9 772089 30102 8
Membuka Cakrawala
Menghunus Waktu
Menyelami Dimensi
Menebas Jarak
Menyelami Sukma
Menadah Embun
Meraik Momentum
ISSN: 2089-3019
MOMENTUM
Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial dan Keagamaan
Volume 02, Nomor 02, November 2012
Pelindung Penyunting
Drs. H. Teguh Sumarno, MM Dr. Hasyim Ashari, M.S.I
Penasehat Umi Najikhah Fikriyati, MA
Dra. Hj. Isnaiwati, M.Pd Vaesol Wahyu Eka, S.Pd.I., M.Pd.I
Hendro Juwono, ST., MM
Penanggung Jawab
Drs. Suyitno, M.Pd Bendahara
Didik Subiyanto, S.Sos
Ketua Redaksi
Dadang Aji P, S.Fil.I., M.Hum. Layout dan Desain
Sultoni, SS
Wakil Ketua Redaksi Wisnu Utomo
M. Amir Mahmud, S.H.I., MA
Distributor
Redaktur Pelaksana Hadiqoh Asmuni, S.Pd.I
Agus Sultoni, S.Fil.I., M.S.I Hafidz Indri Purbajati, M.Hum
MOMENTUM adalah publikasi ilmiah enam bulanan yang memfokuskan kepada isu-isu sosial dan
keagamaan. Naskah artikel dalan jurnal ini dihasilkan dari penelitian empirik dan penelitian
konseptual (hasil refleksi kritis atas suatu konsep atau teori tertentu). Jurnal MOMENTUM
diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Sekolah Tinggi
Islam Blambangan (STIB) Banyuwangi.
Redaksi menerima dan mengundang berbagai kalangan baik dosen, mahasiswa, cendikia, peneliti
ataupun para pemikir yang ingin menumpahkan ide-ide kreatif, inovatif dan solutif-nya dalam upaya
mengembangkan khazanah ilmu sosial dan keagamaan.
Jauh hari para akademisi telah mengumandangkan bahwa jurnal merupakan sebuah
labolatorium ilmiah, alias wadah untuk mengotak-atik, mengekplorasi, bereksperimen,
mengolah dan membedah berbagai khazanah ilmiah yang bergulir seiring dengan dinamika
kehidupan manusia yang kompleks. Oleh karena itu, tidak heran jika jurnal menjadi media
para ilmuwan untuk berdiskusi, mengkritisi dan menetaskan gagasan-gagasan baru.
Gagasan-gagasan yang mampu menjadi resep generik dalam menanggulangi berbagai
anomali dan patologi sosial. Jurnal merupakan respon ilmiah atas berbagai fenomena
kehidupan manusia yang terus menuntut kita untuk berpartisipasi aktif secara nyata dalam
memecahan berbagai problematika dunia. Eksistensi jurnal bukan semata-mata rentetan
koleksi tulisan atau ide-ide hampa yang dipampang sebagai asesoris akademis, terlebih
untuk meningkatkan gengsi, atau bahkan sebagai ajang narsis. Wujud jurnal merupakan
nadi wacana akademis layaknya penelitian yang menjadi nadi ilmu pengetahuan.
Petuah yang telah digaungkan para akademisi di atas, tiada lain merupakan generator
yang menggerakan kami untuk menerbitkan jurnal Momentum dua kali dalam setahun.
Penerbitan jurnal ini merupakan respon moral dan intelektual atas berbagai kegamangan
dan anomali-anomali yang timbul di dalam rutinitas dan ritualitas kehidupan sosial dan
keagamaan masyarakat Indonesia. Melalui jurnal ini kami berusaha untuk
memtransformasikan berbagai ide atau gagasan yang berkembang seiring dengan deras
arus zaman. Selain itu, sebagaimana diungkapkan di atas, harapan kami kehadiran jurnal
ini benar-benar mampu menjadi labolatorium atau inkubator sivitas academica, -khususnya
yang berada dalam naungan Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB) Banyuwangi- yang
darinya menetas ide-ide baru yang transformatif, aplikatif dan solutif.
Sejak pertama kali muncul, kami selalu mengidamkan agar jurnal ini terbit seideal
mungkin sebagaimana fungsi dan tujuannya. Namun, seperti pepatah lama yang sering
diungkapkan oleh para leluhur kita, "tak ada gading yang tak retak". Pepatah tersebut
menyadarkan kami bahwa ruang lingkup jurnal Momentum hanya membahas secuil
(sosial-keagamaan) dari kompleksitas permasalahan hidup manusia. Maka dari itu, menjadi
maklum jika jurnal ini masih jauh dari kata sempurna dan harapan ideal, apalagi eksistensi
jurnal ini masih seumur jagung. Lebih lanjut, kami pun menyadari bahwa untuk menggapai
format ideal sebuah jurnal, diperlukan ekplorasi dan penjelajahan pulau-pulau dan
belantara hutan ilmiah serta membuka ruang-ruang dialogis atau komunikasi. Oleh karena
itu demi kemajuan dan kematangan materi-materi yang akan diterbitkan pada edisi
selanjutnya, kami mengharapkan dan menanti masukan, sanggahan atau bahkan kritik dari
semua pembaca.
Dari sekian waktu yang kami habiskan untuk menyusun jurnal ini, tidak afdhol jika
tidak menyebutkan orang-orang yang berperan aktif demi terbitnya jurnal ini. Mereka itu
adalah pembina dan ketua Yayasan Puspa Dunia, Drs. H.Teguh Sumarno, MM dan Dra.
Hj. Isnaeniwati, M.Pd, Ketua STIB, Drs. Suyitno, M.Pd, dan seluruh keluarga besar STIB,
utamanya Amir Mahmud, MA., Hasim Ashari, MSI., Agus Sultoni, MSI., Vaesol Eka
Wahyu, M.Pd.I, Hadiqoh Asmuni, S.Pd.I., Didik Subiyanto, S.Sos dan mas Wisnu. Pun
dengan para hidden man yang mendukung di balik bilik redaksi yang tidak mungkin
disebutkan satu persatu. Dan tidak lupa kepada para penulis dihaturkan terima kasih.
Last but not least, Tak ada curahan rasa yang paling indah, selain yang terucap dalam
Alhamdulillah, dan tak ada tujuan yang paling indah selain menggapai keridoanNya.
Karena itu, sedalam isi qalbu kami menghaturkan terima kasih atas keridoanMu. Atas
ridho dan kuasaMu-lah jurnal Momentum Volume 02, No. 02 November 2012 ini bisa
terbit.
Banyuwangi, 2012
ISSN: 2089-3019
MOMENTUM
Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial dan Keagamaan
Volume 02, Nomor 02, November 2013
DAFTAR ISI
Dewan Redaksi
Pengantar Redaksi
Daftar Isi
Pedoman Penulisan
Pesantren Di Tengah Kepungan Globalisasi
Oleh
M. Amir Mahmud⃰
amir_mahmud@yahoo.com
Abstrak
Percepatan informasi dan teknologi menjadikan dunia seolah tanpa jarak dan batas. Inilah
yang kemudian di sebut dengan worl flat (dunia yang datar). Kehadiran pesantren disebut
sebagai agen perubahan sosial yang melakukan kerja-kerja pembebasan (liberation) pada
masyarakat dari kehancuran moral, penindasan politik dan ekonomi, pemiskinan ilmu
pengetahuan, dan tak ketinggalan kesesatan dalam ideologi. Globalisasi dengan
neoliberalismenya membawa dampak negatif yang tak terelakkan. Meskipun ada aspek
keberhasilan yang diraih dari globalisasi, namun hanya sedikit kelompok yang
merasakanya. Globalisasi yang awalnya sangat mengancam posisi pesantren ternyata justru
telah menimbulkan semangat jihad para kyai untuk tetap memperjuangkan agama Islam
lewat jalur pesantren dengan menggunakan sistem yang modern.
Pendahuluan 1
Arus perubahan sosial masyarakat bergulir semakin cepat. Percepatan informasi dan M
O
teknologi menjadikan dunia seolah tanpa jarak dan batas. Inilah yang kemudian di sebut M
dengan world flat (dunia yang datar). Dimana setiap manusia di muka bumi manapun dapat E
melakukan komunikasi dan perjumpaan tanpa batasan waktu dan jarak. Dunia dapat kita N
T
hadirkan dalam genggaman dan ruang-ruang kerja. Orang sering menyebut proses ini sebagai U
globalisasi. M
Seiring dengan itu, perubahan dalam masyarakatpun menjadi sesuatu yang tak
terelakkan. Ada ancaman dan juga peluang yang dapat ditangkap oleh masing-masing
kelompok ataupun individu masyarakat. Tak ketinggalan terhadap dunia pendidikan Islam
tradisional, pesantren. Sebuah lembaga pendidikan yang keberadaannya jauh sebelum
terbentuknya bangsa Indonesia dan juga dikenalnya sistem pendidikan klasikal ala barat oleh
masyarakat Indonesia saat ini. Karenanya tidak berlebihan jika Nurcholis Madjid menyebutnya
sebagai Indigenous pendidikan Indonesia yang juga memiliki makna keindonesiaan.1
Pesantren merupakan lembaga pendidikan pertama di Indonesia yang sebenarnya tidak
hanya sebatas pada transformasi pengetahuan agama Islam (tafaquh fi al-din). Namun
pesantren menurut Haedari Amin2 memiliki fungsi yang tak kalah penting, yakni kontrol sosial
dan juga perekayasa sosial (social engineering). Ketiga fungsi tersebut diperankan oleh
pesantren dalam rangka mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih baik, dalam kehidupan
di dunia maupun di hari kelak (akhirat).
bersifat inklusif, egaliter, patriotik, luwes dan bergairah dalam upaya-upaya transformatif. M
Internalisasi nilai-nilai telah melahirkan kader-kader bangsa yang patriotis dan berpandangan O
inklusif. Pada tataran ini pesantren berfungsi sebagai institusi pendidikan yang sangat berarti M
E
dalam masyarakat. N
Sejalan dengan perubahan zaman, pesantren sebagai institusi pendidikan dan juga T
U
pengembang masyarakat mengalami benturan-benturan. Terutama ketika dihadapkan dengan
M
sebuah masa yang sering kita sebut sebagai globalisasi. Paling tidak tiga fungsi sebagaimana
disebutkan di atas mendapat ujian dari sebuah masa yang berideologi liberalisme. Pertama,
pesantren sebagai institusi pendidikan Islam tradisional, mulai tidak mendapatkan tempat
dalam kehidupan masyarakat. Kedua, merupakan akibat lebih lanjut, yakni tercerabutnya
pesantren dari fungsi vitalnya sebagai perekasaya (social engineering) dan pengembang
masyarakat. Hal ini terjadi karena pesantren mulai menutup diri dari dunia luar dan bahkan
cenderung eksklusif. Hal ini ditandai dengan kecurigaan akan hal-hal baru.
Apakah kondisi ini akan terus berlanjut dalam kehidupan pesantren? Mengapa pesantren
menjadi cenderung eksklusif ditengah perkembangan masyarakat? Lalu bagaimana peluang
pesantren dalam mengarungi masa depannya dalam tatanan kampung global (global village)?
Tulisan ini hendak memperbincangkan ancaman global terhadap dunia pendidikan Islam
tradisional, pesantren dan mencoba melihat peluang yang dapat diraih pesantren untuk terus
dapat memainkan fungsinya sebagai institusi pendidikan alternatif dan sekaligus perekayasa
sosial.
3 Saefudin Zuhri, “Pendidikan Pesantren di Persimpangan Jalan.“, dalam Said Aqiel Siradj, Pesantren
Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.
fiqhiyyah (keduanya ilmu metodologi penggalian hukum Islam), tafsir, hadist (materi hadist
rasul), muthalahul hadist (ilmu mengenai hadist), tasawuf (ahlaq), dan mantiq (ilmu logika).
Keilmuan tersebut dimaksudkan untuk membekali santri kelak ketika ia merampungkan
pendidikannya di pesantren.
4 Istilah kyai yang digunakan disini merujuk pada seorang alim ulama. Kata kyai kadangakala digunakan
untuk menyebut suatu benda keramat, atau pusaka, dan hewan yang dihormati. Seperti halnya penyebutan "kyai
Garuda Kencana" dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di keraton Yogyakarta. Zamakhsyari Dhofier,
Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta: LP3ES, 1984), 55.
5 Istilah kitab kuning ini memang didasarkan pada terbitan kitab yang dicetak dengan menggunakan kertas
warna kuning kecoklatan. Istilah kitab kuning kemudian digunakan rujukan untuk menyebut kitab klasik oleh
banyak kalangan.
6 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 47-49
7 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 49.
