Anda di halaman 1dari 34

ISSN : 1978-0362

JURNAL
SOSIOLOGI REFLEKTIF


Laboratorium Sosiologi
Fakultas IImu Sosial dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
JURNAL
SOSIOLOGI REFLEKTIF
Laboratorium Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Volume 9, Nomor 1, Oktober 2014

PENGELOLA JURNAL

Ketua Penyunting : Muryanti,MA


Sekretaris Penyunting : Puspo Reni Rahayu, S.Sos
Penyunting Pelaksana : Sulistyaningsih, M.Si,
Ahmad Zainal Arifin, P.Hd, Dr. Yayan Suryana,
Sekretariat : Beng Pramono, Arifiartiningsih
Desain Sampul & Tata Letak : Kirman
Diterbitkan oleh : Laboratorium Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Alamat Redaksi : Laboratorium Sosiologi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Jl. Marsda Adisucipto No.1, Yogyakarta
Telp (0274) 51957: Fax. (0274) 519571
Email: sosiologireflektif@uin-suka.ac.id dan
sosiologireflektif@gmail.com

Sosiologi Reflektif adalah jurnal yang dikelola oleh Laboratorium


Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Media ini menekankan kajian
seputar persoalan-persoalan sosial. Redaksi juga menerima tulisan
seputar dinamika sosial baik yang bersifat teoritis, kritik, reflektif, opini,
dan berbagai ide-ide dinamika sosial kemasyarakatan. Tulisan minimal
20 halaman kuarto, spasi ganda, dilengkapi dengan abstrak (Bahasa
Inggris dan Bahasa Indonesia), catatan kaki, dan daftar pustaka. Penulis
juga harus menyertakan nama lengkap bersama asal universitas atau
lembaga profisional, alamat lengkap dan alamat email, nomor telepon,
dan beberapa kalimat biografi penulis.
ISSN : 1978-0362

JURNAL
SOSIOLOGI REFLEKTIF

DAFTAR ISI

Strategi Nafkah Ganda “Bentukan” Rumah Tangga Pedesaan


Pesisir di Kabupaten Bintan
Ali Yansyah Abdurrahim........................................................................ 1

How Does Small Medium Enterprise in Developing Countries


Overcome Information and Communication Technology
Adoption Problems?
Ambar Sari Dewi..................................................................................... 23

Respon Masyarakat Terhadap Peran Politik Kyai


Puji Qomariyah....................................................................................... 31

Involuntary Childlessness, Stigma and Women’s Identity


Grace Stephanie Panggabean................................................................... 47

Revitalisasi Gotong Royong: Penguat Persaudaraan Masyarakat


Muslim di Pedesaan
Muryanti................................................................................................. 59

Islam dan Wacana Civil Society di Indonesia


Masroer C Jb dan Lalu Darmawan......................................................... 79

Marjinalisasi Pedesaan Akibat Relasi Kuasa Lokal dan


Supralokal
Yunindyawati.......................................................................................... 109

Etos Kerja Pada Pengrajin Payung di Juwiring, Klaten


Trisni Utami dan Mahendra Wijaya....................................................... 123

Perlawanan Petani Rengas Terhadap PTPN VII di Ogan Ilir


Sumatera-Selatan
Mohammad Syawaludin.......................................................................... 145
Peran Lembaga Keuangan Penyedia Dana Mikro Dalam
Menyediakan Kesempatan Kerja
Aryan Torrido.......................................................................................... 163

Logo-Teknik Iklan Nan Citra Negatif


A. Sihabul Millah.................................................................................... 177

Musik Dangdut dan Ironi Pendidikan Seni di Yogyakarta


Moh. Khatibul Umam.............................................................................. 187

Rekonstruksi Paradigma Ilmu Pengetahuan untuk


Keberlanjutan Ekologis
Thohir Yuli Kusmanto............................................................................. 197

Peran Kelompok Batik “Berkah Lestari” Bagi Pemberdayaan


Perempuan di Dusun Karangkulon, Desa Wukirsari, Imogiri,
Bantul, Yogyakarta
Riesta Mar’atul Azizah............................................................................ 217

Radikalisme Agama Dalam Kkajian Sosiologi


Ibnu Hibban............................................................................................. 251

iv | Sosiologi Reflektif, Volume 9, No. 1, Oktober 2014


PENGANTAR REDAKSI

Assalamualaikum wr.wb.
Perubahan bisa terjadi pada apapun, fisik ataupun kehidupan
manusia. Setiap perkembangan sejarah manusia berubah dari satu
tahap pada tahap berikutnya yang bisa sebuah siklus ataupun tidak
sama sekali, tergantung pada jenis dan tipe perubahan yang terjadi.
Jurnal Sosiologi Reflektif Volume 9, Nomor 1, Oktber 2014 ini akan
banyak menganalisis tentang berbagai macam perubahan sosial.
Terkait dengan paradigma pengetahuan yang senantiasa mengikuti
perkembangan sosial-ekonomi dan politik manusia itu sendiri, sampai
dengan perempuan sebagai subyek yang mengalami perubahan dalam
memberikan makna terhadap tubuhnya sendiri. Analisis tersebut
akan secara tajam dituangkan dalam artikel : Thohir Yuli Kusmanto,
Yunindyawati dan Sihabul Millah. Selain isu perubahan sosial, penulis
lain juga tidak kalah menarik mengkaji tentang permasalahan sosial
actual yang terjadi dalam masyarakat.
Artikel pertama ditulis oleh Ali Yansyah Abdurrahim dalam
artikelnya yang berjudul Strategi Nafkah Ganda “Bentukan” Rumah
Tangga Pedesaan Pesisir di Kabupaten Bintan. Penulis menegaskan
bahwa pemerintah menjalankan program COREMAP yang di antaranya
melakukan pengembangan mata pencaharian alternatif (MPA) sebagai
strategi nafkah baru bagi rumah tangga di pesisir Kabupaten Bintan.
Program tersebut dijalankan agar masyarakat pesisir mengurangi cara
strategi nafkahnya yang merusak lingkungan.
Ambar Sari Dewi menulis tentang UKM dalam artikelnya yang
berjudul How does Small Medium Enterprise in Developing Countries
Overcome Information and Communication Technology Adoption Problems?.
Menurutnya Usaha Kecil Menengah (UKM) memiliki peran penting
dalam perekonomian. Pendorong kemajuan UKM adalah adopsi
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang saat ini mengalami
kendala. Untuk menyelesaiaknnya diperlukan kerjasama yang kuat,

Sosiologi Reflektif, Volume 9, No. 1, Oktober 2014 |v


pemanfaatan komunikasi interpersonal serta penggunaan TIK yang
dipilih berdasar kebutuhan pengguna.
Puji Qomariyah menulis artikel Respon Masyarakat terhadap Peran
Politik Kyai. Penulis menyatakan bahwa kyai menggunakan kharisma
yang dimilikinya untuk memerankan politik yang ditandai dengan
afiliasinya kepada partai politik tertentu. Masyarakat Rembang dengan
tradisi hubungan masyarakat dan kyai sangat kental menyatakan tidak
ada pengaruhnya pilihan politik kyai dengan kehidupan masyarakat
atau tidak memberikan keuntungan. Termasuk, bagi masyarakat yang
memiliki pilihan partai politik yang sama dengan kyai.
Grace Panggabean melakukan analisis gender dalam tulisannya
Involuntary Childlessness, Stigma and Women’s Identity. Menurut penulis,
perempuan mempunyai tanggung jawab yang besar dalam perannya di
ranah domestik, termasuk dalam kesehatan dan manajemen reproduksi.
Stigmatisasi tersebut tentunya berakibat adanya beban bagi perempuan
yang mengalami infertile. Hal tersebut terjadi karena masih rendahnya
kesadaran gender dalam masyarakat, sehingga perjuangan gender untuk
membangun identitas perempuan yang baru menjadi sangat penting.
Muryanti menulis tentang Revitalisasi Gotong Royong: Penguat
Persaudaraan Masyarakat Muslim di Pedesaan. Kajian ini menjadi hal
yang perlu diperhatikan mengingat menurunnnya kesadaran kolektif
pada level pedesaan yang semakin mengarah pada perilaku individualis.
Temuan dari penelitian ini menunjukan bahwa menurunnya nilai-
nilai gotong royong adalah sebuah keniscayaan karena perubahan
sosial ekonomi dan politik masyarakat. Upaya revitalisasi nilai-nilai
kegotongroyongan menjadi mutlak diperlukan.
Masroer C Jb dan Lalu Darmawan mengkaji Islam dan Wacana
Civil Society di Indonesia. Penulis menjelaskan bahwa civil society dalam
pandangan Islam dimaknai masyarakat madani yang berarti: Pertama,
civil society sebagai visi etis dalam kehidupan bermasyarakat. Kedua,
sebagai sebuah sistem kenegaraan. Ketiga sebagai sebuah elemen ideologi
kelas dominan. Keempat sebagai kekuatan penyeimbang dari negara.
Analisis penelitian ini menjelaskan bahwa inti dari masyarakat madani
adalah terbentuknya lembaga-lembaga sosial atau organisasi-organisasi
di luar negara, yang memiliki otonomi relatif dan memerankan fungsi
kontrol terhadap proses penyelenggaraan kehidupan kemasyarakatan
dan kenegaraan. Pluralisme, kebebasan relatif, dan fungsi kontrol ini
menjadi bagian dari unsur-unsur penting dalam konsep demokrasi.

