Anda di halaman 1dari 225

Dr. Ujang Komarudin, M.Si - asrul raman, m.

sI

sistem sosial dan politik indonesia


sistem sosial dan politik
indonesia
Sistem sosial dan politik Indonesia, tidak bisa dilepaskan dalam
konteks pembangunan. Term pembangunan menyatakan adanya
perubahan positif dalam sebuah kondisi masyarakat. Dalam konteks
perubahan sosial, pembangunan diasosiasikan sebagai perluasan
kebebasan manusia dan kehidupan yang layak. Namun, dalam
kenyataannya pembangunan adalah proses yang penuh ketidakadilan,
sistem sosial dan politik
memicu konflik, memiliki konsekuensi yang bersilangan, sehingga
tidak bisa dijadikan acuan secara universal. indonesia
Buku Sistem Sosial dan Politik Indonesia ini merupakan suatu bentuk
ikhtiar dari penulis untuk memberikan gambaran dan peta sosial
politik di Indonesia yang didasari teori-teori yang berkembang saat
ini. Diharapkan dengan adanya buku ini dapat memudahkan para
mahasiswa mengerti dan memahami fenomena-fenomena yang terjadi
di Indonesia.

Buku ini berisikan topik-topik pilihan untuk melatih mahasiswa


menganalisis fenomena yang terjadi di ranah sosial politik Indonesia,
berupa konflik politik, peran perempuan dalam politik, bagaimana
politik Islam mempengaruhi perpolitikan Indonesia. Selain itu, buku
ini juga mengupas perjalanan ideologi politik yang telah mewarnai

Dr. Ujang Komarudin, M.Si


kehidupan berbangsa dan bernegara, bagaimana kebijakan politik dan
pembangunan politik.

PT. Pencerah Generasi Antarbangsa


Eightyeight at Kasablanka 35th Floor
Jl. Casablanca Raya Kav. 88
Jakarta 12870 Indonesia
sistem sosial dan politik
indonesia

PT Pencerah Generasi Antarbangsa

-i-
Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta

1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukkan perubahan


sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan (2)
dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau
dednag paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun dan/atau paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima milyar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual


kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait
sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

- ii -
sistem sosial dan politik
indonesia

Dr. Ujang Komarudin, M.Si - asrul raman, m.si

PT Pencerah Generasi Antarbangsa


- iii -
- iv -
Untuk orang-orang yang telah berjasa besar dalam hidupku,
terimalah karya sederhana ini.

-v-
SISTEM SOSIAL DAN POLITIK INDONESIA
Copyrights @2020 oleh Dr. Ujang Komarudin, M.Si dan Asrul Raman, M.Si

Editor: M.R. Muchlis


Desain Sampul: M.R. Muchlis

x +214 hlm; 14,8 cm x 21 cm


ISBN: 978-623-91630-2-0

ENLIGHTS
PT Pencerah Generasi Antarbangsa
Eightyeight@Kasablanka Lantai 35
Jalan Casablanka Raya Kav.88, Jakarta 12870
Telepon 021.80640526
Email: info@enlights.co
www.enlights.co

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.

- vi -
Daftar Isi

Daftar Isi vii


Kata Pengantar ix
Pengantar Penerbit x

BAB I KONFLIK POLITIK

1.1. Pendekatan Kelompok Identitas dalam Manajemen Konflik 2


1.2. Pendekatan Kapabilitas dalam Memahami Pembangunan 31
1.3. Menguatnya Kelas Menengah Desa Pasca UU Desa 37

BAB II PEREMPUAN DAN POLITIK

2.1. Analisis Teori Gender 43


2.2. Perempuan dan Pembangunan 49
2.3. Ekofeminisme 56

BAB III POLITIK ISLAM

3.1 Pemikiran Politik Islam 61


3.2 Kekhalifahan dalam Islam 69

BAB IV IDEOLOGI POLITIK

4.1 Pemikiran tentang Civil Society 79


4.2 Komunisme dan Transisi Demokrasi di Indonesia 93

- vii -
BAB V KEBIJAKAN POLITIK

5.1. Sejarah Berdirinya Orde Baru 109


5.2. Hubungan Sipil dan Militer di Era Reformasi 125
5.3. Analisa Agenda Setting dalam UU Desa 146

BAB VI PEMBANGUNAN POLITIK

6.1. Pembangunan dalam Perspektif Ahli 171


6.2. Pembangunan dan Kesejahteraan 179

BAB VII PENUTUP

7.1 Penutup 195

Daftar Pustaka 200


Indeks 208
Biodata Penulis 213

- viii -
Kata pengantar

Penulisan buku ajar merupakan keniscayaan bagi para dosen, untuk


membantu para mahasiswa dalam proses belajar mengajar di perguruan
tinggi. Namun banyak dosen yang tak memiliki waktu, untuk fokus
dan berkarya dalam menulis materi perkuliahan yang sudah diajarkan
puluhan tahun. Pemahaman dan penguasaan materi yang dimiliki oleh
para dosen, sudah tak diragukan lagi. Namun untuk menuliskannya
dalam sebuah buku ajar, masih banyak menemui kendala. Salah satu
kendalanya yaitu tak memiliki banyak waktu, karena urusan dan
kesibukan di dalam dan luar kampus.

Buku ini hadir, untuk membantu mahasiswa di kampus dan pihak


umum, agar bisa memahami sistem sosial dan politik Indonesia
dengan enjoy. Buku ajar ini, ditulis sebagai bahan ajar penulis dalam
mengampu mata kuliah Sistem Sosial dan Politik Indonesia, pada
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Al-
Azhar Indonesia (UAI).

Menulis buku ajar bukanlah perkara mudah. Butuh keseriusan


dan ketekunan. Berbicara di depan mahasiswa jauh lebih mudah,
jika dibandingkan menulis buku. Namun dengan tekad yang kuat,
alhamdulillah buku ajar ini bisa diterbitkan guna kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan.
Depok, 02 Januari 2020

Ujang Komarudin

- ix -
pengantar penerbit

Puji syukur kami panjatkan pada Allah SWT, atas anugerah, karunia,
nikmat, dan inayah-Nya buku ajar yang disusun dan ditulis oleh
saudara Ujang Komarudin bisa diterbitkan di penerbit kami. Suatu
kebanggaan, buku ajar ini bisa terpublish luas ke mahasiswa dan
masyarakat. Karena bagaimana pun, mahasiswa dan publik perlu
disuguhkan, dengan materi-materi buku ajar yang berkualitas.
Buku ajar saudara Ujang Komarudin ini, secara substansi dan materi
menarik untuk dibaca dan dikaji. Ulasannya sederhana, membumi, dan
mudah dipahami. Jarang dosen yang bisa membuat buku ajar, dengan
mengedepankan penulisan gagasan yang simpel. Biasanya dosen jika
membuat buku ajar, dengan bahasa yang tinggi, melangit, dan sulit
dipahami. Namun buku ajar ini, enak untuk dibaca bagi mahasiswa
dan masyarakat umum.
Selamat pada saudara Ujang Komarudin, yang sudah mempublikasi
buku ajar ini. Semoga bermanfaat, bukan hanya bagi para mahasisa
yang mengambil mata kuliah Sistem Sosial dan Politik Indonesia di
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Al-
Azhar Indonesia (UAI). Tetapi juga bermanfaat, bagi seluruh rakyat
Indonesia. Dan semoga buku ini juga menjadi amal jariah bagi
penulisnya.

Jakarta, 02 Januari 2020


Yasmi Andriansyah

-x-
Sistem sosial dan politik
indonesia
BAB

I
konflik politik

1.1. Pendekatan Kelompok Identitas dalam Manajemen


Konflik

Pengaturan konflik di pelbagai masyarakat sangat berbeda-


beda, tergantung pada variabel-variabel sosial dan budaya di dalam
masyarakat yang bersangkutan, di dalam masyarakat industrial
yang kompleks. Pemaksaan digunakan secara konsisten, biasanya
menunjukan adanya kesenjangan sosial di antara para warga
masyarakat. Di dalam masyarakat yang stratifikasinya belum
berkembang dengan baik, muncul lebih sering teknik-teknik
lain untuk mengatur dan menyelesaikan konflik.1 Tidak hanya
konflik namun civil violence pun sering terjadi, terdapat beberapa
kelompok yang sengaja bersifat opresif terhadap kelompok lainnya,
bahkan kepada anak-anak maupun perempuan, merusak kehidupan
masyarakat dengan cara yang tidak manusiawi seperti membakar
perkampungan dan serta melakukan propaganda simbolik dengan
menebar issu dukun santet.
Nilai-nilai kebudayaan yang menipis tergambarkan dengan
banyaknya konflik yang terjadi, seyogyanya apabila memiliki

1
Frank Mc Glynn and Arthur Tuden; Pendekatan Antropologi pada Perilaku
Politik, Universitas Indonesia (UI Press), 2000, hal.61.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

suatu kebudayaan yang sama harus saling menguatkan satu -3-

dengan yang lainnya, karena kebudayaan masyarakat terbentuk


tidak hanya ada ingatan dan nilai-nilai bersama, melainkan juga
institusi dan praktik-praktik yang sama serta konvensi bersama.2
Pembentukannya sangat berkaitan dengan proses modernisasi:
pertama, melibatkan penyebaran diseluruh suatu masyarakat dengan
kebudayaan yang sama, termasuk bahasa yang standar, diwujudkan
dalam lembaga ekonomi, politik dan pendidikan bersama, kedua,
mencerminkan kebutuhan akan tingkat solidaritas yang tinggi di
dalam masyarakat modern, dengan identitas bersama yang kuat
sehingga akan melakukan pengorbanan satu dengan yang lainnya.
Namun kebudayaan bersama tersebut ditarik secara sempit dengan
budaya desa setempat sehingga tidak melindungi kebudayaan yang
lebih besar seperti budaya suku mbojo. Dalam hal lain, identitas
kelompok terkecil pun sangat banyak tumbuh dan bahkan bersifat
ekslusive, dan ada juga kelompok minoritas yang di diskriminasi
sehingga menjadi batu sandungan yang memerlukan penanganan
khusus dalam rangka menciptakan kohesi dan/atau inklusi sosial
yang dicita-citakan.
Minoritas merupakan kelompok-kelompok dalam
suatu negara yang berbeda dari kelompok dominan dalam hal
kebudayaan, agama, atau bahasa. Kelompok tersebut biasanya
ingin mempertahankan dan merawat identitas kultural, linguistik,
dan agama mereka.3 Atau minoritas adalah sekelompok kecil orang

2
Will Cymlicka, Kewarganegaraan Multikultural: Teori Liberal Mengenai Hak-
hak Minoritas, LP3ES, 2003, hal. 114.
3
Humphrey. dalam Morsink, Johannes. 1999. Cultural Genocide, the Universal
Declaration, and Minority Rights. Human Rights Quarterly 21, Johns Hopkins
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

-4- dalam masyarakat atau negara yang berbeda dari populasi utama
berdasarkan aspek ras, agama, bahasa, dan persuasi politik.4
Terdapat 2 (dua) kriteria utama yang menggambarkan esensi
minoritas, yakni (1) minoritas memiliki posisi yang inferior di
hadapan populasi sisa dalam wilayah tertentu, baik dalam jumlah
maupun kekuasaan; dan (2) Dalam beberapa cara, minoritas berbeda
dari yang lain. Kedua ciri tersebut menekankan bahwa minoritas
tidak eksis dalam haknya sendiri, melainkan dalam relasi dengan
mayoritas atau kumpulan minoritas lainnya.5 Dengan demikian,
minoritas merupakan hasil dari konstruksi sosial dan politik dalam
relasinya dengan unsur masyarakat lain.6
Minoritas sosial (social minority) menjadi salah satu bagian
yang menghiasi spektrum terminologi “minoritas” secara umum.
Dan tak terbantahkan jika minoritas sosial sering mendapatkan
perlakuan diskriminatif dari mayoritas dalam konteks tertentu.
Diskriminasi sosial (social discrimination) berdasarkan
pengalaman dan pemaknaan subyek minoritas. Diskriminasi sosial
adalah pembedaan sikap dan perlakuan terhadap sesama manusia
berdasarkan kedudukan sosialnya, definisi ini menggambarkan 2

University Press, pp. 1009-1060. Hal. 1013.


4
Oxford Dictionary. dalam Grimsgaard, Tuva. 2014. From Revolution to
Constitution: Minority Protection in Egypt’s Constitutions since the Arab Spring.
Thesis. Blindern: University of Oslo. Hal. 4.
5
Ben-Dor, G. 1999. Minorities in the Middle East: Theory and Practice. Dalam
Bengio, O & G. Ben-Dor (eds). 1999. Minorities and the State in the Arab World.
Colombia: Lynne Rienner Publishers. Hal. 1.
6
Fortman. dalam Grimsgaard, Tuva. 2014. From Revolution to Constitution:
Minority Protection in Egypt’s Constitutions since the Arab Spring. Thesis. Blindern:
University of Oslo. Hal. 4.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

(dua) elemen penting, yakni (a) diskriminasi berarti prasangka dan -5-

perlakukan berbeda, (b) diskriminasi mencerminkan pembatasan


yang bersifat politis dan ekonomis terhadap minoritas.7
Dalam berbagai cara yang berbeda, minoritas cenderung
ingin tampil heroik dari kebiasaan mayoritas, minoritas tersebut
lebih kental dengan non religiusitas8. Mereka menjadi bagian
dari kelompok-kelompok pertalian yang dibentuk berdasarkan
konteksnya, bisa seperti kelompok anak muda yang gemar
mabuk-mabukan, aktivis yang suka memalak, kelompok main
kartu, atau kelompok penghobi bola. Kala kelompok-kelompok
pertalian itu saling berebut perhatian dan prioritas lebih, dan atau
mempertahankan kebiasaannya dari usilan kelompok lain, maka
kelompok tersebut memutuskan derajat kepentingan relatif yang
harus diberikannya pada masing-masing identitas, yang munculnya
bergantung pada konteks tersebut, terdapat dua persoalan yang
berbeda dalam hal ini9. Pertama, memahami bahwa identitas itu
secara mutlak bersifat majemuk, dan bahwa taraf kepentingan suatu
identitas tidak harus meniadakan kepentingan identitas lainnya.
kedua, seseorang harus mengambil pilihan secara tegas ataupun
tidak mengenai kepentingan relatif manakah yang harus diberikan,
sesuai konteksnya, diantara berbagai kesetiaan dan prioritas yang
mungkin saling berebut untuk diutamakan. Mengidentifikasi diri
dengan pihak lain bisa menjadi hal yang sangat penting untuk
hidup bermasyarakat, tanpa melakukan pengabaian identitas

Fox, Jonathan. 2007. Religious Discrimination: A World Survey. Journal of


7

International Affairs, Vol. 61, No. 1, pp. 47-68. Hal. 48-49.


Amartya Sen. Kekerasan dan Identitas, 2016, Hal 26.
8

ibid, Hal 27.


9
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

-6- diri dan kelompok yang berujung pada perilaku menampik atau
mengabaikan sama sekali pengaruh rasa berbagai identitas apapun
dengan orang lain.
Konflik yang terjadi di beberapa desa pada kabupaten Bima
sangat mengusik ketentraman hidup masyarakat, dengan sejarah
konflik antar desa yang panjang, yang dimulai dari budaya lokal
dinamakan ndempa menjadikan konflik sesuatu yang biasa. Sejarah
kekerasan yang terjadi tersebut tidak terlepas dari sebuah seni istana,
(Gulat: begoco dalam bahasa Mbojo) yang sering kali digelarkan
pada saat-saat khusus, baik di istana maupun di rumah seorang
pembesar kerajaan, olahraga tersebut rupanya keras dan sungguh-
sungguh “ada yang luka, ada yang rebah kematian dan ada yang
pingsan keluar darah”10. Dalam budaya modern, kebiasaan konflik
tersebut tidak bisa di abaikan tanpa kontrol dan kendali, baik oleh
masyarakat adat maupun oleh pemerintah.
Peran aktor sangat berpengaruh dalam konflik yang terjadi,
bisa jadi suatu aktor sebagai pemicu konflik ataupun sebagai juru
damai konflik. Aktor juga bisa dipandang sebagai provokator,
dalam beberapa konflik tersebut aktor tidak hanya terdapat di desa
yang berkonflik namun juga diluar desa yang berkonflik “triggers”,
aktor tersebut memiliki banyak afiliasi dengan berbagai kelompok
kepentingan, hal itu pun yang menjadi pemicu munculnya konflik
seperti di Dadibou dan Samili yang terjadi pada  2 Oktober 2012
dengan issu dukun santen, melakukan provokasi agar membunuh
dukun santen merupakan solusi yang dianggap seimbang
bagi sebagian kelompok masyarakat, tanpa menguji issu yang
10
Henri Chambert-Loir, dkk, Iman dan Diplomasi: Serpihan Sejarah Kerajaan
Bima, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2010, hal.41-42.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

berkembang dan juga tanpa melalui proses hukum, kecenderungan -7-

mengunakan hukum massal atau tindakan langsung tersebut


seringkali menjadi sumbu konflik yang paling efektif. Semua
konflik horizontal di Bima seperti konflik yang terjadi antara
Karumbu, Laju vs Tanjung Mas, Roi vs Roka, Ncera vc Soki, Sie
vs Tangga, Karumbu vs Rupe, Bajo vs Nggembe, Ngali vs Renda,
Godo vs Samili, Kalampa vs Risa dan beberapa konflik terbaru di
Lambu maupun Sape, harusnya mampu di deteksi dini oleh aktor-
aktor yang ada di daerah tersebut, baik pemerintah desa maupun
masyarakat sehingga bisa dicegah maupun diberikan solusi yang
tepat.
Dalam mereduksi konflik, mungkin banyak orang yang tidak
ingin terlibat karena takut dianggap memihak sehingga diperlukan
peran obyektif pemerintah dalam mencari solusi, seperti pihak
kepolisian, atau aparat keamanan lainnya. pada banyak desa di
bima, aktor tidak cukup kuat di inventarisir dan juga tidak cukup
kuat mengelompokkan diri maupun dilegitimasi oleh kelompok
dominan, kecenderungan legitimasi suatu aktor di dominasi oleh
kelompok kepentingan yang ingin menguasai sumber daya yang
ada di desa seperti para elit preman desa (pemburu rente), lembaga
kemasyarakatan desa (karang taruna), dan kelompok-kelompok
identitas lainnya. Berangkat dari uraian latar belakang masalah,
dapat dirumuskan pertanyaan yang hendak dicari jawabannya
melalui studi ini, yaitu: Bagaimanakah peran kelompok identitas
sebagai instrument managemen konflik?

Tujuan penelitian merupakan kumpulan pernyataan yang


menjelaskan sasaran-sasaran, maksud-maksud atau gagasan-
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

-8- gagasan umum diadakannya suatu penelitian. Adapun tujuan


penelitian ini adalah untuk:
1. Mengidentifikasi berbagai instrumen yang digunakan
dalam penanganan konflik.
2. Mendapatkan deskripsi dan realitas secara jelas terkait
konflik yang terjadi antara satu desa dengan desa yang
lainnya.
3. Memetakkan aktor yang terlibat dalam konflik serta aktor
yang terlibat sebagai juru damai.
4. Menjelaskan proses resistensi masyarakat terhadap
penanganan konflik yang dilakukan pemerintah
Kabupaten Bima.

Adapun manfaat penelitian ini antara lain:


1. Memberikan deskripsi terkait konflik yang terjadi dan
pengembangan resolusi konflik melalui instrumentasi
Peran Kelompok Identitas.
2. Mengetahui adanya proses penanganan konflik berbasis
kelompok identitas.

Dalam penelitian ini juga digunakan beberapa literature


review yang dijadikan acuan dan komparasi terhadap fokus
penelitian yang akan dijelaskan dalam tulisan ini. Seperti penelitian
yang dilakukan oleh Richard G.Dillon, dalam penyelesaian ritual
dalam proses hukum Meta’, hukum meta terdapat pada Republik
Persatuan Kamerun dan digunakan secara sangat luas pada
tahun 1900-an sebagai suatu cara penyelesaian konflik dengan
ritual, kepercayaan tentang kekuatan dan bahaya supernatural
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

memberikan landasan bagi penyelesaian konflik lewat ritual -9-

Meta’ sehingga perlu diberikan sebelum pembahasan tentang


penyelesaian ritual itu sendiri, yang penting dari kepercayaan
tersebut adalah gagasan (ide) tentang ndon. Ndon adalah suatu
keadaan bahaya supernatural atau kerawanan terhadap kemalangan
yang disebabkan secara supernatural. Jenis pertama ndon secara
tipikal terjadi ketika ketentuan moral yang penting dilanggar oleh
kelompok kekerabatan atau komunitas, seperti adanya tukang sihir,
seorang pria yang berkelahi dengan saudara dari keturunan ayahnya,
atau berzinah dengan istri orang maka akan mendatangkan ndon.
Dalam kasus seperti ini, yang diutamakan adalah pernyataan pihak
yang disakiti hatinya, dan melakukan pengaduan yang dinamakan
njom (pernyataan kata-kata yang benar), sebuah kata yang kuat
secara supernatural dalam banyak konteks lainnya. potensi njom
dianggap bergantung kepada beberapa faktor, termasuk kebenaran
pernyataan, kesungguhan pelanggaran, kandungan pengaduan, dan
status pihak pengadu. Penyelesaian konflik dengan supranatural
tersebut masih banyak dilakukan pada desa-desa adat di Indonesia.
Penelitian kedua dari Tesis yang berjudul “Manajemen
Konflik dalam Kasus Pertanahan di Kabupaten Labuhan Batu”
(Studi Kasus PT. Grahadura Leidong Prima dengan Masyarakat
Desa Air Hitam Kecamatan Kualuh Hulu dan Masyarakat Desa
Sukarame Kecamatan Kualuh Leidong) menjelaskan bahwa
penyebab terjadinya konflik pertanahan yaitu ketidaksesuaian luas
areal dalam pemberian hak guna usaha, penyimpangan prosedur
dalam kegiatan pembebasan tanah, ketidakjelasan batas tanah,
tumpang tindih kepemilikan dan sebagainya sehingga pemerintah
melakukan manajemen konflik terhadap penyelesaian masalah
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 10 - pertanahan tersebut dengan melakukan pendekatan konsiliasi,


mediasi dan arbitrasi. Tesis lain yang berjudul “Organisasi
sebagai Sarana Manajemen Konflik Common Pool Resources”
(Kasus Pengelolaan Konflik Nelayan di Pantai Depok, Kabupaten
Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) dibahas mengenai
manajemen konflik yang digunakan oleh organisasi 45 dengan
membolehkan (enabling) nelayan andon untuk mengambil ikan
di pantai dan melarang (constraining) dalam memanfaatkan
lahan pantai untuk kegiatan produktif sedangkan masyarakat asli
dibolehkan untuk melakukan keduanya.
Beberapa riset sebelumnya menjelaskan tentang deskripsi
konflik yang terjadi, pengelolaan konflik dan juga resolusi konflik
yang dilakukan oleh beberapa stakeholder seperti pemerintah
contohnya pemerintah daerah, pihak yang berlaku sebagai mediator,
sedangkan dalam studi ini akan dibahas mengenai peran kelompok
identitas yang dalam aksi menggunakan Community Dispute
Responsibility (CDR) sebagai pengembangan resolusi konflik
antar desa (horizontal) di mana masyarakat yang tergabung dalam
komunitas-komunitas (identitas) yang bergerak dan melakukan
perjuangan memiliki peran penting dan memiliki preferensi arah
pengembangan resolusi konflik menurut mereka sendiri yang
kemudian menarik untuk diteliti.

Teori
1. Community Dispute Responsibility (CDR)

Community Dispute Responsibility (CDR) merupakan salah


satu mekanisme penyelesaian konflik atau sengketa secara alternatif.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

Proses penyelesaian konflik atau sengketa tersebut menggunakan - 11 -

cara-cara non litigasi atau di luar pengadilan. Cara-cara tersebut


biasanya selain biayanya murah juga berlangsung secara cepat
dan lebih fleksibel. Penyelesaian semacam ini dapat digunakan
sebagai solusi dan alternatif di tengah masyarakat saat kondisi
proses pengadilan sedang carut marut dan mulai dipertanyakan
akuntabilitas serta kredibilitasnya. Permasalahan terkait sengketa
ataupun konflik tidak dapat terlepas dari kehidupan bermasyarakat
karena sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Dapat
dikatakan sengketa terjadi antar sesama keluarga, rekan bisnis,
antar teman, suami-istri, dan sebagainya.11
“Like conflict, Alternative Dispute Resolution (ADR)
permeates our lives. Everyone engages in ADR everyday:
you negotiate with your co-worker about where to go to
lunch, you call in your neighbor to “mediate” as you and
your spouse try to reach agreement on what color to paint
the living room, you arbitrate by deciding whether your
son or your daughter will get the family car for the evening
based on the strength of their respective arguments.”12

Konflik dapat terjadi dalam kehidupan sederhana manusia


setiap harinya. Misalnya kita bernegosiasi dengan asisten kita
terkait di mana kita akan makan siang, kita bernegosiasi dengan

11
Widipto Setiadi. “Penyelesaian Sengketa melalui Alternative Dispute Resolution
(ADR)”, dalam http://www.legalitas.org/node/21.
12
Cathy A. Costantino, Christina Sickles Merchant. Foreword by William L. Ury.
“Designing Conflict Management Systems (A Guide to Creating Productive and
Healthy Organizations)”.
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 12 - anak saat mereka harus berkendara malam berikut dengan cara


mereka mempertahankan argumennya. Sengketa yang terjadi perlu
untuk dicari penyelesaiannya. Penyelesaian tersebut dapat melalui
dua cara yaitu litigasi (melalui pengadilan) maupun non litigasi (di
luar pengadilan).
Dalam bukunya, Cathy A. Costantino, Christina Sickles
Merchant menjelaskan bahwa terdapat enam prinsip untuk sistem
penyelesaian sengketa. Adapun enam prinsip tersebut digambarkan
pada gambar di bawah ini:

Pertama adalah fokus terhadap kepentingan. Hal ini berarti


setiap penyelesaian sengketa harus dimulai dengan proses (baik
negosiasi langsung atau melalui mediasi) di mana terdapat pihak
yang mencoba untuk memecahkan masalah dengan menggunakan
tawar menawar berbasis kepentingan.  Hal tersebut adalah cara
terbaik untuk menemukan solusi yang dapat memuaskan semua
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

pihak.  Hanya ketika cara tersebut tidak berhasil, kemudian dapat - 13 -

beralih ke proses berbasis hak (seperti arbitrasi) atau proses berbasis


kekuasaan (seperti pemilu). Kedua, pemenuhan hak-hak berbiaya
rendah dan dukungan kekuasaan.  Arbitrasi, voting dan protes
merupakan alternatif berbiaya rendah untuk pemenuhan hak-hak dan
kontes atau ajang kekuasaan. Meskipun hal tersebut lebih banyak
memerlukan biaya dibandingkan negosiasi, ketiga hal tersebut lebih
menekan biaya daripada melakukan ajudikasi maupun kekerasan.
Ketiga, membangun loop-back untuk negosiasi.  Strategi yang
berbasis hak-hak dan kekuasaan untuk menyelesaikan sengketa
jarang perlu dimainkan sampai akhir.  Sebaliknya, apabila telah
jelas siapa yang akan menang, pihak dapat kembali (yang Cathy
A. Constantino dan Sickles Merchant menyebutnya loop-back pada
negosiasi untuk mengembangkan solusi yang paling sesuai dengan
kebutuhan mereka, serta hak-hak mereka).  Sebuah contoh umum
dari proses loop-back tersebut adalah ketika pihak menyelesaikan
gugatan di luar pengadilan.  Dengan begitu, menjadi jelas pihak
yang akan menang, hal ini menguntungkan bagi kedua belah pihak
untuk menghindari biaya dan ketidakpastian litigasi lebih lanjut,
dan menegosiasikan solusi untuk sengketa mereka.
Keempat, membangun konsultasi sebelumnya, kemudian
feedback (umpan balik) setelahnya. Meningkatkan pembagian
informasi adalah strategi dasar dalam mengatasi semua
konflik.  Mekanisme konsultasi dan umpan balik di antara pihak
memberikan konsistensi dan metode pembagian informasi yang
dapat diandalkan. Kelima, pengaturan prosedur dalam urutan
biaya rendah hingga biaya tinggi. Sistem resolusi konflik biasanya
memiliki serangkaian langkah.  Jika seseorang memiliki keluhan
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 14 - atau konflik dengan orang lain atau suatu organisasi, hal pertama
yang harus dilakukan adalah mencoba menyelesaikannya sendiri,
dan kemudian mencari bantuan dari seorang pengacara, dan
sebagainya. Ury, Brett, dan Goldberg menyarankan bahwa dengan
mengatur prosedur penyelesaian sengketa dalam urutan biaya
rendah hingga ke biaya tinggi dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya eskalasi secara cepat. Meminimalkan kecenderungan ke
arah eskalasi cepat memiliki manfaat dalam mengurangi pertikaian
dan meningkatkan keyakinan pada kemampuan sistem untuk
menyelesaikan dasar konflik.
Keenam, perlunya pemenuhan motivasi, keterampilan, dan
sumber daya. Sebuah alternatif sistem dapat berfungsi hanya jika
orang masuk ke dalamnya.  Orang menciptakan kebiasaan, dan
hal ini merupakan batas limit untuk perubahan sistemik berbasis
luas.  Meskipun mungkin ada perlawanan aktif dari beberapa
kelompok terhadap sistem sengketa-resolusi baru, masalah yang
lebih besar adalah menyebar keterampilan, pengetahuan, dan
kebiasaan yang dapat memperkuat sistem baru.  Hal tersebut
merupakan tugas para elit dalam konflik, dan pihak ketiga sebagai
penengah untuk menyediakan sumber daya dan waktu yang
diperlukan untuk menghasilkan kerjasama dengan sistem baru.
Terdapat enam kategori yang menjadi pilihan dari Alternative
Dispute Resolution (ADR) yaitu: pencegahan (preventive),
negosiasi (negotiated), fasilitasi (facilitated), pencarian fakta
(fact finding), penasehat (advisory), imposed. Adapun penjelasan
kategori tersebut akan dijelaskan dalam gambar berikut ini:
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

- 15 -

Imposed ADR Preventive ADR


- binding arbitration
- ADR clauses
- Partnering

Advisory ADR: - Consensus building

- Early neutral evaluation - Negotiated rule making

- Private judging - Joint problem solving

- Summary jury trials


- Minitrials Negotiated ADR
- Nonbinding arbitration - Principled
- Positional
- Problem solving

Fact finding ADR
- Neutral expert fact finding
- Masters Facilitated ADR
- Magistrates - Mediated
- Conciliation
- Ombudsperson

Gambar 1. Dinamika teknik Alternative Dispute Resolution


(ADR)

Metode preventive digunakan untuk mendahului adanya


perselisihan, mekanisme penyelesaian sengketa tersebut diputuskan
terlebih dahulu oleh pihak untuk mengatur cara dan upaya
penanganan perselisihan atau konflik. Metode negosiasi termasuk
yang didasarkan pada kepentingan (juga dikenal sebagai prinsip
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 16 - saling menguntungkan, win-win solution), posisi (menang-kalah


didasarkan pada kekuasaan) dan pemecahan masalah (problem
solving) yaitu menyepakati masalah yang akan diselesaikan
serta menetapkan agenda penyelesaian masalah yang biasanya
menggunakan prinsip-prinsip metode tersebut. Metode fasilitasi
melibatkan pihak ketiga yang bersifat netral untuk membantu
pihak-pihak yang bersengketa untuk mencapai resolusi konflik
yang memuaskan pihak-pihak yang bertikai. Metode pencarian
fakta mungkin akan mengikat atau tidak mengikat tergantung
kesepakatan yang telah disetujui para pihak yang terlibat. Metode
advisory, ditandai dengan adanya keterlibatan pihak ketiga yang
bersifat netral (biasanya dipilih oleh pihak-pihak yang terlibat) yang
dapat mengulas aspek-aspek sengketa dan memberikan pendapat
atau nasehat untuk kemungkinan hasil yang dapat dicapai. Metode
terakhir adalah imposed di mana pihak ketiga membuat keputusan
yang mengikat terkait keuntungan atau manfaat dari sengketa.
Perhatian ke arah penyelesaian konflik berdasarkan community
based approach menjadi sebuah pilihan yang perlu dikembangkan.
Peralihan paradigma pengelolaan konflik dari pendekatan kekuasaan
menuju pendekatan komunitas pada awalnya harus melalui sebuah
perdebatan konseptual yang panjang. Misalnya oleh Thomas
Hobbes, salah satu pemikir yang menegaskan kapasitas masyarakat
dalam mengatur dirinya sendiri.
Penyelesaian konflik menggunakan Community Dispute
Responsibility (CDR) termasuk jenis penyelesaian sengketa
non litigasi karena putusannya di luar pengadilan dan bersifat
informal. Meskipun begitu, keputusan yang dihasilkan tetap
bersifat mengikat dan disepakati atas persetujuan masing-
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

masing pihak yang berkonflik. Cara paling mudah dan sederhana - 17 -


dalam menyelesaikan konflik adalah masing-masing pihak yang
berkonflik menyelesaikan konflik itu sendiri. Kemudian cara lain
yang dapat digunakan adalah menggunakan jalur formal yaitu
proses pengadilan dan jalur informal di mana Community Dispute
Responsibility (CDR) termasuk di dalamnya.
Community Dispute Responsibility (CDR) dapat dikatakan
sebagai konsep yang berbentuk penyelesaian konflik melalui proses
selain peradilan, melalui cara-cara yang sah menurut hukum baik
berdasarkan pendekatan konsensus seperti negosiasi, mediasi dan
konsiliasi maupun tidak berdasarkan konsensus seperti arbitrasi yang
berlangsung atas dasar pendekatan adversarial (pertikaian) yang
menyerupai proses peradilan sehingga menghasilkan adanya pihak
yang menang dan pihak yang kalah. Penyelesaian konflik secara
konsensus dilakukan dengan menekankan pada upaya musyawarah
mufakat, kekeluargaan, perdamaian dan sebagainya. Semacam
Alternative Dispute Resolution (ADR) atau dalam istilah Indonesia
diterjemahkan menjadi Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS),
CDR digunakan oleh masyarakat untuk memperoleh keputusan
dengan segala prosesnya dan berbagai macam cara sehingga
keputusan tersebut dapat diterima oleh masing-masing pihak yang
berkonflik. Dalam banyak permasalahan biasanya, orang lebih suka
mengusahakan suatu dialog (musyawarah) dan meminta pihak
ketiga, kepala desa atau suku untuk bertindak sebagai mediator
(perantara), konsiliator atau bahkan sebagai arbiter. Dalam hal ini
CDR dapat digunakan oleh komunitas-komunitas (identitas) yang
ada di masyarakat untuk memperoleh penyelesaian dalam suatu
konflik. Komunitas identitas masyarakat melakukan upaya untuk
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 18 - mendapatkan hak masyarakat yang aspirasinya disuarakan pada


komunitas tersebut.

2. Resolusi Konflik

Konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat


adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang
berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif
maupun pengaruh negatif13. Sedangkan teori sumber konflik seperti
yang dikemukakan Fisher14 adalah:
a. Teori hubungan masyarakat, yang menganggap bahwa
konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi,
ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok
yang berbeda dalam suatu masyarakat. Sasarannya yaitu
meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara
kelompok yang mengalami konflik, serta mengusahakan
toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima
keragaman yang ada di dalamnya.
b. Teori kebutuhan manusia, menganggap bahwa konflik
yang berakar disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia
(fisik, mental dan sosial) yang tidak terpenuhi atau
dihalangi. Hal yang sering menjadi inti pembicaraan
adalah keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi,
dan otonomi. Sasarannya adalah mengidentifikasi dan
mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak

13
Robbins R,Stephan, Organization Behavior, Prentice Hall, 2003
14
Simon Fischer and Co, Working With Conflict, Skills and Strategies for Action,
London-New York, 2000, hal 8-9.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

terpenuhi, serta menghasilkan pilihan-pilihan untuk - 19 -

memenuhi kebutuhan itu.


c. Teori negosiasi prinsip, menganggap bahwa konflik
disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan
perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak
yang mengalami konflik. Sasarannya adalah membantu
pihak yang berkonflik untuk memisahkan perasaan pribadi
dengan berbagai masalah dan isu dan memampukan
mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan
kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah
tetap. Kemudian melancarkan proses kesepakatan yang
menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.
d. Teori identitas, berasumsi bahwa konflik disebabkan
oleh identitas yang terancam, yang sering berakar pada
hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang
tidak diselesaikan. Sasarannya adalah melalui fasilitas
lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami
konflik, sehingga dapat mengidentifikasi ancaman dan
ketakutan di antara pihak tersebut dan membangun empati
dan rekonsiliasi di antara mereka.
e. Teori kesalahpahaman antarbudaya, berasumsi bahwa
konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara
komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda.
Sasarannya adalah menambah pengetahuan kepada pihak
yang berkonflik mengenai budaya pihak lain, mengurangi
stereotip negatif yang mereka miliki tentang pihak lain,
meningkatkan keefektifan komunikasi antar budaya.
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 20 - f. Teori transformasi konflik, berasumsi bahwa konflik


disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan
ketidakadilan yang muncul sebagai masalah sosial, budaya
dan ekonomi. Sasarannya adalah mengubah struktur
dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan
dan ketidakadilan termasuk kesenjangan ekonomi,
meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang
di antara pihak yang berkonflik, mengembangkan proses
dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan,
keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi,
pengakuan.
Sedangkan resolusi konflik merupakan bagian dari
manajemen konflik yang sangat penting. Selain resolusi konflik juga
terdapat pencegahan dan transformasi konflik. Ketiga hal tersebut
mempunyai peran penting dalam proses manajemen konflik. Teori
resolusi konflik dikembangkan dari teori atau pendekatan konflik
itu sendiri, banyak alternatif tentang resolusi konflik15, mulai dari
pemikiran klasik hingga pada pemikiran kontemporer. sedangkan
Fisher16 menjelaskan bahwa resolusi konflik adalah usaha menangani
sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru
yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang berseteru.
Sedangkan Bodine dan Crawford17 merumuskan beberapa macam
15
Allyn and Bacon, Boston Miall, Rambsbothan, Wood Haouse, dalam terjemahan
Satrio, Resolusi Damai Konflik Kontemporer, Raja Grapindo Persada, Jakarta, hal
7-33.
16
Simon Fischer and Co, Working With Conflict, Skills and Strategies for Action,
London-New York, 2000, hal 8-9.
17
Dalam T.S.Jones and D. Kmitta (Eds.), Conflict resolution education research
and evaluation. Washington, DC: United States Department of Education and
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

kemampuan yang sangat penting dalam menumbuhkan inisiatif - 21 -

resolusi konflik antara lain:


a. Kemampuan orientasi, yang meliputi pemahaman
individu tentang konflik dan sikap yang menunjukkan
anti kekerasan, kejujuran, keadilan, toleransi, harga diri.
b. Kemampuan persepsi, adalah suatu kemampuan seseorang
untuk dapat memahami bahwa tiap individu dengan
individu yang lainnya berbeda, mampu melihat situasi
seperti orang lain melihatnya (empati) dan menunda
untuk menyalahkan atau memberi penilaian sepihak.
c. Kemampuan emosi, mencakup kemampuan untuk
mengelola berbagai macam emosi, termasuk di dalamnya
rasa marah, takut, frustasi dan emosi negatif lainnya.
d. Kemampuan komunikasi, meliputi kemampuan
mendengarkan orang lain yaitu memahami lawan bicara,
berbicara dengan bahasa yang mudah dipahami dan me-
resume atau menyusun ulang pernyataan yang bermuatan
emosional ke dalam pernyatan yang netral atau kurang
emosional.
e. Kemampuan berfikir kreatif, meliputi kemampuan
memahami masalah untuk memecahkan masalah dengan
berbagi macam alternatif jalan keluar.
f. Kemampuan berfikir kritis, yaitu suatu kemampuan untuk
memprediksi dan menganalisis situasi konflik yang
sedang dialami.

the Conflict Resolution Education Network Delgado, R. 2001 hal 2


Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 22 - Resolusi konflik merupakan sebagai upaya transformasi


hubungan yang berkaitan dengan mencari jalan keluar dari suatu
perilaku konfliktual sebagai suatu hal yang utama18. Secara umum
penyelesaian konflik dapat dilakukan melalaui dua cara yaitu melalui
mekanisme pengadilan (litigation process) dan penyelesaian di
luar pengadilan (non litigation process). Pada hakekatnya resolusi
konflik dipandang sebagai upaya penanganan sebab akibat konflik
dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama
di antara kelompok-kelompok bermusuhan. Beberapa strategi
yang dilakukan untuk melakukan pengembangan resolusi konflik
antara lain yaitu konsiliasi di mana semua pihak berdiskusi dan
berdebat secara terbuka untuk mencapai kesepakatan tanpa ada
pihak-pihak yang mendominasi dan memonopoli pembicaraan
bahkan memaksakan kehendak19. Konsiliasi dilakukan dengan
mengidentifikasi masalah serta memahami fakta dan keadaan,
mendiskusikan masalah, merundingkan penyelesaian konflik dan
memahami kebutuhan masing-masing pihak sehingga dapat dicapai
kesepakatan yang disetujui satu sama lain. Kemudian mediasi di
mana kedua pihak mencari pihak ketiga sebagai mediator atau
penasehat namun rujukan atau nasehatnya tidak bersifat mengikat20.
Mediasi juga merupakan intervensi pihak ketiga dalam konflik
yang tujuannya membawa konflik pada suatu kesepakatan yang

Burton, John. 1990. Conflict: Resolution and Provention. New York: The
18

Macmillan Press Ltd.


Dahrendorf, Ralf. 1959. Class and Class Conflict in Industrial Society.
19

California: Standford University Press; Edisi Indonesia: Konflik dan Konflik


dalam Masyarakat Industri. 1986. Diterjemahkan oleh Drs. Ali Mandan. CV
Rajawali.
Ibid.
20
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

dapat diterima oleh masing-masing pihak dan konsisten dengan - 23 -

apa yang telah disepakati bersama. Kadang tidak jarang juga pihak
ketiga memihak salah satu yang berkonflik. Dalam pandangan lain,
Dahrendorf menjelaskan konflik sangat erat berkaitan dengan dua
hal yaitu otoritas atau kekuasaan dan kepentingan. Menurutnya
konflik merupakan akibat dari adanya ketimpangan dalam distribusi
kekuasaan yang dilakukan secara sistematis. Sementara otoritas
dan kepentingan merupakan dua hal saling berkaitan yang menjadi
pemicu terjadinya konflik. Kekuasaan telah melahirkan dua hal
yaitu yang berkuasa dan dikuasai, di antara dua hal tersebut muncul
dua hal berbeda yang saling bertabrakan kemudian menjadi pemicu
konflik21.
Terdapat istilah transformasi konflik22 secara lebih umum
dalam menggambarkan situasi secara keseluruhan. Pencegahan
Konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras.
Kemudian, Penyelesaian Konflik, bertujuan untuk mengakhiri
perilaku kekerasan melalui persetujuan damai. Sedangkan
Pengelolaan Konflik, bertujuan untuk membatasi dan menghindari
kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi
pihak-pihak yang terlibat. Tahap selanjutnya adalah Resolusi
Konflik, yaitu menangani sebab-sebab konflik dan berusaha
membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama diantara
kelompok-kelompok yang bermusuhan. Tahap terakhir adalah
Transformasi Konflik, mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan

21
George Ritzer, Modern Sociological Theory, fourth edition, New York, 2007, hal.
154-155.
22
Simon Fischer and Co, Working with Conflict, Skills and Strategies for Action,
London-New York, 2000, hal 7.
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 24 - politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif


dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif.
Tahapan-tahapan di atas merupakan satu kesatuan yang harus
dilakukan dalam mengelola konflik. Sehingga masing-masing
tahap akan melibatkan tahap sebelumnya misalnya pengelolaan
konflik akan mencakup pencegahan dan penyelesaian konflik.

Definisi Konseptual

Sebagai landasan pemahaman dan pedoman dalam upaya


memahami permasalahan penelitian secara umum berikut
penekanan beberapa variabel yang akan diteliti. Batasan konseptual
variabel yang digunakan adalah:
1. Identitas Sosial adalah suatu ikatan yang melegitimasi
kelompok tertentu dengan memperhatikan prilaku dan
keeratannya.
2. Konflik adalah suatu kondisi yang menunjukkan
pertentangan yang diakibatkan oleh adanya perbedaan
pandangan atau perspektif.
3. Manajemen Konflik adalah serangkaian aksi dan reaksi
baik dari pihak internal maupun eksternal konflik.
4. Resolusi Konflik adalah pengelolaan konflik dan
penyelesaian konflik yang dapat diterima oleh masing-
masing pihak.

Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian, dengan menggunakan metode Kualitatif,


karena mengeksplorasi pengalaman subjektif orang,
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

dan makna yang dihubungkan dengan pengalaman- - 25 -

pengalamannya, seperti indept interview dimana


memungkinkan peneliti dan informan mengakrabkan diri
untuk suatu data yang akan digali, sehingga memahami
logika argumen terwawancara dan pemikiran asosiatif
yang mendorong mereka pada kesimpulan tertentu. Oleh
karena itu metode kualitatif bagus untuk menangkap
makna, proses, dan konteks.23 Penelitian ini bersifat
studi kasus (case study), yakni hanya meneliti kasus
yang berhubungan dengan pendekatan identitas dalam
managemen konflik. Dalam penelitan ini, akan dibahas
kelompok identitas yang terlibat dalam konflik, serta
peran pemerintah dan kelompok kepentingan dalam
managemen konflik untuk resolusi seperti pemerintah
desa, pemerintah kecamatan, polisi sektor, komando
rayon militer, polisi resort, komando distrik militer, dan
lainnya.
2, Sumber Data, yang akan diambil yaitu data primer
merupakan data yang diperoleh langsung di lapangan
baik melalui wawancara kepada masyarakat. Data
sekunder merupakan data pendukung yang diperoleh dari
dokumen baik pribadi maupun resmi, buku, jurnal, modul,
laporan pertanggungjawaban baik dari instansi maupun
sebagainya. Sumber data yang ingin ditemukan dalam
penelitian ini adalah kondisi lingkungan dan setting atau
tempat di mana konflik berlangsung. Kemudian informan
23
Bryman, dalam Teori dan Metode dalam Ilmu Politik, David Marsh & Gerry
Stokker hal. 242.
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 26 - baik dari pihak komunitas masyarakat maupun pihak


lain yang terkait seperti lembaga adat dan pemerintah
setempat. Sumber data diperoleh secara bergulir atau
snow ball dari informan kunci yang telah peneliti
wawancarai sebelumnya. Penelitian diawali dengan
penggalian informasi dari tokoh-tokoh formal. Peneliti
juga menggunakan observasi untuk mengamati proses
interaksi sosial masyarakat dalam kelompok identitas
saat melakukan proses manajemen konflik berbasis
komunitas dengan instrumentasi CDR (Community
Dispute Responsibility) serta dokumen tertulis dan tidak
tertulis yang mendukung argumentasi. Peneliti tidak
berniat membatasi jumlah informan yang menjadi subjek
penelitian namun mementingkan ketercukupan data untuk
menjawab pertanyaan penelitian. Peneliti memutuskan
jumlah informan telah cukup dan tidak perlu ditambah
apabila terjadi pengulangan data.
3. Teknik Pengumpulan Data yang dilakukan dengan
cara a) Wawancara, Proses wawancara menggunakan
bantuan pedoman umum wawancara sehingga data
yang peneliti butuhkan dari informan tidak terlewatkan.
Dengan cara wawancara mendalam (in-depth interview).
Peneliti menggunakan bantuan alat perekam berupa voice
recorder untuk mendokumentasikan wawancara agar
tidak terdapat hambatan pada proses wawancara dengan
informan dalam penelitian. Pengamatan atau observasi
dalam penelitian ini menggunakan teknik observasi.
Yaitu 1) Observasi lapangan, Observasi dilakukan untuk
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

menggali informasi tidak tertulis dalam interaksi sosial - 27 -

antar para aktor yang terlibat di dalam aktivitas politik


informal seperti manajemen konflik berbasis kelompok
identitas. b) Dokumentasi, Dokumentasi dilakukan
dengan melihat atau menganalisa dokumen-dokumen
yang dibuat oleh subjek penelitian sendiri maupun oleh
orang lain terkait dengan subjek penelitian. Beberapa
fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk
dokumentasi. Sebagian besar data yang biasanya
tersedia adalah surat-surat, catatan atau dokumen harian,
laporan, foto dan sebagainya. Sifat utama data ini tidak
terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberikan
peluang pada peneliti untuk mengetahui hal-hal yang
pernah terjadi di waktu silam. c) Instrumen Penelitian,
berkaitan dengan proses collecting data (pengumpulan
data), peneliti membutuhkan instrumen sebagai alat bantu
penelitian. Adapun instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah: a. Pedoman Wawancara, digunakan
agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang
dari tujuan penelitian. Pedoman wawancaraini disusun
tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian tetapi juga
berdasarkan teori yang berkaitan dengan masalah yang
diteliti. b. Pedoman Observasi, digunakan agar peneliti
dapat melakukan observasi atau pengamatan sesuai tujuan
penelitian. Pedoman observasi disusun berdasarkan hasil
observasi terhadap perilaku subjek selama wawancara dan
observasi terhadap lingkungan atau setting wawancara
serta pengaruhnya terhadap perilaku subjek dan informasi
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 28 - yang muncul saat wawancara berlangsung. c. Alat


Perekam, Penggunaan kamera untuk tujuan dokumentasi
sekaligus menggunakan voice recorder untuk merekam
selama kegiatan wawancara berlangsung. Alat perekam
berguna sebagai alat bantu pada saat wawancara agar
peneliti dapat berkonsentrasi pada proses pengambilan
data tanpa harus banyak berhenti untuk mencatat
jawaban-jawaban dari subjek. Pada pengumpulan data,
alat perekam baru dapat digunakan setelah mendapat ijin
dari subjek penelitian untuk menggunakan alat tersebut
selama wawancara berlangsung. d. Teknik Analisis Data,
Setelah keseluruhan data yang diperlukan terkumpul,
untuk menjawab rumusan masalah maka data tersebut
perlu dianalisis dengan menggunakan teknik kualitatif.
Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam teknik
analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini sebagai
berikut: 1. Reduksi data dimaksudkan untuk memilih
dan memilah data mentah yang masih beragam untuk
dikelompokkan dalam pokok-pokok persoalan sesuai
fokus penelitian. Tujuannya agar data yang sama segera
terkelompok pada bagian yang relevan dan mudah
ditelusuri jika diperlukan. 2. Kemudian data data
yang tersusun secara sistematis di-display. Data-data
yang di-display bisa berupa tabel, matriks, grafik dan
sebagainya. Dengan demikian peneliti dapat mempelajari
data dengan mudah dan tidak terbebani oleh banyaknya
data. 3. Pengambilan kesimpulan atau verifikasi data
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

atas pertanyaan penelitian. Data-data yang telah disusun - 29 -

sedemikian rupa dikaitkan dengan pola, model, hubungan


kausalitas atau sebab akibat dan persamaan pendapat lain
akan muncul kesimpulan dari objek yang telah diteliti.

Proses analisa data dalam studi kasus tidak berbeda dengan


penelitian kualitatif lainnya24. Lebih lanjut Creswell menjelaskan
bahwa untuk studi kasus analisisnya terdiri dari deskripsi terinci
terkait kasus serta settingnya. Apabila suatu kasus menunjukkan
kronologis suatu peristiwa maka menganalisisnya memerlukan
banyak sumber data untuk menentukan bukti pada setiap fase
dalam evolusi kasusnya. Terlebih lagi untuk setting kasus yang
unik hendaknya informasi dianalisa untuk menentukan bagaimana
peristiwa terjadi sesuai dengan settingnya sehingga dengan
demikian data-data yang diperoleh dari lapangan kemudian
dideskripsikan secara terinci dengan terlebih dahulu menjelaskan
setting sosial historis dari peristiwa atau kasus yang menjadi objek
dalam penelitian ini.

Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan dipaparkan dalam lima bab yaitu:


Bab I merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar
belakang terjadinya konflik, deskripsi konflik yang terjadi
dan alasan pemilihan topik, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, literature review terkait

24
John W. Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing, Among Five
Traditions, 1998.
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 30 - manajemen konflik horisontal, kerangka teori, definisi


konseptual, metode penelitian dan sistematika penulisan
bab pada penelitian pendekatan kelompok identitas dan
manajemen konflik.
Bab II dalam bab ini akan dibahas secara lengkap terkait
deskripsi daerah penelitian, gambaran umum, profil
masyarakat serta kasus terkait kelompok identitas dan
manajemen konflik, gerakan sosial yang dilakukan
kelompok identitas serta konflik sosial yang terjadi dan
pihak-pihak atau aktor yang terlibat dan bertikai.
Bab III Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai hasil
penelitian untuk menjelaskan otoritas dan peran yang
dimiliki pihak yang terlibat, kemunculan kelompok
identitas di desa konflik
Bab IV menjelaskan terkait detail hasil penelitian lapangan
berdasarkan kerangka teori yang digunakan untuk
menjelaskan fenomena konflik yang terjadi kemudian
pemaparan manajemen konflik berbasis kelompok
identitas dan menganalisa upaya pengembangan
resolusi konflik yang dilakukan pihak kelompok
identitas dan pemerintah. Penjelasan mengenai elaborasi
pengembangan resolusi konflik dan transformasi konflik
serta manajemen konflik berbasis kelompok identitas
dengan background instrumentasi Community Dispute
Responsibility (CDR).
Bab V Kesimpulan dan Saran untuk menjawab rumusan
masalah yang telah disebutkan dalam Bab I. kesimpulan
dari hasil penelitian juga akan dihubungkan dengan
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

kerangka teori yang digunakan. Bab ini juga meliputi kritik - 31 -

terhadap teori yang digunakan jika memang temuan di


lapangan menunjukkan fenomena baru serta rekomendasi
maupun saran yang mungkin dapat digunakan pada
penelitian sejenis yang akan dilakukan selanjutnya.

Soal-soal

1. Mengapa konflik sering terjadi di masyarakat?


2. Apa faktor-faktor penyebab konflik?
3. Apa berbedaan konflik biasa dengan konflik politik?
4. Bagaimana cara mengatasi konflik di masyarakat?
5. Bagaimana manajemen kelompok identitas dalam
menyelesaikan konflik?

1.2 Pendekatan Kapabilitas dalam Memahami Pembangunan

Term pembangunan menyatakan adanya perubahan positif


dalam sebuah kondisi masyarakat. Dalam konteks perubahan
sosial, pembangunan diasosiasikan sebagai perluasan kebebasan
manusia dan kehidupan yang layak. Namun, dalam kenyataannya
pembangunan adalah proses yang penuh ketidakadilan, memicu
konflik, memiliki konsekuensi yang bersilangan, sehingga tidak
bisa dijadikan acuan secara universal (Shanmugaratnam 2001:
263). Ada daerah yang kemudian bisa mengakumulasikan kapital
dengan baik, memiliki kebebasan, tetapi pada saat yang sama juga
ada daerah yang masih dimarjinalkan, terdapat tekanan dari rezim
yang opresif dan konflik internal.
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 32 - Perdebatan mengenai pembangunan juga disampaikan oleh


Cowen dan Shenton (1996), Seers (1979), dan Sen (1993, 1999).
Poin perdebatannya antara lain mengenai apakah pembangunan
memiliki tujuan? Cowen dan Shenton membagi pembangunan
mendjadi intentional (yang memiliki tujuan) dan immanent
(yang ada/inheren). Cowen dan Shenton (1996) menjelaskan
pembangunan yang memiliki tujuan sebagai tindakan subjektif
melalui kebijakan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan,
sementara pembangunan inheren diartikan sebagai proses objektif
yang didorong oleh dinamika logika internal, atau bisa diartikan
sebagai pembangunan dari dalam. Pembangunan yang memiliki
tujuan akan mengompensasi kerusakan yang ditimbulkan oleh
pembangunan dari dalam (Shanmugaratnam 2001: 264).
Ilmuwan seperti Dudley Seers (1979)
mengkonseptualisasikan “Makna Baru Pembangunan” sebagai
ikhtiar redefinisi terhadap konsep pembangunan yang telah menjadi
sandaran global, lantaran ia menjumpai sejumlah besar deprivasi
di negara-negara Dunia Ketiga yang diakibatkan oleh proses
pembangunan. Terpengaruh oleh ide Seers, maka perdebatan tentang
pembangunan di era pasca kolonial mengarah pada konsensus
yang tersebar luas bahwa pembangunan dapat dan seharusnya
direncanakan serta diarahkan untuk mencapai tujuan khusus
seperti pertumbuhan dan distribusi. Perencanaan pembangunan
dan kebijakan-kebijakan sentralistis menikmati status tertinggi
selama dua dekade setelah Perang Dunia Kedua di banyak negara
Dunia Ketiga. Akan tetapi, tren ini ditantang oleh gelombang baru
liberalisme ekonomi yang dipopulerkan oleh “Bretton Woods
Institutions” di negara Dunia Ketiga pada tahun 1970an. Oleh IMF
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

dan Bank Dunia, negara-negara tersebut dinasehati bahwa kegagalan - 33 -

mereka mencapai pembangunan adalah, terutama, disebabkan


adanya intervensi negara yang berlebihan. Membebaskan ekonomi
dari kontrol negara, kemudian membiarkan pasar bebas memainkan
“peran alamiahnya” menghasilkan pembangunan merupakan jalan
keluar satu-satunya dari krisis semacam ini.
Amartya Sen (1993) mengajukan konsep yang lebih
mutakhir tentang pembangunan. Dia tidak melihat pembangunan
sebagai perdebatan panjang antara teori dan kebijakan. Sen
menerjemahkan pembangunan sebagai sebuah proses dari ekspansi
kemampuan (kapabilitas). Konsep ini kemudian dipakai sebagai
acuan pembangunan global yang dirangkum oleh United Nation
Development Program (UNDP). Secara lebih detail, pembangunan
menurut Sen (1993) adalah ekspansi dari kemampuan masyarakat
yang dilihat sebagai sebuah proses emansipasi yang merupakan
realisasi dari kebebasan manusia (Shanmugaratnam 2001: 267).
Sen (1999) menjelaskan ada lima kebebasan manusia yang bersifat
instumental: kebebasan politik, ekonomi, kesempatan sosial,
jaminan transparansi, dan perlindungan keamanan. Interaksi
kelima komponen ini kemudian membentuk kebebasan positif
(positive freedom). Relasi yang terbentuk antara kebebasan dan
kesejahteraan adalah kondisi yang tidak bebas dari konflik. Dalam
konteks pendekatan kapabilitias, ekspansi ekonomi yang dilakukan
tanpa adanya ekspansi kemampuan manusia tidak digolongkan
sebagai pembangunan. Pembangunan dapat dikategorikan negatif
jika kebijakan yang dihasilkan justru memberikan dampak atau
gagalnya sistem dalam sebuah masyarakat (Shanmugaratnam 2001:
270). Jika mengacu pada dua jenis pembangunan versi Cowen dan
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 34 - Shenton (1996), Sen (1999) cenderung menjelaskan pembangunan


sebagai sebuah proses yang memiliki tujuan. Dalam sebuah
perumusan pembangunan, dibutuhkan model yang demokratis
sehingga dapat mempromosikan kemampuan masyarakat dan
menghindari kegagalan. Nussbaum (1995) menjelaskan kritikannya
kepada Sen sebagai pembangunan yang terlalu fokus pada
kebebasan positif (freedom to do something), dan mengabaikan
kebebasan negatif (freedom from interference).
Shanmugaratman menjelaskan secara kritis pendekatan
kemampuan Sen terhadap signifikansi paradigmatik yang terletak
pada hubungan antara kebebasan sebagai sarana dan akhir
pembangunan. Ide pembangunan menyiratkan bahwa proses
kebutuhan akan tepat diatur untuk mempromosikan pengembangan
dan menghindari kegagalan kemampuan. Ia menyoroti keterbatasan
paradigma neoliberal yang saat ini dominan dalam pengembangan
kemampuan. Di tingkat kebijakan, komitmen ideologis yang kuat
untuk mekanisme pasar dapat mengakibatkan melemahnya atau
penolakan demokrasi hak pekerja: misalnya, hak untuk membentuk
serikat buruh atau untuk mengambil tindakan kolektif untuk
membela kepentingan mereka dan untuk mencapai fungsi-fungsi
berharga. Hal ini juga dapat membatasi peran aksi publik dalam
mempromosikan pengembangan kemampuan. Selanjutnya, tidak
ada alasan untuk berasumsi bahwa pendekatan neoliberal dengan
sendirinya dapat menciptakan hal yang memadai dalam masyarakat
sipil untuk kelompok miskin dan kurang beruntung untuk
mencapai kebebasan yang mereka inginkan. Ini bisa memperkuat
ketidaksetaraan yang ada dan berkontribusi ketidaksetaraan baru
di akses ke sumber daya dan kekuasaan. Hal ini cenderung untuk
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

mempromosikan kesenjangan dalam kualitas hak seperti perawatan - 35 -

kesehatan dan pendidikan. Dalam perdebatan pendekatan


kemampuan, Sen secara umum melihat pembuat kebijakan kurang
memperhatikan pentingnya perjuangan politik rakyat untuk jaminan
sosial dan kebebasan. Dengan demikian, konsep kemampuan ini
memiliki nilai sebagai alat pemetaan dan menafsirkan perubahan
sosial jika dapat dimasukkan ke dalam ekonomi politik yang lebih
luas kerangka dan jika dasar informasi dapat diperluas untuk
termasuk lebih aspek kehidupan masyarakat dan persepsi mereka
terhadap kesejahteraan.
Sehubungan dengan peran pasar dalam mempromosikan
kebebasan, perhatian Sen terletak pada pengklaiman kembali
(reclaiming) peninggalan mekanisme pasar yang terlupakan sebagai
sebuah perangkat untuk membebaskan orang dari perbudakan pra-
kapitalis yang memposisikan mereka dalam kehidupan kemanusian
terendah “insan-insan tak merdeka”. Pasar merupakan satu bagian
dari sarana pembangunan. Entah pasar sebaiknya bersifat bebas,
diatur ataukah dihindari, namun pasar harus diutamakan sebab ia
dapat berjalan beriringan dengan sarana pembangunan lainnya
guna memajukan kapabilitas manusia.
Aspek lain yang dilirik oleh Sen dalam setiap tulisannya
tentang pembangunan adalah lingkungan. Dalam buku Development
as Freedom, Sen juga membahas isu-isu lingkungan dan kegunaan
nilai-nilai lingkungan. Sen (dan Anand) telah berupaya menerapkan
pendekatan kapabilitas terhadap kesinambungan lingkungan
(environmental sustainability). Pendekatan kapabilitas digunakan
untuk menekankan arti penting peran generasi sekarang dalam
mempertahankan ketersediaan modal pembangunan (fisik, manusia,
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 36 - alam) yang memadai bagi generasi mendatang. Pembangunan


manusia sebaiknya tidak hanya mencakup penguatan hak-hak
terhadap lingkungan, namun juga berkenaan dengan internalisasi
nilai-nilai lingkungan pada orang-orang untuk menghasilkan
kesempatan hidup sehat yang nyata bagi diri mereka sendiri.
Signifikasi kualitas lingkungan sebagai barang/kebaikan publik
(public good) dan kondisi universal bagi kesejahteraan manusia
adalah berasal dari dependensi kehidupan yang mutlak kepada
lingkungan (alam).
Lebih dari itu, pendekatan kapabilitas dapat diadopsi dan
diadaptasi sebagai sebuah alat konseptual untuk menterjemahkan
perubahan sosial serta mengkritisi kebijakan-kebijakan
pembangunan. Secara lebih eksplisit, pendekatan ini pun
berhubungan erat dengan relasi kuasa, konflik, dan perjuangan
politik pada tingkat yang berbeda (dari lokal hingga global). Konsep
kapabilitas dapat digunakan untuk memetakan, menterjemahkan,
dan mengevaluasi perubahan sosial jika ia dapat digabungkan ke
dalam kerangka ekonomi-politik lebih luas yang memperlihatkan
lingkungan-lingkungan institusional dinamis penentu status
anugerah dan hak individu serta fungsionalisasi diri (self functioning)
yang mampu ia capai, terdiri dari (a) Ekonomi Politik Makro:
sistem politik (negara, struktur kekuasaan, kebebasan politik);
ekonomi dan distribusi sumberdaya; kebijakan ekonomi dan sosial
(kebebasan instrumental); (b) Konteks Meso dan Lokal: struktur
kekuasaan (kelas, jenis kelamin, etnisitas, kasta−hak-hak atas
properti); relasi negara-pasar-masyarakat; dan (c) Basis Informasi
Evaluasi Kesejahteraan Individu: kualitas perawatan kesehatan,
pendidikan, lingkungan; kebebasan mengekspresikan pandangan;
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

pergerakan tanpa gangguan; kebebasan mempraktekkan gaya - 37 -

hidup; keahlian profesional.

Soal-soal:

1. Apa yang dimaksud dengan pembangunan?


2. Mengapa pembangunan penting dilakukan?
3. Siapa pelaku pembangunan?
4. Pembangunan memerlukan kesadaran yang tinggi. Lantas
bagaimana kita bisa menjadi subjek pembangunan?
5. Pembangunan bisa digerakkan oleh mereka yang memiliki
kapabilitas dan kapasitas. Untuk bisa menjadi pelaku dan
penggerakan pembangunan. Hal-hal apa saja yang harus kita
kuasai?

1.3 Menguatnya Kelas Menengah Desa Pasca UU Desa

Entitas yang paling kecil dalam sistem Desentralisasi di


Indonesia adalah Desa, magnet Desa menguat setelah diterbitkannya
undang-undang (UU) nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, meskipun
pada jaman orde baru pernah ada UU serupa nomor 5/1979.
Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak dan
berwenang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Desa
memiliki otonomi asli yang berarti desa mengurus dirinya sendiri
sesuai dengan kearifan dan kapasitas lokal, tanpa intervensi dan
tanggungjawab Negara.
Dua tahun telah berjalan undang-undang Desa, setelah
diimplementasikan oleh peraturan pemerintah nomor 43 tahun 2014
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 38 - dan dirubah dengan PP 47 tahun 2015 tentang peraturan pelaksana


UU/6/2014.

Melihat Peran

Pada isi UU Desa yang menjadi daya Tarik, terletak pada


bab VIII tentang keuangan Desa dan Aset Desa, mengalahkan XV
bab lainya. Adanya dana dari APBN (DDA) yang transfernya terus
meningkat setiap tahun, menjadikan Desa semakin bergairah dalam
mengurus pembangunan, daya tarik adanya dana desa tersebut juga
memunculkan kelas-kelas menengah (Middle Class) didesa, ini
terlihat dari menguatnya beberapa individu-individu yang berperan
dalam proses kebijakan dan proses pembangunan di desa, kelas
menengah desa tersebut meskipun agak sulit membedakannya
dengan rakyat namun memiliki perbedaan yang sangat dekat,
kelas menengah desa tidak hanya dapat diukur dari income
perbulan, namun bisa dilihat dengan memfokuskan pada kelompok
pekerja dan kaitannya dengan pemerintah (Young,1989). Seperti
apakah kelompok pekerja tersebut? Merujuk pada peran politik
di era orde baru, kelompok pekerja yang diantaranya mahasiswa,
intelektual, wartawan, dan para pengusaha mengambil peran
konsolidasi kekuasaan (Robison,1985), jika dilihat ke desa saat
sekarang peran kelompok pekerja tersebut sangat mempengaruhi
pelaksanaan kebijakan di desa, kelembagaan desa direbut oleh
beberapa kelas menengah tersebut dan dimanfaatkan untuk
kepentingan kelompok nya, sebut saja Badan Permusyawaran Desa
atau Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa dan atau lembaga
kemasyarakat desa. Pemunculan kelas menengah ini selalu disertai
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

peningkatan ritme dari politik kelompok-kelompok kepentingan - 39 -

informal sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari (Dick, 1985),


mereka merebut pekerjaan dalam penyelenggaraan pemerintahan
desa, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan
pemberdayaan masyarakat.
Merujuk pada kelas menengah di Indonesia yang termasuk
didalamnya posisi birokrat Negara tingkat menengah (Robison,1985).
Birokrat negara tingkat menengah di desa sangat berperan penting
menjadi kelompok dominan dalam penyusunan RPJMDes,
RKPDes atau pun APBDes, selain karena melek teknologi, juga
karena mengamankan kelompok yang dibelakangnya. Tak ayal
juga memunculkan konflik internal di dalam nya seperti kepala
desa atau perangkat desa lainnya, perebutan peran bagi kelas
menengah desa tersebut selain pada posisi struktural kelembagaan
desa juga sebagai kelompok penekan kepala desa, middle class
tersebut menempatkan diri sebagai pembawa modernitas, dan juga
pembawa demokrasi, sehingga memiliki suara yang kencang dan
mampu mengklaim posisi nya sebagai representasi masyarakat
bawah.

Pemburu Rente

Adanya persaingan antar aktor kelas menengah desa, seperti


yang terjadi pada aparat desa dan perangkat kelembagaan desa
menjadikan kelas menengah desa seperti pemburu rente terhadap
dana desa, mereka melakukan: 1) monopoli dalam sektor produksi
ekonomi tertentu seperti memaksa tertuangnya kelompok binaan
usahanya dalam dokumen RKPDes sebagai penerima modal usaha
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 40 - dari dana desa, 2) melibatkannya institusi desa dalam system pasar


untuk memenuhi kepuasan individu dan kelompok tertentu, dengan
melakukan penanaman modal pada BUMDes untuk mengambil alih
pengembangan ekonomi kreatif yang dilakukan oleh masyarakat,
bukan memfasilitasinya. Peran ganda kelas menengah desa
tersebut mengakibatkan penguatan kelas menengah dan bahkan
menggantikan posisi kelas elit yang sedikit dan mulai apatis
terhadap pembangunan di desa, middle class di desa menyukai pola
menikung saat penentuan pelaksana program desa tanpa mengikuti
pelaksanaan musyawarah di tingkat paling bawah (musdus).
Representasi Principal

Hal lain dari kelas menengah desa tersebut, dimana mereka


menjadi agen politik tingkat kabupaten/kota. Aktif di desa dengan
atas nama kelompok yang berkuasa di kabupaten, kadang-kadang
menjadi momok yang menakutkan bagi kepala desa, bahkan
pejabat setingkat eselon 3 dan 4 di satuan kerja perangkat dinas
pemerintahan kabupaten.
Adanya relasi yang kuat dari kelompok kelas menengah
di desa itu mengabaikan asas-asas yang dianut oleh desa, serta
menyepelekan issu-issu yang harus didorong seperti disabilitas,
minoritas, kesetaraan gender, inklusi sosial dan bahkan akuntabilitas.
Keteracuhan tersebut bukan saja merusak sendi-sendi desentralisasi
di aras desa, namun juga mendistribusikan resiko yang akan muncul
dikemudian hari. Middle Class, yang menempatkan diri sebagai
agen politik tersebut, disaat rejim penguasa desa berganti tidak
tutup kemungkinan menjadi oligark di desa. Ini berakibat fatal pada
budaya-budaya politik selanjutnya, karena kelas menengah desa
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

akan risih apabila diganggu gaya hidup atau ketenaran yang telah - 41 -

diperoleh.

Tampaknya middle class di desa akan terus menguat sebagai


kekuatan politik desa yang disegani, ini dilihat dari perannya yang
mendominasi, juga dari kemahirannya memanfaatkan media sosial
sebagai pendorong popularitas,

Soal-soal:

1. Mengapa UU Desa diperlukan?


2. Seberapa besar UU Desa berpengaruh untuk kesejahteran
masyarakat di Desa
3. Kenapa dana Desa banyak yang diselewengkan?
4. Mengapa kelompok kelas menengah lebih berperan dalam
pembangunan Desa?
5. Apa ada perbedaan fundamental UU Desa lama dengan UU
Desa yang baru?
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 42 -
BAB

II
PEREMPUAN DAN POLITIK

2.1. Analisis Teori Gender


A. Analisis Teori Feminis Multikulturalisme

Multikultural mencakup sejumlah kelompok sosial nonetnis


yang karena berbagi alasan dikucilkan atau dikesampingkan
dari aliran utama masyarakat.25 Beberapa ilmuan menggunakan
“multikultural” yang berbeda, kompleksitas istilah “kebudayaan”
banyak dari kelompok yang memiliki kebudayaan yang berbeda,
dimana mengacu pada adat istiadat, perspektif, atau etos yang
berbeda, dari kelompok atau perkumpulan, seperti “kebudayaan
kaum homo”, atau bahkan “budaya birokrasi”.26 Perbedaan
istilah itu melahirkan perbedaan pemaknaan, namun penulis akan
memadukan teori multikultualnya Will Kymlica dan Feminis
Multikulturalnya Rose Marie Tong. Multikulturalisme dipusatkan
pada adanya perbedaan yang timbul pada suatu bangsa dan etnis,
kebudayaan sebagai sinonim dengan suatu “bangsa” atau “rakyat”
yakni sebagai masyarakat antar generasi, yang kurang lebih secara
institusional lengkap, menduduki suatu wilayah atau tanah tertentu,

25
Will Kymlica, Kewarganegaraa Multikultural: Teori Liberal mengenai Hak-hak
Minoritas, Penerbit LP3S, 2002. Hal: 25
26
Ibid,
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 44 - memiliki sejarah dan bahwa yang sama.27


Feminis Multikultural dikonstruksikan berdasarkan semua
perempuan diciptakan secara setara, tidak bergantung kepada ras,
kelas, dan juga kecenderungan seksual, usia, agama, pencapaian
pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, kondisi kesehatan, dan
sebagainya.28 Kesetaraan yang dimaksud bukan saja hanya pada
kuantitas seperti dalam pandangan feminis tradisional namun lebih
dari itu yaitu menghindari sifat opresi yang dibuat oleh kelompok
yang memiliki power, dimana hanya memandang perempuan
sebagai manusia nomor dua (second sex). Maka diperlukan
keterbukaan akan segala bentuk simbolitas atau identitas tertentu,
dengan meruntuhkan afiliasi kebudayaan yang terjadi di masyarakat.
Kecenderungan menggolongkan suatu budaya tertentu kedalam
persekutuan identitas kebudayaannya seperti identitas budaya bali
adalah hindu atau budaya aceh adalah islam juga begitu banyak
menganut ketidakpatuhan sosial. Kegagalan tersebutlah yang
dilakukan Huntington, menggolongkan India sebagai peradaban
Hindu, sehingga mengenyampingkan hampir 150 juta Muslim,
india termasuk ke dalam tiga negara besar di dunia. Kategorisasi
keagamaan tidak bisa dengan pas masuk ke dalam klasifikas negara
dan peradaban.29
Secara rinci feminism multicultural lahir dari konsepsi
Crevecoeur dimana menginginkan suatu nasionalisme

Ibid, 26
27

Rose marie Putnam Tong; Feminist Thought, A more Comprehensive


28

Introduction, Second edition: Westview Press, Colorado, 1998, hal 310


Amartya Sen; Kekerasan dan Identitas, Margin Kiri edisi kedua: Serpong, 2016,
29

hal 15-18
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

yang benar-benar baru, yang diciptakan oleh individu- - 45 -

individu dan melepaskan tanah kelahirannya serta


bergabung dan membentuk hidup yang baru, meleburkan
semua perbedaan etnik kuno, ras, kecenderungan seksual,
umur, agama, sehingga membentuk keberagaman.30
Menurut Rose marie Tong, feminis multikulturalisme
menumbuhkan toleransi, penghargaan, dan pengetahuan
bersama atas kebudayaan satu sama lainnya dan utuk
memastikan semua manusia mempunyai keahlian dan hak
yang dibutuhkan untuk bersaing dalam pasar ekonomi dan
arena politik.31

Sejarah Feminism Multikultutalism muncul dari tuntutan


adanya keberagama di Amerika, selama abad ke-19 dan paruh
abad ke-20, kecencerungan terhadap “pelarian diri, pembebasan,
asimilasi” terus berlangsung. Bahkan hingga akhir perang dunia
kedua, mayoritas imigran ke Amerika dengan sepenuh hati
meleburkan diri dengan apa yang disebut sebagai melting pot
(wadah tempat peleburan), feminism kultural tersebut mengalami
kritikan di akhir tahun 1980-an dan sepanjang 1990-an. Ada
satu argument yang menekankan pada kecenderungan bahwa
multikulturaisme sangat kuat dapat melemahkan solidaritas.para

30
Ames, Jesse Daniel dalam Rose Marie Putnam Tong; Feminist Thought,A more
Comprehensive Introduction, Second edition: westview press, Colorado, 1998,
hal 311
31
Rose Marie Putnam Tong; Feminist Thought, A more Comprehensive
Introduction, Second edition: Westview Press, Colorado, 1998, hal 31
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 46 - pengkritik multikulturalisme bersikeras bahwa label-label seperti


misalnya African American, Asia American, Hispanic American,
Native American, bersifat membahayakan karena akan memecah
belah. Para pengkritik menginginkan suatu Amerika yang homogeny
“American American” Amerika yang Amerika.
Feminis Multikulturalisme bukan hanya dipakai untuk
menjelaskan persoalan utama yang menyangkut hubungan
antara perempuan, politik dan keberagaman, namun feminis
multikulturalisme juga hadir untuk mendekonstruksi politik
patriarkal serta memberikan jalan keluar dalam pencapaian identitas
politik perempuan bahkan berusaha memberi ide alternatif dalam
kehidupan politik laki-laki dan perempuan agar identitas keduanya
dapat terpenuhi sebagai makhluk politik. Seperti yang diungkapkan
oleh Carole Paterman bahwa masalah yang paling  mendalam
dan kompleks untuk teori dan praktik politik adalah bagaimana dalam
individualitas feminin dan maskulin sepenuhnya dimasukkan ke
dalam kehidupan politik yang terwujud dalam kontrak sosial.32
Kajian teori tentang feminis multiculturalism tersebut
yang lebih mengedepankan nilai-nilai keberagaman dari pada
subyektivitas individu, dideskripsikan apabila perempuan ingin
berjuang untuk kepentingan dan keberpihakan atas hal asasinya maka
perempuan perlu melihat bahwa setiap perempuan pada prinsipnya
mencari hal yang sama, yaitu Diri (identitas diri, artikulasi diri,
realisasi diri, citra diri, hak untuk menjadi diri sendiri) sehingga
melahirkan beberapa pertanyaan yang tulus dari para feminis
multikulturalisme. Feminis multicultural menolak semua pelabelan
32
Carole Paterman, The Sexual Contract, Cambridge: Polity Press, 1988, Ch. 1. Hal
1-18
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

sentiment atas persaudaraan, dan sebagai gantinya menawarkan - 47 -

suatu bentuk persaudaraan yang dimulai dengan perempuan


menghadapi perbedaan dan melawan perbedaan itu, dan kemudian
mengakhiri dengan mempergunakan perbedaan yang sama tersebut
untuk “mempercepat kemajuan positif mereka” menuju tujuan
yang diinginkan bersama. Seperti, Dalam menjawab pertanyaan
ini: Apa yang saya ketahui/ dapat saya ketahui tentang perempuan
yang berbeda pengalamannya dalam hal ras, kebudayaan, kelas dan
etnisitas? ini, menurut Elizabeth Spelman, adalah dengan membaca
buku, sekolah, melihat fakta di sekitar, atau dengan menggunakan
instrument kesadaran apapun yang melekat pada diri. Dan cara
lain juga dengan berusaha membayangkan bagaimana kehidupan
perempuan lainnya, dan belajar bersikap toleran atas perbedaan,
betapapun mengancamnya perbedaan itu tentu saja dengan
membayangkan berada bersama yang lain, mentoleransi yang lain,
adalah suatu hal yang sangat berbeda dari melihat yang lain dan
menyambut yang lain
Begitu banyak Negara yang mengaku sebagai Negara
Multikulturalis namun belum tentu multikulturalisme, Negara-
negara di Asia, Afrika serta benua-benua Arab sangat kental
dengan keberagaman. Indonesia sendiri merupakan Negara
Multikulturalisme, dengan adannya suku, ras, budaya, bahasa,
agama dan lainnya. Keberagaman di Indonesia begitu kompleks
sebagai suatu Negara, meskipun sering terjadi juga diskriminasi
dalam ruang keberagaman tersebut, seperti Diskriminasi atas hak
memeluk agama dan menganut kepercayaan, diskriminasi seksual
atas keseksian pakaian, diskriminasi budaya dan simbol-simbol
nya serta diskriminasi identitas multikulturalisme lainnya.
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 48 - Melihat problem yang terjadi pada Negara-negara


Multikulturalisme selain Indonesia, seperti Konflik yang terjadi
pada Negara-negara Arab (Arab Spring) yang bermula dari
konflik sunni dan syiah melebar kepada perebutan kepemimpinan
politik, itu sebagai pertanda Multikulturalisme tidak berfungsi.
Perempuan menjadi korban paling banyak dalam beberapa
konflik multikulturalisme yang terjadi, tindakan pemerkosaan,
perdagangan perempuan, perbudakan menjadi hal biasa. Legitimasi
ulama pun digunakan untuk kepentingan tindakan perlawanan atas
ketidakadilan pemimpin, contoh kasus seperti dikeluarkannya
Fatwa Jihad Kelamin bagi perempuan di saat gejolak politik di
Syiria, hal tersebut dianggap sebagai sumbangsih perempuan dalam
peperangan. Di Indonesia sendiri juga terjadi tindakan-tindakan
yang masih memandang perempuan lemah, mengelompokkan
kedalam identitas tertentu seperti wanita baik itu harus berada di
rumah untuk melayani suami, mengurus anak, wanita itu tidak
boleh bersuara keras, wanita tidak boleh makan sambil berjalan,
wanita tidak boleh duduk di pintu.
Perempuan masih pada posisi subordinasi atas laki-
laki, ditambah lagi dengan adanya fundamentalisme
agama yang marak  berkembang  hingga  ke  pelosok-
pelosok  desa,  di  mana  dalam  ajarannya  semakin membuat
perempuan menjadi tersudut. Agama sering dikaitkan dengan
moralitas. Moralitas sering diidentikkan dengan  perempuan jadi
perempuan yang paling banyak menjadi terdakwa atas moralitas.
Kendala yang dihadapi begitu kompleks, perjuangan
kesetaraan akan hak serta kesamaan perlakuan sangat mengalami
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

hambatan, hambatan terbesar adalah agama dan budaya. Dominasi - 49 -

agama yang begitu kuat serta budaya patriarki mampu mereduksi


kekuatan hukum dalam Negara. Tidak jarang pula agama dijadikan
sebagai alat kepentingan oleh pihak tertentu. Dalam isu gender,
agama seringkali mendiskriminasikan perempuan. Melihat itu
sehingga masyarakat sebenarnya membutuhkan sebuah politik
yang dapat mengatasi perspektif etnosentrisme dikarenakan belum
berkembangnya system hak-hak, etos demokrasi, prosedural legal
dan netralisme politis. Tindakan diskriminasi juga tidak hanya
dilakukan masyarakat biasa namun juga dilakukan oleh birokrasi-
birokrasi, sehingga politik multikulturalisme jika tidak hati-hati
malahan akan bisa melegitimasinya.33

2.1. Perempuan dan Pembangunan


Pendahuluan

Pemerintahan Joko Widodo dan Yusuf Kalla dalam


Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
mengamanatkan perlunya melaksanakan Pengarusutamaan Gender
(PUG), PUG yang dimaksud merupakan penguatan atas sepuluh
komitmen politik, yaitu: 1) Pengakhiran kemiskinan Perempuan,
2) Kesehatan Reproduksi, 3) Pekerjaan yang layak, 4) keterwakilan
perempuan dalam politik, 5) kekerasan terhadap perempuan, 6)
pendidikan, 7) perempuan di wilayah konflik dan bencana, 8)
kebebasan beragama, 9) hukum yang tidak diskriminatif pada
perempuan, 10) anti korupsi.
33
Will Kymlica; Kewarganegaraan Multicultural, Teori Liberal mengenai Hak-hak
Minoritas; Pustaka LP3S Indoensia, Jakarta, 2002, hal 120
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 50 - Mandat tersebut bukanlah hal baru karena sebelumnya


Presiden Abdurrahman Wahid telah mengeluarkan Instruksi
Presiden (Inpres) Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional dan pada
pemerintaha Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui Undang-
Undang (UU) No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005 – 2025, yang dijabarkan
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2004-2009 dan RPJMN 2010-2014. Dalam rangka percepatan
pelaksanaan PUG, pada tahun 2012 diluncurkan Strategi Nasional
Percepatan Pengarusutamaan Gender melalui Perencanaan,
Penganggaran yang Responsif Gender (Stranas PPRG) melalui Surat
Edaran Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas, Menteri Keuangan,
Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Negara PP dan PA tentang
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa juga menyatakan pentingnya
PUG dalam pembangunan dan pemerintahan desa. UU tersebut
mengatur bahwa Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa
berkewajiban melaksanakan kehidupan demokrasi dan berkeadilan
gender. Dan di implementasikan oleh Peraturan Pemerintah (PP)
No. 43 Tahun 2014 Pasal 121 Ayat 1 (sebagai aturan pelaksanaan
dari UU No. 6 Tahun 2014) menyatakan bahwa pelaksanaan
kegiatan pembangunan desa ditetapkan dengan mempertimbangkan
keadilan gender. Bahkan Badan Kerjasama antar Desa harus
mempertimbangkan keadilan gender dalam keanggotaan dari tokoh
masyarakat desa. Kesetaraan dan keadilan gender yang merupakan
salah satu tujuan pembangunan yang ditetapkan dalam RPJPN 2005-
2025 dan dijabarkan di dalam RPJMN 2015-2019 dihadapkan pada
tiga isu strategis, yaitu: (1) meningkatnya kualitas hidup dan peran
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

perempuan dalam pembangunan; (2) meningkatnya perlindungan - 51 -

bagi perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan, termasuk


tindak pidana perdagangan orang (TPPO); dan (3) meningkatnya
kapasitas kelembagaan PUG dan kelembagaan perlindungan
perempuan dari berbagai tindak kekerasan.34

PUG Masa Pemerintahan Jokowi

Pengarusutamaan Gender yang dituangkan dalam RPJMN


2015-2019 tidak serta merta di tindak lanjutin pada level strategis
kementerian, Menteri Pemberdayaan Perempuan sediri tidaklah
progresif mengurus bidang kerjanya, ini dilihat dari masih
tingginya angka kekerasan pada perempuan di tahun 2014, Jumlah
kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP ) 2014 sebesar 293.220
sebagian besar dari data tersebut diperoleh dari data kasus/perkara
yang ditangani oleh 359 Pengadilan Agama di tingkat kabupaten/
kota yang tersebar di 30 Provinsi di Indonesia, yaitu mencapai
280.710 kasus atau berkisar 96%. Sisanya sejumlah 12.510 kasus
atau berkisar 4% bersumber dari 191 lembaga-lembaga mitra
pengada layanan yang merespon dengan mengembalikan formulir
pendataan yang dikirimkan oleh Komnas Perempuan.35
Terdapat beberapa yang perlu di apresiasi juga pada
pemerintahan Jokowi-JK karena menempatkan delapan menteri
perempuan dalam kabinet kerjanya, meskipun tidak bisa dipungkiri
itu bukanlah indikator baku dalam pengarusutamaan gender
yang digaungkan, karena banyak juga hal tindak kekerasan dan

34
Buku II, Rencana Pembangunan Jangka menengah Nasional 2015 - 2019
35
Catatan Tahunan Komnas Perempuan, 2015
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 52 - diskriminasi yang muncul, seperti:


1. Kasus intimidasi yang dialami oleh para caleg
perempuan di Aceh, NTT, Papua, dan Papua Barat.
2. Ada 217 kasus kekerasan terhadap perempuan yang
dilakukan oleh pejabat publik dan tokoh publik yang
dilaporkan kepada Komnas Perempuan. Di antaranya
merupakan kasus kejahatan perkawinan dan kekerasan
seksual. Serta menyoroti pernyataan tanpa empati pada
perempuan korban kekerasan seksual yang disampaikan
oleh Erlinda, Sekjen KPAI.
Kasus Erwina Sulistyaningsih, pekerja migran yang
mengalami penyiksaan dan eksploitasi oleh majikannya
di Hongkong, perdagangan manusia yang dialami PRT
(Pekerja Rumah Tangga) asal NTT di Medan, Bogor,
dan Batam. Serta pengungkapan jaringan kejahatan
perdagangan manusia oleh Brigadir Rudi Soik, seorang
polisi anggota Kepolisian Daerah NTT. Namun di tengah
jalan, Brigadir Rudi Soik justru mengalami kriminalisasi.
Kekerasan terhadap perempuan di lembaga pendidikan;
antara lain isu tes keperawanan di Institusi Kepolisian
sebagai sarat masuk Polwan, hilangnya hak pendidikan
atau pun hak mengikuti Ujian Nasional bagi siswi hamil
di Mojokerto.
Kemunduran hukum antara lain: Peraturan Bupati
Lombok Timur Nomor 26 tahun 2014 tentang Pelaksanaan
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 tentang lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah (tentang Izin Poligami);
Qanun tentang Hukum Jinayat dan Qanun Pokok-Pokok
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

Syari’at Islam di Aceh yang mengatur persoalan zina, - 53 -

perkosaan dan penerapan hukuman cambuk sebagai salah


satu cara penghukuman, bahkan memperkuat impunitas
bagi pelaku, serta 23 kebijakan diskriminatif baru (dari
total 365 kebijakan diskriminatif) yang tersebar di
berbagai daerah di Indonesia.36

Pada beberapa catatan tahunan komnas HAM diatas, terdapat


juga perubahan-perubahan regulasi yang dilakukan jokowi-jk yaitu
1) Perubahan UU tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang
memuat perluasan jenis korban kekerasan terhadap perempuan; 2)
Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Sunat Perempuan
,meskipun masih memberi ruang pada institusi non negara untuk
melakukannya; 3) Dikabulkannya Judicial Review untuk UU MD3
mengenai keterwakilan perempuan untuk mengisi jabatan pimpinan
alat kelengkapan DPR; dan 4) pewacanaan Menteri Agama tentang
pentingnya pengakuan agama Baha’i. 6) Terobosan hukum,
antara lain: PP No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi
yang menegaskan jaminan perlindungan hukum bagi perempuan
korban perkosaan dalam upayanya untuk pulih; Memorandum of
Understanding (MoU) antara Indonesia dan Kerajaan Arab Saudi
yang mengakui hak hari libur dan hak komunikasi bagi PRT
Migran.37
Sedangkan pada Tahun 2015, pemerintah lewat kementerian
Sosial meluncurkan Program Simpanan Keluarga Sejahtera

36
Catatan Komnas Perempuan, 2015
37
idem
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 54 - (PSKS). PSKS merupakan program yang menyasar lebih dari 15


juta Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) di seluruh pelosok
Indonesia dengan Pemberian dana sebesar Rp 600 ribu dan sampai
awal Juli 2015 dana PSKS yang telah dicarikan mencapai Rp 9,3
triliun yang disalurkan pada dua kategori, yakni kelompok pemilik
Kartu Perlindungan Sosial (KPS) yang berjumlah 15,5 juta orang
dan kelompok Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
yang berjumlah 340 ribu orang. Serta masih tersedia 500 kuota
cadangan penerima. 38
Pada Tahun 2016, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan  (Komnas Perempuan) bersama  Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia  (Komnas HAM),  Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI), Ombudsman Republik Indonesia dan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban  (LPSK) menandatangani Nota
Kesepahaman Bersama tentang Mekanisme Pencegahan Nasional
(24/02/2016). Nota kesepahaman tersebut menyangkut upaya
untuk pengawasan dan pencegahan penyiksaan dan perlakuan
penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan
martabat terhadap setiap orang yang berada di tempat-tempat
terjadinya pencabutan kebebasan serta penghormatan, perlindungan
dan pemenuhan hak asasi manusia. Nota kesepahaman ini menjadi
pedoman bagi para pihak untuk melakukan komunikasi, koordinasi
dan kerjasama untuk melakukan aksi bersama. Nota kesepahaman
ini berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak
tanggal ditandatangani. Adapun ruang  lingkup Kesepakatan
Bersama tersebut meliputi: 1) Pengawasan dan pemantauan serta

