakat multikultural, yang dimaksud tentu berbeda dari apa yang terjadi di Barat. Berbagai kebudayaan di Indonesia itu sudah lama ada dan bukan berasal dari kebijakan imigrasi negara kita. Mungkin istilah multietnis lebih tepat untuk kondisi kita. Meski demikian, diskusi seputar multikulturalisme di Barat dapat membantu kita untuk menjelaskan bagaimana keadilan dipahami dalam konteks pluralisme. Kita dapat mempelajari model ini dalam pemikiran-pemikiran Wil Kymlicka, Charles Taylor, Amy Gutman, dst. Jika politik pengakuan berbagai kelompok, entah etnis, religius, jender ataupun ideologis, menguat secara signifikan dalam masyarakat majemuk, kompleksitas baru itu pasti akan mengganggu netralitas negara sehingga tidak mungkin lagi mensterilkan isu-isu agama, kebudayaan dan

40

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Politik Multikultural, dan Kekeliruan Pilihan Ideologis

jender dari politik. Sebaliknya, berbagai konsep pra-politis dari berbagai kelompok etnis, religius dan jender dalam situasi itu menjadi politis. Bagaimana menjamin keadilan politis, jika berbagai kelompok kultural dan religius bersaing untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah? Sementara model liberal menjawab soal ini dengan asas netralitas dan blokade atas kebudayaan dan agama dalam ruang privat, model multikultural menjawabnya secara positif, yaitu dengan memberikan proteksi atas hak-hak kolektif kelompok-kelompok dalam masyarakat majemuk. Negara adalah semacam cooktail identitas-identitas kolektif.5 Artinya, negara tetap bersikap liberal, namun tidak hanya menjamin hakhak kosmopolitan individu, melainkan juga menjamin hak-hak kultural kelompok. Keadilan multikultural berarti memberikan hak-hak kolektif yang sama kepada semua kelompok kultural untuk memelihara dan mengungkapkan tradisi dan identitas kolektif mereka. Negara, misalnya, dapat mengakomodasi sikap-sikap eksklusif suatu kelompok kultural tertentu dalam norma perkawinan, pendidikan, dan tradisi kultural, sebagaimana liberalisme dapat mengakomodasi kepentingankepentingan diri individu yang bertentangan di dalam masyarakat. Jika untuk mempertahankan integritas sosial liberalisme mengambil strategi management of self-interests, multikulturalisme mengambil strategi management of cultural identities. Masalah terbesar yang dihadapi model ini adalah relativisme nilai-nilai. Sekalipun keadilan multikultural dapat ditegakkan para ranah politis dengan berlakunya hukum positif yang memproteksi hak-hak kolektif, pada ranah sosial akan terjadi relativisme makna keadilan. Di dalam relativisme tersebut, berbagai tradisi kultural justru mengisolasi diri secara eksklusif satu sama lain. Mosaik identitasidentitas itu harus dibayar dengan ongkos hilangnya rasa kekitaan yang lebih luas, yaitu kita sebagai warga republik yang berbagi nilai-nilai bersama. Relativisme makna keadilan itulah yang dalam kadar tertentu dialami dalam masyarakat kita sebagai krisis moral.

4. Keadilan Transformasional
Bagi kalangan intelektual di dalam masyarakat kita, ketiga model keadilan di atas cukup dikenal. Ketiganya juga sedikit banyak menjadi kerangka
5 Bdk. Gutmann, Amy (ed.), Multiculturalism, Princeton University Press, New Jersey, 1994, hlm.111

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

41

Mencari Keadilan dalam Masyarakat Majemuk

kerja para aktivis gerakan sosial dan para politikus kita. Kalaupun tidak mengenal ketiganya secara teoretis, mereka mempraktikkannya tanpa tuntunan eksplisit ketiga model itu. Banyak aktivis LSM, aktivis HAM dan bahkan aktivis keagamaan yang mengambil model liberal karena model ini diyakini membela pluralisme dan kebebasan. Sementara itu kebanyakan aktivis keagamaan dan umat beragama itu sendiri lebih condong pada model komunitarian. Para aktivis LSM yang melakukan advokasi bagi suku-suku terasing atau para aktivis kebudayaan etnis cenderung mengambil model multikultural. Itu semua adalah pilihanpilihan strategi perjuangan politis untuk keadilan politis di dalam masyarakat warga (civil society). Aneka pilihan itu menunjukkan kompleksitas masyarakat kita. Kompleksitas seperti itu juga ditunjukkan oleh negara. Pemerintahan Suharto di era Orde Baru boleh dikatakan cenderung mempraktikkan model komunitarian dengan mengangkat pandangan pra-politis keadilan etnis dominan ke ranah politis, khususnya dalam konsepnya tentang negara kekeluargaan, sementara pemerintah-pemerintah di era Reformasi, khususnya pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono, berjalan bimbang di antara model liberal dan model komunitarian. Negara mengambil keadilan liberal sebagai tuntutan praktiknya dalam bidang ekonomi sejak Orde Baru dan pers mulai era Reformasi. Namun peranan negara banyak absen dalam banyak kasus pelanggaran HAM dan perampasan kebebasan beragama yang melibatkan penggunaan kekerasan, seperti pembakaran gereja atau larangan beribadat. Absennya negara itu justru menghilangkan netralitasnya dan dengan cara itu mempraktikkan keadilan komunitarian dengan memihak kelompok dominan. Dengan otonomi daerah, khususnya otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh, negara juga mempraktikkan keadilan komunitarian. Jika kita cermati, ketiga model yang telah dibahas di atas bertolak dari asumsi yang sama. Mereka berasumsi bahwa konsep-konsep pra-politis tentang keadilan, yaitu pemahaman-pemahaman mengenai keadilan yang dimiliki oleh kelompok-kelompok religius, sosial dan kultural

42

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Politik Multikultural, dan Kekeliruan Pilihan Ideologis

dalam masyarakat kita merupakan esensi-esensi dan bahkan substansisubstansi yang tidak dapat ditransformasikan. Komunitarianisme mengambil strategi untuk kembali ke esensi itu, liberalisme menetralisasi diri dari esensi itu, dan multikulturalisme memproteksi esensi itu. Dalam kenyataan, pandangan pra-politis dan kultural suatu kelompok dapat berubah sesuai zaman, maka tidak dapat diandaikan sebagai esensi yang tidak dapat berubah. Dulu, dalam masyarakat feodal, norma-norma diskriminatif yang mengatur para budak dan kaum perempuan dianggap adil, tetapi konsep pra-politis dan kultural feodal seperti itu dapat dikritik dan ditransformasikan lewat gerakan-gerakan emansipatoris yang kritis. Dewasa ini kiranya tidak seorangpun akan beranggapan bahwa perbudakan dan diskriminasi atas perempuan itu adil. Argumen serupa dapat dikenakan pada hukuman rajam yang dilakukan di Aceh dan negara-negara Islam. Konsep keadilan religius yang mendasari praktik hukum rajam itu bukanlah esensi yang tidak dapat diubah. Di sini saya mengusulkan model keempat yang lebih cocok untuk masyarakat majemuk di dunia ketiga yang sedang terglobalisasi seperti masyarakat kita. Embrio model ini telah ada di dalam dua tulisan saya yang terdahulu yang mencoba mengeksplorasi teori diskursus (Jrgen Habermas) dan dekonstruktivisme (Jacques Derrida)6. Saya melihat kemungkinan untuk mendialogkan kedua pemikiran politis itu dalam sebuah model yang dapat kita sebut model keadilan transformasional. Berbeda dari tiga model di atas, model ini bertolak dari kenyataan demokrasi dalam masyarakat majemuk bahwa pandangan pra-politis tentang keadilan dapat dan harus ditransformasikan. Pertanyaannya lalu adalah: Ditransformasikan ke mana?7 Jawaban teori diskursus adalah ke arah simetri sosial. Para warganegara tidak peduli dari kelompok etnis atau religius mana berdiri setara dalam proses komunikasi publik untuk mengambil keputusan publik. Itulah keadilan sebagai kesamaan sosial.
6 7 Lih. Hardiman, F. Budi, Demokrasi Deliberatif, Kanisius, Yogyakarta, 2009; dan Hardiman, F. Budi, Filsafat Fragmentaris, bab 6, Kanisius, Yogyakarta, 2007. Di sini saya mengacu pada studi komparatif atas politik emansipasi dan politik dekonstruksi yang telah dilaporkan dalam Hardiman, F. Budi, Filsafat Fragmentaris, bab 6, Kanisius, Yogyakarta, 2007.

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

43

Mencari Keadilan dalam Masyarakat Majemuk

karena keadilan mengarah pada klaim universal akan kesamaan sosial yang dapat dikalkulasi secara rasional, keadilan harus juga merupakan tindakan yang tepat terhadap kekhasan dan keberlainan individu-individu

Jawaban dekonstruktivisme adalah ke arah asimetri absolut. Keadilan adalah suatu keprihatinan dan tanggungjawab tak terbatas untuk mendengarkan yang lain (lautri) dalam keberlainannya. Itulah keadilan sebagai ketidaksamaan mutlak. Bagaimana mendialogkan kedua jawaban yang saling bertolak belakang ini?

Pertama-tama perlu ditegaskan bahwa justru karena keadilan mengarah pada klaim universal akan kesamaan sosial yang dapat dikalkulasi secara rasional, keadilan harus juga merupakan tindakan yang tepat terhadap kekhasan dan keberlainan individu-individu. Dalam arti ini keadilan transformasional adalah suatu upaya untuk memenuhi tuntutan kesamaan sekaligus satu sikap yang tepat terhadap kemajemukan caracara hidup di dalam masyarakat dewasa ini. Setuju dengan model liberal, model ini juga tidak melekatkan keadilan politis pada pemahamanpemahaman pra-politis yang berasal dari kelompok agama ataupun etnis. Keadilan politis adalah persetujuan semua pihak. Akan tetapi sementara keadilan liberal sejak awal menyingkirkan aspirasi-aspirasi kelompok etnis dan religius dari keadilan politis yang dimengerti sebagai fairness, keadilan transformasional justru mengambil mereka sebagai titik tolak proses komunikasi publik. Sejalan dengan Nancy Fraser, model ini memandang bahwa semua kelompok sosial, etnis atau religius memiliki status yang setara dan hak komunikasi yang sama dalam demokrasi.8 Mereka punya hak yang sama untuk membicarakan, mempersoalkan, memeriksa, menguji atau membela konsep-konsep pra-politis mereka tentang keadilan, sekalipun konsep-konsep itu cenderung eksklusif dari sistem hukum modern,
8 Bdk. Fraser, Nancy, op.cit. , hlm. 26

44

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Politik Multikultural, dan Kekeliruan Pilihan Ideologis

seperti misalnya sistem kasta, hukuman rajam, segregasi jender, sunat perempuan, dst. Jadi, model ini tidak akan tergesa-gesa memberi proteksi hak-hak kolektif atas kelompok-kelompok yang cenderung eksklusif itu, seperti pada model multikultralisme, melainkan mendorong komunikasi, karena bagi model ini hak-hak komunikasi mendapat prioritas atas hakhak kolektif atas identitas kultural. Dalam proses penentuan kebijakan publik, model transformasional menuntut para partisipan dari kelompok-kelompok yang berbeda-beda itu untuk mengatasi perspektif etnosentris mereka justru karena mereka adalah warga dari res publica yang sama. Dengan jalan itu kebijakan publik yang diambil mencerminkan keadilan untuk semua pihak. Keadilan sebagai simetri sosial terlaksana dalam distribusi hak-hak komunikasi semua pihak secara sama, sementara keadilan sebagai asimetri absolut terlaksana dalam upaya untuk memahami dan mendengarkan yang lain dalam keberlainannya, yaitu dalam hal ini kelompok-kelompok dengan konsep pra-politis khas yang eksklusif dari sistem hukum modern. Lewat diskursus publik yang rasional itu, berbagai kelompok akan melihat norma-norma atau konsep-konsep pra-politis yang eksklusif itu dalam horizon hak-hak asasi manusia dan akan mencoba mempersoalkan kesahihannya sebagai hukum publik yang berlaku untuk semua. Dengan pengujian diskursif semacam itu, konsep-konsep pra-politis tentang keadilan ditransformasikan sebelum berlaku sebagai keadilan politis yang mengikat semua pihak. Dalam arti ini, keadilan transformasional meletakkan konsep keadilan politis tidak di masa lalu, seperti pada esensialisme keadilan komunitarian, juga tidak terhenti di masa kini, seperti pada keadilan cocktail a la multikulturalisme, melainkan di masa depan sebagai hasil proses deliberasi. Apakah maksud pernyataan bahwa keadilan politis diletakkan di masa depan? Saya ingin menjawab pertanyaan ini dengan mengacu pada teori diskursus dan dekonsruktivisme. Pertama, mengacu pada Derrida, keadilan bukanlah sebuah mesin kepastian yang bisa ditetapkan lebih dahulu, karena jika demikian, mesin keadilan itu justru akan
MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

45

Mencari Keadilan dalam Masyarakat Majemuk

menghasilkan ketidakadilan. Para pelaksana keadilan juga bukan robotrobot keadilan yang bertindak menurut sistem mekanis yang serba pasti, melainkan manusia-manusia dengan kebebasan suara hati. Seperti dikatakan Derrida, keadilan adalah pengalaman akan yang tidak mungkin.9 Maksudnya, keadilan terlaksana justru jika suatu tindakan tidak hanya sekedar mengikuti sistem aturan; keadilan menuntut kita untuk melakukan interpretasi atas aturan, seolah-olah kita adalah penemu aturan yang baru. Dalam arti ini keadilan transformasional membuka ruang pembaruan, dan setiap pembaruan mengguncang kepastian dan kalkulasi. Gerakan fundamentalis agama melancarkan strategi politisasi norma-norma agama mayoritas dengan maksud untuk mengatasi relativisme dan menghasilkan sistem kepastian, namun sistem kepastian religius yang dihasilkan akan menindas minoritas dan kelompokkelompok dengan pandangan berbeda di dalam gerakan itu sendiri, maka tidak adil. Locus keadilan politis bukanlah pada norma-norma agama mayoritas dan juga bukan pada kelompok-kelompok minoritas. Keadilan politis adalah suatu idea belum selesai yang dituju bersama baik oleh kelompok mayoritas maupun kelompok minoritas. Di dalam situasi dominasi kelompok mayoritas, keadilan (sebagai asimetri absolut) bahkan harus ditemukan dengan mendengarkan suara minoritas. Kedua, ketidakselesaian idea keadilan politis ini justru mendorong kelompok-kelompok sosial, etnis dan religius dalam masyarakat majemuk untuk melampaui konsep-konsep pra-politis mereka tentang keadilan. Di hadapan fakta pluralitas agama dan etnisitas, tidak satu kelompokpun boleh mengatakan bahwa norma-norma agama atau kulturalnya sudah adil. Fakta pluralitas mengharuskan setiap agama melihat dirinya melalui mata pihak lain. Adalah tuntutan demokrasi bahwa berbagai kelompok dalam masyarakat majemuk berupaya keras untuk mencapai saling pengertian. Seperti dikatakan Habermas, dalam diskursus rasional kelompok-kelompok yang cenderung keras kepala harus merelatifkan pandangan-pandangannya untuk mentransformasikan norma-norma
9 Lih. Derrida, Jacques, Gesetzkraft, STW, Frankfurt a.M., 1996, hlm. 33

46

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Politik Multikultural, dan Kekeliruan Pilihan Ideologis

komunitarian ekslusif mereka ke arah meminjam istilah Kohlberg keadilan pasca konvensional, yakni keadilan politis yang melampaui kelompok-kelompok partikular atau hak-hak asasi manusia. Keadilan politis, yaitu aturan-aturan politis yang dapat disepakati semua pihak, berciri transformasional, bila lewat aturan-aturan itu tidak hanya terjadi pengurangan represi, diskriminasi dan marginalisasi, melainkan juga penghapusan kekejaman dalam masyarakat. Dengan mengatakan bahwa keadilan politis itu pasca konvensional, model transformasional tidak bermaksud menyingkirkan peranan agama dan kebudayaan dalam memberi kontribusi atas konsep keadilan politis. Bagaimanapun keadilan politis merupakan sebuah pulau kecil di tengah-tengah lautan konsep-konsep pra-politis tentang keadilan. Pulau kecil ini hanya akan berarti bagi keseluruhan jika diterima oleh semua pihak. Untuk itu, keadilan politis dalam model transformasional harus merupakan interseksi visi rasional berbagai agama dan kebudayaan yang dapat diterima secara universal. Di dalam filsafat politik visi rasional itu tidak lain daripada hak-hak asasi manusia. Fakta bahwa di beberapa tempat masih berlaku keadilan-keadilan pra-politis yang bertentangan dengan hak-hak asasi manusia sering dinilai sebagai penolakan agama atau kebudayaan terhadap hak-hak asasi manusia. Pada hemat saya kita harus berhenti dengan anggapan seperti itu. Ada dua aspek dalam tradisi agama dan kebudayaan, yaitu aspek negatif yang bertentangan dengan hak-hak asasi manusia dan aspek afirmatif yang justru menjadi sumber normatif hak-hak asasi manusia. Yang terjadi sebenarnya adalah rezim-rezim politis tertentu membuat seleksi atas tradisi agama atau kebudayaan mereka untuk kepentingan kekuasaan mereka, dan yang sesuai untuk kepentingan mereka adalah aspek negatif agama atau kebudayaan yang berlawanan dengan hak-hak asasi manusia. Contoh-contoh tentang seleksi tersebut kita kenal bersama pada pemakaian feodalisme Jawa dalam rezim Suharto, pada pemakaian ekstremisme Islam dalam rezim Taliban, pada nilai-nilai Konfusian di Singapura, dst. Kita tahu bahwa kultur Jawa juga memuat konsep
MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

47

Mencari Keadilan dalam Masyarakat Majemuk

perlawanan atas kesewenangan dan harapan akan keadilan, seperti pada mitos Satria Piningit, Islam memuat banyak sekali ajaran tentang hak, keadilan dan kesamaan manusia, dan Kofusianisme juga memuat tilikantilikan moral untuk melindungi hak seseorang, namun rezim-rezim otoriter membendung studi dan diskusi tentang aspek-aspek afirmatif tersebut, tentu karena akan membahayakan kekuasaan mereka. Maka itu, keadilan politis berciri transformasional dalam dua arti. Pertama, transformasi itu menyangkut proses-proses demokratis untuk mematahkan aspek negatif tradisi-tradisi religius dan kultural yang rentan dipakai sebagai instrumen politis rezim-rezim kekuasaan. Kedua, transformasi juga berarti revitalisasi aspek afirmatif tradisi-tradisi tersebut justru untuk mendorong proses demokratisasi hukum. Kita mempunyai cukup contoh untuk pokok kedua ini. Revitalisasi aspek-aspek afirmatif tradisi religius dan kultural ini tampak dalam gerakan hak-hak warga yang dipimpin oleh pendeta Martin Luther King Jr. di USA, gerakan antiapatheid dari Nelson Mandela di Afrika Selatan, gerakan Satyagraha dari Mahatma Gandhi di India dan gerakan Islam moderat yang dirintis oleh Gus Dur di Indonesia. Di dalam kedua arti ini keadilan transformasional lebih daripada ketiga model di atas tidak meletakkan keadilan politis di dalam tradisi religius dan kultural, seperti pada model komunitarian atau multikultural, dan juga tidak di luar tradisi itu dalam sistem hukum positif yang netral dari tradisi relgius-kultural, seperti pada model liberal. Keadilan diletakkan di sebuah ruang hermeneutis di antara tradisi religius-kultural dan sistem hukum positif. Di dalam ruang itulah keadilan politis ditafsirkan secara demokratis untuk mendekati rasa keadilan dalam masyarakat majemuk. Kita tahu bahwa untuk itu dibutuhkan waktu dan tenggang-rasa terhadap perbedaan, dan seperti dikatakan Marcus Aurelius, tenggang-rasa adalah bagian dari keadilan.10

10

Knischek, Stefan, op.cit. hlm. 280

48

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Politik Multikultural, dan Kekeliruan Pilihan Ideologis

Bibliografi
Derrida, Jacques, Gesetzkraft, STW, Frankfurt a.M., 1996 Fraser, Nancy, Recognition without Ethics?, dalam: Lash, Scott et.al. (ed.), Recognition and Difference, Sage Publications, London, 2002 Gutmann, Amy (ed.), Multiculturalism, Princeton University Press, New Jersey, 1994 Hardiman, F. Budi, Demokrasi Deliberatif, Kanisius, Yogyakarta, 2009. Rainer Forst, Kontexte der Gerechtigkeit, Suhrkamp, Frankfurt a.M., 1994 Tindage Ruddy et.al. (ed.), Gereja dan Penegakan HAM, Kanisius, Yogyakarta, 2008

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

49

Anatomi Perilaku Kekerasan: Perspektif Neuroscience


Ratna Megawangi

Ratna Megawangi adalah Pendiri Indonesia Heritage Foundation

Berita mengenai perilaku kekerasan dan konflik tampaknya sudah menjadi hal yang biasa terdengar di negeri ini. Pemicu kasus kekerasan ini meliputi segala bidang kehidupan; berdasarkan agama (contohnya kasus HKPB di Bekasi dan pembakaran masjid Ahmadiyah baru-baru ini), karena alasan suku atau etnis (seperti konflik di Tarakan, Kaltim), alasan kelompok atau golongan lainnya baik dalam bentuk partai, antar klub sepak bola, antar sekolah, universitas, bahkan antar fakultas (dalam bentuk tawuran remaja/mahasiswa, atau warga antar kampung). Lebih banyak lagi terjadi adalah bentuk kekerasan yang dilakukan di dalam rumah tangga (KDRT), baik yang dilakukan oleh suami kepada isteri dan anak-anaknya, isteri terhadap pembantu atau anak-anaknya, suami membunuh isteri, atau bahkan isteri yang membunuh suami (misalnya kasus mutilasi yang dilakukan oleh Maryati yang memotong tubuh suaminya sampai 10 bagian karena alasan cemburu).1 Pembahasan masalah kekerasan bisa diterangkan dalam berbagai perspektif (sosiologis, ekonomi, politik, media, dan sebagainya). Namun pembahasan dalam perspektif neuroscience masih belum banyak dilakukan. Tulisan ini mencoba membahas mengapa manusia bisa mempunyai kapasitas untuk melalukan kekerasan, dan mengapa banyak
1 Media Indonesia (2010). Mutilasi di Kramatjati Dilakukan Istri Korban. Media Indonesia 10 Oktober 2010.

50

Kekerasan, Politik Multikultural, dan Kekeliruan Pilihan Ideologis

pula manusia yang tidak memiliki kapasitas tersebut dengan memakai sudut pandang ilmu neurosains. Karena setiap perilaku manusia, apakah itu bentuk empati atau cinta, benci atau dendam, adalah berawal dari apa yang terjadi di dalam benak setiap diri manusia.

Tumpulnya Rasa Empati: Berakar dari Otak Limbik


Mungkin kita bertanya mengapa manusia bisa begitu brutal; di mana rasa empati mereka terhadap penderitaan orang-orang yang telah disakitinya? Apakah ada terbesit rasa bersalah di hati mereka? Dalam sejarah kita mencatat banyak pemimpin yang tangannya berlumuran darah. Termasuk juga mengapa banyak orang yang mau memberikan dukungan, atau membenarkan tindakan brutal, walaupun tidak terlibat secara langsung, tanpa mempertanyakan, bagaimana kalau itu terjadi pada diri saya atau keluarga saya?. Apabila kita melihat film Hitler: The Rise of Evil, mungkin kita bisa terheran-heran, mengapa Hitler yang mengobarkan api kebencian dan melakukan pembunuhan massal, oleh sebagian rakyat Jerman saat itu selalu disambut meriah dengan salut (tangan kanan diangkat) dan teriakan Hail Hitler (puja-puji bagi Hitler). Hal yang sama terlihat pada para teroris yang tidak mempunyai rasa empati atas banyaknya manusia yang mati sia-sia karena tindakannya. Kasus pemboman Bali, kasus 9/11 di World Trade Center, dan lain-lain, menunjukan bahwa alangkah tumpulnya nurani manusia. Tumpulnya rasa empati sering tidak disadari oleh banyak orang, walaupun mereka merasa dirinya orang-orang baik dan terhormat. Kita mungkin masih ingat ketika Presiden Bush berpidato pada saat konvensi partai Republik tanggal 2 September 2004, yang dapat tersenyum bangga melihat bagaimana para pendukungnya dengan histeris mengelu-elukannya, serta memberikan persetujuan penuh atas penyerangan terhadap Afganistan dan Irak. Kala itu penulis sempat menghitung selama Bush berpidato yang kurang dari 2 jam, kira-kira 100 kali applause terdengar. Padahal puluhan ribu rakyat sipil Afganistan dan Irak telah tewas dengan mengenaskan karena gempuran cluster bom Amerika (sekarang bahkan terbukti dengan bocornya dokumen perang di Wikileaks bahwa begitu banyaknya rakyat

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

51

Anatomi Perilaku Kekerasan: Perspektif Neuroscience

sipil yang tidak berdosa mati terbunuh).2 Sungguh luar biasa bagaimana melihat pendukung Bush menyambut setiap kata yang diucapkannya dengan teriakan histeris dan tepukan tangan meriah. Padahal Bush tahu betul bahwa semua alasan untuk menyerang Irak adalah kebohongan; tidak ada kaitan Irak dengan peristiwa 9/11, tidak ada senjata pemusnah massal, dan tidak ada hubungan antara Saddam Hussein dengan jaringan Al-Qaeda. Melihat kebrutalan dan tumpulnya nurani manusia dari rasa iba dan rasa berasalah itu, telah membuat sebagian orang percaya bahwa sifat manusia secara alami memang buas, seperti apa yang dikatakan Thomas Hobbes, homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya). Sifat manusia ini tampaknya universal, yaitu lintas suku, negara, ideologi, dan agama. Yang jadi masalah adalah setiap kelompok selalu mengaku bahwa hanya kelompok atau dirinya sajalah yang suci, seperti kata Freda Utley (1949), So we have gone far toward the adoption of the Nazi theory of racial differences, and have ourselves assumed the position of a superior or master race.3 Inilah mungkin yang menyebabkan setiap kelompok, entah itu berdasarkan ras, agama, atau negara, merasa mendapatkan legitimasi untuk membasmi kejahatan, seperti halnya kita tidak pernah merasa bersalah kalau kita membasmi nyamuk atau kecoa. Padahal kita tahu bahwa manusia yang mempunyai rasa empati tinggi, tidak akan tega melakukan kekerasan atau menyakiti orang lain. Banyak pakar yang mendifinisikan empati, dan semuanya sepakat bahwa empati adalah kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, sehingga seseorang tidak mau melakukan sesuatu yang membuat orang lain menderita, dan ada rasa keinginan untuk membantu mereka yang menderita.4 Ternyata kemampuan seseorang untuk berempati sangat tergantung dari aktivitas limbik (otak emosi) yang melibatkan bagian thalamus. Hasil fMRI (functional Magnetic Resonance Imaging) menunjukan bahwa orang yang mempunyai emosi empati yang tinggi menunjukan aktivitas yang tinggi di bagian otak tersebut, termasuk otak bagian korteks.5 Alice
2 3 4 5 Spiegel (2010). WikiLeaks logs may reveal war crimes. North, Gary (2004). Cannibals on the Verbal Attack. http://www.lewrockwell.com/north/north295.html http://en.wikipedia.org/wiki/Empathy Nummenmaa L, Hirvonen J, Parkkola R, Hietanen JK (2008). Is emotional contagion special? An fMRI study on neural systems for affective and cognitive empathy. Neuroimage. 2008 Nov 15;43(3):571-80. Epub 2008 Aug 26

52

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Politik Multikultural, dan Kekeliruan Pilihan Ideologis

Miller, dalam bukunya yang klasik, For Your Own Good, menceritakan kisah-kisah para kriminal (termasuk Hitler dan para pendukungnya), dan melihat bagaimana pola asuh mereka ketika kecil.6 Ternyata pengalaman masa kecil yang penuh kekerasan, atau kurangnya kasih sayang ketika anak dibesarkan, dapat membuat manusia menjadi kriminal atau senang dengan perilaku konflik dan kekerasan. Para bayi usia dibawah 2 tahun seharusnya sudah mempunyai kapasitas empati ini.7 Ketika bayi lahir, otaknya belum berkembang sempurna, dan lingkungan pengasuhan sangat berperan terhadap perkembangan otak selanjutnya. Ternyata cinta dan kasih sayang yang diberikan pada bayi dari orangtuanya akan menentukan apakah seorang bayi bisa berkembang dengan kapasitas empati yang tinggi atau tidak.8 Banyak hasil studi yang membuktikan bahwa anak-anak yang ketika kecilnya gagal membentuk bonding atau tidak mempunyai kelekatan emosi dengan orangtuanya (attachment disorder), akan berkembang menjadi pribadi yang pemarah, impulsif, agresif, bahkan menjadi kriminal (lihat www. attachmentdisorder.net). Oleh karena itu, kapasitas manusia untuk mempunyai rasa empati sangat tergantung bagaimana seseorang dididik dan dibesarkan oleh lingkungannya. Apabila sebuah masyarakat yang diwarnai oleh kekerasan (yang telah membudaya, termasuk budaya pengasuhan anak yang kurang kasih sayang), maka proses pembentukan rasa empati di bagian otak limbik (thalamus) akan terhambat, dan dapat menumpulkan rasa empati manusia, sehingga kehidupan masyarakat akan diwarnai oleh kapasitas manusia untuk mempunyai konflik dan kekerasan. Manusia yang rasa empati sangat tergantung senang dengan perilaku kekerasan tentunya memerlukan legitimasi bagaimana seseorang dididik dan untuk membenarkan tindakannya, dibesarkan oleh lingkungannya dan biasanya dikaitkan dengan kebenaran atau kesucian suatu kelompok.
6 7 8 Miller, Alice. !983. For Your Own Good: Hidden Cruelty in Child-rearing and the Roots of Violence. Farrar Straus Giroux, 1983. Hoffman, M.L. (2000). Empathy and Moral Development. Cambridge: Cambridge University Press. Eliot, Lise (199). Whats Going on in There? How the Brain and Mind Develop in the First Five Years of Bantam Books, 1999.

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

53

Anatomi Perilaku Kekerasan: Perspektif Neuroscience

Otak Reptil yang Dominan


Dalam Al-Quran pun dikatakan bahwa perilaku manusia bisa seperti hewan, bahkan lebih buruk lagi9. Manusia memang bisa berperilaku seperti hewan, karena secara biologis manusia mempunyai batang otak (brain stem) seperti halnya hewan, sehingga bagian otak ini sering disebut juga otak reptil. Perilaku hewani sangat ditentukan oleh pengaruh bagian otak ini. Sebuah riset otak yang dilakukan oleh Dr. Bruce D. Perry menunjukkan bahwa para kriminal yang ketika kecilnya mendapatkan pengalaman traumatis yang berat (dibesarkan dengan penuh kekerasan), ternyata mempunyai batang otak (brain stem dan midbrain) dominan, sehingga cenderung gemar melakukan kekerasan. Sebaliknya, fungsi bagian otak limbik (emosi/cinta) dan korteks (berpikir) mereka tidak berkembang optimal, bahkan mengecil. Sedangkan manusia yang bijak adalah mereka yang dapat menggunakan akalnya dengan baik serta mempunyai empati atau rasa cinta yang tinggi, yang ditunjukan oleh fungsi otak korteks dan limbik yang dominan.10 Perkembangan keempat bagian otak ini ternyata sangat dipengaruhi oleh lingkungan pengasuhan sejak kecil, yaitu apakah seorang anak kurang diberikan kasih sayang, rasa aman, dan stimulasi (neglect), atau banyak diberikan ancaman, makian dan pukulan (trauma). Seorang anak yang mengalami neglect dan trauma, bagian otak reptilnya cenderung lebih banyak berperan, seperti halnya hewan yang cenderung dalam keadaan siaga; menyerang, bertahan, atau lari. Sedangkan bagian limbik dan korteksnya menjadi kurang berfungsi, sehingga bagian otak korteksnya menjadi tidak berkembang secara optimal. Orang tersebut akan berkembang menjadi pribadi yang violence, atau menderita affective blindness, yaitu sulit untuk berempati dan bersimpati pada penderitaan orang lain. Hasil penemuan Dr. Perry menunjukkan bahwa manusia yang agresif, impulsive, atau violent, mempunyai lapisan korteks yang lebih tipis dibandingkan manusia yang jiwanya sehat, termasuk juga bagian otak reptilnya yang lebih tebal.

9 10

Lih. Al-Quran S. 25: 44. Child Welfare Information Gateway (2001). The Effects of Maltreatment on Children. http://www.lostlibertycafe. com/index.php/2009/02/09/the-effects-of-maltreatment/

54

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Politik Multikultural, dan Kekeliruan Pilihan Ideologis

Sebaliknya, seorang anak yang mendapatkan kasih sayang maka fungsi otak limbiknya berkembang dengan optimal, dan emosi yang positif ini akan merangsang keluarnya hormon yang dapat merangsang bekerjanya zat-zat neurotrasmiter antar sel, sehingga otak korteks (berpikir) dapat berkembang secara optimal. Selain itu, apabila seorang anak mendapatkan pendidikan yang dapat menghidupkan rasa empati dengan latihan dan praktek nyata, maka ini akan meningkatkan fungsi luhur anak tersebut. Selain neglect dan trauma, pengaruh alkohol juga berperan dalam mematikan sel-sel bagian otak korteks dan limbik secara permanen, sehingga dapat mempengaruhi fungsi luhur para pencandu alkohol. Menurut Perry, perkembangan otak yang normal pun dapat dirusak oleh penggunaan alkohol yang terus menerus.

Pentingnya Pengasuhan yang Ramah Otak


Berhubung yang melakukan kekerasan adalah para individu manusia, yaitu bersumber dari otak manusia, maka penghapusan tindakan kekerasan harus dimulai dari bagaimana menciptakan lingkungan yang kondusif bagi para individu sejak kecil untuk dapat berkembang secara optimal dan menjadi manusia yang sebenarnya, bukan manusia yang berperilaku seperti hewan, atau homo homini lupus. Tanpa kita semua menyadari pentingnya untuk melakukan transformasi budaya kekerasan, tanpa kita mengakhiri praktek-praktek parenting (pengasuhan dalam keluarga) yang negatif, tanpa kita mengadakan perubahan pada metode pendidikan di sekolah yang tidak patut (mengancam, membebani, dan meneror siswa), tanpa kita melakukan pengubahan pengajaran agama menjadi lebih inklusif, maka tindakan kekerasan tidak akan pernah berkurang di muka bumi ini. Kebetulan penulis banyak berkecimpung di dalam pendidikan karakter dan memberikan training kepada orangtua dan guru untuk menerapkan metode pengasuhan yang ramah otak (brain-based parenting), dan bagaimana menciptakan sekolah menjadi tempat yang penuh kasih sayang untuk mencegah dominannya fungsi otak reptil. Banyak orangtua dan guru yang merasa bersalah ketika mereka mengetahui betapa sebuah bentakan, kata-kata yang menyakiti, bahkan tatapan mata yang tidak

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

55

Anatomi Perilaku Kekerasan: Perspektif Neuroscience

bersahabat dapat mempengaruhi pembentukan struktur otak manusia. Beberapa buku dan modul telah kami terbitkan untuk para orangtua dan guru yang tujuannya adalah untuk menciptakan masyarakat yang penih kasih sayang, bebas dari kekerasan dan konflik.11

11

Diantaranya (dapat diperoleh di IHF 021-8712022 www.ihf-sbb.org) : 1. Megawangi, dkk (2010). Membangun Karakter Anak Melalui Brain-based Parenting (Pola Asuh Ramah Otak. Indonesia Heritage Foundation. 2. Megawangi, dkk (2010). Neuroscience for Kids: Pengendalian Emosi Anak. Indonesia Heritage Foundation. 3. Megawangi, dkk (2010). Sekolah Berbahaya bagi Perkembangan Karakter Anak? Solusi Untuk Mempersiapkan Sekolah Untuk Menjalankan Pendidikan Karakter. Indonesia Heritage Foundation. 4. Megawangi, dkk (2010). Kiat Mengatasi Trauma Anak Untuk Membangun Karakter. Indonesia Heritage Foundation. 5. Megawangi, dkk (2010). Narkoba Terselubung: Video Game Kekerasan, Penghambat Perkembangan Karakter Anak. Indonesia Heritage Foundation. 6. Megawangi, dkk (2010). Stop Kekerasan pada Anak. Indonesia Heritage Foundation.

56

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Sejarah Kekerasan dan Kekerasan Sejarah


Asvi Warman Adam

Sejarah Kekerasan
Menurut Profesor Henk Schulte Nordholt, dalam sejarah Indonesia, intensitas kekerasan meningkat pada masa peralihan kekuasaan, ketika negara memperkuat kekuasaan, juga pada masa ekonomi sedang suram. Hal itulah yang terjadi dari awal sampai akhir Orde Baru. Akar kekerasan itu dapat dilacak pada masa kolonial. Bila buku pelajaran sejarah di Indonesia menggambarkan awal abad XX sebagai masa pelaksanaan politik etis di Nusantara, sebetulnya pada saat bersamaan juga berlangsung ekspedisi militer secara berturut-turut ke Aceh, Lombok, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan, Borneo, Aceh, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan, Seram, Flores, Timor, Bali dan kembali ke Aceh. Sekitar 75 000 atau 15 % dari jumlah penduduk Aceh telah terbunuh oleh pasukan kolonial Belanda. Setelah Indonesia merdeka, terjadi berbagai pemberontakan di tanah air yang memakan korban tidak sedikit, walaupun akhirnya cepat atau lambat dapat dipadamkan. Tidak demikian halnya dengan percobaan kudeta Gerakan 30 September 1965 yang mengawali konflik terpanjang setelah Indonesia merdeka. Tahun itu seakan tak pernah berakhir. Meskipun 40 tahun telah berlalu, dampak peristiwa itu masih terasa dan membekas sampai hari ini.
Asvi Warman Adam adalah Ahli Peneliti Utama LIPI

57

Sejarah Kekerasan dan Kekerasan Sejarah

Komunis dan komunisme adalah musuh yang selalu didaur ulang oleh Orde Baru atau khususnya oleh militer Orde Baru. Negeri ini sudah menjadi negeri yang paling anti komunisme bahkan mungkin di seluruh dunia. Nazi hanya satu periode memusnahkan banyak orang Yahudi di kamar gas. Tetapi di Indonesia penyiksaan terhadap orang komunis atau yang dituduh komunis berlangsung puluhan tahun. Yang dilakukan adalah penyiksaan fisik yang diikuti dengan penyiksaan mental. Saya setuju dengan sejarawan Australia, Robert Cribb, bahwa kita tidak bisa menjamin seandainya komunis berkuasa mereka tidak akan berbuat brutal, tetapi saya ingin menyatakan bahwa pembantaian terhadap 500.000 manusia tahun 1965 adalah tragedi kemanusiaan yang terbesar dalam sejarah Indonesia. Peristiwa 1965 juga merupakan watershed, pembatas zaman. Terjadi perubahan besar dalam bidang ekonomi, politik dan budaya. Politik luar negeri yang bebas-aktif, pro non-blok, berubah menjadi pro Amerika dan blok barat. Ekonomi berdikari beralih menjadi ekonomi pasar yang mengandalkan modal dan pinjaman asing. Segenap potensi budaya dikerahkan untuk menyukseskan pembangunan, tidak ada lagi polemik atau kritik. Berbeda dengan perubahan yang juga terjadi pada masa-masa yang lain, tahun 1965 perubahan itu terjadi serempak sehingga dampak dan gemanya lebih dahsyat. Kekerasan yang dilakukan negara itu dipermudah oleh adanya lembaga inkonstitusional yakni Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban). Lembaga yang terbentuk setelah meletusnya G30S ini mempunyai wewenang tidak terbatas. Kopkamtib melakukan penangkapan dan interogasi terhadap orang-orang yang dianggap berbahaya bagi pemerintah. Kopkamtib juga yang memerintahkan Jaksa Agung untuk melakukan pembuangan secara paksa ke Pulau Buru bagi tapol golongan B (1969-1979). Tapol golongan B adalah tahanan politik yang dianggap terlibat dalam peristiwa G30S/1965 namun tidak cukup bukti untuk dibawa ke pengadilan. Kopkamtib yang memutuskan apakah seorang bersih lingkungan (maksudnya tidak ada keluarganya yang terlibat secara langsung atau tidak langsung dengan G30S/1965) dengan melalui litsus (penelitian khusus) ketika seleksi calon pegawai negeri sipil dan anggota ABRI atau secara periodik dalam rangka promosi kenaikan pangkat/jabatan PNS/ABRI.

58

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan (Politik) Masa Lalu

Peristiwa 1965 juga berujung kepada pembekuan Salah satu ciri konflik 1965 adalah hubungan diplomatik dengan RRC. Selanjutnya memanfaatkan sejarah untuk segala sesuatu yang berbau China dicurigai mengawetkan konflik dan dilarang. Kiriman majalah bertulisan China diperiksa oleh petugas imigrasi, kegiatan keagamaan dan sosial-budaya China sangat dibatasi kalau tidak dikatakan dilarang. Dalam berbagai kerusuhan sosial yang terjadi era Orde Baru, etnis Tionghoa senantiasa menjadi sasaran pelampiasan kemarahan massa. Yang penting juga dicatat adalah kebijakan ganti nama Indonesia bagi warga Tionghoa. Ini adalah kekerasan yang sangat merasuk kepada individu-individu yang berada pada suatu komunitas. Sebuah nama ada artinya dan anggota masyarakat memperlakukan orang lain sesuai namanya karena nama juga menunjukkan status dan kedudukan dalam keluarga. Sepanjang Orde Baru bukan hanya tahun 1965 yang tercatat sebagai tahun kekerasan negara, tetapi berlanjut kalau diambil sampel setiap dekade yakni pembuangan paksa ke pulau Buru tahun 1969, pembunuhan misterius tahun 1980-an, kasus Tanjung Priok, Talangsari Lampung, kasus penyerbuan 27 Juli 1996, tragedi Mei 1998 (selain kasus Trisakti dan Semanggi). Ini di luar pembunuhan sistematis yang terjadi di Aceh, Papua dan Timor Timur (sebelum lepas dari Indonesia).

Kekerasan Sejarah
Konflik 1965 itu memang dipertahankan rezim Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaannya. Salah satu ciri konflik 1965 adalah memanfaatkan sejarah untuk mengawetkan konflik. Caranya dengan mengontrol pers bahkan membredelnya bila membandel termasuk melarang penerbitan buku sejarah yang menyebutkan versi berbeda. Pengajaran sejarah di sekolah memberikan legitimasi kepada penguasa dan menghilangkan jasa pemimpin yang tidak sejalan. Bersamaan dengan itu dibangun museum, monumen yang di dalamnya terdapat diorama penuh rekayasa dan dilakukan berbagai peringatan hari bersejarah demi pengukuhan eksistensi rezim. Dibuat film yang wajib ditonton segenap anak negeri pada tanggal tertentu. Rekayasa sejarah itu berproses sepanjang perjalanan Orde Baru. Buku Sejarah Nasional
MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

59

Sejarah Kekerasan dan Kekerasan Sejarah

Indonesia diterbitkan tahun 1975, Museum Waspada Purba Wisesa (awas bahaya kelompok Islam garis keras) diresmikan tahun 1987 sedangkan Museum Pengkhianatan PKI didirikan Suharto tahun 1993.