vi | Sosiologi Reflektif, Volume 9, No. 1, Oktober 2014


Yunindyawati menganalisis perubahan sosial dalam artikelnya
yang berjudul Marjinalisasi Pedesaan Akibat Relasi Kuasa Lokal dan
Supralokal. Menurutnya adanya pengaturan desa dalam UU No 5 Tahun
1979 tentang pemerintahan desa menjadikan peran desa terkooptasi
oleh sutruktur di atasnya, padahal aset dan dinamika masyarakat
senyantanya berada di desa. Implikasinya desa menjadi seragam di
seluruh pelosok tanah air dan Negara menjadi sangat hegemonik. Hal ini
mendorong adanya peraturan baru yang bisa menjadikan desa sebagai
subyek yang mampu mengelola apa yang dimilikinya sendiri dengan
menunjukan identitasnya dan tidak melupakan struktur diatasnya.
Trisni Utami dan Mahendra Wijaya menuulis artikel yang
berjudul Etos Kerja pada Pengrajin Payung di Juwiring, Klaten. Penulis
menegaskan bahwa pengrajin payung adalah salah satu jenis industri
rumah tangga yang tergolong industri kreatif. Etos kerja yang dimiliki
oleh pengrajin sangat tinggi, terbukti dari jam kerja panjang dari pagi
sampai menjelang tidur pada saat banyak pesanan dan melibatkan
seluruh anggota keluarga dalam proses pembuatannya. Menurunnya
industri ini disebabkan oleh keengganan pemuda untuk menjadi
pengrajin payung karena image nya kurang menarik karena lebih suka
menjadi buruh.
Artikel Mohammad Syawaludin yang berjudul Perlawanan Petani
Rengas terhadap PTPN VII di Ogan Ilir Sumatera-Selatan merupakan
salah satu kajian konflik. Menurut penulis bentuk perlawanan yang
dilakukan oleh petani Rengas adalah dengan menduduki kembali
lahan yang dikuasi oleh PTPN VII. Kesimpulan penelitian ini adalah
adanya empat hal dasar yang menjadi aksi reklaiming dilakukan oleh
petani Rengas sebagai aksi perlawanan massa dan gerakan, yakni
keberlangsungan dari episode perlawanan, gerakan sosial, kondisi
perlawanan, dan taktik repertoar.
Aryan Torrido menulis artikel yang berjudul Peran Lembaga
Keuangan Penyedia Dana Mikro dalam Menyediakan Kesempatan
Kerja. Menurut penulis keuangan mikro merupakan alat yang cukup
penting untuk mewujudkan pembangunan oleh Pemerintah Indonesia
dalam tiga hal: menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan
masyarakat dan mengentaskan kemiskinan. Mengingat arti pentingnya
lembaga tersebut, kebijakan nasional bagi keuangan mikro sangat
diperlukan untuk mengatasi berbagai keterbatasan keuangan mikro
melalui penciptaan lingkungan yang memungkinkan lembaga keuangan

Sosiologi Reflektif, Volume 9, No. 1, Oktober 2014 | vii


mikro yang sudah ada saat ini untuk memperluas pelayanan mereka
serta mendukung terbentuknya berbagai lembaga keuangan mikro
untuk mengisi kesenjangan permintaan dan penawaran layanan
keuangan mikro terutama di wilayah pedesaan.
A Sihabul Millah menjelaskan tentang peran iklan dalam
mempengaruhi tindakan perempuan dengan menggunakan analisis
Roland Barters. Artikelnya berjudul Logo-Teknik Iklan nan Citra
Negatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa logo-teknik dalam iklan
bekerja untuk membangkitkan naluri-naluri dasar manusia, yakni
naluri keintiman, seksual, ketakutan, dan idola yang begitu kuat
mempengaruhi tindakan perempuan.
Khatibul Umam menulis tentang Musik Dangdut dan Ironi
Pendidikan Seni di Yogyakarta. Penulis menegaskan musik dangdut
penting untuk dimasukan dalam kurikulum pendidikan seni: (1)
membentuk karakter dan (2) identitas bangsa Indonesia. Akan
tetapi, pada kenyataannya musik ini kurang diminati oleh pemuda
dan kurikulum itu sendiri datang dari DIKNAS yang masih kurang
penanaman karakter kebangsaannya kepada peserta didik.
Thohir Yuli Kusmanto menganalisis tentang Rekonstruksi
Paradigma Ilmu Pengetahuan untuk Keberlanjutan Ekologis.
Menurutnya dalam setiap tahap perkembangan masyarakat terdapat
paradigma yang dominan mempengaruhi kondisi sosial-ekonomi
dan politik masyrakat. Pada saat ini paradigma positivisme menjadi
perspektif dominan yang mempengaruhi perilaku manusia, termasuk
hubungannya dengan alam. Akibatnya keuntungan maksimal manusia
yang menjadi tujuannya, akibat berbagai macam kerusakan alam muncul
karena perilaku manusia tersebut. Untuk itu perlu upaya strategis
dengan merekontruksi paradigma dalam sistem ilmu pengetahuan
dan teknologi yang selama ini dikembangkan dan digunakan manusia.
Riesta Mar’atul Azizah menulis artikel yang berjudul Peran
Kelompok Batik “Berkah Lestari” bagi Pemberdayaan Perempuan di
Dusun Karangkulon, Desa Wukirsari, Imogiri, Bantul, Yogyakarta
dengan menggunakan analisis AGIL Talcot Parson. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa Berkah Lestari mampu berperan bagi perempuan
Karangkulon melalui : penyesuaian mereka dengan berbagai macam
aturan kelompok, komunikasi yang terbuka diantara sesama anggota
kelompok, serta dibangunnya rasa kekeluargaan diantara sesama
anggota kelompok. Implikasinya adanya peningkatan pendapatan

viii | Sosiologi Reflektif, Volume 9, No. 1, Oktober 2014


ekonomi perempuan, sedangkan kendalanya pada pemasaran yang
masih terbatas hanya dengan menggunakan getok tular.
Demikian gambaran secara umum jurnal yang akan sidang
pembaca nikmati edisi ini. Semoga apa yang tertuang dalam kajian ini
memberikan sumbangan yang berarti dan menjadi sumber pengetahuan
baru. Selamat membaca. Wallahu a’lam bi shawab.
Wassalamualaikum wr. wb

Redaksi

Sosiologi Reflektif, Volume 9, No. 1, Oktober 2014 | ix


JURNAL
SOSIOLOGI REFLEKTIF

STRATEGI NAFKAH GANDA “BENTUKAN”
RUMAH TANGGA PEDESAAN PESISIR DI
KABUPATEN BINTAN

Ali Yansyah Abdurrahim


Peneliti Bidang Ekologi Manusia, Pusat Penelitian Kependudukan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Alamat Email: aliyansyah.lipi@gmail.com

Abstract
The coastal society of Bintan regency is heavily depended upon
marine resources. Various activities, such as fishing and catching
fishes, are done by most houshold to maintin their livelihood. To
obtain maximum results, various methods are employed, including
fishing with illegal means (over-exploitation and destructive) that
destroy coral reef ecosystems and sustainability of marine resources.
To reduce illegal fishing activities, maintaining the conservation of
coral reefs, and realizing sustainable livelihoods for coastal commu-
nities of Bintan regency, the local governmentlaunches COREMAP
programs to promote and develop an alternative job, as a new strategy
for households living in the coastal district of Bintan. This study
wants to analyze (i) the underlying of economic behavior among the
households in the coastal district of Bintan in building their living
system with illegal fishing activities; and (ii) how far the multiple
job seeking alternative strategies endorsed by the local government
through MPA-COREMAP are able to build a sustainable livelihood
system? The results show that (i) the rational choice action based on
economy is underlying the coastal rural households in constructing
their living system (ii) job seeking alternative has failed. It has also
been predictedto fail in building a sustainable livelihood systems of
the coastal society in Bintan.
Keywords: economic sociology, job alternative strategies, sustainable
livelihoods of fisher community