8 Sorogan adalah belajar kitab dengan langsung face to facedengan kyai atau santri senior. Santri
membacakan kitab tertentu dihadapan kyai kemudian kyai menanyakan isi dan maksud dari bacaannya tersebut.
9 Kyai membacakan suatu kitab dan memberikan keterangan terkait dengan isi kitab.
10 Metode ini kyai membacakan suatu kitab tertentu, santri datang dan menyimak bacaan dan keterangan
kyai. Wetonan dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu tidak seperti bandongan yang biasanya rutin setiap hari.
11 Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), 28-29.
12 Bawani, Imam, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam (Surabaya: al-Ikhlas, 1993), 45.
13 Manfred B Steger, Globalisme: Bangkitnya Ideologi Pasar (Yogyakarta: Lafadl, 2005), 17-19.
1. Ranah ekonomi.
Globalisasi sama artinya proses integrasi pola produksi nasional ke pola ekonomi
global yang bercorak kapitalistik. Integrasi tersebut ditandai oleh hancurnya corak
produksi nasional yang digantikan dengan corak produksi seragam model kapitalisme
dan internasionalisasi transaksi perdagangan dan keuangan.
2. Ranah politik.
Globalisasi dimaknai sebagai internasionalisasi kebijakan politik. Hal ini ditandai oleh
hipotesis yang menghentakkan kesadaran kolektif nasionalisme, yakni matinya nation-
state. Jika karakter suatu bangsa berdaulat dengan mengacu pada pemikiran Soekarno,
TRISAKTI (berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian
secara budaya), maka praktis semuanya hilang dalam konteks globalisasi, kedaulatan
nasional teredusir oleh berbagai lembaga internasional seperti lembaga ekonomi dan
politik (mega-state) yang menyebabkan kedaulatan politik menjadi amat lemah.
Fenomena empiris ditunjukkan pada kelumpuhan kedaulatan hukum nasional yang di
gantikan oleh lembaga-lembaga internasional. Peran negara dengan demikian dibatasi
secara struktural dan sistematis. Dengan kata lain sejak munculnya globasilasi
kekuasaan negara tidak akan mampu melampaui batas-batas struktural yang dibangun
oleh struktur di luar dirinya. Walhasil, kekuasaan struktural suatu negara-bangsa
didefinisikan oleh kekuatan struktural di luar dirinya. 5
3. Ranah budaya M
Globalisasi ditandai oleh terjadinya proses homogenisasi atau penyeragaman O
kebudayaan yang berbasis pada dunia pertama. Apa yang menjadi trend dunia pertama M
E
dengan segera dan massif juga menjadi trend di dunia ketiga. Inilah budaya pop yang N
mengancam otensitas kebudayaan lokal di manapun juga. T
U
4. Ranah teknologi M
Globalisasi erat kaitannya dengan teknologi informasi dan komunikasi. Penemuan
teknologi membuat dunia yang luas ini menjadi global village atau desa buana.
Teknologi memungkinkan manusia melampaui keterbatasan ruang waktu historis.
Wilayah-wilayah di seluruh dunia dapat dengan mudah saling dihubungkan dengan
beberapa helai serat atau kabel.14
Dengan demikian globalisasi ditandai dengan beberapa hal, yaitu; pertama globalisasi
terkait erat dengan kemajuan dan inovasi teknologi, arus informasi atas komunikasi yang
melitasi batas-batas negara. Kedua, globalisasi tidak dapat dilepaskan dari akumulasi kapital,
semakin tingginya intensitas arus investasi, keuangan, dan perdaganagan global. Ketiga,
globalisasi berkaitan dengan semakin tingginya intensitas perpindahan manusia, pertukaran
budaya, nilai, dan ide yang lintas batas negara. Dan keempat, globalisasi di tandai dengan
semakin meningkatnya keterkaitan dan ketergantungan tidak hanya antarbangsa namun juga
antar masyarakat.15
14 Mujtahidur Ridlo, Reiventing IPNU: Mengayun Sampan di Perkampungan Global (Yogyakarta: el-
Kuts, 2003), 65-75.
15 Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada,
6
Neoliberalisme sebagai Ideologi Globalisasi
M
Hubungan antara globalisasi dan neoliberalisme dapat diibaratkan seperti dua sisi dari O
sekeping mata uang yang sama. Sebagaimana dikemukakan Lafontaine, berbicara mengenai M
E
globalisasi sama artinya dengan berbicara mengenai penyebarluasan neoliberalisme. N
Sebaliknya, berbicara mengenai neoliberalisme sama artinya dengan berbicara mengenai T
U
ekspansi kepentingan para pemodal negara-negara kaya.17
M
Sebab dalam tataran empiris, esensi keduanya sama, walaupun pandangan ini baru
memiliki kekuatan argumentatif jika diletakkan dalam asumsi epistimologi globalisasi sebagai
hasil kekuatan ekonomi. Revolusi teknologi, keputusan politik, atau gabungan keduanya
diletakkan dalam kerangka kepentingan ekonomi kapitalis. Globalisasi sesungguhnya hanya
kedok. Di balik kedok globalisasi bersembunyi agenda-agenda ekonomi neoliberal yang
dimotori oleh para pemodal negara-negara kaya.
Alasan ini didasari oleh banyak hal, di antaranya: Pertama, sudah sejak era tahun 90-an,
menjelang berakhirnya perang dingin, terjadi pergeseran di tingkat tata dunia global. Saat itu
ideologi sebagai paradigma dan politik sebagai panglima sudah mulai tergeser oleh
kepentingan ekonomi sebagai panglima. Kedua, berbagai fenomena global memiliki esensi
paling dalam yang berujung pada kepentingan akumulasi modal. Sehingga penjelasan suatu
fenomena apapun tanpa mengaitkan atau menyertakan penjelasan ekonomi politik akan
menjadi penjelasan yang tidak cukup memadai. Imperialisme terhadap Irak, penjualan berbagai
BUMN di Indonesia, kenaikan BBM dan juga tarif dasar listrik (TDL), komersialisasi
pendidikan, kampanye perang anti terorisme, mengandung aspek-aspek ekonomi politik yang
sangat kental.
Dengan demikian, memahami globalisasi dengan baik juga harus memahami
neoliberalisme yang menjadi ideologi globalisasi itu sendiri. Apa yang sebenarnya yang
dimaksud neoliberlisme? Siapa motor penggeraknya?
Susan george merumuskan butir-butir doktrin neoliberal yang harus diadopsi sebagi
kebijakan negara-negara berkembang, yakni:
1. Pasar harus diberi kebebasan untuk membuat keputusan sosial dan politik yang penting.
2. Negara harus secara suka rela mengurangi peranannya dalam ekonomi.
3. Perusahaan harus diberi kebebasan total.
4. Serikat buruh harus diberangus.
5. Proteksi sosial bagi warga negara harus dikurangi.
gaya hidup masyarakat. Melalui media yang kian terbuka dan terjangkau, masyarakat
M
menerima berbagai informasi tentang peradaban baru yang datang dari seluruh penjuru dunia. O
Padahal, kita menyadari belum semua warga negara mampu menilai sampai dimana kita M
E
sebagai bangsa berada. Begitulah, misalnya, banjir informasi dan budaya baru yang dibawa
N
media tak jarang teramat asing dari sikap hidup dan norma yang berlaku. Terutama masalah T
pornografi, dimana sekarang wanita-wanita Indonesia sangat terpengaruh oleh trend mode dari U
M
Amerika dan Eropa yang dalam berbusana cenderung minim, kemudian ditiru habis-habisan.
Sehingga kalau kita berjalan-jalan di mal atau tempat publik sangat mudah menemui wanita
Indonesia yang berpakaian serba minim mengumbar aurat. Di mana budaya itu sangat
bertentangan dengan norma yang ada di Indonesia. Belum lagi maraknya kehidupan free sex di
kalangan remaja masa kini. Terbukti dengan adanya video porno yang pemerannya adalah
orang-orang Indonesia.
Pesantren yang dulunya banyak diminati kalangan muda yang ingin menuntut ilmu untuk
memperdalam agama kini mulai pudar. Model pendidikan yang ditawarkan ala pesantren
dianggap sudah tidak menjadi menarik lagi, ketinggalan jaman, tidak modern dan lain-lain.
Dalam posisi yang demikian ini pesantren-pesantren mulai menyadari bahaya yang
mengancam dirinya, kalau ini dibiarkan, maka pendidikan pesantren sedikit-demi sedikit akan
ditinggalkan masyarakat dan akhirnya akan mati. Ini dibuktikan dengan matinya pesantren-
pesantren salaf. Kesadaran para kyai yang menjadi motor penggerak pesantren untuk tetap
mempertahankan pesantren sebagai pilar-pilar agama Islam memunculkan berbagai macam ide
agar pesantren tetap eksis. Salah satu cara pesantren dalam mempertahankan eksistensinya
yaitu pesantren tidak hanya menerapkan model murni pesantren, namun dengan menambahkan
lembaga pendidikan formal dengan kurikulum integreted dari diknas dan depag dengan
ekselerasi dan inovasi yang berciri dan menceburkan diri dalam arus globalisasi dengan filter
keimanan yang kuat. Pada pendidikan formal tersebut siswa diajarkan dengan berbagai macam
teknologi. Dengan demikian pesantren tidak hanya mengaji untuk mendalami ilmu agama saja,
melainkan juga mempelajari dan menggunakan teknologi yang berkembang.
Pesantren mulai tidak lagi berpandangan sempit mengenai ambivalensi orientasi
pendidikan. Misalnya masih terdapat anggapan bahwa hal-hal yang terkait dengan keduniawian
seperti penguasaan disiplin ilmu umum (sains), keterampilan dan profesi merupakan garapan
khusus sistem pendidikan sekuler.22 Pesantren tetap bertahan sebagai pendidikan nonformal di
bidang agama, tetapi dengan dilengkapi pelbagai ketrampian.
Pesantren juga telah menguatkan pandangan dalam memahami ilmu secara universal,
tidak parsial atau dikotomis yang memisahkan ilmu agama dan pengetahuan umum (sains).
Mereka merujuk pada pandangan al-Ghazali tentang klasifikasi ilmu yang dimaksud bukanlah
pembenturan secara vis-a-vis antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan duniawi (sains),
melainkan klasifikasi antara yang prinsip dan paling prinsip. Pandangan seperti ini justru
bertentangan dengan semangat Islam sendiri yang mengajarkan tentang kesatuan antar dunia-
akhirat; bahwa ilmu umum adalah bagian dari agama yang tidak boleh dipisahkan.23
Globalisasi yang awalnya sangat mengancam posisi pesantren ternyata justru telah
menimbulkan semangat jihad para kyai untuk tetap memperjuangkan agama Islam lewat jalur 9
keberadaannya.
Arah perbaikan, pesantren. Sebagai lembaga pendidikan agama Islam, Keilmuan agama
Islam yang diajarkan tidak hanya terfokus pada ajaran Islam klasik yang tidak upto date, tetapi
juga diengkapi wacana filosofis dan dikursus Islam kontemporer, sehingga tidak terjebak pada
konservatifisme.
Daftar Pustaka
Bawani, Imam, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam, Surabaya: al-Ikhlas, 1993.
Baswir, Revrisond, “Bahaya Globalisasi Neoliberal.”, dalam http//www.Swaramuslim_net For
Izzatul Islam Wal Muslimin wal Mu'minat.htm
B Steger, Manfred, Globalisme: Bangkitnya Ideologi Pasar, Yogyakarta: Lafadl, 2005.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai, Jakarta:
LP3ES, 1984.
Haedari, Amin, dkk., Panorama Pesantren dalam Cakrawala Modern, Jakarta: Diva Pustaka,
2005.
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah
Mada, Vol.7 NO 2, November 2003.
Kholil, Ahmad, “Kearah Kurikulum Pendidikan Pesantren yang Berwawasan Global." dalam 10
Oleh
Dadang Aji Permana⃰
dadangprmn@gmail.com
Abstrak
Tidak bisa disangkal bahwa Televisi dan computer merupakan karya agung ilmuwan di era
postmodernitas. Kemampuannya untuk mengerutkan, mensimulasikan dan menduplikasi
dunia ke dalam bentuk audio-visual, memungkinkan kita untuk menyaksikan beragam
rangkaian peristiwa di setiap jengkal penjuru bumi. Dinamika teknologi berbasis
informatika ini memiliki daya kreatif sekaligus destruktif bagi kehidupan manusia,
terutama di dalam pola dan proses interaksi sosial. Selain memberikan informasi positif,
chanel-chanel yang disiarkan full time 24 jam, juga memiliki aspek negatif, yaitu
memunculkan budaya baru, a Culture of Spectacle (budaya tontonan). Budaya yang
memaksa setiap orang untuk menjadi penonton sekaligus ditonton. Di kedalaman budaya
ini setiap orang dituntut untuk senantiasa bersolek dan mengagungkan gaya hidup demi
memperteguh pencitraan, dan dari sinilah muncul masyarakat pesolek (dandy society).