38
Tribunnews.com; selasa 21 juli 215, diakses 1 maret 2016.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

penyediaan sumber daya untuk mendukung upaya pencegahan - 55 -

penyiksaan terhadap setiap orang yang berada tempat-tempat


terjadinya pencabutan kebebasan; 2) Koordinasi dalam pengawasan
dan pemantauan tempat-tempat terjadinya pencabutan kebebasan;
3) Koordinasi dalam penyusunan laporan bersama terkait hasil
pemantauan tempat-tempat terjadinya pencabutan kebebasan; 4)
Koordinasi dalam pemberian rekomendasi kepada pihak-pihak
terkait mengenai persoalan penyiksaan terhadap setiap orang yang
berada  di  tempat-tempat terjadinya pencabutan kebebasan; 5)
Kerjasama dan koordinasi dalam penghormatan, perlindungan dan
pemenuhan Hak Asasi Manusia.
Penandatanganan Nota Kesepahaman bersama
tersebut memperkuat mekanisme kerja lima lembaga
untuk melaksanakan pemantauan dan pengawasan terhadap setiap
orang yang berada pada tempat-tempat dimana terjadi pencabutan
kebebasan (deprivation of liberty). Upaya ini juga menjadi jembatan
sebelum Indonesia meratifikasi Protokol Opsional Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang
Kejam Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat (Optional
Protocol Convention Againts Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment). 39
Sedangkan pada tangga 26 februari, Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meminta
agar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mencabut Surat Edaran
KPI Nomor 203/K/KPI/02/16, tanggal 23 Februari 2016 yang
memuat KPI meminta lembaga penyiaran di tanah air untuk tidak

39
Tribunnews.com; 25 Februari 2016, diakses 1 Maret 2016
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 56 - menampilkan pria sebagai pembawa acara (host),  talent, maupun


pengisi acara lainnya, baik pemeran utama maupun pendukung,
dengan tampilan sebagai berikut: 1) Gaya berpakaian kewanitaan;
2) Riasan (make up) kewanitaan. 3)Bahasa tubuh kewanitaan,
termasuk namun tidak terbatas pada gaya berjalan, gaya duduk,
gerakan tangan maupun perilaku lainnya. 4) Gaya bicara kewanitaan.
5) Menampilkan pembenaran atau promosi seorang pria untuk
berperilaku kewanitaan. 6) Menampilkan sapaan terhadap pria
dengan sebutan yang seharusnya diperuntukkan bagi wanita. 7)
Menampilkan istilah dan ungkapan khas yang sering dipergunakan
kalangan pria kewanitaan. 40

2..3. Ekofeminisme

Ekofemisme hampir sama dengan feminism multikultural


dan global, yang menujukan keterkaitan antara manusia dan alam,
manusia digambarkan mendominasi dunia buka manusia, atau
alam. Ekofeminisme mulai dibincangkan oleh Rachel Carson dalam
bukunya yang diterbitkan tahun 1962, di mana memperingatkan
warga amerika bahwa perlunya memperhatikan kepentingan
lingkungan, semua perusakan yang dilakukan laki-laki terhadap
lingkungan termasuk kontaminasi udara, tanah, sungai, dan laut
dengan materi yang berbahaya dan bahkan mematikan tersebut
akan pasti mempengaruhi keberlanjutan hidup manusia. 41 Ketika
masalah-masalah ekologi mengenai pemanasan global, kebocoran

40
http://www.rappler.com/indonesia/123811-surat-edaran-kpi-tentang-larangan-
tayangan-berpakaian-wanita
41
Rachel Carson…..
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

ozon, pembuangan sampah, peternakan, spesies yang terancam - 57 -

kepunahan, konservasi energi, dan cagar alam liar maka isu itu
pun direspon dengan berkembangnya suatu gerakan lingkungan
di Amerika dan seluruh dunia. Dua belas tahun kemudian (1974)
istilah ekofeminisme dalam bukunya Francoise d’Eaubonne yang
berjudul Le Feminisme ou la mort. Di mana dalam buku tersebut
berpandangan bahwa ada hubungan langsung antara opresi terhadap
perempuan dan opresi terhadap alam.
Ekofemisme berpendapat ada hubungan konseptual,
simbolik, dan linguistic antara feminis dan isu ekologi. Keyakinan,
nilai, sikap, dan asumsi dasar dunia barat atas dirinya sendiri dan
orang-orangnya dibentuk oleh bingkai piker konseptual patriarkal
yang oprensif, dimana bertujuan untuk menjelaskan, membenarkan
dan menjaga hubungan antara dominasi dan subordinasi secara
umum serta dominan laki-laki terhadap perempuan pada
khusunya.42 Ciri-ciri jelas dari bingkai piker tersebut adalah: 1)
pola piker berdasarkan nilai hirarkis, yaitu pola piker “atas bawah”
yang memberikan nilai, status, atau prestise yang lebih tinggi
kepada apa yang “diatas” dari pada kepada apa yang “dibawah”;
2) dualism nilai, misalnya pasangan yang berbeda yang dipandang
sebagai oposisi (dan bukannya melengkapi) dan eksklusif (dan
bukannya inklusif), dan yang menempatkan nilai (status,prestise)
kepada salah satu dari suatu pasangan gagasan dari pada yang lain
(dualismen yang memberikan nilai atau status yang tinggi kepada
apa yang secara historis diidentifikasi sebagai “pikiran”, “nalar”,
dan”laki-laki” dari pada apa yang secara historis diidentifikasi

42
Menurut Karen J Warren
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 58 - sebagai “tubuh”,”perasaan”, dan “perempuan”; dan 3) logika


dominasi, yaitu struktur argument yang menuju kepada pembenaran
subordinasi.43
Karen J Warren juga mendeskripsikan adanya modus berpikir
patriarki yang hirarkis, dualistik serta opresif yang telah merusak
perempuan dan alam. Ini dilihat dari telah dinaturalisasinya
(natural-alamiah) perempuan dan alam telah di “Feminisasi”
ketika digambarkan melalui acuan terhadap binatang, misalnya
sapi, serigala, ayam, ular, anjing betina, berang-berang, kelelawar,
kucing, otak burung, otak kuda. Demikian pula alam “difeminisasi”
ketika alam diperkosa, dikuasai, ditaklukkan, dikendalikan,
dipenetrasi, dikalahkan, dan ditambangi/dieksploitasi oleh laki-
laki, atau ketika alam dihormati atau bahkan disembah sebagai IBU
yang paling mulai dari segala ibu. Apabila laki-laki diberi kendali
atas alam maka akan juga memiliki kendali atas perempuan.
Asumsi dasarnya: 1) ada keterkaitan penting antara opresi terhadap
perempuan dan opresi terhadap alam; 2) pemahaman terhadap
alam dalam keterkaitan tersebut sangat penting untuk mendapatkan
pemahaman yang memadai atas opresi terhadap perempuan
dan opresi terhadap alam; 3) teori dan praktik feminis harus
memasukkan perspektif ekologi; 4) pemecahan masalah ekologi
harus menyertakan perspektif feminis.44
Ekofeminis Ariel Kay Salleh berpandangan berbeda, dimana
pemikiran ekologis belum memadai karena melihat dominasi laki-
laki dalam juru bicara ekologi, menurutnya ada ketakutan dalam

43
Idem, hal 360
44
Idem, hal 367
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

mengkonfrontasi seksisme dan naturisme sebagai penyebab krisis - 59 -

lingkungan hidup yang dialami sekarang ini. Gerakan ekofeminis


ini tidak akan benar-benar berhasil bila laki-laki belum menemukan
dan mencintai bagian dirinya yang perempuan. Meskipun banyak
ekofeminisme setuju bahwa hubungan antara perempuan dengan
alam adalah penyebab utama seksisme dan naturisme, ada ketidak
sepakatan bahwa hubungan perempuan dengan alam bersifat
biologis dan psikologis, ataukah pada dasarnya bersifat sosial
dan kultural. Juga tidak sepakat mengenai hal apakah perempuan
harus menghilangkan, menekankan, atau membentuk kembali
hubungannya dengan alam. Hal lain diungkapkan oleh Ynestra
King “pengakuan atas hubungan antara perempuan dengan
alam dan posisi perempuan sebagai jembatan antara alam daan
kebudayaan menghadirkan tiga arah kemungkinan feminisme.45
Arah pertama adalah memishkan hubungan antara perempuan
dengan alam, dengan secara mutlak mengintegrasi perempuan ke
dalam kebudayaan dan ranah produksi. Kedua adalah menegaskan
kembali hubungan perempuan dengan alam, dengan mengajukan
pendapat bahwa alam perempuan bukan saja berbeda, melainkan
juga lebih baik daripada budaya laki-laki. Ketiga, adanya pengakuan
dualism alam dan kebudayaan dimana produk kebudayaan manusia
secara sadar dapat memilih untuk tidak memisahkan hubungan
perempuan dan alam dengan menggabungkan diri dengan
kebudayaan laki-laki, sebaliknya dapat memanfaatkan sebagai
suatu posisi strategis untuk menciptakan kebudayaan yang berbeda,
yang akan mengintegraskan bentuk pengetahuan intuitif, spiritual

45
Ynestra King
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 60 - dan rasional. Pendapat tersebut mengejewantahkan ekofeminis


postmodern dimana bentuk opresi manusia berakar pada skema
konseptual yang dikotomis yang menguntungkan salah satu dari
dua hal misalnya laki-laki atas perempuan, alam atas kebudayaan,
ilmu pengetahuan atas kekuatan supernatural.

Soal-soal:

1. Perempuan memiliki kekhususan. Perempuan juga memiliki


hak yang sama dengan kaum laki-laki. Seberapa besar kaum
perempuan sudah berkontribusi terhadap bangsa dan negara?
2. Perempuan adalah tiang negara? Jika peremuannya hebat, maka
negara juga akan hebat. Begitu juga sebaliknya. Bagaimana
perempuan Indonesia berjuang untuk menjadi perempuan-
perempuan yang berkontribusi dalam pembangunan
Indonesia?
3. Perempuan merupakan salah satu subjek pembangunan. Tak
bisa lagi dijadikan objek pembangunan seperti dimasa lalu.
Bagaimana caranya perempuan bisa menjadi subjek-subjek
pembangunan bangsa?
4. Perempuan merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang indah.
Perempuan tak bisa dipandang remeh. Perempuan kini
sudah banyak yang berpendidikan. Bagi perempuan yang
masih berpendidikan rendah. Apa yang harus dilakukan oleh
perempuan-perempuan yang sudah melek pembangunan?
5. Bagaimana perempuan bisa mengungguli laki-laki, baik dalam
konteks profesionalitas maupun kehidupan?
BAB

III
POLITIK ISLAM

3.1. Pemikiran Politik Islam

Saya sepakat dengan Fundamentalisme muncul akibat kritik


terhadap modernisme yang ada sekarang, dan perkembangan
modernisasi dalam pemikiran islam terjadi akibat beberapa rentetan
peristiwa yang dilakukan Barat terhadap umat Islam. Rentetan
panjang agresi Eropa memuncak, mengakibatkan dunia islam
seluruhnya jatuh kepada kekuasaan Barat, kemarahan pun muncul
dalam hati orang-orang muslim, dan yang berbahaya menimbulkan
gerakan jihad. Salah satu orang Eropa yaitu Arminius Vambery,
memperingatkan dunia Barat tentang bahaya yang ditimbulkan
oleh politik penjajahan yang membabi-buta. Kemarahan Muslim
atas dominasi Barat semakin tersulut, diperkuat lagi oleh aspirasi-
aspirasi nasional yang disebarkan oleh pers Pan Islamisme ke
beberapa Negara seperti di Turki, India, Parsi, Asia Tengah, Jawa,
Mesir, dan Al-Jazair.46 Pan Islamisme, lahir dari sentimen persatuan
yang dalam, percaya sungguh-sungguh akan esensi solidaritas
islam.47 dimana menghubungkan muslim dengan muslim lain oleh
46
A Vamberi, La Tarquie d’aujord’hui ct d’avant Quarante Ans, hal.71, 72 (Paris, 1898)
dalam Lothrop Stoddart, The New World of Islam, Harvard, hal.74.
47
Seperti pemuka Islam di India yang liberal, Aga Khan mengatakan”ada segi Pan Islamisme
yag benar dan sah, yang dimiliki oleh Mukmin sejati, yaitu teori Ukhuwah Islamiyah
dan persatuan seluruh umat Nabi. Persatuan spiritual dan kultural dari Islam harus terus
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 62 - ikatan yang lebih kuat, bukan saja semata-mata ikatan keagamaan


namun juga sosial dan kebudayaan.
Penerbit-penerbit rakyat, baik harian ataupun majalah mulai
menyebarkan pengaruhnya yang massif, setiap apa yang dipikirkan,
diputuskan dan dilakukan Eropa terhadap islam tersiar keseluruh
negeria-negeri tersebut dengan cepat, kaffilah-kaffilah membawa
berita-berita tersebut ke jantung Tiongkok dan khatulistiwa,
pers Pan Islamisme berkembang sangat cepat, dalam tahun 1900
diseluruh dunia tidak lebih dari 200 (dua ratus) harian propaganda,
enam tahun kemudian 1906 jumlahnya menjadi 500 (lima ratus),
sementara dalam tahun 1914 menjadi lebih dari 1000 (seribu).48
Islam dianggap akan masuk kepada abad kejayaan nya kembali,
abad renaissance Islam seperti yang digambarkan oleh penganut
Pan Islamisme dengan sentiment anti Barat, Yahya Siddik dalam
bukunya “The awakening of the Islamic Peoples in the Fourteenth
Century of the Hegira. Menjabarkan tentang bagaimana Eropa
menjadi ancaman, dan menganggap dunia Barat sudah rusak.49
Seorang penulis Perancis50 memperingatkan orang-orang Eropa,
“Islam tidak mengakui batas-batas penjajahan kita, ini dilihat dari
kuatnya gerakan dari Persatuan Islam yang telah di mulai oleh
Djamaluddin Al Afghani.” Sikap mengancam dari Umat Islam
diperlihatkan oleh agitasi yang membara selama tiga tahun di

tumbuh karena bagi pengikut nabi hal itu adalah sendi kehidupan dan rohani.”
48
A.Servier, Le Nationalisme musulman, Hal.182 dalam Lothrop Stoddart, The New World
of Islam, Harvard, hal.75.
49
Yahya Siddyk, Le Reveil de people Islamique au quatorzieme siele de l.hegire (Cairo,1907)
dalam Lothrop Stoddart, The New World of Islam, Harvard, hal.76
50
L.massingnon, L’Islam et la Polittique des Allies, Reveau tiques, 1920.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

kalangan tujuh puluh juta muslim India terhadap pembagian kerajaan - 63 -

Utsmani, agitasi tersebut juga merata diseluruh dunia Islam. Gejala


dari semangat perang tersebut dilihat juga dari cepat tersebarnya
dua gerakan pemurnian baru “Al-Ichwan dan As-Salafiah”, Al-
Ichwan tumbuh dengan diam-diam di pedalaman Arab (Nedjet),
merupakan pertumbuhan yang langsung dari gerakan Wahabi.51
Gerakan lainnya pun muncul di India, As-Salafiah memiliki cara
yang sama dengan Al-Ichwan yaitu Pemurnian yang fanatik.
Semangat kebangsaan merupakan salah satu tenaga
penggerak yang hebat dalam zaman modern, di Eropa Nasionalisme
telah merombak secara radikal segala bentuk wajah dan benda
selama abad XIX, sehingga abad tersebut dikenal dengan
abad Kebangsaan. Tapi Nasionalisme bukanlah sekedar gejala
Eropa, tapi telah tersebar jauh kesetiap penjuru dunia, dan telah
mempengaruhi perubahan-perubahan yang penting. Nasionalisme
juga telah menguasai konsep rasial yang dianggap belum matang
dan menjelaskannya untuk kepentingannya sendiri. Pandangan
Eropa itu meluas, suatu perkataan baru yaitu Ras. Ada beberapa
pseudo rasias seperti: Pan Jermania, Pan Slavia, Pan Britania,
Pan Latinia, dan lainnya. Gerakan rasial pun muncul di akhir
abad XIX di Asia, muncul gerakan Turki Muda, Mesir Muda, dan
gerakan-gerakan nasionalisme yang lain disegala daerah yang
berjauhan letaknya, seperti Aljazair, Iran dan India. Selanjutnya
pada permulaan abad XX banyak gejala-gejala menunjukan bahwa
di Asia seperti Balkan, dimulainya fase kedua atau fase rasial dari

51
Antara Al-Ichwan dan Wahabi tidak ada perbedaan, Wahabi yang dipimpin oleh Ibnu
Sa’ud tersebut menganggap Al-Ichwan adalah luar biasa, khittahnya adalah impian Wahabi
lama yaitu Pemurnian kembali Dunia Islam.
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 64 - nasionalisme, maka bermunculah macam-macam Pan, seperti Pan


Turania, Pan Arabia, dan yang kedengaran seperti paradox “Pan
Nasionalisme” Islam. Selain itu kepercayaan diri atas pentingnya
rasa nasionalisme itu muncul, seperti pengagungan Turki kepada
“Padisha”, sultan-sultan Utsmani, juga ada pula rasa sombong ras
seperti bangsa arab yang merasa dirinya “Umat Pilihan”.
Islam pada beberapa aspek bertentangan dengan
nasionalisme, Islam menekankan kepada Persaudaraan dari
seluruh kaum Muslimin dan cita-cita politik Islam ialah “Imamah”
atau demokrasi teokrasi yang universal, melarang terbentuknya
pemerintahan sendiri-sendiri. sebagaimana halnya yang terjadi
pada permulaan masa renaissance di Eropa52, islam memiliki
konsepsi “Nasionalisme” yang jelas dalam pengertian Barat sekitar
paruh kedua abad XIX, dalam ajaran Syaid Djamaluddin Al-
Afghani yang menjadi penghubung antara Pan Islamisme dengan
nasionalisme Islam. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Syaid
Djamaluddin adalah bapak semua aliran nasionalisme Mesir, beliau
tidak hanya mempengaruhi agitator-agitator militer seperti “Urabi
Pasya53” bahkan juga para pembaharu-pambaharu yang konservatis
seperti Syeh Muhammad Abduh.54
Ide-ide nasionalisme mengambil tempat di bangsa-bangsa

52
Karena timbulnya bentrokan antara bangsa-bangsa dari Renaissance Eropa dan ide
kepausan di abad pertengahan “kerajaan romawi yang suci”
53
Pada Tahun 1882 memimpin revolusi, dia seorang opsir tentara yang berasal dari rakyat
biasa, seorang keturunan dari mesir kuno asli lembah sungai Nil, bangun menentukan
nasib mesir pada zaman modern.
54
Seorang yang mengetahui kelemahan-kelemahan mesir, dan oleh karena itu secara sabar
bekerja keras untuk perbaikan, dengan menempuh jalan evolusi, untuk mencapai maksud
dan tujuan.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

Arab, menjalin konsep non rasial “Pan Islamisme”, menyusun - 65 -

konsepsi-konsepsi seperti solidaritas Islam dan persaudaraan


diantara semua orang Mukmin. Jadi konsep-konsep baru
terpengaruh oleh konsepsi-konsepsi lama, sehingga kalau
orang muslim mempergunakan perkataan-perkataan seperti
“nasionalisme”, “ras” dan lainnya, maka konsepsi-konsepsi mereka
tentang pengertian tersebut berlainan dengan konsepsi barat. Dan
perbedaan ini terdapat pada konsepsi Politik, seperti kata “Negara”,
tipe Negara islam berbeda dengan Negara Barat, suatu kesatuan
yang dirumus jelas dan memiliki batas-batas wilayah tertentu
dengan kedaulatan penuh menjalankan pemerintahan dimana-
mana dalam batas-batas wilayah Negara. Sedangkan Negara Islam,
merupakan suatu gumpalan yang tanpa bentuk, dengan inti pusat,
takhta kekuasaan yang samar-samar dan kabur pengertiannya
sampai kepada kemerdekaan yang anarkis, tak dapat dirumuskan.
Begitu pula dengan istilah “kebangsaan”, dalam pandangan orang
muslim seseorang tidaklah perlu dilahirkan atau secara formil
diwarga-negarakan (dinaturalisasi) untuk menjadi anggota suatu
kabangsaan islam tertentu. Setiap muslim sedikit banyak merasa
dirumah sendiri didalam setiap daerah islam, Ini karena, Islam
selalu mempunyai suatu ide khusus tentang kesatuan wilayah
maupun rohaniah. Negeri yang penduduknya sebagian besar
terdiri dari umat islam dianggap sebagai “Darul Islam”55 dalam
arti milik bersama-sama dan yang wajib dibela bersama oleh umat
islam. Inilah sebabnya, bila ada suatu Negara Islam diserang, akan
menimbulkan kemarahan seluruh Dunia Islam, walaupun mungkin
55
Arti harfiah Raumah Islam, semua Negara bukan islam bersama-sama dinamakan “Darul
harb” atau Rumah Perang.
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 66 - Negara-negara tersebut tidak mempunyai kepentingan materi dalam


hal ini. Banyak ahli pikir muslim yang mengkombinasikan konsep
Barat dengan ide Darul Islam, yang tradisional dan membuat suatu
sintesa baru yang di istilahkan “Nasionalisme-Pan Islam”. Pikiran
itu disampaikan oleh seorang muslim India, yang menulis:
“Di Barat seluruh ilmu administrasi Negara (science
government) berasaskan pembagian kemanusiaan secara
hakiki, yang ditentukan oleh pandangan tentang ras
dan ilmu bumi, tapi untuk orang timur ide-ide tersebut
tidak boleh sama sekali dianggap azas, tetapi keanusiaan
dibagi menurut anutan keagamaan, dan kesatuan bukan
lagi bangsa (nation) atau Negara, tapi “Millah” atau
organisasi sekelompok pemeluk agama dalam suatu
daerah tertentu. Orang Eropa menganggap, bahwa
keadaan itu dapat dibandingkan dengan keadaan Eropa
di Abad Pertengahan, suatu tahapan yang harus dilalui
oleh Islam dalam perjalanannya menuju moderen dalam
pengertian Barat.”56

Gerakan kebangkitan Islam digunakan untuk semua gerakan


yang bertujuan memperbaharui cara berpikir dan cara hidup ummat
Islam. Ibn Taimiyah (1263-1328) menamakan gerakan seperti itu
dengan Muhji atsaris Salaf’, yaitu membangkitkan kembali ajaran-
ajaran lama, yaitu menonjolkan para Sahabat Rasul dan Tabi’in,
ditonjolkannya ajaran Imam Ahmad Ibn Hambal, yang senantiasa
gemar mempraktikkan ijtihad dan sangat anti kemusyrikan serta

56
Lothrop Stoddart, The New World of Islam, Harvard, hal.175
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

bid’ah, pedoman satu-satunya yang dipakai adalah Al-Qur’an dan - 67 -

Sunah Rasul. Pendirian Taimiyah disokong penuh dan dilanjutkan


muridnya Ibn Qajjim’al Djauziah (1292-1350), lebih diintensifkan
oleh Sayid Djalaluddin Al-Afghani (1838-1897) dan muridnya
Syeh Rasyid Ridho (1856-1935), yang menitikberatkan kepada
reform ajaran-ajaran agama murni serta mengharmonisasikan
dalam kehidupan kemasyarakaratan dan politik, di india gerakan
tersebut dilakukan oleh Sayid Ahmad Khan (1817-1897) yang
menggerakkan cara berpikir dan cara hidup baru sesuai dengan
ajaran-ajaran salaf.57
Islam tidak pernah surut sebagai iman, tetapi tidak lagi
berfungsi sebagai kendaran legitimasi politik setelah penghapusan
khalifah pada 1924, dan kelahiran Negara-negara sekuler di seluruh
dunia muslim. Islam politik menawarkan formula al-hall huwa
al-islam (Islam adalah solusi). Islam politik tidak merepresentasi
akan kepercayaan akan modernitas, tetapi malah mengelak
dari nilai-nilainya. Meskipun demikian, umat Islam bukanlah
tradisionalis, karena mereka juga memakai instrument modern dari
sains dan teknologi, meskipun digabungkan pendekatan tersebut
dengan penolakan tegas atas nilai-nilai modernitas dan pandanga-
pandangan rasional. Ambiguitas tersebut merupakan ciri utama
dari semua fundamentalisme.58
Gagasan “kembalinya yang suci”59 bertumpu pada tiga
anggapan jika diterapkan pada Islam, adalah: Pertama, agama


57
Ibid, hal.297


58
Bassam Tibi, Islam dan Islamisme, PT.Mizan Pustaka, 2016, hal.50


59
Bassam Tibi, Islam dan Islamisme, PT.Mizan Pustaka, 2016, hal.50
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 68 - islam itu diperuntukan bagi umat islam awam dan bukan formula
politik untuk suatu tatanan Negara, tetapi system ibadah dan
budaya yang menentukan pandangan dunia dan cara hidup. Telah
begitu jelas bahwa formulasi islam ihwal dia wa-daulah (kesatuan
agama dan Negara) bukan merupakan ciri islam itu sendiri tapi
penanda batas utama antara islam dan islamisme. Kedua, sebagai
varian fundamentalisme agama, islamisme bukan hanya bentuk
lain dari modernitas, merupakan ideology totaliter, dengan adanya
suatu gerakan yang merepresentasikannya. Penggunaan instrument
masyarakat sipil pun tidak akan mampu mengubah ideology
totalitarian menjadi gerakan yang demokratis. Ketiga, islamisme
demokrasi yang seharusnya dicapai dalam konteks syariah hanyalah
kamuflase bagi agenda tatanan yang totaliter.

Soal-soal:

1. Apa yang dimaksud dengan pemikiran politik Islam?


2. Jelaskan hubungan antara negara dengan agama?
3. Islam tak bertentangan dengan Pancasila. Bahkan Pancasila
diilhami oleh ajaran agama Islam. Islam merupakan agama
yang rahmatan lil alamin. Coba jelaskan mengapa Islam
sangat cocok dengan Pancasila?
4. Indonesia penduduknya mayoritas beragama Islam. Ini
merupakan anugerah. Masyarakat Indonesia juga sangat
menjaga dan menjunjung persatuan. Mengapa aliran-aliran
dalam Islam seperti fundamentalisme menjadi momok yang
menakutkan? Padahal kita tahu, masyarakat Islam Indonesia
sangat moderat.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

5. Pemikiran politik Islam berkembang di Indonesia. Bukan - 69 -

untuk mengundang perdebatan. Tapi untuk menghadirkan


solusi. Oleh karena itu, Islam sangat diterima oleh kebanyakan
rakyat Indonesia. Mengapa banyak yang phobia terhadap
Islam?

3.2. Kekhalifahan dalam Islam

Status Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah setelah


wafat tidak dapat diganti oleh siapapun (khatami al-anbiya’ wa al-
mursalin), tetapi kedudukan beliau yang kedua sebagai pimpinan
kaum muslimin harus ada gantinya. Orang itulah yang dinamakan
“Khalifah” artinya yang menggantikan Nabi menjadi kepala kaum
muslimin (pimpinan komunitas Islam).
Dalam pertemuan penentuan pengganti Rasulullah SAW,
kaum Anshar mencalonkan Sa’ad bin Ubadah, pemuka Khazraj
sebagai pemimpin umat. Akan tetapi, suku Aus belum menjawab
atas pandangan tersebut, sehingga terjadilah perdebatan. Sedangkan
kaum Muhajirin mendesak Abu Bakar sebagai calon mereka karena
dipandang paling layak untuk menggantikan Nabi. Di pihak lain
terdapat kelompok orang yang menghendaki Ali bin Abi Thalib,
karena nabi telah menunjuk secara terang-terangan sebagai
penggantinya, di samping Ali adalah menantu dan kerabat Nabi.60
Tetapi Umar dan  Abu Ubaidah secara tegas menunjuk Abu Bakar
sebagai pengganti Rasulullah SAW. Penunjukan tesebut akhirnya

60
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab,(Jakarta: Penerbit Logos,1997)
hlm 45
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 70 - disepakati hadirin.61 Dan melakukan pembaiat Abu Bakar sebagai


Khalifah. Baiat tersebut dinamakan baiat tsaqifah karena bertempat
di balai Tsaqifah Bani Sa’idah.
Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia
menunjuk Umar bin Al-Khatab sebagai penggantinya. Abu Bakar
dalam menunjuk Umar, terlebih dahulu ia berkonsultasi dengan
para pemuka sahabat antara lain Abdul Rahman bin Auf, Utsman
bin Affan dan Asid bin Hadhir, seorang tokoh Anshar. Konsultasi
ini menghasilkan persetujuan atas dipilihnya  Umar secara objektif.
Hasil musyawarah dan konsultasi dengan beberapa orang sahabat
senior itu masih ditawarkan kepada kaum muslimin yang sedang
kumpul di Masjid Nabawi dan semua sepakat. Setelah mendapatkan
persetujuan kaum muslimin, ia memanggil Utsman bin Affan untuk
menuliskan teks pengangkatan Umar (bai’at Umar).62   
Pada fase ketiga adalah proses pengangkatan Khalifah
Ustman bin Affan. Menariknya Sebelum meninggal, Umar telah
memanggil tiga calon penggantinya, yaitu Utsman, Ali bin Abi
Thalib, dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Dalam pertemuan, Umar
berpesan agar penggantinya tidak mengangkat kerabat sebagai
pejabat. Di samping itu, Umar telah membentuk dewan formatur
yang bertugas memilih penggantinya kelak. Dewan formatur yang
dibentuk Umar berjumlah 6 orang yang dinamakan Ahlul Halli
wal Aqdi. Mereka adalah Ali, Utsman, Sa’ad bin Abi Waqqash,
Abdul Ar-Rohman bin Auf, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin

61
Dedi supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung; Penerbit CV Pustaka Setia,
2008) hlm 69
62
Dedi supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung; Penerbit CV Pustaka Setia,
2008) hal. 79
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

Ubaidillah. Di samping itu, Abdullah bin Umar dijadikan anggota - 71 -

tetapi tidak memiliki hak suara.63 Langkah yang ditempuh Abdul


Ar-Rohman setelah Umar wafat adalah meminta pendapat kepada
anggota dewan formatur secara terpisah untuk membicarakan
jalan yang tepat untuk diangkat menjadi khalifah. Hasilnya adalah
muncul dua kandidat khalifah yaitu Utsman dan Ali. Ketika
diadakan penjajagan suara di luar sidang formatur yang dilakukan
oleh Abdul Ar-Rahman, terjadi silang pemilihan Ali dipilih oleh
Utsman dan Utsman dipilih oleh Ali. Kemudian, Abdul Ar-Rahman
memangil keduanya, dan hasilnya adalah terpilihnya Utsman.64
Demikian proses pemilihan Khalifah Ustman bin Affan berdasarkan
suara mayoritas.65
Utsman dibunuh, umat yang tidak mempunyai pemimpin
pada saat wafatnya Utsman, membai’at Ali bin Abi thalib sebagai
khalifah baru. Pengukuhan Ali menjadi khalifah tidak semulus
pengukuhan tiga orang khalifah pendahulunya. Ia dibaiat di tengah
kematian Utsman, pertentangan dan kekacauan kebingungan umat
Islam Madinah. Sebab kaum pemberontak yang membunuh Utsman
mendaulat Ali supaya bersedia dibai’at menjadi khalifah.66 Setelah
Ali bin Abi Thalib di bai’at menjadi Khalifah dimasjid Nabawi , Ali

63
Samsul Munir Amin, sejarah Peradaban Islam; (Jakarta; Penerbit AMZH,2010)
hal 104 dan Dedi supriyadi,  Sejarah Peradaban Islam,  (Bandung; Penerbit CV
Pustaka Setia, 2008) hal. 87 dan Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta;
Penerbit PT Raja Grafindo Persada, 2000) hal. 37
64
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung; Penerbit CV Pustaka Setia,
2008) hal. 88
65
Ali Mufrodi,Islam di Kawasan Kebudayaan Arab,(Jakarta: Penerbit Logos,1997)
hal. 121-122
66
Suyuti Pulungan. Fiqih Siyasah. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994) Hal. 151
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 72 - bin Abi Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair, dan


Aisyah. Alasannya karena Ali bin Abi Thalib tidak mau menghukum
para pembunuh Utsman, dan mereka menuntut bela terhadap darah
yang telah ditumpahkan secara dzalim. Terjadilah perang jamal
(onta), Zubair dan Thalhah terbunuh, sedangkan Aisyah ditawan
dan dikirim kembali ke Madinah.67 Pada masa Ali juga terjadi
perang Shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi
tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menimbulkan
golongan ketiga Al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan
Ali. Akibatnya, diujung masa pemerinthan Ali umat Islam terpecah
menjadi tiga kekuatan politik yaitu Mu’awiyah, Syi’ah, (pengikut
Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi) yang menyusup pada barisan
tentara Ali, dan Al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan
Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok
Al-Khawarij menyebabkan tenteranya semakin lemah, sementara
posisi mu’awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H
(660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang khawarij yaitu Abdullah
bin Muljam.
Dalam pergantian kepemimpinan masa empat al-khulafa’
al-Rasyidun sangat berbeda-beda, namun dari ke empat khalifah
tersebut saling memberikan penguatan dan kemajuan pola
pergantian, al-khulafa’ al-Rasyidun dalam kepemimpinannya
sebagai khadim al-ummah (pelayan umat) yang lebih mengutamakan
pelayanan kepentingan umat islam dan dipilih tidak berdasarkan
garis keturunan sedangkan pada masa klasik, pola khalifah itu
berubah menjadi zhill Allah fi al-ardh (bayang-bayang Allah di

67
Suyuti Pulungan. Fiqih Siyasah. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994) hal 157
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

muka bumi) dan diangkat secara turun temurun.68 - 73 -

Dalam pemikiran politik klasik terdapat pembagian Negara,ini


dilakukan oleh Al-Farabi, dengan membagi Negara kepada dua
kelompok yaitu Negara Utama (al-madinah al-fadhilah) dan Lawan
Negara Utama (Mudaddah al-Madinah al-Fadhila). Negara Utama
memiliki warga Negara yang memiliki fungsi dan kemanpuan
yang tidak sama satu denga lainnya, perlunya pembagian kerja
yang berbeda sesuai denga keahlian dan kecakapan anggotanya
dengan dijiwai oleh rasa kesetiakawanan dan kerjasam yang baik.
Sedangkan dalam Negara Mudaddah al-Madinah al-Fadhila,
dikelompokkan empat Negara yang rusak dan bertentang dengan
Negara utaman, yaitu: Negara Bodoh (al-Madinah al-jahilah),
Negara Fasik (al-Madinah al-Fasiqah), Negara Sesat (al-Madinah
al-Dhallah), Negara yang berubah (al-Madinah al-Mutabaddilah).
Pada zaman klasik juga muncul pemikiran perlunya
pelembagaan imamah yang di sampaikan Al-Mawardi, ini untuk
menggantikan kenabian (nubuwwah) dalam melindungi agama
dan mengatur kehidupan dunia, Al-Mawardi mengajukan ini
berdasarkan realitas sejarah al-Khulafa al-Rasyidun dan khalifah-
khalifah sesudah mereka, baik bani Umaiyah maupun Bani Abbas
yang merupakan lambang kesatuan Politik Umat Islam. Pemilihan
kepala daerah harus memenuhi dua unsur , yaitu ahl- al-ikhtiyar
atau orang yang berwewenang untuk memilih kepala daerah dan
ahl al-imamah atau orang yang berhak menduduki jabatan kepala
Negara. ahl- al-ikhtiyar tersebut yang Al-Mawardi sebut sebagai

68
Dr. Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik Islam dari
masa klasik hingga Indonesia kontemporer, Cet 1, Kencana 2010, hal 3
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 74 - al-hall wa al-aqd (orang-orang yang dapat melepas dan mengikat)69


ide ini tidak sepenuhnya mulus, ada ide baru dari Ibn Taimiyah
yang mengembangakan konsepsi ahl al-syawkah atau orang-
orang yang berasal dari berbagai kalangan dan kedudukan yang
dihormati dan ditaati oleh masyarakat. ahl al-syawkah inilah yang
memilih kepala Negara dan melakukan sumpah setia (bay’ah)
untuk kemudian diikuti oleh rakyat. Perbedaan dari konsep al-
mawardi di mana keabsahan kepala Negara bila dipilih oleh satu,
dua, atau empat orang saja. Menurut Ibn Taimiyah, praktik-pratik
seperti itu akan akan menjurus pada pembenaran kepala Negara
yang maik ke tampuk kekuasaan melaluia cara-cara paksa yang
inkonsistusional.70
Setelah terpilih, seorang kepala negara memiliki 10 tugas
dan kewajiban nya, yaitu: 1) memelihara agama, 2) melaksanakan
hukum diantara rakyatnya dan menyelesaiakan perkara yang terjadi
agar tidak ada yang menganiaya dan teraniaya, 3) memelihara
keamanan dalam negeri agar orang dapat melakukan aktivitasnya
dan mengadakan perjalanan dengan aman, 4) menegakkan hudud;
5) membentuk tentara yang tangguh unutk membentengi Negara
dari serangan musuh; 6) melakukan jihad terhadap orang yang
menolak ajaran islamn setelah diajak; 7) memungut harta fai’ dan
zakat dari orang yang wajib membayarnra; 8) membagi-bagikan
kepada yang berhak; 9) menyampiakan amanah; 10) memerhatikan
segala sesuatu yang dapat meningkatkan politik pemerintahannnya

69
Dr. Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik Islam dari
Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer, Cet 1, Kencana 2010, hal 19
70
Ibid, hal 35
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

terhadap masyarakat dan pemeliharaannya terhadap agama.71 - 75 -

Ibn Taimiyah menolak kualifikasi yang harus dipenuhi kepala


Negara yang diajukan mawardi di atas, ia hanya menetapkan syarat
kejujuran (amanah) dan kewibawaan atau kekuatan (quwwah) bagi
seorang kandidat seorang kepala Negara dan tidak memutlakkan
suku Quraisy.
Dalam hal kepemimpinan Negara, pada masa klasik ini sama
sama mempertahankan bahwa kepala Negara harus berasal dari
suku tertentu seperti Bani Abbas dan suku Quraisy, lebih lentur pada
saat masa ke khalifahan al-Khulafa al-Rasyidun yang mengangkat
khalifah tidak dari golongan darah atau suku tertentu.
Pemikiran politik yang muncul pada masa al-khulafa’ al-
Rasyidun dan masa klasik muncul berdasarkan kejadian sosial
masyarakat saat itu, pergantian kepemimpinan dari pengganti
rasulullah SAW diwarnai dengan perdebatan, meskipun dapat
diselesaikan dengan menganggat abu bakar sebagai khalifah, yang
menariknya, dimana konsep pergantian kepemimpina itu muncul
selalu diperdebatkan. Pada masa Rasulullah tidak ada perumusan
dalam pergantian kepemimpinan, sehingga inilah yang menjadi
awal perdebatannya. Namun kita bisa lihat kesamaannya dari masa
al-khulafa’ al-Rasyidun dan Masa Klasik yaitu:
1. Adanya konsep bernegara, meskipun tidak tereksplisit di
sampaikan pada masa Abu Bakar, konsep ini dimana, Adanya
Pendelegasian terhadap tugas-tugas pemerintahan di Madinah
maupun Daerah. Seperti, menunjuk ali bin Abi Thalib,
Utsman bin Affan, dan Zaid bin Tsabit sebagai sekertaris

71
Ibid, hal 19- 20
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 76 - pemerintahan pusat dan abu ubaidah sebagai bendaharawan.


Sedangkan Umar bin Khattab menjadi hakim agung. Dan
pemerintahan diluar kota Madinah, membagi wilayah hukum
kekuasaan negara Madinah menjadi beberapa provinsi. Dan
setiap provinsi menugaskan Amir atau wali.72
2. Adanya konsep lembaga yang berwenang, atau memiliki
otoritas ini terjadi pada masa abu bakar dan umar bin khatab,
dan inipun yang menjadi pijakan al-mawardi merumuskan
konsep ahl al-hall wa al-aqd dan di ikuti oleh ibn khaldun.
Konsep ini dapat dilihat, pada khalifah Umar bi Khattab, yang
mengatur administrasi pemerintahan menjadi delapan wilayah
bagian (Mekah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah,
Palestina dan Mesir). Pengadilan didirikan dalam rangka
memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif.73 
Dan membentuk sebuah lembaga yang bernama  Ahlul
hall wal aqdi  atau lembaga penengah dan pemberi fatwa.
Begitupun pada masa khalifah Utsman mempercayakan
kepada seorang gubernur untuk setiap wilayah atau provinsi
serta pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib di mana,
membenahi dan menyusun arsip Negara untuk mengamankan
dan menyelamatkan dokumen-dokumen khalifah dan kantor
Shahib Ushurthah, serta mengordinir polisi dan menetapkan
tugas-tugas mereka.74

72
Suyuti Pulungan.  Fiqih Siyasah. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994) Hal.
114
73
Badri Yatim,  Sejarah Peradaban Islam,  (Jakarta; Penerbit PT Raja Grafindo
Persada, 2000), hal. 37
74
Ibid, hal 158
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

- 77 -

Soal-soal:
1. Pancasila sudah final. Tak boleh diutak-atik dan diganti.
Mengapa ada sekelompok orang yang masih memperjuangkan
kekhalifahan?
2. Sistem kekhilafahan tak cocok dengan Indonesia. Dan
dibanyak negara juga ditolak. Apa yang dmaksud dengan
sistem kekhilafahan?
3. Di Indonesia. Organisasi yang ingin mendirikan kekhalifahan
telah dibubarkan oleh pemerintah. Pemerintah berlaku tegas
terhadap kelompom atau organisasi yang akan mendirikan
kekhalifahan. Apa untung dan rugi pembubaran organisasi
yang ingin mendirikan kekhilafahan?
4. Mengapa masih banyak warga masyarakat yang ingin berjuang
mendirikan kekhuilafahan? Padahal Indonesia merupakan
negara yang jelas-jelas menolak paham tersebut ?
5. Banyak para aktor dan simpatisan organisasi yang ingin
mendirikan kekhalfihan berprofesi sebagai ASN. Mereka
menolak Pancasila. Menolak Demokrasi. Tapi mereka
menerima gaji dari negara. Bagaimana pandangan Anda?
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 78 -
BAB

IV
IDEOLOGI POLITIK

4.1. Pemikiran tentang Civil Society

Civil society adalah sebuah konsep yang kepopulerannya


hampir menyamai konsep demokrasi jika dihubungkan dengan
perkembangan wacana post-authoritarian state/regime di berbagai
belahan dunia dewasa ini.75 Demokrasi dan masyarakat sipil
merupakan 2 (dua) konsep yang saling berkelindan satu sama
lain, ibarat dua sisi dari satu mata uang yang sama. Keduanya
eksis secara bersama, dan tak dapat dipisahkan satu dengan yang
lainnya. Suatu negara akan dilabeli predikat demokratis bila ada
suatu kekuatan aktif dari masyarakat sipil yang membatasi dan
memperkuat kekuasaan negara. Dalam masyarakat demokratis,
negara harus mendapat persetujuan masyarakat sipil dalam
membuat dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakannya.
Sebaliknya, masyarakat sipil juga memerlukan negara yang efektif
dalam melaksanakan kebijakan-kebijakannya. Oleh karena itu, di
negara yang demokratis, kualitas negara tergantung pada kualitas
dari masyarakat sipilnya, demikian juga sebaliknya. Masyarakat

75
Makna kata “civil society” dalam Bahasa Indonesia sangat variatif. Ada yang
menterjemahkannya dengan masyarakat madani, masyarakat warga atau masyarakat
kewargaan, masyarakat beradab atau masyarakat berbudaya, dan masyarakat sipil.
Meskipun penggunaan makna yang berbeda ini bisa dipertukarkan satu sama lain,
namun dalam tulisan ini, civil society diartikan sebagai masyarakat sipil.
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 80 - sipil didefinisikan sebagai sektor non-negara suatu masyarakat.


Sejarah konsep masyarakat sipil bisa ditelusuri kembali dalam
perdebatan klasik antara ahli filsafat seperti Thomas Hobbes, John
Locke, Montesquieu. Kemudian dalam diskursus modern yang
dikonseptualisasikan oleh Hegel, Marx, dan Engels, serta saat ini
oleh para pengikutnya.76
Masyarakat sipil, secara umum, mencerminkan adanya ruang
aktivitas publik (the sphere of public activity) yang membentang di
antara individu, negara, dan korporasi. Ruang di mana individu-
individu telah menyadari sepenuhnya akan hak dan kewajiban yang
dimilikinya masing-masing untuk dijalankan secara independen,
tanpa kehadiran intervensi negara yang menonjol. Oleh karena itu,
individu dan kelompok dalam masyarakat dapat saling berinteraksi
berdasarkan semangat toleransi. Di dalam ruang tersebut,
masyarakat dapat melakukan partisipasi dalam pembentukan
kebijakan publik dalam suatu negara.
Civil society tetap memerlukan keterlibatan negara,
meskipun hanya dalam kadar yang sedikit dalam rangka memajukan
demokrasi atau menginisiasi demokratisasi dalam kehidupan
bernegara. Konsep masyarakat sipil sejatinya merupakan konsep
arus balik atau resistensi konseptual terhadap wacana dominannya
peran negara, yang awalnya berkembang di Barat atau memiliki
akar sejarah awal dalam peradaban masyarakat Barat, kemudian
menjadi popular dan primadona dalam kajian tentang demokrasi

76
Zuhro, Siti, R. 2008. Masyarakat Sipil dan Demokratisasi. Dalam Kurniawan,
J., Luthfi dan Puspitosari, Hesti. 2008. Negara, Civil Society, & Demokratisasi:
Membangun Gerakan Sosial dan Solidaritas Sosial Dalam Merebut Perubahan.
Malang: In-Trans Publishing. Hal. 1.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

post-authoritarian regime di Eropa Timur, sampai akhirnya - 81 -

mempengaruhi bangsa atau masyarakat di negara-negara


berkembang, termasuk Indonesia.
Mengacu pada uraian singkat di atas, maka pertanyaan yang
ingin diulas jawabannya dalam makalah ini, adalah: Bagaimanakah
pemikiran Hegel tentang civil society, Negara dan Pasar?
Gagasan civil society yang memiliki sejumlah padanan kata
yang variatif dalam Bahasa Indonesia sesungguhnya mulai populer
dan menjadi tema primadona diskusi ataupun debat yang dilakukan
oleh kalangan intelektual mulai tahun 1990-an sampai sekarang.77
Konsep yang sejatinya berkembang di Barat ini, menekankan pada
arti penting relasi masyarakat dengan negara.
Konsep pemikiran masyarakat sipil yang paling tua,
berkembang pada masa Yunani Kuno. Konsep pemikiran tersebut
merujuk pada pendapat Aristoteles, yakni politike koinonia. Politike
koinonia adalah sebuah komunitas politik yang memungkinkan
warga untuk terlibat langsung dalam percaturan ekonomi,
politik, dan pengambilan keputusan. Istilah tersebut digunakan
untuk mengilustrasikan sebuah masyarakat politis dan etis yang
menempatkan warga negaranya dalam posisi yang sama di depan
hukum. Pada saat itu, masyarakat sipil lebih identik dengan
negara yang warga negaranya telah mampu mengurus diri mereka
sendiri. Selain Aristoteles, saat itu konsep masyarakat sipil juga
dipopulerkan oleh Markus Tullius Cicero. Cicero mengistilahkan
77
Ada yang menggunakan istilah ‘masyarakat madani, masyarakat beradab atau
berbudaya, masyarakat warga atau kewargaan, dan masyarakat sipil’ sebagai
padanan kata dalam Bahasa Indonesia, yang penggunaannya bisa dipertukarkan
satu sama lain. Berbeda istilah, namun memiliki maksud yang sama. Dalam
tulisan ini, digunakan padanan kata ‘masyarakat sipil’ demi alasan praktis saja.
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 82 - masyarakat sipil dengan societas civilis, yang dimaknai


sebagai masyarakat politik. Konsep masyarakat sipil kemudian
dikembangkan oleh Thomas Hobbes.
Wacana civil society kemudian lebih diperluas cakupannya
oleh G.W.F. Hegel, Karl Marx, dan Antonio Gramsci. Ketiga
tokoh tersebut mengatakan bahwa civil society merupakan elemen
ideologis kelas dominan. Pemahaman tersebut adalah reaksi atas
pandangan Paine yang memisahkan civil society dengan negara.