Sosiologi Reflektif, Volume 9, No. 1, Oktober 2014 |1


Ali Yansyah Abdurrahim

Intisari
Masyarakat pesisir Kabupaten Bintan sangat tergantung
dengan sumber daya alam yang ada di laut. Berbagai
aktivitas nafkah di laut (on-sea), seperti penangkapan ikan,
dilakukan banyak rumah tangga untuk mempertahankan
penghidupannya. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal,
berbagai cara dilakukan, termasuk melakukan penangkapan
ikan dengan cara-cara ilegal (over-ekspolitasi dan destruktif)
yang merusak ekosistem terumbu karang dan keberlanjutan
sumber daya laut. Untuk mengurangi kegiatan penangkapan
yang ilegal, mempertahankan kelestarian terumbu karang,
dan mewujudkan penghidupan berkelanjutan bagi masyarakat
pesisir Kabupaten Bintan, pemerintahan melakukan program
COREMAP yang di antaranya melakukan pengembangan
mata pencaharian alternatif (MPA) sebagai strategi nafkah
baru bagi rumah tangga di pesisir Kabupaten Bintan.
Penelitian ini ingin menganalisis (i) tindakan ekonomi apa
yang melandasi rumah tangga di pesisir Kabupaten Bintan
membangun sistem nafkahnya dengan aktivitas penangkapan
ikan secara ilegal? dan (ii) sejauh mana rekayasa strategi
nafkah ganda “bentukan” pemerintah yang dilakukan
melalui MPA-COREMAP mampu membangun sistem nafkah
yang berkelanjutan? Penelitian dengan pendekatan kualitatif
dan kuantitatif ini menemukan bahwa (i) tindakan pilihan
rasional merupakan tindakan ekonomi yang melandasi rumah
tangga pedesaan pesisir membangun sistem nafkahnya (ii)
rekayasa strategi nafkah ganda “bentukan” pemerintah
melalui pengembangan MPA sebagian telah terbukti gagal
dan diprediksi tidak akan mampu membangun sistem nafkah
yang berkelanjutan.
Kata Kunci: sosiologi ekonomi, strategi nafkah, penghidupan
berkelanjutan dan nelayan

Pendahuluan
Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau, lebih dari 98 persen
wilayahnya merupakan perairan yang kaya akan berbagai potensi
sumber daya laut. Salah satunya adalah terumbu karang. Luas sebaran
terumbu karang di wilayah ini diperkirakan mencapai sekitar 7.521,8
km2 dengan kondisi yang cukup bervariasi.Namun, di banyak lokasi

2| Sosiologi Reflektif, Volume 9, No. 1, Oktober 2014


Strategi Nafkah Ganda “Bentukan” Rumah Tangga Pedesaan Pesisir ....

ekosistem terumbu karang mengalami kerusakan. Bahkan, di beberapa


lokasi, persentase tutupan karang tidak mencapai 20 persen.1
Sama halnya dengan masyarakat pedesaan sawah dan pegunungan
yang sangat tergantung pada sumber daya alam, masyarakat pedesaan
pesisir juga sangat tergantung dengan sumber daya alam yang ada di
laut. Aktivitas penangkapan ikan(on-sea) dan setelahnya di daratan (off-
sea)menjadi strategi penghidupan (livelihood strategies) utama dan paling
banyak dilakukan masyarakat pedesaan pesisir. Untuk mendapatkan
hasil tangkapan yang maksimal, berbagai cara dilakukan, termasuk
dengan cara eksploitasi yang berlebihan dan menggunakan cara-cara
destruktif, seperti penggunaan bahan beracun dan peledak. Penggunaan
bahan beracun (potas/bius/sianida) dilakukan untuk penangkapan
ikan hidup dan penggunaan bahan peledak (bom) dilakukan untuk
penangkapan ikan segar non-hidup. Dua aktivitas destruktif yang bisa
dikategorikan sebagai illegal fishing ini telah menyebabkan kerusakan
terumbu karang. Padahal, terumbu karang sebagai bagian dari ekosistem
laut mempunyai tiga fungsi untuk kehidupan ikan dan biota laut lainnya,
yaitu (i) tempat bertelur (spawing ground), (ii) pembesaran larva (juvenile),
dan daerah asuhan (nursery ground).Kerusakan terumbu karang berarti
akan mengurangi ketersediaan ikan dan berujung pada terganggunya
sistem nafkah (kesejahteraan) masyarakat di pedesaan pesisir.
Untuk melestarikan terumbu karang dan meningkatkan
kesejahteraan/menjaga sistem nafkah, pemerintah melakukan
intervensi kegiatan penyelamatan dan pelestarian terumbu karang
nasional, yang diberi nama Coral Reef Rehabilitation and Management
Program atau disingkat COREMAP. Di Kabupaten Bintan, COREMAP
diimplementasikan di tiga kecamatan, yaitu Bintan Timur, Gunung
Kijang, dan Tambelan, melalui tiga jenis kegiatan, yaitu (i) pembentukan
kelembagaan LPTSK dan Pokmas, (ii) pengembangan mata pencaharian
alternatif (MPA), dan (ii) kegiatan pembangunan sarana fisik desa.
Melalui ketiga kegiatan tersebut pemerintah berasumsi masyarakat di
pedesaan pesisir akan mengurangi kegiatan eksploitasi terhadap laut
sehingga kerusakan terumbu karang akan berkurang dan sistem nafkah
yang berkelanjutan (sustainable livelihood).
Penjelasan di atas melahirkan dua pertanyaan yang ingin dijawab
melalui penelitian ini, yaitu (i) tindakan ekonomi apa yang melandasi
rumah tangga di pesisir Kabupaten Bintan membangun sistem

1 CRITIC-COREMAP, 2007.

Sosiologi Reflektif, Volume 9, No. 1, Oktober 2014 |3


Ali Yansyah Abdurrahim

nafkahnya dengan aktivitas penangkapan ikan secara ilegal? dan (ii)


sejauh mana rekayasa strategi nafkah ganda “bentukan” pemerintah
yang dilakukan melalui MPA-COREMAP mampu membangun sistem
nafkah yang berkelanjutan?

Strategi Nafkah
Kajian strategi nafkah pedesaan di Indonesia sebetulnya sudah
dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda. Tiga jilid hasil penelitian
yang berjudul Eindresume van het Onderzoek naar de Rechten van Inlander op
de Grond (1876, 1880, 1896) yang dijadikan dasar pidato Ratu Belanda di
hadapan parlemen Belanda tahun 1901 untuk mendorong pelaksanaan
satu penelitian umum tentang keadaan kemiskinan pedesaan Jawa pada
tahun 1904-1905 dengan judul Onderzoek naar de Mindere Welvaart der
Inlandsche Bevolking op Java en Madoera telah membuktikannya (Marzali,
1993). Namun, disertasi Boeke2 pada tahun 1910-lah yang menjadi kajian
akademis di perguruan tinggi pertama yang melihat kemiskinan dan
strategi nafkah pedesaan di Indonesia.
Menurut Boeke (1953), meskipun di Jawa terjadi peningkatan
penduduk, perkembangan masyarakat di Jawa lebih bersifat sosial
daripada ekonomi. Petani jawa bekerja di sawah bukanlah untuk
mencari keuntungan, namun untuk sekedar mencukupi kebutuhan
hidup keluarganya yang sederhana. Bila dengan lahan sawah seluas
satu bahu (0,7) yang hanya ditanami dan dipanen satu kali dalam
setahun sudah cukup memenuhi kebutuhan hidup sebuah keluarga,
maka sang petani tidak tidak akan menginginkan lebih dari itu. Petani
sudah merasa puas, tenteram, dan ayem. Baginya, tujuan hidup
adalah mencapai ketenangan dan kepuasan batin. Mengejar harta dan
keuntungan materi adalah sama seperti minum air laut: makin diminum
makin haus; nilai dan sikap seperti ini tidak sepantasnya dianut oleh
orang Jawa yang bijaksana. Nilai dan sikap seperti ini disebut oleh Boeke
sebagai limited needsatau oriental misticism, dan ini bertentangan dengan
pandangan hidup orang Barat yang bersifat unlimited needs. Hal ini juga
bertentangan dengan tesis Ratzel dan Boserup (1965) yang berpendapat
bahwa peningkatan jumlah penduduk secara evolusi akan diikuti makin
kompleksnya organisasi ekonomi (pembagian dan spesialisasi kerja)
dan penggunaan teknologi yang lebih canggih.

2 Boeke adalah seorang ahli ekonomi daerah jajahan tropika yang banyak
mendapat perhatian orang sebelum Perang Dunia II. Pendekatannya terhadap kajian
pedesaan di Indonesia lebih bersifat kultural daripada political ekonomi.

4| Sosiologi Reflektif, Volume 9, No. 1, Oktober 2014


Strategi Nafkah Ganda “Bentukan” Rumah Tangga Pedesaan Pesisir ....