Sejarah sebagai Pembebas


Dalam tahun 2000 berlangsung dua kali sarasehan tentang tragedi 1965. Di Kastil Arenberg, Universitas Katolik Leuven, Belgia, 23 September dan di hotel Sari Pasifik, Jakarta, 13 Desember. Keduanya dihadiri oleh para korban G30S. Dari diskusi tersebut terdapat kesan bahwa para korban itu menolak jadi tawanan masa lalu. Ini kentara dalam makalah yang disampaikan oleh Nani Nurachman Sutoyo, dosen psikologi UI. Reaksi pertama puteri Mayjen Anumerta Sutoyo Siswomihardjo, ketika diberitahu tentang terbunuh dan terbongkarnya jenazah para pahlawan revolusi adalah kehilangan kepercayaan terhadap semua orang, sekalipun sudah lama dikenal. Bahkan timbul sikap defensif dan kadangkala curiga bila ada orang yang mendekati. Selanjutnya kondisi ini menimbulkan tembok pembatas antara dia dan dunia luar yang dianggap banyak mengandung ancaman selama bertahuntahun kemudian. Saya mempertanyakan bagaimana manusia bisa bertindak sekejam itu: memporak porandakan kehidupan suatu keluarga menjelang subuh ketika orang masih lelap tertidur tetapi kemudian dibangunkan untuk diculik dengan cara-cara yang tidak ksatriaApa arti kematian ini bagi saya sebagai anak-anak? Apa artinya kehidupan? Tidak ada yang mau menjawab. Lalu kepada siapa saya bisa bertanya? Dari sikap-sikap yang demikianlah ia berkesimpulan bahwa jangankan lembaga, keluarga dalam masyarakat pun belum siap dan tidak mempunyai sumber untuk mengembangkan kesadaran dan memberikan bantuan untuk memulihkan pasca trauma seperti yang terjadi di Amerika dengan pasca perang Vietnamnya. Mungkin tidak disadari bahwa kehidupan pasca trauma dalam keluarga dapat mengakibatkan dysfunctional family life. Efek dari suatu pengalaman traumatik dalam jangka panjang akan dapat memberikan imbasnya kepada masyarakat. Oleh karena itu suatu psikologi pasca trauma diperlukan dalam menghadapi peristiwa apa saja yang bersifat traumatik dalam masyarakat tersebut. Bagi Nani Sutoyo, awal hingga pertengahan tahun 80-an ketika berada di Amerika Serikat merupakan periode pengembangan wawasan yang relatif intens. Tetangga sebelah yang juga pemilik rumah yang disewanya adalah

60

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan (Politik) Masa Lalu

korban holocaust Perang Dunia II. Dia bisa keluar dari kamp konsentrasi dan kehilangan suami serta anak laki-laki satu-satunya sambil menjalani dan menikmati sisa-sisa hidupnya dengan realita yang ada. Tato nomor yang ada di lengannya menimbulkan kejutan bahwa suatu saat bisa saja kita sebagai manusia hanyalah nomor tanpa nama. Apalah artinya yang saya alami dengan apa yang dia telah lalui? Di sini saya bisa menimba adanya makna di balik penderitaan. Ada suatu kekuatan di luar ketahanan fisik dan mental psikologis yang bisa membawa seseorang keluar dari perangkapperangkap penderitaan. Orang dapat berkembang menjadi diri pribadi yang utuh dari reruntuhan kemanusiaan tanpa perlu menampilkan sikap amarah dan dendam terhadap mereka yang membuatnya menderita, sekalipun amat sulit untuk melupakan semuanya. Sang doktor psikologi itu merasa yakin bahwa suatu hal yang mungkin untuk membangun diri kembali baik sebagai individu maupun sebagai kelompok bangsa sekalipun pada suatu saat yang lampau terjadi kekejaman dari suatu kelompok terhadap kelompok yang lain. Nani Sutoyo adalah putri dari pahlawan revolusi yang tidak mengalami trauma tersingkir dari masyarakat seperti yang dialami para korban G30S yang dituduh terlibat PKI. Penderitaan kelompok ini lebih parah lagi. Sebagian mereka juga pernah mengalami hidup pada kamp konsentrasi pulau Buru. Hersri Setiawan, tokoh Lekra Yogyakarta, pernah diceburkan ke dalam got dari Magrib sampai tengah malam. Kalau tubuhnya muncul kepermukaan. dua tentara akan menendangnya kembali. Ia sering tibatiba terbangun karena takut ditembak oleh tentara. Walaupun diakuinya kini trauma itu sudah tidak ada lagi, yang ada sumeleh, sadar dan tentram. Ia mencoba memberi makna kehidupannya di pulau Buru dengan berkata bahwa pemenjaraan bukan soal etika benar atau salah, tetapi soal kalah dan menang. Setelah lepas dari pulau Buru, Hersri bersama istrinya yang warganegara Belanda hijrah ke negeri kincir angin itu. Barangkali seperti dikatakan oleh Sitor Situmorang yang bermukim di Eropa setelah ditahan oleh rezim Orde Baru (dan kini kembali ke Jakarta), faktor jarak dan waktu sudah membebaskan saya dari beban masa lalu. G30S hanya satu peristiwa. Tetapi pembantaian massal setelah itu merupakan rangkaian yang tak terpisahkan. Bahkan saya berpendapat bahwa G30S, pembantaian 1965 dan penahanan politik di pulau Buru merupakan trilogi karya utama rezim Orde Baru. Di dalam sarasehan di Leuven, Tristam Moeliono bertanya: Seandainya PKI bersalah melakukan makar, apakah manusia yang menjadi anggota PKI atau dituduh PKI layak dibunuh?. Ia melanjutkan Masyarakat yang dibiarkan menenggang pembunuhan akan hilang kepercayaan terhadap manusia
MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

61

Sejarah Kekerasan dan Kekerasan Sejarah

lain dan akhirnya berubah menjadi srigala bagi sesama. Pembunuhan 1965 meskipun bukan genocida tetapi adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Penghindaran tanggungjawab, apalagi penghapusan sejarah kelam ini dari ingatan bangsa adalah pengkhianatan terhadap hati nurani. Sementara itu Paul Mudigdo yang mengajar di Universitas Leiden mengatakan bahwa pembenaran terhadap pembunuhan massal 1965 menumbuhkan budaya kekerasan semasa Orde Baru. Meskipun memandang ketiga Tragedi adalah pergumulan dengan peristiwa di atas sebagai trilogi karya Orde Baru, saya juga sangat setuju, nasib yang tidak dapat dimenangkan. bahwa peristiwa sebelum 1965 juga Rasa sakit dan penderitaan seseorang perlu diusut. Kesulitan ekonomi tidak dapat dibandingkan apalagi dan konflik sosial-politik sebelum dipertukarkan dengan penderitaan 1965 akan menjelaskan mengapa orang lain, tetapi hanya dapat peristiwa selanjutnya dapat terjadi. ditemukan maknanya bila yang Tindakan yang kurang berbudaya menjalani dapat memberikan arti terhadap kelompok Manikebu termasuk Taufiq Ismail yang demikian bagi hidupnya dilakukan oleh seniman kiri memang berlebihan. Usulan pelarangan HMI jelas tidak demokratis. Peristiwa Kanigoro, Jawa Timur yang menimpa anggota PII sangat disesalkan. Aksi sepihak yang dilakukan oleh PKI/BTI di desa-desa telah menimbulkan konflik horisontal. Ada satu-dua orang tentara yang dibunuh oleh massa seperti di Sumatera Utara. Tetapi ekses yang dilakukan oleh kelompok kiri itu mendapatkan balasan setimpal bahkan beratus kali lipat lebih dahsyat sesudah peristiwa G30S. Bagaimana caranya untuk membebaskan masyarakat kita dari tawanan masa lalu. Menurut Nani Nurachman Sutoyo Tragedi adalah pergumulan dengan nasib yang tidak dapat dimenangkan. Rasa sakit dan penderitaan seseorang tidak dapat dibandingkan apalagi dipertukarkan dengan penderitaan orang lain, tetapi hanya dapat ditemukan maknanya bila yang menjalani dapat memberikan arti demikian bagi hidupnya. Itu dari sisi individual di tengah masyarakat. Narasi di atas disampaikan untuk mendukung proposal tulisan ini yakni mengubah sejarah sebagai penindas menjadi sejarah sebagai pembebas.

62

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Tuntaskanlah Kekerasan (Politik) Masa Lalu


Usman Hamid

Edisi Jurnal Maarif kali ini menggarisbawahi potret kekerasan masa lalu. Ia terbentang sejak awal hingga akhir kekuasaan Orde Baru, antara lain pembantaian 1965-1966, peristiwa Malari 1974, tragedi Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, Kasus Tanah Kedung Ombo dan tanah Cimacan 1989, peristiwa 27 Juli 1996, hingga penghilangan paksa sejumlah aktivis dan mahasiswa 1997-1998, dan seterusnya. Saya yakin deretan kekerasan itu tak mengecualikan kekerasan dan pelanggaran HAM selama operasi militer di Timor Lorosae, Aceh dan Papua. Juga disoroti fenomena kekerasan belakangan ini. Tak sekadar produk dari regulasi, kebijakan atau praktik kekuasaan (kekerasan politik). Namun juga kekerasan yang tumbuh dari interaksi perorangan atau kelompok di dalam masyarakat kita (non-politik). Apa yang terjadi? Adakah masalah kekerasan masa lalu itu telah dapat dipahami? Apakah kekerasan hari ini berhubungan dengan kekerasan masa lalu sebagai produk dari rejimentasi politik Orde Baru? Bukankah gerakan Reformasi telah meruntuhkan rejim militeristik Orde Baru agar Indonesia bebas dari kekerasan? Hingga kini, saya belum bisa mengerti. Tulisan pendek ini mencoba memberikan catatan tentang bagaimana dinamika realitas kekerasan yang terjadi di masa Orde Baru hingga masa sekarang yang disebut era reformasi. Perspektif yang digunakan lebih banyak berasal dari sudut pandang dan

Usman Hamid adalah Ketua Badan Pengurus KontraS

63

Tuntaskanlah Kekerasan (Politik) Masa Lalu

pengalaman penulis dalam mendampingi korban-korban dan keluarga dari korban kekerasan politik rejim Orde Baru. Pada bagian awal merupakan pengantar umum yang berisi kilas balik kekerasan terutama kekerasan politik, untuk selanjutnya dilanjutkan paparan mengenai dinamika yang sebenarnya dapat mengajak kita untuk menemukan sebab kekerasan masa lalu yang kerap berlanjut dan berulang. Lalu pada bagian akhir memberi catatan tentang apa yang sebaiknya dipikirkan untuk memutus mata rantai kekerasan masa lalu itu di hari ini dan masa depan. Yang saya pahami pada masa Orde Baru adalah kekerasan politik militerisme. Kekerasan sebagai produk dari intervensi militer ke dalam kehidupan sipil. Kekerasan terjadi akibat relasi kuasa yang timpang antara rakyat sebagai pemegang kedaulatan dengan penguasa dalam dinamika kehidupan sosial politik, atau antara pekerja, buruh tani, nelayan dengan pemegang modal dalam dinamika kehidupan sosial ekonomi. Penggunaan kekuatan militer amat menonjol di sektor-sektor kehidupan publik. Di Aceh dan Papua, kita menemukan kekerasan yang dilakukan militer untuk mengamankan modal asing. Di pedesaan, militer mengamankan berbagai lahan untuk investigasi atas nama objek-objek vital pembangunan. Di berbagai wilayah perkotaan, kita menemukan kekerasan sebagai akibat intervensi militer ke dalam sengketa industrial, dari mulai pelarangan buruh berserikat atau mogok kerja, hingga pembunuhan perempuan aktvis buruh Marsinah. Di sejumlah momen tertentu, kita menemukan kekerasan sebagai tindakan penguasa yang memaksakan penyeragaman ideologi berpikir dan berkeyakinan, mulai dari peristiwa Tanjung Priok 1984 hingga Talangsari 1989. Di sektor kehidupan akademik, kita menemukan paksaan dan kekerasan, dari mulai kebijakan normalisasi kehidupan kampus menjadi apolitis hingga penembakan aksi-aksi damai yang berakibat korban jiwa. Di dalam kehidupan politik berpartai, kita menemukan dua partai dan satu golongan karya, tapi tak hampir mustahil kita menemukan oposisi sejati sebagai penyeimbang dari kekuasaan. Setiap potensi kekuatan penyeimbang atau penanding akan dengan kasar dipatahkan seperti yang terjadi pada penyerangan kantor PDI pimpinan Megawati pada 27 Juli 1996 atau diberangus lewat aksi penculikan para aktivis pro-demokrasi 1997-1998. Semua kekerasan itu berlangsung dengan pembenaran-pembenaran. Misalnya, kepada semua subjek yang menjadi sasaran kekerasan tersebut, penguasa menempelkan segala bentuk tudingan negatif, stigma atau

64

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan (Politik) Masa Lalu

labelisasi seperti komunis, separatis, termasuk Gerakan Pengacau Keamanan/GPK atau yang lebih menggeneralisir dengan stempel ekstrem/is kanan dan ekstrem/is kiri. Di alam pikiran pelaku-pelaku kekerasan ditanamkan doktrin-doktrin melawan musuh (permusuhan) serta logika-logika yang dikelirukan tentang tugas negara, nasionalisme, atau keamanan nasional, stabilitas dan pembangunan. Segala gejala yang berbeda dengan kekuasaan, dituding sebagai pembangkang atau pengkhianat. Melalui penerapan doktrin militerisme, inilah yang ditanamkan kepada sebagian orang-orang yang menjalankan praktik kekuasaan lewat kekerasan, tanpa merasa ada yang salah saat menyimpangi nilai perikemanusiaan, bahkan doktrin itu berhasil membangun kepahlawanan bagi pelaku kekerasan. Pendek kata, kekerasan langsung dalam bentuk penyiksaan, pembunuhan, atau pemerkosaan di Aceh lebih menunjukkan fenomena di atas permukaan. Seperti gunung es di lautan, kekerasan langsung tersebut adalah puncaknya. Sementara persoalan dasarnya tak terlihat, yaitu pada masalah ketimpangan struktural. Kegagalan untuk mengelola konflik kerap berujung pada penggunaan kekerasan. Kekerasan bukan sebagai akhir, tapi sebagai cara mencapai tujuan

Fenomena kekerasan ini belum termasuk jika kita merambah ke dalam kehidupan kultural, yang mungkin lebih tak terlihat lagi. Akarnya, rasa ketidakadilan. Di pusaran ini, kita akan selalu menemukan keadaan di mana tak seorang pun mau menerima ketidakadilan. Bahkan ada yang melawan ketidakadilan dengan kekerasan. Salah? Cerita kekerasan dalam melawan suatu pendudukan asing, atau sebaliknya pendudukan suatu bangsa di teritori bangsa lain kerap menjadi cerita yang penuh nuansa kepahlawanan. Pembenaran cerita semacam itu masih dapat kita lihat di sejumlah monumen dan patung besar negara-negara kolonial. Salahkah? Kita bisa berbeda. Terkadang keadilan dipandang berbeda oleh orang yang berbeda, atau mereka yang berkebudayaan berbeda. Rasa adil bisa terasa saat seseorang, kelompok, atau pihak tertentu merasa menerima atau mendapatkan apa yang selayaknya diterima dan didapatkan. Atau ketika mereka duduk bersama di depan meja perundingan maka setiap pihak merasa berhak mendapatkan pembagian yang sama. Sekali terjadi hal janggal yang melahirkan rasa tidak adil, tidak fair, maka ketegangan dan konflik akan muncul. Kegagalan untuk mengelola konflik kerap berujung
MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

65

Tuntaskanlah Kekerasan (Politik) Masa Lalu

pada penggunaan kekerasan. Kekerasan bukan sebagai akhir, tapi sebagai cara mencapai tujuan. Lebih jelasnya, seseorang yang melakukan tindakan yang merugikan orang lain, layak untuk mendapatkan hukuman. Orang tak mendapatkan manfaat yang seharusnya mereka terima. Atau orang harus menderita atas apa yang seharusnya tak pantas mereka dapatkan. Misalnya, pengangguran. Krisis finansial dunia telah mengakibatkan angka pengangguran yang tinggi, ini lalu dirasakan tidak adil oleh mereka yang tak memiliki pekerjaan, juga oleh mereka yang bekerja, bahkan oleh dirasa tak adil bagi para pemegang kekuasaan modal. Yang cukup lama menjadi diskursus publik dari ketegangan di sektor ini adalah perasaan teralienasi dari kaum buruh yang bekerja penuh waktu, tapi hanya mendapat upah rendah, lalu sang pemilik modal pun dinilainya tak adil. Perspektif ini lebih ingin memahami kekerasan dalam relasi kelas. Tapi apakah perlawanan kelas atas ketimpangan relasi sosial ekonomi semacam itu akan dapat menyelesaikan masalah ketidakadilan? Sayangnya, era yang kita hadapi di Indonesia saat ini tengah mengalami kemunduran luar biasa. Yang terjadi saat ini, lebih banyak memunculkan Kekerasan politik atau katakanlah identitas, baik itu kebangsaan kekerasan struktural berlangsung atau nasionalisme, keagamaan tanpa kontrol. Kemerdekaan peradilan atau islamisme, ketimbang sebuah antagonisme kelas sosial. Lebih dikebiri baik dari luar (penguasa) dari satu dekade, kemunduran ini maupun dari kebusukan di dalam yang menghambat kita untuk bicara pada tatanan yang baik bagi kehidupan terjadi akibat korupsi bersama, yakni tentang keadilan, kemanusiaan, kebebasan dan kemakmuran. Saya ingin mengurai lebih jauh tentang masalah kekerasan, namun saya mencoba membatasinya pada kekerasan politik sebagai masalah yang sejatinya mendapat prioritas perhatian semua komponen bangsa yang berakal, mau berdialog terus menerus dan bertindak bersama demi kehidupan kebaikan rakyat. Kekerasan politik atau katakanlah kekerasan struktural berlangsung tanpa kontrol. Kemerdekaan peradilan dikebiri baik dari luar (penguasa) maupun dari kebusukan di dalam yang terjadi akibat korupsi. Musyawarah wakil rakyat dikalahkan oleh pengendalian kekuasaan yang terpusat pada satu sosok eksekutif, yaitu jenderal angkatan darat, Suharto, yang

66

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan (Politik) Masa Lalu

menjadi Presiden pasca jatuhnya Ir. Sukarno dari kursi Presiden. Di bawah kekuasaan Suharto, militer atau dalam hal ini angkatan darat menguasai seluruh lapis administrasi dan birokrasi kekuasaan pemerintahan sipil. Sentralisasi kekuasaan di tangan Suharto ini menghadirkan kekuasaan negara yang monolitik. Penyeragaman diterapkan melalui paksaan dan kekerasan. Sisi lainnya negara betul-betul memonopoli penggunaan kekerasan. Negara tak mau berbagi kuasa kekerasan dengan kelompok lain di luar dirinya. Aktor kekerasan negara adalah angkatan bersenjata saat itu, yaitu militer dan kepolisian di bawah struktur militer, tak terkecuali institusi lain yang menggunakan paksaan. Semua institusi ini dimonopoli penguasa saat menjalankan fungsinya sebagai alat negara yang menggunakan paksaan atau kekerasan. Militer tidak berada di bawah kontrol otoritas sipil. Di era pasca Orde Baru, jelas ada yang berubah. Sistem kekuasaan yang mulai tersebar, memberikan ruang aksesibilitas politik bagi masyarakat sipil. Target represi pun jauh lebih terbatas dan terkontrol. Kekerasan struktural dalam relasi sosial ekonomi masih terlihat dalam sejumlah kasus penembakan petani yang menuntut hak-hak penguasaan atas tanah sebagai sumber penghidupan. Kekerasan oleh negara secara langsung jelas mengalami pergeseran. Masalahnya adalah muncul aktor kekerasan yang beragam, di luar negara. Bungkusnya dapat berwujud kekerasan yang menggunakan atribut keagamaan, kedaerahan, suku, geng, hingga antar kampung. Pertautan antara lemahnya penegakan hukum dan kultur kekerasan memicu kekhawatiran yang makin hari semakin luas. Secara de facto negara tak lagi menjadi otoritas tunggal yang memegang monopoli kekerasan karena beragamnya aktor-aktor politik yang menduduki kekuasaan. Di era ini, interaksi antar aktor telah didominasi sejumlah kekuatan politik yang saling bernegosiasi dan bahkan bertransaksi untuk kepentingan yang masing-masing yang berbeda. Ada kekuatan de facto kekerasan, khususnya yang dipicu sentimen sektarian etnis dan agama, termasuk kelompok insurgensi di Aceh dan Papua. Faktor lainnya, kekerasan semakin tersebar karena elite kekuasaan yang bertarung demi kepentingan ekonomi-politik mereka juga bisa memilih jalur di luar formal sebagai alat tawar, sebagaimana keterlibatan sejumlah jenderal di Timor Timur, Ambon, serta pembunuhan Munir yang mencoba yang menggunakan akses mereka ke organisasi keagamaan. Pembunuhan Munir sendiri merupakan bukti paling otentik yang baru terjadi beberapa
MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

67

Tuntaskanlah Kekerasan (Politik) Masa Lalu

tahun silam bahwa kegagalan menghukum pelaku kekejaman di masa lalu, yakni penculikan aktivis prodemokrasi, mengakibatkan pelakunya tak merasa jera untuk mengulangi perbuatannya bahkan dalam bentuk yang penuh kelicikan; menggunakan tangan-tangan orang lain untuk membunuh seseorang yang tengah dalam perjalanan menuju pencarian ilmu pengetahuan. Betapa tak bermoralnya mereka. Rejim kekuasaan dapat menggunakan alat legal positif untuk kekuasaan. Contohnya seperti yang terjadi di Afrika Selatan dengan rejim Apartheid yang menganut doktrin supremasi kulit putih atau Orde Baru yang membenarkan praktik kekerasan dengan doktrin-doktrin militerisme, dan juga yang menggunakan cara-cara teror ekstra legal seperti yang terjadi di Amerika Latin. Metode kekerasan berubah. Tapi itu pun hasil transformasi historis di mana mekanisme akuntabilitas di rejim Orde Baru sangat minimal. Infrastruktur hukum tak cukup didesain untuk menghadapi masalah ini. Sementara upaya dan diskursus perubahan untuk akuntabilitas diblok oleh kekuatan politik lama yang masih memiliki residu di hampir semua struktur politik formal, termasuk di kalangan kelompok-kelompok kekerasan vigilante. Rejim-rejim pemerintahan baru pasca Suharto kesulitan untuk memonopoli segala instrumen kekerasan. Hal ini bisa disebabkan oleh karena mereka tak punya kontrol dan akses yang efektif ke semua aktor kekerasan (keamanan). Atau bisa juga disebabkan karena mereka juga telah membuat kesepakatan-kesepakatan terselubung yang membuat mereka berada dalam situasi yang saling tergantung pada suatu diskursus kekuasaan yang baru. Misalnya, suatu rejim pemerintahan yang hendak menjalankan politik anti terorisme dengan dukungan negara AS, maka perlu menggandeng kekuatan politik Islam sebagai legitimasi politik. Atau sebaliknya, kekuatan politik berbasis agama tersebut hendak mendapat konsesi masuknya agama dalam kehidupan politik kenegaraan. Interaksi keduanya saling menunjukkan kepentingan masing-masing yang berbeda, apalagi dengan keutamaan umum. Lalu bagaimana dan apa yang sebaiknya kita lakukan? Sebagai bangsa, kita hampir tak pernah memperoleh kesempatan untuk betul-betul belajar dari peristiwa atau juga pengalaman kekerasan di masa lalu. Belajar mengenal apa yang terjadi dengan para korban kekerasan politik

68

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan (Politik) Masa Lalu

itu. Bagaimana konsekuensi politik dari struktur kekuasaan negara yang represif militeristik terhadap rakyat yang diperintahnya. Mengetahui lebih jauh bagaimana sistem nilai kehidupan bernegara justru diisi oleh praktik-praktik anti-kemanusiaan yang kebenarannya tak bisa diukur secara konstitusional. Kita selalu dicekoki dengan berbagai pembenaranpembenaran militer. Kita membiarkan sistem dan pranata hukum kita tak mampu mengajukan orang-orang yang melakukan tindakan anti kemanusiaan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Yang terjadi adalah ketiadaan hukuman atau impunitas, baik secara jure maupun de facto. Keadaan ini, yakni impunitas, akan memberi pesan bahwa tindakan kekerasan yang pernah terjadi di masa lalu dapat terulang. Pelaku tak merasa harus takut dihadapkan pada majelis hakim di pengadilan. Kenyataan pada awal reformasi membuktikan bahwa ketiadaan kesempatan untuk belajar mengenal dan memahami kekerasan di era rejim militer tersebut membuat kita tampak kewalahan saat menghadapi kekerasan di beberapa wilayah. Setelah banyak korban jiwa berjatuhan, ikatan sosial luluh lantak, apakah kita sudah betulbetul belajar untuk mengenal konflik yang menggunakan kekerasan berskala masif seperti di wilayah Maluku (Ambon), Sulawesi (Poso) dan Kalimantan (Sampit). Dalam refleksi saya, akar persoalannya terletak pada kekerasan masa lalu yang tak terselesaikan. Penyelesaian atas kekejaman masa lalu harus mencakup usaha-usaha untuk bisa mengenal sekaligus memahami pola, struktur dan sistem nilai anti kemanusiaan itu. Kita dapat menempuh banyak jalan. Antara lain melalui usaha-usaha pencarian fakta, penegakan supremasi hukum hingga pengembalian harkat martabat korban sepenuhnya. Kenyataannya, pengungkapan kebenaran selalu berakhir dan diakhiri oleh penyangkalan fakta atau penyingkapan fakta kebenaran sepenggal. Meminjam sudut pandang Stanley Cohen, setidaknya ada penyangkalan, pertama yang bersifat literal, yakni penyangkalan penuh atas fakta pelanggaran hak asasi manusia, lalu penyangkalan interpretatif di mana negara tak menolak adanya pelanggaran HAM namun kemudian memberikan argumen alternatif berupa politik eufemisme, dan penyangkalan lainnya bersifat implikatif yakni negara tak menyangkal sedikit pun fakta kekejaman fisik terhadap rakyat namun memberikan pembenaran salah satunya adalah demi kepentingan nasional, atau

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

69

Tuntaskanlah Kekerasan (Politik) Masa Lalu

untuk menghadapi kelompok pengacau keamanan, dan seterusnya. Akibat semua penyangkalan ini, penegakan hukum sebagai bentuk keadilan yang hendak diterapkan, kerapkali menjadi elemen yang paling dihindari demi apa yang ingin dicapai sebuah perdamaian atau tanpa kekerasan. Potret ini memprihatinkan. Di satu sisi elite-elite kekuasaan bicara bahwa Indonesia adalah negara hukum, tapi di sisi lain tak nampak berani mendorong langkah-langkah menuju penegakan hukum. Ada juga sejumlah elite lainnya yang hendak langsung menempuh jalan pintas dan cenderung menyepelekan urusan, misalnya dengan melontarkan istilahistilah rekonsiliasi dan kompensasi atau islah, seolah harga manusia begitu murah sehingga bisa selesai dengan sejumlah uang. Dalam peristiwa Tanjung Priok atau Talangsari, Islah sebagai sebuah cara penyelesaian dalam sejarah agama Islam telah diambil secara sepenggal, tanpa diikuti pemahaman memadai tentang dua hal ini dan ketulusan untuk menghormati harkat martabat orang-orang yang telah menjadi tertindas serta keperluan merestorasi struktur hukum negara yang telah dihancurkan akibat kekejaman kekuasaan masa lalu. Fakta kebenaran atau kebenaran faktual kerap dikesampingkan oleh dan atas nama rekonsiliasi. Seorang sahabat yang juga pemerhati transisi berkeadilan dari Kolombia, Eduardo Gonzales, mengingatkan bahwa yang kerapkali terjadi dalam perundingan menuju rekonsiliasi adalah bahwa sedari awal, ada kekaburan konseptual. Hal yang paling sederhana misalnya, siapa yang akan melakukan rekonsiliasi? Hal apa yang mau direkonsiliasikan? Kenapa harus rekonsiliasi? Sebagai contoh dalam usaha mengakhiri sebuah konflik bersenjata. Gonzales mencontohkan bahwa perundingan damai selalu melibatkan elite atau pimpinan dua kelompok yang bertikai, namun lupa dengan para korban. Menurutnya kita cenderung rancu antara rekonsiliasi pribadi dengan penjanjian politis. Pertanyaan-pertanyaan yang harus kita jawab misalnya, apakah hal-hal ini sama? Apakah lalu mereka sebenarnya sama? Apakah kesepakatan di antara para pemimpin sama dengan jabatan tangan antara dua teman lama? Dapatkah para korban dan pelaku melakukan rekonsiliasi tanpa mengakui adanya ketidakadilan? Atau sudahkah kita mendengar suara hati para korban itu? Selama ini, suara mereka, apalagi suara hati mereka, nyaris

70

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan (Politik) Masa Lalu

tak terdengar. Yang bicara rekonsiliasi adalah mereka yang merupakan elite-elite. Absennya perspektif korban telah membuat wacana rekonsiliasi dimaknai sebagai perdamaian antar elite, baik yang berkuasa maupun yang memiliki akses pada kekuasaan. Parahnya, rekonsiliasi yang dimaksud pun menjadi suatu rekonsiliasi yang jauh dari prinsip-prinsip dasar dari hak-hak para korban. Dari mulai hak untuk mengetahui dengan terlebih dahulu mencari serta menetapkan fakta-fakta dengan cara-cara yang sedehana guna memahami fakta-fakta sekaligus mengenali para korban. Hak korban lainnya adalah hak atas keadilan hukum. Tanpa penghormatan atas hak mendasar ini, maka kita tak akan pernah bisa memberi sumbangsih pada keadilan. Begitupula dengan hak atas pemulihan penuh melalui kebijakan yang disebut reparasi, serta hak atas jaminan tak berulang melalui perombakan lembaga dan peraturan yang menindas atau pun diskriminatif. Jika unsur-unsur ini terpenuhi, maka besar peluang untuk memberikan sumbangsih pada pendamaian yang sejati. Proses perdamaian atau rekonsiliasi adalah suatu proses yang rumit. Proses ini tak bisa dipisahkan dengan hak-hak universal korban. Hak untuk mengetahui kebenaran yang sesungguhnya dari masa lalu itu pun bukan semata hak-hak dari perorangan atau sekelompok warga negara yang kehilangan langsung anaknya, melainkan juga hak-hak sebuah bangsa untuk menjadi bangsa yang beradab. Jika tidak dipahami demikian, maka kita kehilangan kesempatan yang amat besar saat baru melepaskan diri dari belenggu rejim otoriter. Kita tak akan bergerak ke mana-mana, meski merasa telah berbuat. Rekonsiliasi harus bisa menunjukkan kemurnian nilai perdamaian yang sesungguhnya. Ia harus menjawab suatu keperluan pertobatan dari pelaku atau struktur kekuasaan lama yang menindas. Pertobatan itu mencakup pengakuan atas apa yang terjadi di masa lalu tanpa sepenggal pun ada kebenaran yang disembunyikan. Ia juga mencakup kesediaan untuk menerima hukuman, menyesali perbuatan atau permohonan maaf. Selama ini logika wacana yang dilontarkan kerap mengesampingkan keperluan-keperluan yang utuh seperti ini. Padahal, jika hanya sepenggal dari unsur-unsur kunci tersebut, kita akan dihadapkan pada pertanyaan, dapatkah korban memaafkan?

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

71

Tuntaskanlah Kekerasan (Politik) Masa Lalu

Rekonsiliasi kerap dijadikan sebagai peluang penguasa baru untuk mengesampingkan kemungkinan-kemungkinan timbulnya resiko politik akibat penuntutan hukum dari penguasa lama. Rekonsiliasi yang diajukan adalah rekonsiliasi kepalsuan. Bukan untuk menetapkan kebenaran, melawan impunitas (ketiadaan hukuman pelaku pelanggaran HAM berat), serta mereformasi lembaga-lembaga, melalui pemanfaatan peluang-peluang dialog nasional berdasarkan nilai-nilai keadilan mereka yang paling menderita. Rekonsiliasi yang terjadi berulang kali dalam penyelesaian konflik di Maluku, Sulawesi dan Kalimantan pun jauh dari semangat penghormatan kepada hukum sebagai alat pencegah berulangnya kekerasan serupa di masa depan. Tuntutan keadilan korban kekejaman rejim masa lalu atau konflik seperti dipaksa berakhir tanpa kita tahu apa yang terjadi sebenarnya, siapa yang melakukan apa terhadap siapa, kapan, di mana dan bagaimana itu terjadi. Termasuk guna mengetahui latarbelakang yang luas dengan menjawab pertanyaan mengapa hal itu bisa terjadi, dan bagaimana hal ini dialami oleh para korban secara emosional. Lalu kebijakan masalahmasalah apa saja yang terjadi sebagai akibat dari peristiwa tersebut, dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan ini penting kita ketahui. Setidaknya ada narasi besar tentang kebenaran akan fakta kekejaman di masa lalu, yang memberikan kepada kita panduan, perasaan dan keyakinan. Korban memiliki hak untuk mengetahui keadaan dan konteks dari pelanggaran yang diderita. Begitupula dengan masyarakat umum, masyarakat berhak mengetahui kebenaran tentang masa sejarah di mana pelanggaran itu terjadi. Dan memang Negara memiliki tugas yang sepadan untuk menyelidiki dan merawat ingatan/kenangan. Lebih jauh lagi, pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan semata untuk menetapkan dan menjelaskan fakta-fakta peristiwa kekerasan, namun juga untuk memulihkan martabat para korban, memberikan pendidikan bagi masyarakat umum, memberikan sumbangsih pada penegakan hukum dan keadilan, serta mencegah pengulangan kembali peristiwa serupa di masa depan. Rekonsiliasi sejati harus bisa menghapus ketiadaan hukuman (impunitas) agar struktur negara kembali pulih dan tak terus dikikis oleh pesimisme kepada tatanan hukum yang dipercaya berujung kekerasan baru. Siklus kekerasan itu harus diputus dengan memancangkan kembali

72

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan (Politik) Masa Lalu

tiang-tiang hukum. Hukum harus kembali dijernihkan untuk mengkoreksi konteks dan kebijakan masa lalu yang salah dan pelakunya berjalan bebas tanpa takut akan hukuman. Moralitas baru sebuah masyarakat hanya dapat dipulihkan lewat pengembalian ruh moralitas itu di dalam raga hukum. Jika struktur baru masih melindungi aktor utama yang di masa lalu bertanggungjawab, maka jelas ada potensi keberulangan. Parameter seperti ini dibutuhkan saat mendorong penyelesaian suatu masalah kekerasan berskala masif atau penyelesaian atas konflik kekerasan yang berakar. Transisi politik di Indonesia baru melewati fase permukaan berupa reformasi sistem politik melalui desentralisasi, demokratisasi serta penguatan demokrasi perwakilan. Itu pun belum dirasakan bebas dari diskriminasi dan ekslusifisme terhadap kaum yang termarginalisasi. Gagasan-gagasan lainnya yang berkembang dalam pengalaman bangsa di dunia termasuk pengalaman bangsa kita sendiri yang dapat kita kembangkan, antara lain adalah perubahan perilaku negara, transformasi sistem pendidikan yang lebih transformatif dari pedagogi watak yang otoriter menuju demokrat dan republikan, perombakan struktur dan aparat yudisial serta doktrin, paradigma dan kebijakan sektor keamanan yang berorientasi pada perlindungan manusia/warga negara, pengalaman perdamaian seperti di Aceh bisa diterapkan ke Papua melalui dialog termasuk pengembalian para pihak berkonflik ke masyarakat. Ada pula yang memisahkan garis demarkasi antara rejim kekerasan dengan rejim baru yang menghargai martabat manusia melalui pelarangan pelanggar HAM untuk masuk ke dalam struktur politik atau tubuh pemerintahan (vetting/lustration). Di sini, langkah-langkah berani ditempuh melalui pembersihan sektor publik dari bekas-bekas elite lama yang telah terlibat atau bertanggungjawab atas pelanggaran HAM. Tak besar harapan saya jika menyaksikan pola pikir dan perilaku eliteelite atau pemimpin-pemimpin sipil Indonesia hari ini yang begitu pragmatis, dan hanya mementingkan kepentingan diri dan golongannya. Namun saya percaya dan memiliki harapan besar mencermati berbagai prakarsa masyarakat sipil dalam menghapus impunitas akan mampu mencegah kebangkrutan moral pemimpin formal negeri ini. Kita tak bisa mengubah keadaan jika tak bertindak bersama, dan kita tak bisa mengubah sikap mereka kecuali mereka sendiri mau mengubahnya.

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

73

Tuntaskanlah Kekerasan (Politik) Masa Lalu

Peluang membangun bangsa yang bermartabat akan tetap menjadi ilusi jika ke depan kita masih berkutat pada argumen-argumen sejumlah elite selama ini yang menyembunyikan ketakutannya dan mengatakan bahwa mengingat kekerasan masa lalu hanya akan mengorek luka lama. Mungkin ada baiknya kita renungkan apa yang dikatakan Paul Ricoeur, menghidupkan ingatan bukan untuk menaruh dendam dan benci pada kebrutalan pihak tertentu di masa lalu, tetapi lebih untuk membangun perdamaian sejati, dan berusaha untuk tidak mengulangi kekeliruan di masa lalu. Karenanya, tuntaskanlah kekerasan (politik) masa lalu melalui pemenuhan keadilan mereka yang menjadi korban.

74

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Mematahkan Banalitas Kekerasan


Wahyudi Akmaliah Muhammad

Obat Penenang
Berbeda dengan rejim Orde Baru, di mana negara menjadi struktur tunggal yang melakukan kekerasan sebagai mekanisme pendisiplinan kepada masyarakat yang dianggap dan ataupun memiliki potensi untuk membangkang atas kebijakan yang diterapkannya, paska rejim itu, ada rangkaian sebab-akibat, beragam faktor, motif, dan katalisator mengapa konflik dan ataupun kekerasan bisa muncul. Selain itu, kekerasan dan konflik yang terjadi tidak lagi terpusat pada mereka yang memiliki kemampuan finansial, kekuasaan, dan ataupun modal simbolik, melainkan muncul pada yang tertindas, kalah, dan tersingkir dalam pertarungan ruang publik, entah itu dengan wajah ekonomi, budaya, agama, kepentingan politik, ataupun karena prestise melakukan kekerasan itu sendiri. Alhasil, beragam tawaran muncul sebagai obat penenang untuk meredakannya, seperti 1) multikulturalisme sebagai bentuk sensitivitas kewargaan mengenal wajah masyarakat yang beragam lewat sejumlah diskursus reinterpretasi ayatayat agama yang memiliki hasrat kekerasan, pelatihanpelatihan dan ruang dialog dalam upaya memperdalam semangat ke-kita-an ketimbang ke-kami-an, 2) keberpihakan ekonomi kepada mereka yang termarginalkan sebagai akibat dari pembangunan nasional yang lebih mementingkan

Wahyudi Akmaliah Muhammad adalah Associate Researcher MAARIF Institute.

75

Mematahkan Banalitas Kekerasan

kelompok yang memiliki kemampuan ekonomi berlebih, dan ataupun gesekan pribumi-pendatang yang telah merubah struktur ekonomi di beberapa daerah sehingga mengakibatkan konflik yang entah mengapa tiba-tiba berwajah etnis dan agama. Tak pelak, usaha di atas merupakan ikhtiar dalam menciptakan ruang kemungkinan menyemai perdamaian dan kontrak bersama sebagai warga negara sebagai bentuk tindakan preventif nirkekerasan di masa depan. Meskipun diakui, kekerasan dan konflik masih saja kerap terjadi. Berpijak dari sini, saya akan menelisik masa lalu dengan melihat akarakar kekerasan yang telah melembaga dalam budaya lokal Indonesia dan bagaimana kebijakan Orde Baru dalam mengelola keragaman budaya tersebut. Selain itu, saya membahas peristiwa 1965 sebagai cikal bakal budaya kekerasan di masyarakat lewat pembunuhan massal 1965 dan stigma politik yang diciptakannya untuk para korban dan keluarga mereka. Jejak-jejak kekerasan warisan rejim Orde Baru yang tak diselesaikan inilah yang kemugkinan menjadi penyebab utama mengapa aksi-aksi kekerasan masih terjadi hingga saat ini.

Budaya Kekerasan
Dalam bentangan budaya nusantara, hasrat dan tindakan kekerasan telah menjadi bagian dari kebudayaan pada sebagian besar etnis di Indonesia. Hanya saja, kekerasan yang dipraktikan tidak serta merta begitu saja bisa didedahkan. Ada mekanisme dan prasyarat tertentu mengapa kekerasan bisa terjadi dan perlu dilakukan. Di sini, seseorang akan melakukan tindakan kekerasan terhadap orang lain bila ia telah melukai kehormatan, martabat, dan ataupun harga dirinya. Maksud katakata tersebut merujuk pada sesuatu yang dianggap sakral, dimuliakan, dan bentuk-bentuk sistem atribut ke-patriarki-an mereka, salah satunya adalah simbol kejantanan dan keberanian. Dalam kebudayaan Bugis, Makasar, Sulawesi Selatan, misalnya, memiliki budaya siri, yang mengandung arti perasaan malu atau harga diri. Kata siri ini bisa merujuk pada dua makna, positif dan negatif. Kata siri bermakna positif bisa memberikan dampak kontrol diri kepada seseorang sehingga ia jera untuk melakukan lagi dan upaya menjaga akhlak serta martabatnya. Sementara kata siri yang bermakna negatif yang memunculkan persoalan sosial adalah siri ripakasiri, yaitu ketika

76

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan (Politik) Masa Lalu

seseorang ataupun sekelompok orang mengalami perlakuan penyerangan atas kehormatannya dari orang lain ataupun sekelompok orang lain, seperti dihina di depan tempat umum, dipukuli, ditempeleng dan ketika seorang anak perempuannya dibawa lari oleh orang lain. Dalam konteks ini, laki-laki Bugis secara kultural dianggap telah kehilangan martabatnya, dan ia, secara sistem budaya bugis, mewajibkan untuk memulihkan kembali martabat itu dengan cara membunuhnya lewat badik (Latief Wiyata, 2002). Sementara, dalam tradisi Madura, perasaan terhina dan terluka karena harga dirinya telah dilecehkan dan dinodai disebut dengan malo. Kata malo di sini bukan merujuk karena ulah dirinya, sebagaimana kata malu yang sering kita pahami, melainkan karena ulah orang lain. Dalam realitas sosial kata malo bisa berarti istri diganggu oleh orang lain, persaingan bisnis, rebutan jabatan, dan konflik harta warisan. Cara memulihkan harga diri yang dilecehkan itu adalah dengan melakukan carok, satu upaya melakukan tindakan pembunuhan dengan clurit. Selain itu, carok merupakan media kultural bagi pelaku yang berhasil mengalahkan musuhnya untuk memperoleh predikat sebagai orang jago (jagoan) atau jika pelaku tersebut telah berpengalaman membunuh maka predikat sebagai oreng jago menjadi semakin tegas sehingga keberhasilan dalam carok selalu mendatangkan perasaan puas dan bangga bagi pelakunya (Latief Wiyata, 2002). Sebagaimana ditegaskan di atas, meskipun budaya kekerasan telah melembaga dalam masyarakat Indonesia terkait dengan internalisasi nilai paradigma etnik yang dimiliki, bukan berarti mereka bisa mengekspresikan kekerasan begitu saja. Ada mekanisme dan pemantik tertentu mengapa kekerasan dilakukan. Dengan demikian, kekerasan dalam budaya etnik Indonesia telah menjadi institusionalisasi nilai budaya yang melekat sehingga tidak bisa diletupkan begitu saja dalam konteks budaya mereka. Sayangnya, selama rejim Orde Baru berkuasa, keragaman budaya semacam ini tidak dikelola dengan baik, bahkan direpresi sedemikian rupa lewat kebijakan konsep SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Konsep ini mengandaikan sebuah masyarakat yang tanpa konflik dan penuh harmoni. Implikasi dari konsep ini adalah bahwa keragamaan dan perbedaan adalah sumber konflik yang harus dihindari.