Masyarakat Sipil (Civil Society) Menurut Hegel

Masyarakat sipil bagi Hegel digambarkan sebagai


masyarakat pasca Revolusi Perancis yaitu masyarakat yang telah
diwarnai dengan kebebasan, terbebas dari belenggu feodalisme.78
Dalam penggambaran Hegel ini, Civil Society adalah sebuah
bentuk masyarakat dimana orang-orang di dalamnya bisa memilih
hidup apa saja yang mereka suka dan memenuhi keinginan mereka
sejauh mereka mampu. Negara tidak memaksakan jenis kehidupan
tertentu kepada anggota Civil Society seperti yang terjadi dalam
masyarakat feodal karena negara dan civil society terpisahkan.
Masyarakat sipil terdiri dari individu-individu yang
masing-masing berdiri sendiri atau dengan istilah Hegel bersifat
atomis.79 Akibatnya, anggota dalam masyarakat sipil (civil society)
tidak mampu mengobyektifkan kehendak dan kebebasan mereka.
Kehendak dan kebebasan mereka bersifat subyektif-partikular.

J.S. Mc Clelland, A History of Western Political Thought (Fifth Ed.: London, 1996), hal.
78

531
Bdk. Hegel’s Philosophy of Right, transl. T.M. Knox (Reprint: London, 1981) No.255 dan
79

No. 238
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

Meskipun demikian, masing-masing anggota dalam mengejar - 83 -

pemenuhan kebutuhannya saling berhubungan satu sama


lain.80 Civil society menjadi tempat pergulatan pemenuhan aneka
kebutuhan dan kepentingan manusia yang menjadi anggotanya.
Dalam kerangka penggambaran ini, masyarakat sipil adalah
masyarakat yang bekerja. Karena kegiatan masyarakat sipil tidak
dibatasi oleh negara, maka dalam masyarakat sipil terjadilah usaha
penumpukan kekayaan yang intensif.81
Berkaitan dengan ciri kerja itu, masyarakat sipil ditandai
dengan pembagian kelas sosial yang didasari pada pembagian
kerja yaitu kelas petani, kelas bisnis dan kelas birokrat atau pejabat
publik (public servants).82  Kelas petani mengolah tanah dalam
rangka memenuhi kebutuhan keluarga-keluarga.83  Kelas bisnis
terdiri dari pengrajin, pengusaha manufaktur dan pedagang. Kelas
pelayan publik bertugas memelihara kepentingan umum komunitas
masyarakat sipil.84  Kelas pejabat publik ini bila ditinjau dari gaji
yang diperoleh merupakan kelas dalam masyarakat sipil, tetapi bila
ditinjau dari tugasnya, ia termasuk kelas eksekutif dalam negara.
Jadi, kelas birokrat atau pejabat publik ini dalam pemikiran Hegel
merupakan jembatan dari masyarakat sipil ke negara.
Masyarakat sipil adalah masyarakat yang terikat pada hukum.
80
Ibid. No.189 – 195. Lihat juga Andrew Calabrese, “The Promise of Civil Society: A Global
Movement for Comunication Rights,”  Continuum: Journal of Media dan Cultural
Studies, 3 (September 2004), hal. 319.
81
Ibid. No.243.
82
Bdk.  Hegel’s Philosophy of Right, transl. T.M. Knox (Reprint: London,
1981) No.255 dan No. 202
83
Ibid. No. 203.
84
Ibid. No. 204-205.
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 84 - Hukum diperlukan karena anggota masyarakat sipil memiliki


kebebasan, rasio dan menjalin relasi satu sama lain dengan sesama
anggota masyarakat sipil itu sendiri dalam rangka pemenuhan
kebutuhan mereka. Hukum merupakan pengarah kebebasan dan
rasionalitas manusia dalam hubungan dengan sesama anggota
masyarakat sipil. Tindakan yang melukai anggota masyarakat sipil
merupakan tindakan yang tidak rasional.85
Ciri kerja dan sifat atomis dari masyarakat sipil ini
menyebabkan masyarakat sipil lebih menyukai bantuan kepada
orang miskin tidak melalui bantuan langsung tetapi dengan cara
memberi pekerjaan kepada mereka sehingga akan meningkatkan
produktifitas komunitas.  Hegel lebih lanjut mengaitkaan bahwa
pada titik tertentu masyarakat sipil mencapai kelimpahan produksi
sebagai akibat dari kerja para anggota masyarakat sipil. Titik jenuh
produksi ini disebut Hegel sebagai tingkat kematangan masyarakat
sipil. Dalam tingkat kematangan ini, masyarakat sipil harus mencari
pasar di tempat lain dengan cara mengkoloni tempat tersebut.
Tapi Hegel menyebutkan alasan tindakan koloni itu dalam rangka
mencukupi kebutuhan keluarga-keluarga di tempat lain.86

Negara (State) Menurut Hegel

Negara dalam pemikiran Hegel merupakan penjelmaan


“Roh Absolut” (Great Spirit atau Absolute Idea). Karena itu Negara
bersifat absolut yang dimensi kekuasaannya melampaui hak-hak

85
Samuel Enoch Stumpt, Philosophy History and Problems (New York:1994), hal. 338.
86
Hegel’s Philosophy of Right, transl. T.M. Knox (Reprint: London, 1981) No.255 dan
No. 245-248
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

transcendental individu. Mengikuti logika dialektika Hegel, Negara - 85 -

merupakan suatu tahap perkembangan ide mutlak. Perkembangan


tersebut ditandai dengan proses gerak dialektis yang terjadi antara
tesis-antitesis yang kemudian melahirkan sintesis. Dari sintesis
tersebut muncul lagi tesis-antitesis dan seterusnya, proses dialektis
tersebut baru berakhir apabila tercapai ide mutlak.
Gagasan Hegel tentang “Roh Absolut” merupakan pengaruh
pemikiran kristiani pada dirinya, yaitu tentang roh kudus dalam
doktrin trinitas. Sama seperti perspektif kristiani yang menganggap
roh atau spirit sebagai sesuatu yang suci (sakral), Hegel pun melihat
Negara sebagai perwujudan Roh serta sebagai Organ Politik yang
Suci. Hegel mensakralisasi Negara, melihat sepak terjang Negara
di Dunia sebagi Derap Langkah Tuhan di Bumi. The State is divine
ideas as it exixts on earth.87 Pandangan Hegel tersebut tentu memiliki
konsekuensi terhadap gagasannya tentang kekuasaan Negara,
yaitu bahwa pemegang kekuasaan (state outhority) entah itu Raja,
Fuhrer, Presiden atau apapun namanya, adalah akal impersonal
dan mirip dengan konsep Rousseau sebagai Perwujudan kemauan
kolektif (general will) yang menjelma menjadi manusia. Pemimpin
Negara bisa saja mendengarkan suara wakil-wakil rakyat, Hegel
mengakui adanya system Parlementer namun tidak mengikat
karena Kekuasaan Kepala Negara itu Mutlak.
Berbeda dengan J.J Rousseau dan John Locke maupun
kalangan Marxis yang melihat Negara sebagai alat kekuasaan,
Hegel justru berpendapat bahwa Negara itu bukan alat melainkan
tujuan itu sendiri. Karena itu dalam logika Hegel, bukan Negara
87
Dikutip dalam Andrew Hacker, Political Teory, Philosophy, Ideology, Science, New York:
The Macmillan, 1968 Hal 445
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 86 - yang megabdi kepada rakyatnya atau individu maupun golongan


masyarakat melainkan sebaliknya, merekalah yang harus mengabdi
dan diabdikan demi Negara. Mereka harus menjadi abdi Negara,
hal itu dilakukan untuk kebaikan dan kesejahteraan masyarakat itu
sendiri.
Lebih lanjut Hegel berpendapat bahwa Negara bersifat
unik karena ia memiliki logika, nalar system berpikir dan prilaku
tersendiri yang beda dengan yang dimiliki organ politik apapun.
Karena itu bisa saja misalnya, Negara menegasi kebebasan atau
kemerdekaan individu dengan asumsi bahwa individu tidak
memiliki makna dalam totalitas Negara. Ia harus lebur dalam
kesatuan Negara. Dalam perspektif semacam itu, individu tidak
mungkin bisa menjadi kekuatan oposisi berhadapan dengan
Negara. Tetapi perlu di ingat bahwa ini bukan berarti Hegel tidak
mengakui eksistensi kebebasan Individu. Ia mengakui, meski
anehnya kebebasan tidaklah harus selalu berkonotasi Demokrasi.
Hegel mempunyai interpretasi sendiri tentang kebebasan,
konsep paling sentral dalam diskursus demokrasi itu, ia berargumen
bahwa karena manusia itu makhluk rasional dan memiliki kesadaran
diri, maka ia akan sangat mengkultuskan kebebasan,88 tetapi disisi
lain, nampaknya Hegel menyangsikan kemampuan manusia untuk
mengekang dan menguasai hawa nafsunya andaikata kebebasan
sejati diberikan sepenuhnya kepada manusia. Mirip dengan
pemikiran Machiavelli dan Thomas Hobbes yang menganggap
manusia memiliki watak kebinatangan, seperti refleksi pada kata-
kata Hobbes”manusia menjadi srigala bagi manusia lainnya”,

Plamenatz, Man an Society, vol I; London, Longmans green and Co.Ltd, 1963
88

hal 216.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

Hegel berpendapat bahwa karena wataknya yang mementingkan - 87 -

dirinya sendiri, kebebasan manusia harus dibatasi. Dengan kata


lain, andaikata pun manusia diberikan kebebasan, kebebasan itu
tetap harus berada dibawah control kekuasaan. Ini dimaksudkan
agar kebebasan tidak menjadi kekuatan yang berhadapan dengan
Negara. Hegel menganut prinsip bahwa: “Kemerdekaan bukanlah
apa-apa melainkan pengakuan dan pengadopsian objek substantif
semesta seperti Hak dan Hukum, dan produksi kenyataan yang
sesuai dengannya-yaitu Negara”.89
Hegel juga menganut prinsip Keharmonisan Sosial atau
meminjam konsep Parsonians, social equilibrium (keseimbangan
sosial). Dalam kerangka berpikir tersebut, Hegel menilai bahwa
manusia akan meraih kebebasan manakala apa yang diinginkan dan
dituntutnya sesuai dengan keinginan dan tuntutan manusia-manusia
lainnya. Ada keselarasan aspirasi individu dengan aspirasi sosial.
Dan yang lebih penting lagi, tidak boleh ada kontradiksi antara
kepentingan individu dengan etika dan tatanan sosial. Karena itu
kata Hegel, suatu komunitas yang terdiri dari manusia-manusia
rakus bagaimanapun rasional dan tingginya tingkat kesadaran diri
mereka akan tetap gagal mewujudkan kebebasan. Hanya manusia
yang bermoral tinggi saja yang akan mampu mengaktualisasikan
kebebasan sebagai suatu realitas sosial.
Pembedaan antara negara dengan civil society dilakukan
oleh Hegel dalam bukunya “Philosophy of Right” yang terbit pada
tahun 1821.90 Hegel memandang civil society sebagai kelompok
89
Hacker, Political Theory, op.cit, hal 446
90
Pelczynski, A., Z. (ed.). 1984. The State and Civil Society: Studies in Hegel’s Political
Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press. Hal. 1.
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 88 - subordinatif dari negara. Masyarakat sipil dan negara bukan sesuatu


yang independen. Ia menyampaikan pandangan ini ketika kondisi
perekonomian di Eropa Barat sedang membaik. Masyarakat saat
itu sudah mampu membayar pajak. Dari kemampuan tersebut,
masyarakat memiliki bargaining terhadap negara, dan pada
akhirnya warga menuntut hak politik mereka. Masyarakat sipil
merupakan produk borjuasi, sedangkan kelahiran kaum borjuasi
merupakan hasil dari produk kapitalis. Pengujian Hegel mengenai
hubungan antara masyarakat sipil dengan negara dimulai dengan
cara mengandaikan suatu identitas kepentingan antara individu
dengan masyarakat, atau lebih tepatnya “identitas keinginan
universal dengan keinginan khusus. Kebenaran sosialitas (the truth
of sociality) membentang dalam himpitan kepentingan khusus
dengan kepentingan umum, yakni dalam ‘kesatuan dialektis’nya.
Dalam keteraturan etis, keduanya dihubungkan oleh determinasi
resiprokal, dan meski berbeda, kepentingan khusus dan kepentingan
umum hanya diwujudkan secara penuh ketika keduanya bergabung.

Pasar (Market) Menurut Hegel

Dalam melihat pasar (market), Hegel lebih mengedepankan


perlunya membuat perangkat aturan untuk mencegah kekacauan
ekonomi yang membahayakan ketertiban sosial, negara harus
membentuk dan menjamin kondisi-kondisi regulasi etis sistem
ekonomi. Sebab, masyarakat pasar (market society) membutuhkan
suatu kerangka institusional, termasuk perangkat perlindungan
sosial dan regulasi pasar yang bersumber dari negara guna menjamin
kelancaran proses pertukaran dan produksi yang hendak dilakukan.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

Hegel mendorong dan mempromosikan suatu regulasi etis ekonomi - 89 -

ketimbang serangkaian aturan imperatif sebagai sebuah perangkat


untuk mencapai bentuk kebebasan subyektif yang lebih konkret
melalui ekonomi pasar.
Hegel menterjemahkan ulang kategori-kategori yang diusung
oleh ekonomi klasik, menggambarkannya ke dalam proses dialektis
kehidupan etis. Terdapat 3 (tiga) isu mendasar yang berkenaan
dengan proses dialektis kehidupan etis yang digambarkan dalam
buku the Philosophy of Rights, yakni keluarga, masyarakat sipil,
dan negara. Hegel hendak memikirkan jenis organisasi sosial yang
memungkinkan perwujudan identitas kepentingan atau kesatuan
dialektis kepentingan khusus dengan keinginan universal. Identitas
ini dianggap sebagai sebuah persyaratan kebebasan individu
yang konkrit, yang didefinisikan Hegel sebagai “determinasi
diri (penentuan nasib sendiri)”. Oleh karena itu, agar tetap
berkenaan dengan ekonomi klasik, konseptualisasi masyarakat
sipil Hegel mengambil titik pijak “manusia sebagai totalitas
keinginan dan gabungan tingkah laku dengan kebutuhan fisik”.
Individu dipandang dalam “kekhususan”nya, sebagai serangkaian
kebutuhan khusus dan/atau kesejahteraan khusus, yakni individu
sebagaimana dipikirnya sendiri dalam masyarakat sipil, dan
sebagaimana ekonomi politik merefleksikannya: mahluk ekonomi
yang memandang unit sosial yang ia miliki sebagai sebuah sarana
sederhana untuk memenuhi kebutuhan khusus dirinya. Individu
harus masuk ke dalam relasi kebutuhan, kerja, dan keinginan bebas
individu lainnya, yang merupakan syarat bagi kepuasan dirinya
sendiri. Hegel menyebut proses ini sebagai “sistem kebutuhan
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 90 - (system of need): bentuk umum pertama dan mediator penjamin


kohesi sosial dalam masyarakat sipil.
Hegel memuji ekonomi politik, dan lebih khusus lagi,
memuji Smith, Say, serta Ricardo, karena kemampuan mereka
mengetengahkan hukum dan prinsip sederhana yang berperan
secara spontan dalam sistem kebutuhan: pengatur interaksi individu-
individu. Bagi Hegel, ekonom-ekonom klasik tersebut telah
memberi pijakan dan ilustrasi bagi koherensi sistem kebutuhan dan
fungsionalisasinya melalui analisis mekanisme pasar. Koordinasi
pasar (yang dianggap sebagai sebuah relasi eksterioritas padu
antarindividu) muncul sebagai sebuah aspek “kemajuan dialektis”
yang benar-benar abstrak di mana individu mengejar pemenuhan
kepentingan khusus serta mengintegrasikan dirinya ke dalam
sebuah jejaring ekonomi dan determinasi sosial.
Mengacu pada argumen tersebut di atas, maka civil society
merupakan gagasan mendasar dalam sejarah pemikiran Barat, yang
mencerminkan hubungan antarmanusia. Hubungan antarmanusia
dalam masyarakat atau negara sesungguhnya menjadi tema yang
diperbincangkan di beragam peradaban dan waktu. Meskipun
mungkin, persoalan ini menjadi sesuatu yang sangat serius
dalam peradaban Barat Modern dengan segala karakteristiknya
dibandingkan dengan peradaban-peradaban yang lain.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

Pemilahan Pemikiran Hegel tentang Masyarakat Sipil, - 91 -

Negara dan Pasar

NEGARA MASYARAKAT SIPIL PASAR HUBUNGAN KETIGANYA

1. Great Spirit atau 1. Digambarkan sebagai 1. Negara harus 1. Hubungan ketiganya


Absolute Idea masyarakat pasca Revolusi membentuk dan yaitu Interdependen,
2. Kebebasan manusia Perancis menjamin kondisi- dimana memiliki
harus dibatasi (dalam 2. Civil society sebagai kelompok kondisi regulasi etis keterkaitan satu dengan
control kekuasaan) subordinatif dari negara sistem ekonomi. yang lainnya.
3. Hegel mengakui 3. Civil society menjadi tempat 2. Koordinasi 2. Masyarakat Sipil
adanya system pergulatan pemenuhan aneka pasar (yang memiliki prinsip
Parlementer namun kebutuhan dan kepentingan dianggap sebagai kebebasan namun
tidak mengikat karena manusia yang menjadi sebuah relasi kebebasan tersebut
Kekuasaan Kepala anggotanya. eksterioritas padu harus diatur oleh
Negara itu Mutlak. 4. Masyarakat sipil ditandai antarindividu) Negara.
4. Ada keselarasan aspirasi dengan pembagian kelas 3. Individu mengejar 3. Negara membuat
individu dengan sosial yang didasari pada pemenuhan regulasi-regulasi
aspirasi sosial pembagian kerja yaitu kelas kepentingan ekonomi agar individu/
5. Tidak boleh ada petani, kelas bisnis dan kelas khusus serta Masyarakat sipil
kontradiksi antara birokrat atau pejabat publik mengintegrasikan mampu mengejar
kepentingan individu (public servants). dirinya ke dalam kebutuhannya serta
dengan etika dan Kelas petani mengolah sebuah jejaring terlibat kedalam
tatanan sosial tanah dalam rangka ekonomi dan jejaring ekonomi.
6. Masyarakat sipil dan memenuhi kebutuhan determinasi sosial 4. Adanya koordinasi
negara bukan sesuatu keluarga-keluarga. Kelas Pasar dengan Negara
yang independen. bisnis terdiri dari pengrajin,
untuk menekan relasi
pengusaha manufaktur dan
7. Negara itu bukan alat buruk antar individu
pedagang. Kelas pelayan
melainkan tujuan itu publik bertugas memelihara 5. Masyarakat Sipil kelas
sendiri. kepentingan umum Birokrat atau pejabat
8. Negara tidak megabdi komunitas masyarakat publik merupakan
kepada rakyatnya atau sipil. Kelas pejabat publik ini jembatan dari
individu maupun bila ditinjau dari gaji yang masyarakat sipil ke
golongan masyarakat diperoleh merupakan kelas Negara.
melainkan sebaliknya, dalam masyarakat sipil, tetapi
Rakyatlah yang bila ditinjau dari tugasnya,
harus mengabdi ia termasuk kelas eksekutif
dan diabdikan dalam negara. Jadi, kelas
Birokrat atau pejabat publik
demi Negara,
merupakan jembatan dari
hal itu dilakukan masyarakat sipil ke negara.
untuk kebaikan
dan kesejahteraan 5. Masyarakat sipil adalah
masyarakat itu sendiri. masyarakat yang terikat pada
hukum.
6. Pada titik tertentu
masyarakat sipil mencapai
kelimpahan produksi sebagai
akibat dari kerja para anggota
masyarakat sipil. Titik
jenuh produksi ini disebut
sebagai tingkat kematangan
masyarakat sipil.

Demikian pemikiran Hegel tentang Civil Society, Negara


dan Pasar, dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa
civil society terdapat dalam tiga wilayah yaitu keluarga, civil
society dan negara. Masyarakat sipil juga merupakan masyarakat
yang hidupnya bebas namun memiliki etik. Hegel memposisikan
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 92 - masyarakat sipil sebagai sebuah masyarakat biasa, komunitas yang


terdiri dari individu-individu, yang kehidupannya tidak dicampuri
oleh Negara tapi bersubordinasi dengan Negara, masyarakat sipil
sebagai penghubung antara individu dengan Negara. Dalam kaitan
ini, negara dipandang Hegel sebagai pengatur dan pemersatu
dari masyarakat sipil melalui reguasi-regulasi. Civil Society juga
merupakan arena persaingan ekonomi, maka ia mengandung potensi
perpecahan, sehingga pada akhirnya negara, sebagai kekuasaan
politik yang mengurus kepentingan umum, harus mengontrol civil
society agar tidak mengalami disintegrasi. Hegel mengembangkan
gagasan.

Soal-soal:

1. Kenapa civil society merupakan bagian dari elemen ideologis


kelas dominan?
2. Bagaimana membangun kesetiaan ideologi pada civil society?
3. Menurut Hegel, negara merupakan roh absolut. Lalu
bagaimana ideologi bisa dilaksanakan oleh warga negara?
4. Negara yang tak punya ideologi akan hancur. Ideologi seperti
apa yang akan bisa menopang keberlangsungan sebuah
negara?
5. Negara dan ideologi tak bisa dipisahkan. Negara tanpa
ideologi akan mati. Begitu pun sama, ideolgi tanpa negara
akan tak bermakna. Bagaimana keduanya bisa diterima oleh
warga negara?
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

4.2. Komunisme dan Transisi Demokrasi di Indonesia - 93 -

Latar Belakang Masalah

Komunis di Indonesia yang terstruktur dalam Partai


Komunis Indonesia pasca pemilu 1955 merupakan partai yang
besar dan mampu mempengaruhi parlemen dan pemerintahan,
paham komunis yang dibangun atas dasar perjuangan kelas buruh
(proletar) terhadap kesamaan hak dengan kaum bourjuais berawal
dari revolusi Prancis dan Bolshevic Rusia, terinspirasi karena itu
maka kelompok-kelompok gerakan pendukung kemerdekaan
menyuarakan pembebasan Negara Kesatuan Republik Indonesia
dari penguasaan penjajah, kelompok yang sering melawan
perjuangan kelas tersebut merupakan kaum-kaum pribumi yang
terbentuk dari pecahan Partai Sarikat Islam, yang dikenal dengan
PSI Merah dipimpin oleh Muso, dalam perjalanan waktu PSI
Merah berubah menjadi Partai Komunis Indonesia. Pada pemilu
1955 suara PKI sangat signifikan dan mampu menjadi penyeimban
partai-partai lain seperti Masyumi dan NU , pergulatan ideology
yang muncul dalam pemerintahan Soekarno menjadi pemicu
banyaknya pergolakan-pergolan di daerah-daerah seperti DI/TII
dan keinginan untuk melepas diri dari NKRI.
Pada masa Demokrasi Terpimpin Indonesia, Soekarno
selaku presiden mengeluarkan dekrit pembubaran konstituante
dan membentuk Dewan Nasional untuk mengawal pemerintahan
yang berjalan. Adanya instabilitas politik yang membuat gejolak di
daerah-daerah dianggap dipicu adanya proklamasi PRRI/ Permesta
pada tanggal 15 Ferbruari 1958 yang disebabkan dari sistem
ketatanegaraan dan politic liberalistic atas dasar individualism. Sifat
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 94 - individu dipandang tidak sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia


yang selalu mengedepankan musyawarah dan mufakat. Sehingga
soekarno memutuskan untuk menyederhanakan partai-partai
politik dan menambah dengan golongan profesi sebagai kekuatan
sosial politik. Selain itu, soekarno juga ingin membentuk angkatan
ke lima berdasarkan usulan Partai Komunis Indonesia dengan
melihat perlunya kekuatan baru dalam menghadapi pembebasan
Irian Barat (Trikora) dan konflik dengan Malaysia (Dwikora) yang
membutuhkan banyaknya sukarela, hal tersebut ditentang oleh
pimpinan ABRI yang menganggap itu adalah bagian dari skenario
untuk melakukan revolusi seperti yang terjadi di Rusia maupun
RRC.
ABRI yang mengambil peran sebagai penjaga territorial,
berubah menjadi tentara pro-demokrasi yang ingin terlibat dalam
politik (pretorian), dalam pidato Jendral A.H Nasution di Ulang
Tahun Akademi Militer Nasional 12 November 1958 di Magelang,
menyebut dua peran militer, yaitu fungsi tempur dan fungsi
“Pembina wilayah” atau Pembina masyarakat. Yang dikenal dengan
Dwi Fungsi, Nasution menganggap bahwa, “TNI bukan sekedar
sebagai alat sipil sebagaimana terjadi di Negara-negara Barat
dan bukan pula sebagai rezim militer yang memegang kekuasaan
Negara. Dwi fungsi merupakan kekuatan sosial, kekuatan rakyat
yang bahu-membahu dengan kekuatan rakyat lainnya. Perseteruan
antara Partai Komunis Indonesia dan Militer pada masa tersebut,
terlalu bercampurnya orang sipil dalam institusi militer sehingga
dipandang perlu militer mengambil peran lebih dalam membangun
bangsa.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

Rumusan Permasalahan - 95 -

Munculnya Partai Komunis Indonesia telah merubah arah


pembangunan bangsa, pada masa demokrasi terpimpin, PKI yang
sangat dekat dengan soekarno membuat perubahan yang radikal
sehingga mengancam posisi ABRI. Puncaknya pada kejadian G 30
S yang dilancarkan oleh oknum yang mengatas namakan perwira
revolusioner sebagai kontra revolusi yang akan dijalankan oleh
dewan jendral pada 5 oktober 1965, peristiwa G 30 S tersebut
mengalami luka yang mendalam karena pasca nya telah terjadi
pembantaian massa kepada pengurus dan simpatisan Partai
Komunis Indonesia di seluruh pelosok negeri.
Peran Partai Komunis Indonesia dihapus dari sejarah
bangsa, dan Paham komunis dilarang di Indonesia, hal tersebut
yang menjadikan Komunisme dunia runtuh karena di Indonesia
merupakan Partai Komunis terbesar ketiga di dunia setelah
Cina dan Rusia. Berbagai pergulatan Sosial Politik terjadi di
Indonesia, Komunisme memainkan peran penting sebagai ideologi
revolusioner. Mengusung kesamaan hak antara orang pribumi
dengan penjajah dan menuntut kedaulatan rakyat lewat gerakan-
gerakan yang dibangun, sehingga pergulatan tersebut telah
menjadikan Partai Komunis Indonesia tersisih oleh kekuatan besar
ABRI dan Ideologi Dunia “kapitalisme global”, yang diusung oleh
Blok Barat.91

91
Blok Barat atau  Blok Kapitalis, selama Perang Dingin merujuk pada kekuatan yang
bersekutu dengan Amerika Serikat dan NATO melawan Uni Soviet dan Pakta Warsawa,
mendirikan pakta pertahanan NATO (North Atlantic Treaty Organization) oleh blok barat
pada tanggal 4 April 1949, yang beranggotakan awal 12 negara yaitu Amerika Serikat,
Inggris, Kanada, Perancis, Belanda, Belgia, Italia, Portugal, Islandia, Norwegia, Luksemburg,
dan Denmark. Sebagai tandingannya, pihak blok timur juga mendirikan organisasi serupa
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 96 - Pertanyaan Penelitian

Adapun pertanyaan penting dari makalah ini adalah


bagaimanakah komunisme pada masa transisi demokrasi di
Indonesia?

Teori Komunisme

Komunisme adalah sebuah ideologi. Penganut paham ini


berasal dari Manifest der Kommunistischen yang ditulis oleh Karl
Marx dan Friedrich Engels, sebuah manifesto politik yang pertama
kali diterbitkan pada 21 Februari 1848 teori mengenai komunis
sebuah analisis pendekatan kepada perjuangan kelas (sejarah dan
masa kini) dan ekonomi kesejahteraan yang kemudian pernah
menjadi salah satu gerakan yang paling berpengaruh dalam dunia
politik. Komunisme pada awal kelahiran adalah sebuah koreksi
terhadap paham kapitalisme di awal abad ke-19, dalam suasana
yang menganggap bahwa kaum buruh dan pekerja tani hanyalah
bagian dari produksi dan yang lebih mementingkan kesejahteraan
ekonomi. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, muncul
beberapa faksi internal dalam komunisme antara penganut komunis
teori dan komunis revolusioner yang masing-masing mempunyai
teori dan cara perjuangan yang berbeda dalam pencapaian
masyarakat sosialis untuk menuju dengan apa yang disebutnya
sebagai masyarakat utopia.
Marx dan Engels mengajukan teori sosialisme ilmiah yang
menyatakan bahwa gagasan ideal tentang tiadanya hak milik dan

pada tanggal 14 Mei 1955, dengan nama Pakta Warsawa yang beranggotakan awal 7 negara
yaitu Uni Soviet, Jerman Timur, Polandia, Bulgaria, Cekoslowakia, Hongaria,dan Albania.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

masyarakat yang egaliter bukan hanya merupakan sesuatu yang - 97 -

seharusnya terjadi, tetapi karena didorong oleh konsep evolusi


ekonomi yang ilmiah, pasti akan terjadi. Pendeknya, ekonomi
adalah landasan hidup yang terorganisasi: semua yang lainnya
adalah “suprastruktural”.
Dari presmis tersebut, Marx dan Engels mulai merumuskan
suatu teori evolusi sosial, suatu postulat sentral yang percaya bahwa
control atas sarana-sarana produksi mendorong munculnya “kelas-
kelas” sosial.92 Pada awalnya tidak ada kepemilikan pribadi atas
tanah, dimikili bersama-sama namun pada perjalanan waktu dan
disaat zaman “komunal primitif” memunculkan pembagian kelas
karena suatu kelompok berhasil memonopoli sumber-sumber vital
dan memanfaatkan kekuasaan ekonomisnya untuk mengeksploitasi
dan mendominasi kelompok masyarakat yang lain dengan cara
mendirikan institusi-institusi politik dan hukum guna melindungi
kepentingan kelasnya, dan juga memanfaatkan budaya, agama,
etika, seni dan sastra demi tujuan yang sama. Analisis atas itu, Marx
melihat posisi kapitalisme kontemporer yang terjadi dalam sejarah
ekonomi inggris merupakan tahap terakhir masyarakat kelas dan
bahwa kapitalisme tersebut niscaya akan runtuh sebagai akibat dari
suatu revolusi buruh industri yang di eksploitasi. Sistem kapitalisme
bergantung pada eksploitasi atas upah buruh, dalam arti bahwa
kapitalis mengapropriasi “nilai lebih” dari apa yang diproduksi oleh
buruh. Menurut Engels, gagasan mengenai nilai lebih merupakan
gagasan terbesar kedua yang Marx sumbangkan bagi pengetahuan
manusia. Semua nilai diperoleh dari buruh, namun demikian di

92
Richard Pipes; Komunisme sebuah sejarah; mata angin, Yogyakarta, 2004; hal 3
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 98 - bawah system kapitalis, pengusaha membayar buruh-buruhnya


dengan hanya sebagian dari nilai yang mereka ciptakan semata-
mata supaya mereka tetap hidup lebih, atau “surplus”nya masuk
ke sakunya sendiri. Di dalam evolusi mode produksi kapitalis, baik
besarnya keuntungan yan diperoleh kaum kapitalis maupun upah
yang diterima buruh secara terus menerus menurut, terjadi akibat
kaum kapitalis mengeluarkan semakin banyak modalnya untuk
perlengkapan, bahan baku, dan semacamnya serta semakin sedikit
untuk upah yang menjadi sumber keuntungannya. Buruh menjadi
murah dan upah turun sehingga kemerosotan standart hidup
secara terus-menerus, pada saat yang sama terkait dengan krisis
yang terjadi secara periodic yang disebabkan oleh over produksi.
Perusahaan besar menelan perusahaan yang kecil dan kekayaan
industrial terkonsentrasi di semakin sedikit orang. Sehingga akan
terjadi revolusi sosial sebagai pembebasan total manusia. Marx
dan Engel membatasi pembebasan manusia yang dimaksud bukan
berarti gagasan liberal tentang hak-hak sipil dan perlindungan dari
Negara:”kebebasan politis adalah kebebasan yang semu” tulis
Engels, “perbudakan yang paling buruk; tampak adalah kebebasan
namun sebenarnya merupakan realitas penghambaan.” Sejalan
dengan Engels, Marx menolak kebebasan liberal dan hak-hak sipil
serta menganggapnya sebagai penipuan karena memperbudak
manusia pada benda-benda material; kebebasan yang sesungguhnya
akan membebaskan manusia dari subjeksi benda-benda tersebut.93
Apa yang dipikirkan Marx dan Engels coba dijelaskan oleh
teoritikus Marxian George Lukacs: “kebebasan” manusia yang

93
Richard Pipes; Komunisme sebuah sejarah; mata angin, Yogyakarta, 2004; hal 3
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

hidup dewasa ini adalah kebebasan individual yang terisolasi oleh - 99 -

fakta kepemilikan yang mewujud dan dari dirinya sendiri terwujud.


Kebebasan tersebut berhadap-hadapan dengan individu-individu
yang lain (yang tidak kurang terisolasi). Kebebasan kaum egois,
kaum yang memisahkan diri dari yang lain.94

Pembahasan
Komunisme
Sejarah Komunisme Indonesia

Di Indonesia ideologi Marxisme tumbuh pesat setelah


lahirnya Partai Komunis Indonesia, dengan berpijak pada
Komunisme, Marxisme-Leninisme didirikan oleh sosialis Belanda
Henk Sneevliet dan Sosialis Hindia lain yang pada dasarnya
membentuk tenaga kerja di pelabuhan pada tahun 1914, dibawah
nama Indies Social Democratic Association (dalam bahasa Belanda:
Indische Sociaal Democratische Vereeniging-, ISDV). ISDV pada
dasarnya dibentuk oleh 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda,
SDAP dan Partai Sosialis Belanda yang kemudian menjadi SDP
komunis, yang berada dalam kepemimpinan Hindia Belanda.Para
anggota Belanda dari ISDV memperkenalkan ide-ide Marxis untuk
mengedukasi orang-orang Indonesia mencari cara untuk menentang
kekuasaan kolonial.
Pada Era pra-Perang Kemerdekaan Komunisme lahir dari
hadirnya orang-orang buangan politik dari Belanda dan mahasiswa-
mahasiswa lulusannya yang berpandangan kiri. Beberapa di

94
Richard Pipes; Komunisme Sebuah Sejarah; Mata Angin, Yogyakarta, 2004; hal 3
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 100 - antaranya Sneevliet, Bregsma, dan Tan Malaka yang masuk setelah
Sarekat Islam (SI) Semarang sudah terbentuk.Gerakan Komunis di
Indonesia diawali di Surabaya, yakni di dalam diskusi intern para
pekerja buruh kereta api Surabaya yang dikenal dengan nama VSTP.
Awalnya VSTP hanya berisikan anggota orang Eropa dan Indo
Eropa saja, namun setelah berkembangnya waktu, kaum pribumi
juga banyak yang bergabung. Salah satu anggota yang menjadi
besar adalah Semaoen kemudian menjadi ketua SI Semarang.
Era Perang Kemerdekaan Gerakan PKI bangkit kembali pada
masa Perang Kemerdekaan Indonesia, diawali oleh kedatangan
Muso secara misterius dari Uni Soviet ke Negara Republik (Saat
itu masih beribu kota di Yogyakarta). Sama seperti Soekarno dan
tokoh pergerakan lain, Muso berpidato di Yogyakarta dengan
pandangannya yang murni Komunisme. Di Yogyakarta, Muso
juga mendidik calon-calon pemimpin PKI seperti D.N. Aidit.
Muso dan pendukungnya kemudian menuju ke Madiun, di sana ia
dikabarkan mendirikan Negara Indonesia sendiri yang berhalauan
komunis. Gerakan ini didukung oleh salah satu menteri Soekarno,
Amir Syarifuddin. Divisi Siliwangi akhirnya maju dan mengakhiri
pemberontakan Muso.

Komunisme dan kemenangan pada Pemilu 1955

Pada pemilu 1955, Partai Komunis Indonesi mendapatkan


urutan ke empat dengan perolehan 39 kursi atau 16% dari total
keseluruhan kursi 257 yang diperbutkan dan 80 kursi dari 514 kursi
Konstituante, kemenangan tersebut tidak terlepas dari dukungan
PKI terhadap adanya keinginan Soekarno mendirikan Demokrasi
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

Terpimpin, dan Soekarno mendukung setiap gerakan yang dilakukan - 101 -

PKI dan ingin mengajukan ideologi baru bagi bangsa yang dikenal
dengan Nasakom (Nasionalis, Agamais dan Komunis), kemenangan
PKI tersebut, menjadikan ideologi komunis yang dibangun sejalan
dengan jiwa nasionalisme rakyat. Pada 3 Desember 1957, serikat-
serikat buruh yang pada umumnya berada di bawah pengaruh PKI,
mulai menguasai perusahaan-perusahaan milik Belanda, pada
Januari 1964 PKI juga mulai menyita properti Inggris yang dimiliki
oleh perusahaan-perusahaan Inggris di Indonesia. penguasaan atas
asset perusahaan tersebut, merintis nasionalisasi atas perusahaan-
perusahaan yang dimiliki oleh asing dan perjuangan melawan para
kapitalis asing memberikan PKI kesempatan untuk menampilkan
diri sebagai sebuah partai nasional. Dalam sejarah perjuanga kelas
di beberapa revolusi di dunia, menampilkan kelas buruh menuntut
hak nya yang layak sedangkan pemilik pabrik tidak mampu
memenuhinya akibat biaya produksi yang tinggi dan juga akibat
gaya hidup kaum bangsawan (bourjuais) yang mewah.

Hubungan Komunisme dengan Soekarno

Kebijakan Soekarno yang cenderung ketimur yaitu blok


Rusia dan China tidak sejalan dengan pidatonya yang menyatakan
Indonesia adalah Negara Non Blok, akibat itu dikalangan militer
yang sayap kanan mengkritisi dan agar konsisten melaksanakan
UUDS 1950, hubungan yang erat Soekarno tersebut menjadikan
gerakan-gerakan pengambilan asset perusahaan-perusahaan belanda
lebih mudah oleh PKI, besarnya kekuatan PKI tersebut menjadikan
beberapa pimpinannya menduduki pemerintahan, seperti Para
pemimpin PKI, Aidit dan Njoto, diangkat menjadi menteri
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 102 - penasihat. Di panggung internasional, presiden Soekarno bertekad


mengarahkan Indonesia untuk mengejar posisi sebagai pemimpin
dunia baru yang berbeda dari Blok Barat dan Blok Komunis. Tetapi
dalam kenyataannya, Indonesia cenderung ke Blok Komunis, ke
Republik Rakyat China (RRC), setelah terjadi perpecahan ideologis
antara Uni Soviet dan RRC. Mengikuti kecenderungan tersebut,
Indonesia berjuang menentang Nekolim (Neo-Kolonialisme dan
Imperialisme) yang “tamak”. Dua tugas, dari beberapa tugas yang
diemban oleh Indonesia adalah membebaskan Irian Barat dari
kekuasaan Belanda, serta menghancurkan Malaysia yang terlihat
sebagai Negara boneka buatan Inggeris. Untuk melaksanakan tugas
tersebut, soekarno melancarkan Politik Konfrontasi, sejalan dengan
perjuangan militer dan diplomatik untuk membebaskan Irian Barat.
Selain itu ada beberapa langkah-langkah politik luar negeri yang
dianggap kekiri-kirian antara lain:
Presiden Soekarno menyampaikan pandangan politik dunia
yang berlawanan dengan barat, yaitu OLDEFO (Old Established
Forces) dan NEFO (New Emerging Forces). Indonesia membentuk
Poros Jakarta-Peking dan Poros Jakarta-Phnompenh-Hanoi-
Peking-Pyongyang yang membuat Indonesia terkesan ada di pihak
Blok Timur Konfrontasi dengan Malaysia yang berujung dengan
keluarnya Indonesia dari PBB.
Salah satu hal yang dilakukan PKI setelah masuk kedalam
pemerintahan Orde Lama adalah dengan diusulkannya Angkatan
ke-5 yang terdiri dari buruh dan petani, Pimpinan PKI bermaksud
dengan dibentuknya angkatan kelima ini diharapkan dapat
mendukung mobilisasi massa untuk menuntaskan Operasi Dwikora
dalam menghadapi Malaysia. Namun, hal ini membuat TNI
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

AD merasa khawatir takut adanya penyelewengan senjata yang - 103 -

dilakukan PKI.

Transisi Demokrasi Terpimpin

Adanya krisis moneter dan banyaknya pergolakan di


beberapa daerah di Indonesia menjadikan pemerintahan tergoncang,
pada saat yang sama soekarno lebih mengedepankan intrik-intrik
internasional untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu
Negara yang di takuti di dunia, hal ini yang membuat ketidak
stabilan dalam negri sehingga muncul isu bahwa PKI dan militer
yang bermusuhan akan melakukan kudeta. Militer mencurigai
PKI karena mengusulkan Angkatan Kelima (setelah AURI, ALRI,
ADRI dan Kepolisian), sementara PKI mencurigai TNI hendak
melakukan kudeta atas Presiden Soekarno yang sedang sakit, tepat
saat ulang tahun TNI. Kecurigaan satu dengan yang lain tersebut
kemudian dipercaya menjadi sebab insiden yang dikenal sebagai
Gerakan 30 September, namun beberapa ilmuwan menduga, bahwa
ini sebenarnya hanyalah konflik intern militer waktu itu.95 Dalam
laporan CIA menyatakan bahwa operasi tersebut beresiko terhadap
prestise tentara: selama enam minggu, tentara Indonesia terlibat
dalam suatu gerakan besar melawan PKI. Anggota dan simpatisan
PKI dikumpulkan dan ditawan oleh tentara; sementara yang lain
dibersihkan dari berbagai posisi dipemerintahan daerah; dan dijawa
tengah pengikut PKI dilaporkan ditembak ditempat leh tentara.
Tentara sangat mempertaruhkan prestise dan masa depan politiknya

95
Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah pembantaian massal yang
terlupakan”jombang-kediri 1965-1966); Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2001.
Hal 68
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 104 - dengan gerakan ini. Tentara ingin melarang dan melumpuhkan


partai ini untuk selama-lamanya tetapi sikapnya terhadap marxisme
jauh lebih rumit daripada sekedar anti-komunisme.96
Konflik yang menjadikan partai komunis Indonesia
dibubarkan tidak terlepas dari Peran ABRI yang ingin terlibat
lebih besar dalam pemerintahan, kekuatan pemerintahan sipil
yang dibangun soekarno dan ingin mempertahankan pemerintahan
yang totaliter tidak disepakati oleh petinggi-petinggi ABRI yang
menginginkan demokrasi dijalankan, meletusnya peristiwa G 30
S sebagi bentuk kontra inteligen yang dibangun oleh PKI karena
adanya isu dewan jendral yang ingin melakukan revolusi, sehingga
jendral yang tercantum nama nya dibunuh dan PKI diharapkan
mampu mengendalikan Negara. Strategi yang dibangun PKI ini
berlawanan dengan prinsip-prinsip kemanusia, Negara komunis-
totaliter yang dibangun dengan cara-cara menerapkan konflik
tersebut adalah bentuk pencegahan dunia baru (yang ingin dibangun
ABRI) sehingga tidak mengembangkan stabilitas karena stabilitas
hukum-hukum serta lembaga-lembaganya tentu akan membubarkan
gerakan itu sendiri.97
Pasca Gerakan 30 September, terjadi pengambinghitaman
kepada orang-orang komunis oleh pemerintah Orde Baru. Terjadi
“pembersihan” besar-besaran atas warga dan anggota keluarga
yang dituduh komunis meskipun belum tentu kebenarannya.
Diperkirakan antara lima ratus ribu sampai dua juta jiwa meninggal
di Jawa dan Bali setelah peristiwa Gerakan 30 September, para
96
Ibid (hal.33)
97
Hanna Arend, Asal-Usul Totalitarisme, jilid III Totaliterisme; diterjemahkan oleh yayasan
obor Indonesia;1995.hal 142
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

“tertuduh komunis” ini yang ditangkap kebanyakan dieksekusi - 105 -

tanpa proses pengadilan.98 Negara dinyatakan darurat saat


pembunuhan dewan jendral dan Soeharto yang saat itu berpangkat
mayjen mengambil alih atas keadaan Negara dan melakukan perasi
penumpasan G 30 S, hanya dengan waktu 5 (lima) hari ABRI
mampu menguasasi semua alat Negara yang telah dikuasi PKI, atas
prestasi tersebut dan melihat ketidak berdayaan soekarno maka
Soeharno diberi mandat sebagai presiden pengganti soekarno,
diawal kepemimpinannya soeharto menerbitkan TAP MPRS No.
25/1966, tentang pembubaran PKI dan larangan penyebaran paham
komunisme, Marxisme, dan Leninisme, di saat itulah paham
tersebut tidak bergerak terbuka lagi.