Jumlah penduduk Jawa yang bertambah terus dan sistem


pewarisan lahan telah membuat luasan lahan yang dimiliki setiap
keluarga menurun, yang pada gilirannya menimbulkan kemiskinan di
pedesaan. Dengan nilai dan sikap limited needs yang dimilikinya, petani
akan merespon dengan melakukan static expansion, yaitu memperluas
daerah pertanian, namun tetap dengan tingkat teknologi dan sistem
pembagian kerja semula. Di lahan dan permukiman baru ini para petani
sudah merasa puas apabila mereka sudah mencapai tingkat kehidupan
ekonomi yang sederhana seperti yang dicapai oleh orang tua mereka
dulu di desa asal, sampai pada suatu waktu, permukiman baru ini
berkembang padat dan menimbulkan ulangan kemiskinan.
Selain membuat konsep strategi nilai kultural “limited needs”
dan “static expantion”, Boeke (1953) juga mengungkapkan bahwa di
masyarakat dalam waktu yang sama terdapat dua atau lebih sistem
sosial, dan masing-masing sistem sosial ini jelas berbeda satu sama
lain dan masing-masing menguasai menguasai bagian-bagian tertentu
dari masyarakat bersangkutan. Perbedaan ini oleh Boeke disebut
sebagai teori ekonomi ganda (dualistic economics).Dualistic economic yang
terdapat dalam masyarakat pedesaan, termasuk petani, menyebabkan
petani di pedesaan mengalami mixed ethic, pada satu sisi berorientasi
pada etika sosial-kolektif dan pada sisi lain harus berorientasi kepada
keuntungan yang maksimal. Kedua etika tersebut dimainkan sebagai
upaya membangun sistem penghidupan yang berkelanjutan.
Selanjutnya, Geertz3 (1963) mengungkapkan “involusi pertanian”
dan “kemiskinan berbagi” sebagai strategi nafkah petani Jawa. Involusi
pertanian menurut Geertz merupakan respon petani Jawa yang khas
terhadap tekanan penduduk secara kultural, sosial, ekonomi, dan
ekologi. Respon dilakukan dengan pendekatan intensifikasi lahan karena
jumlah penduduk Jawa berkembang dengan cepat dan sudah membuat
seluruh Jawa terisi penuh sehingga Jawa tidak lagi memberikan
kemungkinan bagi penduduk pedesaan untuk meneruskan strategi
static expantion. Intensifikasi yang dilakukan petani Jawa bukan dengan
cara menciptakan atau mengimpor organisasi ekonomi dan teknologi
baru—seperti yang dilakukan intensifikasi modern ala Barat—, tetapi
dengan cara memadati sebidang sawah dengan makin banyak tenaga
kerja sehingga melampaui titik utilitas.

3 Geertz adalah seorang ahli antropologi sosio-kultural. Kajian lapangan


di Jawa dilakukan Geertz ketika Indonesia baru saja merdeka (1953-1954) dan ide
memodernkan masyarakat negara-negara yang baru merdeka sedang marak di Barat.

Sosiologi Reflektif, Volume 9, No. 1, Oktober 2014 |5


Ali Yansyah Abdurrahim

Pemadatan ini dimungkinkan oleh berbagai faktor. Pertama, ciri


ekologi sawah yang mampu menyerap tenaga kerja tanpa menurunkan
produktivitas itu sendiri. Kedua, ciri-ciri kultural Jawa yang suka hidup
tolong menolong dan rukun sesama tetangga. Ketiga, ciri-ciri masyarakat
pedesaan Jawa yang tidak terbagi dalam atas kelas tuan tanah dan
proletar (atau bisa dikatakan tidak berkelas). Keempat, ciri-ciri ekonomi
masyarakat pedesaan Jawa yang mampu menekan keperluan hidup
mereka ke paras yang lebih rendah. Faktor (ciri) kedua sampai keempat
apabila digabung akan menghasilkan situasi shared poverty.
Tjondronegoro (1978) mengemukakan bahwa beragam lembaga
dibentuk oleh komunitas kecil di tingkat dusun/kampung atas dasar
sukarela dan menurut kebutuhan bersama. Kelembagaan tersebut
berhasil membuat ikatan yang solid (sodality) dan mencapai berbagai
tujuan bersama, termasuk mempertahankan atau membangun sistem
penghidupan yang berkelanjutan. Hayami dan Kikuchi (1982) juga
juga membuktikan bahwa kelembagaan (pranata)sosial-ekonomilokal
sebagaisocial mechanism telah mencegah polarisasi akibat pengaruh
modernisasi. Hayami dan kikuchi membuktikan kelembagaan
bawon4danceblokan5 yang dilakukan dalam pola hubungan antara petani
yang sederajat (egal, simetris) maupun dalam pola hubungan patron-
klien yang asimetris terbukti telah menjadi strategi nafkah yang ampuh.
White (1980) dan Sajogyo (1991) mengemukakan bahwa
untuk mempertahankan/membangun sistem penghidupannya,
masyarakat pedesaan melakukan strategi pola nafkah ganda, yaitu
mengkombinasikan aktivitas pertanian dan non-pertanian. Menurut
keduanya, strategi nafkah ganda yang dilakukan oleh lapisan petani
atas (berlahan luas) dan lapisan petani bawah (berlahan sempit) terdapat
perbedaan. Menurut White (1991), (i) petani berlahan “cukup luas”
punya surplus yang dapat ditanam ke dalam pertanian kembali ataupun
ke usaha non pertanian pada taraf yang cukup “luas/besar”. Bagi lapisan
ini berlakuu “modal menarik modal”, sedangkan (ii) bagi petani lahan
sempit, surplus nyata yang kurang hanya mampu menopang usaha
non-pertanian dengan modal kecil yang menghasilkan imbalan kecil
pula.Pergeseran pola nafkah ke non pertanian bisa disebabkan oleh
“dorongan ke luar” yang disebabkan imbalan di pertanian lebih kecil
atau “tarikan ke dalam” yang disebabkan imbalan di usaha non pertanian

4 Bawon adalah sistem bagi hasil bagi buruh panen


5 Ceblokan adalah sistem kontrak upah borongan. Perbedaannya dibanding
dengan bawon adalah adanya tambahan pekerjaan, misal menanam padi dan
menyiangi, namun ada jaminan bagi buruh untuk ikut dalam tahap panen.

6| Sosiologi Reflektif, Volume 9, No. 1, Oktober 2014


Strategi Nafkah Ganda “Bentukan” Rumah Tangga Pedesaan Pesisir ....

lebih besar. Sedangkan, menurut Sajogyo, (i) rumah tangga di lapisan


atas menunjukkan strategi akumulasi (dari surplus pertanian mampu
membesarkan usaha di luar pertanian dan sebaliknya); (ii) rumah tangga
di lapisan menengah punya strategi konsolidasi (bertahan), potensi
berkembang masih rendah; dan (iii) rumah tangga di lapisan bawah
punya strategi survival (“utamakan selama”). Jika tidak waspada akan
berhadapan dengan kesulitan. Sajogyo juga juga mengemukakan pola
nafkah berganda juga bisa bisa ditentukan oleh jumlah semua imbalan/
pendapatan semua anggota rumah tangga pencari nafkah, termasuk
pencari nafkah yang belum dewasa.
Scoones (1998) menggolongkan strategi nafkah masyarakat
pedesaan setidaknya ke dalam tiga kelompok. Pertama, rekayasa
sumber nafkah pertanian, yang merupakan usaha pemanfaatan sektor
pertanian agar lebih efektif dan efisien, baik melalui penambahan input
eksternal berupa tenaga kerja atau teknologi (intensifikasi) maupun
dengan memperluas lahan garapan pertanian (ekstensifikasi). Kedua,
pola nafkah ganda yang merupakan usaha yang dilakukan dengan cara
mencari pekerjaan selain sektor pertanian untuk menambah pendapatan
(diversifikasi nafkah). Ketiga, rekayasa spasial merupakan usaha yang
dilakukan dengan cara mobilisasi/perpindahan penduduk baik secara
permanen maupun sirkular (migrasi) dalam rangka mencari sumber
nafkah (livelihood sources) baru di tempat lain.
Marzali (1993) menyatakan bahwa dalam membangun sistem
nafkahnya, masyarakat pedesaan selalu dilandasi oleh tindakan ekonomi.
Menurutnya, tindakan ekonomi masyarakat pedesaan bisa dibagi ke
dalam dua pendekatan utama, yaitu pendekatan moral ekonomi dan
pendekatan rasional. Pendekatan moral ekonomi berpendapat bahwa
tindakan ekonomi masyarakat pedesaan berlandaskan pada prinsip
dasar: the norm of resiprocity (adat saling tolong) dan the right of subsitence
(hak untuk hidup pada paras subsistens). Adat saling tolong menolong
berfungsi sebagai pedoman moral yang utama dalam hubungan sosial,
sedangkan hak untuk hidup pada paras subsisten menetapkan batasan-
batasan hidup minmal yang harus terpenuhi bagi anggota masyarkat
desa dalam rangka hubungan saling tolong menolong. Kedua prinsip
ini sesuai dengan keperluan hidup manusia dalam ekonomi pertanian
pedesaa; keduanya terbagi ke dalam berbagai pola hubungan sosial
yang nyata, yang kekuatan dan keabadiannya tergantung pada kekuatan
moral penduduk dalam menyatakan rasa setuju dan rasa tidak setuju
kepada setiap tanda perubahan.