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

77

Mematahkan Banalitas Kekerasan

Ini terlihat dari kebijakannya lewat konsep Bhineka Tunggal Ika dengan menjadikan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) sebagai prototipenya. Dalam konsep TMII, masyarakat etnik Indonesia hidup terpisah dalam ruang yang sama layaknya kebun binatang. Pada satu sisi, struktur yang dibangun ini bisa membangun kesalingmengertian di antara budaya etnis Indonesia di mana mereka bisa saling mengenal satu sama lain. Namun, pada di sisi lain, hal ini menciptakan penegasan bahwa antara budaya satu dengan yang lainnya adalah berbeda. Di sini, perbedaan seakan-akan ingin dirayakan, padahal dalam perayaan itu ada upaya penegasan perbedaan. Merayakan perbedaan yang didisiplinkan inilah yang memungkinkan menjadi bom waktu yang meledak berkali-kali paska tumbangnya rejim Orde Baru, akibat ketidaksiapan masyarakat menerima perbedaan yang tidak sesuai dengan pakem definisi rejim tersebut.

Habitus Kekerasan
Jauh sebelum adanya konsep SARA, Orde Baru telah membangun budaya kekerasan dalam mengelola negara. Peristiwa pertama dan kekerasan terbesar yang dilakukan Orde Baru itu adalah peristiwa 1965 yang selalu dikait-kaitkan dengan Gerakan 30 September, di mana PKI dituduh sebagai dalang di balik pembunuhan tujuh jenderal Angkatan Darat. Padahal, sebagaimana diungkapkan oleh John Rossa (2008), peristiwa Gerakan 30 September tersebut sangat misterius, tak terencana, bahkan itu sebenarnya merupakan sebuah gerakan yang gagal. Namun, pemaksaan dan penyalahgunaan lewat tafsir tunggal yang mengatakan itu adalah gerakan yang didalangi oleh PKI menjadi dalih untuk melancarkan operasi pembunuhan massal. Dengan kata lain, Orde Baru membersihkan lawan-lawan politik yang berpotensi mengancam kekuasaannya dengan melakukan pembantaian massal 1965 dengan melibatkan ribuan orang Indonesia untuk berpartisipasi membunuh sesamanya, menangkapi mereka yang dianggap berkaitan dan dikait-kaitkan dengan PKI tanpa mengikuti prosedural hukum yang telah ditetapkan. Sebab itu, untuk menciptakan musuh bersama yang perlu dihabiskan sampai ke akar-akarnya, Orde Baru menciptakan anasir-anasir jahat

78

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan (Politik) Masa Lalu

sebagai daya pembangkit legitimasi untuk melakukan kekerasan. Seperti gambaran komunis yang anti Tuhan; PKI sebagai biang keladi pemberontakan terhadap negara pada peristiwa Madiun 1948; Gerwani, organisasi yang dianggap berafiliasi dengan PKI, sebagai gerakan perempuan yang menyayat-nyayat kemaluan sang jenderal dalam G 30 S sehingga mengakibatkan terbunuhnya jenderal dalam peristiwa tersebut. Narasi-narasi inilah yang direproduksi selama bertahun-tahun lewat film dan buku-buku pelajaran sekolah (Budiawan, 2004; Weiringa, 1999). Campuran fantasi dan fiksi yang dibuat itu pun menjadi seolaholah nyata bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Selain itu, lewat propaganda dan stigma yang dibuat, Orde Baru telah menanamkan benih-benih kekerasan kepada masyarakat melalui mereka yang dianggap dan terkait dengan sesuatu yang berbau komunis ataupun PKI. Akibatnya, masyarakat dengan mudah melakukan kekerasan dengan melabelkan begitu saja tindakannya sebagai aksi memberantas komunis. Kata PKI yang dikaitkan dengan komunis pun, sebagaimana diungkapkan oleh Ariel Heryanto (2006), sudah menjadi tanda kosong yang mengapung (a floating empty signfier), yang apa pun itu bisa dimasukkan dan dikategorikan sebagai bagian dari ancaman komunis. Dengan kata lain, kata komunis atau komunisme itu telah mengacu pada dirinya, dalam istilah Baudrillard, kata itu menjadi lebih nyata dibandingkan dengan aslinya (hyperreality).

Banalitas Kekerasan
Jatuhnya rejim Orde Baru pada Mei 1998 memberikan ruang kemungkinan untuk mematahkan budaya kekerasan yang diwariskan tersebut. Sayangnya, ketidakseriusan penyelesaian persoalan pelanggaran HAM dan pembiaraan kepada para pelaku yang melakukan tindakan kekerasan pada masa lalu, perlahan-lahan telah menciptakan tradisi impunitas. Selain awetnya ingatan komunisme yang dikaitkan dengan PKI, adanya kartel-kartel politik yang lebih mengedepankan kepentingan politik sekelompok partai daripada kepentingan bangsa menjadi penyebab sulitnya mendesak pengungkapan kebenaran masa lalu. Padahal, di sisi lain, regulasi hukum di era reformasi yang berpihak kepada masyarakat terus diproduksi dan memberikan ruang untuk memasung tindakan primitif kekerasan tersebut.

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

79

Mematahkan Banalitas Kekerasan

Pada titik ini, sebagaimana diungkapkan Hilmar Farid (2010), ketika tidak ada kepastian hukum dan kemauan politik yang kuat terkait dengan aksiaksi kekerasan masa lalu menyebabkan masyarakat kemudian mencari benteng-benteng sendiri yang berbasis etnik dan agama. Identitas kelompok yang dimobilisasi dan diperkuat ini memberikan rasa aman dan juga unggul sehingga membuat anggota kelompok kerap merasa berada di atas hukum. Penutupan gereja dan penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah adalah cerminan dari perkembangan ini. Begitu juga dengan aksi-aksi kekerasan komunal etnik seperti di Tarakan. Sementara, aparat keamanan yang diharapkan menjaga stabilitas menjaga stabilitas keamanan, di keamanan, di beberapa aksi kekerasan bahkan turut mengobarkan aksi beberapa aksi kekerasan bahkan turut sektarianisme. Mereka juga tak mengobarkan aksi sektarianisme. segan-segan memelihara para preman dan jagoan untuk dijadikan Mereka juga tak segan-segan kolega melakukan aksi kekerasan memelihara para preman dan jagoan dengan dalih melakukan penertiban umum. Ini tercermin dari seringnya untuk dijadikan kolega melakukan aksi pembiaraan anggota Front Pembela kekerasan dengan dalih melakukan Islam yang melakukan aksi-aksi kekerasan atas nama ketertiban penertiban umum umum dan dalih menjaga agama. Sikap memelihara premanisme dan adanya duplikasi kekerasan masa lalu membuat aksi-aksi kekerasan semakin menyeruak. Ditambah lagi dengan adanya budaya kekerasan yang melembaga dalam kebudayaan masyarakat etnik Indonesia. Hal ini, secara tidak langsung, menciptakan banalitas kekerasan.1 aparat keamanan yang diharapkan

Banalitas kekerasan ini merujuk pada teori Hannah Arendt tentang banality of evil mengenai Adolf Eichman, mantan letnan kolnel SS Nazi yang diajukan ke pengadilan Israel sebagai penjahat perang yang bertanggung jawab secara operasional mendeportasi 6 juta Yahudi ke kamp-kamp konsentrasi seluruh Eropa, termasuk Auschwitz. Selama persidangan yang memakan waktu 16 minggu itu, Arend dengan cermat mengikuti jalannya persidangan, lalu mengirim seri tulisan untuk majalah The New Yorker. Setelah mencermati secara mendalamjawaban-jawaban, ekspresi, tingkah laku Eichmann, Arendt menunjukkan bahwa sesungguhnya dia bukan monster. Ia seorang yang normal. Berbeda jauh dari gambaran seorang pembunuh yang haus darah. Bahkan setelah mempelajari masa lalunya, ia melihat sebenarnya Eichmann memiliki simpati kepada Yahudi. Seorang pendeta yang tiap hari dikirim ke sel Eichmann selama persidangan, menurut Arendt, berkesimpulan Eichmann bukan seorang anti-semitik fanatik. Ia bukan manusia jahat yang timbul dari dirinya sendiri. Arendt melihat kondisi totaliter membuat Eichmann lumpuh logika. Kompromistis terhadap kenyataan, kehilangan kemampuan berpikir kritis, tidak berani mengambil keputusan menurut nurani. Ia patuh menjalankan hukum secara dangkal, (Hannah Arendt, 1985)

80

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan (Politik) Masa Lalu

Dengan demikian, adanya upaya regulasi penegakan hukum tak kenal tuan dan kebijakan yang memihak kebenaran untuk menggodam siapapun itu pelaku dan pemicu tindak kekerasan, baik dari masyarakat sipil, tokoh agama, ataupun aparatus negara yang bertindak sewenangwenang atas kewenangan yang dimilikinya dalam mengelola konflik menuju perdamaian di tingkat akar rumput menjadi hal yang sangat mendesak. Hal ini satu bentuk upaya mematahkan banalitas kekerasan dan menciptakan sensitivitas nirkekerasan di antara sesama anak bangsa.

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

81

Mematahkan Banalitas Kekerasan

Daftar Pustaka
Arendt, Hannah. 1985. The Origins of Totalitarianisme Harcout Brace Jovanovich Budiawan. 2004. Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto, Jakarta: Elsam Farid, Hilmar. 2010. Keadilan Bagi Timor Leste Prasyarat Demokrasi di Indonesia. Makalah disampaikan dalam peluncuran buku Chega! di Perpustakaan Nasional, Jakarta, 7 Oktober 2010. Dikutip pada 7 November, 2010 dari http://www.scribd.com/doc/39001922/Chega Heryanto, Ariel. 2006. State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally belonging, London and New York: Routledge Rossa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30S dan Kudeta Suharto (diterjemahkan dari: Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suhartos Coup dEtat in Indonesia, penerjemah: Hersri Setiawan), Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra. Wiyata, A. Latief. 2002. Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, Yogyakarta: LKiS.

82

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Viktimisasi Perempuan
Saparinah Sadli

Kekerasan terhadap perempuan, atau viktimisasi perempuan, telah ada sejak dimulainya peradaban manusia. Dengan dimotori gerakan perempuan di akhir abad ke-20 terbentuk kesepakatan global untuk memahami viktimisasi perempuan sebagai suatu pelanggaran hak dasar perempuan, yaitu hak perempuan untuk menjalani kehidupannya secara bermartabat. Konperensi Dunia Pertama tentang Perempuan di Meksiko (1975) mengidentifikasi realitas bahwa meskipun banyak negara telah menandatangani Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (1948) namun diskriminasi terhadap perempuan di negara-negara penandatangan DUHAM seperti Indonesia tetap marak terjadi. Konperensi di Meksiko tersebut menyepakati penyusunan naskah bahwa diskriminasi terhadap perempuan merupakan pelanggaran hak asasi perempuan. Naskah ini disahkan PBB (1979) sebagai Convention on the Elimination of All Types of Discrimination (CEDAW). Gerakan perempuan secara global, regional dan lokal selanjutnya mencatat: viktimisasi perempuan cenderung meningkat, secara kuantitatif dan kualitatif. Hal ini terjadi saat ada konflik sosial-politik maupun saat damai. Sebagai respons terhadap kenyataan ini komite CEDAW menyusun Rekomendasi no. 19 tentang Deklarasi Menghapus Kekerasan terhadap Perempuan (1994). CEDAW adalah instrumen

Saparinah Sadli adalah Pengamat Masalah Perempuan

83

Viktimisasi Perempuan

perlindungan hak perempuan yang mencantumkan kekerasan, intimidasi, dan rasa takut sebagai kendala bagi perempuan untuk dapat berpartisipasi penuh dalam kegiatan bermasyarakat. Pemerintah Indonesia meratifikasi CEDAW dengan menetapkan UU no 7/84 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dan mensahkan UU no23/04 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (P-KDRT) sebagai upaya Pemerintah melindungi perempuan Indonesia dari kekerasan di berbagai ruang kehidupan bersama.

Beberapa Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan


Dari pespektif psikologi perempuan dapat dibedakan tiga bentuk viktimisasi perempuan: perkosaan, kekerasan terhadap istri, pelecehan seksual. Perkosaan adalah bentuk viktimisasi yang paling ditakuti perempuan. Ada beberapa konsep untuk menjelaskan mengapa perkosaan terjadi. Satu diantaranya: perkosaan terjadi karena korban yang mengundang (dengan caranya berpakaian, karena, perilakunya). Adalah perempuan yang meminta untuk diperkosa. Akibatnya: perempuan yang salah dan disalahkan. Konsep ini memakai pendekatan victim blaming. Para aktivis perempuan lebih cenderung menggunakan teori tentang sosialisasi norma-norma sosial yang menempatkan laki-laki lebih superior terhadap perempuan. Dalam konseptualiasi ini bukan perilaku seksualnya tetapi bahwa perkosaan adalah hasil ekspresi kekuasaan dan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Yang ditekankan di sini adalah: ketidaksetaraan gender mendasari kekerasan terhadap perempuan. Penelitian tentang perkosaan mengungkap bahwa sikap pelaku dan polisi lebih banyak menunjukkan persamaan dalam memandang isu mengapa perempuan diperkosa. Keduanya bersikap perkosaan terjadi karena kesalahan perempuan. Temuan ini menjelaskan mengapa korban perkosaan memilih untuk tidak melapor kepada polisi. Korban juga cenderung memilih bungkam tentang pengalamannya untuk menghindari reviktimisasi dalam kantor polisi atau di pengadilan dan memilih me-repres pengalaman pahitnya. Bahwa hingga sekarang korban perkosaan masal dalam Tragedi Mei 1998 memilih untuk bungkam terkait pada faktor psikologis dan non-psikologis. Secara psikologis korban tidak mau ingat atau diingatkan kembali pada perkosaan yang ia alami. Sedang realitas bahwa hingga sekarang Pemerintah Indonesia mengingkari terjadinya

84

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Perempuan, dan Subkultur

perkosaan karena tidak adanya bukti legal memperkuat pilihannya. Hak korban akan pemulihan, kompensasi dan keadilan dengan demikian juga tidak terpenuhi. Dalam perkosaan yang disasar adalah tubuh perempuan, tetapi yang dihancurkan seluruh pribadinya. Korban kehilangan harga drinya dan rasa amannya. Korban juga kehilangan kepercayaan pada diri sendiri dan pada orang lain. Respons umum korban perkosaan karenanya adalah: trauma dan depresi. Ada korban yang dapat mengatasi sendiri traumanya, ada yang perlu bantuan orang lain (nenek, teman, konselor). Hasil penelitian juga mengungkap: tidak ada yang bisa disebut typical rapist, ditinjau dari pendidikan, suku, agama, status perkawinan, pekerjaan, sejarah kriminalnya atau motivasinya. Temuan ini menjelaskan mengapa perkosaan paling ditakuti perempuan. Salah satu solusi yang ditawarkan untuk mengatasi masalah perkosaan adalah agar perempuan tidak bekerja di luar rumah dan tidak keluar rumah sendirian di malam hari. Suatu tawaran solusi yang justru melanggar hak kebebasan perempuan untuk dapat memilih sesuai keinginan dan kebutuhan sendiri. Secara tidak langsung juga menuduh bahwa laki-laki tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya. Bentuk lain tentang viktimisasi perempuan adalah kekerasan terhadap istri. Melecehkan istri mempuyai sejarah panjang karena ada anggapan bahwa perilaku memukul istri untuk mendisiplin istri dibenarkan ajaran agama (yang keliru?). Anggapan ini merupakan perpanjangan kekuasaan dan dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam mengisi peran gendernya. Sekaligus memantapkan norma bahwa laki-laki (suami) adalah pemimpin dan perempuan (istri) adalah pelayan dan perawat kebutuhan suami, anak, orangtua (lansia). Romantisasi bahwa rumah adalah sorga diruntuhkan oleh data bahwa kekerasan terhadap istri setiap tahunnya meningkat, termasuk di Indonesia (laporan Komnas Perempuan; 2009). Sebagaimana dalam perkosaan, dinyatakan bahwa tidak ada profil khusus tentang pelaku kekerasan (laki-laki sebagai suami) terhadap istri tetapi bahwa tidak sedikit pelaku berasal dari keluarga di mana terjadi kekerasan. Tercatat bahwa korbannya bisa istri bekerja atau tidak bekerja, bisa berpendidikan rendah atau tinggi, bisa berasal dari berbagai suku dan agama. Kekerasan terhadap istri terjadi baik ketika ada konflik sosial-politik maupun saat damai. Sedang pertanyaan mengapa

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

85

Viktimisasi Perempuan

istri yang mengalami kekerasan tidak meninggalkan suaminya dijelaskan dengan teori learned helplesness (psikologi belajar). Intinya, perempuan belajar untuk bersikap pasif dan tidak berdaya. Ketidakberdayaannya mewujud dalam perilaku perempuan yang menerima saja nasibnya (sebagai istri yang dipukuli). Teori ini tidak mendukung kenyataan bahwa makin banyak istri sekarang berani memilih untuk meninggalkan rumahtangganya yang penuh kekerasan. Diantaranya cukup banyak yang kemudian aktif (sebagai survivor) membentuk kelompok atau organisasi yang membantu perempuan korban kekerasan. Para korban yang menjadi survivor adalah potret bahwa perempuan bukan makhluk pasif atau lemah (stereotipi perempuan) tetapi mampu aktif memperjuangkan haknya untuk memilih dan menentukan apa yang ingin ia lakukan bagi dirinya dan orang lain. Ada bentuk lain dari kekerasan terhadap perempuan, yakni gender yang dalam berbagai pelecehan seksual dan disebut sebagai little rapes. Pelecehan bentuknya merupakan indikasi seksual bisa terjadi di lingkungan penyalahgunaan kekuasaan, pendidikan (di kampus terkemuka), di kantor (termasuk ruang kerja ketidaksetaraan dan dominasi yang pejabat polisi, ruang terapi/ruang dipakai seorang untuk memaksa atau periksa dokter) maupun di tempat umum (di jalanan, di taksi, di membohongi orang lain. Dampaknya busway). Karena sifat dan bentuknya adalah kehancuran integritas dan begitu bervariasi, maka sulit untuk mendefinsikan pelecehan seksual kepercayaan diri perempuan yang secara jelas. Tetapi esensi pelecehan menjadi korban dan pelanggaran seksual adalah: tidak diinginkan ada paksaan perilaku seksual dalam relasi terhadap hak asasi perempuan gender yang tidak setara. Pelecehan seksual bisa mewujud dalam katakata yang tidak senonoh, mendekati secara fisik yang menimbulkan rasa tidak aman bagi perempuan, komentar seksis oleh dosen laki-laki mengenai perempuan; sikap sok baik sampai dengan ancaman tidak akan dibantu masuk pekerjaan tertentu bila tidak memenuhi permintaannya. meningkatnya kekerasan berbasis Sedang kekerasan terhadap anak perempuan yang sekarang mencuat sebagai isu publik adalah perkawinan usia dini dan khitan perempuan.

86

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Perempuan, dan Subkultur

Perkawinan usia dini di daerah tertentu merupakan tradisi yang hingga kini tetap dianut. Sekarang meningkat karena terkait pada faktor kemiskinan dan marak terjadinya perdagangan anak. Perkawinan usia dini (sebelum usia 18 tahun sesuai UU Perlindungan Anak) secara biologis melanggar hak kesehatan reproduksi perempuan. Karena secara biologis, sistim dan organ reproduksi anak perempuan belum siap untuk hamil dan melahirkan. Secara psikologis, sebagai anak perempuan ia belum mampu memberi perawatan dan pengasuhan sesuai kebutuhan perkembangan fisik dan psikologis anaknya. Pekawinan usia dini juga bedampak negatif pada pengembangan diri anak perempuan itu sendiri. Ia tidak diberi kesempatan untuk mempersiapkan dirinya menjadi orang dewasa yang sehat fisik, mental dan produktif. Hak untuk terlindungi dari berbagai penyakit menular dan seksual juga terlanggar. Perkawinan dini merupakan contoh konkrit tentang penyalahgunaan kekuasan orang dewasa terhadap status orang lain yang masih berusia anak. Khitan anak perempuan merupakan kebiasaan yang sudah lama di kenal dalam masyarakat kita. Di daerah tertentu ditandai oleh serangkaian ritual dan perayaan, sesuai keyakinan agama. Hingga kini praktek khitan perempuan masih mendapat legitimasi dari sebagian budaya dan masyarakat di berbagai belahan dunia. Di Indonesia praktek khitan perempuan masih dianut secara luas. Penelitian Population Council di enam propinsi (2001-2003) di Indonesia mengelompokkan khitan perempuan dalam dua kelompok. Yang dilakukan secara simbolis (tidak ada penggoresan atau pemotongan sebagian jaringan organ anak peremuan). Yang lain, dinilai berbahaya karena dilakukan penggoresan atau pemotongan sebagian jaringan organ anak perempuan. Hingga sekarang tidak ada metode baku dalam khitan perempuan sehingga ada kemungkinan dilakukakannya dengan dampak negatif pada kesehatan reproduksi anak perempuan. Kondisi ini dibahas di Konperensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan di Kairo (1994) dan Konperensi Internasional ke IV tentang Perempuan di Beijing (1995). Hasilnya, khitan perempuan dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap hak reproduksi dan kesehatan perempuan. Direktur Jendral BinKesMas Departemen Kesehatan dalam tahun 2006 mengeluarkan surat edaran melarang medikalisasi sunat perempuan oleh semua tenaga kesehatan. Sedang Komisi Fatwa MUI menyetujui pelarangan khitan perempuan yang membahayakan kesehatan namun membolehkan praktek tersebut jika dilakukan secara simbolis.
MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

87

Viktimisasi Perempuan

Penutup
Konseptualisasi tentang kekerasan terhadap perempuan mendukung asumsi tentang tempat perempuan (womens place) dalam kehidupan bermasyarakat. Secara legal disahkan dalam UU perkawinan no I/74 bahwa tempat/peran utama perempuan adalah di rumah (ranah domestik) dan peran tempat laki-laki adalah di ranah publik (lingkup sosial/luar rumah) yang berkonsekuensi berkembangnya penilaian masyarakat tentang posisi inferior perempuan dengan berbagai konsekuensi negatifnya. Salah satunya adalah meningkatnya kekerasan berbasis gender yang dalam berbagai bentuknya merupakan indikasi penyalahgunaan kekuasaan, ketidaksetaraan dan dominasi yang dipakai seorang untuk memaksa atau membohongi orang lain. Dampaknya adalah kehancuran integritas dan kepercayaan diri perempuan yang menjadi korban dan pelanggaran terhadap hak asasi perempuan. Penyalahgunaan kekuasaan dimungkinkan karena adanya ketidaksetaraan status antar individu, antar kelompok atau antara Negara dan implementasi instrumen legal untuk melindungi hak asasi perempuan yang belum memuaskan.

88

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Melawan Kekerasan yang Tidak Kasat Mata


Pergulatan Kaum Perempuan di Pesantren al-Firdaus, Siraman, Jawa Tengah* Farha Ciciek

Ini adalah cerita tentang sisi lain komunitas Pesantren alFirdaus1 (sebut saja begitu) di desa Siraman, Jawa Tengah. Komunitas ini seringkali disorot masyarakat Internasional berkaitan dengan persoalan kekerasan atas dasar radikalisme agama. Biasanya berbagai opini, pemberitaan, diskusi maupun obrolan tentang Pesantren ini terkonsentrasi pada berbagai aspek yang dikaitkan dengan kekerasan politik dan sudah barang tentu seputar jagad lelaki. Adakah yang menggubris dunia perempuan al-Firdaus Siraman? Apa yang sebenarnya terjadi di Pesantren Putri al-Firdaus desa Siraman ini? Di tengah gemuruh isu terorisme yang bertubitubi, hingga pesantren nyaris dibubarkan oleh pemerintah RI, tak banyak yang ambil peduli terhadap komunitas perempuan di lingkungan dalam Pesantren itu. Padahal ada pelajaran yang menarik dari kehidupan mereka. Sesuatu yang mungkin tak dikira dan tak terpikirkan. Itulah yang merupakan salah satu sebab yang mendorong saya untuk kembali ke pondok putri pesantren ini untuk kedua kalinya. Komunitas Siraman memang bukan sesuatu yang baru bagi saya. Pada awal dasawarsa 90-an saya pernah berada di sana lebih dari setahun dalam rangka riset untuk kepentingan akademik.
* Tulisan ini adalah revisi dari background paper series Islamist Feminism? Syariah for the Empowerment of Women : the Case of Indonesias Pesantren al-Firdaus, ARC Federation Fellowship, 2010. Nama pesantren di atas bukan nama sebenarnya. Ini dilakukan atas permintaan beberapa narasumber di Pesantren.

Farha Ciciek adalah Pengurus Rahima, peneliti/konsultan pada Semarak Cerlang Nusa Crest (Consultacy, Research and Training for Social Transformation), Board of Lapis (Learning Assistance Program for Islamic School) Tanoker (Komunitas Belajar Ledokombo Jember)

89

Melawan Kekerasan yang Tidak Kasat Mata

Waktu itu, Komunitas Pesantren al-Firdaus sebagaimana kelompok Islamis pada umumnya masih dalam tekanan politik ORBA di bawah rezim Suharto. Isu negara Islam, syariah, Islam Kaffah2 misalnya, tidak bisa didiskusikan secara terbuka sehingga menjadi perbincangan dibawah tanah . Meski isu-isu tersebut ditekan di alam politik masyarakat Indonesia secara umum, di dalam Pesantren gemanya terdengar sangat nyaring. Sosialisasi Islam Kaffah (baca: Islam yang komplit) dilakukan secara intensif. Islam Kaffah bukan saja terpampang dalam dokumen-dokumen di Pesantren al-Firdaus. Ia bukan sesuatu yang pasif tetapi secara aktif diwacanakan dalam ceramah, khutbah dan media informasi baik mading (majalah dinding), majalah lokal maupun radio komunitas. Juga dalam Tausiah maupun proses belajar mengajar di kelas, di masjid dan di pengajian. Selain itu sering didengungkan Juga dalam rapat- rapat atau halaqoh (refleksi kelompok kecil yang membahas masalah agama dan kehidupan pribadi anggotanya yang hanya diikuti kalangan terbatas). Nyaris segala sesuatu dikaitkan dengan Islam Kaffah. Dalam konteks ini ada upaya keras untuk merealisasikan cara hidup perempuan yang berdasar Islam Kaffah. Ini diyakini sebagai salah satu pilar reislamisasi masyarakat. Pada dasarnya, semua upaya yang dilaksanakan di Pesantren al-Firdaus Siraman ini hendak merealisasikan keyakinan bahwa agama bukanlah sekedar teori tetapi amal perbuatan. Dalam kehidupan di Pesantren ini, agama cenderung didekati secara hukum ( law oriented) Warga komunitas ini dididik agar peka dan taat hukum. Ada beragam peraturan yang harus dijalankan beserta segenap imbalan dan sanksi yang diterima jika terjadi pelanggaran. Semua itu disosialisasikan secara intensif melalui berbagai cara dan sarana. Dalam kegiatan formal (sekolah) maupun informal (kepesantrenan, ekstra kulikuler). Di komunitas ini segregasi antara lelaki dan perempuan merupakan sesuatu yang diyakininya sebagai kewajiban yang bersifat syariyah (berdasarkan tuntutan Al-Quran dan prilaku nabi Muhammad Saw). Segregasi adalah salah satu cara Pesantren untuk menghindari ikhtilat (Pergaulan
2 Konsep Islam Kaffah ala al-Firdaus mencakup beberapa pengertian sekaligus: 1. Kembali ke al Quran dan Sunnah Rasul; 2. Islamnya nabi Muhammad dan generasi salafusshalihin; 3. Islam yang bukan hanya teori tetapi lebih sebagai ajaran praktis; 4. Islam yang menekankan aqidah dan syariah sekaligus; 5. Islam sebagai din wa daulah (Agama dan Negara); 6. Isy kariiman aw mut syahiidan (Hidup Mulia atau Mati Syahid).

90

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Perempuan, dan Subkultur

campur atau interaksi yang rapat antara laki laki dan perempuan). Hal ini dilakukan karena pada prinsipnya diyakini bahwa masyarakat ideal Islam adalah masyarakat yang tersegregasi. Meskipun demikian menurut beberapa pengasuh senior pesantren ini, kontak antara laki-laki dan perempuan dalam batas tertentu tetap diperbolehkan dan telah diatur dalam syariah. Selain ikhtilat, persoalan keperempuanan lain yang cukup panas dan mengundang debat seru di komunitas ini adalah persoalan safar alnisa yakni aturan perjalanan kaum perempuan. Kontroversi tentang hal ini telah berlangsung sejak diperdebatkannya beberapa hadits yang teksnya melarang kaum perempuan bepergian sendirian tanpa pendamping lelaki yakni suami dan mahram (kerabat laki-laki yang disahkan agama antara lain kakak/adik, paman dan kakek ). Akan halnya peraturan tertulis tentang peran dan posisi kaum perempuan, tertuang dalam buku khusus yang diajarkan kepada para santri selama 2 semester. Buku setebal 48 halaman ini, diawali kutipan 2 buah hadits misoginis (kebencian terhadap perempuan)3 . Buku berjudul Kewanitaan ini terdiri dari 8 bab, yaitu Beberapa Pandangan Masyarakat Tentang Wanita, Peranan Antara Laki-laki dan Perempuan, Ciri-ciri Wanita Sholehah, Wanita dan Aurat, Peranan Wanita dalam Kehidupan Masyarakat, Tugas dan Peranan Wanita Menurut Kedudukannya, Wanita Muslimah dan Busana Serta Beberapa Larangan Bagi Kaum Wanita Muslimah4. Secara tegas buku ini menjabarkan berbagai unsur yang dicirikan sebagai perempuan dan laki-laki. Bahwa laki-laki dan perempuan itu berbeda secara fitrati, baik dari segi biologis, psikologis maupun fungsi-fungsi sosialnya. Kaum lelaki bertugas sebagai pencari nafkah dan kepala rumahtangga dalam kehidupan rumahtangga. Lelaki juga seharusnya bersifat maskulin (tegas, tegar, rasional dll). Akan halnya perempuan, tugas utamanya sebagai pengelola rumahtangga, mengasuh anak, mengerjakan pekerjaan domestik. Untuk itu perempuan harus mengembangkan
3 Riffat Hassan Teolog feminis asal Pakistan mengkategorikan 2 hadis ini sebagai hadist misogini (Baca: anti perempuan). Hadis hadis tersebut berkisah tentang asal kejadian manusia perempuan (Hawa) yang diklaim berasal dari tulang rusuk Adam (manusia pertama). Tulang rusuk tersebut rapuh dan bengkok. Dengan demikian perempuan secara asasi selalu bengkok dan rapuh sesuai asal kejadiannya. Dalam waktu dekat ini ada rencana untuk melengkapi buku ini dengan materi tambahan agar lebih memadai. Hal ini dituturkan ustadzah SS berikut ini : Buku kewanitaan memang perlu dibenahi. Hal ini dilakukan karena perkembangan isu kewanitaan Mutakhir seperti persoalan emansipasi, feminisme, karir dan lain-lain belum tercakup di dalam buku ini. Yang ke dua karena rentang waktu pengajaran yang cukup lama (dua semester) sedangkan materinya terbatas ingga banyak waktu yang kosong (biasanya di gunakan untuk menghafalkan dalil) .

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

91

Melawan Kekerasan yang Tidak Kasat Mata

kodrat feminitas yang telah diberikan Tuhan kepada mereka seperti lemah lembut, sabar, penuh kasih dll.

Pola pembedaan Perempuan dan Lelaki berbasis Gender ala Pesantren al-Firdaus
Sifat Wilayah Kegiatan Fungsi Peran Seksualitas Perempuan Feminin Domestik Reproduktif Istri dan Ibu rumah tangga, Pasif Lelaki Maskulin Publik Produktif Suami, Pencari nafkah dan Kepala rumah tangga Aktif

Itulah secuplik sketsa tentang Islam Kaffah ala Pesantren putri alFirdaus. Dalam perjalanan sejarah ternyata konstruksi yang dijalankan selama ini ternyata tidak selalu memuaskan kaum perempuan di komunitas ini. Alasannya jelas, berbagai kebijakan yang disandarkan atau diatasnamakan Islam Kaffah kurang mengakomodir kepentingan mereka. Oleh sebab itulah kemudian muncul perlawanan. Awalnya hanya bersifat individual. Namun lama kelamaan mengkristal menjadi gerakan kolektif.

Dicari: Superman
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa salah satu peraturan di komunitas al-Firdaus menegaskan bahwa sejatinya para pencari nafkah adalah lelaki/ suami, sedangkan kaum perempuan/istri adalah makhluk domestik yang bertugas sebagai pengasuh anak dan mengurus rumahtangga. Meski secara normatif lelaki ditetapkan sebagai pencari nafkah namun secara faktual ternyata kaum perempuan adalah pemasok terbesar inkam rumahtangga. Secara kasat mata sebagian besar warga al-Firdaus berasal dari kelas bawah dan double income (baca: suami istri harus mencari nafkah) merupakan sesuatu yang tak terhindarkan. Akibatnya kaum perempuan mau tidak mau harus berperan ganda dan sebagai akibatnya mengalami overburden (beban berlebihan) karena sehari-hari harus bekerja ekstra keras di rumah maupun mencari nafkah untuk menutupi kebutuhan sehari hari yang tidak dapat dipenuhi oleh suami.

92

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Perempuan, dan Subkultur

Kaum lelaki umumnya hanya mencari nafkah semampu mereka. Alokasi waktu cukup banyak digunakan untuk tugas agama seperti mengajar, berdakwah atau sebagai aktivis harakah (pergerakan Islam). Tidak banyak waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumahtangga meski ada diantara mereka yang ingin sekali membantu istrinya. Beban berlebihan yang ditanggung rata-rata kaum perempuan alFirdaus (terutama yang telah berumahtangga) menggerakkan mereka untuk melancarkan gerakan pemberdayaan perempuan. Salah satunya adalah melalui kampanye akan kebutuhan suami Superman. Suami yang bersedia bermulti peran. Suami yang disamping mencari nafkah aktif pula mengerjakan pekerjaan rumahtangga (membantu istri). Kaum perempuan Siraman mengidolakan Figur Ustadz M, seorang warga komunitas yang sering dijadikan contoh lelaki ideal. Apa keistimewaan Ustadz M? Di lingkungan Pondok Pesantren ini ia dikenal sebagai sosok yang di atas rata-rata. Ia saleh, aktivis dakwah, qonaah (sederhana), berkomitmen kuat kepada gerakan Islam dan yang istimewa ia dikenal sangat mencintai keluarga. Ia aktif mengerjakan pekerjaan rumah dan mengasuh anak, memanjakan istri meski sangat sibuk mengajar dan berdakwah. Ia menjalankan beragam peran, baik di ruang domestik maupun publik. Walhasil, ia sangat meringankan beban sehari hari istrinya. Saking populernya figur Ustadz M, hingga jika ada perempuan warga al-Firdaus yang hendak menikah ada semacam doa, bahwa semoga sang suami akan seperti Ustadz M.

Strategi Teks
Selain penyebaran hal yang bersifat praktis seperti di atas, strategi pemberdayaan lain yang dijalankan adalah terkait dengan teks. Teks memiliki kedudukan sentral dalam kehidupan komunitas ini. Persoalan selalu diarahkan dan bertumpu pada teks (al Quran dan Hadist). Namun untuk upaya pemberdayaan, kaum perempuan tidak selalu sejalan dengan rujukan teks yang dibakukan di komunitas ini. Mereka seringkali melanggar teks dan norma kelompok. Pelanggaran yang paling sering terjadi adalah kasus bepergian tanpa mahram melebihi jarak syari (lebih dari sehari semalam). Sebagai contoh apa yang dialami Ustadzah A Yah gimana ya, soalnya saya harus menghadiri walimatul ursy (pesta pernikahan) keluarga. Sulit cari mahram selama di perjalanan ya saya pergi sendiri, Ujar Ustadzah A.
MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

93

Melawan Kekerasan yang Tidak Kasat Mata

Pada kesempatan lain, untuk mendukung kepentingan mereka, kaum perempuan memilih dan menggunakan interpretasi yang menguntungkan atau berdampak positif bagi kedudukan mereka. Dalam hal ini paling tidak ada 2 jenis interpretasi yang dikemukakan. Pertama, Interpretasi yang menegaskan superioritas lelaki (misalnya berkaitan dengan kepemimpinan) namun berdampak positif bagi perempuan. Menurut beberapa anggota komunitas, kepemimpinan lelaki tidak bermasalah bahkan positif jika menguntungkan kaum perempuan. Komentar yang dilontarkan Ustadzah B dan didukung oleh Ustadzah C menggambarkan hal itu Menurut ajaran agama Islam karena lelaki adalah pemimpin atau kepala keluarga maka ia bertanggung jawab terhadap seluruh pengelolaan keluarga termasuk kerja rumahtangga. Jadi kerja rumahan adalah tanggung jawab suami bukan istri. Perempuan idealnya ya bertugas melahirkan kemudian hidup santai. Lelaki dan negara harus menanggung kehidupannya. Ustadzah C menambahkan Itu lho seperti yang dilakukan di Saudi Arabia. Perempuan enak sekali. dimanja sekali. Itulah syariah.5 Kedua, Interpretasi yang menonjolkan hak perempuan. Salah satu contoh adalah masalah poligami. Secara faktual komunitas ini tidak mempromote poligami sebagai tradisi. Karena berasal dari lower class lelaki di komunitas al-Firdaus Siraman tidak sanggup berpoligami terutama karena alasan ekonomi. Hanya beberapa pimpinan komunitas yang melakukan poligami. Itupun menurut berbagai sumber (terutama anggota komunitas perempuan) praktek ini tidak diterima secara ikhlas oleh sebagian keluarga mereka (terutama istri dan anak perempuan) dari para pemimpin tersebut. Sikap tidak senang terhadap poligami dari sebagian keluarga pemimpin ini cukup banyak diketahui anggota komunitas. Dalam perkara poligami ini, beberapa anggota komunitas perempuan menekankan keharusan faktor kesanggupan ekonomi dan keadilan terhadap istri. Dan hal ini sungguh amat sulit untuk direalisasikan, kata mereka. Ada beberapa anggota komunitas perempuan yang mengatakan bahwa poligami itu merupakan ajaran agama, tetapi sulit untuk mereka terima. Mungkin iman saya masih kurang ya, tukas salah seorang ustadzah. Tetapi ada sementara ustadzah maupun santri yang tak berkebaratan jika suami mereka berpoligami. Poligami, mengapa
5 Ini adalah impian sebagaian perempuan Siraman. Sebuah impian untuk merasakan kenikmatan Syariah ala Saudi Arabia yang menurut mereka serba berlimpah dimana perempuan dibebaskan dari berbagai beban domestik sehingga terlepas dari rutinitas yang menyengsarakan. Ini khas impian perempuan kelas bawah akan kehidupan yang lebih menyenangkan

94

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Perempuan, dan Subkultur

tidak? Itu toh sudah merupakan ketentuan Islam. Andai suami saya mau berpoligami saya tidak berkeberatan. Asal dengan alasan yang jelas bersesuaian dengan agama, sahut Ustadzah H Ketiga, pengayaan ragam penafsiran. Semula dari dominasi tafsir (tekstual) yang bersumber langsung pada al Quran dan hadist ke fleksibilitas fiqh yang lebih memberikan alternatif kebebasan pada kaum perempuan untuk menjawab berbagai masalah dari khazanah keagamaan. Beberapa santri senior dan ustadzah muda semakin aktif mewacanakan hal ini. Sebagai contoh peraturan tentang Keluarga Berencana (KB). Menurut beberapa pemimpin komunitas Pesantren ini, KB dilarang karena tidak sesuai dengan ketentuan agama Islam. Ketentuan ini merujuk kepada salah satu hadis dimana disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW sangat mengharapkan jumlah umatnya berlimpah-ruah. Jadi upaya untuk menekan jumlah umat adalah perbuatan yang diklaim tidak islami. Ustadzah B yang diam-diam ikut KB memberikan alasannya sebagai berikut Saya ikut KB secara sembunyi-sembunyi. Saya dan suami tidak merasa berdosa karena KB menurut beberapa fuqaha untuk mengatur kelahiran bukan untuk mengurangi apalagi menghentikan kelahiran seperti yang dilarang agama . Atau alasan yang dikemukakan ustadzah D : Sampai sekarang persoalan KB masih bersifat ikhtilaf (perbedaan pendapat) diantara ulama. Meski beberapa orang penting di Pondok melarang, setelah saya bicara dengan suami kami memutuskan untuk ikut KB. Saya minum pil KB.

Kehendak untuk berkuasa


Liku-liku dan perjalanan perempuan Siraman tampaknya membuat mereka kini sampai pada kesimpulan bahwa kekuasaan merupakan alat yang ampuh untuk merealisasikan kepentingan6. Tahun 1992-1993 saat pertama kali saya melakukan di pesantren ini, situasi seperti ini belum muncul. Dengan kata lain, saat itu kaum perempuan cenderung menolak kekuasaan. Dan memang selama beberapa periode belakangan Pesantren putri selalu dipimpin oleh para ustadh (guru lelaki). Kepemimpinan diserahkan kepada para Ustadz awalnya karena keengganan
6 Di pesantren ini sepuluh tahun lalu lalu situasi seperti ini tidak muncul (perempuan cenderung menolak kekuasaan). Memang selama beberapa periode belakangan Pesantren putri selalu dipimpin oleh para ustadh (guru lelaki). Kepemimpinan diserahkan kepada para Ustadz awalnya karena keengganan beberapa ustadhah (guru perempuan) senior yang dinominasikan untuk posisi ini. Alasan penolakan mulai dari kerepotan rumahtangga sampai tidak pantas memipin semasa masih ada pria.