Kesimpulan

Ideologi komunis di Indonesia yang lahir dari perjuangan


kelas dan menuntut kemerdekaan dari penjajah serta pergulatan
ideologi dunia bangkit kembali mengambil tempat sebagai
suatu gerakan nasionalis pada era demokrasi terpimpin, ini juga
didukung akibat kedekatan PKI dengan Soekarno. Kondisi bangsa
yang mengalami krisis ekonomi dan sosial dan adanya tindakan
Soekarno yang mendekatkan diri pada komusisme uni soviet
dan china, mejadikan bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi
yang diantaranya kedaulatan rakyat, kebebasan atau persamaan
(equel), toleransi, berdasarkan hokum (rule of law dan bukan

98
Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah pembantaian massal yang
terlupakan”jombang-kediri 1965-1966); Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2001.
Hal 83
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 106 - rue of man), damai (menyelesaikan konflik dan perbedaan secara


damai). Apa yang terjadi di Indonesia terdapat pada teori revolusi
yang diajukan Moore, revolusi borjuois menghasilkan demokrasi
dan kapitalisme; revolusi dari atas mengahasilkan industrialisasi
dan fasisme, dan revolusi dari bawah menghasilkan komunisme.
Hal inilah yang terjadi di Indonesia pada masa transisi, pemberian
mandat presiden kepada Soeharto merupakan bentuk revolusi dari
atas yang diharapkan menghasilkan demokrasi, dalam pelaksanaan
kepemimpinan Soeharto yang lahir dari ABRI melakukan
perombakan dengan menjadikan ABRI yang pretorian dan
memperkecil ruang gerak sipil, Soeharto memfusikan beberapa
partai dan menjadi dua partai dan membentuk utusan golongan
(golkar) yang bekerja dengan ABRI dalam mengawal pemerintahan
yang kondusif.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

- 107 -

Soal-soal:

1. Kenapa komunisme pernah ada di Indonesia?


2. Komunisme dilarang di Indonesia. Karena tidak sesuai dengan
nilai-niai Pancasila dan agama. Sejauhmana komunisme bisa
merusak kehidupan berbangsa dan bernegara?
3. Indonesia sangat jelas membuang jauh-jauh ide-ide komunisme.
Dan Pancasila merupakan ideologi final. Bersyujur kita
punya Pancasila. Bisa mempersatukan kepentingan seluruh
komponen bangsa. Apa kehebatan Pancasila sehingga tak
goyah dirong-rong oleh komunisme?
4. Komunisme tak cocok di Indonesia. Oleh karena itu, semua
yang berbau komunisme diberangus. Apa bahayanya nilai-
nilai komunisme?
5. Pancasila itu sakti. Kenapa Pancasila dikenal dengan
kesaktiannya?
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 108 -
BAB

V
KEBIJAKAN POLITIK

5.1. Sejarah Berdirinya Orde Baru

Sejarah kelahiran Orde Baru dilatari oleh beberapa kondisi


sosial, politik, dan ekonomi Indonesia di bawah rezim Demokrasi
Terpimpin yang dipimpin oleh Soekarno. Setelah dikeluarkannya
dekrit pada 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali Undang-
Undang Dasar 1945, kekuasaan politik kembali terpusat di tangan
presiden. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengembalikan
ketertiban dalam tatanan kehidupan politik yang ketika itu tengah
diguncang oleh berbagai pemberontakan di daerah. ketidak-jelasan
sistem demokrasi parlementer yang menyebabkan ketidakstabilan
politik sehingga berdampak pada ketidakpuasan sejumlah golongan
di daerah. Soekarno dengan kewenangan besar yang dimilikinya
kemudian melemahkan partai-partai politik karena dipandang
sebagai penyebab instabilitas, bahkan Masyumi dan PSI dibubarkan
karena tokoh-tokohnya dianggap terlibat dalam pemberontakan
PRRI/Permesta.
Di sisi lain, kondisi perekonomian Indonesia pada
pertengahan 1960-an tengah mengalami kemerosotan. Pemerintahan
Soekarno yang kekurangan uang harus membuang subsidi sektor-
sektor publik yang penting, perkiraan inflasi tahunan terjadi pada
500-1.000%, pendapatan ekspor menyusut, infrastruktur hancur,
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 110 - dan pabrik-pabrik beroperasi pada kapasitas minimal dengan


investasi terabaikan. Sementara kemiskinan semakin parah dan
kelaparan menjadi meluas, Soekarno justru memimpin Indonesia
dalam konfrontasi militer dengan Malaysia sambil meningkatkan
retorika revolusi dan anti-Barat.99 Indonesia bahkan rela mencabut
keanggotaannya dari PBB setelah Malaysia diterima sebagai salah
satu anggota Dewan Keamanan Tidak Tetap.
Posisi kekuasaan Presiden Soekarno bergantung pada
keberhasilannya menyeimbangkan kekuatan yang saling berlawanan
dan memuncak menjadi kian bermusuhan diantara Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ideologi
Soekarno yang anti-imperialisme kemudian membawa Indonesia
semakin tergantung pada dukungan Uni Soviet dan Republik
Rakya Tiongkok. Pada tahun 1965 di puncak Perang Dingin, PKI
telah merambah semua tingkat pemerintahan Indonesia secara
luas. Dengan dukungan dari Soekarno dan Angkatan Udara, PKI
memperluas pengaruhnya dengan mengurangi kekuasaan tentara,
sehingga membuat permusuhan dari pihak militer.100 Pada akhir
1965, TNI telah terbagi antara faksi sayap kiri yang pro-PKI, dan
faksi sayap kanan yang sedang didekati oleh Amerika Serikat.101
Rivalitas internal di kalangan militer berpuncak pada
Peristiwa G30 S. Pada malam 30 September - 1 Oktober 1965,
enam jendral senior TNI diculik dan dibunuh di Jakarta oleh

99
Schwarz, A, A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s. (Westview Press,
1994), hal.52-57
100
Ricklefs, M. C, A History of Modern Indonesia since c.1300, Second Edition.
(MacMillan, 1991), hal 282
101
Ibid, hal 272-280
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

batalyon tentara dari Resimen Tjakrabirawa (Pengawal Presiden) - 111 -

dalam sebuah aksi yang kemudian disebut oleh Soeharto sebagai


“percobaan kudeta”. Faksi sayap kanan TNI yang membawahi
enam jenderal tersebut hancur, termasuk Panglima Staf Angkatan
Darat yang paling berkuasa, Ahmad Yani. Sekitar 2.000 personil
tentara dari kelompok tersebut menempati tiga sisi Lapangan
Merdeka, dan menduduki Istana Merdeka, kantor Radio Republik
Indonesia, dan pusat telekomunikasi, tetapi tidak menempati
sisi timur, tempat markas Kostrad. Kelompok tersebut menyebut
diri mereka “Gerakan 30 September” (disingkat “G30S”), dan
mengumumkan di radio RRI sekitar pukul 7:00 WIB bahwa mereka
mencoba menghentikan kudeta militer yang didukung oleh Central
Intelligence Agency (CIA) Amerika Serikat yang direncanakan
untuk menghapus Soekarno dari kekuasaan.102
Mereka mengumumkan telah menangkap beberapa jenderal
yang tergabung dalam konspirasi tersebut, yaitu anggota “Dewan
Jenderal”, yang telah merencanakan kudeta militer terhadap
pemerintahan Presiden Soekarno. Mereka kemudian menyatakan
bahwa kudeta ini sejatinya akan berlangsung pada “Hari Angkatan
Bersenjata” (5 Oktober) dengan dukungan dari CIA, dan bahwa
Dewan Jenderal kemudian akan membentuk sebuah junta militer
yang memegang tampuk kekuasaan Indonesia.103 Setelah itu,
kelompok ini memproklamasikan berdirinya sebuah “Dewan
Revolusi” yang terdiri dari berbagai perwira TNI terkenal dan

102
Ibid, hal 281
103
Ricklefs, M. C, A History of Modern Indonesia",( MacMillan, 1982), lihat pula
Roosa, John, Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement & Suharto's
Coup D'État in Indonesia, (University of Wisconsin Press, 2007)
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 112 - pemimpin sipil yang akan menjadi otoritas tertinggi di Indonesia.


Selain itu, mereka menyatakan bahwa Kabinet Dwikora Presiden
Soekarno sebagai “demisioner” (“tidak valid”).
Pada 1 Oktober, tentara RPKAD merebut kantor RRI dan
Bangunan Telekomunikasi kembali tanpa perlawanan karena para
tentara personil G30S telah mundur kembali ke Markas Halim
Perdanakusuma TNI AU. Pasukan RPKAD menyerbu Markas
Halim Perdanakusuma TNI AU pada dini hari tanggal 2 Oktober,
tapi dicegat oleh tentara G30S dalam baku tembak sengit di mana
beberapa korban jiwa jatuh di kedua sisi. Sebuah perintah langsung
dari Presiden Soekarno berhasil mengamankan penyerahan tentara
G30S siang harinya, setelah pasukan Soeharto menduduki markas
tersebut. Pada tanggal 3 Oktober, tubuh para jenderal faksi sayap
kanan TNI yang terbunuh oleh G30S ditemukan di lokasi Lubang
Buaya dekat Markas Halim dan pada tanggal 5 Oktober (Hari
Angkatan Bersenjata) pemakaman umum yang besar diadakan.
Setelah pembunuhan para jenderal tersebut, perwira
berpangkat tertinggi dalam militer Indonesia dan tertinggi ketiga
dalam keseluruhan rantai-komando adalah Menteri Pertahanan dan
Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Abdul Haris Nasution.
Namun pada 5 Oktober, Soekarno berpindah mempromosikan
Mayjen Pranoto Reksosamudro, yang dianggap sebagai loyalis
Soekarno, sebagai Kepala Staf TNI AD menggantikan Jenderal
Nasution. Sedangkan, Soeharto pada tanggal 2 Oktober menerima
perintah dari Soekarno untuk mengambil kendali tentara, tapi
dengan syarat bahwa hanya Soeharto yang memiliki otoritas
untuk memulihkan ketertiban dan keamanan. Tanggal 1 November
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

dibentuklah Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan - 113 -

Dan Ketertiban), sebagai bentuk resmi otoritas Soeharto ini.104


Setelah pengangkatan Pranoto tersebut, The New York Times
melaporkan bahwa sebuah “laporan diplomatik” Barat yang tidak
disebutkan namanya menyatakan bahwa Pranoto adalah mantan
anggota PKI. Dugaan komunisme Pranoto, serta pengangkatannya,
membuat media tersebut berpandangan bahwa PKI dan Soekarno
bersekongkol untuk membunuh para jenderal tersebut untuk
mengkonsolidasikan genggaman mereka pada kekuasaan.105
Tentara, bertindak atas perintah Soeharto dan diawasi oleh Nasution,
memulai kampanye agitasi dan hasutan untuk melakukan kekerasan
berdarah di kalangan warga sipil Indonesia yang ditujukan untuk
masyarakat pendukung dan simpatisan ideologi Komunis, dan
bahkan terhadap Presiden Soekarno sendiri. Penyangkalan PKI
tentang keterlibatan mereka dalam G30S memiliki pengaruh yang
kecil.106 Rezim Soekarno dengan cepat menjadi tidak stabil, dengan
Angkatan Darat menjadi satu-satunya kekuatan yang tersisa untuk
menjaga ketertiban107
Pada Oktober 1965, mahasiswa di Jakarta membentuk
KAMI (“Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia”), yang menyerukan
pelarangan PKI.108 Organisasi ini segera dimasuki sejumlah
organisasi serupa yang terdiri dari siswa SMA, pekerja, seniman,
104
Op Cit, Ricklefs (1991), hal. 287
105
New York Times, October 6, 1965
106
Op Cit, Ricklefs (1991), hal. 287
107
New York Times, October 19, 1965
108
Sekretariat Negara Republik Indonesia (1975) 30 Tahun Indonesia Merdeka: Jilid
3 (1965–1973)
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 114 - buruh dan sejenisnya. Target lainnya untuk para demonstran


adalah kenaikan harga dan inefisiensi pemerintah. Mereka juga
berdemonstrasi menentang Subandrio, menteri luar negeri dan kepala
badan intelijen BPI dan orang nomor dua di pemerintahan. Pada 10
Januari 1966, kesatuan aksi yang bergabung dalam Fron Pancasila
yang merupakan gabungan dari partai politik dan organisasi massa
anti komunis pimpinan M.Subcahn,S.E. berdemonstrasi di depan
gedung DPR dan mengajukan tuntutan yang dikenal sebagai “Tri
Tuntutan Rakyat” (Tritura) yang berisi:109 Pembubaran PKI dan
organisasi-organisasi massanya, Pengusiran elemen PKI dari
kabinet dengan adanya perombakan, Harga kebutuhan pokok yang
lebih rendah dan perbaikan ekonomi.110
Pada tanggal 21 Februari, Soekarno mencoba untuk
mendapatkan kembali prakarsa pemerintahan dengan
mengumumkan kabinet baru, yang termasuk mantan kepala TNI
Angkatan Udara Omar Dhani, yang telah mengeluarkan pernyataan
pada 1 Oktober 1965 awalnya mendukung “kudeta” G30S. Lebih
provokatif lagi, Soekarno kemudian memecat Jenderal Nasution
dari pos kabinetnya. Kabinet baru ini segera menjadi dikenal
sebagai “Kabinet Gestapu”, dari singkatan yang diciptakan oleh
militer untuk Gerakan 30 September. Dua hari setelah pengumuman
Soekarno tersebut, sebuah kerumunan besar berusaha menyerbu
istana presiden. Keesokan harinya, saat kabinet baru Soekarno
sedang dilantik, tentara dari Resimen Tjakrabirawa menembaki
kerumunan di depan istana, membunuh pengunjuk rasa mahasiswa
109
Amurwani Dwi Lestarininsih, Gerwani “Kisah Tapol Wanita di Kamp
Plantungan”, Penerbit Kompas, 2011
110
Ibid
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

Arif Rahman Hakim, yang kemudian diangkat menjadi martir dan - 115 -

diberi pemakaman pahlawan hari berikutnya.


Soekarno kemudian merencanakan serangkaian pertemuan
yang berlangsung tiga hari untuk memulihkan kekuasaannya.
Yang pertama, pada tanggal 10 Maret, melibatkan para pimpinan
partai politik. Ia berhasil membujuk mereka untuk menandatangani
deklarasi peringatan terhadap perlawananan atas otoritas presiden
oleh demonstrasi mahasiswa. Tahap kedua adalah rapat kabinet
yang direncanakan untuk tanggal 11 Maret. Namun, saat pertemuan
ini sedang berlangsung, sebuah kabar mencapai Soekarno bahwa
pasukan tak dikenal sedang mengepung istana. Soekarno segera
meninggalkan istana dengan tergesa-gesa menuju Bogor, dan
malam itu soekarno menandatangani surat perintah agar Suharto
mengambil segala tindakan yang dinaggap perlu, hal itu dilakukan
untuk menjamin keamanan, ketenangan dan kestabilan jalannya
pemerintahan dan revolusi serta mejamin keselamatan pribadi dan
kewibawaan pemimpin, presiden/penglima tertinggi/pemimpin
besar/mandataris MPR, demi keutuhan bangsa dan Negara Republik
Indonesia serta melaksanakan dengan pasti ajaran Pemimpin Besar
Revolusi. Surat tesebut juga berisi koordinasi pelaksanaan perintah
dengan panglima angkatan-angkatan lain dengan sebaik-baiknya.
Dan dalam surat itupun disebutkan agar melaporkan segala sesuatu
yang dikerjakan oleh Suharto, menurut Soebandrio bahwa surat
perintah 11 maret tersebut memuat pengembalian kekuasaan
kepada Sukarno apabila tugas-tugas telah selsaia.111 dokumen
Supersemar sebagai serah terima wewenang untuk memulihkan
111
Amurwani Dwi Lestarininsih, Gerwani “Kisah Tapol Wanita di Kamp
Plantungan”, Penerbit Kompas, 2011
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 116 - ketertiban kepada Mayor Jenderal Soeharto. Penandatanganan


Supersemar inilah yang kemudian disepakati sebagai awal lahirnya
Pemerintahan Orde Baru.
Soeharto bertindak cepat, keesokan harinya, tanggal 12
Maret ia segera melarang dan membubarkan PKI beserta organisasi
sayapnya. Pembubaran dituangkan dalam Keputusan Presiden/
Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar
Revolusi Nomor 1/3/1966 tertanggal 12 maret 1966. Pada tanggal
18 Maret Soebandrio dan 14 menteri lainnya ditangkap, termasuk
deputi perdana menteri ketiga Chairul Saleh. Malam itu, radio
mengumumkan bahwa para menteri tersebut berada di tahanan
perlindungan. Ia kemudian memperbaharui Kabinet Dwikora yang
disempurnakan dan membersihkan lembaga legislatif, termasuk
MPRS dan DPRGR, dari orang-orang yang dianggap terlibat
Gerakan 30 September. Keanggotaan Partai Komunis Indonesia
dalam MPRS dinyatakan gugur. Peran dan kedudukan MPRS juga
dikembalikan sesuai dengan UUD 1945, yakni di atas presiden,
bukan sebaliknya. Di DPRGR sendiri, secara total ada 62 orang
anggota yang diberhentikan.112 Soeharto juga memisahkan jabatan
pimpian DPRGR dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan
DPRGR tidak lagi diberi kedudukan sebagai menteri
Segera setelahnya pada tanggal 20 Juni hingga 5 Juli
1966, diadakanlah Sidang Umum IV MPRS yang mengesahkan
dan mengukuhkan Supersemar, mengatur Kedudukan Lembaga-
Lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah, menetapkan
Kebijaksanaan Politik Luar Negeri RI Bebas Aktif, pembentukan
112
Vatikiotis, Michael R.J, Indonesian Politics Under Soeharto: The Rise and Fall
of the New Order. (London: Routledge, 1998), hal 62
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

Kabinet Ampera, peninjauan Kembali Tap. MPRS yang - 117 -

bertentangan dengan UUD 1945, Sumber Tertib Hukum RI dan Tata


Urutan Perundang-undangan di Indonesia, serta pembubaran Partai
Komunis Indonesia dan pernyataan Partai Komunis Indonesia dan
ormas-ormasnya sebagai organisasi terlarang di Indonesia.
Kabinet Ampera dipimpin oleh Presiden Soekarno, namun
pelaksanaannya dilakukan oleh Presidium Kabinet yang dipimpin
oleh Jenderal Soeharto. Soekarno kala itu masih memiliki pengaruh
politik, namun kekuatannya perlahan-lahan dilemahkan. Pada 10
Januari 1967, Soekarno menulis kepada MPRS, melampirkan
dokumen yang dikenal sebagai “Nawaksara”, memberikan versinya
tentang peristiwa seputar Gerakan 30 September. Di dalamnya, ia
mengatakan bahwa penculikan dan pembunuhan para jenderal TNI
tersebut adalah sebuah “kejutan tak terduga” kepadanya, dan bahwa
ia sendiri tidak bertanggung jawab atas masalah-masalah moral dan
ekonomi bangsa. Hal ini menyebabkan demonstran menyerukan
Soekarno untuk digantung.113 Akhirnya pada 22 Februari 1967,
untuk mengatasi situasi konflik yang semakin memuncak kala
itu, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal
Soeharto. Penyerahan ini tertuang dalam Pengumuman Presiden
Mandataris MPRS, Panglima Tertinggi ABRI Tanggal 20 Februari
1967.
Pengumuman itu didasarkan atas Ketetapan MPRS No.
XV/MPRS/1966 yang menyatakan apabila presiden berhalangan,
pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966 berfungsi sebagai
pemegang jabatan presiden. Pada 4 Maret 1967, Jenderal Soeharto
113
Hughes, John, The End of Sukarno – A Coup that Misfired: A Purge that Ran Wild,
(Archipelago Press, 2002)
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 118 - memberikan keterangan pemerintah di hadapan sidang DPRHR


mengenai terjadinya penyerahan kekuasaan. Namun, pemerintah
tetap berpendirian bahwa sidang MPRS perlu dilaksanakan agar
penyerahan kekuasaan tetap konstitusional. Karena itu, diadakanlah
Sidang Istimewa MPRS pada tanggal 7-12 Maret 1967 di Jakarta,
yang akhirnya secara resmi mengangkat Soeharto sebagai presiden
Republik Indonesia hingga terpilihnya presiden oleh MPR hasil
pemilihan umum.

Kebijakan Pemerintahan Orde Baru (1966-1984)


II. 1. Bidang Politik
Pemilihan Umum dan Golkar

Pemilihan Umum pada masa orde baru berlangsung


selama 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, serta 1997. Dalam setiap
Pemilu yang diselenggarakan selama masa pemerintahan Orde
Baru, Golongan Karya (Golkar) selalu memperoleh mayoritas
suara dan memenangkan Pemilu. Golkar pada masa Orde Baru
diklasifikasikan sebagai golongan fungsional non-parpol, akan
tetapi mengikuti proses pemilu. Golkar bermula dengan berdirinya
Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar pada akhir masa pemerintahan
Soekarno, tepatnya pada 20 Oktober 1964 oleh Letkol. Suhardiman
dari SOKSI, yang pada awalnya menghimpun 61 dan kemudian
berkembang menjadi 291 organisasi dari kalangan pemuda, wanita,
sarjana, buruh, tani, dan nelayan untuk menandingi pengaruh PKI
dan organisasi underbouw-nya.
Organisasi-organisasi yang terhimpun ke dalam Sekber
GOLKAR ini kemudian dikelompokkan berdasarkan kekaryaannya
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

ke dalam 7 (tujuh) Kelompok Induk Organisasi (KINO), yaitu: - 119 -

Koperasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO), Sentral


Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI), Musyawarah
Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), Organisasi Profesi,
Ormas Pertahanan Keamanan (HANKAM), Gerakan Karya Rakyat
Indonesia (GAKARI), serta Gerakan Pembangunan. Pemerintahan
Orde Baru yang mewajibkan semua pegawai negeri sipil (PNS)
untuk menyalurkan aspirasi politiknya kepada Golongan Karya.
Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama masa
pemerintahan Orde Baru telah menimbulkan kesan bahwa demokrasi
di Indonesia telah berjalan dengan baik. Apalagi Pemilu berlangsung
dengan asas LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia).
Namun dalam kenyataannya, Pemilu diarahkan untuk kemenangan
salah satu kontestan Pemilu saja yaitu Golkar. Keadaan ini telah
memungkinkan Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia
selama enam periode, karena pada masa Orde Baru presiden
dipilih oleh anggota MPR. Selain itu setiap pertanggungjawaban,
rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah
selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa catatan.

Penyederhanaan Partai Politik

Pada tahun 1973 setelah dilaksanakan pemilihan umum


yang pertama pada masa Orde Baru pemerintahan pemerintah
melakukan penyederhanaan dan penggabungan (fusi) partai-
partai politik menjadi tiga kekuatan sosial politik, yaitu: Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari
NU, Parmusi, PSII, dan PERTI; Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 120 - yang merupakan gabungan dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba,
IPKI, dan Parkindo; serta Golongan Karya.

II. 2. Bidang Hubungan Luar Negeri


Indonesia Kembali Menjadi Anggota PBB

Pada tanggal 28 September 1966 Indonesia kembali


menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kembalinya
Indonesia menjadi anggota PBB disambut baik oleh negara-negara
Asia lainnya bahkan oleh PBB sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan
dipilihnya Adam Malik sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk
masa sidang tahun 1974.

Normalisasi Hubungan dengan Negara Lain

Pada tanggal 2 Juni 1966 pemerintah Indonesia


menyampaikan nota pengakuan atas Republik Singapura kepada
Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Lalu pemerintah Singapura
menyampaikan nota jawaban kesediaan untuk mengadakan
hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Adapun normalisasi hubungan Indonesia dengan Malaysia
dimulai dengan diadakannya perundingan di Bangkok pada 29 Mei
- 1 Juni 1966 yang menghasilkan Perjanjian Bangkok. Isi perjanjian
tersebut adalah: Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan
kembali keputusan yang telah mereka ambil mengenai kedudukan
mereka dalam Federasi Malaysia; Pemerintah kedua belah pihak
menyetujui pemulihan hubungan diplomatik; Tindakan permusuhan
antara kedua belah pihak akan dihentikan.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

Dan pada tanggal 11 Agustus 1966 penandatangan persetujuan - 121 -

pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia ditandatangani di Jakarta


oleh Adam Malik (Indonesia) dan Tun Abdul Razak (Malaysia).
Selain itu, Indonesia juga memulihkan hubungan dengan sejumlah
negara seperti India, Thailand, Australia, dan negara-negara lainnya
yang sempat renggang akibat politik konfrontasi Orde Lama.

Pembekuan Hubungan dengan Pemerintah Republik Rakyat


Tiongkok

Pada tanggal 1 Oktober 1967 Pemerintah Republik


Indonesia membekukan hubungan diplomatik dengan Republik
Rakyat Tiongkok (RRT). Keputusan tersebut dilakukan karena
RRT telah mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dengan cara
memberikan bantuan kepada Gerakan 30 September baik untuk
persiapan, pelaksanaan, maupun sesudah terjadinya pemberontakan
tersebut. Selain itu pemerintah Indonesia merasa kecewa dengan
tindakan teror yang dilakukan orang-orang Cina terhadap gedung,
harta, dan anggota-anggota Keduataan Besar Republik Indonesia
di Peking. Pemerintah RRT juga telah memberikan perlindungan
kepada tokoh-tokoh Gerakan 30 September di luar negeri,
serta secara terang-terangan menyokong bangkitnya kembali
Partai Komunis Indonesia. Melalui media massanya RRT telah
melakukan kampanye menyerang Orde Baru. Pada 30 Oktober
1967, Pemerintah Indonesia secara resmi menutup Kedutaan Besar
di Peking.
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 122 - II. 3. Kehidupan Ekonomi


Stabilisasi dan Rehabilitasi Perekonomian Nasional

Untuk mengatasi keadaan ekonomi yang kacau sebagai


peninggalan pemerintah Orde Lama, pemerintah Orde Baru
melakukan upaya penyelamatan ekonomi nasional, terutama
stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Program stabilsasi ini
dilakukan dengan cara membendung laju inflasi. Pemerintah Orde
Baru berhasil membendung laju inflasi pada akhir tahun 1967-
1968, tetapi harga bahan kebutuhan pokok naik melonjak. Sesudah
dibentuk Kabinet Pembangunan pada bulan Juli 1968, pemerintah
mengalihkan kebijakan ekonominya pada pengendalian yang ketat
terhadap gerak harga barang khususnya sandang, pangan, dan kurs
valuta asing. Sejak saat itu ekonomi nasional relatif stabil, sebab
kenaikan harga bahan-bahan pokok dan valuta asing sejak tahun
1969 dapat dikendalikan pemerintah. Adapun Program rehabilitasi
dilakukan dengan berusaha memulihkan kemampuan berproduksi.

Kerjasama Ekonomi dengan Negara Asing

Selain mewariskan keadaan ekonomi yang sangat parah,


pemerintahan Orde Lama juga mewariskan utang luar negeri yang
sangat besar, yakni mencapai 2,2 - 2,7 miliar, sehingga pemerintah
Orde Baru meminta negara-negara kreditor untuk dapat menunda
pembayaran kembali utang Indonesia. Pada tanggal 19-20
September 1966 pemerintah Indonesia mengadakan perundingan
dengan negara-negara kreditor di Tokyo. Pemerintah Indonesia
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

akan melakukan usaha bahwa devisa ekspor yang diperoleh - 123 -

Indonesia akan digunakan untuk membayar utang yang selanjutnya


akan dipakai untuk mengimpor bahan-bahan baku. Hal ini mendapat
tanggapan baik dari negara-negara kreditor. Pada perundingan yang
dilanjutkan di Paris disepakati bahwa: pembayaran hutang pokok
dilaksanakan selama 30 tahun, dari tahun 1970 sampai dengan
1999; pembayaran dilaksanakan secara angsuran, dengan angsuran
tahunan yang sama besarnya; selama waktu pengangsuran tidak
dikenakan bunga; embayaran hutang dilaksanakan atas dasar
prinsip nondiskriminatif, baik terhadap negara kreditor maupun
terhadap sifat atau tujuan kredit.
Pada tanggal 23-24 Februari 1967 diadakan perundingan
di Amsterdam, Belanda yang bertujuan membicarakan kebutuhan
Indonesia akan bantuan luar negeri serta kemungkinan pemberian
bantuan dengan syarat lunas, yang selanjutnya dikenal dengan IGGI
(Intergovernmental Group for Indonesia). Pemerintah Indonesia
mengambil langkah tersebut untuk memenuhi kebutuhannya
guna pelaksanaan program-program stabilisasi dan rehabilitasi
ekonomi serta persiapan-persiapan pembangunan. Di samping
mengusahakan bantuan luar negeri tersebut, pemerintah juga
telah berusaha mengadakan penangguhan serta memperingan
syarat-syarat pembayaran kembali (rescheduling) hutang-hutang
peninggalan Orde Lama. Melalui pertemuan tersebut pemerintah
Indonesia berhasil mengusahakan bantuan luar negeri.
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 124 - Pembangunan Nasional

Pelaksanaan Pembangunan Nasional yang dilaksanakan


pemerintah Orde Baru berpedoman pada Trilogi Pembangunan dan
Delapan jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah
kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik
dan ekonomi yang stabil. Trilogi Pembangunan adalah : Pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat; Pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi; Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Sedangkan Delapan Jalur Pemerataan yang dicanangkan
pemerintah Orde Baru adalah: Pemerataan pemenuhan kebutuhan
pokok rakyat khususnya pangan, sandang dan perumahan;
Pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan dan pelayanan
kesehatan; Pemerataan pembagian pendapatan; Pemerataan
kesempatan kerja; Pemerataan kesempatan berusaha; Pemerataan
kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya
bagi generasi muda dan kaum wanita; Pemerataan penyebaran
pembangunan di seluruh wilayah Tanah Air; emerataan kesempatan
memperoleh keadilan.
Pembangunan nasional yang diupayakan pemerintah
waktu itu direalisasikan melalui Pembangunan Jangka pendek
dan Pembangunan Jangka Panjang. Pembangunan Jangka Pendek
dirancang melalui program Pembangunan Lima Tahun (Pelita).
Selama masa Orde Baru, pemerintah telah melaksanakan enam
Pelita.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

- 125 -

Soal-soal:

1. Kenapa Orde Baru bisa berdiri dan sangat kuat di zaman


Soeharto?
2. Apa saja yang menopang kekuaatan Orde Baru?
3. Di masa Orde Baru kebijakan sangat sentralistik dan
pemerintahan korup, bahkan cenderung otoriter. Setujukah
anda?
4. Saat ini pemerintahan pasca reformasi terus berjalan. Namun
korupsinya melebihi pada masa Orde Baru. Lalu apa yang
salah dengan sistem politik di negeri ini?
5. Orde baru memiliki kebijakan pembangunan yang
berkesinambungan dengan repelitanya. Namun yang
menikmati pembangunan segelintir orang. Saat ini juga
sama, pembangunan terus dijalankan. Tapi uangnya dari
utang. Dan pembangunan juga banyak dinikmati oleh kaum
elite. Bagaimana menjadikan rakyat sebagai subjek penentu
pembangunan?

5.2. Hubungan Sipil dan Militer di Era Reformasi


Latar Belakang

Tumbangnya pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden


Soeharto dipicu oleh adanya krisis moneter dikawasan Asia yang
menyebar mulai dari Thailand, Malaysia, Korea Selatan dan
terakhir Indonesia. Dari sekian Negara yang mengalami krisis
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 126 - ekonomi, Indonesia adalah Negara yang paling parah tertimpa


krisis tersebut, yaitu dengan anjloknya nilai mata uang rupiah
terhadap dollar Amerika yang sangat tajam.114 Karena sistem
perekonomian di Indonesia tidak memiliki fundamen yang cukup
kuat, maka penyelesaiannya pun tidak membawa hasil yang baik,
bahkan semakin berlarut-larut dan rupiah semakin anjlok. Hal ini
membawa dampak kredibilitas pemerintah menjadi rendah dan
rakyat mulai hilang kepercayaannya. Memburuknya situasi tersebut
membangkitkan reaksi keras dari masyarakat, terutama intelektual
yang tergabung dalam gerakan reformasi yang dipelopori oleh para
mahasiswa dan pelajar.
Berbagai aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa
yang didukung pula oleh elemen-elemen masyarakat seperti
tokoh masyarakat, buruh, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
dan lainnya, yang digelar diseluruh pelosok tanah air.115 Tuntutan
demonstran yang diantaranya meminta Presiden Soeharto mundur
dan diadili beserta kroni-kroninya serta menghapus dwi fungsi
ABRI berhasil dilakukan, tepat pada tanggal 21 mei 1998 di Istana
Negara, Presiden Soeharto menyampaikan pernyataan berhenti

114
Krisis Ekonomi Asia berawal pada awal bulan Oktober 1997 dengan mulai tergoncangnya
nilai mata uang Asia Tenggara. Goncangan ini memaksa Indonesai meminta bantuan
IMF. Pada bulan ini juga, Bursa Saham Asia kembali goncang, bunga bank naik sebesar
300%. IMF mengumumkan paket bantuan darurat untuk Indonesia senilai US$ 40. Bulan
Januari 1998 rupiah semakin merosot tajam sampai 10.000 per dollar AS. Akhir bulan ini
juga rupiah semakin merosot sampai 16.000 per dollar AS. Mengenai data selengkapnya
tentang fluktuasi rupiah dapat dilihat dalam Majalah D&R, No.20/XXIX/3 Januari 1998
dan D&R No.35/XXIX/ 18 April 1998 dalam Arif Yulianto,2002; Hubunga sipil dan
militer di Indonesia Pasca Orba, ditengah pusaran demokrasi; hal.341
115
Adi Suryadi Culla, 1999; Patah Tumbuh, Hilang Berganti: Sketsa pergolakan Mahasiswa
dalam Politik dan Sejarah Indonesia 1908 – 1998, Penerbit PT.Rajawali Press, Jakarta. Hal
161-164
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

dari jabatan presiden.116 Mundurnya Presiden Soeharto tersebut, - 127 -

dengan sendirinya sesuai konstitusi Negara yaitu Wakil Presiden


Bj.Habibie menggantikan kedudukan presiden, ini pun mengalami
pro dan kontra dalam masyarakat.117
Pelimpahan wewenang Presiden kepada Wakil Presiden
tersebut juga diliputi isu perpecahan ABRI dalam dua kelompok,
yang pada saat pemerintahan Soeharto terkenal 2 (dua) orang yang
berpengaruh di TNI dengan sebutan Golden Boys yaitu Jendral
TNI Wiranto dan Letjen TNI Prabowo Subianto. Isu perpecahan
tersebut muncul dari B.J Habibie saat mengadakan pertemuan
dengan media massa asing, lewat wawancaranya mengungkapkan
adanya konsentrasi pasukan Kostrad oleh Letjen TNI Prabowo
disekitar rumahnya pada saat peralihan kekuasaan dari Presiden
Soeharto kepada Wakil Presiden B.J Habibie dan informasi tersebut
di dapat dari Jenderal TNI Wiranto.118 Isu tersebut menjadikan
posisi Wiranto sebagai sumber informasi Presiden Habibie dan
mempertegas ketidak sukaannya “Wiranto” kepada Prabowo.119
Apa yang dilakukan Wiranto tersebut, memposisikan diri sebagai
perwira militer yang pembaharu, dan pada kesempatan lain lebih

116
S.Sinansari Eric, 1998; Kronologi jatuhnya Presiden Soeharto, Mizan Bandung.Hal 136-
139
117
Kelompok yang kontra adalah pendukung B.J habibie yang berkesimpulan bahwa posisi
Habibi sah secara konstitusional berdasarkan pasal 8 UUD 1945 dan Tap MPR No.XI/
MPR No.VII/MPR/1973. Maka masa jabatannya sampai tahun 2003, dengan asumsi
bahwa kelompok yang ingin mengadakan SI MPR tidak konstitusional
118
Eep Saefullah Fatah; Lidah Presiden di antara Dua Jendral; dalam Adil 24-2 Maret 1999
dalam Arif Yulianto,2002; Hubunga sipil dan militer di Indonesia Pasca Orba, ditengah
pusaran demokrasi; hal.344
119
ibid
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 128 - suka mempertahankan status quo.120


Presiden B.J Habibie sebagai pemerintahan sipil pertama
pasca orde baru, mengambil peran agar mampu mengendalikan
pemerintahan disaat gelombang reformasi berjalan, dengan kabinet
barunya banyak kalangan menganggap masih melanjutkan tradisi
kolusi dan nepotisme, seperti kabinet reformasi pembangunan
yang banyak di isi oleh orang Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI), selain itu masih memberikan kepercayaan
Panglima ABRI untuk tetap dipegang oleh Jenderal TNI Wiranto,
yang kedudukannya sama sewaktu pada masa Presiden Soeharto.
Keberhasilan proses peralihan tersebut, tidak terlepas dari sikap
militer dalam memposisikan diri sebagai alat negara yang menjaga
kedaulatan dan keutuhan wilayah.121 B.J Habibie melihat bahwa
keberadaannya sebagai Presiden RI ke-3 hanya karena proses
transisi, berencana untuk menjadi presiden lewat pemilihan umum
yang diadakan pada bulan juni tahun 1999. Secara terbuka menyebut
Jendral TNI Wiranto sebagai bakal wakil presidennya jika berhasil
menjadi presiden. Rencana B.J Habibie tersebut merupakan jaminan
bagi militer bahwa kepentingan mereka tidak dikorbankan, juga B.J
Habibie tidak pernah mencampuri urusan internal ABRI, kecuali
hanya melalui tangan Jenderal TNI Wiranto. Hujatan-hujatan
kepada militer yang bersumber pada tuduhan pelanggaran hak asasi
manusia serta perannya sebagai tulang punggung rezim Presiden
Soeharto tidak dimanfaatkan oleh Habibie untuk mendapatkan

120
Eric A.Nodlinger; Soldiers in Politics, yang dialih bahasa oleh Drs. Sahal Simamora; Militer
dalam Politik; Rineke Cipta cet.2 1994; hal 54
121
Arif Yulianto,2002; Hubunga sipil dan militer di Indonesia Pasca Orba, ditengah pusaran
demokrasi; hal.347
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

dukungan kekuatan politik menghadapi militer. Dan B.J Habibie - 129 -

menjaga dengan setia militer yang diwariskan Presiden Soeharto


kepadanya.122

Rumusan Masalah

Keberhasilan mahasiswa dan masyarakat sipil


menumbangkan rezim Orde Baru menjadikan ABRI sebagai
penyangga pemerintahan ikut tumbang, karena tidak dipungkiri
ABRI sebagai kekuatan politik Orde Baru bersama Golongan Karya.
Kecenderungan ABRI yang lebih mementingkan dan memelihara
kekuasaan menjadikan ABRI terjebak pada pola-pola pendekatan
yang bersifat represif. Sehingga oknum-oknumnya bertindak diluar
sumpah sapta marga dan sumpah prajurit. Pelanggaran-pelanggaran
dalam berbagai bentuk, baik kriminal maupun motif politik semakin
lama semakin terakumulasi sehingga pada momentum tumbangnya
Orde Baru memuncaklah akumulasi tersebut dan ABRI pun dibenci
dan dihujat oleh rakyat karena dianggap lebih sebagai pelindung
dan pengaman Orde Baru selam 32 tahun dari pada pelindung
dan pengayom rakyat. Akhirnya masyarakat menganggap bahwa
semua itu diakibatkan karena peran ABRI dengan dwi fungsinya,
terutama peran sosial politik yang terlalu dominan. Peran tersebut
juga memaksa ABRI untuk menghidupi corps nya dengan cara
menduduki posisi-posisi strategis baik dalam pemerintah, Badan
Usaha Milik Negara, Perusahaan , dan lainnya. Selain itu, dengan
adanya penghapusan penugaskaryaan bagi anggota Prajurit TNI

122
Salim Said, 2001;Menghindari Kuomintang dan Amerika Latin, terjebak Dwi Fungsi,
dalam Salim Said; Militer Indonesia dan Politik, Dulu, Kini dan Kelak, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta; Hal.338
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 130 - melalui keputusan pensiun dan alih status yang telah dilaksanakan
sejak 1 April 1999, telah membawa perubahan demiliterisasi
jabatan birokrasi yang sangat drastis terhadap jumlah anggota TNI
diluar strukturnya.

Pertanyaan Penelitian

Adapun fokus makalah ini adalah melihat bagaimanakah


hubungan sipil dan militer dalam Kontestasi Politik Era Reformasi
1998 – 2001.
Kerangka Konsep

Samuel P. Huntington dalam bukunya yang diterbitkan


tahun 1957, The Soldier and The State.123 Mengelompokkan tentara
dalam kerangka hubungan sipil-militer menjadi dua yaitu, tentara
pretorian dan tentara profesional.  Tentara pretorian atau tentara
jenis penakluk (warior) dalam hal ini mewakili kelompok militer
yang berkuasa dan menjalankan pemerintahan dan menentukan
keputusan-keputusan politik. Sedangkan tetntara professional
merupakan tentara modern dibedakan dari tentara sebelum tahun
1789 oleh status sebagai suatu keompok korporasi professional.
Elaborasi tentang tumbuhnya profesionalisme militer yang
menurutnya memiliki tiga ciri pokok, yaitu:
. Mensyaratkan suatu keahlian, sehingga profesi militer menjadi
kian spesifik serta memerlukan pengetahuan dan keterampilan.
123
Samuel P. Huntington, The Soldier and The State: The Theory and Politics Civil-military
Relations, Harvard University Press, Cambridge, 1957.  Samuel P. Huntington adalah
Profesor di Universitas Albert J. Weatherhead III dan pemimpin John M. Olin Institute for
Strategic Studies di Universitas Harvard.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

. Seorang militer memiliki tanggung jawab sosial yang khusus, - 131 -

artinya seorang perwira militer disamping memiliki nilai-nilai


moral yang tinggi dan terpisah dari insentif ekonomi juga
mempunyai tugas pokok kepada negara.  Berbeda dengan masa
sebelumnya, dimana seorang perwira seakan-akan menjadi
milik pribadi komandan dan harus setia kepadanya sebagai
suatu bentuk disiplin mati.  Pada masa profesionalisme, seorang
perwira berhak untuk mengoreksi atasannya, jika si atasan
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan
nasional. 
. Karakter korporasi (corporate character) para perwira yang
melahirkan rasa esprit de corps yang kuat.124

Ketiga ciri militer profesional di atas pada akhirnya


melahirkan apa yang disebut “the military mind” yang menjadi
dasar bagi hubungan militer dan negara.  Hal ini melahirkan suatu
pengakuan akan “Negara Kebangsaan” (nation state) sebagai suatu
bentuk tertinggi organisasi politik. 
Beberapa ahli mengkritik pandangan Huntington tersebut
dengan mengetengahkan konsep “the new professionalism
of internal security and nation development”125 sebagai
bentuk peranan baru tentara pada negara-negara yang baru

124
Samuel P. Huntington, The Soldier and The State: The Theory and Politics Civil-military
Relations, Harvard University Press, Cambridge, 1957.  Samuel P. Huntington adalah
Profesor di Universitas Albert J. Weatherhead III dan pemimpin John M. Olin Institute for
Strategic Studies di Universitas Harvard. halaman 7-18
125
Alfred Stephan, dalam Salim Said, 2001;Hubungan Sipil-Militer dan Demokrasi:
Pengalaman Indonesia; Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini dan Kelak Bab 36, Jakarta,
Penerbit Pustaka Sinar Harapan, hal. 276.
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 132 - merdeka.   Termasuk dalam kelompok penentang Huntington


adalah John J. Johnson, The Role of the Military in Underdeveloped
countries,126 yang mewakili beberapa ilmuwan barat yang bukan
saja simpatik terhadap keterlibatan politik kaum militer, tapi
bahkan menganggapnya sebagai hal yang paling wajar dan paling
baik untuk negara Dunia Ketiga karena tentara dianggap sebagai
Agen Modernisasi, suatu golongan elit yang paling modern, baik
dalam orientasi nilai maupun organisasi. Sebagai  “the modernizing
elite”, kaum militer juga dinilai melihat jauh ke depan, dimana
dalam kepentingan korporasinya untuk mendorong modernisasi
di negaranya.   Komitmen perwira dalam pembangunan ekonomi
juga dihubungkan dengan latar belakang sosial para perwira
yang sebagian besar berasal dari kalangan menengah, sehingga
kadangkala kaum militer menjadi satu-satunya alternatif terhadap
sistem politik demokrasi parlementer yang tidak stabil dan tidak
bisa diandalkan untuk menjadi motor pembangunan ekonomi.
Amos Perlmutter, seorang yang dapat disebut penganut
teori Huntington atau Huntingtonian, melengkapi kerangka
teoritis Huntington dengan studi kasus maupun perbandingan
empiris dalam menjawab kritikan yang bersifat empiris atas
teori Huntington.  Dalam beberapa bukunya Perlmutter bahkan
mempertajam teori-teori Huntington seraya menambahkan tipologi
ketiga dari militer yaitu tentara profesional revolusioner.127   Jenis

126
John J. Johnson, The Role of the Military in Underdeveloped Countries, Princenton University
Press, Princenton, 1962.
127
Amos Perlmutter, The Military and Politics and Modern Times: On Professionals, Praetorians
and Revolutionary Soldiers, Yale University Press, New Haven dan London, 1977,
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Militer dan Politik, Penerbit Rajawali
Pers, Jakarta, 2000, hal 297
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

tentara ini dianggapnya berbeda dengan tentara profesional klasik, - 133 -

seperti di Barat pada umumnya. “Tentara Revolusioner” memiliki


suatu perbedaan pokok dengan tentara profesional klasik dan tentara
Pretorian yakni tidak adanya prinsip ekslusif dalam rekruitmen dan
promosi perwira militernya.128 
Dalam menjawab kritikan mengenai sifat korporasi militer
untuk mendorong modernisasi di negaranya, serta keterkaitan
dengan latar belakang bahwa sebagian perwira militer berasal dari
golongan menengah, Huntington maupun oleh Perlmutter memang
kurang membahas masalah tersebut dengan baik, karena mereka
menganggap bahwa variabel sosial ekonomi sebagai hal yang
terpisah dari variabel politik institusional.  Sehingga dengan sengaja
keduanya tidak membahas masalah pembangunan ekonomi ini.
Perwira Profesional di zaman modern merupakan satu kelas sosial
yang baru dan mempunyai ciri-ciri dasar: 1) keahlian (managemen
kekerasan); 2) pertautan (tanggungjawab kepada klien, masyarakat
atau negara); 3) korporatisme (kesadaran kelompok dan organisasi
birokrasi); dan 4) ideology (semangat militer).129
Eric A. Nordlinger melihat bahwa sifat korporasi militer justru
mendorongnya untuk melakukan intervensi politik, yang bisa saja
berlangsung secara bertahap, sehingga suatu tentara pretorian dapat
berubah menjadi “the ruler army” dalam waktu beberapa tahun.130 

128
Amos Perlmutter, The Military and Politics and Modern Times: On Professionals,
Praetorians and Revolutionary Soldiers, Yale University Press, New Haven dan London,
1977, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Militer dan Politik, Penerbit
Rajawali Pers, Jakarta, 2000, hal 297, hal xix.
129
Ibid; hal 14
130
Eric A.Nordlinger, 1977;Soldiers in Politics: Military Coups and Government, Prentice-Hall,
Englewood Cliffs, New Jersey,
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 134 - Mengenai korelasi positif antara kaum militer dengan reformasi


golongan menengah, Nordlinger tidak membenarkan seluruhnya
pandangan ini, menurutnya justru kepentingan dan identitas
kaum militer dengan golongan menengah membuatnya menjadi
kelompok yang konservatif, sehingga untuk melihat korelasi yang
tepat, harus dihubungkan dengan ukuran dan besar kelompok
menengah di suatu negara.  Jika kaum militer yang berasal dari
kalangan menengahnya besar, maka kaum militer bisa saja menjadi
agen modernisasi, tetapi sebaliknya bila kaum militer dari kaum
menengah sangat kecil, maka kaum militer akan menjadi sangat
konservatif.  Kaum militer di negara demikian, bisa saja menentang
kelompok oligarki kalangan atas (upper class), tapi pada saat yang
bersamaan membela kepentingan golongan menengahnya terhadap
ancaman dari kalangan bawah (lower class).131 Alasan lainnya yang
mencegah kaum militer menjadi reformis adalah tentang sifat-sifat
korporasi militer, sehingga kelompok militer adalah suatu kelompok
kepentingan yang paling kuat di negara-negara Dunia Ketiga.