Sosiologi Reflektif, Volume 9, No. 1, Oktober 2014 |7


Ali Yansyah Abdurrahim

Sementara itu, pendekatan pilihan rasional yang dipelopori


Popkin (1979) dan Gary Becker (1976). Popkin beranggapan bahwa
petani adalah homo economicus atau rational actor yang cenderung
berkalkulasi secara ekonomi dan egois demi peningkatan kemakmuran
sendiri tanpa terlalu peduli dengan moral pedesaan. Menurut Gary
Becker (1976) dalam karyanya yang berjudul The Economic Approach
to Human Behaviour, berperilaku rasional berarti memaksimalkan
keajegan perilaku yang diantisipasi atau diharapkan akan membawa
imbalan hasil di masa akan datang. Dalam hal ini rasional berarti :
(i) aktor melakukan perhitungan pemanfaatan atau preferensi dalam
pemilihan suatu bentuk tindakan; (ii) aktor juga menghitung biaya bagi
setiap jalur perilaku; (iii) aktor berusaha memaksimalkan pemanfaatan
untuk mencapai pilihan tertentu.
Selain, didasari oleh moral ekonomi atau pilihan rasional secara
parsial, beberapa penelitian membuktikan bahwa masyarakat pedesaan
menjalankan kombinasi keduanya dalam waktu yang bersamaan.
Boeke (1953) mengemukakan bahwa dualistic economic terdapat dalam
masyarakat pedesaan. Masyarkat pedesaan menjalankan mixed ethic
(moral ekonomi dan tindakan rasional), pada satu sisi berorientasi
pada etika sosial-kolektif dan pada sisi lain harus berorientasi kepada
keuntungan yang maksimal. Kedua etika tersebut dimainkan sebagai
upaya membangun sistem penghidupan yang berkelanjutan.
Hayami dan Kikuchi (1981) menemukan fakta bahwa di satu
sisi, petani Jawa memiliki “adat saling tolong” dan “hak untuk hidup
pada paras subsiten” dan di sisi lain, petani Jawa juga adalah petani
rasional yang cenderung berkalkulasi secara ekonomi dan egois demi
peningkatan kemakmuran sendiri. Yang unik adalah meskipun petani
Jawa mempunyai sisi petani rasional, mereka tetap menjalankan adat
saling tolong menolong dengan petani lain dan tetap peduli dengan para
tetangga. Mereka tidak mementingkan keuntungan pribadi dibanding
kepentingan bersama (masyarakat desa). Keduanya berjalan secara
serasi. Bertindak sesuai dengan norma masyarakat adalah cara yang
paling tepat untuk menghemat biaya pengelolaan usaha tani. Seorang
petani pemilik tanah yang rasional tentu akan lebih suka mempekerjakan
tetangganya atas dasar hubungan tolong menolong dan patron-klien
daripada mengambil buruh tani di pasar bebas, meskipun upah untuk
tetangga adalah sedikit lebih mahal. Hal ini dilakukan karena biaya
pengawasan atas kemalasan dan kecurangan buruh lebih rendah apabila
menggunakan tenaga tetangga daripada buruh bebas. Namun demikian,

8| Sosiologi Reflektif, Volume 9, No. 1, Oktober 2014


Strategi Nafkah Ganda “Bentukan” Rumah Tangga Pedesaan Pesisir ....

hal ini tidak selamanya berjalan dengan mulus, semuanya tergantung


pada situasi dan kondisi pada waktu dan tempat tertentu
Apabila, kita menengok pada perkembangan sosiologi ekonomi
sebagai sebuah ilmu, konsep/teori tindakan ekonomi merupakan
sumbangan pemikiran dari Weber dan Granoveter seperti yang dikutip
Sumarti (2007). Sebagai sebuh tindakan sosial, maka tindakan ekonomi
selalu melibatkan makna dan memperhatikan kekuasaan (sumbangan
Weber), dan melekat dalam jaringan hubungan interpersonal antar
aktor (sumbangan Granovetter), serta didorong oleh kepentingan
sebagai kekuatan mendasar yang didefinisikan secara sosial (sumbangan
Swedberg).
Kembali pada permasalahan dan pertanyaan penelitian ini,
bagaimanakah dengan tindakan ekonomi masyarakat pedesaan pesisir?
tindakan ekonomi apa yang melandasi rumah tangga pedesaan pesisir
membangun sistem nafkahnya dengan kegiatan destructive and
illegal fishing? Apakah dilandasi moral ekonomi, tindakan rasional,
atau kombinasi keduanya?Kemudian, sejauh mana rekayasa strategi
nafkah ganda “bentukan” pemerintah melalui pengembangan MPA-
COREMAP mampu membangun sistem nafkah yang berkelanjutan?
Rekayasa strategi nafkah ganda ini seolah ingin membuktikan
pendapat Scoones (1998) bahwa strategi nafkah pedesaan bisa dilakukan
melalui rekayasa sumber nafkah dan pola nafkah ganda serta pendapat
Dharmawan (2007) bahwa perubahan sistem penghidupan (livelihood
system) masyarakat pedesaan di Indonesia lebih disebabkan oleh dampak
dari pelaksanaan pembangunan (intervensi pemerintah), berbeda
dengan di negara-negara lain yang sistem penghidupan masyarakatnya
berubah disebabkan oleh perubahan setting sosio-ekologis. Dengan
strategi nafkah ganda “bentukan” ini pemerintah ingin membangun
sistem nafkah yang berkelanjutan (sustainable livelihood). Chambers
dan Conway (1992) mengemukakan bahwa sustainable livelihood harus
mampu: (i) beradaptasi dengan shock dan tekanan; (ii) memelihara
kapabilitas dan asset-aset yang dimiliki (modal alami, modal fisik,
modal SDM, dan modal sosial, dan modal finansial); dan (iii) menjamin
penghidupan untuk generasi berikutnya.

Sosiologi Reflektif, Volume 9, No. 1, Oktober 2014 |9


Ali Yansyah Abdurrahim

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Sumber : Pendekatan Livelihood System dalam Dharmawan, 2007

Makalah ini menggunakan data dari hasil Studi Data Dasar Aspek
Sosial-Ekonomi Terumbu Karang Tahun 2007 dan Benefit Monitoring
Evaluation (BME) Sosial-Ekonomi Terumbu Karang yang dilakukan
tahun 2007, 2009, dan 2011 oleh CRITC-COREMAP bekerjasama dengan
Pusat Penelitian Kependudukan (PPK-LIPI) di mana penulis adalah
anggota peneliti studi tersebut. Tiga studi yang dilakukan tahun 2007,
2009, dan 2011 menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif
dalam mengumpulkan data. Pendekatan kuantitatif ditujukan untuk
memperoleh data di tingkat rumah tangga yang dilakukan melalui
survai terhadap 100 rumah tangga sampel yang sama di Desa Malang
Rapat dan Gunung Kijang dengan menggunakan kuesioner yang telah
dipersiapkan.
Pengumpulan data dengan pendekatan kualitatif dilakukan
melalui wawancara terbuka (semi struktur), Focus Group Discussion
(FGD), dan observasi. Wawancara mendalam dilakukan terhadap

10 | Sosiologi Reflektif, Volume 9, No. 1, Oktober 2014


Strategi Nafkah Ganda “Bentukan” Rumah Tangga Pedesaan Pesisir ....

narasumber yang ada di tingkat kabupaten dan di tingkat desa.


Narasumber di tingkat kabupaten, di antaranya, adalah Ketua PIU
(pengelola COREMAP di tingkat Kabupaten), koordinator masing-
masing komponen dan penyuluh lapangan COREMAP II untuk
Kawasan Gunung Kijang. Informasi dan data yang dikumpulkan pada
tingkat kabupaten dintaranya adalah data dan informasi yang berkaitan
dengan pengelolaan program, kegiatan yang telah dan akan dilakukan
dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program dan kegiatan.
Sementara itu, narasumber di tingkat desa meliputi nelayan, pengurus
LPSTK, ketua dan anggota Pokmas, perangkat pemerintahan desa,
pemuka atau tokoh masyarakat dan anggota masyarakat lainnya yang
mengetahui tentang potensi dan pengelolaan terumbu karang di Desa
Malang Rapat dan Gunung Kijang.