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

95

Melawan Kekerasan yang Tidak Kasat Mata

beberapa ustadzah (guru perempuan) senior yang dinominasikan untuk posisi ini. Alasan penolakan mulai dari kerepotan rumahtangga sampai tidak pantas memipin semasa masih ada kaum lelaki. Dari berbagai perbincangan dapat disimpulkan bahwa rupanya mereka belajar bahwa selama ini posisi pinggiran perempuan di arena kekuasaan membuat mereka gagal merealisasikan kepentingan tersebut. Tuntutan kaum perempuan adalah perubahan stuktural dimana kaum perempuan memegang posisi pengambil keputusan. Iktikad untuk masuk arena kekuasaan telah sangat kuat dan dimotori oleh perempuan perempuan yang berwibawa di komunitas tersebut.7 Dalam konteks realisasi syariah, wacana yang sering didengungkan pihak Pesantren adalah mekanisme pengelolaan kesantrian putri yang dilakukan oleh kaum perempuan sendiri (tanpa banyak intervensi dari pihak laki laki). Hal ini ditangkap dan didesakkan oleh beberapa pemimpin kelompok perempuan. Namun Ketika wacana itu didesakkan untuk direalisasikan sepenuhnya, para pemimpin Pesantren (yang semua lelaki) masih enggan memberi otonomi penuh kepada kaum perempuan untuk mengelola Pesantren putri secara mandiri. Alasannya adalah hal ini amat sulit dilakukan secara menyeluruh karena terbentur pada masalah-masalah praktis khas perempuan (seperti cuti hamil, keterbatasan gerak, kerepotan rumah tangga) maupun karena prinsip-prinsip agama yang mengatur ruang gerak perempuan (misalnya keharusan disertai mahram dalam bepergian dan menghindari ikhtilat). Tarik menarik kepentingan tak terelakkan lagi. Akhirnya di kepengurusan Pesantren putri yang baru diambil jalan tengah. Posisi ketua dan wakil kesantrian putri, pada periode kepengurusan terakhir tetap diserahkan kepada lelaki8 sedangkan kaum perempuan menduduki posisi sebagai ibu asrama dan pembimbing spiritual. Keputusan ini diterima sebagai sebuah kemenanganoleh kelompok perempuan. Namun sayangnya keputusan tersebut tidak segera direalisasikan dengan alasan yang kurang jelas.
7 Orang pertama dan ke dua terkaya di komunitas al-Firdaus Siraman adalah perempuan. Mereka pebisnis yang sukses. Salah satunya karena pada`awalnya memanfaatkan jaringan orangtua santri sebagai lahan bisnisnya. Ini merupakan salah satu factor yang memperkuat posisi tawar perempuan di komunitas ini. Di samping mereka ada beberapa perempuan yang kharismatis seperti istri pimpinan komunitas, beberapa ustadzah (termasuk istri Ustadz superman seperti yang diceritakan di atas) Dengan alasan untuk menghandle urusan luar yang susah dilakukan kaum perempuan dan persoalan teknis yang tak bisa ditangani kaum perempuan. Misalnya listrik bermasalah, air, bangunan bocor dll

96

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Perempuan, dan Subkultur

Sebenarnya jika kekuasaan telah berada di tangan kaum perempuan mereka telah mempunyai berbagai rencana perbaikan pembinaan santri di kesantrian putri baik bersifat fisik, intelektual dan spiritual. Selain itu kepentingan warganya yang lain seperti para ustadzah juga dikedepankan. Diantaranya adalah masalah Koperasi. Sebagai bagian dari kepentingan perempuan juga hendak ditata kembali. Koperasi diperuntukkan untuk sebagai sarana peningkatan inkam yang penting bagi keluarga Pesantren. Ustadzah maupun istri Ustadz diberi kesempatan untuk menyetor jajanan (makanan dan minuman). Ini salah satu cara untuk menambah penghasilan keluarga yang strategis dan terjangkau. Sarana ini sangat menggiurkan. Namun terdengar desas - desus bahwa karena lebih konsen ke berdagang di koperasi ada diantara ustadzah yang tidak terlampau berkonsentrasi dalam mengajar. Masalahnya laba dari berdagang di koperasi lebih besar dari gaji sebagi ustadzah, apalagi yang honorer. menurut pembicaraan beberapa ustadzah dan istri ustadh, koperasi sudah menyimpang dari syariat dan lagi dampaknya meretakkan ukhuwah diantara kaum perempuan. Untuk itulah masalah pembenahan koperasi diagendakan sebagai agenda mendesak. Koperasi sekarang ini kok nggak Syari malah sepertinya pake sistem globalisasi banget. Akibatnya hanya menguntungkan segelintir orang. Kami, para penyetor dipacu untuk bersaing. Dagangan siapa yang laku itulah pemenangnya.Yahibu-ibu yang lain yang jualannya nggak laku ya gimana. Ini ndak bisa dibiarkan. Sistem ini merusak ukhuwah dintara ibu-ibu penyetor. Muncul iri, nggrundel, pokoknya hubungan jadi nggak sehat. Jadi, ini penting untuk dibenahi. Ini agenda mendesak Komentar ustadzah D. Masalah lain yang diagendakan untuk dibenahi adalah TPA (Tempat Pengasuhan Anak dan menolak istilah Tempat Penitipan Anak). Beberapa ustadzah baik yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak ataupun yang masih lajang mengganggap TPA merupakan sarana yang amat penting. Namun menurut beberapa ustadzah dalam kenyataan pihak pesantren kurang mendukung upaya untuk membuat TPA yang relatif memadai.

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

97

Melawan Kekerasan yang Tidak Kasat Mata

Sudah lama sebenarnya kami meminta perhatian untuk pembuatan TPA yang layak bagi anak para asatidzhah (guru perempuan) yang mengajar. Tetapi sayangnya Pesantren kurang menanggapi. Akhirnya dengan solidaritas sesama guru perempuan kami urunan tiap bulan Rp 5000 untuk biaya operasional menjalankan TPA sederhana. Dulu Pesantren pernah menyumbang Rp 75.000 perbulan tetapi ndak kemudian lama berhenti. Semoga ke depan Pesantren lebih mau peduli. Khan ada anjuran untuk punya anak banyak. Pesantren seharusnya membantu dalam hal ini ya. Agar para asathidzah lebih ringan bebannya. Pada akhirnya yang untung para santri juga, karena ustadzahnya fresh hingga bisa mengajar dengan lebih baik. Jika santri yang lulus lebih berkualitas maka buahnya yang memetik ummat juga. Ummat akan mendapat bimbingan degan lebih baik pula , komentar usthadzah C. Beragam keprihatinan yang dirasakan oleh kaum perempuan alFirdaus seperti terpapar di atas mendorong mereka untuk bergerak ke atas. Mereka berupaya untuk ikut berkuasa. Mereka telah belajar dari pengalaman bahwa tanpa kekuasan kepentingan sering terganjal atau diabaikan. Mereka kini berupaya mematahkan halangan kultural, normatif, maupun struktural. Perempuan Pesantren al-Firdaus Siraman kini memandang kekuasaan sebagai sebuah tangga untuk menuju ke kehidupan yang lebih baik. Mereka mendesakkan kepentingan mereka, dengan berbagai cara, termasuk memakai sekaligus melanggar Syariah produk para patriach yang sedang berkuasa di Pesantren ini !

Penutup
Silaturahmi saya ke Pesantren al-Firdaus, Siraman, sebuah lembaga yang dicap Radikal, (dan tidak setuju gender equality secara konseptual) semakin menegaskan makna khusus kekuasaan dari pandangan perempuan. Memakai momen penerapan Syariah Islam yang dinilai bahkan dirasakan sementara orang sebagai anti kekuasaan bahkan sumber penindasan perempuan, secara cerdik perempuan Pesantren al-Firdaus bersiasat untuk menapak kuasa. Mereka mendesakkan agenda pengelolaan kesantrian putri agar dilakukan oleh kaum perempuan sendiri. Kapling yang selama ini menjadi domain dan didominasi kaum lelaki dengan berbagai alasan, sosial maupun keagamaan. Di awal abad 21 ini, perempuan Al-Firdaus, desa Siraman telah berkata tidak pada sistem yang serba lelaki, mutlak lelaki.

98

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Perempuan, dan Subkultur

Saya menarik masuk fenomena Siraman sebagai bagian dari geliat perempaun Indonesia masa kini9. Kaum perempuan Indonesia, kini bukan hanya bicara namun lebih jauh mengembangkan politik ala perempuan secara terbuka dan penuh percaya diri. Dan fenomena itu bukan hanya merupakan kisah kaum perempuan kota, moderen, elite, terpelajar, berduit dan progressif. Tetapi, juga dialami oleh perempuanperempuan yang dianggap terbelakang, kolot, anti kesetaraan gender dengan tubuh di belit jubah dan cadar (seperti yang ada di Siraman). Babak baru Pesantren al-Firdaus datang bersama muncul dan merebaknya upaya maistreaming hukum Syariah Islam di Indonesia. Komunitas alFirdaus merupakan salah satu pihak yang leading dalam upaya ini. Wacana Islam kaffah yang dominan selama dua dasawarsa terakhir ini tergeser oleh hirup pikuk bersyariah. Ada harapan yang sangat besar disampirkan kepada proyek Syariatisasi ini. Jika bagi sementara perempuan, pemberlakuan hukum Syariah merupakan ancaman terhadap kehidupan mereka, sebuah upaya pengerdilan bagi hak-hak mereka maka perempuan al-Firdaus merasakan dan memaknainya secara berbeda. Ambil contoh santri putri yang selama ini hampir seluruh kehidupannya berada di dalam tembok pesantren. Suntuk dengan kegiatan rutin dan lingkungan yang membosankan, keluar peantren merupakan sesuatu yang sangat istimewa. Apalagi keluar karena didorong untuk mengikuti berbagai event sosialisasi Syariah. Enak lho mbak. Kita bisa mejeng, ikut pawai, liat dan ketemu dengan selebriti10 dan bisa cuci mata alias nglirik cowok-cowok. Pengennya sih yang sering sering aja pawai syariah begini Atau komentar berikut: Kami ingin lebih banyak keluar pondok untuk bergabung bersama umat memperjuangkan Islam. Hal ini sungguh menambah ghirah perjuangan. Kalau di pondok saja, nggak cukup bersemangat. Karena nggak merasakan langsung masalah yang dihadapi umat Islam. Nah kalau bisa, saya sih mengusulkan supaya kita terlibat lebih aktif untuk kampanye syariah

Dalam dua dasawarsa terakhir, kaum perempuan diberbagai kelompok/organisasi seperti oganisasi masa umum, partai politik, aktivis LSM, ormas agama (seperti perempuan NU, Muhammadiyah juga dari kalangan Katolik dan Protestan) menuntut posisi untuk menduduki jabatan strategis sebagai pengambil keputusan). Hasil penelitian di Pesantren putri Siraman menambah daftar tersebut. 10 Mereka menyebut nama-nama seperti Ismail Yusanto dan Mahendrata ketua Tim Pembela Pengacara Muslim Mahendrata sebagai contoh Selebriti

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

99

Melawan Kekerasan yang Tidak Kasat Mata

Bukan hanya santri yang bergembira dengan perubahan perubahan mutakhir sejauh berkaitan dengan perayaan Syariah ini, para ustadzah menangkap dan memanfaatkan semangat dan momentum ini untuk alat tawar posisi dan kondisi, baik dalam urusan keluarga, relasi dengan suami maupun urusan kerja. Memakai momen dan semangat penerapan Syariah Islam yang dinilai bahkan dirasakan sebagian orang anti kekuasaan bahkan sumber penindasan perempuan, perempuan al-Firdaus justru bersiasat untuk memperbaiki kondisi maupun posisi mereka. Perempuan-perempuan Siraman telah melawan kekerasan Struktural yang bernuansa patriarkis dengan cara mereka sendiri. Terkait dengan hal tersebut di atas saya akan menutup tulisan ini dengan mengutip refleksi Gilles Keppel dalam bukunya Jihad the Trail of Political Islam untuk kita renungkan bersama In the ranks of veiled female militans demanding the application of Sharia, we see, in many cases, the first generation of women to speak in public outside their home and beyond their domestic role. In doing this, they have collided with male militants bent on cofining these women to a subordinate role in moslem society. Some women, most notably in Turkey and Iran, have reacted by creating a form of Islamist Feminism to counter the machismo that prevails in the movement. These protest may represent the first stirring of the futures moslem democracy . Mungkin seperti kutipan Kepel di atas, bisa jadi perempuan di pesantren al-Firdaus Siraman ini adalah bagian dari sebuah gelombang besar proses demokratisasi ditengah masyarakat Muslim. Tanpa hiruk pikuk, dari wilayah-wilayah politik yang dianggap sangat berbahaya dan penuh ancaman. Perempuan-perempuan ini tengah memimpin sebuah proses perubahan dari dalam. Apakah dari mereka kita mash bisa berharap ? Wallahualam Bissawab.

100

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Perempuan, dan Subkultur

Bahan Bacaan
Azra, Azyumardi, Fenomena Fundamentalisme dalam Islam, dalam Jurnal Ulumul Quran No 3 Vol IV, LSAF dan ICMI, 1993. Berger, Peter L. and Thomas Luckmann, Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1990. Bhasin, Kamla, dan Khan, Nighat Said, Some Question on Feminism and Its Relevance in South Asia, New Delhi: Kali for Women, 1986. Bhasin, Kamla, What is Patriarchy ?, Lahore: Kali for Women, 1993. Bruinessen, Martin van, Muslim Fundamentalism: Can it be Understood or Should it be Explained Away?, makalah seminar Internasional Agama dan Perkembangan Kontemporer (Suatu Pembahasan Per bandingan), Yogyakarta: Depag/IAIN Sunan Kalijaga, 1992. Doran, Christine, Perempuan dan Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Pustaka Argu, 1994. Esposito, John L., Ancaman Islam: Mitos atau Realitas, Bandung: Mizan, 1994. Gellner, Ernest, Menolak Posmodernisme: Antara Fundamentalisme Rasionalis dan Fundamentalisme Religius, Bandung: Mizan, 1994. Haeri, Shahla, Obdience versus Autonomy: Women and Fundamentalism in Iran and Pakistan, dalam Marty, Martin, E., dan Appleby R. Scott, Fundamentalisms and Society: Reclaiming The Science, The Family and Education. Chicago: The University Chicago Press, 1993. Hardacre, Hellen, The impact of Fundamentalism on Women, the family and Interpersonal Relationship dalam Marty, Martin, E., dan Appleby R. Scott, Fundamentalisms and Society: Reclaiming The Science, The Family and Education. Chicago: The University Chicago Press, 1993. Hasan, A., Wanita Islam. Bangil: Lajnah Penerbitan Pesantren PERSIS, 1989. Hassan, Riffat, The Burgoeining of Islamic Fundamentalism: Toward an Undertanding of the Phenomenon, dalam Cohen, Norman J., (Ed.), The Fundamentalist Phenomenon: A View from With in; A Response from Without, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company Grand Rapids, 1990. Imam, Ayesha, Jenny Morgan and Nira Davis, Warning Sign of Fundamental-isms, Paris: WUML, 2004. Kelas VI KMA 1414 H,1994. Renewel, Serial Text Pidato Bahasa Inggris. Kepel, Gilles, Jihad and the Trail of Political Islam, Cambridge&Massachussets: Belknap Press of Harvard University Press, 2002. Laila, Ahmed, Women and Gender in Islam: His torical Roots of a Modern Debate. New Heaven & London: Yale University Press, 1992. Martinez, Patricia A., Fundamentalism and Women: Negotiating Sacred Terrain,

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

101

Melawan Kekerasan yang Tidak Kasat Mata

Manila: ISIS, 2001. Marty, Martin, E., dan Appleby R. Scott, Fundamentalisms and Society: Reclaiming The Science, The Family and Education. Chicago: The University Chicago Press, 1993. Menzies, Edna. M, N.D. Equal Right Or Gender Discrimination And Repression?: An Australian View of Girls Education in Indonesian Moslem Secondary Schools, Monash University, Gippsland Campus. Mernissi, Fatima dan Hassan, Riffat, Setara di Hadapan Allah, Yogyakarta: LSPPA - Yayasan Prakarsa, 1995. Mernissi, Fatima, Beyond The Veil: Male-Female Dynamics In Modern Muslim Society, London: Al Saqi Books, 1985. Meuleman, Johan H., Fundamentalisme Islam: Dengan perhatian Khusus kepada Aljazair dan Iran, tt. Muzani, Syaiful, Berteologi sebagai Praktek Politik: Suatu Kesaksian Islam Orde Baru, dalam Spiritulitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat, Yogyakarta: INTERFIDEI, 1994. Nottingham, Elizabeth, Sosiologi Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 1985. ONeill, Maura, Women Speaking dan Listening: Women in Interreligious Dialogue, New York: Orbis Books, 1991. Rijal, Fauzi dkk (Ed.), Dinamika Gerakan Perem puan di Indonesia, Yogyakarta: Perpustakaan Hatta-LSPPA-Yayasan Prakarsa-FES, 1993. Smith, Jane I. dan Haddad, Yvonne Y, Hawwa, Citra Perempuan dalam AlQuran dan Hadits, dalam Jurnal Ulumul Quran, 1989. Vol 1, No 1. Tabari, Azar dan Yenageh, Nahid, In the Shadow of Islam, The Womens Movement in Iran, London: Zed Press, 1982. Tehranian, Majid, Fundamentalism impact on Education an the media: An Overview, dalam Marty, Martin, E., dan Appleby R. Scott, Fundamentalisms and Society: Reclaiming The Science, The Family and Education. Chicago: The University Chicago Press, 1993. Tucker, Judith E., Arab Women: Old Boundaries, New Frontier, Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1993. Wardah Hafidz, Feminisme sebagai Counter Culture, dalam Jurnal Ulumul Quran, No. 5 & 6, Vol. V, 1994, LSAF dan ICMI, Jakarta. Yatim, Debra, Riffat Hassan: Mengungkap Misogini Dalam Islam, Jakarta: Mitra Media, 1994.

102

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Yang Menderita Yang Menghidupkan:


Suara Perempuan Peduli Perdamaian Hakiki dari Ambon, Maluku* Josep Antonius Ufi dan Sr. Brigitta Renyaan, PBHK

Momentun Baru Kebangkitan Perempuan dari Ambon


Blessing in disguise Motto ini dapat mengungkapkan pengalaman aktor perempuan peduli dari Ambon. Dalam arti tertentu Konflik Ambon ternyata banyak memberdayakan perempuan (wawancara; Pelu & Ufi, 2005). Bahkan peran influensial dari perempuan bagi perdamaian Ambon dan Maluku sekaligus bercorak paradoksal dan fenomenal. Dikatakan sebuah paradoks karena pada saat yang sama, perempuan, orang tua dan anak-anak adalah pihak yang paling dirugikan, dikorbankan dan dibuat menderita oleh konflik Ambon. Tetapi pada sisi lain, justru perempuanlah yang banyak berperan aktif sebagai pelopor, penginisiatif, filter dan motor bagi usaha perdamaian sekaligus sumber kehidupan keluarga ketika konflik berlangsung. Corak fenomenalnya nampak dalam peran aktual perempuan yang amat menonjol untuk perdamaian, melalui semacam kombinasi yang harmonis antara mereka di lembaga formal (pemerintah) dan lembaga nonformal (praktisi Gerakan Perempuan Peduli, NGO, serta individu). Peran-peran strategis perempuan dalam perdamaian konflik Ambon mendapat dukungan penuh dari Ibu Paula Renyaan, Wakil
* Tulisan ini pernah disampaikan pada Konferensi Internasional Perempuan Untuk Perdamaian, yang diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat dan Ilmu Budaya Universitas Indonesia dan Kementrian Pembangunan Norwegia di Jakarta pada 31 Maret 1 April 2007. Tulisan ini telah diperbaharui seperlunya dan dimuat atas seizin penulisnya.

Josep Antonius Ufi adalah Staf pengajar pada Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Pattimura Ambon, aktifis pada Lembaga Pemberdayaan Anak Marginal & Gender (LPAM) Ambon.

Sr. Brigitta Renyaan, PBHK adalah Koordinator Yayasan Kasih Mandiri untuk Anak dan Gender Ambon.

103

Yang Menderita Yang Menghidupkan

Gubernur Maluku. Kepedulian dan kesungguhannya dalam memberi ruang gerak kepada para aktivis perempuan mendapat pengakuan langsung dari para aktivis dengan pernyataan beruntung sekali kita, bahwa Ibu Paula menjabat Wakil Gubernur saat konflik, sehingga mempermudah dan memperlancar ruang gerak perempuan!(wawancara; Rosa Pentury, 2007). Kondisi seperti itu amat memungkinkan mobilisasi gerakan bersinergis yang bersifat vertikal ke atas (melalui para pejabat elit dan para isteri), maupun kebawah dengan akar rumput/komunitas basis secara horisontal. Tulisan ini merupakan kombinasi antara pengalaman (berdasarkan wawancara bersama para aktor perempuan, lihat daftar wawancara), pengamatan, refleksi dan analisa, khususnya tentang pergulatan memperjuangkan perdamaian sejak masa konflik sampai pada agenda program Peace through Development. Esai ini saya tulis bersama seorang aktivis laki-laki pemerhati masalah perempuan dan gender yang selalu menulis pengalaman-pengalaman para aktivis perempuan dalam proses perdamaian di Ambon. Ia juga menjadi speakperson kepada publik atas kerja-kerja perdamaian yang dilakukan. Keterlibatannya dalam tulisan ini bertujuan untuk objektifitas peran-peran perdamaian yang dilakukan para aktivis perempuan. Karena pandangan publik selama ini proses perdamaian konflik hanya didominasi oleh laki-laki. Berikut ini dibahas tentang peran kepeloporan para aktivis perempuan untuk perdamaian di Ambon. Para aktor perempuan peduli perdamaian ini umumnya juga adalah korban dalam konflik Ambon termasuk diantaranya Suster Brigitta PBHK yang menjadi pengungsi dari Ahuru, Agustus 1999, dan Hilda Rolabessy pengungsi dari Batu Merah Dalam, 1999. Mereka mengakui bahwa pengalaman selama mengungsi dan melihat secara langsung penderitaan para korban konflik khususnya kaum perempuan dan anakanak telah menumbuhkan semangat dan tekad bulat untuk mendorong proses perdamaian dan penghentian tindak kekerasan yang merugikan semua pihak. Para perempuan peduli perdamaian ini berangkat dari latar belakang yang berbeda-beda, berjuang pada aras dan wilayah yang berbeda, dan lahir dari wadah yang berbeda, dan mereka ternyata menjadi pelopor perdamaian dan kemanusiaan, baik secara formal vertikal maupun secara nonformal horizontal. Fokus gerakan perdamaian yang mereka bangun

104

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Perempuan, dan Subkultur

adalah membangun perdamaian melalui kaum perempuan dan anakanak.

Peranan Pelopor Kemanusian & Perdamaian.


Pada tingkat individu, muncul sejumlah perempuan pelopor perdamaian, diantaranya: pertama, Lucy Pelouw. Ia mempelopori dan menginisiasi gerakan intervensi psikologis untuk para pengungsi korban konflik dari Hila dan Buru. Ia memulainya dari kelompok kecil kaum muda gereja. Bantuan intervensi psikologis ini dirasakan merupakan kebutuhan urgen bagi para korban pengungsian, akan tetapi tidak mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan, baik oleh para relawan, aktivis, dan organisasi-organisasi lokal maupun dari luar. Karenanya, Ia tergugah untuk memprakarsai sekaligus menggeluti bidang intervensi psikologis tersebut semenjak tahun 1999 yang kemudian diorganisir melalui sebuah yayasan yang diberi nama Ekkaleo (1999). Kedua, Hilda Rolobessy, berangkat dari komitmen pribadinya dalam organisasi muda NU memulai dengan memprakarsai usaha-usaha awal yang bersifat darurat, yang kemudian diikuti upaya menginisiasi bantuan intervensi pendampingan trauma psikologis bagi para korban pengungsi, khususnya bagi para isteri yang ditinggal mati oleh para suami dan anak-anaknya karena konflik. Ketiga, Rosa Penturi, yang mengambil inisiatif membangun jaringan dalam memperjuangkan perdamaian melalui pemberdayaan interaksi bersama kaum muda dan remaja di Ambon. Meluasnya konflik Ambon yang terus memakan banyak korban jiwa tak berdosa, telah membuat risau berbagai kalangan baik pemerintah daerah maupun masyarakat korban konflik. Hal ini telah mendorong Bapak Gubernur dan Ibu Wakil Gubernur beserta jajaran Pemda Maluku melakukan pertemuan pada tanggal 6 Agustus 1999 untuk membincang dan mencarikan solusi penyelesaian konflik. Salah satu kesimpulan pertemuan ini adalah diperlukannya sebuah gerakan perdamaian yang dimulai dari bawah. Pada saat yang sama muncul inisiatif dari Suster Fransisco untuk membuat gerakan perempuan dari akar rumput. Ia menyampaikan gagasan ini dengan antusias kepada para koleganya dan meminta dukungan serta pandangan dari Ibu Wakil Gubernur. Ibu Wakil Gubernur menyambut baik gagasan ini dan memintanya untuk segera merealisasikan gagasan tersebut.

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

105

Yang Menderita Yang Menghidupkan

Selanjutnya diadakan pertemuan bersama ibu-ibu pendeta sebanyak 15 orang, untuk membicarakan pergerakan perempuan. Pertemuan ini menyepakati beberapa kegiatan awal seperti, gerakan doa bersama untuk perdamain setiap jam 21.00 malam dan menyatukan perempuan muslim di dalam gerakan bersama. Pada tanggal 7 Agustus 1999 para perempuan yang memprakarsai gerakan ini bertemu dengan Wakil Gubernur untuk mendiskusikan rencana mereka. Rencana ini pun mendapat dukungan penuh dari Wakil Gubernur, bahkan ia memberi saran untuk menamakan gerakan ini dengan nama Gerakan Perempuan Peduli (GPP). Pada saat itu juga, Ibu Wagub langsung menghubungi isteri Gubernur, Ny. Latukonsina, agar membatu menfasilitasi dan mempertemukan ibu-ibu muslim sebanyak 15 orang bersama ibu-ibu kristen. Pertemuan pertama antara ibu-ibu muslim dengan ibu-ibu kristen terjadi di rumah Bapak Gubernur Soleh Latukonsina, pada tanggal 7 Agustus 1999. Suasana awal pertemuan ini sangat menegangkan, saling mencurigai, saling benci, mengumpat, duduk saling membelakangi, memaki dan melepaskan kemarahan satu sama lain. Akan tetapi, tidak lama setelah diskusi berlangsung, peluk damai terjadi dan tangis haru pilu di antara mereka pun tertumpah ruah. Pertemuan awal itu menjadi titik tolak lahirnya komitmen untuk melakukan gerakan perempuan peduli secara bersamasama (wawancara: Sr. Brigitta Renyaan, 2007). Adapun para koordinator dari GPP ini adalah Ibu Pendeta Hendriks (GPM), Ibu Retty Assegaf (Muslim), dan Suster Brigitta PBHK (Katolik) (Sr. Brigitta Renyaan, 2007). Agenda utama dari Gerakan ini adalah melakukan doa bersama untuk perdamaian, kampanye stop kekerasan dan pertikaian, mewujudkan rekonsiliasi, mengupayakan rekonsiliasi antar warga masyarakat, serta memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak (Sr. Brigitta, 2003). Terkait dengan doa bersama disepakati untuk digelar setiap hari dan waktunya dilakukan pada jam shalat. Selain itu, GPP melakukan kampanye dan lobi intensif untuk Stop Kekerasan dan Pertikaian. Kegiatan kampanye Stop Kekerasan dan Pertikaian, terus dikomunikasikan secara intensif ke berbagai kalangan, baik secara vertikal melalui komunikasi intensif dengan para pejabat sipil dan militer, yang juga melibatkan para isteri pejabat sipil dan militer, guna mempengaruhi suami mereka. GPP juga melakukan aksi demo damai massal kepada para pejabat berwenang termasuk kepada pemerintah pusat. Inisiatif yang sama juga dilakukan secara horizontal, dengan mendampingi para

106

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Perempuan, dan Subkultur

ibu dan anak-anak terlibat perang atau konflik untuk menghentikan kekerasan dan kembali berdamai. Usaha ini dilakukan melalui kegiatan interaksi bersama di antara anak-anak kristen dan muslim. Patut dicatat pula di sini, bahwa keterlibatan saya secara langsung di dalam kerja-kerja kemanusiaan dan konflik di Ambon, didorong dan diinspirasi peran-peran kepeloporan dari GPP. Awalnya ketika Ibu Margareta, seorang aktivis kemanusiaan dari JRS/TRUK Jakarta, yang tiba di Ambon pada Febuari-Maret 1999 bertemu dengan saya dan beberapa teman. Melalui peran mediasi dan fasilitasi dari Ibu Margareta inilah, maka saya bersama teman-teman membentuk sebuah organisasi voluntir dengan nama Tim Relawan Kemanusiaan Ambon (TIRAM). Saya juga banyak belajar dari teman-teman aktivis perempuan peduli lokal maupun nasional, seperti, Ibu Karlina Laksono dan Ibu Wardah Hafidz. Peran-peran kepeloporan perempuan peduli perdamaain ini, ikut berkonstribusi besar dalam mempengaruhi jalannya proses-proses perdamaian dan rekonsiliasi di Ambon, Maluku.

Perempuan Antara Perdamaian Malino & Akar Rumput


Ada sesuatu yang luput dari perhatian semua orang bahwa yang ikut memberi andil besar dalam usaha-usaha penghentian konflik adalah inisitif-inisiatif lokal melalui relasi dan interaksi kelompok masyarakat pada level yang paling bawah, misalnya supir-supir truk, ibu-ibu penjual ikan, dan pedagang kaki lima. Mereka berinisiatif membentuk zonazona khusus untuk berinteraksi (zona baku bae), dan berproses menuju rekonsiliasi. (Toisuta dkk, 2007). Kutipan di atas hendak menegaskan betapa signifikannya peran-peran yang dilakukan masyarakat pada level yang paling bawah atau akar rumput dalam proses-proses perdamaian. Namun sayang sekali bahwa kutipan di atas tidak menyinggung tentang peranan dari GPP yang juga menjadi contoh baik untuk perdamaian Ambon dan Maluku. Padahal patut diakui bahwa kaum perempuan adalah motor penggerak di dalam proses-proses rekonsiliasi menuju perdamaian hakiki pada komunitas-komunitas basis atau akar rumput. Misalnya, melalui berbagai kegiatan trauma healing dan pendampingan untuk kaum wanita dan anakanak muda atau remaja. Kelompok-kelompok anak muda didekati dan

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

107

Yang Menderita Yang Menghidupkan

didampingi, diajak berhenti berperang, dan diajak untuk berinteraksi antara anak-anak muslim dan kristen melalui berbagai forum interaksi bersama. Misalnya, pertemuan rutin mingguan antara anak-anak muslim di THR dengan anak-anak Kristen yang digagas dan diorganisir oleh Lucy Pelouw (2007). Demikian juga dengan pendampingan anak-anak Agas (Kristen) dan Lingis (Muslim) yang dilakukan oleh Suster Brigitta dan teman-teman aktivis dalam GPP melalui berbagai forum dan aksi, seperti, demo damai penyampaian suara hati perempuan dan jeritan hati anak-anak, kepada para pejabat sipil dan militer. GPP juga melakukan pendampingan secara intens terhadap para istri yang trauma karena ditinggal pergi oleh para suami dan anak-anaknya untuk berperang. Sementara itu, karena desakan kebutuhan ekonomi, maka para istri dan ibu-ibu korban konflik secara spontan melakukan aktivitas ekonomi di pasar-pasar kaget di daerah-daerah perbatasan, seperti di Mardika, Pohonpule, Lampu Lima dan Rumah Sakit Tentara (RST). Para ibu ini kemudian didampingi, disupport dan dikuatkan oleh GPP bersama para aktivis perempuan. Bahkan melalui kegiatan ekonomi ini, lambat laun kegiatan perekonomian tersebut menjadi semacam Pasar Baku Bae (Pasar Perdamaian), sebagaimana di daerah Mardika. GPP juga terlibat aktif di dalam jaringan forum baku bae Maluku. Dampak dari gerakan ini cukup besar karena secara perlahan anak-anak menjadi paham dan sadar sehingga bisa menjadi mitra bagi para ibu untuk terus mengajak para ayah, suami dan para lelaki berhenti berperang (wawancara: Sr. Brigitta dan Lucy Pelouw, 2007). Perjanjian Damai Malino II yang diadakan di Malino Sulawesi Selatan pada tanggal 11-12 Februari 2002 telah menghasilkan sebelas butir kesepakatan. Perjanjian Maluku di Malino sebaliknya cenderung dianggap sebagai lebih bercorak elitis dan politis dan bahkan maskulinitas. Mengapa? Karena dari 200-an peserta pertemuan dan semuanya Kristen, termasuk Suster Brigitta PBHK. Berikut petikan komentar dari Sr. Brigitta di dalam forum Malino: mengapa kita datang berdamai di Malino ini jalan terpisah-pisah dan sendiri-sendiri: Islam jalan sendiri dan Kristen sendiri? Di mata perempuan ini lucu: karena diisukan bahwa Islam tidak mau jalan dengan Kristen dan Kristen tidak mau jalan dengan Islam (Sr. Brigitta, 2007).

108

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Perempuan, dan Subkultur

Namun pertanyaan Suster Brigitta dijawab secara diplomatis oleh Gubernur Sulawesi Selatan, bahwa semua peserta Islam-Kristen samasama naik pesawat yang sama dan dalam pidatonya mengatakan: terima kasih Suster Brigitta karena suster punya doa telah dikabulkan!. Menurut Suster Brigitta, Sebetulnya tidak perlu ada pertemuan Malino, kalau lakilaki mendengar seruan perempuan untuk menghentikan kekerasan dan pertikaian!. Menurutnya, Perjanjian Damai Malino tahun 2002 hanya bersifat eletis dan politis saja dan tidak memadai dalam menegakkan perdamaian yang hakiki di Ambon. Jangan lupa, Malino hanya puncak saja, karena masyarakat kecil telah melakukan rekonsiliasi kecil-kecil, misalnya Baku Bae Maluku.

Perlunya Pemberdayaan Perdamaian melalui Pembangunan yang Adil Gender


Menurut Tamagola (2007), rapuhnya implementasi hasil kesepakatan damai Malino II disebabkan karena kelompok yang merasa tidak diikutsertakan dalam Malino II untuk Ambon jauh lebih banyak dan mempunyai dukungan akar rumput yang kuat. Bahkan ditegaskan oleh Lucy Pelouw bahwa sampai tahun 2004, langkah perdamaian yang dilakukan di Ambon masih cenderung rapuh, karena masih banyak terdapat para pihak baik Islam maupun Kristen yang belum menginginkan perdamaian dengan berbagai alasan. Sosialisasi perjanjian Malino II yang dilakukan oleh para peserta ternyata mendapatkan tantangan yang luar biasa, termasuk yang dialami oleh Suster Brigitta dan kelompok aktivis perempuan muslim. Suster Brigitta sendiri pernah diancam nyawanya di lokasi penyerangan dan pembantaian yang dilakukan oleh kelompok pasukan siluman anti perdamaian di Desa Suyo tahun 2002. Karenanya sebagai sebuah strategi, tidak usah dilakukan perdamaian dengan memakai atribut-atribut seperti damai, resolusi, dan seterusnya. Langkah paling efektif adalah dengan melakukan berbagai kegiatan-kegiatan yang langsung berhubungan dengan kebutuhan para korban konflik, seperti pendidikan, layanan kesehatan, pemberdayaan ekonomi, serta berbagai kebutuhan sosial lainnya. Ini lebih mendasari sebuah perdamaian yang hakiki dan berkelanjutan. Menyadari kondisi seperti di atas, maka para aktor GPP kemudian memantapkan agenda-agenda perdamaian melalui pendampingan, penguatan dan pemberdayaan kelompok-kelompok anak/remaja/
MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

109

Yang Menderita Yang Menghidupkan

kaum muda, dan para ibu. Suster Brigitta misalnya, terus melakukan sosialisasi, kampanye dan advokasi melalui hak-hak perempuan dan anakanak, termasuk membentuk children center di Ambon. Ibu Rosa Penturi misalnya, aktif melakukan kegiatan pemberdayaan kaum muda remaja melalui berbagai kegiatan diskusi interaktif melalui Radio Pelangi, Radio Suara Damai Maluku, serta melakukan pendampingan pencegahan narkoba & HIV/AIDS. Ibu Hilda Rolobessy, misalnya, terus melakukan kegiatan sosialisasi peace building untuk resolusi konflik, bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk menyakinkan dan mengembalikan para pengungsi ke kampung-kampung asalnya, seperti Waai, Loki, La ala di Seram. Ia juga melakukan kegiatan pemberdayaan kesadaran kritis terhadap masyarakat, bahwa hidup dalam konflik tidak enak dan manusia hidup tidak didasarkan atas perbedaan agama tetapi di dalam kasih, perdamaian dan visi kemanusiaan. Pada tahun 2003-2004 mewakili Lakpesdam NU Kota Ambon, Ibu Hilda Rolobessy melakukan negosiasi dengan lembaga donor dan para pihak terkait untuk mendirikan NGO Early Warning System for Conflict Prevention (EWS) di Ambon. Bersama koleganya Justus P. Pattipawae, aktivis yang memiliki integritas, komitmen dan independensi, maka iapun ditetapkan menjadi penanggung jawab dari EWS Ambon Maluku. EWS memiliki visi tercapainya kemandirian lokal (local knowledge, local perspectives, local mechanism, dan local capacity) untuk perdamaian dan peningkatan kualitas hidup masyarakat (Profit EWS, 2007). Ibu Lucy Pelouw, melalui Yayasan Ekkaleo bekerjasama dengan JICA dan UNICEF melakukan penelitian dan publikasi, membuat modul-modul pendidikan dan pelatihan anak dan gender. Keterlibatan perempuan di dalam ruang publik pembangunan dan kepemimpinan publik di Ambon Maluku mulai semakin tampak dan diapresiasi oleh publik. Buktinya, setelah Ibu Paula Tenyaan menjadi Wagub, kini tampil ibu Olivia Latukonsina sebagai Wakil Walikota Ambon periode 2006-2011. Di samping itu, Ibu Irna Latukonsina juga tampil sebagai calon Wakil Walikota pada pilkada tersebut. Mereka semua adalah aktor aktivis perempuan peduli dari Ambon Maluku. Tantangannya kemudian adalah sejauhamana peran mereka setelah menjabat. Karenanya diperlukan usaha berkelanjutan untuk membuka akses bagi keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan dan pembangunan. Untuk mencapai itu, harus dilakukan program-program penguatan kapasitas perempuan dalam pembangunan dan kepemimpianan.

110

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Perempuan, dan Subkultur

Upaya pemerintah untuk melakukan penguatan kepada kelompokkelompok perempuan sudah mulai tampak, misalnya, telah ditetapkannya program kegiatan pelatihan hak-hak perempuan di dalam renstra RPJM Kota Ambon. Akan tetapi seperti yang ditegaskan oleh Lucy Pelouw, bahwa capacity building tidak hanya untuk perempuan, tetapi juga perlu dilakukan untuk laki-laki, agar mereka bisa dimengerti, memahami dan menyadari kebutuhan dan hak-hak obyektif dari perempuan dalam pembangunan menuju pada terciptanya perdamain yang hakiki dan berkelanjutan.

Perlunya Speakperson tentang Perempuan sebagai Strategi?


Ketika saya (Josep) menghubungi para aktor perempuan peduli untuk melakukan diskusi dan wawancara tentang topik ini, beberapa di antara mereka secara spontan menyatakan apresiasi dan menjelaskan bahwa itu juga adalah harapan dan strategi mereka untuk memperkuat peran-peran perempuan di Ambon. Keterlibatan laki-laki dalam menulis tentang perempuan diharapkan bisa lebih obyektif dan dapat menyakinkan kaum lelaki, bahwa perempuan masih mengalami resistensi dari perilaku dan kultur maskulinitas dan feodalitas. Ini mengingatkan saya pada pengalaman sebelumnya, ketika mempersiapkan sebuah makalah bejudul Perempuan Partisipatif yang Sensitif Bencana di Provinsi Maluku untuk dipresentasikan di seminar Local Development Plan di dalam kondisi yang rapuh, rentan, Ambon, tanggal 30 April 2005. Saya tidak menentu, dan bergulat dengan ternyata lupa untuk memasukan isu perempuan dan gender. Untung problem pertikaian yang telah saja kolega saya, Habiba Pelu, menyisakan dan menggoreskan luka, seorang aktivis perempuan peduli dari Lakpesdam NU langsung justru peran perempuanlah memasukan satu poin khusus tentang yang amat menentukan, bias gender dalam perencanaan pembanguanan daerah (Pelu & karena mereka bekerja dengan hati Ufi, 2005). Semenjak itulah, saya terus menggeluti persoalan gender dan perempuan dibeberapa forum di Ambon. (Ufi, 2006). Kepedulian yang sama telah menghantarkan saya untuk terlibat aktif dalam sebuah NGO Lokal Lembaga Pemberdayaan Anak Marginal & Gender (LPAM)
MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

111

Yang Menderita Yang Menghidupkan

Ambon, dimana telah dilakukan berbagai kegiatan sosialisasi, penguatan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat berbasis gender. Misalnya, LPAM melakukan kerjasama dengan Dinas Pendidikan dan Olahraga Kota Ambon untuk menggelar Semiloka Sehari tentang Pelatihan Model Pendidikan Gender bagi Keluarga pada Wilayah Konflik dan Capacity Building pada tanggal 15 November 2006 di Halong Ambon. Perlu saya pertegas, bahwa dalam kondisi yang rapuh, rentan, tidak menentu, dan bergulat dengan problem pertikaian yang telah menyisakan dan menggoreskan luka, justru peran perempuanlah yang amat menentukan, karena mereka bekerja dengan hati. Kepekaan nurani dan hati ini merupakan sebuah kekhasan, keunggulan komparatif-kompetitif dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan cenderung tampil sebagai motivator, filter dan sumber hidup keluarga saat konflik. Semoga dengan pengalaman dan kerja-kerja kemanusiaan yang dilakukan para aktivis GPP ini dapat menjadi pelajaran berharga untuk kita semua. Bekerja dengan hati. Itulah pesan yang cukup mendalam yang pernah diungkap seorang aktivis internasional pada acara Konferensi Penelusuran untuk Keberdayaan Masyarakat Maluku di Bali, dengan ungkapan hope to hear & learn more from people (especially women) of Maluku (Hadar, 2000).