Gempuran iklan yang mengisi setiap saluran-saluran media massa mampu menstimulus
hasrat materialistik masyarakat tersebut, hasrat yang kemudian diejawantahkan menjadi
pesta pora konsumerisme. Fenomena ini dijadikan momentum oleh kapitalime lanjut (late
capitalism) dengan merubah budaya popoler menjadi budaya masa dengan tujuan agar 11
konsumsi menjadi motif dan orientasi utama seluruh proses interaksi sosial. Di dalam
realitas budaya inilah seluruh elemen masyarakat terbius oleh pil ectasy gaya hidup. M
Sebuah hyper-reality yang menyuguhkan aneka ilusi dan mimpi. O
. M
Kata kunci: posmodernitas, simulacra, budaya popular, gaya hidup, masyarakat hiper- E
realitas N
T
U
M
Pendahuluan
Dimana para lelaki menyimpan jati diri, wibawa dan kejantanannya saat ini? Di tengah
himpitan kedua buah payudara Julia Peres yang menabur sensualitas gerak pantat pada saat
menyenandungkan “Belah Duren” di panggung tontonal masal para pria binal, seraya
mengkampanyekan kondom yang dibubuhi kecupan sensual? Dimana para wanita menyimpan
kehormatan, kecantikan dan kefemininannya saat ini? Di balik warna lipstik dan bedak mantra
sihir kosmetika amora, di bawah sinar gemerlap busana biduanita, selebrita dan sosialita, di
saku baju ala Harajuku, di balik Lifestyle ala Hallyu, atau di dalam balutan celana pensil ketat
dan kerudung gaul yang ditambah dengan sedikit semprotan aroma parfum Paris dengan slogan
terpampang “Penghilang Bau Dosa Bagi Pemuja Budaya Hura-Hura Yang Bergegap Gempita
Ala Selebrita”? Dimana tempat manusia berserah diri serta menyimpan jiwa dan nyawa
mereka? Di dalam kitab naskah takdir yang di setiap lembarannya termaktub logo “Asuransi
Jiwa Jasa Raharja”, atau di Hypermarket bernama The Bank of Sperm yang menjual bakal-
bakal janin kehidupan? Dimana etika, spiritualitas dan agama saat ini? Di dalam lipatan doa
para dai’ yang diproduksi dan disimulasikan pada tabung-tabung kaca televisi setiap pagi? Di
dalam kemasan paket-paket wisata religi yang ditawarkan travel agent berlabel surgawi? Atau
pada riasan wajah keriput ulama bersorban dan bergamis yang mengumandangkan kebesaran
Tuhan dalam epik cinta telenovela romantika remaja?
Benarkah gaya hidup (lifestyle) segalanya bagi manusia? Benarkah kompleksitas
permainan gaya-gaya yang diproduksi kaum kapital spekulan melalui jejaring media telah
menjadi agama baru yang menawarkan bentuk hedonisme semu dunia-akhirat? Pertanyaan-
pertanyaan tersebut muncul dan bergumul dalam kisah baru peradaban manusia yang terus
bersinggungan dengan robot-robot teknologi berbasis informatika. Sebuah era kebingungan
yang memperkenalkan diri sebagai Postmodern. Dewasa ini, sebagain besar masyarakat
meyakini dan mengamini bahwa untuk bisa eksis di dalam gonjang ganjing bahtera kehidupan
sosial, tidak bisa lepas dari gaya hidup berpola konsumsi. Sebuah bentuk keyakinan baru yang
menarasikan bahwa kebahagiaan dan harga diri manusia dapat diukur oleh sejauhmana
seseorang mampu mengkonsumsi aneka barang komoditas. Fenomena sosial ini muncul karena
masyarakat kontemporer selalu dikelabui dan dirayu oleh visualisasi iklan-iklan gombal media
massa dengan menggunakan simbol-simbol kemapanan kaum borjuis, dimana para selebriti
sexy sebagai figurannya. Melalui bujuk rayu iklan, masyarakat dikondisikan agar percaya
bahwa gaya hidup konsumtif akan meningkatkan citra, identitas, dan derajat eksistensi diri.
Sekalipun dalam beberapa hal gaya hidup diperlukan, namun ia akan menjadi malapetaka
manusia takala gaya hidup menjadi tujuan hidup, dan tujuan hidup adalah gaya hidup. Pada
posisi ini, gaya hidup sudah menjadi kesadaran eksistensial yang melekat dan menjadi atribut 12
kedirian manusia. Oleh karena itu, makna identitas kedirian manusia menjadi kabur, yang ada M
hanya balutan gaya yang penuh dengan pencitraan dan simbol-simbol surut makna. Celakanya, O
di semua lini kehidupan saat ini, komoditas ekonomi sudah diproduksi dan diarahkan untuk M
E
menunjang struktur-struktur bangunan gaya hidup. Jika diilustrasikan dengan sebuah N
bangunan, struktur-sruktur gaya hidup tersebut menyerupai balok material penyusun bangunan T
yang terus disusun dan membentuk aneka ruang megah di sebuah istana. Namun, istana ini U
M
bersifat fatamorgana, sebuah istana yang oleh Baudrillard diidentifikasi dengan Simulacra.
Istana idaman yang nantinya dianggap sebagai tujuan dan tempat akhir kehidupan manusia.
Sekalipun maya, istana tersebut terasa nyata. Hal ini dikarenakan manusia yang menjadi
penghuninya, dibius oleh pil ecstasy yang menciptakan halusinasi estetika dan eksotika dunia,
sebuah mayantara idealita penuh aroma semerbak bunga-bunga cinta yang sengaja dihidangkan
untuk sesaji pemujaan kepada Tuhan baru bernama “GAYA”, nabinya bernama “MEDIA“ dan
kitabnya bernama “CITRA”. Di istana ini manusia tidak pernah memperoleh intimidasi dan
terror fisik dari Tuhan, Nabi ataupun sesama pengiman kitabnya. Namun, di istana ini mereka
dikeloni dengan selimut kabut, buaian nina bobo dan secawan anggur kehampaan yang
membuat setiap penghuninya merasa dikejar “Ajal” jika tidak tampil cantik, estetik, nyentrik,
eksotik, trendi, sensual, glamor, seksi, perlente dan segala hal yang menunjukan serba wah,
atau seperti ungkapan sang biaduanita yang diisukan masuk dalam deretan diva Indonesia,
Sahrini, “sesuatu banget“.
Dengan ditunjang media massa berbasis informatika, orang-orang yang hidup di istana
tersebut selalu merasa senang dan sembringah. Apalagi jika mereka menjadi referensi utama
yang disajikan untuk gosip murahan yang mengisi setiap baris kolom koran, majalah, terlebih
media elektronika. Mereka akan bersuka cita dan terbahak-bahak kegirangan jika masuk layar
kaca (televisi), karena akan segera populer dan menjadi idola para wanita atau jejaka, bahkan
mereka merasa dirinya sebagai para pahlawan utama media karena terus menjadi sumber
berita. Sebaliknya, mereka akan merasa kecewa, menderita dan hampa, jika mati gaya dan
kehilangan fan setia.
Di istana ini, komoditas massal yang sudah dilabeli eklusive, limited edition,
cosmopolitan dan sebagainya, dipampang untuk para shopaholic (penggila shoping) yang ingin
memperoleh identitas leisure class, sekaligus menjadi pelopor trend mode terbaru. Dari istana
ini pula sebuah budaya tercipta dan memperkenalkan dirinya sebagai risalah suci, “Popular
Culture”, Sebuah budaya daur ulang (recycling) yang membangun swargaloka impian khayal,
panggung ideal komsumer schizophrenic yang larut dalam pementasan massal estetika gaya. Di
istana ini, mimpi-mimpi menjadi proyek agung peradaban manusia mengalahkan realitas
sebenarnya. Kesederhanaan, ke’arifan, kesalehan sosial yang dikumandangkan doktrin agama
disulap dengan mantra materialistik dan dikemas dengan simbol-simbol hedonistik yang terus
dikumandangkan melalui iklan-iklan media massa. Wal hasil, masyarakat terarahkan untuk
membangun sistem sosial dan komunitas baru, -meminjam istilah Eco dan Baudrillard-
masyarakat hiper-realitas (mass of hyper-reality). Sebuah masyarakat yang lebih percaya
dengan realitas maya dari pada realitas yang sebenarnya. Sebuah masyarakat yang tujuan dan
totalitas hidupnya untuk gaya hidup. Lantas, bagaimana kita melawan keyakinan baru tersebut
dan menciptakan resep generik atau ramuan jitu yang dalam waktu singkat bisa menyadarkan
masyarakat hiperrealitas yang sudah pulas dalam halusinasi dan ektasi gaya hidup? Apa yang
harus dilakukan untuk menggali nilai-nilai esensial agama yang sudah lama terkubur bersama 13
peti mati pemuja mimpi di pemakaman komoditi? Inilah sebuah tantangan baru peradaban M
manusia masa kini yang akan digali kembali dalam tulisan ringkas ini melalui sisi humanism O
dan dogma ketauhidan Islam. M
E
N
T
Panggung Postmodernitas
U
Dalam ruang akademis, kata postmodernisme sudah menjadi menu lezat yang tercatat M
hampir di setiap resep (literatur) kontemporer, dan biasa dihidangkan di atas meja kuliah.
Saking nikmatnya, lidah para akademisi akrab sekali dengan aroma dan rasanya, dan bahkan
ketika ada seseorang yang mengumandangkan syair-syair lagu merdu pluralisme,
multikulturalisme, dan relativisme kebenaran, mereka langsung menebak “ini pasti wangi
aroma bunga sesaji postmodern”. Kendati demikian, ketika mereka diminta untuk
mendeskripsikan semerbak wangi (definisi) postmodern, mayoritas akademisi dan budayawan
terkapar di padang gusar, dan linglung di gurun bingung, alias tak sanggup mendefinisikannya.
Salah satu kebingungan mereka diabadikan dalam kamus The Modern Day Dictionary of
Received Ideas yang mendefinisikan kata “Postmodernisme” sebagai “Kata ini tak punya arti,
gunakan saja sesering mungkin”.1 Apa yang menyebabkan para filosof, budayawan dan
intelektual lainnya kebingungan? Mereka mengungkapkan bahwa kebingungan definitif
tersebut diakibatkan oleh awalan “post” dan akhiran „isme”.
Bila ditinjau dari catatan historis para budayawan dan seniman, kata postmodern –tanpa
isme- bisa dirunut dari awal kemunculannya dalam literatur seni. Menurut Ihab Hasan dan
Charles Jencks, istilah postmodern muncul pertama kali sekitar tahun 1930-an dalam karya
1 Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 13-24.
Menurut Bambang Sugiharto, kata postmodernisme lebih sering digunakan sebagai kritik M
filosofis atas world view, epistemologi dan idiologi-idiologi modern. Sedangkan O
postmodernitas digunakan sebagai deskripsi situasi dan kondisi sosial yang bergelut dengan M
E
produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang N
T
U
M
2 Menurut Valtimo dan Levin, akhir dari lembaran sejarah modernitas pertama kali digaungkan oleh
Nietzsche dan Heidegger melalui konsep nihilism dan diferensi. Kritik atas modernitas sendiri, seperti yang
dipetakan oleh Piliang, terjadi dalam dua arah, kritik diri (self-criticism) dan kritik di luar modernitas. Arah
pertama digaungkan oleh kelompok yang tergabung dalam Frankfurt School, seperti Adorno, Horkheimer,
Marcuse dan Habermas. Dalam konteks ini mereka memfokuskan untuk melanjutkan proyek modernitas yang
belum rampung. Sedangkan arah kedua, sebaliknya, ingin meruntuhkan proyek modernitas yang gagal seperti
yang dilakukan oleh Nietzsche dan Heidegger, dan kemudian dilanjutkan oleh pemikir poststrukturalis seperti,
Foucault, Deleuze, Guattari, Lyotard, Baudrillard, Kristeva dan Valtimo. Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika:
Tafsir Cultiral Studies Atas Matinya Makna (Yogyakarta: Jalasutra, 2003), 77-78.