Pilihan Rasional sebagai Landasan Rumah tangga Pedesaan Pesisir


dalam Membangun Sistem Nafkah
Pengumpulan data yang dilakukan dengan pendekatan kualitatif
menemukan fakta bahwa kegiatan penangkapaan ikan menggunakan
bahan beracun (potas/bius/sianida) dan bahan peledak (bom)
dilakukan sejak tahun 1990-an seiring dengan meningkatnya permintaan
ekspor untuk pasar Singapura dan Hongkong. Dalam rangka memenuhi
target permintaan ekspor ikan hidup, masing-masing agen pengeskspor
ini bekerjasama dengan beberapa pengumpul ikan (tauke) yang ada di
di tingkat desa atau pulau. Tauke yang ada di desa-desa memanfaatkan
nelayan setempat untuk menangkap ikan hidup dengan menggunakan
berbagai cara, salah satunya dengan menggunakan bius. Untuk
memenuhi target pengumpulan ikan, tauke memberikan pinjaman
armada (perahu), alat dan bahan untuk menangkap ikan dan modal
untuk melaut seperti bahan bakar dan ransum (makanan dan rokok)
kepada nelayan setempat dengan syarat hasil tangkapan harus dijual
kepada tauke dengan harga yang ditentukan oleh tauke. Selain itu, tauke
juga menanggung kebutuhan sehari-hari nelayan seperti beras dan lauk-
pauk yang pembayarannya diperhitungkan pada saat nelayan menjual
hasil tangkapnya kepada tauke. Kondisi ini membuat nelayan berlomba
untuk mendapatkan ikan sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara,
termasuk menggunakan potas, bius dan sianida nelayan berupaya
memenuhi target tangkapan. Hal ini dilakukan karena umumnya
mereka telah terjerat hutang kepada tauke untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari.

Sosiologi Reflektif, Volume 9, No. 1, Oktober 2014 | 11


Ali Yansyah Abdurrahim

Hal yang hampir serupa juga terjadi untuk perdagangan ikan


segar. Untuk memenuhi kebutuhan ekspor ikan segar, para pekspor juga
bekerjasama dengan para tauke di tingkat desa. Untuk memenuhi target
tangkapan, para nelayan menggunakan bom. Ironisnya walaupun hasil
tangkapan cukup baik, tetapi kehidupan nelayan masih tetap dalam
kondisi memprihatinkan karena harga dikendalikan oleh tauke. Dengan
demikian kerusakan karang sebagai akibat dari penggunaaan bahan
dan alat tangkap yang merusak tidak dengan sendirinya meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.

Gambar 2. Kondisi Terumbu Karang di Perairan


Desa Malang Rapat

Sumber: http://regional.coremap.or.id/bintan/galeri_foto,2013
Temuan ini berhasil mengidentifikasi tindakan ekonomi
yang dilakukan masyarakat pedesaan pesisir—dalam hal ini adalah
nelayan—dilandasi oleh pilihan rasional. Temuan ini mencermikan
nelayan sebagai homo economicus atau rational actor yang cenderung
berkalkulasi secara ekonomi dan egois demi peningkatan kemakmuran
sendiri tanpa terlalu peduli dengan moral pedesaan dan etika
lingkungan; membuktikan teorinya Popkin (1979). Tindakan nelayan
yang (i) melakukan perhitungan pemanfaatan atau preferensi dalam
pemilihan suatu bentuk tindakan; (ii) menghitung biaya bagi setiap
jalur perilaku; dan (iii) berusaha memaksimalkan pemanfaatan untuk
mencapai pilihan tertentu membuktikan tesisnya Gary Becker tentang

12 | Sosiologi Reflektif, Volume 9, No. 1, Oktober 2014


Strategi Nafkah Ganda “Bentukan” Rumah Tangga Pedesaan Pesisir ....

pilihan rasional.
Yang menarik dari temuan ini adalah ternyata konsep patron-
klien antara tauke dan nelayan yang asimetris menjadikan nelayan
terus tergantung dan “dipaksa” untuk melakukan aktivitas livelihood
yang destruktif dan illegal. Ironisnya, walaupun hasil tangkapannya
cukup baik, namun nelayan sebagai klien tetap saja miskin dan tauke
sebagai patron menjadi semakin kaya. Hal ini tentunya mematahkan
konsepnya Hayami dan Kikuchi (1982) yang menyatakan bahwa pola
hubungan patron-klien yang asimetris terbukti telah menjadi strategi
nafkah yang ampuh.
Apabila dibandingkan dengan aktivis nafkah lainnya di daratan,
ternyata tindakan ekonomi semacam ini juga terjadi pada kegiatan
tambang galian pasir dan batu granit. Adanya permintaan pasir dan batu
granit dari Singapore mereplikasi sistem patron klien yang kemudian
mendorong strategi nafkah yang destruktif dan illegal. Masyarakat yang
juga sebagian besar adalah nelayan terjebak ke dalam lobang yang sama.
Mereka terdorong untuk melakukan aktivitas eksploitasi penambangan
yang dstruktif dan sebagian besar illegal. Akibatnya, kondisi ekologi
menjadi rusak. Daratan yang tadinya tertutup oleh tutupan pepohonan
berubah menjadi kubangan besar. Selain menyebabkan risiko tanah
longsor dan merubah suasana ekologi, hal ini juga menyebabkan daerah
serapan air menjadi rusak.

Gambar 3.Lahan Bekas Galian Pasir dan Batu Granit


di Gunung Kijang

Sumber: Koleksi Pribadi Abdurrahim, 2011

Sosiologi Reflektif, Volume 9, No. 1, Oktober 2014 | 13


Ali Yansyah Abdurrahim

Kegagalan MPA-COREMAP dalam Membangun Sistem Nafkah


yang Berkelanjutan
Pengembangan MPA dan Perkembangannya: Baru Tiga Tahun Dikembangkan,
Lebih dari Separuhnya Sudah Layu.
COREMAP diimplentasikan di Desa Malang Rapat dan Gunung
Kijang mulai tahun 2006. Namun, baru pada tahun 2008/2009,
pengembangan kegiatan MPA dilakukan di kedua desa ini. Kegiatan
yang bisa dijadikan MPA adalah seluruh kegiatan usaha, baik usaha baru
maupun usaha lama, seperti usaha budidaya, pengolahan, pemasaran,
dan usaha lainnya yang dapat memberikan penghasilan tambahan dan
dikembangkan sesuai dengan kondisi sumber daya yang ada di wilayah
tersebut. Ide kegiatan MPA bisa berasal dari masyarakat maupun
penawaran dari PIU COREMAP II. Ide yang dirasakan cocok serta sesuai
dengan kondisi sumber daya lokal dan kemampuan kemudian dibuat
proposal dan selanjutnya diajukan oleh kelompok masyarakat (Pokmas)
melalui LPSTK kepada PIU COREMAP II. Selanjutnya, apabila disetujui,
pokmas yang mengajukan kegiatan MPA akan diberikan bantuan oleh
PIU COREMAP II melalui LPSTK. Bantuan yang diberikan bisa berupa
pinjaman modal, pemberian alat dan perlengkapan, pemberian bibit
atau benih, pelatihan, penyuluhan, pendampingan, pengawasan, dan
pemasaran. Jenis bantuan yang diberikan untuk setiap kegiatan MPA
berbeda-beda sesuai dengan jenis kegiatan dan kesepakatan yang dibuat.

Tabel 1. Pokmas Penerima/Pelaksana dan Jenis Kegiatan MPA


di Desa Gunung Kijang dan Desa Malang Rapat

Pokmas Penerima/Pelaksana Jenis Pemanfaatan/ Usaha


LPSTK Gunung Kijang
Pokmas Sotong Karang (UEP) Pembesaran kepiting bakau
Pokmas Ikan Tembakul (UEP) Pembesaran kepiting bakau
Pengembangan budidaya ikan karang
Pokmas Kuda Laut (UEP)
di KJT
Pengembangan budidaya ikan karang
Pokmas Ketam Renjong (UEP)
di KJT
Pokmas Truno Jaya (UEP) Budidaya air tawar (budidaya lele)
Pembuatan Kerupuk Ikan dan
Pokmas Agar-agar (Jender)
pengolahan rumput laut

14 | Sosiologi Reflektif, Volume 9, No. 1, Oktober 2014


Strategi Nafkah Ganda “Bentukan” Rumah Tangga Pedesaan Pesisir ....

LPSTK Desa Malang Rapat


Pokmas Tenggiri (UEP) Wisata bahari
Pengembangan budidaya ikan karang
Pokmas Ketam (UEP)
di KJT
Pengembangan budidaya ikan karang
Pokmas Kerapu Hitam (UEP)
di KJT
Pokmas Sembilang (UEP) Budidaya air tawar (budidaya lele)
Pokmas Truno Tunggal (UEP) Budidaya air tawar (budidaya lele)
Kerajinan lidi dan pengolahan rumput
Pokmas Ubur-ubur (Jender)
laut
Pokmas Teripang (Jender) Pengolahan ikan asin
Pembuatan rempeyek kacang dan kue
Pokmas Penyu (Jender)
kering
Pokmas Gemi (Jender) Pembuatan keripik ubi
Pokmas Bandeng (Jender) Pembuatan kerupuk ikan
Pokmas Silaturahmi (Jender) Pembuatan kerupuk ikan
Pokmas Duyung (Jender) Pembuatan kerupuk ikan
Pokmas Kenanga (Jender) Pembuatan kerupuk ikan
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Bintan, 2011

Dari ke-19 Pokmas tersebut hanya 9 pokmas yang masih


menjalankan aktivitasnya, itupun beberapa sudah mulai tertatih-tertatih,
10 pokmas lainnya sudah layu, bahkan beberapa sudah ada yang mati. Di
Desa Gunung Kijang, hanya satu pokmas yang masih bertahan dengan
kondisi baik, yaitu pokmas trunojoyo. Sedangkan, di Desa Malang
Rapat, 8 pokmas yang masih bertahan adalah pokmas-pokmas jender
dengan kegiatan pengolahan kerupuk ikan, dodol rumput laut, ikan
asin, rempeyek, dan kue-kue. Satu pokmas dengan kegiatan budidaya
lele juga menunjukkan perkembangan cukup baik.