112

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Perempuan, dan Subkultur

Daftar Pustaka
Amirrachman, A. (ed.) (2007). Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku dan Poso, ICIP: Jakarta. EWS Profile (2007), Ambon. Hadar, Ivan.A. (ed.) (2000). Ambon Damai Lebe Be : Community recovery in Ambon. Kerjasama dengan IDE & the British Council, Jakarta. Marantika, L. (2007) PeranStrategis Perempuan Untuk Perdamaian di Daerah Konflik, dalam A. Amirrachman (ed.) Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku dan Poso, ICIP Jakarta. Hal. 319-323. Polu, H. & Ufi, J.A.(2005). Peran Civil Society dalam Mewujudkan Perencanaan Pembangunan Daerah Kepulauan Partisipatif yang Sensitif Bencana di Provinsi Maluku, Makalah: Seminar LDP-UNDP-Bappeda, Unpatti, Ambon. Reyaan, B., Sr., (2003) Laporan: Selayang Pandang GPP, Ambon. Tamagola, A.T. (2007). Anatomi Konflik Komunal di Indonesia : Kasus Maluku, Poso dan Kalimantan 1998-2000, dalam A. Amirrachman (ed.) Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku dan Poso, ICIP Jakarta. Hal. 271-308 Toisuta, H. Dkk, (2007). Damai.. Damai di Maluku!, dalam A. Amirrachman (ed.) Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku dan Poso, ICIP Jakarta. Hal. 110-201. Ufi, J.A. (2006a), Gender sebagai Konstruksi Sosial Budaya, makalah, Likakarya Gender : Komisi Perempuan Keuskupan Amboina, Ambon. Ufi, J.A. (2006b), Perempuan dalam Budaya Maluku, Makalah: Seminar Bimas Katolik Departemen Agama Kantor Wilayah Provinsi Maluku, Ambon.

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

113

Yang Menderita Yang Menghidupkan

Daftar Wawancara dan Diskusi


1. Batje Pattiselano, Gerakan Perempuan Peduli, 6 Februari 2007. 2. Hilda Rolobessy, EWS Social Conflict Ambon Yayasan Pelangi Suara Damai Ambon, 7 Februari 2007 3. Rosa Pentury, Yayasan Pelangi Suara Damai Ambon, 7 Februari 2007. 4. Sr. Brigitta Renyaan, Yayasan Kasih Mandiri (Perlindungan Bagi anak & Perempuan), 6-9 Februari 2007. 5. Sr. Fransisco PBHK, Yayasan Rinamakana Ambon, 7 Februari 2007 6. Lucy Pelouw, Yayasan Ekkaleo, 8 Februari 2007

114

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Solidaritas Bagi Kebebasan Beragama


Agnes Dwi

Kekerasan yang terjadi terhadap Jemaat HKBP telah menimbulkan reaksi nasional. Berbagai kecaman terhadap tindakan ini muncul di berbagai daerah. Aksi solidaritas terhadap aksi kekerasan ini berlangsung beberapa kali di Jakarta. Aksi solidaritas ini dimulai sejak Minggu 15 Agustus 2010. Dengan berbekal satu semangat dan tekad untuk menuntut keadilan dan tanggung jawab negara, massa yang berasal dari berbagai gereja dan komunitas lintas iman menggalang satu kekuatan. Satu hal yang mampu menggerakkan hati tiap orang adalah habisnya kesabaran tiap orang yang peduli terhadap Indonesia, melihat pemerintah seolah berdiam diri melihat kekerasan berbasis agama mencabik-cabik kehidupan berbangsa kita. Massa yang terdiri dari sebagian besar perempuan itu, pada barisan depan menutup mulut mereka dengan masker dan plester yang menyilang. Aksi ini dilakukan sebagai simbol atas terbungkamnya hak individu untuk beribadah di berbagai tempat. Selain itu aksi tutup mulut ini adalah bentuk protes terhadap presiden yang bungkam melihat banyaknya warga negara ini yang dikebiri haknya untuk beribadah dan mendirikan tempat ibadah. Presiden seharusnya bertanggung jawab terhadap kasuskasus kekerasan yang terjadi dewasa ini. Sangat mustahil bila Presiden tidak mengerti akan maraknya kelompok-kelompok radikal yang telah melakukan aksi penyerangan terhadap

Agnes Dwi adalah Pelaksana Divisi Jaringan Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika

115

Solidaritas Bagi Kebebasan Beragama

Presiden seharusnya bertanggung jawab terhadap kasus-kasus kekerasan yang terjadi dewasa ini

jemaat HKBP Pondok Timur Bekasi, dan pembakaran masjid Ahmadiyah di Cisalada, Bogor dan berbagai tempat ibadah lainnya.

Selain itu massa juga membawa bendera setengah tiang, sebagai simbol berduka atas 65 tahun Indonesia merdeka, namun kemerdekaan itu belum dirasakan oleh seluruh rakyatnya. Bukti nyatanya adalah kemerdekaan untuk beribadah yang hingga kini belum dirasakan rakyat Indonesia di beberapa tempat. Aksi dukungan terhadap massa muncul dari berbagai kalangan baik perorangan maupun dari berbagai organisasi massa. Pimpinan Pusat Garda Bangsa menentang keras terhadap berbagai kelompok yang telah berani menciderai Pancasila dan UUD 45. Karena menurutnya tidak ada alasan apapun yang membolehkan tindakan kekerasan terhadap sesama manusia walaupun berbeda keyakinan. Aksi tersebut mendapat blokade polisi berlapis di sekitar monas, hingga massa memutuskan untuk beribadah dan orasi di sana. Massa merasa kecewa terhadap sikap aparat yang tidak membiarkan mereka mendekat ke Istana. Seharusnya pucuk pimpinan negeri ini bisa mengambil sikap terhadap kasus diskriminasi, pelanggaran kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan yang makin marak terjadi di berbagai belahan bumi nusantara ini. Oleh karenanya ketegasan seorang pemimpin mutlak diperlukan dalam meredakan berbagai tindak kekerasan yang kerap terjadi ini. Jangan biarkan pemerintah daerah mengebiri kebebasan beribadat umat tertentu karena desakan ormas yang mengatas-namakan satu agama, meskipun sebagian besar masyarakat negara ini memeluknya. Karena konstitusi dan dasar negara telah jelas melindungi semua kepercayaan, agama dan keyakinan tiap individu. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang tidak mengambil sikap tegas dalam konflik kekerasan berbasis agama, nyata-nyata telah mengingkari hak asasi manusia, telah juga mengingkari deklarasi universal hak asasi manusia, telah pula mengingkari hak sipil politik warga negara ini.

116

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Perempuan, dan Subkultur

Presiden dan berbagai jajaran pemerintahan yang berada di bawahnya yang diam dan membisu dalam kasus kekerasan agama dan tidak menindak tegas pelaku kekerasan adalah bukti dari lemahnya kewibawaan dan gagalnya penegakan hukum dan undang-undang. Pemerintah yang membiarkan peraturan diskriminatif terhadap kelompok agama dan membelenggu kebebasan beragama adalah bukti gagalnya negara dalam memberikan jaminan hak kebebasan tiap-tiap individu di negeri ini. Politik pencitraan yang saat ini dibangun terus oleh pemerintahan SBY sudah sangat membosankan, banyak persoalan bangsa yang nyatanya malah diabaikan. Persoalan kemiskinan, kekerasan, dan korupsi yang seharusnya diselesaikan malah tidak pernah digarap. Pemerintahan SBY ini membiarkan para pembantunya justru sibuk mengurusi urusan ibadah individu, sibuk melarang beridirinya gereja dan tempat ibadah yang lain. Persoalan selera pemerintahan ini telah melanggengkan diskriminasi di berbagai tempat. Selera walikota, para menteri untuk mengeluarkan berbagai peraturan yang menggusur rasa keadilan. Sebagai contoh sikap dan tindak walikota Bekasi terhadap jemaat HKBP. Warga negara dari berbagai sudut negeri ini dibuat terseok-seok untuk mencari keadilan pada bangsanya sendiri. Memohon sesuatu, layaknya rakyat jajahan yang memohon atas haknya. Mungkin penjajahan di Indonesia ini belumlah sirna, karena pemberangusan terhadap kebebasan individu semakin menguat?. Di berbagai tempat masyarakat bertindak semaunya sendiri, seperti tak punya sistem dan undang-undang. Kemudian kita berhak bertanya apakah benar bahwa negeri ini punya pemimpin yang konon katanya dipilih oleh mayoritas masyarakatnya? Kalau memang masih ada mengapa persoalan kekerasan yang telah menelan korban di berbagai tempat terus dibiarkan begitu saja? Aksi solidaritas terus dilakukan. Perempuan jemaat HKBP terlihat sangat bersemangat untuk selalu hadir dalam aksi ini. Mereka mangatakan bahwa ini adalah perjuangan terhadap kehidupan yang lebih baik. Anakanak akan menjadi korban atas konflik ini, karena mereka menjadi ketakutan untuk beribadah.

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

117

Solidaritas Bagi Kebebasan Beragama

Menggenapi peringatan 65 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, HKBP Jabodetabek menggelar doa keprihatinan untuk kemerdekaan mendirikan tempat beribadah. Bertempat di Stadion Bekasi sekitar sebelas ribu jemaat HKBP dari wilayah Jabodetabek memenuhi lapangan hijau hari ini. Panas yang membakar kulit tidak menyurutkan harapan jemaat yang hadir saat itu. Mereka duduk di lapangan dengan menggunakan koran dan payung. Bersama dengan mereka hadir pula sejumlah tokoh agama dari seluruh gerjea HKBP bersama dengan jemaat. Bahkan beberapa tokoh agama dari luar HKBP juga hadir memberikan semangat dan dukungan terhadap terpasungnya kemerdekaan dalam beribadah dan mendirikan rumah ibadah. Bahkan Sekjen Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Pdt A.A Yewangoe juga menyempatkan diri menghadiri acara tersebut. Seperti diketahui persoalan konflik pendirian rumah ibadah yang terjadi di HKBP Pondok Timur sampai saat ini masih terus diperjuangkan agar keadilan atas hak mereka untuk beribadah dan mendirikan rumah ibadah tercapai. Setiap minggu pagi jemaat HKBP Pondok Timur masih melakukan ibadah di tanah kosong mereka di kampung Ciketing, dengan perasaan was-was akan serangan kelompok-kelompok Islam radikal seperti yang terjadi 2 bulan terakhir ini. Bahkan pagi tadi jemaat HKBP tetap melakukan ibadah di Ciketing, dengan diawali jalan bersama sejauh 2 km. Dalam orasinya, Luspida Simanjuntak (Pemimpin HKBP Pondok Timur), meminta kepada Walikota Bekasi yang hadir di Gelanggang Olah Raga (GOR) untuk memberikan hak mereka beribadah dan melindungi kebebasan beribadah jemaat HKBP. Pendeta hanya berharap mereka mendapatkan hak yang sama dengan penganut agama lain, dalam mengurus perijinan pendirian rumah ibadah. Kekerasan demi kekerasan terus menghantui jemaat HKBP ataupun jemaat yang lain, kemerdekaan itu ternyata tidak juga dirasakan secara merata di berbagai daerah. Bahkan seperti yang disampaikan perwakilan jemaat Fila Delphia, selama delapan bulan mereka beribadah di trotoar jalan karena gereja mereka dihancurkan oleh kelompok masyarakat yang tidak bertanggung jawab. Selama ini mereka beribadah di trotoar jalan dan di pinggir-pinggir ruko.

118

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Perempuan, dan Subkultur

Kehadiran walikota Bekasi Mochtar Muhammad dalam acara ini ternyata tidak menjawab persoalan yang disampaikan melalui orasi oleh beberapa pendeta dan masyarakat. Walikota hadir hanya untuk menyanyikan beberapa lagu, selanjutnya ia pergi begitu saja. Beberapa jemaat terlihat tidak puas dengan suasana ini, bahkan salah satu jemaat berteriak agar walikota bersikap. Namun seperti biasa walikota tak berkomentar untuk menyampaikan tanggapan terhadap kasus HKBP, ia menyampaikan bahwa pengajuan pendirian rumah ibadah itu belum pernah ada. Bahkan ketika didesak untuk berkomentar mengenai kasus kekerasan yang terjadi tanggal 8 Agustutus lalu, ia mengatakan sedang melakukan pendekatan kepada beberapa kelompok yang berkonflik. Pendapat walikota tersebut berbeda dengan pandangan pendeta Luspida. Menurutnya selama 20 tahun HKBP telah melakukan pengajuan dan perjuangan untuk mendirikan rumah ibadah. Terakhir mereka mengajukan permohonan itu pada tahun 2004. Namun apabila tiap ganti walikota harus mengajukan permohonan tersebut, HKBP akan melakukan hingga hak mereka terpenuhi. Kasus ini tidak cukup untuk diselesaikan hanya dengan kehadiran walikota pada saat itu tanpa komitmen yang jelas untuk penyelesaiannya. Sangat tidak mungkin juga walikota tidak mengetahui bahwa HKBP telah berulangkali mengurus pendirian rumah ibadah, apalagi konflik tersebut telah menimbulkan korban. Tidak cukup hanya dengan nyanyian, hati kami dan raga kami telah terlanjur sakit. Mungkin ada benarnya pendapat salah satu anggota DPR RI dari fraksi PDI-P yang mengkritisi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang masalah pendirian rumah ibadah. Peraturan tersebut telah menciderai rasa keadilan bagi penganut agama yang minoritas. Namun dukungan untuk pencabutan PBM ini juga perlu terus diwacanakan agar presiden melihat realita atas peraturan yang dihasilkan oleh para pembantunya justru seringkali menimbulkan konflik di dalam masyarakat. Sejatinya tiap individu di negara ini dilindungi untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Seperti yang tertuang

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

119

Solidaritas Bagi Kebebasan Beragama

dalam UUD 1945. Dalam hal ini negara berkewajiban menjaga stabilitas bangsa dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-hak warga negara termasuk hak beribadah.

Perempuan Menyerukan Hentikan Kekerasan


Bertepatan dengan peringatan Hari Anti kekerasan terhadap perempuan pada tanggal 25 November 2010 yang lalu, penolakan terhadap kekerasan atas perempuan dalam wilayah konflik agama kembali diserukan. Kali ini sejumlah lembaga menyerukan penghentian terhadap kekerasan terhadap perempuan. Termasuk kekerasan yang terjadi terhadap HKBP, aksi massa membawa spanduk bertuliskan Negara Absen dalam Kekerasan Agama. Selain itu massa juga terus menyuarakan perlindungan terhadap kaum perempuan dalam konflik bernuansa agama. Karena seringkali berbagai pihak mengabaikan perempuan dalam pusaran konflik. Sehingga hal ini menyebabkan perempuan dalam posisi terjepit dan menjadi korban. Meskipun konflik HKBP telah reda, namun tidak menutup kemungkinan suatu saat akan muncul kembali kasus-kasus yang lain. Pilihan jemaat HKBP untuk memindahkan tempat mereka beribadah ke Jalan Chairil Anwar, merupakan pilihan yang tidak mudah. Selain akses yang jauh, anak-anak harus dibiasakan untuk menyesuaikan dengan lingkungan yang baru. Dimana mereka bisa sekolah minggu dengan nyaman. Ephorus Bonar Napitupulu, selalu pimpinan tertinggi HKBP telah membuat kesepakatan untuk menerima tawaran Pemda Bekasi. Yakni memilih meninggalkan Ciketing dan beralih ke lahan PT. Timah. Namun kasus ini tidak serta merta menghentikan proses hukum atas kasus kekerasan yang terjadi. Kekerasan tetaplah harus diproses secara hukum oleh Negara. Beberapa jemaat mengatakan bahwa memilih tempat ibadah dilakukan demi keamanan dan kenyaman anak dan perempuan. Sebenarnya bagi jemaat dimanapun mereka beribadah, tak jadi masalah yang terpenting adalah jaminan dari Negara bahwa tidak akan ada lagi tindak kekerasan yang mereka terima, terutama terhadap perempuan dan anak-anak dalam konflik yang mengatasnamakan agama.

120

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Perempuan, dan Subkultur

Aparat yang berada di lapangan sepatutnya diberi pemahaman dan keterampilan untuk mencegah konflik. Sehingga kesan pembiaran oleh negara tidak lagi terulang. Selama ini aparat terkesan kebingungan menghadapi berbagai konflik horizontal yang terjadi di lapangan. Termasuk bagaimana menyelamatkan perempuan dan anak-anak dalam situasi genting seperti itu. Dalam konflik HKBP Bekasi, hak perempuan untuk dapat beribadah dan mendidik anak-anak dalam pelaksanaan agamanya terhambat. Konflik yang berkepanjangan dengan pemerintah kota dan kemudian munculnya massa yang menolak berdirinya HKBP telah melahirkan trauma bagi korban. Kekerasan menjadi bukti ketidakmampuan pemerintah dalam menangani konflik. Masyarakat dibiarkan mencari jalan keluar sendiri terhadap konflik yang mereka hadapi. Termasuk membiarkan kaum perempuan menyimpan kecemasan atas kekerasan yang mereka alami. Pemerintah seharusnya peka terhadap konflik yang terjadi, bagaimana mencari jalan keluar apabila kehadiran HKBP mendapat penolakan dari warga ataupun ada syarat tertentu yang belum dipenuhi. Fungsi pemerintah dalam menangani konflik terkesan lamban. Bahkan jaminan unutk menyediakan tempat dan sarana ibadah tidak juga dilakukan. Bahkan justru solusi itu ditawarkan setelah jatuh korban. Negara yang diharapkan mampu menjadi penengah dalam konflik bernuansa agama nyatanya tak mampu berbuat apa-apa. Justru mereka terkesan membiarkan benturan itu terjadi. Undang-undang yang melindungi kebebasan beragama dibiarkan menjadi usang dan tak berdaya ketika konflik terjadi. Penegakan hukum masih sumir. Penegakkan hukum tampak sangat tebang pilih. Konflik yang terjadi hanya menjadi komoditas kepentingan tertentu untuk melanggengkan kekuatan dan kekuasaan politik. Keadilan perlu diberikan kepada semua pihak, terutama korban. Dalam hal ini perempuan yang mengalami kekerasan dan menjadi korban, memerlukan waktu yang cukup panjang untuk mengatasi trauma yang dialami. Termasuk bagaimana menjelaskan kepada anak-anak mengenai apa yang terjadi. Mengenai pilihan terhadap suatu agama atau kepercayaan

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

121

Solidaritas Bagi Kebebasan Beragama

yang ternyata memiliki konsekswensi yang cukup rentan di Indonesia. Indonesia masih diharapkan untuk mampu memberikan kenyamanan bagi semua pihak dan agama untuk tumbuh dan berkembang. Konflik yang terjadi di Bekasi adalah sebuah cermin, kekuatan milisi sipil yang sebenarnya sangat kecil mampu meruntuhkan pondasi kebangsaan yaitu Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Keberanian milisi sipil dalam melakukan penekanan, kekerasan terhadap perempuan dalam konflik agama, tentunya tidak boleh diberi ruang lagi. Kekerasan tetaplah sebuah tindakan yang melanggar Hak Asasi Manusia dan konstitusi. Penegakan hukum menjadi kunci untuk menjawab kekerasan yang terjadi. Jangan pernah lagi berfikir bahwa Indonesia hanya menjadi milik sebuah kelompok atau golongan tertentu. Atau bahkan kita melupakan bahwa seluruh elemen bangsa pernah turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan. Termasuk peran kaum perempuan dalam memberikan sumbang saran terhadap kemerdekaan bangsa.

122

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan Adalah Gaya


Phaerly Maviec Musadi Ratulangi

Wahyu! Kenapa kamu jumatan pake kaos Brigez? Kiki, seorang anak punk dari daerah pasar Kosambi Bandung bertanya pada temannya karena memakai kaos gangster asal kota Bandung. Biar gak ada yang berani ama gue! Wahyu yang baru putus SMP menjawab, sambil pergi ke masjid. Bagi sebagian orang kekerasan di jaman ini telah menjadi masalah besar, masalah yang menghantui seluruh sudut kehidupan kita, baik di antara kehidupan bermasyarakat di pelosok pedesaan hingga prilaku di dalam gedung perwakilan rakyat. Seringkali kita harus was-was akan ancaman gangster apabila pulang pada saat petang hari dan tiba-tiba mendengar suara knalpot motor yang dimodifikasi begitu bising bak gergaji mesin di tengah sunyinya malam. Bagi saya, seorang aktivis yang bergerak di bidang penelitian budaya remaja di daerah pasar Kosambi Bandung, kekerasaan telah menjadi bagian yang nyaris tidak dapat dipisahkan dari sebuah subkultur anak muda. Kekerasan yang berjalan selaras senada dengan jiwa berontak seorang remaja yang sedang mencari identitas diri. Romantisme itu banci, dan sosok tough guy ala Schwarzenegger memang sudah menjadi primadona di
* Tulisan ini pernah disampaikan pada Konferensi Internasional Perempuan Untuk Perdamaian, yang diselenggarakan oleh Fakultas <?> Tulisan ini pernah disampaikan pada Konferensi Internasional Perempuan Untuk Perdamaian, yang diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat dan Ilmu Budaya Universitas Indonesia dan Kementrian Pembangunan Norwegia di Jakarta pada 31 Maret 1 April 2007. Tulisan ini telah diperbaharui seperlunya dan dimuat atas seizin penulisnya.

Phaerly Maviec Musadi Ratulangi adalah Ketua Yayasan Adikaka Bandung

123

Kekerasan Adalah Gaya

kalangan remaja semenjak media TV mengudara dengan segala tayangan laganya. Singkat kata, kekerasan itu keren. Mungkin kita harus mulai menyadari darimana akar masalah kekerasan ini timbul dalam konteks budaya remaja. Pada perspektif anak-anak, bagi mereka yang dari kelas ekonomi atas, parameter keren dan tidak nya seorang anak berbeda dengan anak dari kelas ekonomi bawah. Anak yang berasal dari ekonomi atas cenderung memanfaatkan hartanya sebagai alat untuk tampil keren saat ia bersosialisasi bersama teman-temannya. Pada anak yang berasal dari keluarga kalangan ekonomi atas, hal yang yang nyaris tidak dapat dipisahkan dapat mereka tunjukkan dalam mencari perhatian teman-temannya dari sebuah subkultur anak muda. adalah harta mereka, seperti saya Kekerasan yang berjalan selaras punya mainan baru ini atau saya sudah pernah ke tempat hiburan senada dengan jiwa berontak itu. Namun bagi anak dari seorang remaja yang sedang kelas ekonomi bawah contohnya adalah anak-anak kecil daerah mencari identitas diri. Romantisme pasar Kosambi Bandung, karena itu banci, dan sosok tough guy ala keterbatasan faktor ekonomi, mereka tidak dihadapkan pada pilihan Schwarzenegger memang sudah memamerkan mainan untuk menjadi primadona di kalangan remaja menarik perhatian teman-temannya. Dalam mencari perhatian anak anak semenjak media TV mengudara kelas ekonomi bawah tersebut, tidak dengan segala tayangan laganya. mengungkapkan saya punya ini, Singkat kata, kekerasan itu keren akan tetapi saya berani melakukan ini. Tingkat keberanian menjadi tolak ukur. Contohnya adalah: Saya berani ngomong kasar, saya berani melawan anak yang lebih besar, saya berani tampil dan menjadi pusat perhatian, saya berani merokok dan lain lain. Keberanian sorang anak menjadi salah satu tolak ukur penting dalam menentukkan posisi anak pada pergaulan sosialnya. Apakah ia menjadi leading figure sebagai yang disebut alpha male pada kelompok pergaulannya atau menjadi follower, atau bahkan menjadi objek penderita yang seringkali dijadikan bulan bulanan teman temannya. kekerasaan telah menjadi bagian

124

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Perempuan, dan Subkultur

Hal tersebut tidak dapat dipungkiri sangat rawan mendorong anak kecil untuk bersikap aggresif dalam pergaulannya, baik secara verbal maupun berantem secara langsung yang seringkali menyebabkan tawuran kecil di antara kelompok kelompok pergaulan mereka. Sungguh mengejutkan bagi saya sebagai seorang kakak asuh melihat sekelompok anak kecil yang berkisar 5 hingga 8 tahun membawa kayu dan samurai mainan sambil menyerukan Hayu! Kita serang anak2 gang Rt sebelah... Permainan adalah pelajaran, disaat anak anak bermain menjadi gangster secara langsung mereka mempelajari dan menghayati peran tersebut. Dan hal tersebut adalah sesuatu yang tidak lepas dari tayangan dan kemasan media akan kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa dan anak anak yang diatas umur mereka. Tayangan yang membuat segala kekerasan tersebut tampak menarik. Pada sebuah wawancara dengan 6 anak asuhan Yayasan Adikaka, mereka bercerita tentang pengalaman mereka di Jl. Baranang Siang Bandung tempat mereka tinggal. Daerah ini sering mengalami keributan dengan Gangster, bahkan seringkali terjadi kasus pengeroyokan pada Hansip, pengerusakkan Warnet hingga penodongan pada ibu-ibu oleh gangstergangster tersebut. Gangster yang disebut di sini adalah gang Motor anak anak remaja yang kian hari semakin menjurus pada kegiatan kriminalitas di jalanan kota Bandung. Sebenarnya gangster itu hanya pengen di segani kata Kiki yang seringkali diminta masuk menjadi anggota gangster oleh teman-temannya Hanya masyarakat disini kompak, jadi berani ngelawan, sampai pas malam takbiran 3 tahun yang lalu ada yang sekarat dari pihak gangster karena dilawan warga. Pas ditanya alasan mengapa gangster menyerang pun alasannya tidak ada, hanya pengen Sok dan unjuk keberanian. Kiki adalah satu anak yang sejak kecil hidup dan besar di daerah Kosambi, Kiki mengklaim sebagai anak punk, dan kini baru diterima salah satu Universitas Pendidikan di Bandung jurusan seni musik. Selain Kiki ada juga Tasya, gadis yang baru masuk SMP ini bercerita bahwa saudaranya pun pernah mengalami ribut dengan gangster, ketika sedang pementasan musik di daerah tersebut. Anak saudaranya yang berumur 6 tahun terjatuh oleh seorang remaja, bapaknya yang menyaksikan hal tersebut melayangkan pukulan pada remaja tersebut. Disaat bapaknya memukul tiba-tiba bapaknya di keroyok oleh beberapa remaja yang

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

125

Kekerasan Adalah Gaya

dikenal sebagai gangster. Kejadian ini tidak diperpanjang oleh warga yang biasanya kompak mengatasi Gangster dengan alasan yang melakukan pengeroyokan adalah anak anak kecil (remaja SMA). Tasya ditanya apakah pernah ditawari masuk gangster, Pernah kata Tasya Sepupu Tasya yang perempuan juga anggota Gangster. Mereka bercerita bahwa gangster perempuan biasanya tidak melakukan kekerasan, tetapi sering dikaitkan dengan kegiatan sex. Gangster perempuan disebut Ladies dan di antara Ladies tersebut bahkan ada istilah Ladies Sex Heroes. Tasya waktu ditawari masuk gangster menolak. Untuk masuk gangster pun ada formulir pendaftarannya, kartu anggota dan iuran bulanan. Ungkap Tasya. Syarat utama yang ditanya adalah motivasi, dan apabila ada yang mengundurkan diri dari keangotaan akan mendapatkan hukuman, seperti jari kelingkingnya di potong. Percakapan pun berlanjut cukup hangat, dari kisah Hansip yang dikeroyok oleh 4 pengendara motor hanya karena meneggor HEHH! RIBUT, petugas Hansip mengalami luka serius dan terkapar di pinggir jalan. Sangat disayangkan, diantara anak-anak gangster berasal dari kalangan keluarga pejabat. Disamping itu, menurut anak-anak gangster, kekerasan seringkali dipicu oleh oknum Polisi. Sepertinya memang harus ada usaha dari pihak kepolisian untuk dapat memeluk dan mendekatkan diri dengan masyarakat dan remaja khususnya, dan memperkuat citra Polisi sebagai sahabat masyarakat. Ketika ditanya mengenai alasan mereka bergabung menjadi gangster, meraka menyatakan karena alasan gaya. Paradigma bahwa keras itu keren sudah sangat kuat terbentuk pada anak anak remaja di tingkat SMP. Naik motor tanpa helm itu keren, kebut-kebutan dan bawa samurai itu keren, brantem itu keren dan tindakan-tindakan lainnya yang dianggap diluar kelaziman. Kiki, sebagai seorang anak yang besar dilingkungan pasar Kosambi merasa bersyukur karena tidak terpengaruh dan menjadi bagian anak-anak gangster tersebut. Kiki lebih banyak mengahabiskan waktu dan menyalurkan bakatnya di grup band Punk, sehingga ia dapat mengekspresikan dirinya pada musik yang keras, dan bukan pada kekerasan fisik dan kriminalitas seperti yang dilakukan oleh para gangster.

126

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan, Perempuan, dan Subkultur

Sepertinya setiap anak remaja memang harus memiliki ventilasi bagi gejolak jiwa muda yang sedang mereka hadapi. Remaja harus memiliki alternatif solusi untuk membangun citra diri yang keren tanpa harus terbawa oleh kegiatan yang rawan kriminalitas. Budaya kekerasan memang sudah sangat kuat dibentuk oleh media sebagai sesuatu yang menarik bagi para remaja, seakan-akan kekerasan identik dengan sifat heroisme dan kepahlawanan. Kekerasan memang sudah memiliki daya tarik sendiri dan bahkan sudah menjadi hal yang nyaris tidak dapat dipisahkan oleh kehidupan sehari-hari. Namun bagaimanakah caranya untuk mengatasi masalah tanpa harus menggunakan cara kekerasan? Kekerasan begitu sering dipromosikan oleh berbagai media dan budaya. Aksesibilitas anak anak remaja pada media yang seharusnya tidak layak ditonton kini sangatlah mudah didapatkan melalui teknologi internet bahkan telpon selluler sederhana. Kekerasan tidak dapat dibendung, namun dapat disalurkan. Kiki menyalurkan ekspresinya pada musik Punk dan musik underground, sebagian anak yayasan lainnya mengarahkannya pada olahraga ekstrim seperti skateboarding dan banyak juga yang menyalurkannya pada street art seperti Grafiti dan Stencil art. Sudah waktunya orang tua belajar memahami budaya remaja, trend dan nilai-nilai mereka, sehingga dapat lebih jauh mengantisipasi dan mengurangi sifat mudarat tanpa harus bersikap keras dan apatis pada perkembangan subkultur anak-anak muda. Para sesepuh gangster pun sebenarnya sudah memiliki itikad baik, dengan cara mendidik anggotanya menjadi organisasi kepemudaan (OKP). Brigez pun mulai melakukan kegiatan yang positif dengan cara mendata anggotanya dan memberikan aturan dan sangsi bagi anggota yang melakukan pelanggaran dan tindak pidana. Brigez juga melakukan aksi damai seperti mengadakan kegiatan pembagian tajil dan acara berbuka puasa bersama dengan masyarakat bahkan dengan Kapolsek dan tokoh setempat. Namun tetap, masalah yang terjadi justru dimulai oleh anak anak muda kisaran 15 hingga 23 tahun pada kasus tawuran XTC dengan Brigez di Pasirkoja 19 September 2010. Saya yakin bila remaja diberi kebebasan untuk memilih, diberi dukungan atas pilihan-pilihan mereka dan diberikan ventilasi atas gejolak mereka, para remaja tidak akan memilih cara-cara destruktif untuk tampil keren.

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

127

Kekerasan Adalah Gaya

Kreatifitas remaja pun cukup berevolusi dari tahun ke tahun, Youth Culture berkembang cukup pesat meski terkadang memilki kesan yang aggresive seperti musik punk atau pun Hardcore. Namun, Straight Edge Hardcore contohnya (sebuah aliran musik keras) memiliki ciri khas anti alkohol, drugs dan bahkan rokok pada setiap lagu dan acara musiknya. Hal tersebut seharusnya mendorong orang-orang dewasa dan instansi terkait untuk lebih terbuka dalam mempelajari asal-usul, maksud dan filosofi dari subkultur anak anak remaja, sebelum dinilai negatif. Seperti yang dikatakan pepatah tak kenal maka tak sayang. Sudah waktunya, pemerintah memudahkan dan memberikan fasilitas bagi anak-anak muda untuk berkarya dan mengekspresikan budaya mereka tanpa harus sembunyi-sembunyi. Salah satu bentuknya adalah dibangunnya sebuah Youth Center terutama di Bandung yang menampung kegiatan dan budaya remaja yang begitu dinamis, sehingga mereka tidak perlu terjerumus pada budaya kekerasan dan dapat memilih jalan hidup seperti yang dipilih oleh Kiki, anak Punk Baranang Siang yang memilih untuk kuliah dan memperdalam musik.

128

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Kekerasan Atas Nama Agama


Franz Magnis-Suseno SJ

Kekerasan
Kekerasan bisa terjadi karena pelbagai alasan. Misalnya karena emosi dan keinginan membalas dendam. Kekerasan juga salah satu cara penyelesaian konflik. Konflik kepentingan yang tidak bisa selalu dihindari, dimana manusia hidup dalam situasi kelangkaan, menyiratkan objek kebutuhan dan kepentingan satu pihak bisa bertabrakan dengan pihak lainnya. Kalau konflik diselesaikan dengan kekerasan, maka yang menang bukan yang benar, melainkan yang lebih kuat. Sudah sejak 4000 tahun umat manusia menemukan cara yang lebih beradab dan terutama lebih efektif, yakni melalui Hukum. Hukum mengatur penyelesaian konflik secara objektif dan rasional. Objektif karena perbedaan kekuatan tidak memainkan peranan, melainkan substansi masalahnya sendiri yang menjadi tolok ukur. Dan rasional, karena cara pemecahan dilakukan berdasarkan pertimbangan yang dapat dipahami dan ditanggapi, dan karenanya, penyelesaian tidak tergantung dari siapapun pribadi-pribadi yang terlibat dalam konflik itu. Oleh karena itu cara beradab penyelesaian setiap konflik yang tidak dapat diselesaikan secara damai adalah melalui hukum. Dalam negara beradab, keberadaan masyarakat tidaklah berkelas. Maka bagi Indonesia amat sangat penting untuk

Franz Magnis-Suseno SJ adalah Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.

129

Kekerasan Atas Nama Agama

Dalam negara beradab, keberadaan masyarakat tidaklah berkelas. Maka bagi Indonesia amat sangat penting untuk mengembalikan negeri ini menjadi negara hukum sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.

mengembalikan negeri ini menjadi negara hukum sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di manamana dan tanpa kecuali tindakan yang bertentangan dengan hukum harus dihukum. Apabila masyarakat dapat mengandaikan bahwa hukum selalu terlaksana tanpa pandang bulu, mereka tidak akan lagi main hakim sendiri.

Berikut ini saya akan membahas dua macam kekerasan atas nama agama: kekerasan komunal dan kekerasan bermotivasi agama.

Kekerasan Komunal
Yang dimaksud dengan kekerasan komunal adalah konflik-konflik di antara komunitas-komunitas yang ciri khasnya bersifat kesukuan, regional, kebudayaan atau agama. Konflik di Maluku dan Poso misalnya khas konflik komunal. Konflik komunal terjadi ketika sebuah konflik antar individu atau beberapa orang melibatkan komunitas primordial dimana individu atau orang-orang itu menjadi anggotanya. Sebuah konflik bisa pecah, manakala prinsip keadilan tersingkirkan oleh rasa solidaritas berlebihan (fanatisme primordial) yang memahami konflik tersebut sebagai serangan sebuah komunitas terhadap komunitasnya. Sedangkan yang mempersatukan komunitas primordial bisa berbentuk suku, ethnik, budaya, atau agama. Begitu masyarakat masih sangat ditentukan oleh perasaan identitas komunitasnya, setiap konflik secara potensial memicu konflik yang melibatkan komunitas. Konflik itu bisa remeh, antara dua preman misalnya, tetapi begitu masing-masing melibatkan komunitas mereka, maka perang komunal bisa terjadi. Konflik komunal berciri agama jarang berkaitan dengan ekstremisme dan radikalisme religius, melainkan dengan perasaan solidaritas berdasarkan keumatan. Yang begitu gawat adalah konflik itu bisa mempunyai latar

130

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Radikalisme dalam Balutan Sentimen Keagamaan

belakang kompleks, tetapi begitu ada komunitas terlibat, konflik menjadi murni berdasarkan agama. Bisa terjadi bahwa anggota dari komunitas lawan begitu saja dibunuh. Latar belakang konflik-konflik komunal adalah situasi tertekan, terancam, persaingan keras sering para pendatang lebih terampil dan lebih bekerja keras, sehingga menyingkirkan penduduk asli, kecenderungan umum dalam masyarakat untuk segera bereaksi secara kekerasan (yang bersifat individual sebagai tanda ketidak-mantapkan psikis), perasaan adanya ketidakadilan, penindasan oleh aparatur negara, tekanan karena transformasi raksasa yang dialami masyarakat dalam transisi menuju pada masyarakat modern-global, serta frustrasi bahwa orang lain yang lebih maju sedangkan kita sendiri tetap dalam ketertinggalan. Maka konflik komunal bernuansa agama tidak dipecahkan dengan langsung melibatkan agama, melainkan dengan penyelesaian di dua segi; satu segi membawa mereka yang terlibat kembali ke dalam komunikasi, di segi lain dengan menanggapi masalah-masalah sosial-ekonomi-politik yang dialami masyarakat yang terlibat. Tetapi kaum agamawan juga memikul tanggungjawab. Mereka sendiri tidak boleh terikat oleh komunalisme, harus berani menjalin komunikasi, mengajak umat mereka untuk bersikap positif, beradab, dan adil. Tak berlebihan dikatakan bahwa para tokoh agama sendiri harus mengalami sebuah pertobatan. Dari memandang agama lain pertama-tama sebagai musuh dan saingan, mereka perlu bersedia memandang agama lain sebagai jalan bagi umat masing-masing yang meskipun berbeda-beda namun tidak mungkin ada di dunia di luar kehendak Sang Pencipta. Hal itu tidak berarti bahwa kita menganggap semua agama sama saja, melainkan kita bersedia menerima keberadaan serta menghormati kehidupan umat beragama lain meskipun kita tidak sependapat dan tidak satu kepercayaan dengan mereka. Hal itu mengandaikan bahwa kita bersedia membersihkan hati kita sendiri dari emosi-emosi yang tidak baik, dari rasa benci dan dendam, dari prasangka-prasangka buruk yang barangkali sudah lama kita bawa. Beralih dari sikap yang negatif ke sikap yang positif sangat tidak gampang, tetapi bagaimana kita dapat mengharapkan toleransi dan perdamaian terjadi dalam masyarakat majemuk kalau para tokoh dan panutan agama sendiri tidak memeloporinya?

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

131

Kekerasan Atas Nama Agama

Kekerasan Bermotivasi Agama


Kekerasan bermotivasi agama adalah kekerasan yang paling mengkhawatirkan dan juga mengerikan. Dalam sejarah, kekerasan seperti ini kerap kali terjadi. Keinginan utamanya adalah menang, mengalahkan, menindas, menumpas, meniadakan dan memberangus kalangan yang berkeyakinan lain. Kalangan yang berkeyakinan lain bisa berarti beragama lain, berbeda aliran dalam satu agama, dan bisa pula perbedaan yang hanya dalam peribadatan. Kristianitas mengenal kekerasan itu sejak abad pertengahan. Ajaran-ajaran yang disebut sesat ditindas dengan kejam. Misalnya kaum Albigens dan kaum Waldens. Diadakan inkuisisi yang dapat menghukum mati orang yang tidak mau menyangkal keyakinannya apabila bertentangan dengan interpretasi resmi. Sejak abad pertengahan orang-orang Yahudi mengalami kesulitan di Eropa. Hubungan KristianiIslam sampai hari ini masih dibebani ingatan akan beberapa perang salib (abad ke-11 s/d 13) di mana tentara Kristiani untuk sementara waktu merebut bagian Palestina. Sesudah kerajaan Muslim terakhir di Spanyol, Granada di Andalus, jatuh (1492), semua orang Islam dan Yahudi diusir dari Spanyol. Pecahnya Protestantisme di abad ke-16 melahirkan pelbagai penindasan maupun perang antara pelbagai aliran Kristiani yang memang sering tercampur dengan kepentingan politik. Di Eropa kekerasan atas nama agama baru berhenti dengan gerakan pencerahan (abad ke-17) yang membawa sekularisasi dan mengharamkan perang atas nama agama. Gereja Katolik baru dalam Konsili Vatikan II, 1965, mengakui secara resmi dan luas kebebasan beragama. Goncangan-goncangan perubahan sosial, kultural, politik dan ekonomis abad ke-20, serta warisan ideologi-ideologi sekuler Barat (terutama tiga: nasionalisme keras, komunisme dan fasisme-nasionalsosialisme) membawa konflik-konflik dan perpecahan-perpecahan mendalam di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Terutama di Asia konflik-konflik dijalankan dalam pelbagai ideologi agamisnya, terjadi di bawah bendera paham keagamaan yang keras dan kejam. Sampai hari ini, ketegangan tersebut terlihat dalam ketidaksediaan untuk bersikap toleran. Tidak toleran terhadap umat-umat minoritas, dan lebih tidak toleran lagi terhadap umat-umat yang dituduh berajaran sesat. Kekerasan itu amat memalukan dan dipakai oleh kaum ateis untuk menarik kesimpulan bahwa agama adalah malapetaka bagi manusia. Pada akhirnya agama menjadi korban dan dianggap sebagai tantangan

132

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Radikalisme dalam Balutan Sentimen Keagamaan

bagi kemanusiaan. Sudah jelas bahwa dalam agama tidak boleh ada paksaan sama sekali. Agama-agama seharusnya menjadi pembela paling bebas kebebasan beragama dalam arti seluas-luasnya. Bahwa setiap orang berhak mengikuti suara hatinya dalam hal agama dan bahwa tidak ada orang lain maupun lembaga agama yang berhak menghalangi atau mencampurinya. Kesejatian iman keagamaan seseorang terbukti apabila tidak dipakai sebagai ancaman, tekanan, dan kekerasan yang merupakan cara-cara binatang dan penjahat dalam memecahkan perbedaan). Jika kekerasan atas nama agama terus dibiarkan, maka harkat keagamaan itu sendiri akan terancam hancur.

Sikap barbar tak berbudaya la Taliban yang ingin menghancurkan budaya bangsa atas nama keagamaan yang picik tidak boleh dibiarkan atau dianggap sepele. Mereka harus secara keras diprotes dan dipermalukan sebagai barbar dan orang-orang primitif. Kekuatan-kekuatan mayoritas moderat/mainstream semua agama harus berhenti untuk berdiam diri saja, dan bersatu untuk menghentikan tindakan barbar

Harus dikatakan bahwa dalam segi ini situasi di Indonesia semakin memburuk. Kualitas toleransi keagamaan kita semakin menurun, dari situasi terhormat dimana semua pihak bersedia menghormati kebebasan beragama dan menunjukkan toleransi, namun sejak 2 dekade akhir ini, persentuhan antar anak bangsa menampakkan suasana yang bernapaskan intoleransi, kepicikan, kebencian dan kekejaman atas nama agama. Sepertinya hati terlalu picik untuk melihat umat lain, umat yang barangkali lemah, yang barangkali terdiri dari orang-orang pendatang, juga berhak beribadat, dan menghormati Tuhannya. Perkembangan paling akhir amat mengkhawatirkan, dimana tindakan kekerasan oleh orang-orang yang secara eksplisit menamakan diri sebagai pejuang agamanya telah merembet ke Jawa Tengah. Dalam mingguminggu terakhir ini, sekurang-kurangnya telah terjadi tiga kali, sebuah pertunjukan wayang purba dihentikan dengan paksa oleh orang-orang berjubah putih dan berserban yang mengayunkan pedang. Tentu hal ini

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

133

Kekerasan Atas Nama Agama

adalah sebuah keterlaluan dan tidak boleh didiamkan. Sikap barbar tak berbudaya la Taliban yang ingin menghancurkan budaya bangsa atas nama keagamaan yang picik tidak boleh dibiarkan atau dianggap sepele. Mereka harus secara keras diprotes dan dipermalukan sebagai barbar dan orang-orang primitif. Kekuatan-kekuatan mayoritas moderat/mainstream semua agama harus berhenti untuk berdiam diri saja, dan bersatu untuk menghentikan tindakan barbar.