3 Terlepas dari kekaburan definitif, mayoritas akademisi sepakat bahwa janin postmodernisme lahir dari
sebuah reaksi kritis atas modernisme. Menurut Paulin M. Rosenau dalam Postmodernism and Social
Sciences:Insight, Inroads and Intrusion, ada lima gugatan yang membidani kelahiran janin postmodernisme,
yaitu: (1) Kegagalan modernisme dalam mewujudkan perbaikan hidup manusia seperti yang termaktub dalam
garis haluan proyeknya. (2) Sains modern sulit untuk keluar dari kungkungan otoritas tertentu yang cenderung
menyalahgunakan otoritas ilmiah. (3) Banyaknya anomali dan kontradiksi antara teori dan fakta. (4) Keyakinan
bahwa sains modern bisa menjadi solusi hidup manusia, musnah seiring dengan timbulnya berbagai patologi
sosial. (5) Sains modern kurang apresiatif terhadap masalah mistis dan metafisika, serta lebih menekankan kepada
dimensi fisik manusia. Secara sederhana, modernisme yang dielu-elukan sebagai Satrio Piningit peradaban tidak
mampu menyelesaikan permasalahan kemanusiaan, tetapi malah menambah angkara murka dunia dan patologi
sosial. Dikutip dari Medhy Agita Hidayat, Kebudayaan Postmodern Menurut Jean Baudrillard.
http://socialpoliticarticle.blogspot.com/2009/04/kebudayaan-postmodern-menurut-jean.html.
4 Armahedi Mahzar, Revolusi Integralisme Islam (Bandung: Mizan, 2004), 13-22.
berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara bangsa dan penggalian
kembali inspirasi-inspirasi tradisi.5
Ketika kata posmodernisme mendarat di negeri kiblat mode, Prancis, ia disambut baik
oleh Jean Francois Lyotard, dan bahkan mempersilahkannya untuk masuk ke dalam khazanah
sastra, seni, filsafat dan sains. Tidak sekedar mengapresiasi, melalui karyanya La Condition
Posmoderne: Rapport sur le savoir, Lyotard menegaskan juga bahwa posmodernisme –dalam
arti postmodernitas- bermula dari ledakan teknologi computer sekitar tahun 1950-an. Dalam
pandangannya, maraknya jaringan computer, transformasi informasi yang sangat kompleks
menjadi pemicu kegaduhan dan ke-chaos-an sistem sosial serta menghancurkan narasi agung
kebenaran tunggal. Pluralisme, multikulturalisme dan relativisme menjadi sabda-sabda baru
yang dikumandangkan di layar-layar kaca berbasis teknologi informatika. Kechaosan dan
kompleksitas jejaring informasi inilah yang menjadi embrio deklarasi kematian narasi-narasi
agung (grand narrative) modernisme. Dengan teknologi computer, dunia bisa diciutkan
menjadi, mengutip istilah McLuhan, Global Village, alias desa buana. Hamparan luas wilayah
yang telah tersekat-sekat geografis negara dan rentang zona waktu, disulap menjadi desa
mungil yang dikemas menjadi berita audio-visual dan kemudian disimulasikan pada tabung-
tabung televisi, handphone, tablet dan jejaring internet, yang selanjutnya bisa disiarkan secara
langsung (live) dalam satu waktu dan bisa disaksikan oleh jutaan pasang mata di seantero
penjuru negeri. Kepekaan masyarakat terhadap informasi dan kecepatan transformasi informasi
kepada masyarakat, telah meningkatkan mobilitas dan dinamika kehidupan manusia ratusan 15
kali lipat dari sebelumnya. Efeknya, semua pranata dan struktur sosial berubah total dan M
menimbulkan berbagai kegaduhan dan patologi sosial baru. O
Gagasan inilah yang kemudian menjadi poin dasar analisa Jean Baudrillard dalam M
E
pendeskripsian postmodernitas, sebuah kondisi sosial di mana manusia dan media harus N
bercengkrama dan melebur dalam sebuah realitas yang sama bernama Mediaspace. Media T
U
dalam hal ini bukan lagi berfungsi sebagai kepanjangan tangan manusia, tetapi sudah beranjak
M
jauh, menjadi ruang atau realitas baru manusia yang di dalamnya manusia harus bisa
mengarungi bahtera hidup untuk menemukan eksistensi dirinya. Di dalam realitas ini, segala
permasalahan hidup manusia seperti pencarian jati diri, hakikat alam, dan menuntut ilmu,
hampir tidak perlu lagi peran guru ataupun menjelajah melintas negeri, cukup nongkrong dan
menghanyutkan diri dalam program-program televisi atau berselancar di internet yang
menyuguhkan berbagai informasi secara full time dan pure tanpa sensor. Bila dideskripsikan
dalam bentuk organ manusia, bentuk peradaban manusia di era postmodernitas ini sudah
menemukan kapasitasnya yang hampir sempurna. Mesin-mensin baja yang dilahirkan dari
rahim revolusi industri, kini telah mewujud menjadi otot dan tulang rangka yang membentuk
postur peradaban. Telescope, telegraph, radio, lampu, telephone dan televisi telah menyatu
dengan otot dan tulang untuk menjadi pancaindranya. Kompleksitas jejaring computer
menyempurnakan postur peradaban tersebut dengan menjadi jaringan saraf dan peredaran
darah yang mengkoordinasikan dan mengintegrasikan seluruh organ tubuh peradaban secara
sistemik. Artificial Intelligence (AI) dalam bentuk micro processor menyempurnakan
kemampuan robotik peradabaan dengan fungsinya sebagai otak peradaban.
Oleh karena itu, tidak heran jika dalam peradaban ini robot-robot informatika hidup
bergandengan dengan manusia, sebuah masa yang oleh para teknolog disebut dengan era
Mega-Cyborg. Celakanya, dengan bergulirnya waktu, robot-robot tersebut terus memproduksi
masalah-masalah yang menimbulkan disorientasi dan patologi sosial baru yang tidak pernah
disadari manusia sebelumnya. Di samping itu, manusia terus mengalami ketergantungan hidup
kepada robot-robot teknologi berbasis informatika tersebut. Perlahan namun pasti, dalam
realitas keseharian, robot-robot ini telah menggantikan peran manusia sekaligus mengarahkan
kehidupan manusia itu sendiri.
Dengan robot-robot teknologi jaringan informatika, semua bentuk informasi valid bisa
didapat dengan mudah tanpa terganjal oleh sekat ruang dan waktu. Segala bentuk informasi
terintegrasi dan bercampur baur dalam ruang maya informatika yang bisa diakses kapanpun,
dimanapun dan oleh siapapun, tanpa ada sensor dari otoritas tertentu. Dalam dunia ini, otoritas-
otoritas tunggal musnah, hierarki sosial kandas oleh heterarki (kesetaraan tanpa ada pusat) dan
absolutisme kebenaran hancur lebur menjadi serpihan buih. Realitas inilah yang dimaksudkan
oleh Lyotard dengan kebudayaan postindustrial (postmodern) yang tertuang dalam karyanya
La Condition Posmoderne: Rapport sur le savoir. Sebuah hunian baru masyarakat
komputerisasi yang transformatif, dimana segala bentuk narasi agung (grand narrative)
modern dirobohkan, dan sekaligus perayaan bagi lahirnya pluralisme kebenaran dan pluralisme
realitas (paralogi). Transformasi jaringan computer inilah yang kemudian menyebabkan
terjadinya pergeseran struktur dan pranata masyarakat. 16
Selain media massa, fenomena krusial yang lahir dari rahim postmodernitas adalah M
munculnya budaya populer. Pada awalnya, budaya ini tumbuh dengan sendirinya di dalam O
proses interaksi sosial masyarakat bawah. Karena muncul dari golongan bawah, maka, budaya M
E
ini sering juga disebut dengan folk culture atau lowbrow culture, istilah yang sering digunakan N
sebagai lawan dari highbrow culture (budaya tinggi), budaya yang diwujudkan oleh kaum elitis T
dan borjuis. Meskipun demikian, saat ini budaya populer sudah dimanifulasi dan identik U
M
dengan budaya massa. Budaya yang sengaja diciptakan oleh kaum kapitalisme lanjut sebagai
ladang persemaian keuntungan. Manifulasi ini terjadi karena budaya popular bersifat massal,
terbuka, mengakar di khalayak banyak dan marketable. Kedua budaya yang menjadi identik
ini, tumbuh dan berkembang sebagai efek dari keterbukaan informasi serta keterlibatan media
massa dalam upaya pendistribusian dan peningkatan ekonomi yang bersifat massal. Eratnya
keterjalinan media massa dengan budaya popular memberi efek signifikan dalam realitas
keseharian manusia yang melahirkan berbagai patologi sosial.
Seluruh dimensi kehidupan manusia saat ini sudah terarahkan kepada gaya hidup
materialistik, hedonistik dan konsumtif. Dalam konteks ini segala hal yang menyangkut dengan
kemanusiaan selalu diukur dan diarahkan kepada upaya pencapaian hal-hal duniawiyah, tanpa
makna, dan hilangnya nilai-nilai etis dan religious. Sehingga tidak aneh jika orientasi dan motif
kehidupan manusia terarahkan kepada aktivitas konsumsi yang berlebihan. Emo ergo sum (aku
belanja maka aku ada), demikian sajak heroik kaum hedonistik.
Bagaimana tidak? Film yang dipertontonkan kepada kita dengan aneka kemasannya -mulai dari
drama, kolosal, horor, kartun, fiksi sains, dokumenter, dan telenovela- ternyata mampu
menghipnotis setiap orang untuk keluar dari realitas eksistensial dirinya dan terbenam dalam
realitas fiktif nan ilutif. Dengan menonton film, setiap orang bisa mengetahui, merasakan dan
menghayati berbagai lelakon hidup. Lebih dari itu, kita juga bisa terhipnotis untuk membenci,
berempati, dan mencinta kepada sang empu lakon. Dengannya pula kita terstimulus untuk
berangan-angan menjadi sang pahlawan protagonis yang setiap saat siap menumpas para bandit
antagonis, seperti yang dikisahkan dalam lakon episodik telenovela semi romantika.
Realitas-realitas fiktif dan fantasi yang disiarkan melalui televisi dan computer tersebut,
tiada lain adalah apa yang oleh Baudrillard disebut dengan ruang simulasi atau Simulacra.8
Realitas baru abu-abu yang tidak jelas pangkalnya, namun realitas ini terus diproduksi dan
6 Jean Baudrillard, The Ecstasy of Communication (New York: Semiotext[e], 1987), 32.
7 Jean Baudrillad, Simulations, terj. Paul Foss, et.al (USA: Semiotext[e],1983), 1.
8 Dalam Oxford Advancer Learner’s, “Simulacra” diartikan (1) Sesuatu yang tampak, atau dibuat tampak
seperti yang lain (2) Salinan (Copy). Dalam pemikiran Baudrillard, kata simulacra erat kaitannya dengan salinan,
terkhusus, counterfeit, duplicate, facsimile, model, reproduction dan xerox. Yasraf Amir Piliang, Postrealitas:
Realitas Kebudayaan Dalam Era Posmetafisika (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), 57-63
membedakan antara realitas nyata dan realitas maya. Realitas-realitas semu inilah yang
sebenarnya mengaburkan segala makna esensial kehidupan manusia. Atas dasar ini pula
kenapa Baudrillard mengungkapkan bahwa era postmodernitas lebih menekankan kepada
fiction (fiksi) dari pada function (fungsi), signs (tanda) dari pada things (hakikat benda) dan
aesthetics (estetika) dari pada ethics (etika).11 Dalam konteks ini pula, tidak salah jika David
Chaney mengungkapkan bahwa efek signifikan dari munculnya televisi dan computer adalah
lahirnya budaya baru yang disebut dengan a culture of spectacle (budaya tontonan). Sebuah
budaya dimana semua elemen masyarakat digiring untuk menjadi penonton sekaligus
ditonton.12
Efek yang lebih tragis dari fenomena di atas adalah munculnya mentalitas pengekor,
dalam artian, masyarakat menjadi sekedar sekelompok pribadi-pribadi pasif, individual serta
hanya menerima segala bentuk informasi taken for granted, tanpa ada filterisasi ataupun
verifikasi ilmiah terhadap data-data dan informasi yang telah diterimanya. Sehingga tidak ayal
jika informasi-informasi yang diterima menjadi semu atau menjadi bahan gibah ibu-ibu, tidak
lagi menjadi pengetahuan yang bernilai dan mencerahkan. Informasi tersebut hanya menjadi
data sampah yang semakin menjerumuskannya ke dalam jurang keterasingan. Dan secara
perlahan, namun pasti, data-data sampah tersebut pada akhirnya menjadi sumber timbulnya
berbagai patologi sosial.