Pembahasan
Perubahaan Paradigma ABRI

Adanya penghapusan Dwi fungsi ABRI dan memunculkannya


konsepsi Empat Paradigma Baru untuk menggantikan Dwi Fungsi
pada masa pasca lengsernya kepemimpinan Soeharto sebetulnya
belum sepenuhnya hilang seperti yang diharapkan oleh mahasiswa.

131
Eric A. Nordlinger, 1970 “Soldiers in Mufti: The Impact of Military Rule upon
Economic and Social Change in the Non-Western States”, dalam American Political
Science review, Desember.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

Empat Paradigma Baru tidak lebih dari sebuah bentuk Dwi fungsi - 135 -

yang diperhalus, hal ini menunjukan bahwa TNI masih berusaha


mempertahankan posisinya sebagai kekuatan politik. Perubahan
paradigm (paradigm shift) yang dilakukan ABRI belumlah
menyangkut dihilangkannya peran sosial politik yang banyak
dianggap sebagai penyebab utama dari distorsi peran ABRI,
melainkan baru pada tahap penyesuaian peran sosial politik ABRI
dalam implementasinya, yaitu: pertama, ABRI akan berupaya
merubah posisi dan metode tidak harus selalu di depan; kedua,
ABRI mengubah konsep dari menduduki menjadi mempengaruhi;
ketiga, ABRI mengubah cara mempengaruhi secara langsung
menjadi tidak langsung; keempat, kesediaan melakukan political
role sharing (kebersamaan dalam pengambilan keputusan penting
kenegaraan dan pemerintahan) dengan komponen bangsa lainnya.132
Empat paradigm baru ABRI tersebut merupakan bentuk dari adanya
arus deras demokratisasi dan dengan melihat keadaan lingkungan
strategis dalam negeri, sehingga menyadari untuk segera melakukan
reformasi internal seperti yang diamanatkan dalam ketetapan MPR
No.X/MPR/’98 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan
Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional
Sebagai Haluan Negara, utamanya tentang agenda penyesuaian
implementasi Dwi Fungsi TNI dengan paradigma baru peran
TNI dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.133

132
ABRI Abad XXI, 1998; Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peran ABRI dalam
kehidupan Bangsa, Mabes ABRI, Jakarta, halaman 17; dalam Arif Yulianto,2002; Hubunga
sipil dan militer di Indonesia Pasca Orba, ditengah pusaran demokrasi.
133
Arif Yulianto,2002; Hubunga sipil dan militer di Indonesia Pasca Orba, ditengah pusaran
demokrasi; hal.352
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 136 - Pertimbangan yang mendasari keputusan politis dan akademis


reformasi internal TNI antara lain:
Perubahan yang begitu cepat menjadikan dunia berubah,
keadaan berubah termasuk di dalam negeri berubah, untuk itupun
TNI pun harus berubah.
Prediksi tantangan TNI ke depan di abad XXI ini begitu
besar, kompleks dan multidimensional, atas dasar itu TNI
harus segera menyesuaikan diri.
TNI senantiasa harus mau dan mampu mendengar dan
merespon aspirasi rakyat.
TNI mengakui secara jujur, jernih, dan obyektif,
sebagaimana komponen bangsa yang lainnya, bahwa di
masa lalu ada kekurangan dan distorsi sebagai konsekuensi
logis dari format politik Orde Baru.134
Berdasarkan pertimbangan tersebut dan memperhatikan
tuntutan lingkungan strategis baik dari dalam maupun dari luar
negeri, maka ABRI mengeluarkan buku yang berjudul “ABRI
abad XXI: Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peran ABRI
dalam kehidupan Bangsa”.135 Sebagai kosekuensi atas perubahan
134
Mabes TNI, Paradigma Baru Peran TNI, sebuah upaya sosialisasi, Mabes TNI, Edisi III
Revisi, Jakarta, 1999, hal.16-17 dalam Arif Yulianto,2002; Hubunga sipil dan militer di
Indonesia Pasca Orba, ditengah pusaran demokrasi; hal.352
135
Redefinisi: dwi fungsi ABRI di masa reformasi telah diubah terminologinya menjadi
peran ABRI, hal ini dimaksudkan untuk menghindari salah tafsir. Selama ini dwi funsi
diidntikkan dengan kekaryaan. Istilah peran ABRI mengadung pemahaman adanya
integrasi fungsi secara utuh sehingga tidak lagi peran dikotomis dan distintif. Reposisi:
diformulasikan sebagai penataan posisi ABRI yang diletakkan pada wacana kehidupan
bangsa, yang berpangkal dan berujung pada titik kebebasan dan transparansi sebagai
kosa-kata reformasi denga ketertiban dan kepastian sebagai pagar kebebasan. Pengambilan
posisi tersebut menggambarkan betapa ABRI disamping pro-aktif dalam menjamin
keamanan dan mendorong terwujudnya kehidupan demokratis, ABRI juga concern dalam
pembangunan nasional. Reaktualisasi: dalam reaktualisasi dituangkan upaya penataan
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

paradiman tersebut, maka ABRI mulai melaksanakan langkah- - 137 -

langkah perubahan mendasar yang meliputi:136


1).Sikap dan pandangan politik ABRI tentang paradigm
baru peran ABRI abad XXI; 2) Sikap dan pandangan
politik ABRI tentang paradigm baru peran sospol ABRI;
3) Pemisahan Polri dari tubuh ABRI yang telah menjadi
keputusan pemimpin ABRI mulai 1 April 1999 sebagai
transformasi awal; 4) Penghapusan Dewan Sosial Politik
Pusat (wansospolpus) dan Dewan Sosial Politik Daerah
(Wansospolda) tingkat I; 5) Perubahan Staf Sosial Politik
menjadi Staf Teritorial; 6) Likuidasi Staf Karyawan
(Syawan) ABRI, Kamtibmas ABRI dan Badan Pembinaan
Kekaryaan (Babinkar) ABRI; 7) Penghapusan Sosial
Politik Kodam (Sospoldam), Badan Pembina Kekaryaan
Kodam (Babinkardam), Sosial Politik Korem (Sospolrem)
dan Sosial Politik Kodim (Sospoldim); 8) Penghapusan
kekaryaan ABRI melalui pension atau alih status; 9)
Pengurangan jumlah fraksi ABRI di DPR, DPRD I/II. 10)
ABRI tidak akan pernah lagi terlibat dalam politik praktis
day to day politics; 11) Pemutusan hubungan organisastoris
dengan partai Golkar dan mengambil jarak yang sama
dengan semua partai politik yang ada; 12) Komitmen dan
konsisten netralitas ABRI dalam pemilu; 13) Perubahan

kembali implementasi peran ABRI pada masa mendatang. Sudah menjadi komitmen ABRI
untuk menerapkan perannya dimasa depan secara tepat sesuai perkembangan zaman dan
aspirasi masyarakat.
136
Markas Besar Tentara Nasional Indonesai, 1999; Paradigma Baru Peran TNI, sebuah Upaya
Sosialisasi, Mabes TNI, Jakarta, Edisi IV Hasil Revisi, hal 9; dalam Arif Yulianto,2002;
Hubunga sipil dan militer di Indonesia Pasca Orba, ditengah pusaran demokrasi; hal.354
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 138 - Paradigma hubungan ABRI dengan Keluarga Besar


ABRI (KBA); 14) Revisi piranti lunak berbagai doktrin
ABRI disesuaikan dengan era reformasi dan peran ABRI
menjadi TNI; 15) Perubahan Nama ABRI menjadi TNI;
16) Perubahan Staf Sospol menjadi Staf Komunikasi
Sosial (Komsos); 17) Pembubaran Badan Koordinasi dan
Strategi Nasional (Bakorstanas) dan Badan Koordinasi
dan Strategi Daerah (Bakorstanasda)
Perubahan tersebut dipandang positif sebagai upaya reaktif
ABRI terhadap tuntutan dan gugatan dari masyarakat, khususnya
ekses peran sosial politik ABRI yang diimplementasikan dari
doktrin Dwi Fungsi ABRI. Perubahan yang menggembirakan
dimana adanya perubahan staf sospol menjadi staf territorial,
dengan mengedepankan fungsi teritorial maka ABRI akan lebih
berkonsentrasi pada fungsi sejatinya sebagai aparat hankam.
Disamping itu, perubahan nama ABRI menjadi TNI merupakan
upaya reposisi ABRI menuju jati dirinya yang sebenarnya. Dengan
demikian, konsekuensi menuntut adanya perbedaan tugas dan beban
antara TNI dan POLRI. TNI berkaitan dengan urusan pertahanan
Negara, sedangkan POLRI bertanggungjawab terhadap urusan
penegakan hukum, keamanan dan ketertiban masyarakat (society
order). Perubahan nama tersebut dimaksudkan untuk mengubah
citra karena nama ABRI lebih berkonotasi pada security approach
sedangkan nama TNI lebih pada mempunyai latar belakang historis
dengan kedekatannya dengan rakyat.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

Peran Sipil Era Transisi Reformasi - 139 -

Dalam rezin otoriter dimana mliter memainkan peranan


penting, pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan dianngap
hal yang wajar demi alasan stabilitas nasional. Pada pemerintahan
sipil demokratis, kebijakan yang paling efektif adalah menegakkan
supremasi sipil (hukum) dan demi berlangsungnya proses
demokrasitisasi adalah dengan cara mengadili para oknum militer
yang terlibat dalam tindakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi
manusia, baik secara rezim otoriter atau seseudahnya. Ini pun yang
dilakukan terhadap oknum anggota Kopassus yang melakukan
penculikan terhadap aktivis pro-demokrasi.
Didukung oleh sikap dan pandangan militer yang menjunjung
tinggi supremasi hokum, maka TNI mengumumkan 7 (tujuh) oknum
Kopassus yang terlibat dalam penculikan tersbut dan membentuk
Dewan Kehormatan Perwira yang dipimpin oleh Kasad Jenderal
TNI Subagyo untuk mengusut Letjen TNI Prabowo Subianto,
Mayjen TNI Muchdi P.R. dan Kolonel Inf Chairawan. Hasilnya
dengan diberhentikannya Letjen TNI Prabowo dengan hormat
dari ABRI, sementara Mayjen TNI Muchdi P.R. dan Kolonel Inf
Chairawan dibebaskan dari segala tugas dan jabatan Sruktural di
ABRI.137 Selain itu, masalah pelanggaran HAM yang dilakukan
TNI pada masa lampau yang berkaitan dengan pelanggaran
Daerah Operasi Militer di Aceh dan Timor-Timur juga diangkat
kembali, presiden B.J Habibie membentuk Komisi Independen
Pengusutan Tindakan Kekerasan di Aceh dan Pembentukan

137
Arif Yulianto,2002; Hubunga sipil dan militer di Indonesia Pasca Orba, ditengah pusaran
demokrasi; hal.381
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 140 - Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP


HAM) Timor-Timur. Demi menindaklanjutin penegakan hokum
khusus kasus pelanggaran HAM maka DPR dalam waktu singkat
membuat perangkat Undang-Undang yaitu dikeluarkannya UU No
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Perpu Nomor 1
tahun 1999 tentang peradilan Hak Asasi Manusia. Juga membentuk
Tim Pencari Fakta guna mengumpulkan data-data yang akurat
yang dapat mendukung proses peradilan tersebut. Temuan atas
pelanggaran HAM pasca-jajak pendapat yang membawa tragedy
pembumi hangusan Timor-Timur merupakan masalah pelanggaran
HAM paling berat yang dilakukan oleh TNI, dimana membawa
citra buruk Indonesia dimata Internasional.
Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, peran sipil
begitu besar dalam menata peran TNI, terlihat ketika dilakukannya
pemisahan Jabatan Menteri Pertahanan dengan Panglima TNI.
Kebijakan tersebut dilanjutkan dengan dengan mengisi Jabatan
Menteri Pertahanan berasal dari orang sipil, yaitu Prof. DR. Juwono
Sudarso, ini menandakan bahwa Presiden Abdurrahman wahid
ingin meminimalisasi peran peran politik militer dan sekaligus
mewujudkan sipilisasi wajah Departemen Pertahanan yang sejak
Orde Baru dipegang justru dari orang-orang militer.138 Penempatan
orang sipil dalam jabatan Menhan adalah perubahan yang sangat
menggembirakan dan merupakan jaminan bahwa pemerintahn
Presiden Abdurrahman Wahid akan menghapus jejak-jejak politik
militer yang mendominasi selama hampir setengah abad dalam
pemerintahan Negara Indonesia.139

138
ibid
139
Ben Anderson; dalam Newsweek edisi April 1999 dalam Arif Yulianto,2002; Hubunga sipil
dan militer di Indonesia Pasca Orba, ditengah pusaran demokrasi; hal.392
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

- 141 -
Hak-Hak Istimewa Militer

Keterlibatan militer Indonesia dalam masalah keamanan


dalam negeri dan tertib hukum juga diatur dalam bentuk
peraturan hokum Tap MPR Nomor VII/MPR/2000 pasal 4 ayat
1 menegaskan bahwa TNI mempunyai tugas bantuan keamanan
kepada Polri. Dengan demikian secara implisit militer mempunyai
peran ganda, disamping peran eksternal dibidang pertahanan juga
peran internal dalam hal keamanan dalam negeri. Tugas bantuan
tersebut mempunyai dampak psikologis dilapangan tentang rantai
komando yang dijalankan dalam suatu operasi, meskipun hal
tersebut sudah diatur dalam pem-BKO-an anggota militer dibawah
polisi, militer merasa enggan diperintah oleh polisi sedangkan
polisi meresa enggan untuk memerintah militer. Kasus Ambon
menyiratkan adanya kompetensi TNI dan Polri mengenai siapa yang
seharusnya memegang komando dan pengendalian (kodal), untuk
penyelesaiannya dikerahkan 16 batalyon dan hanya 3 batalyon
yang berasal dari Kepolisian, selebihnya dari militer.
Begitupun yang terjadi di Aceh, peran pertahanan yang
diembankan kepada TNI dan peran keamanan yang diembankan
kepada Polri sangat sulit diklasifikasi sehingga terjadi tumpang
tindih peran (overlapping) dan kekosongan penanganan masalah
keamanan (national security) sehingga memunculkan gray area
(daerah abu-abu) yang meimbulkan kekakuan dalam penanganan
masalah dilapangan. Polri yang di turunkan untuk menyelesaikan
tugas tersebut sebenarnya tidak mempunyai kapasitas sebagai
penyelesai masalah (problem solving maker), karena adanya
perbedaan dokrin dengan TNI, Polisi adalah keep order sedangkan
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 142 - TNI adalah destroyer. Untuk mendukung kerja ketahanan


territorial maka mulai tahun 2010 pemerintah Indonesia berusaha
untuk memperkuat TNI agar mencapai standar kekuatan minimum
(Essential Minimum Force). Pemerintah menganggarkan Rp.156
triliun untuk penyediaan alat utama sistem persenjataan (alutsista)
TNI pada periode EMF 2010-2014.140
Setiap tahun TNI memperoleh anggaran yang disahkan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat melalui APBN. Berbeda dengan Polri
yang menerima anggaran langsung untuk 1 unit organisasi (Mabes
Polri), anggaran yang dialokasikan untuk TNI tidak langsung
digunakan untuk TNI sendiri, tetapi harus dibagi kepada 5 unit
organisasi, yaitu Kementerian Pertahanan, Mabes TNI, TNI AD,
TNI AL dan TNI AU.141
Pada tahun 2014, Pemerintah Indonesia mengalokasikan
83,4 triliun untuk Kementerian Pertahanan dalam RAPBN.142

Tahun Fiskal Anggaran (IDR) Anggaran (USD)


2008 Rp. 36, 39 triliun USD. 3, 8 miliar
2009 Rp. 33, 6 triliun USD 3, 3 miliar
2010 Rp. 42, 3 triliun USD. 4, 47 miliar
2011 Rp. 47, 5 triliun USD. 5, 2 miliar
2012 Rp. 64, 4 triliun USD. 7, 5 miliar
Sumber: Tempo.co

140 Anggaran Alutsista 2010-2014 Capai Rp156 Triliun". Investor Daily Indonesia.
30 Januari 2012. dan, "Minimum Essential Force TNI Tahap 2 (2015-2019)".
JakartaGreater.com. 11 September 2013. MEF: Modernisasi Militer Indonesia,
diakses 24 Mei 2015
141
“Anggaran Polri dan TNI Dinilai Tidak Berimbang". dpr.go.id. Dewan
Perwakilan Rakyat. 16 Agustus 2013. Diakses 24 Mei 2015
Angga Sukma Wijaya (16 Agustus 2013). "APBN 2014, Kementerian Pertahanan
142

Dapat Anggaran Terbesar". Tempo.co. Diakses 24 Mei 2015.


Dr. Ujang Komarudin, M.Si

Hubungan Sipil-Militer Era Reformasi - 143 -

Sipil – Militer era reformasi tidaklah setegang hubungan


sipil-militer orde lama pada masa pemerintahan terpimpin, militer
era reformasi cenderung reformis dan visioner. Hal tersebutlah yang
menjadikan militer masih memiliki peran dalam kehidupan sosial,
politik masyarakat, penghapusan dwi fungsi abri dan dilanjutkan
dengan perubahan paradigm militer memaksa militer untuk tunduk
pada kekuatan sipil, meskipun dalam praktik kenegaraan tidak
selamanya dipatuhi. Ini terjadi saat adanya faksi-faksi internal
pada masa kepemimpina Abdurrahman Wahid, di mana Agus
Wirahadikusuma yang memilih merapat dan mengambil peran
politik dalam pemerintahan dan kubu Wiranto yang dipaksa untuk
mengundurkan diri akibat ditemukannya pelanggaran HAM pasca-
jejak pendapat Timor-Timur, dua peran ini tentu mengakibatkan
terjadi juga gesekan internal arus komando keposisi bawah. Selain
itu adanya pembatasan peran TNI dalam perpolitikan hanya sampai
tahun 2004, mengakibatkan dalam berbagai penentuan votting di
DPR mengalami distorsi makna dikarenakan ada sebagian yang
menganggap fraksi TNI harus mendukung pemerintah dan sebagian
mengatakan harus abstain agar menjaga netralitas TNI, dalam
kenyataan itulah menjadikan dekrit yang dikeluarkan presiden
Abdurrahman Wahid tidak ditanggapi serius sebagai komando
panglima tertinggi angkatan perang, melainkan hanya maklumat
biasa dan TNI-Polri menolak secara tegas dekrit tersebut, dengan
melakukan rapat di Markas Besar TNI cilacap, penolakan tersebut
juga di ikuti penolakan oleh Polri. TNI dan Polri menolak dengan
alas an, pemberlakuan dekrit yang salah satunya membekukan
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 144 - lembaga tinggi Negara DPR dan lembaga tertinggi Negara MPR
tidak sesuai dengan jiwa dan aksara UUD 1945, begitu juga
pembentukan Partai Golkar bukanlah wewenang Presiden tetapi
sesuai dengan UU No.2 1999, yeng berwenang adalah Mahkamah
Agung.

Kesimpulan

Kebijakan utama yang ditempuh pemerintahan sipil baru


pasca-Orde Baru, baik pada masa Presiden B.J Habibie maupun
Presiden Abdurrahman Wahid adalah pengurangan hak-hak
istimewa kelembagaan militer yang selama Orde Baru sangat
tinggi. Kebijakan ini dijalankan dengan menggunakan pola
kontrol sipil atas militer, meskipun pola yang digunakan kedua
Presiden tersebut berbeda yang dimana Presiden B.J Habibie
menggunakana kontrol sipil obyektif sehingga tidak menimbulkan
kontestasi, sedangkan Presiden Abdurrahman Wahid, kontrol atas
militer dilakukan dengan strategi konflik, dalam arti control sipil
subyektif. Pada masa kedua pemerintahan sipil tersebut, terdapat
beberapa kebijakan yang mampu dilahirkan dan dijalankan dalam
rangka mengurangi hak-hak istimewa militer, meskipun tidak
dipungkiri institusi militer mempunyai struktur organisasi yang
kat dengan disiplin, hierarki, dan semangat esprit de corps tinggi
yang merupakan kekuatan, sehingga pemerintah sipil menganggap
mrupakan ancaman bagi proses demokratisasi yang berjalan.
Ketakutan atau semacam inferior complex (perasaan rendah
diri complex) dari pejabat sipil tersebut yang membuatnya lebih
memilih jalan tengah atau kompromi dan akomodasi dalam upaya
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

menyelesaikan konflik akibat penerapan kebijakan-kebijakan - 145 -

pengurangan hak-hak istimewa kelembagaan militer. Oleh karena


itu, pola control sipil atas militer bukan berarti selamanya akan
menutup peluang kembalinya peran militer dalam politik dan
kekuasaan, tetapi permasalahan mengenai hubungan sipil-militer
akan terus berubah dari masa ke masa dan bukan sesuatu yang terus
menerus sama namun akan terjadi dengan pola yang bervariasi, pada
suatu saat nanti tidak menutup kemungkinan militer akan kembali
ke panggung politik dan memegang kekuasaan pemerintah.

Soal-soal:

1. Kenapa militer di masa Orde Baru begitu istimewa?


2. Mengapa bisa memiliki dwi fungsi ?
3. Hubungan Orde Baru dengan militer sangat kuat. Saling
menopang dan saling bergantung. Kekuasaan militer berakhir
ketika terjadi reformasi. Dan mengapa reformasi bisa terjadi?
4. Militer kembali ke barak. Kembali ke fungsi pertahanan
negara. Namun saat ini yang berkuasa Polisi. Setujukah?
5. Jika militer tak boleh berpolitik, maka sejatinya Polisi juga tak
boleh berpolitik, agar adil. Bagaimana agar terjadi keadilan
diantara sesama alat negara tersebut?

 
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 146 - 5.3. Analisa Agenda Setting dalam UU Desa


Latar Belakang

Desa merupakan entitas pemerintahan terkecil dalam


desentralisasi di Indonesia, Desa telah ada sebelum Negara Kesatuan
Republik Indonesia terbentuk, sebagai bukti keberadaannya terdapat
pada Penjelasan Pasal 18 Undang-undang dasar Negara Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan
bahwa “Dalam teritori Negara Indonesai terdapat lebih kurang 250
“Zelfbesturende landschappen” dan Vloksgemeneenschappen”
seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun
dan marga di Palembang, dan sebagainya. Konsep zelfbesturende
landchappen identik dengan desa otonom (local self government)
atau disebut desa praja yang kemudian dikenal dalam UU No.
19/1965, yakni desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang
berhak dan berwenang mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri.
Sedangkan konsep volksgetneenschappen identik dengan
kesatuan masyarakat hukum adat atau menurut orang Bali disebut
dengan “desa adat” atau self governing community. Zelfbesturende
landchappen akan mengikuti azas desentralisasi (pemberian) dan
volksgetneenschappen akan mengikuti azas rekognisi/pengakuan
(meski azas ini tidak dikenal dalam semesta teori desentralisasi).
Namun keragaman dan pembedaan zelfbesturende landchappen
(desa otonom) dan volksgetneenschappen (desa adat) itu lama
kelamaan menghilang, apalagi di zaman Orde Baru UU No. 5 tahun
1979 melakukan penyeragaman dengan model desa administratif,
yang bukan desa otonom dan bukan desa adat. Di Jawa, para
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

praktisi pemerintahan desa merasakan bahwa desa hanya dijadikan - 147 -

“gedibal” (pesuruh kasar yang tidak dihargai secara manusiawi) atau


obyek pengaturan dan proyek-proyek pembangunan. Sementara
di Luar Jawa, para pemimpin adat dan para aktivis menuding
Jawanisasi atas regulasi nasional yang mereka anggap tidak sensitif
pada keragaman konteks lokal.143
Isu Jawanisasi itu mulai sensitive muncul pada UU No. 22
tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004, terbukti keduanya mengusung
beberapa prinsip dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan desa:
otonomi asli, keragaman, pemberdayaan, demokrasi dan partisipasi.
Selain itu, transformasi desa tidak sekadar obyek menjadi subyek,
UU No. 32 tahun 2004 beserta regulasi derivatifnya secara
tekstual sudah mengatur penyerahan kewenangan kepada desa,
pelembagaan perencanaan desa, maupun pembagian keuangan dari
dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota kepada desa. Dari
sisi demokrasi desa, didasari oleh kenyataan hubungan konfliktual
antara kepala desa dan Badan Perwakilan Desa (BPD) di bawah UU
No. 22 tahun 1999, UU No. 32 tahun 2004 berupaya melembagakan
Badan Permusyawaratan Desa yang konon diyakini sebagai bentuk
“demokrasi permusyawaratan” yang asli dalam masyarakat desa.
Sementara BPD versi UU No. 22 tahun 1999 dianggap sebagai
bentuk demokrasi perwakilan yang tidak sesuai konteks politik
lokal desa. Di sisi lain, dalam rangka mengoptimalkan pelayanan di
aras desa, UU No. 32 tahun 2004 memberi amanat berupa pengisian
sekretaris desa oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS), meskipun

143
Policy Paper RUU Desa, Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), Juli
2007.
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 148 - institusionalisasi dan implementasi kebijakan ini menimbulkan


masalah besar dari sisi regulasi, anggaran maupun relasi sosial di
aras bawah. Banyaknya problem yang dilahirkan dari perumusan
kebijakan undang-undang pemerintahan Daerah No.32 tahun 2014
memunculkan kesepakatan politik antara pemerintah dan DPR
untuk memecah undang-undang No. 32 tahun 2004 menjadi tiga
undang-undang, yaitu undang- undang Pemerintahan Daerah,
undang-undang Pilkada dan Undang-Undang Desa.

Rumusan Masalah

Pada masa Orde Baru, Indonesia mempunyai UU


Pemerintahan Desa (UU No. 5/1979) yang terpisah dari UU Pokok-
pokok Pemerintahan di Daerah (UU No. 5/1974) Meski bermasalah,
UU No. 5/1979 berjalan secara kokoh, stabil dan tahan lama. Di
masa reformasi, UU No. 22/1999 hadir membongkar masalah yang
terkandung dalam UU No. 5/1974 dan UU No. 5/1979, sekaligus
memberi kesempatan bagi kebangkitan desa. Namun pengaturan
desa diintegrasikan ke dalam undang-undang pemerintahan (UU
No. 22/1999) . Pola yang sama juga diteruskan oleh UU No.
32/2004. Ada beberapa dasar bagi reformasi kebijakan desa dan
perubahan UU No. 32/2004 khusus yang mengatur desa. Pertama,
Esensi dan visi (Roh) UU No. 32/2004 belum kuat mengarah pada
pencapaian cita-cita desa yang mandiri (otonom), demokratis dan
sejahtera. Sejak lahir UU No. 22/1999 otonomi (kemandirian) desa
selalu menjadi bahan perdebatan dan bahkan menjadi tuntutan riil
di kalangan asosiasi desa (sebagai representasi desa), tetapi sampai
undang-undang tersebut direfisi, belum terumuskan visi (roh)
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

bersama apa makna otonomi desa. Mencoba membedah prinsip - 149 -

dasar otonomi desa “otonomi asli” yang terkandung dalam UU No.


32/2004.
Otonomi asli yang dimaksud berarti desa mengurus sendiri
sesuai dengan kearifan dan kapasitas lokal, tanpa intervensi dan
tanggungjawab negara. Tetapi juga ada banyak pandangan bahwa
sekarang otonomi asli itu sudah hilang sebab semua urusan
pemerintahan sudah menjadi milik negara; tidak ada satupun
urusan pemerintahan yang luput dari pengaturan negara. Dalam hal
lain, UU 32 tahun 2004 mengusung roh demokrasi substansial yang
bersifat universal, seperti akuntabilitas, transparansi dan partisipasi,
sehingga mengingat desa menjadi institusi modern yang mengelola
barang-barang publik. Meskipun ada pertanyaan, apakah nilai-nilai
universal itu cocok dengan kondisi lokal, apakah orang-orang lokal
mampu memahami roh akuntabilitas, transparansi dan partisipasi
dengan cara pandang lokal, atau adakah nilai-nilai dan kearifan lokal
yang bisa diangkat untuk memberi makna dan simbol akuntabilitas,
transparansi dan partisipasi. Sementara perdebatan pada aras
demokrasi prosedural terletak pada pilihan: permusyawaratan yang
terpimpin atau perwakilan yang populis.
Dari sisi kesejahteraan, UU No. 32/2004 memang telah
membawa visi kesejahteraan melalui roh dan disain kelembagaan
otonomi daerah, seperti adanya kewajiban dan tanggungjawab
Pemerintah daerah meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui
kewenangan besar dan keuangan yang dimilikinya. Dalam
mendorong perubahan dan melindungi desa agar bisa diberdayakan
untuk, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan
landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 150 - pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur dan


sejahtera,144 pemerintah mendorong adanya perumusan undang-
undang desa. Perdebatan perumusan ini mewarnai beberapa
argument para pakar dan penggiat sosial di desa, sehingga makalah
ini akan mencoba melihat agenda setting yang terjadi pada
perumusan undang-undang Desa tersebut.
Pertanyaan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas, kami mencoba mengajukan
pertanyaaan penelitian yaitu:
1. Bagaimanakah Agenda Setting yang terjadi pada Rancangan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
2. Bagaimanakah Peran Pemerintah (Eksekutif dan Legislatif)
dalam Rancangan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

Definisi Konseptual Agenda Setting

Agenda setting adalah proses masuknya isu-isu publik


kedalam agenda pemerintah untuk ditindaklanjuti melalui
kebijakan-kebijakan. Agenda setting merupakan proses yang
terjadi sebelum perumusan kebijakan, sebagai suatu tahap sebelum
perumusan kebijakan dilakukan, agenda setting berfokus pada
bagaimana isu-isu (issues) itu muncul pada agenda pemerintah
yang perlu ditindak-lanjuti berupa tindakan-tindakan pemerintah.
Menurut Ross, seperti dikutip dalam Lester dan Stewart.
mendefinisikan agenda setting sebagai “ Proses dimana keinginan-
keinginan dari berbagai kelompok dalam masyarakat diterjemahkan

144
UU nomor 6 tahun 2014, dalam konsideran menimbang huruf b.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

ke dalam butir-butir kegiatan agar mendapat perhatian serius dari - 151 -

pejabat-pejabat pemerintah”145
Untuk membuat sebuah kebijakan yang tepat, seorang
pembuat kebijakan juga harus menyadari siapa dan kekuatan apa
yang ada dibalik isu-isu tersebut. Setidaknya ada lima hal yang
mempengaruhi proses pembuatan agenda setting, yaitu: Pertama,
hasrat dari stakeholders yang terlibat. Dalam sebuah kebijakan
sangat dipengaruhi oleh aktif atau tidaknya pemerintah dalam
perumusan agenda kebijakan. Kedua, pengaruh ekologi eksternal,
faktor bagaimana struktur pembentukannya. Ketiga, posisi isu
kebijakan pada eksistensi identitas publik. Dalam sebuah agenda
setting diperlukan pemahaman yang kuat konteks isu yang
dimunculkan. Konteks ini sangat terkait dengan waktu, bobot politis,
kebakuan sikap politik, arti penting bagi organisasi. Keempat,
derajat signifikansi kebijakan pada pelaku kebijakan. Sebuah
pengukuran bagaimana repercussion atau gema permasalahan itu
menjadi keresahan publik. Kelima, mode cara pandang kepentingan.
Ekspresi-ekspresi dari para stakeholders ini menjadi penting untuk
menjadi resources dalam agenda setting. Sebuah pengukuran arus
politik dan pola hubungannya antar stakeholders. Juga ekspresi
partisipasi yang sempat terekam, apakah muncul di permukaan
dengan demo-demo besar atau justru diam-diam yang melibatkan
analisis pakar. 146

145
Giandomenico Majone, dalam Handbook kebijakan public, nusamedia,
2006
146
Santoso, Kebijakan public, Jakarta, 2008, hal 31-34
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 152 - Proses Agenda Setting

Systemic Agenda (Agenda Sistemik) terdiri atas isu-isu yang


dipandang secara umum oleh anggota-anggota masyarakat politik
sebagai pantas mendapat perhatian dari pemerintah dan mencakup
masalah-masalah yang berada dalam kewenangan sah setiap tingkat
pemerintahan masing-masing. Tiga prasayarat agar isu kebijakan
(policy issue) itu dapat masuk dalam agenda sistematik, yaitu :147
1. Isu itu memperoleh perhatian yang luas atau sekurang-
kurangnya menumbuhkan kesadaran masyarakat.
2. Adanya persepsi atau pandangan masyarakat bahwa perlu
dilakukan beberapa tindakan untuk mencegah masalah itu.
3. Adanya persepsi yang sama dari masyarakat bahwa masalah
itu merupakan kewajiban dan tanggung jawab yang sah dari
pemerintah untuk memecahkannya.

Governmental Agenda (Agenda Pemerintah) : serangkaian


masalah yang secara eksplisit memerlukan pertimbangan-
pertimbangan yang aktif dan serius dari pembuat kebijakan yang
sah. Beberapa faktor yang menyebabkan permasalahan masyarakat
dapat masuk ke dalam agenda pemerintah, yaitu148 :
1. Apabila terdapat ancaman terhadap keseimbangan antar
kelompok, maka kelompok-kelompok tersebut akan
mengadakan reaksi dan menuntut adanya tindakan pemerintah,
untuk mengatasi ketidak-seimbangan tersebut.
2. Para pemimpin politik dapat menjadi faktor penting dalam

147
ibid
148
Santoso, Kebijakan Publik, Jakarta, 2008, hal 31-34
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

penyusunan agenda pemerintah. Para pemimpin politik, - 153 -

karena didorong adanya pertimbangan politik dan karena


memperhatikan kepentingan umum, selalu memperhatikan
masalah-masalah masyarkat dan mengusulkan upaya-upaya
pemecahannya.
3. Timbulkan krisis atau peristiwa luar biasa dapat menyebabkan
suatu masalah masuk ke dalam agenda pemerintah.
3. Adanya gerakan-gerakan protes, termasuk tindakan kekerasan,
merupakan salah satu penyebab yang dapat menarik perhatian
pembuat kebijakan dan memasukannya ke dalam agenda
pemerintah.

IV. Pembahasan
Agenda Sistemik
Keberagaman

Anekaragam bahasa dan budaya tercatat oleh sejumlah


sarjana ternama dan pernah membangun klasifikasi berkaitan
dengan masyarakat di Indonesia. Antara lain, klasifikasi-klasifikasi
berdasarkan ciri-ciri fisikal penduduk; daerah hukum adat;
golongan etnisnya; bahasa; sistem ekologinya. Dua orang ahli
antropologi Indonesia, yaitu Koentjaraningrat dan Ave, membuat
pengklasifikasian masyarakat dan budaya di Indonesia menurut
pendekatan yang berlainan.149

149
Marzali, dalam Santoso, Kebijakan Publik, Jakarta, 2008,
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 154 - Berdasarkan “tipe-tipe sosial dan budaya” kita pun mengenal


desa yang warganya mengadalkan kelangsungan hidupnya sehari-
hari melalui kegiatan berburu dan meramu, ditambah sistem
berkebun yang amat sederhana, seperti yang banyak dijumpai di
Kep. Mentawai; pedalaman Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
Papua; desa dengan warga petani ladang berputar, sebagimana yang
banyak dijumpai di Pedalaman Sumatera, Sulawesi, Kalimantan;
desa-desa petani sawah (Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan),
dan desa pesisir dengan warga yang dominan menjadi nelayan,
sebagaimana umum dijumpai di wilayah pantai/pesisir pada ribuan
pulau yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Keragaman masing-
masing desa makin diperkaya pula oleh tinggi-rendahnya pengaruh
Hindu, Zending dan Missi, Islam, dan “Orde Pembangunan”.150
Sehingga dalam Implementasi UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan
Desa yang dihentikan keberlakuannya seiring arus reformasi,
telah menambah kerumitan keberagaman desa itu. Tim Peneliti
Forum Pembangunan dan Pembaruan Desa/FPPD (2007) pernah
membuat klasifikasi berdasar tinggi-rendahnya pengaruh adat pada
desa-desa (dalam arti pemerintahan desa) di Indonesia saat ini.
Hasil penelitian itu menunjukkan ada desa yang pengaruh adatnya
masih sangat kuat, ada pula desa yang pengaruh adatnya sudah
pudar, yang tinggal hanya ritual-ritualnya saja seperti kenduri dan
selamatan. Ada pula yang sesungguhnya tidak ada desa kecuali
kelompok masyarakat adat. Menurut Tim Peneliti FPPD hubungan
antara adat dan desa yang saling mempengaruhi itu berkembang
hingga menimbulkan 5 (lima) ragam desa.151

150
Koentjraningrat, ed., 1970 dan 1984
151
Dikutip dari Naskah Akademik ‘Rancangan Undang-Undang Tentang Desa’,
2007, yang diedarkan oleh Direktorat Pemerintahan Desa dan Kelurahan,
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

Perbaikan Kualitas Masyarakat - 155 -

Kualitas masyarakat di desa sangatlah rendah dibandingkan


dengan di kota, desa menjadi tempat berkumpulnya masyarakat
miskin, kualitas hidup tersebut tidak terlepas dari adanya dikotomi
perhatian dari pemerintah pusat, pemerintah pusat menaruh
perhatian lebih kepada pemerintah TK I dan Pemerintah TK II,
sehingga desa tidak diberikan kewenangan dalam mengelola
kearifan lokalnya, munculnya gagasan undang-undang desa tidak
terlepas dari meningkatkan kesejahteraan di desa, masyarakat
desa berhak menentukan nasibnya, komitmen pemerintah tersebut
tertuang dalam rancangan undang-undang desa yang mana
pemerintah memberikan dana desa yang diperoleh dari dana bagi
hasil perimbangan pusat dan daerah sebanyak 20 porsen. Meskipun
ada bebepa perdebatan dari besaran prosentase usulan dana desa
tersebut, dengan asumsi desa belum mampu mengelola dana sebesar
itu, yang apabila dirata-ratakan akan menembus 1 milyar per desa.
RUU Desa ini dinilai penting, setidaknya karena 2 alasan. Pertama,
melalui UU Desa diharapkan terbentuk basis legal pengaturan yang
jelas dan spesifik mengenai desa, karena sejak reformasi pengaturan
Desa masih menginduk dalam UU Pemerintahan Daerah. Padahal
kompleksitas desa membutuhkan sistem penanganan tersendiri.
Kedua, melalui UU Desa ini, diharapkan ada terobosan baru
terwujudnya pembaharuan desa ke arah demokratisasi, kemandirian
dan kesejahteraan. Dalam RUU Desa ini terkandung harapan
besar sekaligus pertaruhan masa depan rakyat desa. Bahkan ini

Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen (sekarang


Kementerian) Dalam Negeri.
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 156 - merupakan uji pembuktian komitmen, apakah pemerintah dan


parlemen berpihak pada nasib rakyat desa ataukah tidak.152

Amanat Reformasi

Pembenahan desa bergulir sejak era reformasi, terbitnya


Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah yang didalamnya mengintrodusir otonomi desa, serta
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 mengenai perimbangan
keuangan daerah, telah memberikan ruang kebebasan bagi daerah
dan desa untuk secara otonom mengatur pemerintahannya sendiri.
Regulasi tersebut mendorong adanya perhatian terhadap lokalitas
desa. Adapun semangat dasar UU No. 22 tahun 1999 adalah
memberikan pengakuan terhadap keragaman dan keunikan desa
(atau dengan nama lain) sebagai self-governing community, yang
tentu saja merupakan manifestasi terhadap makna “istimewa”
dalam Pasal 18 UUD 1945. Pemaknaan baru ini berbeda dengan
semangat dan disain yang tertuang dalam UU No. 5/1979, yang
hanya menempatkan desa sebagai unit pemerintahan terendah di
bawah camat. Secara politik UU No. 5/1979 bermaksud untuk
menundukkan desa dalam kerangka NKRI, yang berdampak
menghilangkan basis self-governing community. Implikasinya
adalah, desa berhak membuat regulasi desa sendiri untuk mengelola
barang barang publik dan kehidupan desa, sejauh belum diatur
oleh kabupaten. Dalam Pasal 105, misalnya, ditegaskan: “Badan

152
Arie Sujito dan Ranggoaini Jahja, “RUU Desa dan Media Komunitas”,
Kedaulatan Rakyat, 27 Juni 2013. Dalam jurnal mandatory 10 edisi 1, IRE
Jogja.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

Perwakilan Desa bersama dengan Kepala Desa menetapkan - 157 -

Peraturan Desa”. Ini artinya, bahwa desa mempunyai kewenangan


devolutif (membuat peraturan desa) sekaligus mempunyai
kekuasaan legislatif untuk membuat peraturan desa itu. Kelahiran
UU No. 22/1999 memperoleh apresiasi yang luar biasa, sekaligus
membangkitkan wacana, inisiatif dan eksperimentasi otonomi desa.
Disisi lain, Terjadi pergeseran signifikan; pertama, berkurangnya
dominasi birokrasi, digantikan oleh peran institusi-institusi
masyarakat lokal, seperti adat misalnya. Makin tumbuh keberadaan
forum-forum kewargaan di desa sebagai bagian dari social capital
yang didalamnya berkembang nilai-nilai partisipasi secara otentik
Kedua, semangat adaptasi atas demokrasi delegatif-liberatif cukup
besar. Serta adanya Badan Perwakilan Desa (BPD atau Baperdes),
yang bertindak sebagai badan legislatif baru di desa sangat
bermakna menjadi institusi demokrasi. Ketiga, adalah semangat
partisipasi masyarakat yang sangat dikedepankan. Proses politik,
pemerintahan, dan pembangunan di desa tidak lagi terbangun
dalam bingkai kebijakan pemerintah pusat secara komando (top-
down), melainkan berasal dari partisipasi masyarakat (bottom-up).

Demokratisasi

Lemahnya praktik-praktik demokrasi desa di atas dibungkus


dalam kultur dan struktur kekuasaan desa yang paternalistik-
klientelistik. Kultur kepamongan yang klientelistik melekat
pada pemerintah desa. Pamong desa berarti harus bisa menjadi
pengayom, pelindung, panutan, teladan, murah hati, ringan tangan,
dan seterusnya. Intikator kinerja menurut versi masyarakat itu
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 158 - tidak menjadi masalah sejauh tidak bersentuhan dengan masalah


kekuasaan, kekayaan dan barang-barang publik. Tetapi berurusan
dengan pemerintahan dan birokrasi negara, dimensi kekuasan
dan kekayaan itu tidak bisa diabaikan oleh pemerintah desa dan
masyarakat. Pemerintah desa yang mengelola kekuasaan dan
kekayaan dalam bingkai birokratisasi negara justru menyebabkan
pergeseran makna pamong desa: dari pamong desa yang populis
dan egaliter menjadi perangkat desa yang birokratis. Pamong tidak
lagi berakar dan berpihak kepada masyarakat, melainkan telah
menjadi tangan-tangan negara yang membenani dan mengendalikan
masyarakat.
Tetapi sejak 1998 posisi ekonomi-politik kepala desa
mengalami krisis yang serius. Di Jawa, misalnya, sejak Juli
1998, banyak kepala desa bermasalah yang terkena “reformasi”
(digulingkan) oleh rakyatnya sendiri. Ini menandai babak baru
relasi antara kepala desa dan rakyat. Rakyat semakin kritis dan akrab
dengan jargon TPA (transparansi, partisipasi dan akuntabilitas).
Kehadiran UU No. 22/1999 sebenarnya hendak mengubah
karakter desa korporatis menjadi karakter desa demokratis. UU
ini mengurangi masa jabatan kepada desa sekaligus mengurangi
kekuasaan kepala desa. Namun reformasi belum membuahkan
perubahan fundamental terhadap kepemimpinan lokal kepala desa.
Ada dua bentuk defisit kepemimpinan kepala desa. Pertama,
kepemimpinan regresif, yakni karakter kepemimpinan kepala desa
yang mundur ke belakang, bahkan bermasalah. Sebagian besar desa
parokhial dan sebagian desa-desa korporatis menghasilkan karakter
kepemimpinan kepala desa yang regresif ini. Mereka berwatak
otokratis, dominatif, tidak suka BPD, tidak suka partisipasi,
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

anti perubahan dan biasa melakukan penyerobotan terhadap - 159 -

sumberdaya ekonomi, termasuk menyerobot bantuan pemerintah.


Jika desa dikuasai kepala desa seperti ini maka desa yang mandiri,
demokratis dan sejahtera sulit tumbuh. Kedua, kepemimpinan
konservatif-involutif, ditandai dengan hadirnya kepala desa yang
bekerja apa adanya (taken for granted), menikmati kekuasaan dan
kekayaan, serta tidak berupaya melakukan inovasi (perubahan)
yang mengarah pada demokratisasi dan kesejahteraan rakyat. Para
kepala desa ini pada umumnya menikmati kekuasaan dan menguasai
sumberdaya ekonomi untuk mencari nafkah. Mereka tidak peduli
terhadap pelayanan publik yang menyentuh langsung kehidupan
dan penghidupan warga. Mereka hanya sekadar menjalankan
rutinitas sehari-hari serta instruksi dari atas. Dengan kalimat lain,
karena pengaruh karakter desa korporatis yang begitu kuat, para
kepala desa ini tidak hadir sebagai pemimpin rakyat melainkan
hanya menjadi kepanjangan tangan pemerintah, atau hanya seperti
mandor proyek atau mandor kebun seperti pada masa kolonial.