Penutup
Kekerasan oleh orang-orang beragama dan atas nama agama bagi kita semua menjadi tantangan. Kekerasan itu tanda bahwa dalam masyarakat ada sebuah penyakit yang akut, dan perlu penyembuhan. Kemampuan untuk bertoleransi perlu dibangun kembali secara kokoh antar komunitas keagamaan. Perlu kita bangun kesadaran bahwa Allah menuntut agar abdi-abdinya membawa diri secara beradab. Perlu kita sepakati bahwa konflik-konflik tidak boleh diselesaikan dengan cara kekerasan. Memakai kekerasan atas nama agama sebenarnya membantah pesan keagamaan itu sendiri, karena kekerasan berarti bahwa seseorang, atau sekelompok orang menempatkan diri di tempat Allah. Keagamaan yang sejati adalah rendah hati dan menyerahkan penilaian akhir kepada Sang Pencipta. Agama menjadi berkualitas manakala di antara para penganutnya telah mengembangkan sikap menghormati kebebasan. Karena manusia hanya dapat menyembah Yang Ilahi dari lubuk hatinya yang bebas.

134

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Budaya Kekerasan dan Manajemen Masyarakat Multikultural


Zakiyuddin Baidhawy

Pendahuluan
Indonesia adalah negeri kepulauan terbesar di dunia. Ia memiliki lebih dari 17.800 pulau besar dan kecil, dan sejarahnya telah membuat bangsa Indonesia menjadi masyarakat yang sangat pluralsitik. Terdapat 656 etnik besar dan kecil yang hidup di negeri ini lengkap dengan kebudayaan, tradisi, dan kebiasaan masing-masing. Hingga dekade 60an, hanya ada sedikit interaksi di antara berbagai kelompok etnik tersebut. Namun dengan program pembangunan dan percepatan ekonomi yang membawa perbaikan komunikasi dan transportasi, maka kontak, komunikasi dan pertukaran semakin meningkat (Azra, 2010: 5). Akibatnya, prasangka dan salah persepsi di antara berbagai kelompok etnik makin berkurang di satu sisi, namun juga kecemburuan sosial di kalangan mereka tumbuh di sisi lain. Jadi, dua wajah kekayaan Indonesia dapat menjadi berkat di satu sisi, dan laknat di sisi lain. Salah satu laknat kekayaan dan keragaman bangsa ini adalah disaksikannya berbagai peristiwa konflik dan kekerasan sosial yang memakan korban ribuan jiwa menjelang dan pasca reformasi. Konflik dan kekerasan sosial itu meliputi empat macam. Pertama, kekerasan komunal melibatkan dua kelompok komunitas, yang satu menyerang yang lain. Kekerasan ini bisa disebabkan ketagangan etnik, agama, kelas sosial, afiliasi politik atau perbedaan antardesa yang

Zakiyuddin Baidhawy adalah Dosen STAIN Salatiga, Peneliti pada Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial UMS.

135

Budaya Kekerasan dan Manajemen Masyarakat Multikultural

sederhana, seperti konflik Maluku, Poso, dan Sambas. Kedua, kekerasan separatis melibatkan negara dan warganya pada suatu wilayah tertentu yang berakar dari separatisme regional, yaitu gerakan yang didorong oleh keinginan warga di wilayah tertentu untuk memisahkan diri dari Indonesia sebagai Negara Kesatuan. Contohnya adalah konflik di Papua dan Aceh, juga Timor Timur. Ketiga, kekerasan negara-komunitas di mana suatu komunitas mengungkapkan protes dan ketidakpuasan terhadap keragaman bangsa ini adalah lembaga-lembaga negara tanpa ada niat disaksikannya berbagai peristiwa untuk memisahkan diri. Kekerasan konflik dan kekerasan sosial yang semacam ini dapat dilihat pada kasus Nipah di Sampang, Madura pada memakan korban ribuan jiwa 1993, dan insiden Trisakti pada 1998. menjelang dan pasca reformasi Terakhir, kekerasan hubungan industrial yang muncul dari problem-problem hubungan di dunia industri. Kekerasan ini dapat dibedakan menjadi dua: kekerasan eksternal yang melibatkan komunitas dan perusahaan, seperti konflik antara PT. Inti Indorayon Utama dan komunitas Tapanuli Utara tentang isu lingkungan; kekerasan internal yang melibatkan pekerja/ buruh dan perusahaan, seperti serangan kaum buruh di Sumedang pada 1997. Salah satu laknat kekayaan dan

Kekerasan Bersentimen Keagamaan


Di antara kekerasan dan konflik komunal, ketegangan-ketegangan yang bersentimen keagamaan cukup menonjol dan bahkan dalam beberapa hal memicu konflik yang lebih luas dan dalam waktu yang cukup lama, dengan kerugian material dan non-material yang tidak sedikit. Korban tewas dalam konflik antarumat beragama maupun internal umat beragama sudah berbilang. Rumah-rumah peribadatan berpuingpuing, sebagian merah terbakar, sebagian luluh lantak dirobohkan, dan sebagian lainnya rusak oleh amuk massa yang terbakar api kemarahan bersentimen keagamaan. Berita-berita semacam ini acapkali kita dengar melalui berita media massa maupun media elektronik. Mulai pertengahan 2005, dapat disaksikan tiga peristiwa penting dalam konflik berbau agama muncul menyusul dikeluarkannya fatwa MUI

136

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Radikalisme dalam Balutan Sentimen Keagamaan

pada bulan Juli pada tahun yang sama. Dua di antara fatwa krusial itu adalah sikap MUI yang menyatakan aliran Ahmadiyah paham yang sesat dan menyesatkan, dan melarang atau mengharamkan paham-paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Akibat yang tidak dibayangkan sebelumnya, fatwa itu nyata telah menyulut kerusuhan di kampus Mubarak milik Ahmadiyah di Parung, Bogor. Sekelompok Muslim menyerbu kampus Mubarak, menurunkan papan nama Ahmadiyah, dan mengobarkan yel-yel yang menuntut pembubaran salah satu konflik berbau agama muncul aliran keagamaan dalam Islam ini. menyusul dikeluarkannya fatwa MUI Kejadian ini menjadi preseden buruk bagi peristiwa-peristiwa kekerasan yang menyatakan aliran Ahmadiyah serupa atas jamaah Ahmadiyah di beberapa tempat lain seperti paham yang sesat dan menyesatkan, di Bandung, Tasikmalaya, Garut, dan melarang atau mengharamkan Mataram, dan lain-lain. Meskipun paham-paham sekularisme, dijumpai pada tempat lain jamaah Ahmadiyah begitu dekat, akrab, pluralisme dan liberalisme hidup berdampingan dan damai dengan sesama Muslim dan juga umat non-Muslim. Tawangmangu, Karanganyar, sebuah wilayah dalam eks karesidenan Surakarta, adalah contoh hubungan harmoni antara jamaah Ahmadiyah dan jamaah Muslim lainnya dapat dipelihara dengan baik. Dampak negatif lain yang kurang diantisipasi dari fatwa yang menyulut ketegangan sesama saudara Muslim itu, adalah kekerasan atas kelompokkelompok Muslim yang mendukung paham-paham pluralis, liberal dan sekular dalam masalah-masalah di seputar hubungan antara agama dan politik/negara misalnya. Kaum Muslim yang memihak pada pluralisme juga menjadi target langsung dari fatwa tersebut. Mereka yang liberal, sekular dan mendukung gagasan-gagasan pluralisme adalah kelompok pembuat bidah yang harus dimusnahkan dalam ranah Islam. Atas nama memuliakan Islam, kelompok-kelompok liberal, sekular, dan pluralis menerima berbagai ancaman baik berupa psikis maupun fisik. Dalam beberapa kesempatan hampir saja markas Komunitas Utan Kayu di mana di dalamnya terdapat Jaringan Islam Liberal, menjadi sasaran amuk massa. Massa menekan dan menuntut pembubaran secara paksa atas Komunitas ini dan juga JIL. Hal serupa terjadi juga pada sebuah LSM di Sumatera Barat.
MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

137

Budaya Kekerasan dan Manajemen Masyarakat Multikultural

Bersamaan dengan dua kasus konflik intra Muslim di atas, beberapa peristiwa membutuhkan lebih dari sekadar ketegangan juga terjadi antara Muslim toleransi dan saling menghargai. dan non-Muslim, utamanya umat Kristen. Penggrebekan atas sejumlah Konflik dan kekerasan sosial gereja terjadi di kota Bandung, Jawa termasuk antar dan intra umat Barat, dan Sukoharjo, Jawa Tengah. Alasan penggrebegan itu berangkat beragama dalam kehidupan dari masalah yang sama, yakni masyarakat di atas, menunjukkan penyalahgunaan rumah tinggal untuk penyelenggaraan peribadatan. Dijumpai mendesaknya kebutuhan beberapa bangunan yang pada asalnya akan transformasi sosial dari adalah rumah tinggal biasa kemudian beralih peruntukannya menjadi gereja. masyarakat majemuk menuju Di Sukoharjo, rumah milik Pendeta masyarakat multikultural Syarif Hidayatullah dijadikan tempat ibadah bagi kaum Kristiani. Alasan lain yang melatarbelakangi ketegangan ini adalah praktek permurtadan (proselytisme) yang dituduhkan kepada kaum Kristiani. Seperti kasus pemurtadan di sebuah desa bernama Jalaprang (Sukaluyu) yang dilakukan dengan kekerasan. Praktek pemurtadan ini bermula dengan dalih pengobatan yang pada akhirnya berujung pada pelecehan seksual atas beberapa perempuan yang diiringi dengan penyiksaan. Praktek ini dilakukan oleh seorang pendeta dan dua orang asistennya. Atas dasar itu, sekelompok massa Muslim yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP) dan Forum Ukhuwah Umat Islam (FUUI), yang didalamnya bergabung beberapa elemen umat Islam, menutup dan menyegel bangunan-bangunan gereja itu.

konflik dan kekerasan sosial

Manajemen Masyarakat Multikultural


Keanekaragaman, konflik dan kekerasan sosial membutuhkan lebih dari sekadar toleransi dan saling menghargai. Konflik dan kekerasan sosial termasuk antar dan intra umat beragama dalam kehidupan masyarakat di atas, menunjukkan mendesaknya kebutuhan akan transformasi sosial dari masyarakat majemuk menuju masyarakat multikultural. Pola masyarakat majemuk merepresentasikan kebhinekaan dalam banyak aspek kehidupan. Sejak dekade 70-an, masyarakat Indonesia telah

138

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Radikalisme dalam Balutan Sentimen Keagamaan

mengalami perubahan signifikan seiring pemerintah menjalankan tahaptahap pembangunan lima tahunan dengan tujuan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara industri modern. Sejak ini pula pola mosaik keragaman Indonesia yang selama ini berjalan, kini telah berubah dan kembali kepada apa yang disebut sebagai pola tapestri karena semakin meningkatnya hubungan antar penduduk dan tempat di negeri ini. Pola tapestri ini menggambarkan bahwa anggota-anggota dari berbagai kelompok etnik tidak lagi hidup dalam wilayah-wilayah tertentu yang eksklusif bagi diri mereka sendiri. Atau meskipun mereka hidup dalam etnik mereka sendiri, mereka memiliki beberapa hubungan dengan anggota-anggota dari beberapa kelompok etnik yang berbeda di wilayah lain (Ahimsa-Putra, 2005). Pola masyarakat majemuk memandang keragaman sebagai tak terelakkan. Namun hubungan antar-komunitas, antar-kebudayaan, dan antar-subkultur masih membuka kemungkinan hubungan atas-bawah, dominan-subordinat, superior-inferior. Diskriminasi dan ketidakadilan dalam relasi mudah dijumpai atau bahkan memang dikondisikan secara sengaja dan struktural semacam itu, sehingga manajemen masyarakat majemuk masih menyisakan peluang terjadinya penindasan atas kaum minoritas, mengeksploitasi kelompok tertentu untuk melanggengkan rezim status quo. Pola manajemen sosial semacam ini berlangsung dalam kurun waktu lama, sejak Orde Baru memimpin negara-bangsa ini. Rezim Soeharto menempatkan kelompok minoritas Tionghoa sebagai objek asimilasi yang dipaksa melebur kedalam masyarakat dominan. Kebijakan keagamaan juga tidak menguntungkan kelompok minoritas. Pemerintah menetapkan kebijakan segregasi dalam hal keagamaan dan kepercayaan. Segregasi pertama adalah pemisahan antara apa yang disebut sebagai agama dan kepercayaan. Aliran-aliran kepercayaan dan kebatinan yang sangat banyak jumlahnya, 300 aliran menurut data pada tahun 1972, tidak dianggap sebagai agama atau kepercayaan. Aliran-aliran ini bahkan dianjurkan untuk melebur kembali ke induk agamanya masingmasing. Sebagai konsekuensi bahwa mereka tidak dapat dianggap sebagai agama, mereka wajib mendaftarkan diri kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam kementerian ini pula ada divisi yang secara khusus menangani masalah-masalah penghayat kebatinan dan kepercayaan-kepercayaan.
MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

139

Budaya Kekerasan dan Manajemen Masyarakat Multikultural

Segregasi kedua adalah pemisahan antara apa yang disebut sebagai agama resmi dan agama tidak resmi. Agama resmi adalah agamaagama yang diakui sepenuhnya oleh pemerintah dan karenanya mereka memiliki status hukum. Saat itu hanya lima agama yang dianggap resmi oleh pemerintah, yakni Islam, Kristen, Katholik, Budha, dan Hindu. Agama Kong Hucu selama masa ini tidak dianggap sebagai agama resmi oleh pemerintah, karena kedekatan hubungan dengan asal-usul agama ini dari Cina dan pengikutnya kebanyakan warga Tionghoa. Dalam benak Orde Baru, Kong Hucu adalah saudara kandung komunisme. Agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan asli Nusantara juga tidak dimasukkan kedalam kategori agama. Akibatnya, pembuatan kartu tanda penduduk atau data-data penting lainnya selalu dikaitkan dengan identitas keagamaan. KTP harus mencantumkan agama. Mereka yang secara keyakinan berpegang pada kepercayaan asli leluhur dipaksa untuk memilih dan mencantumkan identitas agamanya menurut daftar lima agama resmi itu. Pola manajemen masyarakat majemuk pada masa lalu terasa sudah kurang memadai. Yang dibutuhkan kini adalah manajemen masyarakat multikultural. Manajemen masyarakat multikultural setidaknya memiliki empat ciri utama (Lijphart, 1977; Taylor, 1992). Pertama, dalam masyarakat multikultural terbuka pintu untuk mengakomodasi semua kepentingan politik dari berbagai segmen masyarakat yang hidup. Kepentingan politik ini mau tidak mau mensyaratkan suatu sistem keadilan dalam pembagian wilayah-wilayah kekuasaan (power sharing). Semua kelompok kepentingan adalah komponen-komponen yang saling bergantung satu dengan yang lain dan karenanya perlu didengar aspirasi politik mereka dan melibatkan mereka semua untuk berpartisipasi membangun sistem politik yang didasarkan atas asas keterbukaan (fairness), demokratis dan keadilan. Dengan melandaskan pada asas keterbukaan, itu artinya sistem politik memberikan peluang yang sama kepada semua individu dan warga negara dalam mengakses dan berperan serta dalam semua aktivitas struktur dasar masyarakat dan memiliki kebebasan dasar yang sama. Kebebasan-dasar diartikan sebagai kebebasan yang perlu untuk dapat menjadi peserta penuh dari kegiatan struktur-dasar masyarakat. Misalnya saja: kebebasan berpolitik, hak bersuara, hak mendapatkan kedudukan dan fungsi, kebebasan berpikir, hak mengusahakan dan memiliki harta pribadi, kebebasan untuk tidak ditangkap sewenang-

140

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Radikalisme dalam Balutan Sentimen Keagamaan

wenang, dan kebebasan untuk tidak ditahan dan diadili tanpa prosedur hukum (Rawls, 1997: 61). Kedua, masyarakat multikultural memberlakukan sepenuhnya sistem kelola kebudayaan yang mengakomodasi semua entitas kultural yang ada. Kebijakan kultural ini diupayakan dalam rangka memberikan tempat dan hak yang sama pada semua kelompok kultural untuk memanifestasikan identitas dan keunikan masing-masing. Negara tidak dikehendaki untuk mereduksi sedemikian rupa identitas dan keunikan kultural itu, sebagaimana pernah terjadi pada masa rezim Orde Baru yang meringkas kekayaan kultural dan etnik Nusantara hanya menjadi 27 propinsi. Keragaman identitas kultural itu harus diakui sebagai bagian dari khazanah bangsa yang memberikan kontribusi bagi pembangunan negara dan karakter bangsa (nation character building). Oleh karena itu, atas asas keadilan negara tidak diperkenankan memberikan hak-hak istimewa bagi kultur tertentu, tidak ada dominasi kultural mayoritas atas minoritas. Dengan cara itu, manajemen kultural tidak semata mengakomodasi keragaman budaya, bahkan juga memantapkan politik pengakuan. Mereka yang termasuk dalam kategori minoritas memiliki kedudukan yang sama dan berhak memperoleh perlakuan yang adil. Inilah ciri ketiga dari manajemen masyarakat multikultural. Terakhir, manajemen masyarakat multikultural tidak semata mengakui keberadaan kebudayaan-kebudayaan yang beragam dan berbeda, namun juga mengandaikan kesediaan dan ketulusan untuk menghargai kebudayaan-kebudayaan itu tanpa harus mengorbankan loyalitas atas identitas kulturalnya sendiri. Dari sini diharapkan kebudayaankebudayaan dapat saling belajar untuk hidup berdampingan dan kerjasama.

Bercermin pada Sang Pencerah


Manajemen masyarakat multikultural sebagaimana dipaparkan di muka pada intinya menggariskan pentingnya peran negara dalam hal mengatur pembagian kekuasaan (power sharing), dan politik pengakuan (politic of recognition) atas semua entitas kultural; dan pada tingkat masyarakat kebijakan ini mendorong sikap saling memahami dan saling menghargai antarberbagai entitas kultural, etnik dan agama yang berbeda-beda.

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

141

Budaya Kekerasan dan Manajemen Masyarakat Multikultural

Manajemen masyarakat multikultural tentu saja sangat berperan pada level negara dan masyarakat. Kebijakan ini akan memperoleh daya dukung yang kokoh apabila diperkuat oleh pembangunan karakter individu dan kelompok yang peka akan keanekaragaman dalam kehidupan sosial. Di tengah-tengah krisis kepribadian para pemimpin politik dan pemimpin masyarakat (umara dan ulama) dan kurangnya keteladanan mereka di mata rakyatnya, kita perlu bercermin pada film Sang Pencerah yang cukup fenomenal di negeri ini. Film Sang Pencerah karya sutradara kenamaan Hanung Bramantyo (2010) yang memperoleh animo masyarakat penonton Indonesia cukup besar, sebenarnya memuat pesan-pesan bagaimana negeri ini perlu dibangun di atas fondasi perdamaian dan penghargaan atas keanekaragaman. Di tengah-tengah banyaknya konflik dan kekhawatiran akan kekerasan atas nama apa pun (termasuk agama utamanya), film yang mengangkat lakon sejarah KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, patut di ambil hikmahnya untuk meneropong masa kini dan masa depan negeri ini. Pertama, KH. Ahmad Dahlan dengan ketrampilannya memainkan biola, alat musik yang jarang diminati generasi sezamannya, hendak menyampaikan pesan inti dari ajaran Islam. Dawai-dawai biola menyusun suatu harmoni nada bagi mereka yang dapat memainkannya dengan benar, dan kemerduan serta keselarasan merupakan efek bunyi yang dihasilkannya. Islam, menurut KH. Ahmad Dahlan, ibarat dawai-dawai biola. Sesuai dengan kata dasarnya salima, Islam merupakan agama harmoni dan agama perdamaian (salam). Harmoni itu menghasilkan keindahan dan keselarasan dalam kehidupan bagi yang melakoni dan menyaksikannya. Kedua, KH. Ahmad Dahlan mempergunakan biola sebagai salah satu media penyampai pesan-pesan Islam. Ini didasarkan pada satu kenyataan bahwa seni merupakan alat paling efektif untuk mempertemukan banyak orang. Seni adalah media universal yang berguna untuk mengkomunikasikan suatu pesan tanpa terbelanggu oleh sekat-sekat primordial dan sektarian. Satu hal langka pada zamannya di mana biola (baca: seni) menjadi instrumen dakwah kultural untuk pembaruan dan kemajuan. Lebih-lebih ketika sebagian orang masih memandang alat seni dan kesenian sebagai bidah dan impor dari Barat.

142

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Radikalisme dalam Balutan Sentimen Keagamaan

Ketiga, pembaruan Islam yang diperjuangkan oleh KH.Ahmad Dahlan bermula dari ide sederhana untuk meluruskan arah kiblat Masjid Agung Keraton Jogjakarta. Meskipun sederhana untuk ukuran zaman sekarang, pendekatan ilmiah Ahmad Dahlan terhadap persoalanpersoalan keagamaan menunjukkan ia seorang yang pro terhadap Islam berkemajuan. Setiap ulama masa itu mengetahui bahwa Kabah merupakan patokan arah kiblat dalam ibadah shalat. Namun, menentukan secara tepat arah kiblat yang benar berdasarkan asas keilmuan, tidak dimiliki oleh mereka. Hanya mushola milik Kyai Saleh Darat, guru KH. Ahmad Dahlan di Semarang, yang dipandang telah mengarah pada kiblat yang benar. Artinya, secara ide dan praktik, pembaruan ini bukan hal baru. KH. Ahmad Dahlan mampu menjadikannya sebagai ide dan gerakan pembaruan ketika ia dapat merevitalisasi gagasan tersebut dengan alat bantu keilmuan dan berbagi kegelisahan, setelah sekian lama kaum Muslim mengabaikannya karena kubangan kebodohan dan keterbelakangan. Itulah ide sederhana untuk merangsang gagasangagasan dan perubahan-perubahan yang lebih besar dan mendasar. Keempat, dialog untuk menjembatani perbedaan pandangan. Untuk mengkomunikasikan pendapatnya tentang arah kiblat, KH. Ahmad Dahlan bersedia membuka diskusi secara terbuka. Dalam kesempatan dialog ini, ia mengemukakan pandangannya dengan jelas. Ia terlibat dialog dengan berbagai kalangan ulama: Ada ulama sufi dan tarekat yang mementingkan kedekatan dan ikatan batin dengan Tuhan pada saat ibadah karena ke arah mana pun kita menghadap di situlah wajah Allah akan dijumpai; Ada kaum penghulu keraton dan ulama tradisional umumnya yang yakin bahwa arah kiblat masjid Agung sudah benar, dan tidak perlu mengubahnya. Tanpa memaksakan pendapatnya kepada para ulama itu, KH. Ahmad Dahlan menjelaskan argumen pelurusan arah kiblat masjid Agung berdasarkan ilmu falak dan geografi. Kelima, takfir (menuduh orang lain sesat-menyesatkan dan kafir) adalah budaya kekerasan verbal. KH. Ahmad Dahlan adalah tipe pemberani. Ia tidak dapat dibungkam dalam menyuarakan kebenaran. Ia berani mengambil risiko dibenci, disudutkan dan dimusuhi oleh para ulama keraton dan masyarakat Muslim sekitarnya. Ide-idenya dianggap nyleneh dan asing bagi kebanyakan ulama dan masyarakat Muslim pada zaman itu. Karena ide-idenya itulah ia bahkan dituduh kafir dan menyesatkan masyarakat. Tuduhan dan pelabelan negatif, dan kata-kata kotor lainnya
MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

143

Budaya Kekerasan dan Manajemen Masyarakat Multikultural

yang ditujukan kepadanya merupakan cermin budaya kekerasan verbal (kekerasan dalam ucapan) yang ditunjukkan masyarakat Muslim. Kekerasan verbal berupa takfir itu terasa kontekstual dengan situasi dan kondisi masyarakat Muslim saat ini, setelah satu abad lamanya sejak kelahiran Muhammadiyah. Masyarakat Muslim kini mudah berprasangka buruk kepada sesama Muslim yang berbeda pendapat dan pandangan. Mereka bersikap dan berperilaku demikian karena mengikuti fatwa, sikap dan perilaku para ulamanya. Tanpa terlebih dahulu tabayun (meminta klarifikasi, mendialogkan, mendiskusikan), sudah bersikap apriori. Keenam, bahaya kekerasan fisik. Seiring dengan muncul dan berkembangnya budaya kekerasan verbal berupa takfir, kekerasan fisik mulai menggejala dan menjadi fenomena sosial-keagamaan. Karena fatwa dan label kafir itulah, maka sebagian ulama dan masyarakat Muslim tidak segan-segan memberangus dan membinasakan sesama Muslim. KH. Ahmad Dahlan merupakan contoh kecil korban kekerasan fisik itu. Langgar Kidul yang dibangunnya untuk tempat ibadah dan berbagi ilmu dengan murid-murid dan jamaahnya, dirusak dan dirobohkan oleh mereka yang menuduhnya kafir. Bahkan mereka meneriakkan Allahu Akbar sambil menghancurkan tempat ibadah yang di dalamnya banyak disebut nama-nama Allah (al-Asma al-Husna). Kini, bukan hanya tempattempat peribadatan lain agama yang dihancurkan, bahkan masjid-masjid pun dibakar dan diratakan dengan tanah. Ketujuh, terbuka atas kemajuan. Penyakit yang mendera masyarakat Muslim dan para ulamanya pada masa itu adalah berpikiran tertutup dan taqlid. KH. Ahmad Dahlan melihat ada dua penyakit yang menggejala: kaum ulama dan masyarakat Muslim menerima apa adanya tradisi yang telah berurat berakar. Mereka tidak punya cukup ilmu dan keberanian mempersoalkan kembali tradisi yang selama ini dipegangi. Kenduri, selamatan, sesajian, dan arah kiblat yang salah hanya merupakan contoh kecil. Dahlan mencoba bersikap kritis terhadap semua itu. Sebagai alternatifnya ia menawarkan Islam yang dilandaskan pada argumen rasional dan ilmiah. Maka taqlid bukanlah pilihan yang benar bagi kemajuan masyarakat Muslim. Di samping itu, kaum ulama dan masyarakat Muslim gamang dan defensif terhadap ide-ide kemodernan yang datangnya dari luar (baca: Barat). Ini dilukiskan oleh reaksi para ulama yang menuduh Dahlan telah kafir

144

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Radikalisme dalam Balutan Sentimen Keagamaan

karena mengadopsi perdaban Barat dalam bidang pendidikan. Sebenarnya apa yang dilakukan Dahlan ada ide kreatif mengonvergensi sistem pendidikan lokal dan sistem pendidikan Barat. Ia menerapkan macammacam metode pendidikan Barat, di samping metode konvensional; ia juga mempergunakan meja-kursi dan alat-alat bantu dalam proses belajar-mengajar. Dahlan sejatinya menawarkan pandangan dan sikap moderat-progresif: Moderat dalam proses mendialogkan secara kreatif ide-ide di antara tradisi dan kemodernan; progresif dalam mengadopsi dan mengadaptasi kemajuan positif dari mana pun datangnya (termasuk dari Barat) sehingga mendorong perubahan masa depan yang lebih baik dan berkemajuan. Ide dan pesan ini terasa kontekstual untuk masyarakat Muslim kontemporer, di mana sebagian ulama dan masyarakat Muslim mudah alergi dan gampang curiga pada gagasan-gagasan dan praktik-praktik berbau Barat. Seperti halnya kasus kegamangan terhadap isu-isu tentang pluralisme, sekularisme dan liberalisme dalam lima tahun terakhir sejak keluarnya fatwa MUI. Terakhir, tak kalah pentingnya adalah kesantunan. KH. Ahmad Dahlan menunjukkan sikap santun dalam setiap dialog dengan mereka yang berbeda. Ini dibuktikan oleh Dahlan pada saat memulai mengemukakan pendapatnya dengan mengucapkan pangapunten. Ia tidak agresif dalam arti menyerang pihak yang berbeda pendapat dan berseberangan. Ia tetap teguh memegang pendapatnya diiringi dengan alasan-alasan yang argumentatif dan berdasar. Selebihnya ia tidak memaksakan pendapatnya. Ketika pendapatnya tidak diterima, seperti perubahan arah kiblat masjid Agung Keraton, Dahlan mendirikan Langgar Kidul di atas tanah miliknya. Kesantunan semacam ini rupanya menjadi hal langka di kalangan pemimpin, ulama dan masyarakat kita. Mereka suka saling memojokkan dan menjatuhkan satu dengan yang lain. Memaksakan pendapat sering diiringi dengan kekerasan verbal dan fisik. Kata-kata, sikap dan perilaku mereka jauh dari kesantunan yang menjadi sifat dasar Islam (damai dan selamat).

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

145

Budaya Kekerasan dan Manajemen Masyarakat Multikultural

Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, Hedy Shri,Indonesia: Cultural Pluralism without Multiculturalism? makalah disajikan dalam Seminar Internasional Multicultural Education: Cross-Cultural Understanding for Democracy and Justice, diselenggarakan oleh CRSD, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 27-28 Agustus 20005. Azra, Azyumardi,Cultural Pluralism in Indonesia: Continous Reinventing of Indonesian Islam in Local, National and Global Contexts, The 10th Annual Conference on Islamic Studies, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama RI, 2010: 4-12). Rawls, John. Theory of Justice. Cet. 22. Cambridge, Massachusetts: The Belknap Press of Harvard University Press, 1997. Lijphart, Arend. Democracy in Plural Societies. New Haven: Yale University Press, 1977. Taylor, Charles. Multiculturalism and the Politics of Recognition. Princeton: Princeton University Press, 1992.

146

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Radikalisme, Ketidakadilan, dan Rapuhnya Ketahanan Bangsa*


Ahmad Syafii Maarif

Pendahuluan
Radikalisme adalah kepercayaan pada sebuah gagasan atau prinsip radikal dalam melakukan perubahan secara ekstrem terhadap institusi politik dan sosial. Dalam pengertian politik, gagasan ini muncul pertama kali dari Charles James Fox (1749-1806), negarawan Inggris, yang menginginkan suatu reformasi radikal untuk membela kebebasan dan penghapusan perdagangan budak. Sejak itu gagasan ini telah meluas menjadi milik dunia. Dalam perjalanan sejarah, radikalisme hampir pasti punya tujuan politik untuk sebuah perubahan ekstrem tanpa kompromi. Dalam sejarah kontemporer Indonesia, radikalisme ini umumnya dikaitkan dengan kegiatan beberapa gerakan Islam minoritas tetapi bersuara lantang untuk perubahan cepat dalam lembaga politik dan sosial yang dinilai tidak Islami. Pemimpin-pemimpin gerakan ini menolak gagasan demokrasi dan praktik pemilihan umum sebagai sesuatu yang tidak ada gunanya bagi rakyat banyak. Jika demikian, radikalisme ini telah, sedang, dan akan berhadapan dengan kekuatan pendukung demokrasi yang pasti terkait langsung dengan masalah ketahanan nasional,
*. Tulisan ini pernah disampaikan dalam Orasi Ilmiah Peringatan Ulang Tahun Lemhannas RI ke-42 di Jakarta, 22 Mei 2007 dengan judul: Upaya Mencegah Berkembangnya Radikalisme Guna Meningkatkan Ketahanan Nasional.

Ahmad Syafii Maarif adalah Pendiri MAARIF Institute for Culture and Humanity, Ketua PP Muhammadiyah (1998-2005).

147

Radikalisme, Ketidakadilan, dan Rapuhnya Ketahanan Bangsa

seperti yang akan kita bicarakan lebih jauh, di samping meneropong Dunia Islam yang lemah oleh berbagai masalah internal yang berketiak ular.

Akar Pokok Radikalisme di Indonesia dan Dunia Islam yang Rapuh


Jauh sebelum munculnya gerakan-gerakan radikal belakangan ini, Indonesia pasca proklamasi tidak pernah sepi dari konflik-konflik domestik yang cukup banyak menguras energi bangsa ini. Tokoh-tokoh di belakang konflik ini termasuk dalam kategori radikal, mereka merasa tidak puas dengan tatanan yang ada, dan ingin mengubahnya secara radikal pula. Ada gerakan PKI Madiun tahun 1948, ada DI/TII antara tahun 1949-1962, ada RMS tahun 1950-an, ada PRRI/Permesta tahun 1950-an akhir dan awal 1960-an, ada G30S/PKI tahun 1965, dan masih ada yang lain dalam skala yang lebih kecil. Sekalipun cukup melelahkan, Republik Pancasila akhirnya berhasil mematahkan semua perlawanan itu, sekalipun penyebab utamanya masih terabaikan sampai hari ini, yaitu berupa tegaknya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang menjadi sila pengunci Pancasila yang telah kita sepakati itu. Kita harus jujur terhadap bangsa ini, politik pemerintah dan partai-partai sejak tahun 1945, hampir tidak ada yang benar-benar mengacu kepada sila kelima ini, kecuali dalam retorika politik, terutama saat kampanye pemilu. Peradaban politik kita baru sampai pada taraf ini, kita belum serius mengurus bangsa dan negara ini. Penyebab maraknya gerakan-gerakan radikal belakangan ini, di samping ada dimensi global berupa ketidakadilan, faktor domestik tampaknya lebih dominan sehingga mereka masih saja berhasil mencari pengikut untuk dijadikan barisan depan. Para pengikut ini telah dicuci otaknya sedemikian rupa, sehingga lahirlah pasukan tahan banting untuk mencapai tujuan. Lautan kemiskinan (tahun 2007 angkanya akan menjadi 42 juta dari 225 juta rakyat Indonesia) merupakan rumput kering yang rentan bagi ledakan-Iedakan sosial politik pada masa-masa yang akan datang. Artinya selama lautan kemiskinan itu tetap menganga, maka upaya untuk membasmi radikalisme akan menjadi sangat sulit, jika bukan akan menemui jalan buntu. Saya gagal memahami mengapa para elit bangsa ini belum juga menyadari betapa dalamnya jurang sosial ini di sebuah bangsa yang kaya dengan sumber alam, tetapi ternyata lebih

148

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Radikalisme dalam Balutan Sentimen Keagamaan

banyak dinikmati oleh lapisan kecil orang Indonesia. Kongkalingkong antara penguasa dan pengusaha sudah menjadi rahasia umum selama ini, sementara proses law enforcement demikian lemahnya. Selama periode otoritarian yang lalu, radikalisme yang membawa bendera Islam tidak berani muncul secara terbuka karena kuatnya katup pengaman yang dilakukan pemerintah, tetapi mereka tidak pernah diam; mereka bergerak di bawah tanah. Dengan hancurnya komunisme di berbagai bagian dunia, kiri radikal di Indonesia seperti telah kehilangan pamor, sekalipun kadang-kadang muncul juga dalam bentuk berbagai varian, seperti PRD (Partai Rakyat Demokratik), tetapi tidak pernah membesar. Dengan kata lain, radikalisme Islam yang sebagian dipimpin oleh warga negara Indonesia berdarah Arab tidak punya saingan yang berarti lagi. Dalam pada itu arus besar Islam yang diwakili Muhammadiyah dan NU dinilai oleh gerakan radikal sebagai lamban dan tidak dapat memberikan jawaban hitam-putih terhadap berbagai masalah bangsa yang memang tidak sederhana. Lebih dari sekali saya pernah diajak oleh unsur-unsur radikal ini untuk bergabung dengan mereka dalam upaya mencari solusi tuntas bagi rnasalah Indonesia, sekali dan untuk selamalamanya. Dikiranya masalah bangsa ini gampang, dengan sebuah Perda Syariah seakan-akan semuanya menjadi beres. Cara berfikir simplistik ini memang dapat menjadi komoditas instan bagi mereka yang berfikir sederhana dan sakit hati. Tidak terbayangkan oleh mereka, dan juga oleh sebagian kita, bahwa Indonesia sebagai bangsa dan negara masih dalam proses pembentukan, karenanya belum stabil benar. Jawaban hitamputih terhadap masalah bangsa, konsekuensinya hanya satu: kita pasti gagal membaca realitas. Tentu saja saya tolak ajakan mereka karena pendekatan yang simplistik terhadap masalah bangsa yang rumit hanyalah akan memperkeruh keadaan yang memang sudah keruh dan kumuh. Praktik korupsi yang menggurita adalah indikator terang benderang dari budaya kumuh ini. Polemik terbuka saya dengan mereka masih saja berlangsung sampai sekarang, sebagian mereka menuduh saya anti-syariah dan anti Piagam Jakarta yang dulu diperjuangkan oleh pendahulu saya dari Muhammadiyah. Dalam batas-batas ranah intelektual, saya telah memberikan jawaban kepada mereka, sekalipun tidak memuaskan kelompok-kelompok ini. Jawaban saya berangkat dari formula Bung Hatta yang kira-kira berbunyi: Pakailah filsafat garam, tak tampak tetapi terasa; jangan pakai filsafat
MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

149

Radikalisme, Ketidakadilan, dan Rapuhnya Ketahanan Bangsa

gincu, tampak tetapi tak terasa. Artinya moral Islam harus mewarnai prilaku bangsa ini. Secara moral-filosofis, seluruh kekuatan sosial di Indonesia menginginkan terciptanya sebuah masyarakat yang bermoral, demi tegaknya pilar keadilan untuk semua, tanpa memandang perbedaan suku, agama, dan aIiran. Dari sisi pandangan ini, cara-cara radikal dengan pendekatan hitam-putih, legal formal, bukan saja tidak faham masalah sosiologis Indonesia, namun juga berakibat langsung membuat citra Islam menjadi sesuatu yang mengerikan, sebuah monster, dan bukan lagi sebagai rahmatan Ii al- alamin sebagaimana yang dituntut oleh al-Quran1. Yang saya gagal lagi memahami adalah pandangan introvert (bertumpu pada diri sendiri) mereka, tidak mau mendengar penilaian orang luar terhadap prilaku mereka yang sering meresahkan masyarakat luas, Muslim dan non-Muslim. Sekiranya komunisme belum diarak ke tiang gantungan sejarah di akhir 1989, dan PKI masih jaya di sini, maka yang mengusung bendera radikalisme adalah mereka, bukan kelompok-kelompok Islam. Dalam menggerakkan massa miskin, PKI hampir tidak punya tandingan di Indonesia, terutama pada periode Demokrasi Terpimpin (1959-1966), pada saat komunisme dijadikan salah satu pilar revolusi yang tak kunjung selesai. Partai-partai lain ketika itu dipaksa menjadi defensif, jika bukan harus menari sesuai dengan irama genderang yang ditabuh kaum komunis. Kini komunisme secara resmi sudah tidak berdaya, maka radikalisme diambilalih oleh kekuatan kanan dengan mengusung bendera syariat Islam, sebagaimana yang mereka fahami. Deliar Noer benar pada saat mengatakan: Dalam soal hubungan agama (Islam) dan negara, diyakini-termasuk oleh sebagian (besar) mereka yang dikategorikan radikal, dipercayai bahwa hubungan itu ada dan harus tercermin dalam kehidupan bernegara. Maka syariah pun haruslah tegak dalam negara idaman. Sayang tidak jelas amat hubungan ini dikemukakan, kecuali yang seperti biasanya, berhubungan dengan hukum: seperti potong tangan, rajam, dsb.2

1 2

Lih. al-Quran s. al-Anbiya: 107 Lih. Kata Pengantar Deliar Noer dalam Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, Jakarta: Teraju, 2002, hIm. xvii. Deliar Noer cukup disegani di kalangan mereka, tetapi apakah penilaian tokoh ini sempat mereka baca atau tidak.

150

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Radikalisme dalam Balutan Sentimen Keagamaan

Lemahnya artikulasi gagasan syariat mereka telah semakin mengundang antipati dan ketidakpercayaan yang luas di kalangan intelektual Muslim Indonesia, apalagi di luar itu. Kelompok radikal ini tidak mengerti sama sekali peta sosiologis masyarakat Indonesia yang plural, sehingga sudah dapat dipastikan bahwa akhir perjalanan mereka adalah sebuah kesiasiaan. Tak seorang pun di antara aktor mereka yang faham sejarah kontemporer Indonesia secara mendalam. Akibatnya, radikalisme mereka ibarat orang berjalan tanpa suluh dan lentera di gelap malam, tetapi ironisnya mereka merasa sedang berada di jalan terang. Parameter yang mereka pakai bukan berdasarkan pertimbangan akal sehat, tetapi sebuah doktrin teologis politik yang sudah sangat usang. Kelompok radikal yang paling ekstrem adalah mereka yang terlibat dalam praktik bom bunuh diri sambil membunuh orang lain dalam jumlah besar. Praktik ini dipicu oleh situasi Palestina, Afghanistan, dan belakangan ini Iraq. Ini yang saya maksud dengan dimensi internasional atau global. Yang sama sekali di luar nalar adalah praktik busuk itu mereka lakukan di Indonesia, di Bali dan Jakarta. Apa pula dosa Indonesia gerangan sehingga harus dihukum melalui cara-cara biadab itu? Warga Malaysia memilih bertualang di sini, karena di negaranya pasti sudah lama dibekuk. Cara semacam inilah yang saya rumuskan dalam format Teologi Maut mereka: berani mati karena tak berani hidup. Secara teoretik, kegagalan dunia Islam berurusan dengan arus modernisme sekuler-ateistik menjadi penyebab umum dari sikap salah tingkah yang ditunjukkan oleh berbagai varian radikalisme umat Islam. Saya bisa memahami betapa pedihnya orang yang hidup di buritan peradaban: labil, reaktif, mudah tersinggung, nalar kurang berfungsi, dan nekat. Karena politik luar negeri Amerika yang imperialistik, khususnya di era Presiden Bush, budaya nekat ini semakin marak dan berkembang dan tidak mudah dibendung, sekalipun barangkali dihantam dengan ledakan nuklir. Dunia Islam yang tercabik-cabik karena kerapuhan dari dalam sungguh sangat rentan terhadap berbagai peristiwa dan rangsangan dari luar berupa ketidakadilan global. Siksaan yang dilakukan tentara Amerika terhadap tahanan di penjara Abu Ghraib, Iraq, telah memudarkan citra negara ini sebagai benteng kebebasan, dan perasaan dendam yang diakibatkannya

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

151

Radikalisme, Ketidakadilan, dan Rapuhnya Ketahanan Bangsa

tak mudah terhapus dalam ingatan kolektif umat manusia yang siuman. Kritik Francis Fukuyama terhadap tindakan pemerintah Bush yang membabi buta di Iraq, telah menampilkan ini: The dominant image of the United States is not the Statue of Liberty but the photographs of prisoner abuse at Abu Ghraib ....3 Tetapi kelompok radikal semestinya tidak hanyut dan larut dalam keputusasaan. Harus diciptakan ruang untuk berfikir jernih di tengahtengah kejamnya situasi, di tengah-tengah ketidakadilan global. Sekiranya mereka mau berunding dengan al-Quran secara tenang dan sabar, seharusnya mereka tidak lupa akan Teologi Harapan yang diajarkan Kitab Suci ini yang rumusannya dapat berbunyi : berani hidup secara bermakna, sekalipun berada dalam kepungan neo-imperialisme modern. Kekejaman yang dilawan dengan kekejaman pasti akan berujung dengan situasi ini: kalah jadi abu, menang jadi arang. Siapa mengira kekuatan nekat bisa menghancurkan Menara Kembar WTC (World Trade Center) di New York pada 11 September 2001? Kelompok teror memandang menara ini sebagai simbol kapitalisme modern yang mengacau dunia, oleh sebab itu pasukan berani mati harus disiapkan untuk menghancurkannya. Para teroris ini telah lama menderita psychology of despair (psikologi putusasa), untuk meminjam ungkapan Chandra Muzaffar. Di depan si putusasa, maut bukan sesuatu yang ditakuti, malah sesuatu yang dirindukan dan dikejar. Dari pada hidup bercermin bangkai, lebih baik mati berkalang tanah, sebuah pribasa Melayu yang relevan dipasangkan kepada kelompok radikal ekstrem ini. Dunia modern yang pongah sulit sekali memahami jenis psikologi ini. Oleh sebab itu, semakin keras tekanan yang diberikan terhadap penderita psychology of despair atau penganut Teologi Maut ini, semakin tinggi pula tingkat kenekatan yang bakal mereka tunjukkan. Kita bisa membayangkan, jika kecenderungan nekat ini tetap saja berlangsung, muaranya hanya satu: malapetaka bagi umat manusia dan kemanusiaan. Harakiri peradaban sudah berada di pelupuk mata. Bush dan Usamah bin Ladin tidak mau faham ini. Keduanya adalah tokoh fundamentalisme: Bush Kristen politik, Bin Ladin Muslim yang sedang marah dan hilang keseimbangan dalam pasungan psychology of despair. Bagi seorang Bin Ladin dan penghancur WTC, penyebab kenekatan ini tidak ada kaitannya
3 Francis Fukuyama, America at the Crossroads: Democracy, Power, and the Neoconservative Legacy. New Haven and London: Yale University Press, 2006, hlm. 187.