Di dalam budaya tontonan, nilai esensial realitas keseharian masyarakat menyusut
menjadi sekedar panggung festival massal. Semua ritual dan rutinitas keseharian masyarakat 19
dengan sendirinya terbentuk menjadi drama kolosal yang harus dipertontonkan dan ditonton, M
serta diarak ke khalayak publik, tidak terkecuali dogma-dogma agama dan rutinitas privasi. O
Dalam hal ini, setiap individu dengan sendirinya terarahkan menjadi aktor-aktor yang harus M
E
memainkan peran dan menunjukan citra dan cita rasa eksistensialnya dengan mengoptimalkan N
nilai-nilai estetis, sekalipun harus mengenyampingkan masalah etis. Dengan demikian menjadi T
wajar jika turunan dari budaya tontonan adalah “Image Culture” (Budaya Citra) dan “Taste U
M
Culture” (Budaya Cita Rasa).
Di dalam budaya tontonan, citra dan cita rasa menjadi modus dan identitas eksistensial
setiap orang yang harus dibentuk sebaik mungkin untuk kemudian dipamerkan di ranah publik.
Karena tuntutan citra dan cita rasa, setiap individu dalam suatu masyarakat pada akhirnya harus
memperhatikan gaya hidup (lifestyle). Dan tentunya organ-organ tubuh menjadi objek estetis
gaya hidup yang paling dominan. Di dalam situasi inilah seluruh elemen masyarakat dipicu
untuk senantiasa bersolek dan merias diri meniru-niru sang nona dan jejaka idola. Kita tidak
perlu bingung untuk melihat fakta sosial ini, karena di sepanjang jalan, di perkantoran, di
sekolahan, bahkan di pengajian dan di hari-hari besar keagamaan, kita bisa menyaksikan pria
dan wanita tampil trendi, glamour, sexy, macho, dan perlente dengan segala esesoris
necisnya.13
11 David Harvey, The Condition of Postmodernity: An Enquiry into the Origins of Cultural Change
(Oxford: Blackwell Publishers, 1990), 102
12 Baca David Chaney, Lifestyles: Sebuah Pengantar Komprehensif, terj. Nuraeni (Yogyakarta: Jalasutra,
2008).
13 Dalam realitas keseharian kita yang dipenuhi dengan dunia-dunia simulacra, persepsi kita tentang tubuh
fisik semakin dibentuk oleh citraan-citraan abstrak, yang menurut Bambang Sugiharto, berperan juga sebagai
Fenomena massal ini muncul karena gaya hidup atau urusan tampangisme (lookism)
bukan lagi dihakpatenkan teruntuk para biduanita, selebrita, ataupun kaum sosialita, tetapi gaya
hidup sudah mendarah daging menjadi kebutuhan primer seluruh elemen masyarakat. Oleh
karena itu, menjadi hal yang lumrah jika masyarakat dewasa ini sudah memiliki kecenderungan
untuk tampil seolah menjadi selebriti. Seperti diungkapkan Thomas C. O’Guinn “twenty-first
century is all about celebrity”.14 Sebagai contoh, tidak aneh jika saat ini setiap pemudi merasa
wajib melihat hairstyle Sahrini yang bermotif terowongan casablangka, dan bulu mata anti
badai, atau mengetahui di salon mana krisdayanti mengecat rambut, pedicure dan medicure,
dan bahkan harus memburu gamis ala Asanti dan Sahrini untuk dikenakan di hari raya Idul
Fitri. Semuanya karena alasan “demi totalitas gaya hidup”. Fenomena sosial seperti inilah yang
menjadi alasan kenapa Chaney mengidentifikasi masyarakat saat ini dengan dandy society
(masyarakat pesolek). Sebuah masyarakat yang meyakini dan mengagungkan doktrin sucinya,
mengutip Idi Subandy, “Kamu Bergaya Maka Aku Ada”.15 Kamu akan tersingkir jika tidak
punya gaya, dan kamu akan dianggap musnah jika tidak bergaya. Ujung pangkal dari
pengagungan gaya hidup ini adalah pengkultuskan diri, “Aku Narsis Maka Aku Eksis”
(Narcissuso Ergo Sum).16 Inilah alasan fundamental kenapa kaum kapital saat ini menganggap
gaya hidup sebagai komoditas ekonomi yang paling sexy, dan mengorientasikan semua
komoditas ekonomi untuk menunjang kebutuhan atau strukturstruktur gaya hidup masyarakat.
Dalam relasi fungsionalnya antara media massa dengan ekonomi, iklan menjadi sarana
ampuh yang dapat mengubah mood, trend dan materialistic desire para konsumen. Mengenai 20
hal ini, Stuar Ewen melalui karyanya, Captains of Consciousness: Advertising and the Social M
Root of the Consumer Culture,17 menegaskan bahwa logika hawa nafsu menjadi paradigma O
M
pokok yang digunakan oleh para ahli ekonomi untuk mengobarkan hasrat konsumeristik
E
seluruh lapisan masyarakat. Energi inilah yang menjadi motor penggerak keberhasilan N
terjadinya peralihan komoditas ekonomi, dari kebutuhan pokok (need) menjadi komoditas T
U
ekonomi keinginan (want). Modus operandi logika ini dijalankan melalui rayuan bahasa iklan
M
(seduction of advertising language). Iklan yang dikemas dengan bahasa rayuan dan
dipertontonkan secara visual telah berhasil membentuk pencitraan dan pencitarasaan suatu
komoditas ekonomi. Dengannya pula status komoditas ekonomi keinginan (want) mampu
menanjak naik menjadi komoditas gaya hidup sekaligus menjadi falsafah hidup. Seperti
diungkapkan Strinati, penampakan dan gaya-gaya visual iklan merupakan representasi dari
gaya hidup konsumennya.18 Idi Subandy mempertajam hal ini dengan mengatakan bahwa iklan
kerangka metafisikanya. Bambang Sugiharto, “Penjara Jiwa, Mesin Hasrat: Tubuh Sepanjang Buday” dalam
Menguak Tubuh. Kalam Jurnal Budaya. Jakarta, No.15, 2000, 34-45.
14 Ibid., 20.
15 Ibid., 16.
16 Penulis menisbatkan ungkapkan Narcissuso Ergo Sum dari ungkapan filsuf modern, Descartes, Cogito
Ergo Sum. Kata Narcissuso diambil dari kata Narcissus yang diambil dari bahasa Yunani “Narcosis” atau
“Numbness”. Narcissus adalah nama dari seorang pemuda dalam mitologi Yunani yang gemar bercermin di atas
kolam untuk melihat image atau kecakapan dirinya. Marshal McLuhan, Understanding Media: The Extensions of
Man (London: Sphere Books Ltd, 1964).
17 Stuar Ewen, Captains of Consciousness: Advertising and the Social Root of the Consumer Culture (New
York: McGraw Hill, 1976).
18 Dominic Strinati, An Introduction to Theories of Popular Culture (London and New York: Routledge,
2004), 232.
telah mewujud menjadi “saluran hasrat” (channel of desire) dan sekaligus channel of discourse
mengenai konsumsi dan gaya hidup. Inilah alasan utama kenapa seorang kritikus media massa,
Marshal McLuhan, mengungkapkan bahwa iklan merupakan salah satu dari karya agung
manusia di abad ke-20.19
Terlepas dari keragaman definitif dan historis, yang dimaksud dengan budaya popular di
abad postmodern adalah, seperti diungkapkan Strinarti, bentuk budaya yang diidentifikasi
dengan budaya massa. Budaya yang datang seiring dengan serbuan media massa dan
peningkatan komersialisasi budaya dan waktu luang (leisure), yang merebak mulai tahun 1920-
an. Dalam konteks ini, budaya populer adalah budaya yang diproduksi melalui rekayasa teknik
industri yang memproduksi produk masal, dan dipasarkan kepada khalayak public demi
memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.22
Mengenai asal-usul dan keidentikan budaya populer dengan budaya massa, dijelaskan
secara gamblang oleh MacDonald sebagai berikut:
Folk art grew from below. It was a spontaneous, autochthonous expression of
the people, shaped by themselves, pretty much without benefit of high
culture, to suit their own needs. Mass culture is imposed from above. It is
masyarakat agar menjadikan konsumsi sebagai motif utama penggerak realitas sosial, budaya,
pendidikan dan bahkan politik.
Jika di abad modern, Karl Marx mengungkapkan bahwa masyarakat kapital memanjakan
para konsumen dengan komoditas ekonomi yang syarat dengan nilai guna (use value) dan nilai
tukar (exchange-value). Maka, Menurut Baudrillard, di era postmodern, kedua nilai tersebut
sudah tergeser oleh nilai tanda (sign-value) dan nilai simbol (symbol value). Tanda-tanda dan
simbol-simbol telah mewujud menjadi motif dan orientasi utama aktivitas konsumsi
masyarakat. Kita bisa menyaksikan hal ini dalam realitas keseharian kita melalui aktivitas
konsumsi masyarakat dewasa ini yang lebih banyak ditujukan bukan untuk komoditas yang
memiliki nilai guna, tetapi untuk komoditas yang memiliki tanda-tanda atau simbol-simbol
kemapanan, prestise, gengsi, gaya, derajat eksistensi dan sebagainya. Sekedar contoh, saat ini,
baik pria ataupun wanita merasa perlu membeli sepatu lebih dari satu. Bukan karena alasan
fungsinya untuk melindungi kaki, tetapi untuk menyesuaikan warna dan style sepatu dengan
corak pakaian yang dikenakan supaya memberi kesan matching, perlente, necis, stylish dan
glamour.
Menurut Subandy,25 prinsip dan modus operandi marketisasi yang dilakukan kaum
kapitalisme lanjut tersebut adalah: Pertama, Memasyarakatkan produk (mass production).
Kedua, Mengemas komoditas dengan penyeragaman cita rasa (homogenization of taste).
Ketiga, Menekan biaya produk serendah-rendahnya (minimization of cost). Keempat,
Standarisasi (standarization). Kelima, diferensiasi (diffenziation). Keenam, Percepatan yang 23
konstan (constan acceleration). Keenam prinsip tersebut pada dasarnya dikemas untuk M
mengelabui seluruh elemen masyarakat agar terjaring dalam pola hidup konsumtif dan O
menghilangkan dimensi kelas sosial dalam komoditas. Disadari atau tidak, di dalam realitas M
E
pragmatis kita, cengkraman keenam prinsip di atas sudah menggurita dan sangat sulit untuk N
kita lepaskan. Sebegitu kuat cengkraman itu, tak ayal jika seluruh lapisan masyarakat menjadi T
U
linglung dan kehilangan dimensi rasionalitasnya. Hilangnya kesadaran inilah yang menjadikan
M
sebagaian besar motif dan orientasi kehidupan masyarakat saat ini terarahkan kepada pola
hidup konsumtif demi mewujudkan gaya hidup sebagai tujuan hidup. Kekhilafan atau
hilangnya rasionalitas dalam diri masyarakat menjadi sangat wajar, karena pada saat ini
komoditas-komoditas yang diproduksi tidak sekedar berupa komoditas primer, seperti
peralatan rumah tangga, pakaian ataupun bahan baku makanan, tetapi bergerak merambah ke
semua lini kehidupan masyarakat yang sekunder dan tersier, mulai dari hunian mewah,
apartemen, real estate, produk kecantikan, obat-obatan, transportasi, wisata, hiburan, berita,
seks, nasihat, gosip, waktu luang (leisure time), hingga produk yang berlabelkan agama. Semua
komoditas ini didesain sedemikian rupa agar menjadi komoditas murah meriah, memiliki
standard penjaminan kualitas, style yang bineka, namun, dengan citra dan cita rasa yang sama,
dalam artian bisa dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat, tanpa mengenal status sosial.
Ketika segala hal dijadikan komoditas, maka dengan sendirinya, seluruh elemen masyarakat
pasti terjerat dalam pola hidup konsumtif.
Celakanya, seiring bergulirnya waktu yang didukung oleh gempuran iklan, komoditas
yang sekunder dan tersier-pun berubah menjadi komoditas primer, alias komoditas yang wajib
disantap demi meningkatkan citra diri dan menonjolkan cita rasa. Karena hal ini, maka semua
25 Idi Subandy (ed), Ecstasy Gaya Hidup (Bandung: Mizan, 1997), 19.
aktivitas masyarakat akan tertuju pada aktivitas konsumsi yang berlebihan. Atas dasar inilah
kenapa aktivitas produksi senantiasa terkalahkan oleh aktivitas konsumsi. Tidak hanya itu, nilai
guna komoditas-pun terkalahkan oleh simbol-simbol kosong, begitu juga dengan kedalaman
makna, terkalahkan oleh penampakan tanda. Pada titik ini, logika komunikasi manusia sudah
tergantikan oleh logika hawa nafsu yang sudah memujud bukan hanya menjadi sistem
pemikiran, tetapi juga menjadi hasrat hidup.26
Terkhusus di Indonesia, fenomena krusial dan dilematis saat ini adalah ketika agama
menjadi komoditas paling sexy yang dikemas dengan balutan sensual gaya hidup populer.