Kenaikan Pendapatan Rumah Tangga yang Semu


Data statistik pendapatan anggota Pokmas yang menerima dana
MPA tahun 2009 dan 2011 menunjukkan adanya kenaikan pendapatan
rumah tangga dan per-kapita. Pendapatan rata-rata rumah tangga
anggota Pokmas yang menerima dana MPA selama periode 2009-2011
mengalami peningkatan dari Rp 1.518.090 menjadi Rp 1.683.350 atau
telah terjadi peningkatan sebesar 10,89 persen. Sedangkan pendapatan
per-kapitanya meningkat sebesar 27,7 persen. Pada tahun 2009

Sosiologi Reflektif, Volume 9, No. 1, Oktober 2014 | 15


Ali Yansyah Abdurrahim

pendapatan per-kapita sebesar Rp 394.930 naik menjadi Rp 504.390


pada tahun 2011. (Tabel 2).

Tabel 2. Statistik Pendapatan Rumah Tangga Penerima Dana Mata


Pencaharian Alternatif Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang,
Kabupaten Bintan

Nilai (Rp)
No Jenis Pendapatan
2009 2011
1 Pendapatan per kapita/bulan 394.930 504.390
2 Rata-rata pendapatan rumah tangga/bulan 1.518.090 1.683.350
3 Median 875.000 1.443.330
4 Pendapatan rumah tangga minimum/bulan 183.330 726.660
5 Pendapatan rumah tangga maksimum/bulan 5.525.000 4.200.330
N 24 25
Sumber: Data Primer, BME Sosial-Ekonomi COREMAP, 2009
Data Primer, BME Sosial-Ekonomi COREMAP, 2011

Temuan dan hasil survey rekayasa strategi nafkah ganda


“bentukan” melalui pengembangan MPA-COREMAP berjalan tidak
sesuai dengan harapan. Baru tiga tahun dikembangkan, hanya 9 pokmas
dari total 19 pokmas yang masih bertahan dan melanjutkan program
pengembangan MPA. Pemberian modal finansial dalam bentuk dana
bergulir; modal fisik dalam bentuk bantuan alat produksi dan sarana-
prasaran; dan modal manusia melalui berbagai pelatihan ternyata
tidak cukup membangun sistem livelihood yang berkelanjutan. Modal
sosial berupa trust, jaringan, dan kelembagaan yang bisa menggerakan
aktivitas pokmas secara berkelanjutan relatif tidak ada. Tradisi buruk
kelembagaan ekonomi berupa sistem patron-klien antara tauke dan
nelayan yang memarjinalkan nelayan masih menghantui dan melekat
dalam tindakan nelayan dan rumah tangga anggota pokmas. Pimpinan
pokmas (ketua, sekretaris, dan bendahara) merasa menjadi patron
“baru” yang bisa seenaknya mengatur keuangan dan anggotanya,
sebaliknya anggota pokmas tidak mempunyai trust terhadap pimpinan
pokmas yang mereka anggap hanya memikirkan dan memperkaya
dirinya sendiri. Hal ini terus memelihara tindakan ekonomi yang
berdasarkan pendekatan pilihan rasional, di mana secara egois mereka
akan berusaha mengambil keuntungan sebanyak-sebanyaknya dengan
cara apapun dan memperhitungkan setiap aktivitas yang akan/harus

16 | Sosiologi Reflektif, Volume 9, No. 1, Oktober 2014


Strategi Nafkah Ganda “Bentukan” Rumah Tangga Pedesaan Pesisir ....

dilakukan secara ekonomis. Akibatnya, banyak bantuan yang akhirnya


masuk kantong sendiri dan anggota pun akan selalu mendahulukan
upah/keuntungan sebelum aktivitas pokmas dilakukan: “tidak ada
upah/keuntungan tidak bekerja”.
Tradisi patron-klien yang “memanjakan” nelayan dalam
pemasaran hasil tangkapan ikannya ternyata juga terbawa dalam
pengembangan MPA. Pokmas-pokmas yang layu dan gagal selalu
menyalahkan kesulitan pemasaran hasil produksi dari kegiatan MPA-
nya. Mereka bingung harus dijual ke mana dan ke siapa. Selain, itu modal
alam juga mempunyai pengaruh yang cukup kuat dalam menentukan
keberhasilan maupun kegagalan kegiatan MPA. Keramba atau jaring
apung atau tancap yang digunakan sebagai media pembesaran seringkali
rusak oleh terjangan angin dan gelombang. Melihat kondisi ombak dan
perairan harusnya memang kegiatan budidaya/pembesaran keramba
jaring apung/tancap dihindari saja.
Kemudian, bagaimana dengan beberapa pokmas yang masih
bertahan dan melanjutkan aktivitasnya? Ada dua kelompok pokmas
yang berhasil, yaitu pokmas jender (pokmas perempuan) dan pokmas
UEP lele. Pokmas jender relatif mempunyai dasar yang kuat, yaitu
sodality dan arisan. Pokmas jender dibangun berdasarkan kedekatan
jarak dan emosi setiap anggota pokmas. Hal ini sesuai dengan teori
kelembagaan “sodality” Tjondronegoro. Selain itu, sebagian besar
pokmas jender juga dibangun berdasarkan kesamaan dan kedekatan
hubungan yang selama ini telah dibangun melalui arisan. Hal ini sesuai
dengan masukan Sajogyo terhadap program IDT: sebaiknya basis
kelompok dalam program IDT berdasarkan kelompok yang sudah ada,
seperti kelompok arisan, sehingga di dalam anggota kelompok sudah
mempunyai trust yang cukup tinggi.

Sosiologi Reflektif, Volume 9, No. 1, Oktober 2014 | 17


Ali Yansyah Abdurrahim

Gambar 4. Temuan dan Analisis berdasarkan Kerangka


Pemikiran Penelitian

Sumber : Modifikasi dari Pendekatan Sistem Penghidupan


(Dharmawan), 2007

Sementara itu, pokmas UEP yang menjalankan usaha lele relatif


bisa lebih bertahan karena didukung oleh modal alam yang baik, yaitu
berupa sumber mata air tawar yang baik; pengalaman sebagai petani
yang berasal dari Jawa menjadi sumber modal manusia yang kuat; dan
adanya modal sosial bawaan sebagai etnis Jawa. Hal inilah yang menjadi
perbedaan antara kedua kelompok pokmas dengan pokmas lainnya
sehingga kedua kelompok pokmas ini relatif lebih bertahan.
Pertanyaaan yang datang kemudian adalah bagaimana kalau
bantuan pemerintah dalam hal ini COREMAP berakhir? Apakah
kegiatan MPA sebagai strategi nafkah bagi masyarakat pedesaan
pesisir akan bertahan dan berlanjut menjadi sistem livelihood yang
berkelanjutan? Prediksi saya, secara umum tidak. Pokmas akan berhenti
dan bubar dengan meninggalkan berbagai persoalan. Satu dua kegiatan
MPA mungkin akan tetap jalan, tetapi bukan dijalankan oleh kelompok.
Kegiatan MPA tersebut hanya dijalankan oleh mantan anggota pokmas

18 | Sosiologi Reflektif, Volume 9, No. 1, Oktober 2014


Strategi Nafkah Ganda “Bentukan” Rumah Tangga Pedesaan Pesisir ....

yang memang sejak awal mempunyai semangat dan landasan tindakan


ekonomi yang ingin menjadikan MPA sebagai strategi nafkah ganda
rumah tangganya atau pimpinan pokmas yang memang dari awal
sudah mendapatkan “kemudahan akses” dibanding dengan anggota
lainnya. Untuk kegiatan MPA lele, saya prediksi akan lanjut secara
kelompok meskipun pada akhirnya jumlah anggota kelompok akan
berkurang atau terbagi dan pembagian kerja yang jelas berdasarkan
tindakan pilihan rasional yang lebih jelas: “siapa yang kerja, dia yang
dapat upah/bagi hasil.”
Kemudian, bagaimana dengan peningkatan pendapatan yang
terjadi-bukankan bisa menjadi petunjuk bahwa kegiatan MPA memberi
manfaat ekonomi dan apabila dilihat dari pendekatan tindakan pilihan
rasional akan mendorong terbangunnya sistem livelihood yang
berkelanjutan?