152

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Radikalisme dalam Balutan Sentimen Keagamaan

dengan masalah kemiskinan, karena mereka orang kaya atau setidaktidaknya kelas menengah yang terdidik. Lain halnya dengan pelaku bom bunuh diri di Indonesia, sebagian besar berasal dari sektor masyarakat marjinal yang dianaktirikan dalam proses pembangunan. Adalah pernyataan yang sangat berani dari Johan Galtung tentang kaitan terorisme dan terorisme negara. Dalam artikel yang ditulisnya bersama Dietrich Fischer, Galtung menasehati Amerika dan pendukungnya bahwa untuk mengakhiri terorisme akhiri pula terorisme negara (to end terrorism, end state terrorism). Mengapa penghancur WTC begitu nekat? Galtung membandingkannya dengan keberhasilan Hitler menjadi penguasa Jerman adalah akibat Perjanjian Versailles 1919 yang sangat menghina Jerman. Dalam perjanjian ini Jerman disuruh sendirian bertanggungjawab terhadap PD (Perang Dunia) I dan memaksakan ganti rugi selama 50 tahun. Karena merasa terhina, bangsa Jerman menjadi hilang keseimbangan, lalu memilih manusia nekat Hitler menjadi pemimpinnya. Akibatnya Hitler telah hampir meluluhlantakkan seluruh Eropa masa PD II (1939-1945). Hitler dengan Nazinya, Mussolini dengan fasisnya, dinilai sebagai daki dalam sejarah modern Eropa, tetapi bukankah semuanya itu lahir dari rahim peradaban Barat sekuler? Begitu juga komunisme tidak lain dari perpanjangan belaka dari sayap renaisans dalam bentuk ekstrem. Galtung juga memberikan angka-angka tentang terorisme negara yang dilakukan Amerika sejak tahun 1945, tetapi yang tidak pernah dimunculkan dalam media negara itu. Kita kutip: Sejak tahun 1945, Amerika Serikat telah mengintervensi negara lain sebanyak 67 kali, menyebabkan 12 juta terbunuh, separo dilakukan secara terbuka oleh Pentagon, dan secara rahasia oleh CIA. Ini praktis tidak diketahui oleh sebagian besar rakyat Amerika, dan jarang disebut... 4 Oleh sebab itu, jika dunia ini mau dijadikan tempat hunian yang aman dan nyaman, pilihan di mata Galtung adalah: akhiri terorisme negara. Sejalan dengan Galtung, mantan anggota kongres Amerika dari
4 Johan Galtung and Dietrich Fischer, To End Terrorism, End State Terrorism, http://www.wagingpeace.org/ articles/2002/09/20_galtung_end-terrorism.htm, September 20, 2002.

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

153

Radikalisme, Ketidakadilan, dan Rapuhnya Ketahanan Bangsa

kelompok konservatif, Paul Findley, dengan sangat tajam menggambarkan imperialisme Amerika di bawah Bush dalam kalimat ini: Kita sedang berada di era baru, era imperialisme Amerika. Kita telah meninggalkan rule of law dalam masalah internasional. Kita adalah penganut kekuasaan, bukan kebenaran. Dikatakan selanjutnya: Banyak pengamat percaya bahwa 9/11 tidak akan pernah terjadi dan tidak akan ada serangan ke Iraq jika pemerintah Amerika Serikat menolak dukungan terhadap perlakuan brutal Israel atas rakyat Palestina. Yang ajaib adalah tuduhan terhadap apa yang bernama fundamentalisme Islam sebagai musuh Amerika, padahal kata Tariq Ali, penulis Inggris, bahwa the mother of all fundamentalisms: American imperialism.5 Galtung kemudian melihat munculnya seorang Usamah bin Ladin ibarat munculnya seorang Hitler. Bin Ladin merasa telah sangat terhina oleh Perjanjian Sykes-Picot 1916 yang menempatkan Arabia berada di bawah kekuasaan non-Muslim; juga adanya Deklarasi Balfour 1917 yang mendukung berdirinya Negara Yahudi di Palestina, bagi Bin Ladin adalah penghinaan Barat atas bangsa Arab, situasi buruk semacam ini malah semakin memburuk sampai hari ini. Di lingkungan penderita psychology of despair, Bin Ladin adalah pahlawan, tidak terkecuali di kalangan pelaku bom bunuh diri di Indonesia yang umumnya berasal dari lingkungan rakyat miskin, seperti tersebut di depan. Dalam pembicaraan saya dengan para jenderal polisi Detasemen Anti-Teror, dapat disimpulkan bahwa radikalisme atau bentuk ekstremnya terorisme di Indonesia akan sangat sulit diatasi selagi kemakmuran hanya dirasakan oleh segelintir orang yang berada di puncak piramida masyarakat Indonesia. Inilah sebenarnya root-causes (akar pokok) domestik dari masalah radikalisme di negeri kita, sebagaimana telah saya singgung di atas.

Quo vadis Radikalisme di Indonesia?


Kita harus membedakan antara radikalisme dengan terorisme di Indonesia. Penganut radikalisme belum tentu menyetujui praktik teror untuk mencapai tujuan. Tetapi teroris pasti radikal, baik dalam cara berfikir, maupun dalam bertindak dengan berpedoman kepada Teologi Mautnya. Persamaannya, setidak-tidaknya dalam retorika, mereka
5 Tariq Ali, The Clash of Fundamentalisms: Crusades, Jihads and Modernity, London & New York: Verso, 2002, pp. xiii; 307.

154

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Radikalisme dalam Balutan Sentimen Keagamaan

semuanya ingin menegakkan syariat di Indonesia. Mereka ingin agar Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, diberlakukan kembali. Karena upaya ini melalui cara-cara demokrasi dan pemilu tidak permah berhasil, maka mereka menempuh jalan di luar itu. Sikap anti demokrasi dan anti pemilu boleh jadi hanyalan siasat selagi jumlah mereka masih minoritas. Sekali posisi mayoritas terpegang di tangan mereka, tidak mustahil pemilu akan dihalalkan. Dalam konteks sejarah Indonesia modern, pengalaman empiris mengatakan bahwa radikalisme, kiri atau kanan, hampir pasti akan dihadapkan kepada jalan buntu yang dramatis. Kelompok Hizbut Tahrir Indonesia yang mengusung bendera khilafah melalui dalil-dalil agama yang disebarkan dalam berbagai media cetak, tampaknya akan bernasib sama dengan gerakan radikal lainnya: upaya mereka hanyalah akan berhenti sampai tingkat wacana. Di luar itu, arus besar Islam di Indonesia, pasti akan membendungnya, karena akar dan cita-cita demokrasi tertanam kuat dalam budaya keagamaan arus besar itu. Adapun praktik demokrasi yang tidak bertanggung jawab, yang bisa membawa malapetaka, adalah penyakit kronis dalam kultur kontemporer Indonesia yang harus cepat disembuhkan. Membiarkan demokrasi dalam keadaan ringkih di tangan mereka yang tidak bertanggung jawab dan sempit hati, pasti akan memberi peluang kepada gagasan-gagasan lain yang anti demokrasi untuk berperan. Para peneliti terhadap peta radikalisme ini telah membuat daftar siapa dan apa mereka itu. Penelitian Haedar Nashir untuk keperluan disertasi patut dibaca oleh siapa saja yang berminat memahami filosofi, program, dan tujuan yang hendak dicapai kaum radikal dengan bendera agama di Indonesia. Umumnya para peneliti sepakat untuk memasukkan MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), FPI (Front Pembela Islam), Laskar Jihad, dan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dalam kategori gerakan radikal dengan persamaan dan perbedaan di antara mereka. Persamaannya semuanya memperjuangkan penerapan syariah di Indonesia. Perbedaannya lebih terletak pada gaya dan selera para aktornya. Selain nama-nama ini, masih ada lagi yang lain, baik yang ada di Jakarta atau pun di daerah. Di Jakarta ada Ikhwanul Muslimin Indonesia pimpinan Husein al-Habsyi yang kadang-kadang tampil radikal juga, tetapi sering dekat dengan para elit. Pernah menantang Abdurrahman Wahid untuk adu jotos. Ada pengalaman kecil saya dengan teman kita ini. Pada suatu malam kami tampil di SCTV, tetapi ada momen malam itu al-Habsyi memeluk saya
MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

155

Radikalisme, Ketidakadilan, dan Rapuhnya Ketahanan Bangsa

dan berbisik: harapan saya tinggal bapak untuk memperbaiki Indonesia. Emangnya dikira mudah mengatur Indonesia ini, apa daya saya sebagai orang tua, fikir saya. Tetapi yang penting bukan ini, sebab jika al-Habsyi bertemu dengan tokoh lain, kalimat serupa juga akan dikatakan. Ya, sebenarnya dia cukup pragmatis dalam berhubungan dengan siapa saja yang dianggapnya perlu. Nama Ikhwan yang digunakannya tentu mengacu kepada al-Ikhwan alMuslimun Mesir yang didirikan oleh Hasan al-Banna pada tahun 1929 yang semula banyak membantu masyarakat lemah, tetapi kemudian terjebak dalam politik praktis, akhirnya melemah, bahkan pernah dilarang. Dalam tulisan ini saya tidak akan mengupas satu per satu kelompok radikal ini, karena literatur tentang itu sudah mulai tersedia. Apa yang hendak saya katakan adalah mengulangi perkiraan saya bahwa radikalisme di Indonesia ternyata tidak pernah mau belajar dari kegagalan gerakan-gerakan hampir mirip di masa lampau yang belum terlalu jauh. Namun ada saran seorang Jenderal Polisi kepada saya bahwa yang harus melakukan gerakan deradikalisasi jangan hanya diserahkan kepada polisi. Pemerintah, militer, dan seluruh kekuatan masyarakat harus turun tangan untuk mempercepat proses ini. Jeritan untuk keadilan harus ditanggapi secara serius. Jika tidak, radikalisme, bahkan terorisme, masih akan beroperasi di Indonesia. Saya rasa saran ini patut benar dipertimbangkan secara masak untuk menyadarkan kita semua akan satu hal sangat penting: ledakan radikalisme akan datang dan pergi, tetapi lenyap tidak, selama keadilan tidak menjadi agenda utama bangsa ini secara keseluruhan. Sudah terlalu banyak dana yang terkuras untuk menghadapi kelompok-kelompok radikal ini sejak kita merdeka. Dengan kata lain, ternyata tidak saja kelompok radikal yang tidak mau belajar, bangsa ini, khususnya pemerintah, juga sulit sekali belajar dari kegagalan masa lampau. Maka dalam perspektif ini, benarlah Hegel: ... what experience and history teach is thisthat peoples and governments never have learned anything from history, or acted on principles deduced from it.6 Tetapi sebagai bangsa sudah agak terdidik, kita tidak perlu terlalu terpaku dan terpukau oleh pendapat Hegel ini. Kita, jika memang mau, harus dapat belajar dari kelampauan. Sebab jika tidak, mari kita akui bersama bahwa keledai ternyata lebih awas dari kita, sebab
6 Lihat http://en.wikiquote.org/wiki/Georg_Wilhelm_Friedrich_Hegel

156

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Radikalisme dalam Balutan Sentimen Keagamaan

hanya tertarung pada batu yang sama sekali seumur hidup, sementara manusia terjerembab berkali-kali.

Akhirnya
Pertanyaan yang menyerang otak saya di akhir pembicaraan ini bukan saja quo vadis radikalisme di Indonesia, tetapi telah melebar menjadi: quo vadis Indonesia? Oleh sebab itu mari kita tata kembali seluruh kekuatan bangsa untuk menjawab pertanyaan sangat mendasar ini secara jujur, berani, dan penuh cinta. Sebuah ketahanan nasional hanyalah mungkin terwujud dengan kuat dan mantap bila para elit di negeri ini bersedia membuang sikap pura-puranya yang memuakkan, dan kembali menjadi warga negara yang sungguh-sungguh dalam membela dan memperbaiki kerusakan moral bangsa yang sudah teramat jauh ini. Radikalisme muncul karena kegagalan kita memberi kehidupan yang layak bagi sebagian besar anak bangsa ini. Dan kaum elit politik dan para cendekiawan mesti berhenti berkicau dan termangumangu di menara gading, harus turun ke bumi kenyataan untuk bersama-sama meneriakkan kalimat: ini bangsa kita, jangan dibiarkan meluncur menjadi bangsa kuli yang tidak lagi diperhitungkan orang. Bangsa besar tetapi rapuh bukanlah kebanggaan, tetapi beban yang sangat melelahkan. Oleh sebab itu, mari kita bangkit secara autentik, bukan bangkit untuk sekadar mempertahankan posisi dan kekuasaan yang tidak lebih dari sebuah pengkhianatan. Kita janganlah menjadi pengkhianat, terselubung atau terang-terangan!

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

157

Radikalisme, Ketidakadilan, dan Rapuhnya Ketahanan Bangsa

Daftar Pustaka
Ali, Tariq, The Clash of Fundamentalisms: Crusades, Jihads, And Modernity. LondonNew York: Verso, 2002. Fukuyama, Francis, America at the Crossroads: Democracy, Power, and the Neoconservative Legacy. New Haven and London: Yale University Press, 2006. Galtung, Johan and Dietrich Fischer, To End Terrorism, End State Terrorism, http:// www.wagingpeace.org/articles/2002/09/20_galtung_end-terrorism. htm, September 20, 2002. Muzaffar, Chandra, Muslims, Dialogue, Terror, Selangor Darul Ehsan: International Movement for a Just World, 2003. Nashir, Haedar, Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia. Jakarta: PSAP, 2007. Noer, Deliar, Kata Pengantar dalam Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, Jakarta: Teraju, 2002. Rahman, Fazlur, Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism. Oxford: Oneworld Publications, 2000. http://en.wikiquote.org/wiki/Georg_Wilhelm_Friedrich_Hegel

158

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Media dan Konflik: Sebuah Tinjauan


Rudi Sukandar

Proses demokratisasi di Indonesia pasca reformasi semakin terbuka lebar ketika pers semakin terbuka dan bebas dalam menyebarkan informasi. Hal ini membuka kesempatan bagi pers Indonesia untuk menjadi pilar keempat dalam penegakan demokrasi. Namun demikian, keterbukaan tersebut tidak serta merta berbanding lurus dengan kesiapan masyarakat dalam memaknai informasi yang disebarkan dan kesiapan media untuk melakukan kontrol diri dan menjunjung etika, terutama dalam menyebarkan informasi tentang konflik dan kekerasan di Indonesia. Media, terutama media elektronik, yang kadang-kadang secara vulgar menyajikan tayangan visual kekerasan melalui liputan beritanya dapat membangun persepsi masyarakat bahwa kekerasan sudah menjadi norma umum. Peliputan langsung atas kekerasan yang terjadi antara Satpol PP dan anggota masyarakat di Tanjung Priok merupakan sebuah contoh bagaimana aksi-aksi brutal pihak-pihak yang bertikai digambarkan tanpa adanya kontrol diri dari media. Berita yang kurang akurat, misalnya mengenai jumlah korban yang tewas, juga ditenggarai menambah tingkat emosi kedua belah pihak dan menimbulkan kesimpangsiuran tentang apa sebenarnya yang terjadi di lapangan. Banyaknya tayangan yang berisi kekerasan dan pemberitaan yang tidak akurat tersebut dapat menyulut kemarahan pihakpihak yang berkonflik dan membuat konflik tersebut sulit

Rudi Sukandar adalah pengajar di Program Pascasarjana STIKOM The London School of Public Relations, Jakarta; Associate Researcher MAARIF Institute

159

Media dan Konflik: Sebuah Tinjauan

untuk diselesaikan. Harus diakui bahwa media bukanlah penyebab maupun pencegah terjadinya konflik terutama bila kekerasan yang terjadi merupakan kombinasi dari pelbagai faktor penyebab dan berada diluar kontrol media (Brati, 2008). Namun demikian, kekerasan yang secara telanjang dipaparkan dapat dijadikan justifikasi bagi masyarakat untuk menyelesaikan konflik dengan cara kekerasan karena banyaknya preseden. Salah satu hasil dari banyak riset tentang hubungan antara media massa dan konflik menunjukkan bahwa media dipengaruhi oleh dan, pada saat yang bersamaan, mempengaruhi dinamika sebuah konflik (Vraneski & Richter, 2003). Dari sini kita dapat melihat betapa strategis dan kritikalnya peran media dalam pengelolaan sebuah konflik, terutama terhadap proses eskalasi dan de-eskalasi konflik. Dalam proses eskalasi dan de-eskalasi konflik ini, ada beberapa faktor yang berhubungan dengan media, yaitu penguatan identitas kelompok dari pihak-pihak yang bertikai, channel bagi suara kaum marjinal dalam konflik, dan jurnalisme damai.

Penguatan Identitas Kelompok


Sebagai sebuah negara multikultural, Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi bermunculannya konflik horizontal antar anggota masyarakat. Kasus penusukan jemaah HKBP di Bekasi; konflik berbau etnis di Tarakan, Kalimantan Timur; kekerasan dalam aksi premanisme di Jalan Ampera, Jakarta; pembakaran Mesjid Ahmadiyah dan penyerangan kampung Ahmadiyah di Cisalada, Ciampea, Kabupaten Bogor; merupakan beberapa contoh bagaimana akhir-akhir ini faktor identitas, selain faktor-faktor lain, menjadi semakin dominan dalam memicu terjadinya kekerasan. Tindakan anggota masyarakat yang mereduksi keberagaman identitas menjadi satu dalam pemberian label kepada kelompok tertentu atau identity singularization (Sen, 2007), menciptakan jebakan mentalitas biner kami vs. mereka. Tindakan di atas biasanya disertai dengan manipulasi konsep Chosen Glory dan Chosen Trauma (Volkan, 1997). Kedua konsep ini pada dasarnya adalah upaya sebuah kelompok membangun identitas dengan menyatukan persepsi tentang kejadian apa yang merupakan kejayaan dan trauma bagi kelompok tersebut. Dalam hal ini media sangat berpengaruh dalam proses pembentukan kejayaan dan trauma tersebut. Pihak-pihak

160

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Media dan Kekerasan

yang merasa menjadi korban akan dengan mudah mengidentifikasi dirinya dengan trauma yang dialami kelompoknya melalui tayangantayangan berita televisi, berita-berita koran, dan informasi yang tersedia di jaringan internet. Akibatnya, masyarakat dengan sengaja memilih peristiwa-peristiwa yang diliput media massa sebagai simbol kejayaan dan trauma mereka untuk membenarkan keberadaan dan kekerasan yang dilakukan kelompoknya. Disamping itu, selama masa konflik berlangsung, opini yang disebarkan oleh media dapat membuat pihak yang dipojokkan menjadi lebih defensif. Hal ini terjadi karena apapun hal positif yang mereka lakukan tidak serta merta hilang karena label negatif yang diberikan oleh media.

Channel Suara Kaum Marjinal dalam Konflik


Dengan melemahnya peran negara dalam melindungi hak-hak warganya, media dapat menjadi sarana bagi pihak-pihak yang terpinggirkan untuk menyuarakan aspirasi mereka. Pemberian ruang bagi pihak-pihak tersebut sangat penting karena isu yang peran media sebagai pencegah disampaikan kaum marjinal diharapkan konflik menjadi sangat dominan dapat membangun kesadaran anggota dan membantu kaum marjinal masyarakat lain sehingga mereka untuk berpartisipasi dalam debat bersama-sama dengan media dapat publik mengenai permasalahan melakukan penekanan kepada negara yang mereka hadapi dengan pihak untuk melakukan tindakan preventif penguasa dan kelompok yang dan menyelesaikan persoalan-persoalan memiliki power atas hajat hidup dan yang dapat berpotensi menjadi sebuah sumber daya yang mereka miliki konflik terbuka. Mengingat aparat pemerintah dan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat biasanya jarang memberikan kesempatan bagi masyarakat yang terpinggirkan untuk menyuarakan kepentingan mereka, expose di media dapat menjadi sebuah strategi bagi kaum marjinal untuk menyampaikan permasalahan yang mereka hadapi. Ini diharapkan dapat membangun opini publik sehingga masalah mereka menjadi bagian dari diskursus publik. Disini peran media sebagai pencegah konflik menjadi sangat dominan dan membantu kaum marjinal untuk berpartisipasi dalam debat publik mengenai permasalahan yang mereka hadapi dengan pihak penguasa dan kelompok yang memiliki power atas hajat hidup dan sumber daya yang mereka miliki.
MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

161

Media dan Konflik: Sebuah Tinjauan

Jurnalisme Damai
Ideologi institusi media cenderung untuk mereproduksi kekerasan dan meminggirkan upaya nirkekerasan dalam liputan mereka (Juluri, 2005). Karena itu dalam beberapa kesempatan, banyak pihak menyuarakan keprihatinan mereka tentang peliputan media yang berlebihan tentang konflik dan kekerasan. Parni Hadi, Dirut Radio Republik Indonesia (RRI), dalam diskusi di MAARIF Institute tanggal 4 Oktober 2010 menyerukan pentingnya jurnalisme damai. Namun yang jauh lebih penting adalah upaya dari pihak media untuk melakukan regulasi diri tentang etika peliputan dan pemberitaan kekerasan melalui kerja sama dengan lembaga-lembaga profesi kewartawanan, Dewan Pers, dan Komisi Penyiaran Indonesia. Hal ini seyogyanya dilakukan karena, menurut Bratic (2008): an unregulated media environment is also able to prolong the conflict by minimizing the impact of positive media projects. Peace-oriented entertainment, journalism and any other peace media programs would be most effective in an environment where sensationalist hate media do not distract the publics attention. A system of rules and regulations and the ability to enforce sanctions or penalties are a precondition for the successful implantation of peace-oriented media. Nonetheless, regulatory efforts need to be sensitive to the specific sociocultural conditions. (p. 501) Mengingat peran strategis media dalam penanganan konflik dan kekerasan, media yang berorientasi pada jurnalisme damai akan menyumbang secara signifikan terhadap upaya-upaya pencegahan meluasnya kekerasan dan pengurangan dampak negatifnya yang bersifat fisikal maupun psikologikal. Lingkungan media yang diregulasi setidaknya akan memberikan kesempatan bagi anggota masyarakat untuk mencermati fenomena konflik dan kekerasan serta mencerna isi pemberitaan sebelum mengambil tindakan.

Penutup
Choi dan James (2007) menyatakan bahwa media not only transfer information; they also facilitate communication. These two functions may ameliorate conflict, crisis and war in world politics (p. 23). Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya peran media dalam eskalasi dan de-eskalasi konflik. Dalam hal ini jurnalisme damai sebaiknya dikedepankan dalam

162

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Media dan Kekerasan

peliputan konflik dan kekerasan. Hal ini, setidaknya dari hasil studi pola konflik keagamaan di Indonesia (Ali-Fauzi, Alam, Panggabean, 2009), disebabkan oleh potensi besar masyarakat Indonesia untuk melakukan aksi-aksi damai dalam menghadapi konflik. Dengan demikian, peran serta media dalam proses de-eskalasi konflik dan kekerasan dapat terus ditingkatkan sehingga upaya-upaya untuk membangun masyarakat yang multikultural dan toleran dapat dicapai.

Referensi
Ali-Fauzi, I., Alam, R. H., Panggabean, S. R. (2009). Pola-pola konflik keagamaan di Indonesia (1990-2008). Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina (YWP). Bratic, V. (2008). Examining peace-oriented media in areas of violent conflict. The International Communication Gazette, 70(6), 487503. Choi, S., & James, P. (2007). Media openness, democracy and militarized interstate disputes. British Journal of Political Science, 37(1), 23-46. Juluri, V. (2005). Nonviolence and media studies. Communication Theory, 15(2), 196-215. Sen, A. (2006). Identity and violence: The illusion of destiny. New York: W. W. Norton. Volkan, V. (1997). Bloodlines: From ethnic pride to ethnic terrorism. New York: Farrar, Straus & Giroux. Vraneski, A., & Richter, R. (2003). Whats news? Reflections of intractable environmental conflicts in the news: Some promises, many premises. Conflict Resolution Quarterly, 21(2), 239-262.

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

163

Kebisuan Media, Kegarangan Massa


Ade Armando

Kasus terbengkalainya hak beribadat jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah, Bekasi Timur, Jawa Barat dapat menjadi salah satu catatan terpenting dalam masalah hubungan antar agama di Indonesia dewasa ini. Media massa di pertengahan tahun 2010 ramai memberitakannya mungkin terutama karena banyaknya kejadian yang memang atraktif untuk menarik penonton atau pembaca. Para pimpinan HKBP sendiri nampaknya sangat sadar akan arti penting publisitas. Mereka misalnya memang dengan sengaja mengundang media untuk melaporkan apa yang terjadi. Mereka juga dengan sengaja beribadat di tanah kosong yang seharusnya menjadi lahan pembangunan gereja. Dengan sengaja pula mereka berbondong-bondong bergerak menuju lokasi peribadatan. Namun tentu saja, isu ini menjadi begitu membesar ketika kemudian ada penyerangan yang dilakukan kelompok-kelompok muslim saat jemaat beribadat dan ada pula penusukan. Bagaimanapun, kasus Ciketing sebenarnya hanya satu dari rangkaian peristiwa yang menjadikan mereka yang peduli dengan kerukunan bangsa perlu merasa sangat khawatir. Namun berbeda dengan apa yang terjadi di Bekasi itu, umumnya kejadian lain tidak terekspos secara menonjol di media.

Ade Armando adalah pengamat Media, pengajar Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia

164

Media dan Kekerasan

Data dari Setara Institute menunjukkan pada 2010 berlangsung peningkatan penyerangan terhadap rumah ibadat, khususnya gereja. Bila pada tahun 2008 hanya terdapat 17 tindak kekerasan dan pada tahun 2009 terdapat 18 tindakan pelanggaran HAM terhadap jemaat gereja; pada tahun 2010 sampai Juni-Juli sudah tercatat 28 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan. Menurut temuan Setara, pelanggaran HAM yang terdokumentasikan selama setengah tahun pertama itu, umumnya dilandasi oleh argumen bahwa keberadaan rumah ibadah telah mengganggu dan meresahkan masyarakat. Selain itu, aksi kekerasan juga dijustifikasi oleh alasan bahwa bangunan dan atau rencana pembangunan tidak sesuai dengan peruntukan atau menyalahi konsep tata ruang. Penghambatan pembangunan gereja ini memang lazimnya dikaitkan dengan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 9 tahun 2006 dan No. 8 tahun 2006, tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat. Menurut PBM itu, sangat tidak mudah untuk mendirikan gereja. Syaratnya, harus ada IMB (Izin Mendirikan Bangunan), hak atas tanah, dukungan 90 orang dari umat, dukungan 60 orang di sekitar rumah ibadah, izin dari Forum Kerukunan Umat Bersama, izin Kementrian Agama dan izin pemerintah setempat. Namun, dalam kenyataannya, bahkan kalaupun persyaratan dasar sudah terpenuhi, itu tak berarti proses selanjutnya akan berlangsung dengan mulus. Catatan pertamanya, pemerintah sendiri tak gampang mengeluarkan izin dan proses pengeluaran izin itu berlangsung secara tidak transparan dan akuntabel. Catatan kedua, bahkan kalaupun pemerintah sudah setuju, banyak gereja tak bisa berdiri karena adanya ancaman dan protes kelompok-kelompok garis keras. Dalam sejumlah kasus, penyerangan tetap dilakukan meskipun jemaat gereja menyatakan sudah memenuhi seluruh syarat pendirian gereja yang diwajibkan. Pertengahan Juli 2010, Satuan Polisi Pamong Praja membongkar secara paksa Gereja Pantekosta di Cileungsi Kabupaten Bogor dengan alasan gereja belum memiliki ijin dan adanya protes dari
MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

165

Kebisuan Media, Kegarangan Massa

Forum Silaturahmi Limusnunggal (Fosmil), meskipun jemaat gereja dapat menunjukkan bahwa Gereja sudah memiliki IMB resmi. Dalam kasus Gereja Kristen Indonesia di Taman Yasmin, Bogor, walaupun sudah ada ketetapan hukum dari PTUN, pembangunan gereja di sana tetap dipersulit oleh Pemerintah Kota Bogor. Bukan saja Pemkot Bogor membekukan IMB Gereja tersebut, kekerasan juga dilakukan kelompok-kelompok masyarakat, antara lain dengan merusak pagar yang baru dibangun serta bedeng pekerja. Komnas HAM sudah meminta Pemkot Bogor agar mematuhi ketetapan hukum pembangunan GKI Taman Yasmin, tanpa membuahkan hasil signifikan. Lebih jauh lagi, isu penghambatan pembangunan gereja ini pun hanya gelombang kekerasan atas hak satu bagian dari gelombang lebih beragama dan hak beribadat itu besar semangat marjinalisasi umat Kristen. Ada banyak ilustrasi lain terus terjadi. Salah satu penjelasan yang bisa disebut. Patung Tiga adalah kelambanan dan kelemahan Mojang di sebuah perumahan di Kota Bekasi Juni 2010 dibongkar pemerintah atas ancaman kelompok-kelompok garis keras setelah dua tahun berdiri. Tuduhannya: patung itu mensimbolkan trinitas, Bunda Maria, dan karena itu dianggap merupakan bagian dari penyebaran ajaran Kristen. Dalam kasus lain, November lalu, kelompok-kelompok garis keras meminta ratusan pengungsi Gunung Merapi untuk keluar dari gereja-gereja yang menampung mereka. Di sisi lain, yang menjadi sasaran bukan hanya umat Kristen. Jamaah Ahmadiyah mengalami penindasan serupa. Pertengahan Juli, sebuah masjid Ahmadiyah di desa Cisalada, Bogor, dibongkar. Pada akhir Juli, Satpol PP berusaha menyegel satu masjid dan tujuh musholla milik jemaah Ahmadiyah di desa Manis Lor, Cirebon. Upaya penyegelan itu batal dilakukan karena jamaah Ahmadiyah melawan. Namun keesokan harinya ratusan orang beringas menyerang desa yang dihuni jemaah Ahmadiyah itu. Mereka bahkan menyerang aparat keamanan yang berjaga-jaga. Para penyerang menggunakan SK Bupati Kuningan yang memerintahkan penyegelan masjid jamaah Ahmadiyah yang tak memiliki rujukan hukum.

166

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Media dan Kekerasan

Tak Hadir di Media


Tentu saja ada banyak penjelasan tentang mengapa gelombang kekerasan atas hak beragama dan hak beribadat itu terus terjadi. Salah satu penjelasan adalah kelambanan dan kelemahan pemerintah. Namun di sisi lain, ini juga terkait dengan ketiadaan respons kolektif masyarakat yang antara lain terjadi karena isu kekerasan itu tidak menempati posisi penting dalam agenda prioritas masalah-masalah yang harus dipikirkan. Dan soal agenda ini sangat dipengaruhi oleh apa yang disampaikan media massa. Dalam hal ini, penting untuk mencatat bahwa kasus-kasus itu tak banyak dipublikasikan di media. Hanya beberapa media yang memberitakannya. Itupun tidak ditempatkan secara cukup menonjol. Kasus-kasus penyerangan tersebut hanya disajikan dalam format hard news, secara singkat, padat, lugas. Informasi disajikan hanya sebatas permukaan tanpa diterangi oleh pemuatan penjelasan tentang konteks masalah. Begitu pula, kasus tersebut tidak disajikan secara berkelanjutan. Muncul satudua hari, lantas hilang begitu saja. Ini menjadi penting mengingat satu fungsi utama media adalah sebagai pengamat lingkungan yang secara rutin menyajikan informasi mengenai apa yang terjadi di dunia sana kepada pembacanya. Peran ini dijalankan sedemikian rutin sehingga terbentuk sikap manja khalayak pada media yang percaya bahwa realita sesungguhnya adalah sebagaimana yang tersaji di layar kaca, di siaran radio, di berita situs internet dan terpampang di halaman-halaman surat kabar dan majalah. Implikasi serius dari proses ini adalah hanya apa yang tersaji di media yang dianggap ada, atau dianggap penting. Sesuatu yang tidak hadir di media massa, tidak akan masuk dalam agenda publik. Sebagaimana diproposisikan para pengembang teori agenda setting, media memang tak menentukan apa yang ada di benak khalayak, tapi media menentukan isu-isu apa saja yang dianggap penting di benak khalayak. Bahkan lebih dari sekadar fungsi informasi, media juga menjalankan fungsi pemberi interpretasi dan mengkorelasikan masyarakat agar mengambil sikap bersama terhadap isu-isu yang diangkat media. Dalam isu yang dibicarakan di sini, media bisa berperan besar bukan saja dalam hal membangkitkan kesadaran akan berlangsungnya penindasan terhadap hak beragama dan beribadat, namun juga pada bagaimana seharusnya

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

167

Kebisuan Media, Kegarangan Massa

memahami dan bereaksi terhadap keberlangsung penindasan tersebut. Dengan demikian, ketidakhadiran isu-isu konflik keagamaan akan menjadikan isu ini sebagai bukan masalah penting di mata masyarakat luas. Kekerasan bisa saja terus terjadi tanpa diketahui publik. Dan bahkan ketika masyarakat tahu bahwa itu berlangsung, pengetahuan tersebut tetap tidak dipandu oleh pemahaman yang memadai. Pada gilirannya, reaksi yang ditunggu-tunggu tak akan kunjung terwujud. Pertanyaan pentingnya: mengapakah media massa tak menjalankan peran pengamat lingkungan yang seharusnya mereka emban? Lagi-lagi ada banyak penjelasan. Tapi salah satu yang terpenting orientasi bisnis ini nyatanya adalah bahwa memberitakan konflik membawa penumpulan sensitivitas keagamaan semacam itu bertentangan media pada persoalan-persoalan dengan kodrat media sebagai entitas bisnis. Di masa lalu, posisi para jurnalis kemasyarakatan, termasuk di dalam sebuah perusahaan media sangat dalam kelompok ini adalah muatan menentukan. Sebagian besar para pemilik modal dan pendirinya pun yang menonjolkan kesenjangan adalah kalangan idealis yang menaruh kekayaan, penderitaan kaum miskin, harapan akan terbangunnya sebuah Indonesia yang lebih sejehtera dan atau juga konflik horizontal dan lebih demokratis, dan membayangkan vertikal dalam masyarakat bahwa media yang didirikannya itu akan memberi sumbangan berarti bagi tercapainya cita-cita ideal tersebut. Tapi itu semua adalah cerita masa lalu. Saat ini, warna bisnis sangat kental. Tentu saja pertumbuhan industri media massa semacam ini tak perlu sepenuhnya dikeluhkan. Namun orientasi bisnis ini nyatanya membawa penumpulan sensitivitas media pada persoalan-persoalan kemasyarakatan, terutama yang dipersepsikan sebagai tidak business-friendly. Termasuk di dalam kelompok ini adalah muatan yang menonjolkan kesenjangan kekayaan, penderitaan kaum miskin, atau juga konflik horizontal dan vertikal dalam masyarakat. Saat karakter komersial yang mengemuka, para pengelola media akan

168

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Media dan Kekerasan

menempatkan apa yang disukai masyarakat dan apa yang menyenangkan hati pengiklan dan dunia usaha sebagai penentu utama. Karena itu, ketika konflik muncul di media, dia lebih hadir sebagai muatan yang dapat meningkatkan daya jual sebagai komoditas. Konflik yang disajikan pun lazim mengalami degradasi relevansi bagi publik. Ini terentang dari pertarungan antar dua perempuan yang memperebutkan seorang pria dalam reality show, konflik antar suporter sepakbola, sampai konflik antar anggota partai politik. Sebagai entitas komersial, para pengelola media juga akan menghindar dari isu-isu sensitif yang mungkin berisiko mengurangi keuntungan. Para pemilik media harus sangat berhati-hati dengan apa kata para pengiklan dan biro iklan yang memediasi mereka. Dunia usaha pada dasarnya membutuhkan Indonesia yang tenteram, nyaman, stabil singkatnya suasana yang mendorong pertumbuhan dunia usaha dan sekaligus mendorong masyarakat untuk berbelanja. Dalam kondisi psikologis semacam itulah, para pengelola media akan cenderung menghindar dari isu konflik-konflik horisontal dalam masyarakat, misalnya keretakan antar umat beragama. Isu semacam itu akan dihindari karena adanya persepsi tentang kepekaan masyarakat dalam menanggapinya dan karena itu adalah isu-isu yang tidak atraktif. Isu konflik antar umat akan dipandang membawa risiko yang tak perlu bila diangkat secara menonjol di media. Para manajer bisnis media akan memperlakukan isu semacam itu sebagai bukan saja tidak layak jual namun juga berisiko mengurangi gairah pengiklan. Penyerangan gereja dan penyerangan masjid Ahmadiyah adalah dua contoh. Para pengelola media nampaknya memperlakukan itu sebagai nonisu karena bila mereka dianggap melakukan salah pemberitaan, akibatnya bisa sangat serius. Bila pemberitaan media dianggap bersimpati pada mereka yang terserang, selalu ada kemungkinan itu memicu kampanye hitam berisikan tuduhan bahwa media mendukung pemurtadan atau penodaan agama. Kampanye semacam itu, pada gilirannya, mungkin melahirkan grafik penurunan pelanggan dan pembeli serta, yang lebih penting lagi, penurunan pemasangan iklan oleh para pengiklan yang takut terkena stigma serupa. Dalam kasus Gramedia, misalnya, dampaknya bisa saja dirasakan bukan saja oleh Kompas tapi juga penerbitan-penerbitan

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

169

Kebisuan Media, Kegarangan Massa

lain, atau bahkan jaringan toko buku mereka.

Di Pihak Lain .
Keengganan media massa pada umumnya untuk mengangkat isu kekarasan dan konflik atas nama agama ini mungkin dapat dipahami. Namun, pada saat yang sama, implikasinya pada isu Yang menjadi masalah bukanlah pertarungan wacana menjadi sangat serius. kehadiran kaum garis keras Masalahnya, di luar media massa utama, berlangsung pula jalur komunikasi untuk menegakkan keyakinannya yang lain yang justru membawa pesanpesan yang mendorong kecenderungan dengan menindas hak pihak ke arah sikap beragama yang eksklusif, lain untuk berkeyakinan secara tertutup dan diskriminatif. Di jalur komunikasi ini, berlangsung berbeda, melainkan kebungkaman penyebaran cara pandang dan masyarakat serta justifikasi yang informasi yang menggunakan referensi diulang-ulang melalui jalur-jalur Kitab Suci dan sumber-sumber ajaran agama otoritatif lainnya, seringkali komunikasi yang membicarakannya dengan mengutip ulama dan pemuka agama yang nampak otoritatif, yang justru mendukung semangat pengekangan hak bergama dan beribadat mereka yang berbeda. yang merasa memikul kewajiban Gagasan-gagasan tentang Islam eksklusif ini secara konsisten disuarakan dan disebarkan melalui beragam komunikasi agama tradisional namun juga beragam media modern. Dengan kata lain, wacana tersebut terus dikumandangkan baik melalui sarana pengajian, ceramah agama, khotbah Jumat, namun juga melalui publikasi modern seperti majalah, buku, VCD dan DVD serta situs internet. Propaganda tersebut dilakukan dengan semangat dan komitmen yang kuat. Dalam perkembangan terakhir, gagasan-gagasan anti keterbukaan tersebut sudah ditanamkan sejak anak-anak melalui lembaga-lembaga pendidikan. Akibat dari rangkaian kondisi tersebut adalah keberulangan praktek kekerasan sebagaimana yang disebut di awal. Yang menjadi masalah

170

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Media dan Kekerasan

bukanlah kehadiran kaum garis keras yang merasa memikul kewajiban untuk menegakkan keyakinannya dengan menindas hak pihak lain untuk berkeyakinan secara berbeda, melainkan kebungkaman masyarakat serta justifikasi yang diulang-ulang melalui jalur-jalur komunikasi yang membicarakannya. Pada akhirnya mungkin adalah siklus ketertutupan yang tak berujung. Karena hanya penafsiran keagamaan yang tertutup yang diulang-ulang, itu yang dianggap sebagai kebenaran. Karena itu dianggap sebagai kebenaran yang tunggal, mereka yang sebenarnya merasa tak nyaman dengan cara beragama semacam itu memilih diam. Karena tak ada bantahan atau tawaran alternatif, cara beragama semacam itu benar-benar menjelma menjadi kebenaran.