Partisipasi Masyarakat

Partisipasi telah berjalan sejak awal 1980-an, dalam suatu


perencanaan partisipatif (bottom-up planning), yang dimulai
di tingkat desa. Akan tetapi pemahaman dan praktik partisipasi
tidaklah sama dengan yang di harapkan, partisipasi semu selalu
saja terjadi dengan cara: Pertama, partisipasi sebagai mobilisasi.
Kalau butuh dukungan (material dan fisik), pemerintah selalu
menggunakan pendekatan mobilisasi, yang juga diyakini sebagai
partisipasi. Kedua, partisipasi dipahami sebagai bentuk dukungan
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 160 - masyarakat. Kepala desa yakin betul bahwa mereka memegang


kekuasaan (jabatan) karena memperoleh mandat dan kepercayaan
dari masyarakat melalui proses pemilihan. Karena telah memperoleh
mandat, maka menurut peraturan perundang-undangan mereka
mempunyai kewenangan dan kewajiban membuat kebijakan
maupun peraturan yang sedikit banyak mengikat rakyat. Sebagai
contoh, dukungan yang paling konkret adalah membayar pungutan
(pajak dan retribusi) yang telah ditetapkan dalam peraturan. Ketiga,
partisipasi dipahami dan dipraktikkan sebagai bentuk sosialisasi
kebijakan pemerintah kepada masyarakat. Dalam konteks
kebijakan, pemerintah merasa perlu melakukan sosialisasi kepada
masyarakat, untuk memberi tahu sebelum kebijakan dilaksanakan
agar tidak terjadi gejolak dalam masyarakat. Keempat, partisipasi
dipahami dalam pengertian nominal yakni menjatuhkan pilihan
(vote), bukan dalam pengertian substantif, yakni menyampaikan
suara (voice). Sering muncul argumen bahwa partisipasi secara
langsung dengan melibatkan seluruh warga masyarakat tidak
bakal terjadi, sehingga membutuhkan pemimpin dan wakil rakyat
yang dipilih melalui pemilihan umum secara berkala. Partisipasi
warga dalam menentukan pemimpin dan wakil rakyat itu dianggap
sebagai bentuk penyerahan mandat dari warga untuk dikelola secara
bertanggungjawab. Dalam praktiknya proses pemilihan umum itu
hanya membuahkan lembaga-lembaga formal.

Agenda Pemerintah
Dinamika Pasal 18 dalam UU Dasar 1945

Sejumlah isu yang terkandung dalam UUD 1945 tentu


membutuhkan penjabaran lebih lanjut dalam bentuk undang-
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

undang. Termasuk pasal 18 yang mengatur keberadaan daerah - 161 -

dan kecil. Pasal 18 itu berbunyi: Pembagian daerah Indonesia atas


daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya
ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan
mengingat dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan
negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat
istimewa. Desa sebenarnya termasuk daerah-daerah kecil yang
mempunyai hak-hak asal-usul dan bersifat istimewa. Dalam
penjelasan juga ditegaskan: “Daerah Indonesia akan dibagi dalam
daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah
yang lebih kecil’.
Ini berarti bahwa daerah yang lebih kecil mencakup
kabupaten/kota dan desa, atau setidaknya undang-undang juga
harus memberi kedudukan yang tepat keberadaan desa yang telah
ada jauh sebelum NKRI lahir, dan desa pada masa kolonial juga
telah diatur tersendiri. Pada Amandemen Kedua UUD 1945, malah
menghilangkan istilah desa. Pasal 18 ayat 1 menegasakan: “Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah yang
diatur dengan undang-undang”. Juga pasal 18B ayat 2 menegaskan:
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Namun UU No. 22/1999 maupun UU No. 32/2004 menempatkan
desa hanya sebagai bagian (subsistem) pemerintahan kabupaten/
kota, sehingga muncul disain kelembagaan dan kesan “otonomi
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 162 - dalam otonomi”. Jika UU Desa disusun terpisah dari UU Pemda,


hal ini akan semakin mempertegas pesan dan makna Pasal 18 UUD
1945, sekaligus akan semakin memperjelas posisi (kedudukan) dan
kewenangan desa atau memperjelas makna dan disain otonomi desa,
yang sebenarnya selama ini sangat kabur. Dinamika pasal 18 ini
menjadikan eksekutif dan legislative memikirkan kembali perlunya
Undang-Undang Desa, karena terdapat wacana tentang masyarakat
adat atau ‘desa atau disebut dengan nama lain’ makin menguat
dalam proses amandemen Pasal 18 ketika Pah I BP MPR melakukan
dengar pendapat dengan kalangan organisasi non-pemerintah153.
Dalam satu kesempatan, Sandra Moniaga, aktifis ORNOP mantan
petinggi Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) yang juga aktif
mendirikan dan mengurus sejumlah organisasi ataupun jaringan
kerja ORNOP lainnya, antara lain ELSAM dan Jaringan Pembela
Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA)154. Sehingga perdebatan
tersebut membuat perbedaan pendapat dikalangan legislative yang
mana apakah mendahulukan RUU Adat atau RUU Desa, karena
kelompok masyarakat sipil juga terbelah dalam mendorong dua
RUU itu di DPR. Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan
153
Putusan Perkara Mahkamah Konstitusi, 2010: 1140 – dst.
“... Bicara tentang hak adat di sini, itu bukan hanya hak adat yang atas sumber
154

daya alam. Tetapi hak adat yang sifatnya lebih holistis. Termasuk menyangkut soal
hak beragama. Termasuk juga soal hak-hak hukum beragama. Sebagian besar kami
menghormati dari kawan-kawan aliansi masyarakat nusantara yang merumuskan
istilah kedaulatan masyarakat adat bahwa di dalam wilayah masyarakat adat itu
ada satu kewenangan. Ada satu otonomi bagi di masyarakat adat untuk mengatur
dirinya sendiri yang kita kenal self determination. Bukan artinya mereka menjadi
negara sendiri tetapi ada satu kewenangan yang diakui oleh negara di mana
mereka bisa mengatur wilayahnya dan itu sebenarnya bukan hanya tuntunan dari
orang sini sebenarnya tuntutan dari masyarakat adat sedunia. …” (Mahkamah
Konstitusi, 2010: 1141).
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

Perlindungan Masyarakat Adat yang selanjutnya disingkat RUU - 163 -

PPMA, dijanjikan akan disahkan menjadi undang-undang pada


masa sidang Tahun 2012, meskipun RUU itu masih dalam tahap
legal drafting oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI155. dalam hal
tersebut adalah Pasal 18B ayat 2, adalah sebagaimana dalam urutan
berikut: (1) ‘Undang-undang tentang Pengakuan dan Penghormatan
terhadap Keberadaan dan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat’; (2)
‘Undang-undang  tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat
Adat’ (sebagaimana yang diusulkan AMAN dan DPD 2010);
dan ‘Undang-undang  tentang Desa atau Disebut Dengan Nama
lain’. Dengan demikian, penyebutan sekedar ‘RUU Desa’ adalah
penyebutan yang paling tidak disarankan, Karen tidak konsisten
dengan mandat konstitusi; dan sangat mudah ditelikung menjadi
sekedar ‘pemerintahan desa’, sebagai ‘efek historis’ yang begitu
kental melekat pada sebutan desa saat ini, baik dari kalangan
pemerintah (termasuk aparat pemerintahan desa, sebagaiman yang
tergambarkan dalam RUU versi Pemerintah dan aspirasi Aparat
Pemerintahan Desa) maupun kalangan masyarakat pada umumnya.
Selain itu, untuk RUU Desa sendiri Pembahasan RUU Desa yang
sedang dilakukan antara pemerintah dan DPR ternyata bukan
masalah sederhana. Ada beberapa hal yang awalnya terlihat mudah
namun ternyata sulit ditemui kesepakatan. Sebagai contoh adalah
pemilihan kata yang akan digunakan sebagai judul undang-undang.
Ketua Pansus RUU Desa Ahmad Muqowam mencontohkan,
sejak dibahas selama setahun lalu, ada perdebatan mengenai
penggunaan kata ‘desa’ sebagai judul undang-undang. Karena
155
Marzuki Alie, Ketua DPR RI, dalam pidato pembukaan Kongres Masyarakat Adat
Nusantara IV di Tobelo, Halmahera Utara, Maluku Utara (19 April 2012).
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 164 - beberapa daerah mempunyai kata sendiri untuk menyebut desa.


Sebut saja misalnya kampoong dan nagari di daerah Sumatera
Barat156. Terdapat desa yang memiliki sistem adat, sehingga kedua
hal itu berjalan dinamis seperti di Sumatera Barat. Ada pula desa,
namun sinergisitasnya dengan adat tergolong minim, seperti di Jawa.
Serta ada kondisi yang mengakibatkan tidak ada desa dan adat, itu
terjadi di wilayah kota. Keistimewaan desa dimana UU Desa harus
memposisikan desa sebagai daerah istimewa di hadapan negara,
sehingga desa dapat melakukan pengelolaan atas sumber daya yang
ada dengan baik dan kuat, juga dalam hal kepemimpinan, tiap suku
yang ada di Indonesia punya sistem kepemimpinan yang berbeda-
beda, hal tersebut akan mempengaruhi kondisi struktural yang ada

156
Namun, secara pribadi anggota Komisi II DPR dari FPPP itu mengatakan istilah
desa sudah tepat untuk digunakan. “Istilah itu sudah umum,” Dalam membahas
RUU Desa, harus dilakukan sejernih mungkin. Pasalnya, regulasi itu nantinya
akan digunakan untuk menyempurnakan berbagai peraturan perundang-
undangan yang ada terkait desa. Seperti  UU No. 32 Tahun 2004  tentang
Pemerintah Daerah (Pemda). Untuk itu, sangat penting untuk ditelusuri tentang
desa secara komprehensif. Misalnya, seperti apa pengelolaan desa di masa
pemerintahan kolonial Belanda, masa penjajahan Jepang, Orde Lama, Orde
Baru dan reformasi. Ketika reformasi, Muqowam melanjutkan, pengaturan
desa kembali diubah, salah satunya lewat UU Pemda. Walau ditujukan untuk
menyejahterakan daerah, tapi secara umum Muqowam menilai regulasi itu gagal
mencapainya. Muqowam mencatat, beberapa persoalan yang ada di UU Pemda
di antaranya terkait kedudukan dan kewenangan. Oleh karenanya, UU Desa
diharapkan mampu memecah berbagai persoalan yang ada dalam pengaturan
desa. Misalnya, pembangunan desa harus disesuaikan dengan kondisi sumber
daya alam dan manusia yang ada di desa tersebut. Sejalan dengan pembenahan
itu, Muqowam berpendapat, sedikitnya terdapat tiga kunci dalam melakukan
reformasi desa. Pertama, ada penjelasan asal-usul atau pengakuan atas desa dan
adat. Menurutnya, asal-usul itu akan menegaskan apa yang dimaksud dengan
desa dan hubungannya dengan adat, serta memberi dasar yang kuat. Karena, di
Indonesia kondisi desa yang ada di tiap daerah berbeda-beda.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

di desa, maka tiap desa perlu memiliki mekanismenya sendiri dalam - 165 -

menentukan struktur desa. Akibat hal tersebut Pansus RUU Desa


menemukan kesulitan dalam menyelaraskan rancangan itu dengan
UUD RI 1945. Pasalnya, dalam konstitusi, setelah amandemen,
desa tidak disebut secara spesifik. Menurutnya, ketentuan di
konstitusi yang paling mendekati tentang desa dijelaskan Pasal
18B UUD RI 1945. Sehingga jalan tengah yang tempuh dimana
dalam RUU Desa nanti akan dimasukkan beberapa pasal. Seperti
ketentuan penghormatan atas hak-hak masyarakat hukum adat,
serta pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat.

Perdebatan Isi RUU Desa

Dalam melihat isi RUU Desa Tim Pansus melakukan rapat


seminggu 2 kali bahkan akhir minggupun digunakan rapat untuk
menyamakan apresiasi dari berbagai pihak. Desa diatur secara
komperhensif, tidak secara teknis, kehidupan berdasarkan kearifan
lokal. Adapun pembahasan yang sudah disepakati mengenai 1)
pemerintah desa adat, 2) penataan desa, 3) kewenangan desa,
4) BPD, dan 4) Musdes. Untuk masa jabatan belum terjadi
kesepakatan, 8x2 atau 6x2, posisi DPR di 8x2, karena berkaitan
dengan demokrasi, kehidupan dan sosiologis di desa. Selain
DPR juga terdapat pandangan dari Direktorat PMD kementerian
dalam negeri, dimana fokus pembahasan mengenai: 1) kejelasan
kewenangan, ada urusan asal usul, urusan lokalitas dan urusan
yang ditugaskan, untuk meningkatkan PADes. 2) keuangan
masih menjadi perdebatan, ada UU tersendiri. DAD sedang
diformulasikan dengan Kementerian Keuangan. 3) kelembagaan.
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 166 - 4) Personil. Dimana Perangkat desa bisa diangkat langsung atau


direkomendasi melalui camat. Sedangkan untuk mendorong PADes
maka ada urusan yang ditolak. Sedangkan Budiman Sujatmiko
yang juga Politisi PDI-P mengatakan UU Desa bukan sekedar UU
Kepala Desa tapi UU Desa secara keseluruhan157. Pada tanggal
12 Juli, DPR dijadwalkan menggelar sidang paripurna yang
mengagendakan   pengesahan RUU Desa. Namun karena belum
tercapai kesepakatan antara DPR dengan pemerintah, bahkan di
internal fraksi, mengenai  isu anggaran untuk desa, masa jabatan
kepala desa, serta rumusan desa dan desa adat, RUU Desa belum
berhasil diparipurnakan pada tanggal 12 Juli. Mengenai anggaran
untuk desa, Pansus mengusulkan agar dialokasikan 6% untuk desa
dari total nilai APBN, diluar dana perimbangan. Dana dialokasikan
melalui kementerian yang menangani desa. Sedangkan pemerintah
menghendaki 10% dana perimbangan ke kabupaten/kota. Sedangkan
untuk jabatan kepala desa, terdapat dua opsi, opsi pertama masa
jabatan kepala desa (kades) adalah enam tahun dan bisa dipilih
kembali selama satu periode. Sedangkan opsi kedua, masa jabatan
kades adalah delapan tahun dan bisa dipilih kembali selama satu
periode. Tentang rumusan desa dan desa adat, dalam RUU Desa

Apakah dengan UU Desa mengurangi kemiskinan? Maksimal menciptakan kelas


157

menengah baru di desa. UU Desa bukan UU memberantas kemiskinan. Isu


kelembagaan desa, BPD, musdes sudah disepakati tinggal sinkronisasi, perumusan
kalimat. Desa dibagi menjadi desa adat dan desa praja. Mengenai anggaran, ada
beberapa skema yaitu 1) apakah dari uang itu dititipkan Kemnkeu langsung ke
bawah, syaratnya tidak ada persentasi. 2) uang dititipkan di Kemendagri ke bawah
dan tidak ada persentasi. 3) ada persentasi tetapi uang jatahnya Bupati. Itu posisi
Pemeritah, posisi DPR lewat satu pintu dengan persentasi. Sejauh ini sanggupnya
negara memelihara desa seberapa? Ada kontrak sosial antara desa dengan negara
dalam bentuk UUD. 
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

diakui dua jenis desa yaitu desa dan desa adat. Pengakuan pada - 167 -

kedua jenis desa tersebut akan berimplikasi pada penataaan dan


penyelenggaraan desa. DPR menargetkan RUU Desa bisa disahkan
pada Oktober 2013158. Pada masa reses, Anggota Komisi II Abdul
Malik Haramain menjelaskan, un­tuk memperkaya isi Ranca­ngan
Undang-Undang Desa DPR berencana keluar negeri untuk studi
banding.Kali ini, sejumlah anggota Ko­misi II DPR akan ke empat
nega­ra untuk kepentingan pem­ba­hasan dua RUU, yaitu RUU Pe­
merintah Daerah, dan RUU Desa.Sebagian anggota Komisi II
akan mendatangi Cina dan Vene­zuela terkait studi banding RUU
Desa. China dipilih, lantaran negara tersebut berhasil membangun
ke­kuatan desa. DPR RI akan ber­kunjung ke desa terkaya di Cina,
Desa Huaxi.159 Selain ke Cina dan Venezuela, juga Pansus RUU
Desa ke Jer­man dan Jepang.


Kesimpulan

Dalam perumusan agenda setting undang-undang desa


banyak komponen yang terlibat, masyarakat sipil memberikan

158
http://www.forumdesa.org/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=16
159
Dahulu desa itu miskin. Kini, menjadi desa terka­ya dan modern. “Mayoritas
penduduk di desa ini memiliki kekayaan setidaknya 100 ribu Euro atau lebih. Desa
ini punya sebuah perusahaan multi sektor industri yang terdaftar di bursa saham.
Para penduduknya pemegang saham dan dibayar seperlima dari keuntungan peru­
sa­haan,” ungkapnya. DPR tertarik ingin mempela­jari pola penataan desa, kewe­na­
ngan yang dimiliki, sistem pe­nye­lenggaraan pemerintahan, pro­ses pembangunan,
dan lainnya. Nanti di China DPR RI ingin bertemu parlemen Cina untuk
mengetahui regulasi yang terkait pembangunan desa di Cina. “Kita juga ingin
bertemu Ke­menterian Dalam Negeri China yang berhubungan dengan tata kelola
pemerintahan desa, ke­mudian pejabat wilayah yang terkait dengan pemberdayaan
desa,” kata politisi PKB itu.

Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 168 - masukan yang sangat membantu lahirnya kebijakan undang-


undang desa, meskipun terdapat pro kontra dalam beberapa isu
seperti perdebatan konstitusi dan Roh dari perumusan RUU
Desa namun undang-undang desa tersebut lahir dengan mengisi
harapan masyarakat dan pemerintah yang memisahkan tiga
undang-undang yaitu UU Pemerintahan Daerah, UU Pilkada dan
UU Desa. Perdebatan awal yang menentangkan pasal 18 dalam
undang-undang dasar 1945 membuat segala elemen memahami
desa secara utuh, tanpa dipisahkan dari posisi desentralisasi yang
termuat dalam UU nomor 34 tahun 2004. Isu tersebut bagian
dari semangat menjadikan desa sebagai garda terdepan dalam
pembangunan, dan pemerintah dalam menyukseskan adaya
kebijakan tersebut membentuk struktur kementerian yang baru
guna mengawalnya yaitu kementerian Desa, Pembangunan Daerah
tertinggal dan Transmigrasi yang di gabungkan dari 3 kementerian
yaitu kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian
Transmigrasi dan Dirjen Pemenrintahan Desa di kementerian
Dalam Negeri.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

- 169 -

Soal-soal:

1. Mengapa UU Desa No 6 Tahun 2014 sangat begitu penting


dalam sistem politik dan pembangunan bangsa?
2. Pasca UU Desa disahkan, anggaran yang digelontorkan ke
desa begitu besar. Mampukah akan mensejahterkan rakyat di
pedesaan?
3. Ataukah dengan besarnya anggaran Desa tersebut, rame-rame
akan jadi bancakan korupsi di tingkat desa?
4. Pembangunan harus dumulai dari desa. Bagaimana cara
meningkatkan dan mengembangkan pembangunan desa
dengan dana desa yang ada?
5. Bagaimana masyarakat bisa membuat produk unggulan desa
yang bisa dipasarkan secara nasional dan internasional?
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 170 -
BAB

VI
PEMBANGUNAN POLITIK

6.1. Pembangunan dalam Perspektif Ahli

Tulisan Shanmugaratnam ini berusaha mengungkap secara


kritis konsep populer yang dikemukakan oleh Amartya Sen:
“pembangunan sebagai sebuah proses ekspansi kapabilitas” dan
mengidentifikasi perbedaan-perbedaannya dengan pendekatan
neoliberal dominan terkini. Neoliberal merupakan tradisi yang
teguh mempertahankan argumen bahwa “peningkatan kesejahteraan
haruslah menjadi tujuan utama pembangunan”, dan Sen merupakan
sosok yang berkontribusi besar terhadap tradisi tersebut seiring
kehadiran “pendekatan kapabilitas” yang ditawarkan olehnya guna
mengkerangkai substansi dan tujuan hakiki pembangunan. Sen
menekankan arti penting peran historis perjuangan-perjuangan
politik dalam meningkatkan ekspansi kapabilitas bagi pekerja
dan unsur masyarakat lainnya, sembari menegaskan pula bahwa
reformasi pasar tidak selalu mempromosikan kebebasan substantif.
Menurut Shanmugaratnam, pendekatan kapabilitas akan
sangat berguna dalam menterjemahkan serta mengevaluasi
perubahan sosial dan kesejahteraan individu jika ia dapat dipadukan
ke dalam kerangka ekonomi politik lebih luas yang menyemai
lingkungan-lingkungan institusional tertentu di mana individu
berusaha keras meraih taraf “functioning” bagi dirinya.
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 172 - Pembangunan merupakan istilah yang bersifat paradoksikal.


Secara teoritis, pembangunan menekankan peningkatan atau
perubahan kualitatif positif, di mana dalam diskusi tentang
perubahan sosial, ia seringkali dimaknai sebagai kebebasan serta
kesejahteraan manusia yang lebih besar. Namun dalam realita, proses
pembangunan terkadang tidak merata (setara), bermuatan konflik,
dan selalu disertai dengan konsekuensi beragam. Oleh karena itu,
pembangunan bukanlah suatu pelopor kemajuan universal. Di satu
sisi, terdapat akumulasi kekayaan serta penguatan kebebasan dan
kesejahteraan. Tetapi, di sisi lain, juga muncul kondisi pemiskinan,
marjinalisasi, penegakan struktur kekuasaan opresif, pelanggaran
HAM, perang internal destruktif, dan degradasi lingkungan, yang
dalam beberapa kasus telah memicu perampasan kekayaan dan
penggusuran paksa.
Beragam deprivasi kemanusiaan yang muncul merupakan
sebab utama kekecewaan terhadap pembangunan. Dan kekecewaan
ini, tidak lain, adalah imbas dari ekspektasi yang gagal. Dengan
kata lain, pembangunan diasumsikan sebagai sebuah proses yang
diarahkan atau dipengaruhi secara positif oleh intensi tertentu,
namun hasil dari prosesnya nampak menegasikan asumsi tersebut.
Ilmuwan seperti Dudley Seers (1979) mengkonseptualisasikan
“Makna Baru Pembangunan” sebagai ikhtiar redefinisi terhadap
konsep pembangunan yang telah menjadi sandaran global, lantaran
ia menjumpai sejumlah besar deprivasi di negara-negara Dunia
Ketiga yang diakibatkan oleh proses pembangunan. Terpengaruh
oleh ide Seers, maka perdebatan tentang pembangunan di era
pasca kolonial mengarah pada konsensus yang tersebar luas
bahwa pembangunan dapat dan seharusnya direncanakan serta
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

diarahkan untuk mencapai tujuan khusus seperti pertumbuhan dan - 173 -

distribusi. Perencanaan pembangunan dan kebijakan-kebijakan


sentralistis menikmati status tertinggi selama dua dekade setelah
Perang Dunia Kedua di banyak negara Dunia Ketiga. Akan tetapi,
tren ini ditantang oleh gelombang baru liberalisme ekonomi yang
dipopulerkan oleh “Bretton Woods Institutions” di negara Dunia
Ketiga pada tahun 1970an. Oleh IMF dan Bank Dunia, negara-
negara tersebut dinasehati bahwa kegagalan mereka mencapai
pembangunan adalah, terutama, disebabkan adanya intervensi
negara yang berlebihan. Membebaskan ekonomi dari kontrol
negara, kemudian membiarkan pasar bebas memainkan “peran
alamiahnya” menghasilkan pembangunan merupakan jalan keluar
satu-satunya dari krisis semacam ini.
Dalam konteks terkini, salah satu ilmuwan yang secara
konsisten dan meyakinkan membahas konsep pembangunan dalam
hubungannya dengan kesejahteraan manusia adalah Amartya
Sen. Jika Seers menarik kembali tema kesejahteraan manusia
ke dalam perdebatan tentang teori dan kebijakan pembangunan,
maka Sen menegakkan keutamaan tema tersebut dengan cara
mengkonseptualisasikannya dalam istilah kapabilitas dan
menyarankan bahwa pembangunan dapat dipandang sebagai sebuah
proses ekspansi kapabilitas. Selain itu, menurut Sen, pembangunan
juga dapat dimaknai sebagai suatu proses emansipasi dari kebutuhan-
kebutuhan yang membatasi perwujudan penuh kebebasan manusia.
Kapabilitas seseorang menunjuk pada kebebasan untuk mencapai
berbagai gaya hidup dan/atau functioning individual. Kapabilitas
mencerminkan kombinasi pemfungsian alternatif yang dapat
seseorang capai dan pedoman yang dapat ia gunakan dalam memilih
sesuatu.
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 174 - Functioning sangat bervariasi, dapat berwujud dari hal-hal


mendasar seperti bergizi baik, bebas penyakit, berlindung (beratap)
secara aman, dan melek huruf, hingga ke yang lebih kompleks
semacam kepemilikan harga diri atau martabat kemanusiaan, bebas
dari stres, terlibat dalam kehidupan masyarakat serta gerakan sosial-
politik, dan lain sebagainya. Functioning seseorang bergantung
sungguh pada karakteristik pribadi (misalnya umur serta kebugaran
fisik) dan lingkungan sosial-ekonomi, yang pada gilirannya akan
bergantung juga pada kondisi sistem ekonomi-politik yang lebih
besar, relasi kekuasaan, aturan serta kode kultural institusi-
institusi khusus, yakni keluarga, kasta, masyarakat, dan tempat
kerja. Kapabilitas untuk mencapai functioning yang berharga akan
menuntun pada peran-peran kebebasan instrumental dan konstitutif
dalam pembangunan.
Peran konstitutif berhubungan dengan tujuan utama, yakni
dirasakannya kebebasan substantif (terdiri dari kapabilitas-
kapabilitas dasar: kemampuan menghindar dari deprivasi seperti
kelaparan dan kematian prematur, hingga ke bentuk kebebasan-
kebebasan yang terkait dengan kemampuan membaca dan menulis,
partisipasi politik, serta ucapan/pidato yang tidak disensor). Ia
menandakan keutamaan intrinsik kebebasan manusia sebagai
tujuan unggul pembangunan. Sedangkan peran instrumental
berkenaan dengan perangkat (sarana) pembangunan, yakni hak-hak
yang memungkinkan pencapaian functioning berharga. Ekspansi
kebebasan adalah tujuan utama sekaligus perangkat prinsipil
pembangunan dan basis informatif untuk evaluasi kesejahteraan
yang tersusun atas kapabilitas-kapabilitas.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

Sen (1999) mengidentifikasi 5 (lima) kebebasan instrumental, - 175 -

yaitu (i) kebebasan politik, (ii) fasilitas ekonomi, (iii) kesempatan


sosial, (iv) jaminan transparansi, dan (v) keamanan protektif.
Kelima jenis kebebasan tersebut saling melengkapi satu sama
lain, berkontribusi pada kebebasan positif individu guna membuat
pilihan-pilihan dan hidup secara lebih bebas, serta harus menjadi
dasar pertimbangan ketika masalah ketidaksetaraan hendak diatasi.
Berdasarkan hal ini, pendekatan kapabilitas adalah terkait dengan
kebebasan positif dan kuasa untuk memilih pemfungsian berharga.
Hubungan antara kebebasan dengan kesejahteraan tidaklah
bebas dari konflik. Sen (1987, 1992) mengintroduksi perbedaan
penting antara kebebasan kesejahteraan (well-being freedom)
dengan kebebasan agensi (agency freedom). Sebagai agen,
seseorang mungkin memiliki alasan-alasan untuk mengejar suatu
tujuan dalam rangka melayani sasaran yang lebih besar dan
dalam pengejaran tujuan tersebut, ia boleh jadi mengorbankan
kesejahteraannya sendiri. Sasaran yang lebih besar dapat berupa
kemerdekaan bangsa; penghapusan diskriminasi berdasarkan etnis,
kasta, jenis kelamin; atau layanan kemanusiaan bagi orang miskin
dan membutuhkan. Kesejahteraan individu umumnya merupakan
fokus kajian utama ketidaksetaraan sosial dan penilaian kebijakan,
namun aspek agensi tetaplah relevan dengan pemahaman yang
lebih lengkap atas nilai dan motivasi manusia.
Dengan demikian, keberartian paradigmatik pendekatan
kapabilitas terletak pada jaringan yang menopang kebebasan
sebagai tujuan dan sarana pembangunan, juga pada tekanan yang
letakkan di nilai-nilai etis serta keadilan sosial dalam membangun
sebuah masyarakat yang akseptabel. Mengacu pada pendekatan
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 176 - kapabilitas, suatu ekspansi ekonomi tanpa dibarengi dengan


ekspansi kapabilitas manusia bukan merupakan pembangunan,
sehingga dapat dikatakan bahwa pembangunan itu bersifat negatif
ketika kebijakan-kebijakannya berkontribusi pada kegagalan-
kegagalan kapabilitas bagi beberapa sektor masyarakat.
Fokus kajian pendekatan kapabilitas telah bergeser dari sarana
ke relasi antara tujuan dengan sarana, dan ke penilaian terhadap
tujuan pembangunan dalam kaitannya dengan kesejahteraan
manusia. Lebih khusus lagi, semenjak konsep kapabilitas meliputi
kebebasan manusia, maka dimensi politik dan kultural bersifat
inheren dalam penilaian. Sebagai konsekuensinya, kegagalan
kapabilitas lantas mencakup deprivasi ekonomi, politik, kultural,
dan psikologis. Selain itu, pendekatan kapabilitas juga menekankan
keberadaan intensi-intensi kuat dalam proses pembangunan.
Dengan kata lain, ia menyarankan agar proses pembangunan harus
dikelola secara demokratis untuk mempromosikan ekspansi dan
menghindari kegagalan kapabilitas.
Hal lain yang digaris-bawahi oleh Sen adalah bahwa
kebebasan-kebebasan individu dapat ditingkatkan dalam sebuah
sistem kapitalis, sehingga pasar dan tindakan publik bersifat
signifikan dalam memajukan kebebasan tersebut. Bagi Sen,
pendekatan ekonomi liberal kompatibel dengan tindakan publik
dalam rangka menyediakan keamanan protektif bagi orang miskin
dan pendidikan gratis atau murah bagi semua orang. Kebebasan
dari kebutuhan juga dapat ditingkatkan dalam keteraturan yang
ada melalui kebijakan-kebijakan tepat dan perubahan yang
memungkinkan ekspansi kapabilitas manusia.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

Sehubungan dengan peran pasar dalam mempromosikan - 177 -

kebebasan, perhatian Sen terletak pada pengklaiman kembali


(reclaiming) peninggalan mekanisme pasar yang terlupakan sebagai
sebuah perangkat untuk membebaskan orang dari perbudakan pra-
kapitalis yang memposisikan mereka dalam kehidupan kemanusian
terendah “insan-insan tak merdeka”. Pasar merupakan satu bagian
dari sarana pembangunan. Entah pasar sebaiknya bersifat bebas,
diatur ataukah dihindari, namun pasar harus diutamakan sebab ia
dapat berjalan beriringan dengan sarana pembangunan lainnya
guna memajukan kapabilitas manusia.
Aspek lain yang dilirik oleh Sen dalam setiap tulisannya
tentang pembangunan adalah lingkungan. Dalam buku Development
as Freedom, Sen juga membahas isu-isu lingkungan dan kegunaan
nilai-nilai lingkungan. Sen (dan Anand) telah berupaya menerapkan
pendekatan kapabilitas terhadap kesinambungan lingkungan
(environmental sustainability). Pendekatan kapabilitas digunakan
untuk menekankan arti penting peran generasi sekarang dalam
mempertahankan ketersediaan modal pembangunan (fisik, manusia,
alam) yang memadai bagi generasi mendatang. Pembangunan
manusia sebaiknya tidak hanya mencakup penguatan hak-hak
terhadap lingkungan, namun juga berkenaan dengan internalisasi
nilai-nilai lingkungan pada orang-orang untuk menghasilkan
kesempatan hidup sehat yang nyata bagi diri mereka sendiri.
Signifikasi kualitas lingkungan sebagai barang/kebaikan publik
(public good) dan kondisi universal bagi kesejahteraan manusia
adalah berasal dari dependensi kehidupan yang mutlak kepada
lingkungan (alam).
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 178 - Lebih dari itu, pendekatan kapabilitas dapat diadopsi dan


diadaptasi sebagai sebuah alat konseptual untuk menterjemahkan
perubahan sosial serta mengkritisi kebijakan-kebijakan
pembangunan. Secara lebih eksplisit, pendekatan ini pun
berhubungan erat dengan relasi kuasa, konflik, dan perjuangan
politik pada tingkat yang berbeda (dari lokal hingga global). Konsep
kapabilitas dapat digunakan untuk memetakan, menterjemahkan,
dan mengevaluasi perubahan sosial jika ia dapat digabungkan ke
dalam kerangka ekonomi-politik lebih luas yang memperlihatkan
lingkungan-lingkungan institusional dinamis penentu status
anugerah dan hak individu serta fungsionalisasi diri (self functioning)
yang mampu ia capai, terdiri dari (a) Ekonomi Politik Makro:
sistem politik (negara, struktur kekuasaan, kebebasan politik);
ekonomi dan distribusi sumberdaya; kebijakan ekonomi dan sosial
(kebebasan instrumental); (b) Konteks Meso dan Lokal: struktur
kekuasaan (kelas, jenis kelamin, etnisitas, kasta−hak-hak atas
properti); relasi negara-pasar-masyarakat; dan (c) Basis Informasi
Evaluasi Kesejahteraan Individu: kualitas perawatan kesehatan,
pendidikan, lingkungan; kebebasan mengekspresikan pandangan;
pergerakan tanpa gangguan; kebebasan mempraktekkan gaya
hidup; keahlian profesional.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

- 179 -

Soal-soal:

1. Kenapa pembangunan menjadi sangat penting bagi suatu


negara termasuk bagi Indonesia?
2. Sudah sampai tahap mana pembangunan Indonesia saat ini?
3. Pembangunan tak akan bisa ditopang dengan utang
dan lemahnya sumber daya manusia. Bagaimana agar
pembangunan di negara kita uangnya tidak diambil dari dana
utang?
4. Bagaimana menciptakan kemandirian secara ekonomi dan
politik bagi bangsa Indonesia?
5. Pembangunan yang ditopang dari uang hasil pinjaman luar
negeri hanya akan menghasilkan pembangunan yang semu.
Lalu dimana arti pembangunan Indonesia selama ini?

6.2. Pembangunan dan Kesejahteraan


PENDAHULUAN

Pemerintahan Presidensial merupakan bentuk pemerintahan


Konstitusional yang menempatkan Presiden sebagai kepala
eksekutif yang menggunakan otoritas yang didapat dari pemilihan
langsung dan memerintah dengan mandiri dari Parlemen.160
Pemerintahan Presidensial atau pemerintahan parlementer adalah
dua system pemerintahan yang diterapkan oleh Negara-negara
160
Rob hague, at.all. Comparative Government and Politics An Introduction 4th Edition.
Macmillan Press Ltd.1998.hlm.203
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 180 - demokrasi dengan berbagai varian. Variasi ini terletak pada


Peranan Presiden, Perdana Menteri dan parlemen.161 Pada system
presidensial, kekuasaan kepala Negara dan kepala pemerintahan
berada ditangan presiden, seperti di Indonesia, AS dan Negara-
negara Amerika Latin, presiden dipilih secara langsung oleh rakyat.
Kekuasaannya antara lain membentuk kabinet yang
merupakan pembantu presiden dan bertanggungjawab kepada
presiden. Sedangkan pada pemerintahan parlementer seperti di
Inggri, Indian dan Kananda, kekuasaan pemerintahan ditangan
perdana menteri yang sekaligus sebagai pemimpin cabinet, dan
mengemban tanggungjawab sepenuhnya sebagai pimpinan lembaga
eksekutif, dan biasanya dari pimpinan parpol yang memenangkan
suara pada pemilu. Kepala Negara biasanya dijabat oleh Raja/
Ratu dan melakukan fungsi seremonial sebagai symbol Negara.
Sementara pemerintahan Presidensial mensyaratkan pemisahan
kekuasaan antara eksekutif dan legislative, system parlementer
menempatkan eksekutif dibawah parlemen (legislative heavy).
Presiden tidak mendapatkan kekuasaan dari mayoritas anggota
legislative sebagaimana ada pemerintahan parlementer, tetapi
presiden dipilih oleh rakyat dimana pemenangnya menjadi presiden
pada waktu tertentu (fixed term). Pada beberapa Negara seperti
Indonesia, presiden di dukung oleh partai Politik yang mendapatkan
suara terbanyak karena personal Presiden dan pesona Partai.
Perdebatan sitem presidensial ini terjadi pada ilmuan politik.
Beberapa ilmuan politik telah mengajukan argumen yang menolak
pemerintahan presidensial sebagai sistem yang stabil terlebih

161
Chusnul Mar’iyah dalam Kuliah Perbandingan Politik di Universitas Indonesia. 2015
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

lagi jika digabungkan dengan multipartai sistem. Salah satunya - 181 -

adalah Juan Linz yang mendukung pemerintahan parlementer dan


menolak pemerintahan Presidensial dalam menjaga kestabilan
parlemen, argumen inilah yang menjadi sumber perdebatan
akademik seputar kelemahan pemerintahan presidensial (the perils
of Presidensialism).
Kelemahaan sistem Presidensial adalah besarnya
kemungkinan deadlock antara eksekutif dan legislatif yang berasal
dari pemisahan pemilihan kedua cabang dan diperburuk oleh
masa jabatan yang tetap. System Presidensial lebih mengundang
kemandegan dibandingkan system parlementer karena dua alas an:
eksekutif sering mengalami hambatan dari legislative dan mereka
tidak mampu menghadapi oposisi kongres, namun tidak ada aktor
lain yang dapat mengatasi permasalahan tersebut dalam kerangka
system demokrasi.162 Persepsi ideal untuk memperkuat system
Presidensial adalah:163 1) seorang presiden adalah pemimpin yang
kuat dengan kekuasaan yang hampir absolut (seperti seorang
otokrat namun dilegitimasi secara demokratis), 2) partai Presiden
mengontrol perundang-undangan (kongres/DPR dan senat, dengan
kata lain memiliki mayoritas parlementer, 3) Presiden dan wakil
presiden berasal dari partai politik yang sama. Adam menawarkan
alternatif system Presidensial dengan: pertama, memperoleh
mayoritas yang jelas di parlemen dan hubungan yang lebih jelas

162
Scott Mainwaring, Presidentialism versus parlementariasm, The Democracy Sourcebook,
Robert Dahl, Ian Shapiro, and Antonio Cheibub, ed. Massachusetts Institute of Technology,
2003, hlm.268.
163
Dr.Reiner Adam, Kepala Perwakilan Freidrich Neumann Stiftung Indonesia, dalam seminar
politik Partai Demokrat dengan tema “memeperkuat system pemerintahan Presidensial” di
Hotel Acacia, Jakarta 13 desember 2006.
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 182 - dalam koalisi pemerintahan; membentuk koalisi kemenangan


minimum dan mendistribusikan posisi cabinet hanya kepada anggota
koalisi saja. Kedua, denga mayoritas akan bisa memproduksi
legislasi untuk presidential model West Wing dan mengalokasikan
sumber daya. Ketiga, mereformasi PNS dan membentuk eselon
1 untuk ditunjuk secara politis atau memperkenalkan posisi
sekretaris kementerian yang ditunjuk secara politis. Opsi yang
diajukan memiliki keuntungan yaitu secara politik mudah diterima,
menargetkan bidang yang amat perlu direformasi, dukungan popular
tinggi dan terjamin. Sedangkan kelemahan yang akan dihadapi
adalah perlunya membuat perjanjian dengan perlemen dan parpol,
resistensi di tubuh PNS, dan membutuhkan banyak waktu untuk
konsolidasi.

SISTEM PRESIDENSIAL INDONESIA DAN AMERIKA


SERIKAT

Perbedaan mendasar konstruksi Presidensial Indonesia dan


Amerika Serikat (AS) diawali oleh sejarah kemerdekaan masing-
masing Negara. Indonesai telah mengalami penjajahan dari
Belanda dan pada masa persiapan kemerdekaan banyak di dorong
oleh pemerintah Jepang yang menjanjikan dukungan kemerdakaan
kepada Indonesia. Sementara, kemerdekaan AS diperjuangkan
oleh tiga belas Negara koloni yang memisahkan diri dari kerajaan
Inggris. Perdebatan kekuasaan pada masa awal kemerdakaan
AS dibawah suasana koloni Inggris telah menjadi fondasi dasar
untuk menentukan seberapa besar kekuasaan yang dipegang oleh
pemerintah pusat dan seberapa besar kekuasaan yang dipegang
oleh pemerintah daerah.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

Pemikiran penyelenggaraan bangsa selanjutnya terjadi - 183 -

sangat singkat di Indonesia yaitu hanya sekita 5 (lima) bulan,


April – Agustus 1945. Perdebatan kekuasaan pada masa awal
kemerdekaan diawali oleh suasana perang kemerdekaan karena
Belanda masih ingin kembali menjajah Indonesia. Persiapan
kemerdekaan Indonesia yang secara intens dibicarakan dalam
BPUPKI menghasilkan beberapa dasar penyelenggaraan Negara
yang sejak tahun 1945 sampai tahun 2010 mengalami perubahan
yang sangat besar. Sistem Presidensial dengan model sendiri dan
tidak sama dengan system pemerintahan lain diseluruh Dunia telah
di akui oleh para pemikir konstitusi. Namun, terjadi penyalahgunaan
kekuasaan pada masa presiden Soekarno dan Presiden Soeharto
sehingga perubahan mendasar terjadi dalam amandemen Konstitusi
1999-2002. Ketimpangan tersebut antara lain pengangkatan diri
Presiden menjadi Presiden sumur hidup, anggota DPR dan MPR
yang tergantung kepada eksekutif, dan Presiden yang tidak memiliki
masa jabatan.
Amerika Serikat, para pemikir konstitusi membutuhkan
waktu sebelas tahun untuk merumuskan konstitusi AS, yaitu sejak
kemerdekaan tahun 1776, ketika declaration of confederation
ditetapkan menjadi dasar konstitusi AS tahun 1787. Oleh karena
itu, pemikiran-pemikiran jernih untuk membuat suatu konstitusi
yang membawa pada pemerintahan yang tidak otoriter tapi tetap
mampu bekerja untuk rakyatnya. The Federalist Papers membahas
pokok-pokok pemerintahan seperti pembagian kekuasaan antara
pemerintah pusat dan pemerintah Negara bagian serta pemisahan
kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 184 - Titik berat pemikiran pada masa awal pembentukan


kemerdekaan AS yang telah secara lebih luas membahas tentang
checks and balances serta transparansi dan akuntabilitas kepada
rakyat dalam pemerintahan telah terbukti dapat menjadi penjaga
Negara karena kekuasaan tidak terpusat pada satu tangan. Selain
pemisahan kekuasaan antara tiga lembaga Negara, juga terjadi
pemisahan kekuasaan penyelenggaraan antara pemerintah
nasioanal dan pemerintah Negara bagian. Electoral College juga
telah memberikan kualitas pemilihan presiden lebih terjamin dapat
melanjutkan pemerintahan sesuai dengan amanat rakyat164. Sistem
Presidensial AS berjalan tanpa perubahan yang banyak dalam 27
kali amandemen konstitusi.
Sedangkan di Indonesia, tidak terjadi perdebatan yang intens
mengenai pembagian kekuasaan antara eksekutif dan legislatif.
Dimotori oleh paham Negara integralistik Soepomo, kekuasaan
presiden sengaja tidak dibuat secara berimbang dengan legislative.
Saat itu, ada kekhawatiran untuk meniru salah satu system di dunia
baik system Presidensial AS maupun Parlementer di Inggris yang
dianggap rapuh dan menimbulkan kolonialisme di dunia. Oleh
karena itu dibentuk model sendiri tanpa mekanisme checks and
balances antara presiden dan legislatif. Akibatnya, sejak terpilihnya
Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto pada tahun 1966, terjadi
penyimpangan kekuasaan yang sangat besar dan menjauh dari cita-
cita bangsa. Berdasarkan pengalaman tersebut, fondasi system

164
Meskipun terdapat kritik terutama diajukan oleh Gallup mengenai kurang demokratisnya
system electoral college ini karena dapat menimbulkan swing voters pada Negara bagian
tertentu, tapi para pendukungnya menyatakan electoral college sebagai ciri Negara
federalism AS yang menjamin perlindungan terhadap Negara bagain kecil.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

checks and balances akhirnya dibangun setelah reformasi tahun - 185 -

1998 melalui amandemen UUD 1945.


Perimbangan kekuasaan dilakukan dengan mmberikan
kekuasaan kepada lembaga legislatif yang selama ini menjadi
domain presiden, misalnya kekuasaan membentuk undang-undang.
Hanya saja, system yang baru ini belum dapat mendekatkan
bangsa Indonesia kepada cita-cita bangsa, mensejahterakna rakyat.
Pemimpin yang lahir dari reformasi politik ternyata masih sulit
untuk dikontrol oleh rakyat. Pemilihan langsung dalam pemilu 2004
telah melahirkan kebingungan demokrasi karena mahalnya biaya
pemilihan tidak berbanding lurus dengan kualitas kepemimpinan
baik di pusat maupun di daerah.