Kedalaman makna-makna doktrin agama tergerus oleh penampakan tanda-tanda estetis yang
glamour. Pesan-pesan etis prophetis tereduksi oleh image-image erotis simulasi media.
Kebangiktan spiritualitas dan ghirah keagamaan senantiasa beriringan dengan kebangkitan
gaya hidup. Oleh karena itu, seperti diungkapkan Idi Subandy, fenomena kebangkitan agama
acap kali hanya mengambang pada level simbolik, sehingga artefak ketakwaan seseorang
terkamuflasekan oleh simbol-simbol, tanda-tanda dan ikon-ikon religi.
Sangat mudah untuk membuktikan fenomena di atas. Kita bisa saksikan bagaimana
munculnya program-program religi, sebut saja, pildacil (pemilihan da’i cilik) dan
khutbahkhutbah keagamaan yang mensimulasikan sosok ustadz dan ustadzah pop yang
pakaiannya menjadi proyek sponsor program. Begitu juga dengan moslem fashion show, iklan
perbangkan syariah, iklan jasa perjalanan haji dan wisata religi. Tidak hanya itu, muncul juga
pendidikan Islami dengan label “Plus“, serta komoditas-komuditas pasar berlabel Islami, mulai 24
dari kerudung gaul, baju koko, peci, sajadah, hingga telepon celuler yang ber-softwear Islami. M
Inilah bagian dari sekian dilema krusial agama yang berkubang di dalam budaya populer. O
M
E
Masyarakat Hipperrealitas N
T
Dalam khazanah intelektual barat, sejarah dan genealogi gagasan masyarakat U
hiperrealitas yang dikaitkan dengan perkembangan teknologi media massa dan realitas M
kebudayaan postmodernitas, tidak bisa lepas dari analisis brilian seorang kritikus media massa,
Marshall Mc Luhan, yang dituangkan ke dalam karyanya, The Gutenberg Galaxy dan
Understanding Media: The Extensions of Man. Melalui kedua karya ini, McLuhan
menganalisis dengan tajam mengenai sejarah, pergeseran fungsi teknologi dan efeknya
terhadap kehidupan manusia. Dalam konteks postmodernitas, pembahasan yang urgen adalah
berkenaan dengan dampak revolusi teknologi, dari mekanik menjadi elektronik.
Tidak bisa kita sangkal bahwa revolusi teknologi, dari teknologi mekanik menjadi
teknologi elektronik merupakan peristiwa sejarah intelektual manusia yang mampu mengubah
pola dan tatanan hidup manusia secara keseluruhan. Disadari atau tidak, revolusi teknologi ini
bukan semata-mata merubah bentuk fisik mesin-mesin teknologi tersebut, -dari manual
menjadi digital- tetapi juga merubah peran dan fungsi teknologi itu sendiri. Menurut McLuhan,
teknologi mekanik yang berfungsi sebagai “perpanjangan tangan manusia”, kini telah digeser
26 Logika komunikatif (communicative logic) adalah logika yang dicetuskan oleh Habermas sebagai
antithesis dari binary opposition logic (logika oposisi bener) atau logika menang kalah yang diusung oleh
Descartes. Dalam logika komunikatif, segala hal perlu dipikirkan dan diwacanakan dalam suatu proses dialogis
untuk menemukan nilai-nilai esensial. Adapun logika hawa nafsu (desire logic) dikembangkan oleh Singmund
Frued, yang menganggap bahwa aktivitas manusia selalu terarahkan untuk pemenuhan hasrat.
oleh fungsi teknologi elektronik, yaitu sebagai “perpanjangan jaringan saraf manusia”. Mesin-
mesin teknologi mekanis yang berotot besi dan bertulang baja hanya bekerja menggantikan
tangan manusia, karena ia harus diperintah secara manual. Berbeda dengan mesin-mesin
berteknologi elektronik yang memiliki daya respek dan respon digital. Dengan kemampuan ini,
robot-robot teknologi elektronik mampu mengerjakan segala hal secara otomatis dan network,
tak ubahnya dengan kinerja jaringan kompleks syaraf manusia. McLuhan sendiri menyebut
revolusi teknologis ini dengan automation or cybernation revolution.27 Artefak nyata dari
teknologi elektronik ini bisa kita lihat dalam wujud telepon, radio, televisi dan computer.
McLuhan sangat optimis bahwa revolusi teknologi tersebut akan berdampak positif bagi
kehidupan manusia, khususnya dalam perubahan pola komunikasi dan relasi manusia. Revolusi
ini telah memungkinkan setiap insan berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain tanpa
tersekat oleh batas-batas geografis, begitu juga dengan kendala waktu. Atas dasar ini, ia
mengungkapkan bahwa realitas dunia yang terhampar luas menjadi pulau dan benua serta
tersekat oleh samudra dan selat, kini tidak ubahnya sebuah desa buana atau Global Vilage.
Sebuah perkampungan mungil dimana setiap orang bisa saling bercengkrama, bertransaksi dan
berkomunikasi dengan fasilitas teknologi.
Optimisme McLuhan tidak bisa disepelekan, karena pada faktanya hal ini terbuki dalam
realitas keseharian kita. Dengan adanya jaringan internet misalnya, kita bisa berkomunikasi
secara face to face seolah menafikan adanya sekat geografis. Begitu juga dengan televisi, kita
bisa menyaksikan aneka rangkaian peristiwa dunia, termasuk yang terjadi di ujung benua. 25
ketinggalan juga dengan kaum Elitis (Elite without power) yang mempergunakannya untuk
membangun pencitraan agar memperoleh simpati dan otoritas publik.28
Daya magnetik teknologi media telah dimonopoli oleh kapitalisme lanjut untuk
melakukan marketisasi komoditas ekonomi dan menjebak masyarakat ke dalam jeruji
konsumerisme. Modus operandinya adalah dengan cara membuat ruang-ruang simulasi
(simulacra) yang di dalamnya komoditas-komoditas di-display layaknya barang-barang
surgawi yang patut dinikmati. Di dalam ruang-ruang tersebut rasionalitas dan kesadaran kita
digantikan oleh logika hawa nafsu yang terus dikumandangkan melalui corong-corong media
massa dalam wujud iklan. Di dalam logika tersebut, manusia tidak diposisikan sebagai “subjek
kreasi”, tetapi ditempatkan sebagai “objek pasif” komoditas ekonomi. Tegasnya, posisi
manusia ditempatkan sebagai budak komoditas. Wujud nyata dari efek dominan logika ini bisa
kita saksikan dalam realitas kehidupan pragmatis kita. Dengan gencarnya iklan (infomercial)
dan infotainment yang berbasis gossip, dewasa ini setiap orang merasa butuh sepatu, sandal, tas
dan assesoris baru hanya sekedar untuk mencocokan dengan warna baju. Para pria merasa
perlu membeli sepeda motor sport sekalipun bukan pembalap dan harus membayarnya dengan
cara kredit. Para wanita merasa perlu informasi bagaimana para selebriti merawat tubuh, kuku
dan bahkan cara menghilangkan bulu ketiak. Semua itu bukti nyata daya pikat iklan yang
ditayangkan di media. Menyesatkan, namun terasa tiupan angin segar di kepanasan. Tidak aneh
jika Chaney mengatakan iklan sebagai penampakan luar yang menyesatkan (illusory surface)
penuh guna-guna agar subjeknya terpana. 26
28 Darmanto Jatman, “Pluralisme Media dalam Era Imagology” dalam Life style Ectasy. ed. Idi Subandy
Ibrahim (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), 84.
29 Jean Baudrillard dan Umberto Eco adalah dua tokoh sentral yang berbicara masalah Hiper-Reality.
Keduanya hidup sejaman dan menulis tema yang sama dalam periode bersamaan pula. Namun, antara keduanya
tidak ada tulisan yang saling mengkritik sehingga mengesankan saling tidak tahu. Untuk melihat perbedaan
signifikan antara keduanya, lihat Yasraf Amir Piliang, Posrealitas: Realitas Kebudayaan Dalam Era
Posmetafisika (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), 58-59.
30 Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan
Matinya Postmodernisme (Bandung: Mizan, 1998),16
mewujud menjadi instrument pokok kesadaran masyarakat. Dengan logika ini, seluruh
elemen masyarakat secara otomatis dan spontan terdorong untuk mengoptimalkan
perawatan dan estetisasi tubuh, sekalipun dengan teknik-teknik yang berlebihan. Sebut
saja, operasi plastik, inplan, silikon, tato, sulam alis atau bibir, sedot lemak dan lain
sebagainya. Di Korea Selatan misalnya, 70 persen dari pemudinya diarahkan untuk
melakukan estetisasi wajah dengan cara bedah operasi plastik. Tujuannya, selain agar
tampak good looking dan funny, juga agar mudah diterima kerja di perkantoran.
Fenomena ini menunjukan kepada kita bahwa bersolek tidak semata-mata alasan
pribadi, tetapi juga dikarenakan gaya hidup populer sudah menggurita hingga ke
sistem dan struktur sosial dimana setiap orang sulit keluar darinya. Maka tidak
mengherankan jika suatu saat di setiap pintu gerbang kantor akan tertera tulisan “Sexy
and Beautiful Only”.
Fenomena massal hypercare bukan hanya dominasi kalangan muda, tetapi
mewabah pula di kalangan lansia. Di Indonesia baru-baru ini muncul anti-aging
movement (gerakan anti penuaan) dengan slogannya Growing Older Without Aging;
Sweet 18, Sweet 81; Change or Die Early?. Gerakan massal yang icon kecantikannya
diwakili oleh Deby Susanty Vinski ini, melakukan perawatan dan estetisasi tubuh
untuk melawan penuaan dengan mengkonsumsi suplemen-suplemen anti
penuaan,kosmetik dan suntik hormon yang bahan dasarnya berasal dari embrio atau
janin bayi yang diektrak (Exstract of Whole Embryo). Mereka merasa malu jika 27
terlihat tua, cerewet, dan keriput. Oleh karena itu, mereka melakukan perawatan dan M
estetisasi tubuh yang berlebihan demi mengkonstrusi citra barunya sebagai sosok yang O
cantik, muda, vitalitas tinggi dan tetap produktif.31 M
E
2. Hypercomodity N
T
Keberhasilan kapitalisme lanjut meleburkan budaya populer ke dalam budaya U
massa berdampak kepada pemusnahan kelas yang tersembunyi di balik komoditas. M
Saat ini komoditas yang dianggap mewah, bukan lagi menjadi hak monopoli kaum
borjuasi, tetapi bisa dikonsumsi oleh siapapun. Kepemilikan telepon seluler, sepeda
motor dan mobil, bisa menjadi ilustrasi faktual akan kondisi ini. Jika dulu telepon
seluler, sepeda motor dan mobil dianggap sebagai prestige kaum elitis, saat ini setiap
orang bisa mengkonsumsinya. Hal ini dikarenakan ketiga produk tersebut sengaja
dijadikan komoditas pasar yang melimpah tanpa kelas, bisa diperoleh dengan harga
murah, dan bahkan bisa dibayar secara kredit.
3. Hypercomsumption
Mengguritanya budaya popular ke dalam struktur dan sistem sosial menyebabkan
motif dan orientasi masyarakat secara organisasional terarahkan kepada aktivitas
konsumsi yang berlebihan. Dalam konteks ini, seluruh elemen masyarakat terjebak
secara sistemik ke dalam totalitas penghambaan komoditas. Eksistensi kedirian
manusia dengan sendirinya tereduksi oleh nilai material, karena manusia sudah
menjadi objek komoditas. Di dalam rutinitas dan ritualitas keseharian, kita bisa
31 Untuk mengetahui secara jelas Anti-Aging Movement di Indonesia, lihat. Mahesa Mandiraatmaja,
Gerakan Anti Penuaan: Politik Identitas Usia Lanjut Dalam Konstruksi Medis (Disertasi UGM, 2012).
segala bentuk interaksi sosial dan berbagai aktivitasnya selalu diukur oleh pundipundi
M
ekonomi. Nilai-nilai ekonomis inilah yang menyebabkan kepekaan seluruh elemen O
masyarakat selalu tertuju untuk pemenuhan hasrat duniawi. Maka dari itu, tidak M
E
mengherankan jika totalitas aktivitas masyarakat saat ini diarahkan
N
untukmengoptimalkan kepuasan indrawi (hypersensibility). T
U
6. Hypersexuality M
Problematika postmodernitas yang efek negatifnya bersinggungan langsung dengan
masalah etika dan agama adalah hypersexuality. Gempuran media massa (utamanya
media internet) yang bisa diakses langsung oleh siapapun dan tanpa ada sensor dari
otoritas tertentu, telah mengubah wajah sex yang tabu menjadi komoditas nafsu yang
paling laku. Aktivitas seksual yang sangat privatif kini diumbar dan diarak ke
khayayak publik tanpa rasa malu. Homosexual, lesbi, pedopilia, masokisme, sadism,
dildoisme, senam sex, dan pil-pil penambah stamina pria dan wanita, sudah menjamur
menjadi konsumsi yang siap saji di warung-warung maya informatika.