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

171

Muhammadiyah: Pergulatan Sebuah Gerakan Keagamaan dalam Konteks Pluralitas Masyarakat Indonesia
A. Elga Joan Sarapung

Sebuah Awal yang Menjanjikan


Dalam catatan sejarah bangsa Indonesia, Muhammadiyah (1912) dikenal sebagai salah satu Gerakan Pembaruan keagamaan, yang kini sudah berusia lebih dari satu abad. Dapat dibayangkan, bagaimana para pendiri memikirkan dengan serius tentang pentingnya mengembalikan harga diri generasi baru umat Islam dari cengkeraman penjajahan, dan mencairkan kebekuan pemikiran keagamaan serta mengatasi rendahnya mutu pendidikan, khususnya di kalangan umat Islam1 saat itu dengan memunculkan gagasan membentuk suatu organisasi keagamaan, yang terwujud dalam bentuk persyarikatan,2 jauh sebelum Indonesia merdeka. Tidak mengherankan, Muhammadiyah dianggap sebagai salah satu pioner gerakan sosial keagamaan di Indonesia dan karena itu menjadi salah satu kebanggaan warga Muslim Indonesia. Muhammadiyah telah menyadarkan kami bahwa kami boleh berbangga menjadi orang Islam. Muhammadiyah bermaksud menciptakan suatu generasi Muslim yang kalbunya penuh dengan iman dan kepalanya penuh dengan pengetahuan.3 Salah satu tujuan gerakan ini adalah, pengislaman terhadap
1 2 3 Amien Abdullah, Dinamika Islam Kultural, Pemetaan atas wacana Keislaman Kontemporer, Midzan, Bandung, 2000, hal. 95 A. Mukti Ali, Alam Pemikiran Modern di Indonesia dan Modern Islamic Thought in Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Nida, 1971, hal. 20-21, dalam Amin Abdullah, ibid, hal. 95 Alfian, Islamic Modernism in Indonesian Politics: the Muhammadyah Movement during the Dutch Colonial Period (1912-1942), tesis Madison, Wisconsin, 1969, 2 jilid. Yang dikutip oleh B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, 1945-1972, Grafiti Pers, jakarta 1985,hal. 199.

A. Elga Joan Sarapung adalah Direktur Institut Dialog Antariman di Indonesia (Institut DIAN/Interfidei), Jalan Banteng Utama 59

172

Opini

masyarakat yang secara lahiriah sudah berada dalam dunia Islam (sudah Muslim). Slogan yang dikenal saat itu, ajarlah mereka yang ingin disebut sebagai orang Islam tentang apa artinya menjadi orang Islam. Metode yang mereka pakai, yaitu pendidikan dan penyuluhan dalam bentuk penerbitan, siaran radio, selebaran umum. Prinsip mereka, tidaklah penting mendakwahi4 mereka yang bukan Islam untuk menjadi Islam. Pertama-tama, dakwahilah kaum Muslimin sendiri, sehingga mereka tidak begitu saja mempergunakan istilah Muslim, tetapi akan menjadi benar-benar seorang Islam yang sesungguhnya.5 Sasaran dakwah, tidak hanya kepada masyarakat di pedesaan yang pikirannya sederhana, tetapi juga kaum intelektual. Tidak mengherankan bila dalam Muktamar tahun 1968 misalnya, salah satu tujuan dakwah dirumuskan, antara lain, mengulamakan sarjana dan mensarjanakan ulama. Perkembangan kemudian, ditekankan bahwa berdakwah tidak saja melalui kotbah dan penerbitan tetapi juga karya nyata, sebagaimana yang dilakukan oleh agama Kristen, yaitu kotbah, pendirian institusi pendidikan dan pelayanan kesehatan. Pola pendekatan ini oleh Mukti Ali (1963) bahkan dianjurkan supaya dicontoh oleh agama Islam Indonesia, bahwa Islam harus mengikuti contoh dakwah Kristen, yang terdiri dari kotbah, pendidikan dan kesehatan.6 Artinya, dakwah, tidak saja dalam bentuk kalimat, ucapan, tetapi aksi yang mampu mengatasi seluruh persoalan hidup praktis melalui pendekatan komprehensif, mulai pada akar kehidupan pedesaan. Dengan demikian dapat memberi sumbangan positif untuk pembangunan yang mendasar dari Negara Indonesia.7 Ini yang disebut dengan dakwah modern pada masa itu.8
4 Kira-kira tahun 1960 kata dakwah mulai dipakai dan perlahan-lahan mulai menggantikan kata tablig sehingga pada tahun 1965, Majelis Tablig Muhammadiyah diganti dengan Majelis Dakwah. Tablig atau kotbah, pada masa itu mendapat penekanan lebih kuat, dibandingkan dengan kegiatan pendidikan dan kesehatan. Ini dianggap semakin tidak relevan dengan konteks perkembangan saat itu. Kata dakwah dianggap lebih tepat. Dakwah, dimaksudkan lebih luas lagi. Tidak hanya lisan, kotbah, tetapi mencakup praksis.melaksanakan apa yang baik dan menentang segala yang batil..(B.J. Bolland, ibid. hal. 202). Sidi Gazalba, Intergrasi Islam, Ilmu dan Kebudayaan, Jakarta 1962, hal. 279 dalam B.J. Boland, ibid. D. Bakker, Dawah, hal. 122, no. 9 dalam B.J. Boland, ibid. Lihat Amien Abdullah (2000:99), Muhammadiyah tidaklah bergerak dari ruang hampa kebudayaan. Tinjauan geografis menunjukkan bahwa Muhammadiyah lahir di sebua kota (Yogyakarta) yang dipadati oleh berbagai kegiatan misi keagamaan non-Islam, yang cara kerjanya bertumpu pada manajemen organisasi yang sangat rapih dan teliti. D. Bakker, Dawah, hal 136, dalam B.J. Boland, ibid. Dalam Misiologi Muslim Modern, (Shalahuddin Sanusi, Pembahasan sekitar prinsip Dakwah, Semarang, 1964, hal. 8 dan 75), dikatakan bahwa dakwah berarti ishlah, yaitu perbaikan dan pembangunan masyarakat (amar maruf nahi munkar: memerintahkan kepada yang baik, melarang kepada yang buruk (Surah 3:104, 110, 114). Ini yang disebut oleh Amien Abdullah, ibid. hal. 96 dengan wilayah praksis social-keagamaan Dalam bahasa warga Muhammadiyah, wilayah praksis keagamaan lebih dikenal degan istilah dakwah bi al-hal, (ajakan dan imbauan lewat amalan dan tindakan konkrit), bukan lagi dakwah bi al-lisan (ajakan atau imbauan lewat panggung atau podium)

5 6

7 8

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

173

Muhammadiyah: Pergulatan Sebuah Gerakan Keagamaan dalam Konteks Pluralitas Masyarakat Indonesia

Pilihan ini menjadi menarik, karena yang terjadi bukan saja soal adanya proses akulturasi budaya dalam metode berdakwah antar berbagai komunitas pemeluk agama yang hidup saat itu, tetapi juga keberanian para pendiri dan pimpinan Muhammadiyah saat itu untuk langsung melangkah ke wilayah praksis sosial dan mengawinkan sosok gerakan dakwah Islam dalam bentuk organisasi yang teratur dengan ajaranajaran normatif dalam Al-Quran.9 Selain itu juga, soal pilihan untuk membudayakan sistem kerja organisatoris. Dalam agama Islam soal pertanggungjawaban manusia kepada Tuhan sifatnya individual. Tidak ada tradisi dalam pemikiran saat itu untuk mengalihkan makna pertanggungjawaban di atas dunia ini melalui laporan kepengurusan disiplin organisasi. Justru bagi Muhammadiyah, cara berpikir seperti itu perlu diubah. Persoalan umat Islam tidak bisa lagi dipecahkan secara individual. Perlu ada alternatif lain, yaitu kegiatan beragama dalam wujud sebuah organisasi yang disertai sistem pertanggungjawaban secara formal di hadapan para anggota dan pengurus lain. Perubahan mentalitas dan cara kerja dari yang semula sangat bersifat individual ke arah yang bersifat sosial inilah, membawa perubahan cara berpikir keagamaan yang cukup mendasar dalam Muhammadiyah. Tradisi ini membawa Muhammadiyah kepada kemajuan dan mampu bertahan hingga saat ini. Sumber inspirasinya oleh Muhammadiyah dengan cara diakui, sulit ditemukan dari kalangan mengawinkan dimensi normatif pemikir klasik, tetapi hampir pasti dari tradisi yang diperkenalkan melalui Al-Quran dengan sistem kerja gerakan keagamaan non-Islam, yang organisasi modern, adalah dibawa oleh Belanda. Mereka mempunyai sistem tata kerja yang rapih, disiplin, sebagai eksperimen sejarah terorganisir dan dilandasi prinsip-prinsip umat Islam Indonesia pertanggungjawaban secara organisatoris. Pilihan untuk mengikuti pola ini yang dipadukan dengan prinsip-prinsip dalam keislaman, merupakan tanda bahwa sebenarnya Muhammadiyah menginginkan munculnya amal usaha dan pemikiran keislaman yang bernuansa inovatif, alternative, pluralistis. Ini yang oleh Amien Abdullah dikatakan yang jelas, langkahlangkah yang diambil oleh Muhammadiyah dengan cara mengawinkan langkah-langkah yang diambil
9 Amien Abdullah, ibid. hal. 101

174

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Opini

dimensi normatif Al-Quran dengan sistem kerja organisasi modern, adalah sebagai eksperimen sejarah umat Islam Indonesia untuk keluar dari pusaran diskursus teologi Islam klasik yang notabene bercorak rasionalistis-intelektualistis ke arah yang bersifat historis-empiris-praktis. Norma-norma dasarnya tetap berinspirasikan Al-Quran dan Sunnah, tetapi dalam pelaksanaan dan operasionalisasi program organisasinya semata-mata merupakan wilayah historisitas kekhalifahan yang seharusnya berubah-ubah dan disesuaikan dengan alur perubahan zaman.10 Hal tersebut membuktikan bahwa sejak awal, Muhammadiyah adalah sebuah gerakan pembaruan keagamaan yang terbuka kepada perubahan, terbuka untuk belajar dari perkembangan dan hal-hal yang dianggap baik, yang ada di luar Muhammadiyah dengan tetap berpegang kepada Al-Quran dan Sunnah. Ini merupakan tanda yang baik untuk bisa memahami bagaimana dinamika perjalanan Muhammadiyah di tengah berbagai perubahan dan perkembangan di masyarakat. Ada benih bahkan buah-buah keterbukaan di dalam gerakan Muhammadiyah, karena pada masa awal sudah terbuka untuk melakukan ijtihad kepada setiap perubahan yang berlangsung dari waktu ke waktu. Muhammadiyah adalah sebuah gerakan pembaruan keagamaan yang terbuka kepada perubahan, terbuka untuk belajar dari perkembangan dan hal-hal yang dianggap baik, yang ada di luar Muhammadiyah dengan tetap berpegang kepada Al-Quran dan Sunnah

Muhammadiyah dan Konteks Kekinian


Banyak orang mengenal Muhammadiyah melalui praksis sosial yang dilakukan selama ini dalam jumlah yang tidak sedikit: pendidikan, kesehatan dan pelayanan sosial. Banyak orang pun tahu bahwa praksis sosial tersebut dilakukan dengan pengorganisasian yang tertata. Inilah, antara lain yang membuat Muhammadiyah berbeda dengan organisasi Islam lainnya yang ada di Indonesia, misal. Nahdlatul Ulama, yang masih lebih tradisional. Ini sebuah kenyataan yang jelas di masyarakat. Persoalannya adalah, apakah ada hal baru yang dapat ditonjolkan dan
10 Amien Abdullah, ibid.hal 100

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

175

Muhammadiyah: Pergulatan Sebuah Gerakan Keagamaan dalam Konteks Pluralitas Masyarakat Indonesia

dibanggakan Muhammadiyah di masyarakat, selain dari mengembangkan sebanyak-banyaknya jumlah pusat-pusat pendidikan, rumah sakit dan panti asuhan? Apakah amal usaha yang dilakukan melalui praksis sosial tersebut dilandasi oleh pemikiran keislaman yang inovatif, kreatif dan pluralistis? Pertanyaan tersebut penting untuk dikemukakan berkaitan dengan perkembangan substansial di Muhammadiyah untuk hadir dalam konteks masyarakat Indonesia saat ini. Sebab, bila sekedar soal jumlah dan perluasan area kegiatan yang dikembangkan, maka apa yang disinyalir oleh banyak orang, baik di kalangan Muhammadiyah sendiri maupun di luar Muhammadiyah, dapat dibenarkan. Bahwa sebenarnya secara substansial belum ada perubahan signifikan dalam diri Muhammadiyah untuk mampu eksis sebagai gerakan pembaruan keagamaan di masyarakat dalam konteks kekinian. Sekalipun ada cukup banyak potensi yang dimiliki Muhammadiyah tetapi lebih bersifat individual, bukan sebagai lembaga. Kalau pun melembaga, itu sifatnya independen.11 Demikian juga dengan individu yang masih enggan diberdayakan melalui lembaga formal Muhammadiyah.12 Tentu saja, memiliki banyak pusat pendidikan dan rumah sakit, merupakan salah satu indikasi positif, tetapi kuantitas lagi-lagi bukan sebagai ukuran yang signifikan bagi sebuah Gerakan Keagamaan seperti Muhammadiyah. Ada wujud tetapi tidak ada roh atau spirit yang signifikan, yang dapat memberi pijakan kuat bagi sebuah perubahan transformative dalam masyarakat. Perubahan, dimana nilainilai keagamaan menjadi landasan substansial. Nilai-nilai yang mana tidak tercerabut dan terpisah dari setiap jengkal realitas kehidupan manusia yang selalu mengalami perubahan. Nilai-nilai itu tidak lain dari keterbukaan yang kritis, positif, konstruktif terhadap berbagai isu dan persoalan yang dihadapi masyarakat dalam konteks kekinian, yaitu: pergulatan intelektualisme keagamaan, pluralisme, kekerasan, Hak-hak Asasi Manusia, diskriminasi antaragama dan keyakinan, antargolongan, antaretnis, gender; HIV/AIDS dan lingkungan hidup.
11 Misalnya JIMM (Jaringan Islam Muda Muhammadiyah); Maarif Institut (Lembaga yang didirikan oleh Prof. Ahmad Syafii Maarif bersama dengan para pemikir muda Muhammadiyah); LKAS di Surabaya; Resist di Malang dan masih banyak lagi perkembangan intelektual muda yang tumbuh di Indonesia yang didampingi oleh para intelektual senior yang progresif. 12 Lihat Pradana Boy, 2009 yang menguraikan secara panjang lebar bagaimana suasana perkembangan dalam Muhammadiyah saat ini dengan perkembangan dua kubu: progresif dan konservatif yang berdampak sampai kepada kepengurusan Muhammadiyah (sampai dengan Muktamar 2010 di Yogyakarta), bahkan penghapusan peran dari beberapa pemikir progresif Muhammadiyah dalam lembaga.

176

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Opini

..bahwasanya kemudian, setelah 70-80 tahun, wilayah praksis (dawah bi al-hal) yang ditekuni Muhammadiyah-seperti terkesan oleh beberapa pengamat, baik dari dalam maupun dari luar Muhammadiyah-telah diartikan secara sempit oleh warga Muhammadiyah sebagai rutinitas mengurus rumah sakit, panti asuhan, administrasi sekolah dan perguruan tinggi, sehingga kurang tampak lagi ijtihad untuk menanggapi persoalan keagamaan yang baru. Karena itu, perlu mengembalikan semangat ijtihad dalam wilayah kehidupan keagamaan Islam yang lebih luas lagi, menyangkut fiqih, falsafah, pluralitas keberagamaan dan ahlak tasawuf. Sehingga tidak terjebak dalam wilayah praksis sosial belaka.13 Dengan semua itu, maka keterbukaan dan usaha untuk mengembangkan pemikiran serta intelektualitas menjadi sangat penting, termasuk di dalamnya pemikiran keagamaan yang lebih terbuka kepada hal-hal yang disebutkan di atas tadi. Demikian halnya dengan keterbukaan pikiran serta sikap terhadap pluralitas masyarakat, melalui pergaulan dan interaksi dengan masyarakat di luar Muhammadiyah, baik sesama Muslim maupun non-Muslim. Semua itu merupakan keharusan dalam konteks realitas saat ini yang tidak dapat dihindari atau ditolak; juga tidak dapat disikapi secara eksklusif dengan pola pikir konservatif. Ini tidak saja karena tuntutan jaman sekarang, tetapi karena sejak masa pendiriannya, Muhammadiyah sudah mulai dengan keterbukaan pikiran, gagasangagasan yang progresif serta pergaulan yang luas dengan alasan-alasan substansial, baik dari segi sosial, budaya maupun keagamaan. Dalam kaitan dengan gagasan tersebut, ada statement menarik yang pernah dikatakan oleh Din Syamsudin, yaitu pentingnya revitalisasi peran Muhammadiyah pada bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial dan dakwah dalam tingkat global yang selama ini dinilai masih pasif. Dalam kondisi global saat ini, Muhammadiyah tidak boleh pasif dan hanya menjadi penonton. Namun harus aktif untuk menunjukkan sebagai kekuatan masyarakat madani yang besar di Indonesia. 14 Bagaimana statement ini terimplementasikan di dalam Muhammadiyah menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut.

13 14

M. Amin Abdullah, ibid. hal 102 Din Syamsuddin, dalam pidatonya pada pembukaan seminar, Peran Muhammadiyah Dalam Perkembangan Global di gedung Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Rabu (17/2).

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

177

Muhammadiyah: Pergulatan Sebuah Gerakan Keagamaan dalam Konteks Pluralitas Masyarakat Indonesia

Rupanya perkembangan yang terjadi di dalam Muhammadiyah mengalami dinamika luar biasa. Salah satu indikator yang dapat dipakai adalah, Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang, 2005. Dalam Muktamar tersebut, menurut Pradana Boy, Muhammadiyah mengalami terjadi perubahan yang signifikan. Ada dinamika luar biasa. Pergeseran pergeseran pemikiran, dari moderat kepada konservatif. Pemikiran pemikiran, dari moderat kepada mengalami stagnasi, yang menyebabkan konservatif. Pemikiran mengalami keengganan Muhammadiyah menerima diskursus baru dalam stagnasi, yang menyebabkan pemikiran Islam, seperti pluralisme, keengganan Muhammadiyah multikulturalisme, toleransi agama, kesetaraan gender dan hermenutika. 15 menerima diskursus baru dalam Keadaan ini berimplikasi, antara lain pemikiran Islam, seperti pluralisme, kepada pemilihan pengurus untuk kepemimpinan Muhammadiyah saat multikulturalisme, toleransi agama, itu, sampai dengan Muktamar 2010 di kesetaraan gender dan hermenutika Yogyakarta. Ada dua kelompok yang berkembang dalam Muhammadiyah berdasarkan pemikiran mereka tentang Muhammadiyah, tentang keislaman dan bagaimana kiprah Muhammadiyah di masyarakat dan bersama dengan masyarakat. Kedua kelompok ideologis ini, masing-masing terdiri dari anak-anak muda dan orang dewasa, aktivis gerakan, pimpinan atau tokoh agama dan intelektual, akademisi. Kedua-duanya berusaha menghidupkan dan mengembangkan tafsir kebenaran atas Muhammadiyah yang otentikmenurut perpektif mereka masing-masing.16 Pradana Boy mengkategorikan dua kelompok tersebut ke dalam kelompok pemikiran Islam konservatif dan progresif. 17 Kelompok konservatif berkembang karena 3 faktor: politik, ideologi dan pendidikan. Ketiganya terkait erat dengan yang mereka sebut pemurnian Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan Indonesia, di mana Al-Quran dan Sunnah merupakan landasan yang tidak dapat diubah dan tidak dapat ditafsir secara progresif dan liberal. Mereka menyerukan agar Muhammadiyah
15 16 Pradana Boy, ibid. hal. 14 A. Syafii Maarif, Bersikap Arif Terhadap Keragaman Pemikiran dalamMuhammadiyah, kata pengantar dalam Pradana Boy, 2009. Hal. vi 17 Walaupun kemudian Pradana Boy dalam uraiannya lebih lanjut tentang Islam Indonesia, menyebutkan tiga kategori: progresif, konservatif, moderat (ibid. 19)

178

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Opini

menjaga posisi puritannya dan melindungi Islam dari pengaruhpengaruh luar yang akan mencemari kemurnian ajaran Islam. Ketua Umum PP Muhammadiyah sekarang, Prof. Din Syamsuddin masih digolongkan ke dalam kelompok ini, sekalipun kiprahnya terutama di dunia Internasional banyak menembus batas-batas tembok eksklusifitas Muhammadiyah yang dikenal banyak orang di Indonesia. Tetapi semua itu belum dapat memastikan banyak orang di Indonesia untuk bisa mengakui secara penuh dan obyektif, kiprah Din Syamsuddin di dalam negeri terkait isu kontemporer yang disebutkan di atas, khususnya pluralisme agama dan keyakinan. Sementara kelompok progresif yang terbuka dan kritis dalam pemikiran untuk berbagai hal baru, mereka berusaha memberi respons terhadap berbagai isu dan persoalan dalam wacana Islam kontemporer. Keterbukaan ini membantu mereka untuk melakukan perubahan signifikan terhadap pemahaman yang mereka anggap tidak relevan lagi dengan keberadaan Muhammadiyah di zaman sekarang dalam menghadapi berbagai isu kontemporer. Tidak sedikit nama yang digolongkan dalam kelompok ini, misalnya Prof. Syafii Maarif, Prof. Amin Abdullah, dan Prof. Abdul Munir Mulkhan. Kedua kelompok ini, sama-sama sedang berada dalam realitas kehidupan masyarakat di mana Muhammadiyah hidup dan menjadi bagian dari masyarakat yang sama. Masyarakat yang tidak statis, juga tidak tertinggal sebagai bagian dari masa lampau, tetapi masyarakat yang sedang menuju ke masa depan. Karena itu juga, merupakan masyarakat yang sedang dan akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Dengan demikian, tidak ada pilihan lain dari Muhammadiyah selain perlu menciptakan ruang pemikiran progresif serta aktivitas kreatif yang substansial dan mampu menjawab tantangan zaman. Tidak saja sebatas kepada membanggakan berbagai kegiatan sosial yang sudah dan sedang dikembangkan sekarang, tetapi perlu menemukan bentuk-bentuk aktivitas baru yang mampu membawa dan menempatkan Muhammadiyah kepada konteks kekinian yang lebih terbuka dan mendasar. Salah satu faktor penting di situ adalah usaha mengembangkan pemikiran keagamaan, sosial dan kultural serta sikap yang terbuka kepada perbedaan, yang semakin lama semakin nyata sebagai realitas hidup masyarakat Indonesia.

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

179

Muhammadiyah: Pergulatan Sebuah Gerakan Keagamaan dalam Konteks Pluralitas Masyarakat Indonesia

Mengakhiri Dilema Antara Fakta Dan Prasangka


Dalam peta gerakan pluralisme di Negara ini, masih banyak kalangan, terutama warga masyarakat non-muslim atau bahkan di kalangan muslim sendiri, baik dari kalangan Muhammadiyah maupun yang bukan Muhammadiyah, menyangsikan cara pandang dan sikap Muhammadiyah (individu, kelompok, lembaga) terhadap dinamika pluralisme di Indonesia. Kesangsian ini lebih berhubungan dengan pertanyaan, apakah Muhammadiyah atau warga Muhammadiyah sungguh-sungguh terbuka terhadap pluralitas dan pluralisme agama? Terbuka, dalam arti pemikiran keagamaan, yang berbasis teologis-hermeneutis serta historiskritis, dan kemampuan menghargai perbedaan, sekaligus memaknainya dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara? Pertanyaan ini muncul karena beberapa alasan, mungkin sepenuhnya obyektif tetapi mungkin juga ada subyektivitasnya. Pertama, kiprah Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan keagamaan, terkesan eksklusif: lebih banyak ke dalam lingkungan Muhammadiyah dan menutup diri untuk lingkungan di luarnya, terutama terhadap agama Kristen (Protestan dan Katolik). praktek sosial gerakan keagamaan Muhammadiyah, tidak sertamerta dapat menjadi ukuran untuk menilai bahwa penghargaan dan penghormatan terhadap pluralitas sudah terjadi. Tetapi juga memerlukan intelektualitas konsep, dasar pemikiran yang berdasar pada kesadaran fundamental tentang perbedaan dan makna perbedaan dalam kehidupan bersama Memang ada beberapa kegiatan Muhammadiyah yang dilasanakan bersama dengan warga atau lembaga agama yang lain. Tetapi eksklusifitas ini tidak dapat ditutupi karena ia sekaligus nyata melalui pola pikir yang muncul dan beredar di masyarakat, terutama dari kalangan elit Muhammadiyah. Contohnya menghadapi berbagai isu dan persoalan sosial tentang pluralisme agama, politik diskriminasi, tentang gender, transseksualitas, dan lain sebagainya. Kembali kepada persoalan yang sudah disebut di atas tadi, bahwa kegiatan dakwah bi al-hal, (ajakan dan imbauan lewat amalan dan tindakan konkrit) yang dilakukan Muhammadiyah selama ini yang

180

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Opini

sifatnya sosial : pendidikan, kesehatan, panti asuhan, dan lain-lain. Tidak saja menunjuk kepada keterbukaan Muhammadiyah untuk menampung warga masyarakat umum, tetapi juga soal konsep yang memerlukan paradigma pelayanan dan praktek dakwah yang secara substansial berisikan semangat dan makna pluralis. Artinya, praktek sosial gerakan keagamaan Muhammadiyah, tidak serta-merta dapat menjadi ukuran untuk menilai bahwa penghargaan dan penghormatan terhadap pluralitas sudah terjadi. Tetapi juga memerlukan intelektualitas konsep, dasar pemikiran yang berdasar pada kesadaran fundamental tentang perbedaan dan makna perbedaan dalam kehidupan bersama. Misalnya, di rumah-rumah sakit Muhammadiyah, ada juga orang yang bukan warga Muhammadiyah (baca = non Muslim) mendapat pelayanan, atau di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah, ada siswa atau mahasiswa yang non Muhammadiyah (baca = non Muslim), menjadi siswa atau mahasiswa (Abdul Muti dan Fajar Riza Ul-haq: 2009). Tentu, fakta ini baik dan menggembirakan. Pertanyaannya adalah, apakah ini terjadi hanya karena keadaan darurat dan kebetulan, ataukah memang secara konseptual-substansial, soal keterbukaan menerima dan mengakui yang lain sudah berakar dalam tubuh Muhammadiyah, sehingga pengenalan dan pemahaman orang lain terhadap keterbukaan Muhammadiyah pada pluralitas dan pluralisme di masyarakat menjadi sebuah kenyataan yang dapat dipercaya? Artinya, menerima dan melayani orang yang berbeda, tidak sekedar karena alasan sosial tetapi juga atas dasar kesadaran pemahaman kultural dan teologis yang terbuka dari Muhammadiyah tentang pluralitas dan pluralisme. Kedua, terkait erat dengan yang pertama. Umumnya orang Muhammadiyah, dalam hidup beragama terkesan fundamentalis dalam arti lebih menitikberatkan pada kemurnian Islam dan mempertahankannya dengan cara berpikir dan bergaul yang sempit, seolah-olah hal-hal menyangkut keislaman dalam praktek hidup beragama untuk kiprah sebuah gerakan keagamaan tidak bisa berubah atau diperbarui. Padahal zaman telah banyak berubah, dinamika pluralitas di masyarakat pun banyak berubah dan menuntut adanya perubahan dalam praktek hidup beragama tanpa bermaksud merusak atau bahkan sama sekali meniadakan landasan keagamaan sebagai sumber dari perubahan tersebut. (Syaffi Maarif, 2009). Keterbukaan yang menjadi roh asli Muhammadiyah, kini

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

181

Muhammadiyah: Pergulatan Sebuah Gerakan Keagamaan dalam Konteks Pluralitas Masyarakat Indonesia

mendapat tantangan dari kader dan aktivis Muhammadiyah sendiri, yang lebih mengidentifikasikan organisasi mereka sebagai gerakan purifikasi agama (Abdul Munir Mulkhan dan Syafii Maarif, KOMPAS, Selasa 6 Juli 2010). Padahal, sejak awal, Muhammadiyah telah mulai memilih memadukan unsur modern, mengikuti pola organisasi dan bentuk kerja yang dilakukan oleh para missionaris Kristen dengan unsur klasik, yaitu Al-Quran dan Sunnah (B.J. Boland, 1985:201; Amien Abdullah, 2000:99). Bahkan, Muhammadiyah terbuka menerima warga non-Muslim atau warga Negara non-Pribumi sebagai anggota (Abdul Munir Mulkhan, KOMPAS, Selasa, 6 Juli 2010). Tetapi, usaha ini tidak berkembang baik ke dalam bentuk pemikiran terbuka yang memberi landasan kultural yang kualitatif dalam perjalanan Muhammadiyah sampai sekarang. Ketiga, sepak-terjang para pemimpin Muhammadiyah tentang pluralisme agama. Ada tiga pemikiran yang berbeda di sini-sebagai contoh. Pertama, Prof. Dr. Syafii Maarif, sangat terbuka dengan pluralisme (termasuk pluralisme agama). Bagi Prof. Maarif, pluralisme berarti intelektualisme. Ketertutupan terhadap pluralisme berarti ketertutupan terhadap perkembangan intelektualitas, demikian sebaliknya. Bila demikian, maka Muhammadiyah tidak dapat diharapkan untuk mampu bertahan di tengah peradaban yang berubah dan berkembang. Kedua, Prof. Amien Rais. Amien Rais sealiran dengan apa yang dikatakan dalam Fatwa MUI. Pluralisme diidentikkan dengan relativisme dan sinkritisme (yang dipahami secara sempit), karena itu tidak benar dan tidak dapat ditolerir. (Majalah Tabliqh: 24 Maret 2010). Penilaian ini tidak dapat dibenarkan, karena pluralisme yang dimaksudkan oleh gerakan pluralis sama sekali tidak dimaksudkan untuk merelatifkan agama mana pun juga, tetapi justru memperkuat keyakinan agama seseorang dengan cara, antara lain mengenal dan bersahabat serta bekerjasama dengan agama lain. Ketiga, Prof. Din Syamsuddin. Din Syamsuddin berada di tengahtengah. Masih ada hal yang belum jelas mengenai pandangan dan sikap Din Syamsuddin tentang pluralisme agama, terutama berkaitan dengan dinamika politik di Indonesia. Hal yang belum jelas itu banyak membuat orang masih ragu-ragu untuk menempatkan Din Syamsuddin ke dalam kelompok pluralis. Walaupun, secara Internasional, kiprah Din dalam gerakan pluralisme, khususnya melalui berbagai organisasi antariman cukup meyakinkan. Pertanyaannya, di mana benang merah antara

182

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Opini

kiprah Din Syamsuddin di dunia Internasional dan nasional yang secara jelas dapat menjamin solidnya kepercayaan terhadap Din dan terhadap Muhammadiyah, sebagai sosok atau lembaga yang menghargai pluralitas dan pluralisme? (band. Burhanudin Muhtadi, KOMPAS, Selasa, 6 Juli 2010). Keempat, soal dinamika perubahan dan perkembangan di dalam Muhammadiyah. Tidak banyak orang tahu dan mengerti bahwa di dalam tubuh Muhammadiyah, dinamika perbedaan pun berlangsung. Tidak banyak juga orang tahu bahwa ada semakin banyak orang yang memiliki pikiran-pikiran cemerlang, kritis, terbuka terhadap pluralisme (budaya, agama) di dalam Muhammadiyah. Mereka ingin ada perubahan di dan dari dalam tubuh Muhammadiyah, yang mampu membawa Muhammadiyah untuk bisa berkiprah lebih jauh ke depan, membawa bangsa ini menjadi lebih bermartabat. Persoalannya, warga masyarakat lebih melihat kepada figure pemimpin, apakah kiprah pemimpin memberi jaminan untuk bisa membangun kepercayaan? Di sini memerlukan, selain intelektual discourse, juga publikasi dan pergaulan yang lebih terbuka, luas dan menjangkau lebih banyak orang, terutama dengan kalangan di mana soal kepercayaan ini masih mendapat kesulitan untuk dibangun dan dikembangkan. Muhammadiyah telah mulai memasuki abad kedua. Perjalanan panjang sebuah gerakan keagamaan yang luar biasa. Tidak ada cara lain bagi Muhammadiyah bila ingin menjadi salah satu penggerak kemajuan peradaban manusia, kemajuan peradaban bangsa, dengan membuka diri secara jujur dan mendasar kepada pluralitas dan memaknai realitas pluralitas dengan melihat pluralisme secara positif kritis dan konstruktif melalui cara berpikir baru dan tepat, sambil melakukan dialog dengan intelektual discourse yang terbuka serta kerjasama aksi social yang lebih substansial terhadap makna pluralisme.

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

183

Muhammadiyah: Pergulatan Sebuah Gerakan Keagamaan dalam Konteks Pluralitas Masyarakat Indonesia

Kepustakaan
Abdullah, M. Amin, Dinamika Islam Kultural. Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, MIZAN, Bandung, 2000 Abdurrahman, Asjmuni, Memahami Makna Tekstual, Kontekstual dan Liberal. Koreksi Pemahaman atas Loncatan Pemikiran, Suara Muhammadiyah, Yogyakarta 2008 Azra, Azyumardi, Konteks Berteologi PARAMADINA, Jakarta 1999 di Indonesia. Pengalaman Islam,

Boland, B. J., Pergumulan Islam Indonesia, Grafitipers, Jakarta 1985 Boy ZTF, Pradana, Para Pembela Islam, Pertarungan Konservatif dan Progresif di Tubuh Muhammadiyah, Gramata Publishing, Depok, 2009 Ilyas, Yunahar, Muhammadiyah dan NU: Reorientasi Wawasan Keislaman, LPPIUMY, LKPSM-NU, PP-al-Muhsin, Yogyakarta 1993. Maarif, Ahmad Syafii, Independensi Muhammadiyah di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik, CIDESINDO, Yogyakarta, 2000 __________________, Masalah Dunia Islam dan Politik Global, Suara Muhammadiyah, 08/TH.ke-95, 16-30 April 2010, hal. 56-57 __________________, Membumikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995 __________________, Muhammadiyah dan Masa Depan Intelektualisme Islam di Indonesia, Suara Muhammadiyah, 09/TH. Ke-95, 1-15 Mei 2010 dan 10/ TH ke-95, 16-31 Mei 2010. Muti, Abdul, Inkulturasi Islam. Menyemai Persaudaraan, Keadilan, dan Emansipasi Kemanusiaan , Al-Wasat Publishing House, Jakarta 2009 Muti, Abdul dan Fajar Riza Ul Haq, Kristen Muhammadiyah. Konvergensi Muslim dan Kristen dalam Pendidikan, Al-Wasat Publishing House, Jakarta 2009. Nashir, Haedar, Khittah Muhammadiyah tentang Politik, Suara Muhammadiyah, Yogyakarta 2008 Nashir, Haedar, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, Suara Muhammadiyah, Yogyakarta, 2000 Pasha, Musthafa Kamal dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyh sebagai Gerakan Islam, Pustakan SM, Yogyakarta, 2009 Rais, M. Amien, Reorientasi Wawasan Pergerakan Muhammadiyah, dalam Yunahar Ilyas, Muhammadiyah dan NU; Reorientasi Wawasan keislaman, LPPI-UMY, LKPSM-NU, PP-al-Muhsin, Yogyakarta 1993 Syamsuddin, M. Dien, Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama: Mengikhtiarkan Wawasan Sosial-Politik Baru, dalam Yunahar Ilyas, Muhammadiyah dan NU: Reorientasi Wawasan Keislaman, LPPI-UMY, LKPSM-NU, PP-al-Muhsin, Yogyakarta 1993.

184

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Profil

Visi, Misi, dan Nilai Dasar Agenda Strategis Program Kerja Pengorganisasian Jaringan Associate Publikasi

Jl. Tebet Barat Dalam II No.6, Tebet Barat, Jakarta Selatan 12810 Telp.: 021 32403058 E-mail: maarif@maarifinstitute.org

www.maarifinstitute.org

Profil MAARIF Institute for Culture and Humanity

Statuta pendirian MAARIF Institute for Culture and Humanity (2003) menyatakan komitmen dasar lembaga ini sebagai gerakan kebudayaan dalam konteks keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Tiga area ini merupakan hal pokok dan terpenting dalam perjalanan intelektualisme dan aktvisme Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah dan mantan Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP). Keberadaan MAARIF Institute merupakan bagian tidak terpisahkan dari jaringan gerakan Pembaruan Pemikiran Islam (PPI) yang ada di Indonesia dewasa ini. Gerakan pembaruan merupakan sebuah keniscayaan sekaligus tuntutan sejarah. Kompleksitas masalah kemanusiaan modern berikut isuisu kontemporer yang mengikutinya seperti demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, gender, terorisme, dialog antar-agama dan peradaban serta sederet isu lainnya menuntut penjelasan baru dari ajaran Islam dan kerja-kerja kolektif umat manusia tanpa mengabaikan aspek keberbedaan dari masing-masing pihak. Disadari pula bahwa program serta aktivitas MAARIF Institute tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan sosiologis persyarikatan Muhammadiyah, meskipun tidak ada hubungan organisatoris dengan organisasi ini dan tanpa mengurangi komitmen untuk terus memperluas radius pergaulan dan cakupan aksi lembaga. Muhammadiyah, menurut banyak kalangan, sering dianggap sebagai representasi gerakan modernis-moderat di Indonesia yang aktif mempromosikan pemikiranpemikiran Islam, berdakwah, dan melakukan aksi-aksi sosial. Sejalan dengan hal ini, memperjuangkan arus pembaruan pemikiran Islam dalam konteks gerakan Muhammadiyah merupakan concern utama MAARIF Institute sebagai bagian dari upaya pencerahan sekaligus memperkuat elemen moderat (empowering moderates) di Indonesia.

Visi, Misi, dan Nilai Dasar


Visi:
Menjadi lembaga pembaruan pemikiran untuk mewujudkan tatanan kemanusiaan yang berkeadilan sosial melalui praksis Islam sebagai pondasi ke-Indonesiaan sesuai dengan semangat intelektual dan cita-cita sosial Ahmad Syafii Maarif.

Misi

1. Membangun kesadaran kritis mengenai kompatibilitas antara Islam dan demokrasi, hak asasi manusia, serta pluralisme, dalam rangka membangun keadaban, perdamaian, saling pengertian, dan kerjasama yang konstruktif bagi kemanusiaan. 2. Memperjuangkan perubahan kebijakan publik dengan memperkuat dan memperluas partisipasi civil society untuk mewujudkan keadilan sosial.

Nilai Dasar : Egaliter, Non-diskriminasi, Toleran, Inklusif

186

Profil MAARIF Institute for Culture and Humanity

Agenda Strategis
Sejumlah agenda strategis turunan dari misi MAARIF Institute adalah: 1.1. Pengembangan kapasitas jaringan kelompok-kelompok sipil Islam dalam rangka mendiseminasi gagasan keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. 1.2. Pengembangan kajian pemikiran keislaman dan strategi kebudayaan mengenai kompleksitas permasalahan kemanusiaan dan isu-isu kontemporer. 2.1. Penguatan peran-peran politik kewargaan kelompok-kelompok sipil Islam untuk mendorong perubahan dan atau perbaikan kebijakan publik sehingga lebih berorientasi kepada kepentingan masyarakat. 2.2. Pengembangan kerjasama dengan lembaga pemerintah untuk melahirkan kebijakan yang adil dan tanpa diskriminasi.

PROGRAM KERJA
Kegiatan-kegiatan (2010-2011) turunan dari agenda strategis di atas antara lain: Kegiatan 1.1.
1. Pengembangan data base jaringan kultural Muhammadiyah 2. Dokumentasi dan diseminasi gagasan keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan 3. Mengembangkan manual dan modul pelatihan-pelatihan. 4. Menyelenggarakan pelatihan dan workshop untuk angkatan muda Muhammadiyah dan kelompok-kelompok masyarakat sipil lainnya. 5. Menfasilitasi kunjungan dan pertukaran para aktivis dan para pemimpin muda dari dan ke Indonesia dalam rangka peningkatan kapasitas jaringan global sipil Islam 6. Optimalisasi peran MIAR (MAARIF Institute Associate Researchers) untuk pengembangan kapasitas institusi.

Kegiatan 1.2.
1. Serial diskusi tematik untuk membangun tradisi intelektualisme dikalangan angkatan muda Muhammadiyah pada khususnya dan jaringan civil society pada umumnya. 2. Menerbitkan buku, jurnal, buletin, dan media on-line sebagai produk hasil program kajian dan aksi. 3. Mengelola dan mengembangkan perpustakaan.

Kegiatan 2.1.
1. Pengembangan program-program advokasi budget, HAM, demokrasi dan ansos (analisis sosial). 2. Training advokasi anggaran/kebijakan, HAM, demokrasi, dan ansos untuk aktivis angkatan muda Muhammadiyah (AMM). 3. Menindaklanjuti dan mereplikasi program program yang sudah dikerjasamakan dengan lembaga donor.

Kegiatan 2.2.
1. Mengadvokasi kebijakan anggaran, pendidikan, dan kesehatan. 2. Pengembangan manual dan modul formulasi kebijakan penganggaran. 3. Pelatihan-pelatihan penguatan kapasitas legislatif dan eksekutif
MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

187

Profil MAARIF Institute for Culture and Humanity

Pengorganisasian
Pendiri:
1. 2. 3. 4. 5. 6. Ahmad Syafii Maarif Haedar Nashir Moeslim Abdurrahman Jeffrie Geovannie Rizal Sukma Suyoto

Dewan Pembina:
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Eksekutif

Abdul Munir Mulkhan Abd. Rohim Ghazali Amin Abdullah Clara Juwono Luthfi Assyaukanie M. Deddy Julianto Muhadjir Effendy Raja Juli Antoni : : : : : : : : : : : Fajar Riza Ul Haq Muhd. Abdullah Darraz Defi Nopita Endang Tirtana M. Supriadi Henny Ridhowati Khotimun Susanti Deni Murdiani Irman Susanto Sarwono Agusman

Direktur Eksekutif Direktur Program Pengembangan Kajian Islam Direktur Program Demokrasi & Good Governance Manager Operasional Sekretaris Keuangan Asisten Keuangan Media Support Driver Office Boy Security

Jaringan Associate
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.

Ahmad Najib Burhani, Ph.D. Cd. (UC, Santa Barbara, USA) Ahmad Norma Permata, Ph.D. Alpha Amirrachman, M. Phil. Ed (Amsterdam University, Belanda) Dewi Candraningrum, Ph.D. (Universitas Muhammadiyah Surakarta) Emran Quresy, Ph.D (Harvard University, USA) Hilman Latief, Ph.D. Cd. (ISIM-Leiden University) Nader Hashemi Ph.D (Nort Western University, USA) Rebea Volkmann, Ph.D. (Muenster, Jerman) Rudi Sukandar, Ph.D. Siti Sarah Muwahidah, MA. Sukidi Mulyadi, Ph.D. Cd. (Harvard University, USA) Syamsu Rizal Panggabean, MSc (UGM) Yayah Khisbiyah, Ph.D. Cd. (Melbourne University/UMS) Dr. Zakiyuddin Baidhawy (STAIN Salatiga) Wahyudi Akmaliah Muhammad (University for Peace, Costa Rica and Ateneo De Manila University, Philippines)

Publikasi

16. Jurnal MAARIF 17. Buletin Komunitas

188

MAARIF Vol. 5, No. 2 Desember 2010

Anda mungkin juga menyukai