PERMASALAHAN DALAM SISTEM PRESIDENSIAL


INDONESIA VS AMERIKA SERIKAT

Hubungan presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat


(DPR) mengundang perhatian pada akademisi dan media setelah
pelaksanaan pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden
dan anggota DPR untuk pertama kali pada tahun 2004. Masa
pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan
Wail Presiden Jusuf Kalla dan DPR tahun 2004 – 2009 diwarnai
oleh berbagai perselisihan yang berujung pada penggunaan hak
interpelasi dan hak angket. Presiden dan DPR165 sering berbeda
pendapat yang tidak pernah terjadi pada masa politik Orde Baru.
Sumber kekuasaan anggota DPR dan Presiden adalah rakyat,

165
DPR dan legislative digunakan secara bergantian dengan maksud yang sama yaitu lembaga
perwakilan rakyat, dalam studi perbandingan dengan system Presidensial AS, legislatif yang
dimaksud adalah Kongres yang terdiri dari anggota House dan Senat.
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 186 - sehingga dalam Pemiihan langsung DPR dan Presiden, rakyat yang
menentukan pilihannya.
Pada saat yang sama, anggota DPR dan Presiden harus
mampu mengkampanyekan diri mereka agar konstituen (pemilih)
dapat mengenal dan memilihnya. Pada pemilu tersebut, peranan
partai politik tidak lagi dominan untuk menentukan calon anggota
DPR melainkan hanya sebagai alat untuk mendapatkan tempat
segaai calon anggota legislative yang mewakili partai politik
tertentu. Selebihnya, masing-masing calon anggota DPR harus
mengupayakan segala ebergi, materi, jaringan dan kemampuan
untuk mendapatkan dukungan dan suara pemilih. Hanya saja pada
tingkat nasional dalam proses pengambilan keputusan di DPR tidak
boleh berseberangan pendapat dengan kebijakan dan keputusan
partai politik.
Fluktuasi hubungan eksekutif dan legislative dapat terlihat
ketika Presiden SBY menetapkan kebijakan ekonomi seperti
impor beras166 dan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)167.
Desakan dan tuntutan masyarakat yang menolak keras kebijakan
pemerintah tersebut membuat DPR berusaha menggunakan
otoritas dan pengaruhnya untuk mengubah kebijakan Presiden
tersebut. Selama masa pemerintahan SBY dan JK, tidak kurang
11 (sebelas) interpelasi yang diajukan DPR kepada presiden SBY

166
Kebijakan impor beras I dilakukan pada 24 januari 2004 dan yang kedua pada 17 Oktober
2006, DPR mengusulkan interpelasi yang diusung F-PP, FKB, F-PAN, F-PDS, dan
F-PDIP, status usulan ditolak. Koran Republika, Urgensi menyelidik Impor berat; web:
www.arsip.net/id/link.php?lh=Cw1QV1JVB1QH-
167
Idem. Kenaikan harga BBM pada tanggal 17 oktober 2005 yang di usulkan oleh F-PDIP
dan F-KB, hasilnya ditolak, kenaikan BBM pada bulan juni 2008 yang diusulkan oleh
F-PD dan F-PPP, hasilnya juga ditolak.
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 187 - dalam berbagai kasus.168 Meskipun SBY dapat meredam konflik itu
dengan strategi yang dihidupkan kembali yaitu mekanisme Rapat
Konsultasi Presiden-Pimpinan DPR sebagai forum penyelesaian
konflik, namun sikap kompromistis Presiden SBY tidak hanya
harus dibayar dengan terbentuknya relasi eksekutif-legislatif yang
cenderung politik-transaksional, tetapi juga berdampak pada tidak
begitu efektifnya pemerintahan hasil pemilihan umum (Pemilu)
2004.169
Sementara itu di Amerika Serikat, tidak adanya keputusan
yang dapat diambil antara Presiden dan Kongres oleh masyarakat
AS disebut sebagai deadlock170. Berbagai perdebatan yang terjadi
antara kongres dan Presiden mengenai satu isu tertentu hanyalah
berupa konflik perdebatan isu dan tidak mengancam kelangsungan
Negara. Hadirnya system Veto bagi Presiden dan 2/3 override
majority di Kongres adalah mekanisme untuk menghindari
deadlock di kongres dan Presiden. Bila presiden tidak mampu
mengangkat isu atau agenda politiknya disetujui oleh Kongres,
maka Presiden hanya perlu menghitung besarnya kekuatan
168
Di antaranya adalah kasus penarikan surat Presiden Megawati tentang penggantian
Panglima TNI 6 november 2005; SK Wapres No 1/2004 tentang Pembentukan timnas
penanganan bencana aceh 19 januari 2005; surat setwapres ttg arahan wapres agar mentri
tidak anggap penting Raker dengan DPR; MoU Helsinki Penyelesaian kasus Aceh Agustus
2005; Kasus busung lapar dan polio 13 september 2005; Kenaikan harga BBM dan Impor
beras; dukungan pemerintah atas Resolusi PBB tentan isu Nuklir Iran, selanjutnya lihat
Disertasi Syamsudin Haris, format baru relasi Presiden-DPR Dalam Demokrasi Presidensil
di Indonesia Pasca Amandemen Konstitusi (2004-2008) Universitas Indonesia, jakarta,
Desember 2008, hlm 11.
169
Syamsudin Haris, Presidensial Cita Rasa Parlementer, Kompas, 28 November 2008 dalam
Komparasi system presidensial; Nurliah Nurdin, 2012.
170
Deadlock dalam pandangan masyarakat AS tidak dianggap sebagai sesuatu yang
berbahaya bagi pemerintahan, karena roda pemerintahan tetap berjalan oleh
Presiden dan Kongres yang tetap bekerjasama menyelenggarakan Pemerintahan.
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 188 - dukungan di kongres jika Presiden berinisiatif menggunakan hak


veto nya. Sekaligus menghitung kekuatan suara kongres yang akan
menolaknya. Bila dukungan suara Presiden lemah di kongres, maka
besar kemungkinan Presiden tidak akan menggunakan hak vetonya
karena kalkulasi dukungan di kongres tetap akan mengalahkannya
melalui mekanisme override majority tersebut. Ini terjadi pada masa
pemerintahan Presiden Bush yang tidak berhasil membawa issue
“privatization on social security proposal” ke meja kongres dan
akhirnya tidak terwujud sampai masa jabatannya berakhir. Tidak
terjadinya keputusan antara kongres dan presiden bukan berarti
deadlock, karena kongres dan presiden tetap bekerja pada isu dan
agenda kebijakan yang lain. Isu atau kebijakan yang tidak terjadi
kesepakatan antara Kongres dan Presiden tersebut akan tersimpan
sampai suatu waktu akan diangkat lagi oleh Presiden atau anggota
Kongres.
Dinamika hubungan kongres dan presiden di AS diwarnai
oleh kemampuan Presiden untuk mendapatkan dukungan Kongres
dalam mencapai tujuan-tujuannya. Misalnya, Presiden dari partai
Republik, George W. Bush mendapatkan tantangan dalam perang
irak. Sebagian besar rakyat Amerika menentang rencana perang
ke Irak sebagimana Paul L Whiteley Sr menyatakan “ adalah
suatu kebodohan dan tidak prlu untuk menyerang dan menginvasi
irak. Hasilnya bukan kemenangan. Mayoritas rakyat Amerika
menginginkan kongres untuk meninggalkan kekacauan di Irak. Jika
Presiden Bush tetap memaksa, maka kita akan berada pada masalah
irak selama masa jabatan keduanya dan setelah itu” meskipun
rakyat Amerika tidak mendukung serangan AS ke Irak, namun
kemampuan presiden Bush dalam meyakinkan kongres terhadap
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

pentingnya perang tersebut membuat kongres tidak dapat menolak - 189 -

dan cenderung menerima sebuah keputusan Bush. Bahkan Bush


mengancam akan menggunakan hak veto jika kongres menolak
proposal dana yang diajukan, sebagaimana yang dikemukakan oleh
senator Barak Obama dari Illinois ketika masih menjadi kandidat
calon Presiden dari partai Demokrat: “jika Presiden menggunakan
veto dalam dana yang akan dikeluarkan untuk perang ke irak, maka
Kongres akan segera menyediakan uang tersebut karena tidak
ingin membahayakan tentara AS di Irak. Harapan saya adalah terus
menekan Presiden agar mengubah cara kebijkan ini tetapi saya
melihat mayorutas senat akan memberikan suaranya”.171
Kekuasaan Presiden Bush diatas kekuasaan kongres yang
menunjukkan dominan Presiden. Kongres tidak bisa menolak
permintaan Presiden. Michiko Kakutami dalam New York Time
menyatakan: “ …Bush di Gedung Putig berulang memperluas
kekuasaannya, sering melakukannya secara rahasia, sementara
mengenyampingkan Cabang Legislatif dan Yudikatif. Presdien
Bush secara rahasia memerintahkan Kantor Keamanan Nasional
untuk melakukan mata-mata tanpa permintaan dari pengadilan atas
permintaan dan pesan email yang dikirim kepada Amerika Serikat
melalui Negara lain… dan administrasi telah mengklaim bahwa
kekuasaan Presiden terhadap perang memberikannya otoritas
untuk menahan orang dan mencegahnya dari akses pengacara
dan pengadilan, sebuah kebijakan yang pada akhirnya terpaksa
dimodifikasi untuk mendapatkan legalitas”.172
171
New York Times July 6 2007 dalam Nurliah Nurdin; Komparasi system presidensial
Indonesia dan Amerika Serikat
172
Dalam ulasan buku Frederick A.O.Schwarz Jr. and Aziz Z.Huq yang berjudul “Unchecked
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 190 - Hasil pemilu mid term November 2006 menunjukan jumlah


Demokrat meningkat di House of Representatives. Tumbuhnya
oposisi public terhadap kebijakan perang ke irak oleh Bush173 itu
telah melahirka oposisi dengan kemenangan mayoritas Demokrat
di House of Representatives. Meskipun menang, namun Demokrat
harus dapat berjalan antara dua sisi, yaitu mengkritisi rencana Bush,
serta menghalangi dan mengurangi jumlah militer ke Iraq, namun
di sisi lain juga harus tetap mampu menjaga stabilitas pemerintahan
dengan mendukung kebijkana Presiden Bush. Kemenangan
Demokrat tersebut pun tidak cukup memberikan pilihan atau
peluang yang besar untuk menghalangi rencana perang Bush di
Iraq. Oleh karena Kongres sepakat untuk memberikan otoritas
kepada Bush pada Oktober 2002.
Keputusan kongres ini tidak dapat dihalangi oleh mayoritas
tipis kemenangan Demokrat pada mid term election, sehingga
Demokrat tetap memikul tanggungjawab terhadap perang yang
tidak popular itu ditengah harapan rakyat agar perang segera
dihentikan. Ketika House of Representatives dan Presiden berasal
dari partai yang sama, seperti pemerintahan Obama yang terpilih
November 2008, maka lobi-lobi presiden untuk dapat meloloskan
anggaran dalam reformasi Healthcare dan Pendidikan174 diharapkan

and Unbalanced Presidential Power in Time of Terror.


173
Assosited Press, Iraq strategy: Bush vs Congres Presidential Speech sets stage for contentious
battles on Iraq. Jan 10, 2007 http:/www.msnbc.msn.com/id.26613008 diakses juni 2009
dalam Nurliah Nurdin; Komparasi system presidensial Indonesia dan Amerika Serikat
174
Kampanye pendidikan Presiden Obama yaitu Standarisasi pendidikan nasional serta
perbaikan sekolah negeri (public school) agar tidak tertinggal jauh dari sekolah swasta
(private school) yang hanya ddimiliki oleh orang-orang kaya sehingga pendidikan yang baik
cenderung hanya di dapatkan pada sekolah mahal swasta.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

dapat terjadi tanpa kendala. Teori yang menyatakan ketika - 191 -

dukungan mayoritas Parlemen (Kongres) lebih besar, maka agenda


preseiden akan lebih mudah dicapai, tidak dapat diaplikasikan
pada system AS. Agenda Presiden Obama tentang Health Care
Reform mendapatkan tantangan meskipun Demokrat dominan di
Senat dan House. Presiden Obama mengalami protes baik dari
konstituen maupun kongres, penolakan tersebut bukan saja dari
partai Republik yang merupakan oponen dari partai Demokrat di
Kongres, para senator dan anggota House of Representatives yang
berasal dari kubu Partai Demokrat turut menentang agenda Obama
tersebut.
Tantangan Presiden Obama adalah Kongres yang merasa
lebih mudah untuk meloloskan legislasi yang bersifat hard fought
legislation pada tahun-tahun ganjil karena semua kursi yang
berjumlah 435 dan 1/3 dari kursi senat akan mengalami perubahan
pada bulan November dan beberapa pembuat undang-undang
tidak mau menggunakan suaranya pada isu yang sulit. Healthcare
Reform adalah hard legislation. Bila mereka salah langkah dalam
memberikan suaranya, maka kemungkinan pada pemilu November
mereka tidak akan dipilih lagi oleh Konstituennya, terutama senator
yang cenderung hanya focus pada satu isu besar pada suatu waktu.
Debat reformasi jaminan kesehatan yang telah mendominasi
pembicaraan di Kongres akan membuat para senator untuk sulit
berpaling ke isu lain seperti undang-undang energy massal, imigrasi
atau proposal untuk meregulasi industry financial.
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 192 - PENUTUP

Dalam system Presidensial Indonesia dan AS, perbedaan


kekuasaan eksekutif atau preseiden dapat dilihat dari bentuk
system pemerintahannya yaitu bentuk Negara kesatuan yang lebih
sentralistik dan bentuk Negara federal yang lebih terfragmentasi.
Kekuasaan anggota kongres sangat dominan dalam urusan domistik
sehingga anggota kongres sering bertentangan dengan Preseiden jika
suatu isu yang diajukan Presiden tidak mendapatkan respon positif
dari konstituen mereka di Negara bagian. Kekuasaan Presoden pada
system Presidensial yang menganut bentuk federalism menempatkan
posisi lemah dalam keputusan dan kebijakan domestic. Sebaliknya,
pada Negara bentuk kesatuan seperti Indonesia, anggota Parlemen
cenderung mendengarkan kebijakan fraksi atau partai ditingkat
nasional dan tidak ada pertentangan antara kebijakan presiden dan
anggota Parlemen dari partai sehaluan. Posisi pemerintahan federal
menempatkan Negara bagian dengan kekuasaan pemerintahan yang
lebih besar untuk mengatur pemerintahannya tanpa intervensi dari
Negara federal. Perbedaan antara dua pemerintahan tersebut adalah
pembagian kekuasaan domestic atau dalam negeri dan kekuasaan
luar negeri yang membagi fungsi Presiden dan Legislatif.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

- 193 -

Soal-soal:

1. Apakah ada korelasinya antara pembangunan dengan


kesejahteraan?
2. Pembangunan terus dijalankan oleh pemerintah. Tapi yang
kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Lalu dimana
letak pembangunan yang berkeadilannya?
3. Pembangunan bukan untuk memiskinkan. Tetapi untuk
mensejahterkan. Bagimana caranya pembangunan di negeri
ini dapat di nikmati oleh seluruh rakyat Indonesia?
4. Pembangunan bagaikan dua sisi mata uang. Biasa
mensejahterakan dan juga bisa memikinkan. Bagiamana
keduanya bisa terjadi?
5. Mengapa pembangunan hanya dinikmati oleh segelintir orang.
Bagaimana agar pembangunan bisa mensejahterkan banyak
orang?
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 194 -
BAB

VIIPENUTUP

7.1 Penutup
Sistem sosial dan politik Indonesia, tidak bisa dilepaskan
dalam konteks pembangunan. Term pembangunan menyatakan
adanya perubahan positif dalam sebuah kondisi masyarakat.
Dalam konteks perubahan sosial, pembangunan diasosiasikan
sebagai perluasan kebebasan manusia dan kehidupan yang layak.
Namun, dalam kenyataannya pembangunan adalah proses yang
penuh ketidakadilan, memicu konflik, memiliki konsekuensi yang
bersilangan, sehingga tidak bisa dijadikan acuan secara universal
(Shanmugaratnam 2001: 263). Ada daerah yang kemudian bisa
mengakumulasikan kapital dengan baik, memiliki kebebasan, tetapi
pada saat yang sama juga ada daerah yang masih dimarjinalkan,
terdapat tekanan dari rezim yang opresif dan konflik internal.
Perdebatan mengenai pembangunan juga disampaikan oleh
Cowen dan Shenton (1996), Seers (1979), dan Sen (1993, 1999).
Poin perdebatannya antara lain mengenai apakah pembangunan
memiliki tujuan? Cowen dan Shenton membagi pembangunan
mendjadi intentional (yang memiliki tujuan) dan immanent
(yang ada/inheren). Cowen dan Shenton (1996) menjelaskan
pembangunan yang memiliki tujuan sebagai tindakan subjektif
melalui kebijakan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan,
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 196 - sementara pembangunan inheren diartikan sebagai proses objektif


yang didorong oleh dinamika logika internal, atau bisa diartikan
sebagai pembangunan dari dalam. Pembangunan yang memiliki
tujuan akan mengompensasi kerusakan yang ditimbulkan oleh
pembangunan dari dalam (Shanmugaratnam 2001: 264).
Ilmuwan seperti Dudley Seers (1979) mengkonseptualisasikan
“Makna Baru Pembangunan” sebagai ikhtiar redefinisi terhadap
konsep pembangunan yang telah menjadi sandaran global, lantaran
ia menjumpai sejumlah besar deprivasi di negara-negara Dunia
Ketiga yang diakibatkan oleh proses pembangunan. Terpengaruh
oleh ide Seers, maka perdebatan tentang pembangunan di era
pasca kolonial mengarah pada konsensus yang tersebar luas
bahwa pembangunan dapat dan seharusnya direncanakan serta
diarahkan untuk mencapai tujuan khusus seperti pertumbuhan dan
distribusi. Perencanaan pembangunan dan kebijakan-kebijakan
sentralistis menikmati status tertinggi selama dua dekade setelah
Perang Dunia Kedua di banyak negara Dunia Ketiga. Akan tetapi,
tren ini ditantang oleh gelombang baru liberalisme ekonomi yang
dipopulerkan oleh “Bretton Woods Institutions” di negara Dunia
Ketiga pada tahun 1970an. Oleh IMF dan Bank Dunia, negara-
negara tersebut dinasehati bahwa kegagalan mereka mencapai
pembangunan adalah, terutama, disebabkan adanya intervensi
negara yang berlebihan. Membebaskan ekonomi dari kontrol
negara, kemudian membiarkan pasar bebas memainkan “peran
alamiahnya” menghasilkan pembangunan merupakan jalan keluar
satu-satunya dari krisis semacam ini.
Amartya Sen (1993) mengajukan konsep yang lebih
mutakhir tentang pembangunan. Dia tidak melihat pembangunan
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

sebagai perdebatan panjang antara teori dan kebijakan. Sen - 197 -

menerjemahkan pembangunan sebagai sebuah proses dari ekspansi


kemampuan (kapabilitas). Konsep ini kemudian dipakai sebagai
acuan pembangunan global yang dirangkum oleh United Nation
Development Program (UNDP). Secara lebih detail, pembangunan
menurut Sen (1993) adalah ekspansi dari kemampuan masyarakat
yang dilihat sebagai sebuah proses emansipasi yang merupakan
realisasi dari kebebasan manusia (Shanmugaratnam 2001: 267).
Sen (1999) menjelaskan ada lima kebebasan manusia yang bersifat
instumental: kebebasan politik, ekonomi, kesempatan sosial,
jaminan transparansi, dan perlindungan keamanan. Interaksi
kelima komponen ini kemudian membentuk kebebasan positif
(positive freedom). Relasi yang terbentuk antara kebebasan dan
kesejahteraan adalah kondisi yang tidak bebas dari konflik. Dalam
konteks pendekatan kapabilitias, ekspansi ekonomi yang dilakukan
tanpa adanya ekspansi kemampuan manusia tidak digolongkan
sebagai pembangunan. Pembangunan dapat dikategorikan negatif
jika kebijakan yang dihasilkan justru memberikan dampak atau
gagalnya sistem dalam sebuah masyarakat (Shanmugaratnam 2001:
270). Jika mengacu pada dua jenis pembangunan versi Cowen dan
Shenton (1996), Sen (1999) cenderung menjelaskan pembangunan
sebagai sebuah proses yang memiliki tujuan. Dalam sebuah
perumusan pembangunan, dibutuhkan model yang demokratis
sehingga dapat mempromosikan kemampuan masyarakat dan
menghindari kegagalan. Nussbaum (1995) menjelaskan kritikannya
kepada Sen sebagai pembangunan yang terlalu fokus pada
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 198 - kebebasan positif (freedom to do something), dan mengabaikan


kebebasan negatif (freedom from interference).
Shanmugaratman menjelaskan secara kritis pendekatan
kemampuan Sen terhadap signifikansi paradigmatik yang terletak
pada hubungan antara kebebasan sebagai sarana dan akhir
pembangunan. Ide pembangunan menyiratkan bahwa proses
kebutuhan akan tepat diatur untuk mempromosikan pengembangan
dan menghindari kegagalan kemampuan. Ia menyoroti keterbatasan
paradigma neoliberal yang saat ini dominan dalam pengembangan
kemampuan. Di tingkat kebijakan, komitmen ideologis yang kuat
untuk mekanisme pasar dapat mengakibatkan melemahnya atau
penolakan demokrasi hak pekerja: misalnya, hak untuk membentuk
serikat buruh atau untuk mengambil tindakan kolektif untuk
membela kepentingan mereka dan untuk mencapai fungsi-fungsi
berharga. Hal ini juga dapat membatasi peran aksi publik dalam
mempromosikan pengembangan kemampuan. Selanjutnya, tidak
ada alasan untuk berasumsi bahwa pendekatan neoliberal dengan
sendirinya dapat menciptakan hal yang memadai dalam masyarakat
sipil untuk kelompok miskin dan kurang beruntung untuk
mencapai kebebasan yang mereka inginkan. Ini bisa memperkuat
ketidaksetaraan yang ada dan berkontribusi ketidaksetaraan baru
di akses ke sumber daya dan kekuasaan. Hal ini cenderung untuk
mempromosikan kesenjangan dalam kualitas hak seperti perawatan
kesehatan dan pendidikan. Dalam perdebatan pendekatan
kemampuan, Sen secara umum melihat pembuat kebijakan kurang
memperhatikan pentingnya perjuangan politik rakyat untuk jaminan
sosial dan kebebasan. Dengan demikian, konsep kemampuan ini
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

memiliki nilai sebagai alat pemetaan dan menafsirkan perubahan - 199 -

sosial jika dapat dimasukkan ke dalam ekonomi politik yang lebih


luas kerangka dan jika dasar informasi dapat diperluas untuk
termasuk lebih aspek kehidupan masyarakat dan persepsi mereka
terhadap kesejahteraan.
Sehubungan dengan peran pasar dalam mempromosikan
kebebasan, perhatian Sen terletak pada pengklaiman kembali
(reclaiming) peninggalan mekanisme pasar yang terlupakan sebagai
sebuah perangkat untuk membebaskan orang dari perbudakan pra-
kapitalis yang memposisikan mereka dalam kehidupan kemanusian
terendah “insan-insan tak merdeka”. Pasar merupakan satu bagian
dari sarana pembangunan. Entah pasar sebaiknya bersifat bebas,
diatur ataukah dihindari, namun pasar harus diutamakan sebab ia
dapat berjalan beriringan dengan sarana pembangunan lainnya
guna memajukan kapabilitas manusia.
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 200 - Daftar Pustaka

Amartya Sen. Kekerasan dan Identitas, Margin Kiri, Serpong,


2016.
Allyn and Bacon, Boston Miall, Rambsbothan, Wood Haouse, dalam
terjemahan Satrio, Resolusi Damai Konflik Kontemporer,
Raja Grapindo Persada, Jakarta.
Ben-Dor, G. 1999. Minorities in the Middle East: Theory and
Practice. Dalam Bengio, O & G. Ben-Dor (eds). 1999.
Minorities and the State in the Arab World. Colombia: Lynne
Rienner Publishers.
Cathy A. Costantino, Christina Sickles Merchant. Foreword by
William L. Ury. “Designing Conflict Management Systems (A
Guide to Creating Productive and Healthy Organizations)”.
Bryman; dalam Teori dan Metode dalam ilmu politik, David
Marsh & Gerry Stokker.
Dahrendorf, Ralf. 1959. Class and Class Conflict in Industrial
Society. California: Standford University Press; Edisi
Indonesia: Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri.
1986. Diterjemahkan oleh Drs. Ali Mandan. CV Rajawali.
Frank MccGlynn and Arthur Tuden; Pendekatan Antropologi pada
Perilaku Politik, Universitas Indonesia (UI Press), 2000.
George Ritzer, Modern Siological Theory, fourth edition, New
York, 2007.
Henri Chambert-Loir, dkk, Iman dan Diplomasi: serpihan sejarah
kerajaan bima, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2010.
John. Burton, 1990. Conflict: Resolution and Provention. New
York: The Macmillan Press Ltd.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

John W. Creswell, Qulitative Inquiry and Research Design: - 201 -

Choosing, Among Five Traditions, 1998


Robbins R,Stephan, Organization Behavior, Prentice Hall, 2003
Simon Fischer and Co, Working With Conflict, Skills and
Strategies for Action, London-New York, 2000
T.S.Jones  and D.  Kmitta  (Eds.), Conflict resolution education
research and evaluation. Washington, DC: United States
Department of Education and the Conflict Resolution
Education Network Delgado, R. 2001.
Will Kymlicka, Kewarganegaraan Multikultural: Teori Liberal
mengenai Hak-hak Minoritas, LP3ES, 2003.

JURNAL DAN HASIL PENELITIAN


Humphrey. Dalam Morsink, Johannes. 1999. Cultural Genocide,
the Universal Declaration, and Minority Rights. Human
Rights Quarterly 21, Johns Hopkins University Press, pp.
1009-1060.
Grimsgaard, Tuva. 2014. From Revolution to Constitution: Minority
Protection in Egypt’s Constitutions since the Arab Spring.
Thesis. Blindern: University of Oslo
Oxford Dictionary. Dalam Grimsgaard, Tuva. 2014. From Revolution
to Constitution: Minority Protection in Egypt’s Constitutions
since the Arab Spring. Thesis. Blindern: University of Oslo.
Fox, Jonathan. 2007. Religious Discrimination: A World Survey.
Journal of International Affairs, Vol. 61, No. 1, pp. 47-68.
.
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 202 - Website

Widipto Setiadi. “Penyelesaian Sengketa melalui Alternative


Dispute Resolution (ADR)”, dalam http://www.legalitas.org/
node/21.
N. Shanumragatnam. “On the Meaning of Development: An
Exploration of the Capability Approach”. Forum for
Development Studies No.2, December 2001.
Amartya Sen; Kekerasan dan Identitas, Margin Kiri edisi kedua:
Serpong, 2016
Carole Paterman, The Sexual Contract, Cambridge: Polity Press,
1988, Ch. 1. Hal 1-18
Rose Marie Putnam Tong; Feminist Thought, A more Comprehensive
Introduction, Second edition: westview press, Colorado, 1998
Will kymlica; kewarganegaraan multicultural, teori liberal mengenai
hak-hak minoritas; Pustaka LP3S Indoensia, Jakarta, 2002
Andrew Hacker, Political Teory, Philosophy, Ideology, Science,
New York: The Macmillan, 1968 Hal 445
Hegel’s Philosophy of Right, transl. T.M. Knox (Reprint: London,
1981) No.255 dan No. 238
Hacker, Political Theory, op.cit, hal 446
J.S. McClelland, A History of Western Political Thought (Fifth
Ed.: London, 1996), hal. 531Pelczynski, A., Z. (ed.).
1984. The State and Civil Society: Studies in Hegel’s
Political Philosophy. Cambridge: Cambridge University
Press.
Plamenatz, Man an Society, vol I; London, Longmans green and
Co.Ltd, 1963 hal 216.
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

Samuel Enoch Stumpt,  Philosophy History and Problems  (New - 203 -

York:1994), hal. 338.


Zuhro, Siti, R. 2008. Masyarakat Sipil dan Demokratisasi. Dalam
Kurniawan, J., Luthfi dan Puspitosari, Hesti. 2008. Negara,
Civil Society, & Demokratisasi: Membangun Gerakan Sosial
dan Solidaritas Sosial Dalam Merebut Perubahan. Malang:
In-Trans Publishing. Hal. 1.
Gerald F. Gaus dan Chandran Kukathas; handbook teori politik.
Bandung. Nusa media. 2012.
Hanna Arend, Asal-Usul Totalitarisme, jilid III Totaliterisme;
diterjemahkan oleh yayasan obor Indonesia;1995
Dwi, Amurwani L. Gerwani “Kisah Tapol Wanita di kamp
Plantungan” Penerbit Kompas, Jakarta, 2011
Hughes, John, The End of Sukarno – A Coup that Misfired: A Purge
that Ran Wild, Archipelago Press, 2002
New York Times, October 19, 1965 dalam Hughes, John, The End
of Sukarno – A Coup that Misfired: A Purge that Ran Wild,
Archipelago Press, 2002
New York Times, October 6, 1965 dalam Hughes, John, The End
of Sukarno – A Coup that Misfired: A Purge that Ran Wild,
Archipelago Press, 2002
Ricklefs, M. C, A History of Modern Indonesia since c.1300,
Second Edition. MacMillan, 1991
Ricklefs, M. C, A History of Modern Indonesia”, MacMillan, 1982
Roosa, John, Pretext for Mass Murder: The September 30th
Movement & Suharto’s Coup D’État in Indonesia, University
of Wisconsin Press, 2007
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 204 - Schwarz, A, A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s. Westview


Press, 1994
Sekretariat Negara Republik Indonesia 30 Tahun Indonesia
Merdeka: Jilid 3 (1965–1973), 1975
Vatikiotis, Michael R.J, Indonesian Politics Under Soeharto: The
Rise and Fall of the New Order. London: Routledge, 1998
Hermawan Sulistyo. 2011. Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah
Pembantaian Massal yang Terlupakan; Jakarta; Pensil-324
Richard Pipes.. Komunisme Sebuah Sejarah. Yogyakarta ;
Mataangin, 2003.
Theda Skocpol. Negara dan Revolusi Sosial, suatu Analisis
Komparatif tentang Prancis, Rusia dan China. Penerbit
Erlanggga.
Syamsul Hadi, dkk. 2012. Kudeta Putih, Reformasi dan
Pelembagaan Kepentingan Asing dalam Ekonomi Indonesia;
Jakarta : Indonesia berdikari

Website
http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Komunis_Indonesia
Amos Perlmutter, The Military and Politics and Modern Times:
On Professionals, Praetorians and Revolutionary Soldiers,
Yale University Press, New Haven dan London, 1977,
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Militer
dan Politik, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 2000
Eric A.Nodlinger; Soldiers in Politics, yang dialih bahasa oleh Drs.
Sahal Simamora; Militer dalam Politik; Rineke Cipta cet.2
1994
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

Eric A.Nordlinger, Soldiers in Politics: Military Coups and - 205 -

Government, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey,


1977
Eric A. Nordlinger, “Soldiers in Mufti: The Impact of Military
Rule upon Economic and Social Change in the Non-Western
States”, dalam American Political Science review, Desember
1970
Huntington, Samuel P,. The Soldier and The State: The Theory and
Politics Civil-military Relations, Harvard University Press,
Cambridge, 1957. 
John J. Johnson, The Role of the Military in Underdeveloped
Countries, Princenton University Press, Princenton, 1962.
Suryadi, A Culla,; Patah Tumbuh, Hilang Berganti: Sketsa
pergolakan Mahasiswa dalam Politik dan Sejarah Indonesia
1908 – 1998, Penerbit PT.Rajawali Press, Jakarta. 1999.
S.Sinansari Eric,; Kronologi Jatuhnya Presiden Soeharto, Mizan
Bandung. 1998
Salim Said; Militer Indonesia dan Politik, Dulu, Kini dan Kelak,
Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta; 2001
Yulianto, Arif,; Hubunga sipil dan militer di Indonesia Pasca Orba,
ditengah pusaran demokrasi; RajaGrafindo Persada, Jakarta.
2002

Website
http://www.investor.co.id/home/anggaran-alutsista-2010-2014-
capaian-rp-156-triliun/29006
http://jakartagreater.com/minimum-essential-force-tni-
tahap-2-2015-2019/
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 206 - http://analisismiliter.com/artikel/part/20/mef_mpdernisasi_
militer_indonesia
http://www.dpr.go.id/id/berita/paripurna/2013/agu/16/6494/
anggaran-polri-dan-tni-dinilai-tidak-berimbang
http://www.tempo.co/read/new/2013/08/16/090504901/apbn-
2014-kemeterian-pertahanan-dapat-anggaran-terbesar
Arie Sujito dan Ranggoaini Jahja, “RUU Desa dan Media
Komunitas”, Kedaulatan Rakyat, 27 Juni 2013. Jurnal
mandatory 10 edisi 1, IRE Jogja.
Giandomenico Majone, dalam Handbook Kebijakan Public,
Nusamedia, 2006
Koentjraningrat, ed., 1970 dan 1984
Naskah Akademik ‘Rancangan Undang-Undang Tentang
Desa’,yang diedarkan oleh Direktorat Pemerintahan Desa dan
Kelurahan, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat
dan Desa, Departemen Dalam Negeri. 2007,
Policy Paper RUU Desa, Forum Pengembangan Pembaharuan
Desa (FPPD), Juli 2007.
Santoso, Kebijakan public, Jakarta, 2008
UU Nomor 6 tahun 2014

Website
h t t p : / / w w w. f o r u m d e s a . o r g / i n d e x .
php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=16
Rob hague, at.all. Comparative Government and Politics An
Introduction 4th Edition. Macmillan Press Ltd.1998.hlm.203
Chusnul Mar’iyah dalam Kuliah Perbandingan Politik di Universitas
Indonesia. 2015
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

Scott Mainwaring, Presidentialism versus parlementariasm, The - 207 -

Democracy Sourcebook, Robert Dahl, Ian Shapiro, and


Antonio Cheibub, ed. Massachusetts Institute of Technology,
2003, hlm.268.
Reiner Adam, Kepala Perwakilan Freidrich Neumann Stiftung
Indonesia, dalam seminar politik Partai Demokrat dengan
tema “Memperkuat Sistem Pemerintahan Presidensial” di
Hotel Acacia, Jakarta 13 Desember 2006.
Syamsudin Haris, Format Baru Relasi Presiden-DPR dalam
Demokrasi Presidensil di Indonesia Pasca Amandemen
Konstitusi (2004-2008), Universitas Indonesia, Jakarta,
Desember 2008, hlm 11.
New York Times July 6 2007 dalam Nurliah Nurdin; Komparasi
Sistem Presidensial Indonesia dan Amerika Serikat
Frederick A.O.Schwarz Jr. and Aziz Z.Huq yang berjudul
“Unchecked and Unbalanced Presidential Power in Time of
Terror.
Assosited Press, Iraq strategy: Bush vs Congres Presidential Speech
sets stage for contentious battles on Iraq. http:/www.msnbc.
msn.com/id.26613008 Jan 10, 2007 di akses Juni 2009 dalam
Nurliah Nurdin; Komparasi Sistem Presidensial Indonesia
dan Amerika Serikat

Sumber dari Internet


http:/www.arsip.net/id/link.php?lh=Cw1QV1JVB1QH-: Kebijakan
impor beras
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 208 -
Indeks Arab 47
Arab Spring 48
Ariel Kay Salleh 58
Arif Rahman Hakim 115
Aristoteles 81
A
Arminius Vambery, 61
Abdul Haris Nasution 112 Asia 47
Abdul Rahman bin Auf, 70 Asia American, 46
Abdurrahman Wahid 50 Asid bin Hadhir, 70
ABRI 95
Absolute Idea 84 B
Abu Bakar 69 Badri Yatim 76
Abu Ubaidah 69 baiat tsaqifah 70
Aceh 52 Balkan 63
Adam Malik 121 Bani Abba 75
African American, 46 Bank Dunia 173
Afrika 47 bay’ah 74
Aga Khan 61 B.J Habibie 127
ahl- al-ikhtiyar 73 Blok Barat 95, 102
ahl al-syawkah 74 Blok Kapitalis 95
Ahlul hall wal aqdi 76 Blok Komunis 102
Ahmad Yani. 111 BPUPKI 183
Al-Farabi 73 Bregsma 100
al-hall huwa al-islam 67 budaya birokras 43
al-hall wa al-aqd 74
Ali bin Abi Thalib, 69 C
Al-Ichwan dan As-Salafiah 63
Ali Mufrodi 69, 71 Carole Paterman 46
Al-Khawarij 72 CIA 103
al-khulafa’ al-Rasyidun 72 Civil Society 79
al-Madinah al-Fasiqah 73 civil violence 2
al-Madinah al-jahilah 73 Crevecoeur 44
al-Madinah al-Mutabaddilah 73
Al-Mawardi 73
D
American American 46 Darul Islam 65
Amin Husen Nasution 73 Dedi Supriyadi 71
Amos Perlmutter 132 Demokrasi Terpimpin 93
Amurwani Dwi Lestarininsih 114 deprivation of liberty) 55
Angkatan Kelima 103 Desa 146
anti korupsi. 49 DI/TII 93
Antonio Gramsci 82 Djamaluddin Al Afghani 62
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

Dr. Muhammad Iqbal 73 Hindu 44 - 209 -


Dudley Seers 172 Hispanic American, 46
Dwi Fungsi 134 homogeny 46
Dwikora 94 hudud 74
Huntington 44
E Huntingtonian 132
Ekofeminisme 56 I
Electoral College 184
Elizabeth Spelman 47 Ibn Qajjim’al Djauziah 67
Engels 80 Ibn Taimiyah 66, 74
Eric A. Nordlinger 133 Ikatan Cendekiawan Muslim
Erlinda 52 Indonesia (ICMI) 128
Imamah 64
F Imam Ahmad Ibn Hambal 66
Fatwa Jihad Kelamin 48 IMF 173
Federasi Malaysia 120 Indies Social Democratic Association
feodalisme 82 99
Francoise d’Eaubonne 57 Indische Sociaal Democratische
Friedrich Engels 96 Vereeniging-ISDV 99
Fundamentalisme 61 inflasi 109
IPKI 120
G Islam adalah solusi 67

G 30 S 95 J
George Lukacs 98
George W. Bush 188 Jendral A.H Nasution 94
Gerakan Karya Rakyat Indonesia John J. Johnson 132
(GAKARI) 119 Joko Widodo 49
GGI (Intergovernmental Group for J.S. Mc Clelland 82
Indonesia) 123 K
Golkar 118
Governmental Agenda 152 Kabinet Gestapu 114
Great Spirit 84 Karen J Warren 58
Karl Marx 96
H Kasus Erwina Sulistyaningsih 52
Hak-hak Minoritas 43 kaum Anshar 69
hak veto 189 kaum Muhajirin 69
harta fai’ 74 kebudayaan kaum homo 43
Hegel 80 Kekerasan terhadap Perempuan (KtP)
Henk Sneevliet 99 51
Hermawan Sulistyo 103 Kelompok Induk Organisasi (KINO)
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 210 - 119 masyarakat pasar 88


kemauan kolektif 85 Michiko Kakutami 189
kepamongan 157 Millah 66
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia Montesquieu 80
113 Mu’awiyah 72
khadim al-ummah 72 Mudaddah al-Madinah al-Fadhila 73
Khalifah 69 Muhji atsaris Salaf ’ 66
Khazraj 69 multiculturalism 46
klientelistik 157 muslim 61
Koentjraningrat 154 Muso 93
Komisi Nasional Hak Asasi Musyawarah Kekeluargaan Gotong
Manusia (Komnas HAM) 54 Royong (MKGR) 119
Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI), 54 N
Komnas HAM 54 Nabi Muhammad SAW 69
Komnas Perempuan 51 Native American, 46
Komunis 93 naturisme 59
Komunisme 99 Nedjet 63
konsep Parsonian 87 NEFO (New Emerging Forces) 102
Konstituante 100 Negara Non Blok 101
kontrak sosia 46 Nekolim (Neo-Kolonialisme dan
Koperasi Serbaguna Gotong Royong Imperialisme) 102
(KOSGORO) 119 NTT 52
L NU 119
nubuwwah 73
Lee Kuan Yew 120
Le Feminisme ou la mort. 57 O
Lembaga Perlindungan Saksi dan ohn Locke, 80
Korban (LPSK) 54 OLDEFO (Old Established Forces)
Leninisme 99 102
l-Madinah al-Dhallah) 73 Ombudsman Republik Indonesia 54
Lubang Buaya 112 Orde Baru. 104
M Orde Lama 102
Organisasi Profesi 119
Manifest der Kommunistischen 96 Ormas Pertahanan Keamanan
Markus Tullius Cicero 81 (HANKAM) 119
Marx 80
Marxisme 99 P
Masa Klasik 75 Paine 82
masyarakat madani, 81 Pakta Warsawa, 95
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

Pan Britania, 63 Q - 211 -


Pan Islamisme 61
Pan Jermania, 63 quwwah 75
Pan Latinia 63
Pan Slavia 63
R
Papua 52 Rachel Carson 56
Papua Barat. 52 Rasulullah SAW 69
Parkindo 120 Rencana Pembangunan Jangka
Parmusi 119 Menengah Nasional (RPJMN) 49
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Resimen Tjakrabirawa 111
119 Revolusi Perancis 82
Partai Katolik 120 Richard Pipes 99
Partai Komunis Indonesia. 93 Ricklefs, M. C, 110
Partai Murba 120 Rose Marie Tong 43
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
119 S
Partai Sarikat Islam 93
Sa’ad bin Ubadah 69
Partai Sosialis Belanda 99
Salim Said 129
Paul L Whiteley Sr 188
Samsul Munir Amin 71
pekerja migran 52
Samuel Enoch Stump 84
Pemikiran Politik Islam 61
Samuel P. Huntington 130
Pengarusutamaan Gender (PUG) 49
Sarekat Islam (SI) 100
Perang Dingin 95
Sayid Ahmad Khan 67
Peraturan Pemerintah (PP) No. 43
Sayid Djalaluddin Al-Afghani 67
Tahun 2014 50
Schwarz, A, 110
Perjanjian Bangkok 120
SDAP 99
perjuangan kelas 96
second sex 44
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
Sekjen KPAI. 52
120
Sekretariat Bersama (Sekber) 118
PERTI 119
seksisme 59
PNI 120
Sentral Organisasi Karyawan Swadiri
Poros Jakarta-Peking 102
Indonesia (SOKSI) 119
Poros Jakarta-Phnompenh-Hanoi-
Shanmugaratnam 171
Peking-Pyongyang 102
social equilibrium 87
post-authoritarian state/regime 79
Soeharto 111
Prabowo Subianto 127
Soekarno 93
pseudo rasias 63
suku Aus 69
PSII 119
suku Quraisy, 75
PSI Merah 93
Susilo Bambang Yudhoyono 50
public servants 83
Suyuti Pulungan 71
Syaid Djamaluddin 64
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 212 - Syeh Muhammad Abduh 64 Z


Syeh Rasyid Ridho 67
Syi’ah 72 zhill Allah fi al-ardh 72
Systemic Agenda 152 Zubair bin Awwam 70
Zuhro, Siti, R 80
T
Tan Malaka 100
Teori Feminis Multikulturalisme 43
Teori Gender 43
Teori Libera 43
Thalhah bin Ubaidillah. 70
The Sexual Contract, 46
Thomas Hobbes 80
Tiongkok 62
Trikora 94
Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) 114
Tsaqifah Bani Sa’idah 70
Tun Abdul Razak 121

U
Uni Soviet 95
Urabi Pasya 64
Utsman bin Affan 70
Utsmani 63
UU No. 6 Tahun 2014 50

V
VSTP. 100

W
Wahabi 63
Will Kymlica 43
Wiranto 127

Y
Yahya Siddik 62
Yusuf Kalla 49
Dr. Ujang Komarudin, M.Si

biodata Penulis - 213 -

Dr. Ujang Komarudin, M.Si adalah Dosen dan


Pengamat Politik Universitas Al-Azhar Indonesia
(UAI) Jakarta. Direktur Eksekutif Indonesia
Political Review (IPR). Staf Ahli DPR RI tahun
2011-2015. Dan Staf Khusus Ketua DPR RI tahun
2016. Ditetapkan menjadi Doktor Ilmu Politik ke-
50 di Universitas Indonesia (UI), di usia sangat muda.

Beliau aktif menulis di berbagai media dan


sering menjadi narasumber di beberapa
TV Nasional dan Internasional seperti
TVRI, Metro TV, TV ONE, Trans7,
CNN TV Indonesia, iNews TV, MNC
TV, Astro Awani TV Malaysia, Radio
Republik Indonesia (RRI), Radio Dakta,
Radio PRFM Bandung, Radio MQ FM
Yogyakarta dan lain-lain. Menjadi Tim
Seleksi (Timsel) Calon Anggota Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kab/Kota
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2018-2023. Keliling Indonesia dan dunia
mengisi seminar dan pelatihan. Kini sedang menikmati menjadi penulis
dan pengamat politik.
Beberapa buku yang sudah terbit di antaranya:

1. Dinamika Politik Nasional: Pasang Surut Hubungan Kekuatan Politik


di Indonesia;
2. Membangun Indonesia: Sebuah Ikhtiar Membangun Bangsa yang
Hampir Tenggelam;
3. Mencintai Indonesia: Catatan dan Harapan Seorang Dosen;
4. Pertarungan Politik di Indonesia: Dinamika Pertarungan Politik
dalam Pilkada dan Politik Nasional;
5. Menjadi Indonesia: Pikiran-pikiran Politik Seorang Pengamat
Indonesia;
6. Strategi PKS Putihkan Jakarta;
7. Ideologi Partai Politik: Antara Kepentingan Partai dan Wong Cilik;
8. Perspektif Indonesia: Catatan Politik di Tahun Politik;
9. Drama Politik Indonesia: Pikiran-Pikiran Politik Anak Bangsa;
10. Catatan Kaki;
11. Catatan Ujang Komarudin;
Sistem Sosial dan Politik Indonesia

- 214 - 12. Demokrasi di Persimpangan: Intrik-intrik Politik di Tahun Politik;


13. Up and Down Politik Indonesia;
14. Memotret Politik Indonesia: Antara Harapan dan Kenyataan;
15. Refleksi Politik Indonesia,
16. Kaleidoskop Politik Indonesia 2018
17. Menyambut Usia 38 Tahun Dr. Ujang Komarudin, M.Si
18. Menjaga Indonesia: Pikiran-pikiran Konstruktif untuk Bangsa
19. Catatan 2 Ujang Komarudin
20. Sistem Sosial dan Politik Indonesia

Buku di tangan pembaca ini, merupakan buku sederhana, yang lahir dari
ucapan dan pikirannya.

Beliau bisa dihubungi di alamat email: ujang81@uai.ac.id


ukom.ui@gmail.com atau via WhatsApp di 081-33-782-6674.

Asrul Raman, M.Si merupakan


Magister Ilmu Politik lulusan
Universitas Indonesia yang aktif di
berbagai organisasi mahasiswa dan
Lajnah Nahdlatul Ulama. Beliau
aktif sebagai peneliti pada lembaga
IPR [Indonesia Political Review],
juga menyibukkan diri sebagai
pemberdaya sosial khusus mengawal
isu Demokrasi Desa. Sekarang beliau
menyibukkan diri meriset dan menulis
di kolom media nasional.

Anda mungkin juga menyukai