Tabel 3.Statistik Pendapatan Rumah Tangga Pokmas dan Non-


Pokmas di Kawasan Gunung Kijang, Tahun 2011

Rumah Rumah
Pendapatan Tangga Tangga Non
Pokmas Pokmas
Per-kapita 504.390 557.570
Rata-rata Rumah Tangga 1.683.350 1.817.960
Median 1.443.330 1.600.000
Minimum Rumah Tangga 726.660 279.330
Maksimum Rumah Tangga 4.203.330 8.150.000
Sumber: Data Primer, BME Sosial-Ekonomi COREMAP, 2009
Data Primer, BME Sosial-Ekonomi COREMAP, 2011

Memang kalau dilihat sepintas, hal ini bisa menjadi keyakinan.


Namun, apabila diperhatikan dan dianalisis lebih dalam, saya merasa
pesimis. Pertama, kenaikan pendapatan rata-rata rumah tangga anggota
pokmas jumlahnya sangat sedikit, bahkan lebih kecil apabila inflasi
diperhitungkan, padahal harga-harga bahan pokok dan bahan konsumsi
mengalami kenaikan lebih dari itu. Kedua, pendapatan rata-rata rumah
tangga pokmas masih lebih kecil dari pendapatan rata-rata rumah tangga
non-pokmas (lihat Tabel 3). Kembali pada tindakan ekonomi pilihan
rasional, mereka tentunya lebih banyak yang akan memilih kembali
pada kegiatan nafkah utama (atau bahkan tunggal) yang bisa jadi adalah
kegiatan penangkapan ikan yang eksploitatif, destruktif, dan ilegal.

Sosiologi Reflektif, Volume 9, No. 1, Oktober 2014 | 19


Ali Yansyah Abdurrahim

Penutup
Kesimpulan dari makalah ini adalah (i) tindakan pilihan rasional
merupakan tindakan ekonomi yang melandasi rumah tangga pedesaan
pesisir membangun sistem nafkahnya (ii) rekayasa strategi nafkah
ganda “bentukan” pemerintah melalui pengembangan MPA sebagian
telah terbukti gagal dan diprediksi tidak akan mampu membangun
sistem nafkah yang berkelanjutan. Tidak adanya modal sosial yang
kuat dan adanya (ingatan)tradisi patron-klien antara tauke dan nelayan
yang asimetris menjadikan nelayan terus tergantung dan “dipaksa”
untuk melakukan aktivitas utamayang destruktif dan illegal terus
menghantui dan melekat dalam aktivitas utamarumah tangga pedesaan
pesisir. Saran dan masukan untuk kebijakan pemerintah ke depan
adalah (i) pemerentah harus mengidentifikasi dan memperhatikan
tindakan ekonomi yang melandasi rumah tangga pedesaan sebelum
melaksanakan kebijakan/program dan (ii) pemerintah juga harus
menggali modal sosial dan merekonstruksikannya dalam kebijakan/
program yang dilakukan, terutama apabila kebijakan/program tersebut
berkaitan dengn sistem livelihood di pedesaan.

Daftar Bacaan
Boeke, J.H. 1953. Economics and Economic Policy of Dual Societies as
Exemplified by Indonesia, Tjeen Willink and Zoon, Haarleem.
Booth, A. 1988. Agricultural Development in Indonesia, Allen/Unwin,
Sidney.
CRITIC-COREMAP Bintan. Galeri Foto Kegiatan COREMAP Kabupaten
Bintan. http://regional.coremap.or.id/bintan/galeri_foto/ .
CRITC-LIPI. 2011. Hasil BME Ekologi Wilayah Indonesia Bagian Barat.
Paper dipresentasikan pada Workshop Nasional CRITC,
Jakarta 2-3 November 2011.
Damsar. 1997. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Dharmawan, A.H. 2007. Sistem Penghidupan dan Nafkah Pedesaan:
Pandangan Sosiologi Nafkah (Livelihood Sociology) Mazhab Barat
dan Mazhab Bogor .Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi,
Komunikasi, dan Ekologi Manusia | Agustus 2007, p 169-192
Departemen Kelautan dan Perikanan-Republik Indonesia. 2004.
Sambutan Direktur Jendral Pesisir dan Pulau-Pulau kecil Pada
Peluncuran Proyek Pengelolaan Dan Rehabilitasi Terumbu Karang
dan Pemantapan Proyek Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut.
http://www.dkp.go.id/ content.php?c=1530.

20 | Sosiologi Reflektif, Volume 9, No. 1, Oktober 2014


Strategi Nafkah Ganda “Bentukan” Rumah Tangga Pedesaan Pesisir ....

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan. 2011a. Laporan


Penyuluh COREMAP II Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Bintan April 2011. Bintan: Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Bintan.
--------------------------. 2011b. Status Sarana Sosial di Lokasi COREMAP
Kabupaten Bintan Tahun 2004-2009. Bintan: Dinas Kelautan
dan Perikanan Kabupaten Bintan.
Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan
dan Perikanan. 2005. Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu
Karang. Jakarta: DKP
----------------------------. 2007. Pedoman Umum Pengelolaan Berbasis
Masyarakat COREMAP II. Jakarta: DKP
Geertz, C. 1970. Involusi Pertanian. Jakarta : Bharata Karya Aksara,.
1970.
Hayami, Y. dan M. Kikuchi. 1987. Dilema Ekonomi Desa, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta.
Kasryno, F., (ed.). 1984. Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan
Indonesia.
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Mantra, I.B. 1981. Population Movements in Wet Rice Communities,
GMU Press, Yogyakarta.
Marzali, Amri. 1993. Jurnal Ilmu-ilmu Sosial 4. Hlm39-51. PAU-IS-UI
dan Pt Gramedia Pustaka
Pemerintahan Desa Malang Rapat. 2010. Monografi Desa Malang Rapat
Tahun 2010. Bintan: Kantor Desa Malang Rapat.
Pemerintahan Desa Gunung Kijang. 2010. Monografi Desa Gunung
Kijang Tahun 2010. Bintan: Kantor Desa Gunung Kijang
Penny, D.H. dan M. Ginting. 1984. Pekarangan, Petani, dan Kemiskinan.
GMU Press/Yayasan Agro Ekonomika, Yogyakarta, 1984.
Purnomo, Agustina M, Arya Hadi Dharmawandan Ivanovich Agusta.
2007. Transformasi Struktur Nafkah Pedesaan: Pertumbuhan
“Modal Sosial Bentukan” dalam Skema Pengelolaan Hutan
Bersama Masyarakat di Kabupaten Kuningan. Sodality: Jurnal
Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia |
Agustus 2007, p 193-216
Romdiati, H. dan E. Djohan, 2009. Perkembangan Pendapatan
Masyarakat COREMAP II Desa Malang Rapar dan Gunung
Kijang, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan. Jakarta:
Pusat Penelitian Kependudukan LIPI.
Shand, R.T. (ed.). 1986. Off-farm Employment in The Development of
Rural Asia, Canberra, ANU.

Sosiologi Reflektif, Volume 9, No. 1, Oktober 2014 | 21


Ali Yansyah Abdurrahim

Sinaga, R. dan B. White. 1980. Beberapa Aspek Kelembagaan di


Pedesaan Jawa dalam Hubungannya dengan Kemiskinan
Struktural, dalam Alfian dkk (ed.): Kemiskinan Struktural:
Suatu Bunga Rampai.
Sumarti, 2007. Kemiskinan Petani dan Strategi Nafkah Ganda Rumah
tangga Pedesaan. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi,
Komunikasi, dan Ekologi Manusia | Agustus 2007, p 217-232
Tjondronegoro, S.M.P. 1984. Social Organization and Planned
Development in Rural Java. ISEAS, Oxford UP. Singapore.
Tulak, Paulina P., 2009. Arya Hadi Dharmawan, dan Bambang Juanda.
2009.Struktur Nafkah Rumah tangga Petani Transmigran
: Studi Sosio-Ekonomi di Tiga Kampung di Distrik Masni
Kabupaten Manokwari. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi,
Komunikasi, dan Ekologi Manusia | Agustus 2009, hlm. 203-
220.
Widayatun dan Ali Yansyah Abdurrahim. 2011. Pengelolaan Terumbu
Karang dan Kesejahteraan Masyarakat Kawasan Gunung
Kijang, Kabupaten Bintan. Laporan Hasil Bme Sosial-Ekonomi.
Puslit Kependudukan LIPI.
Widiyanto, Arya Hadi Dharmawan, dan Nuraini W. Prasodjo. 2010.
Strategi Nafkah Rumah tangga Petani Tembakau di Lereng
Gunung Sumbing :Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Desa
Campursari, Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung.
Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan
Ekologi Manusia | April 2010, hlm.91-114

22 | Sosiologi Reflektif, Volume 9, No. 1, Oktober 2014

Anda mungkin juga menyukai