7. Hyperspace
Kecerdikan kaum kapital yang memanfaatkan media sebagai sarana untuk
membuat ruang-ruang simulasi demi mengeruk pundi-pundi ekonomi, kini menjamur
di berbagai negeri, tidak terkecuali Indonesia. Taman-taman wisata, taman-taman
pintar, arena pacuan, sarana out bound, bioskop, dunia fantasi, video games, serta
makam dan situs religi, merupakan ruang-ruang simulasi baru yang menjadi lahan
bisnis waktu luang (leisure time). Semua ruang ini didesain se-estetis mungkin agar
bisa dirasakan seolah menjadi bagian dari realitas eksistensial kita. Ruang-ruang yang
didesains seindah nirwana ini, mampu menyedot animo masyarakat karena menjadi
Diriwayatkan oleh Muslim bahwa suatu ketika nabi Muhamamad SAW pernah bersabda M
"Islam itu dimulai dalam keadaan asing, dan suatu saat akan kembali menjadi asing. Maka O
beruntunglah orang-orang yang berpegang teguh kepada yang asing tersebut". Tentunya M
E
banyak ulama yang menginterpretasikan maksud dan makna sabda tersebut. Namun, bila N
dikaitkan dengan kondisi postmodernitas dimana budaya popular menganga, menurut hemat T
penulis, kata “asing” yang dimaksudkan bukan berarti agama Islam menjadi agama minoritas U
M
atau secara kuantitatif dianut oleh sekelompok kecil umat, seperti pada awal kelahirannya di
jazirah Mekah. Tetapi, agama Islam akan dijadikan agama populer yang biasa mengisi setiap
ruang-ruang kehidupan manusia, terlebih ruang media masa atau simulacra. Meskipun
demikian, secara kualitatif doktrin esensial agama Islam menjadi sesuatu hal yang asing bagi
masyarakat postmodern. Tegasnya, asing di dalam pengat kerumunan umat yang hanyut dalam
pemuasan hasrat duniawiah. Hanya segelintir umat yang memahami dan tetap berpegang erat
kepada risalah kenabian sang juru selamat, baginda Muhammad SAW.
Apa yang sebenarnya menjadi esensi doktrin Islam dalam kaitannya dengan kehidupan
manusia? Bila kita teliti lebih cermat, pada dasarnya ada dua tema esensial yang digaungkan
oleh doktrin Islam yaitu, humanisme (memanusiakan manusia) dan totalitas penghambaan
umat kepada sang Esa (Tauhid). Humanisme berkaitan erat dengan gerakan pembebasan
manusia dari segala bentuk penindasan, kesetaran derajat manusia, dan ukhuwah al-insaniyah
(persaudaraan umat manusia). Di jazirah Mekah ketika itu, humanisme merupakan barang
langka, oleh karenanya, Islam yang mengusung humanisme dianggap sebagai barang asing
yang mengancam budaya patriarkal jahiliyah, dan karenanya pula diasingkan oleh para pemuka
tanah Ka’bah. Adapun Tauhid berkaitan dengan penghapusan perbudakan massal dan
penghambaan plural. Dalam konteks ini, para budak yang diharuskan menuhankan tuannya,
dan para tuan yang menuhankan banyak tuhan, oleh Islam diganti dengan penuhanan dan
kali hanya sebatas basa basi khutbah yang terus diproduksi dan disimulasikan melalui layar- M
layar televisi setiap pagi. Karena di era ini setiap gerak langkah individu senantiasa terjerat O
dalam jejaring gaya hidup hedonistik-materialistik, maka menjadi lumrah jika tujuan hidupnya M
E
bukan terarah demi totalitas penghambaan kepada kemanunggalan Tuhan, tetapi untuk meraih N
pencitraan diri yang abstrak. Pencitraan yang abstrak inilah yang sebenarnya menjadi basis dan T
keyakinan metafisis masyarakat hiperrealitas. Sangat tepat jika Milan Kundera menamai abad U
M
ini dengan abad imagologi, alias erapencitraan.
Inilah kenapa doktrin Islam selalu menyuruh kita untuk melakukan refleksi atas diri dan
realitas kehidupan sekelilingnya. Renungan filosofis agar kita tidak hanyut di dalam jeruji-
jeruji realitas simulasi (jala simulacra). Agar kita senantiasa sadar diri, dan tidak lalai dalam
memaknai humanisme dan menuhankan Tuhan yang Maha Tunggal, seperti diungkapkan oleh
Ali bin Abi Thalib “Barang siapa yang mengetahui dirinya maka ia akan mengetahui
Tuhannya, dan barang siapa yang mengetahui Tuhannya maka ia akan senantiasa merasa
bodoh”. Tuhan sendiri telah mewanti-wanti manusia dalam surat al-An'Am: 32, al-Ankabut:
64, dan Muhammad: 36. “Dunia ini hanya sekedar permainan dan canda gurau”. Dalam
konteks postmodernitas, dunia hanya panggung permainan gaya hidup dan komoditas missal
yang terus disuguhkan dan dijadikan bahan candaan atau gosip murahan komunitas
hiperrealitas. Hanya orang-orang yang memahami bahwa dunia hanya sebatas simulasi
permainanlah yang akan selamat, yaitu orang-orang yang dalam kehidupan praktisnya berjalan
dalam rel-rel esensial humanisme dan ketauhidan. Orang-orang yang oleh Allah diidentifikasi
dengan Muttaqin (orang-orang takwa). Orang-orang inilah yang akan menjadi komunitas asing
di tengah hiruk pikuk aktivitas over-konsumtif masyarakat hiper-realitas. Bagaimana dengan
kita, apa termasuk komunitas asing tersebut? Hanya diri kita sendirilah yang bisa menilai.
Daftar Pustaka
Baudrillad, Jean, Simulations. Edisi Inggris diterjemahkan oleh Paul Foss, Paul Patton and
Philip Beitchman, USA, 1983.
______________ The Ecstasy of Communication, New York: Semiotext[e], 1987)
Chaney, David, Lifestyles: Sebuah Pengantar Komprehensif, terj. Nuraeni. Yogyakarta:
Jalasutra, 2008.
Eco, Umberto, Tamasya Dalam Hiperealitas, terj Iskandar Zulkarnaen. Yogyakarta: Jalasutra,
2008.
Ewen, Stuar, Captains of Consciousness: Advertising and the Social Root of the Consumer
Culture. New York: McGraw Hill, 1976.
Harvey, David, The condition of Postmodernity: An Enquiry into the Origins of Cultural
Change. Blackwell: Oxford, 1989.
Ibrahim, Subandy, Idi, Life Style Ecstasy. Yogyakarta: Jalasutra, 2009.
Mahzar, Armahedi, Revolusi Integralisme Islam. Bandung: Mizan, 2004.
Mandiraatmaja, Mahesa, Gerakan Anti Penuaan: Politik Identitas Usia Lanjut Dalam
Konstruksi Medis. Disertasi UGM, 2012.
MacDonald, “A Theory of Mass Culture” dalam Mass Culture. Ed. Rojek, et. al., Glencoe:
Free Press, 1957.
McLuhan, Marshal, The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic. Canada: University 31
of Toronto Press, 1962.
M
_______________ Understanding Media: The Extensions of Man. London: Sphere Books Ltd,
O
1964. M
Piliang, Amir, Yasraf, Dunia Yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga E
N
dan Matinya Postmodernisme. Bandung: Mizan, 1998.
T
_________________ Hipersemiotika: Tafsir Cultiral Studies Atas Matinya Makna. U
Yogyakarta: Jalasutra, 2003. M
Oleh
Hendro Juwono, Agus Sultoni
Hadiqoh Asmuni dan Vaesol Wahyu⃰
Abstrak
Pendahuluan 32
Masalah kemiskinan merupakan salah satu masalah konvensional, namun masih relevan M
untuk didiskusikan karena permasalahannya yang terus meningkat dan semakin kompleks. O
M
Salah satu kelompok masyarakat yang termasuk dalam kemiskinan adalah perempuan. Secara E
statistik, perempuan di Indonesia jumlahnya lebih tinggi dari pada jumlah pria, namun N
kesempatan untuk menerima pembangunan masih dirasakan berbeda. Dalam hal pendidikan, T
U
jumlah perempuan buta huruf dua kali lipat lebih besar dibanding dengan laki-laki. Jumlah ini M
menjadi lebih besar jika dilihat di dusun dan desa terpencil yang akses untuk memperoleh
informasi masih terbatas. Pada sektor kesehatan, perempuan lebih mudah mengalami masalah
kesehatan karena perempuan secara kodrati memiliki alat reproduksi yang berhubungan dengan
kehamilan dan melahirkan. Di bidang pekerjaan, tenaga kerja perempuan yang terserap di
dunia kerja 45,6 %, sedangkan pria 73,5 %.1 Di sektor ekonomi Pusdatin Departemen Sosial,
mencatat data tentang jumlah wanita rawan sosial ekonomi (WRSE) terus bertambah. Pada
tahun 2000 sebanyak 1.360.263 dan pada tahun 2002 berjumlah 1.449.203, bertambah sekitar
6.53 % dalam kurun waktu dua tahun. Wanita Rawan Sosial Ekonomi adalah seorang wanita
dewasa usia 18-59 tahun baik yang belu/sudah menikah/janda yang mempunyai penghasilan
namun belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.2
Telah banyak program dan proyek yang dilaksanakan guna menanggulangi masalah
kemiskinan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swadaya masyarakat. Namun
program tersebut belum memberikan hasil yang diinginkan. Sejak tahun 1948 sampai 2006,
tidak kurang dari 29 jenis program yang diluncurkan oleh Pemerintah untuk menanggulangi
Plan. Metode Diskusi dengan pendekatan ORID (Objektif, Reflektif, Interpretatif, dan M
Desisional). Metode ini merupakan suatu alat untuk mengajak orang berdiskusi mulai dari O
tahap yang sederhana sampai pada tahap pengambilan keputusan terhadap suatu objek. Metode M
E
Workshop adalah suatu teknik yang digunakan untuk mengambil keputusan dalam kelompok. N
Metode ini digunakan untuk mengajak seluruh kelompok mencurahkan ide melalui individu T
U
kemudian perkelompok kecil, dan pada akhirnya seluruh peserta. Metode Action Plan, yaitu
M
suatu teknik dalam menyusun rencana program yang dirinci secara detail oleh kelompok.
Melalui ToP WRSE yang menjadi subjek penelitian diajak untuk merencanakan program
pengentasan kemiskinan yang dihadapinya dengan sumber daya yang mereka miliki.
Kondisi sosial masyarakat Desa Sarimulyo cukup baik. Hal ini nampak dengan adanya
pranata-pranata sosial seperti kelompok pengajian, kelompok arisan yang mewadahi partisipasi
masyarakat dan kekerabatan warga. Kelembagaan ekonomi juga tersedia dengan adanya
koperasi, sebuah kelompok simpan pinjam. Namun lembaga-lembaga ekonomi tersebut belum
dapat mewadahi seluruh warga miskin, apalagi WRSE, sehingga masih banyak WRSE yang
mempunyai usaha skala mikro yang belum tersentuh program bantuan ekonomi. Kalaupun ada
namun sifatnya masih pemberian ’bantuan’, seperti pemberian Bantuan Langsung Tunai
(BLT), infak, zakat, dan hadiah. Program tersebut tidak mengajak mereka untuk berdialog,
tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk mengekspresikan perasaannya,
kebutuhannya, apalagi rencana hidupnya di masa mendatang.
Begitu pula dengan gencarnya program penanganan kemiskinan, namun sifatnya masih
reaktif dan tidak substansial. Oleh karena itu masalah kemiskinan bukan berkurang, tetapi
semakin kompleks. Masalah tersebut semakin dirasakan terutama oleh kelompok miskin
perempuan. Perempuan yang paling merasakan dampak kemiskinan keluarganya, karena selain
mengalami serba kekurangan dia juga harus mengalami tindak kekerasan. Dalam program
pengentasan kemiskinan, perempuan miskin hampir dilupakan keberadaannya, kalaupun ada
hanya sebagai pelengkap untuk memenuhi persyaratan di dalam pengarusutamaan jender. Pada
titik inilah masalahnya, yaitu bagaimana penerapan Technolgy of Partisipatory (ToP) dalam
pemberdayaan Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE) di desa Sarimulyo Kecamatan Cluring
bisa diaplikasikan.
Metode Penelitian
a. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode participatory action research. Mengacu pada
pendapat Chris Argyris and Donald Schon dalam Dictionary Qualitative Inquiry (1997)
bahwa Action research adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk melakukan
perubahan pada organisasi dan masyarakat. Dalam penelitian ini perubahan diarahkan
WRSE. Perubahan tersebut diharapkan bisa dicapai melalui serangkaian kegiatan yang
dilakukan bersama antara peneliti dengan subjek penelitian sedangkan participatory, 34
menjadi tekanan utama dalam penelitian ini. Melalui pelibatan subjek (WRSE) dalam M
setiap tahap penelitian, diharapkan subjek penelitian tidak hanya sekedar ikut-ikutan O
kegiatan penelitian, tetapi tercipta pemaknaan dan kesadaran untuk merasa memiliki M
E
dan bertanggung jawab terhadap program yang disusun. N
Action research participatory, apabila mengacu pada pendapat Yoland6 T
U
dikembangkan dalam bentuk spiral sebagai siklus dari perencanaan,
M
kegiatan/implementasi, evaluasi, refleksi. Action research participatory dalam
penelitian ini apabila digambarkan dalam diagram akan tampak seperti berikut:
6 Yoland Wadsworth, Everyday Evaluation On The Run (Melbourne: Action Research Issues Association
(Incorporated), 1991).
Tahap 1 : Tahap 2 :
Identifikasi kebutuhan program Menyusun Rencana Program
melalui kegiatan: pengumpulan Pemberdayaan bersama WRSE
data tentang masalah, prioritas dengan menggunakan ToP(Juli-
masalah dan sumber daya yang Agst’12)
dimiliki WRSE (bulan Juni’12)
Tahap 3 :
Implementasi program
Tahap 5 : Pemberdayaan WRSE dengan
Refleksi tentang penerapan ToP berdasar pada hasil ToP
dalam Program Pember-dayaan (Agst-Sept’12)
WRSE (Sept ’12)
Tahap 4 :
Evaluasi (Sept’12)
Diagram 2 :
35
Siklus action research participatory Program Pemberdayaan WRSE
M
O
Action research participatory yang dilakukan diawali dengan tahap identifikasi M
masalah dan sumber. Hal ini dilakukan karena penyusunan rencana dilakukan berdasar E
N
kepada masalah dan sumber daya yang dimiliki subjek penelitian. T
U
b. Pendekatan M
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Pendekatan ini
digunakan untuk memahami WRSE yang sangat unik dengan memposisikan anggota
WRSE sebagai subjek penelitian dan pelaksana utama dalam keseluruhan proses.
Pelibatan subjek penelitan dalam kegiatan bersama akan lebih bermakna apabila
digambarkan secara kualitatif. Dengan pendekatan ini peneliti bersama subjek
penelitian akan memperoleh penghayatan, pengalaman, pemahaman, dan pemberian arti
pada keseluruhan proses penelitian.
c. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah WRSE, yaitu seorang wanita yang belum atau
telah menikah atau janda yang berperan sebagai pencari nafkah utama atau pembantu
pencari nafkah keluarga yang penghasilannya tidak cukup untuk kebutuhan pokok
sehari-hari. Setiap WRSE secara individu menjadi kajian analisis, sehingga setiap
individu bisa dilihat perubahan keberdayaannya.
petugas Keluarga Berencana di Desa Sarimulyo ledakan penduduk yang sangat kecil ini
adalah disebabkan keberhasilan pemerintah dalam melaksanakan program KB (keluarga
berencana). Di Desa Sarimulyo terdapat 2400 KK (kepala keluarga) dan terbagi atas 45
RT dan 12 RW.
Jumlah
Th. 2010 Th. 2011 Selisih
Jumlah penduduk laki-laki 2.802 2.756 46
Jumlah penduduk perempuan 3.049 3.029 20
Total jumlah penduduk 5.851 5.835 66
Jenis Kelamin
Kelompok umur
Laki-laki Perempuan
0-12 bulan 25 30
1-5 tahun 98 129
7-18 tahun 489 493
18-56 1378 1525
75< 121 219
Sumber: Profil Desa Sarimulyo 2011
Sarana pendidikan yang ada di Desa Sarimulyo yaitu 4 buah Taman Kanak-kanak
(TK), 8 buah Sekolah Dasar (SD), 2 buah SMP, 1 buah SMA. Jika dilihat dari tingkat
pendidikannya sebagian besar masyarakat Desa Sarimulyo tamatan SMP/sederajat. Pada
tahun 2011, penduduk Desa Sarimulyo yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan SD
berjumlah 203 orang, tamat SMP sebanyak 1240 orang, tamat SMA 744 orang dan yang
melanjutkan hingga perguruan tinggi sebanyak 808 orang. Selain Sekolah dasar dan
sekolah menengah di Sarimulyo juga terdapat 2 buah perguruan tinggi swasta.
c. Ekonomi
Dengan tingkat pendidikan yang tergolong rendah (tamatan SMP/sederajat) sebagian
39
besar (42,5 %) penduduk Desa Sarimulyo bekerja sebagai buruh tani dan sisanya bekerja
sebagai petani, pengrajin industri rumah tangga, karyawan perusahaan swasta, PNS, M
O
tukang batu, dan peternak (Tabel 5). Pendapatan masyarakat Sarimulyo selain diperoleh M
dari hasil menaman padi dan tanaman pangan lainnya juga di peroleh dari tanaman biji- E
bijian seperti jeruk seluas 2 ha dengan penghasilan 6 ton/ha dan semangka seluas 1 ha N
T
yang menghasilkan 4 ton/ha. Sektor perkebunan juga memberi kontribusi terhadap U
perekonomian penduduk, perkebunan berasal dari tanaman kelapa (luas 0,5 ha) dengan M
hasil 4 kw dan tembakau (0,5 ha) menghasilkan 2 kw. Untuk sektor peternakan, usaha
yang berkembang di desa Sarimulyo adalah ternak sapi (164 ekor), kerbau (4 ekor), ayam
kampung (8470 ekor), ayam broiler (1000 ekor), bebek (225 ekor), kambing (59 ekor)
dan angsa (40 ekor). Industri rumah tangga yang berkembang di Desa Sarimulyo adalah
usaha mebel, usaha anyaman, usaha kue, usaha jahitan, dan rias penganten. Usaha
anyaman meliputi anyaman lidi dan anyaman godong yang digunakan sebagai tempat
pindang. Pendapatan yang diperoleh dari usaha anyaman godong ini relatif rendah sehari
hanya bisa menghasilkan uang maksimal Rp. 6.000 itu pun kalau bekerja tanpa ada
halangan kalau ada halangan pendapatan bisa kurang dari itu. Untuk usaha pembuatan
kue merupakan pekerjaan musiman, usaha ini berjalan pada bulan-bulan menjelang hari
raya, setelah hari raya pendapatan dari usaha ini relatif menurun. Usaha mebel
menghasilkan produk berupa meja kursi, almari, pintu dan kusen.
Tabel 5. Mata pencaharian pokok
Jenis Pekerjaan N %
Petani 1.354 30
Buruh tani 1.912 42,5
PNS 217 4,8
terutama untuk dijadikan sebagai pembantu rumah tangga, pengasuh/perawat balita dan
manula. Para laki-laki yang bekerja ke luar negeri biasanya bekerja di pabrik atau
sebagai sopir.
Berdasarkan tingkat kesejahteraannya penduduk Desa Sarimulyo terbagi menjadi dua
kategori yaitu keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera. Keluarga sejahtera sendiri
dibagi menjadi empat yaitu keluarga sejahtera 1, 2, 3 dan 3 plus. Warga yang termasuk
dalam keluarga prasejahtera berjumlah 117 keluarga, sedangkan yang masuk dalam
kategori sejahtera 1 berjumlah 543 keluarga, sejahtera 2 berjumlah 1.327 keluarga,
sejahtera 3 berjumlah 115 keluarga dan sejahtera 3 plus berjumlah 310 keluarga.
Kesejahteraan masyarakat banyak terbantu oleh unit simpan pinjam yang ada di Desa
Sarimulyo yaitu terdapat 2 unit Koperasi Simpan Pinjam, 2 unit kelompok simpan
pinjam, serta 1 unit Bumdes. Unit simpan pinjam diperuntukkan bagi kelompok
masyarakat yang memiliki usaha mikro seperti usaha godong, usaha pupuk organik,
petani sayur, kerajinan lidi dan kue, ternak sapi dan dana sosial bagi para buruh dan
RTM.
d. Organisasi Sosial dan Keagamaan
Kehidupan sosial masyarakat Desa Sarimulyo diantaranya PKK, kelompok tani,
kelompok pengajian bagi ibu-ibu dan bapak-bapak, istigosah, santunan yatim piatu dan
Batsul Masail. Batsul masail adalah pembahasan masalah-masalah fiqih yang dilakukan
41
oleh warga NU. Masalah yang dibahas dalam forum ini adalah masalah yang
memerlukan penanganan khusus yang belum ditemukan norma hukumnya serta masalah- M
O
masalah kontemporer. Majlis Batsul Masail bertempat dimasjid secara bergantian antar M
dusun yang ada di wilayah Desa Sarimulyo. Di Sarimulyo sendiri terdapat 10 buah E
masjid dan 44 buah mushola. Batsul masail dilaksanakan secara bergilir 40 hari sekali. N
T
Untuk santunan anak yatim dilaksanakan setiap bulan muharam (suro) setiap tahunnya. U
Pengajian bagi ibu-ibu dan bapak-bapak meliputi pengajian muslimat, yasinan, dzikru M
fida’, Nariyah, dan istigosah. Kelompok tani/kelompok masyarakat (PokMas) terdiri atas
Rukun Jaya yang memiliki kegiatan membuat godong, Sukses Makmur kegiatannya
membuat pupuk organic, Sido Muncul merupakan perkumpulan bagi petani sayur, Usaha
Kita merupakan kelompok masyarakat pembuat kerajinan dari lidi dan pembuat kue, dan
kelompok peternak sapi brangus bergerak dalam pembudidayaan sapi. PKK memiliki
kegiatan berupa Posyandu yang dilaksanakan setiap minggu sekali dan Dasawisma.
e. Sejarah
Pada awalnya wilayah Desa Sarimulyo secara administrative merupakan bagian dari
desa Sraten Kecamatan Cluring, karena dianggab terlalu luas maka dipecah dan
didirikanlah Desa Sarimulyo. Berbeda dengan Desa Sraten yang kebanyakan
penduduknya suku using, penduduk Sarimulyo seluruhnya termasuk suku Jawa dan
menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa kesehariannya.
f. Kehidupan Budaya
Kehidupan budaya di Desa Sarimulyo sudah mulai berganti dengan budaya modern.
Selamatan merupakan budaya yang masih dijalankan oleh penduduk Desa Sarimulyo
karena dianggab sebagai warisan leluhur yang harus dilestarikan. Masyarakat Desa
Sarimulyo melakukan ritual selamatan untuk berbagai peristiwa yaitu selamatan daur
hidup (kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian), peringatan hari besar (sura,
syawal, Mulud, Besar) hingga selamatan yang berkaitan dengan lingkungan. Selamatan
3, 7, 40, 100 hari bagi orang meninggal yang dilanjutkan dengan selamatan “mendhak
pisan”, “mendhak pindho” dan 1000 hari. Selamatan ini sebenarnya warisan dari budaya
Hindu yang masih ada hingga sekarang dengan dimasuki nilai-nilai islami. Budaya
bernuansa islami yang masih ada hingga sekarang adalah mengarak kembang telur yang
ditancapkan ke pohon pisang dan diarak keseluruh dusun diiringi dengan tabuhan rebana
pada saat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.
mereka untuk MCK (Mandi, Cuci, Kakus). Aliran irigasi tersebut sebenarnya ditujukan untuk M
pengairan sawah bukan untuk kegiatan rumah tangga. Di sepanjang aliran sungai tersebut juga O
banyak di jumpai tempat-tempat yang memang sengaja disediakan untuk aktivitas MCK dan M
E
dibuat dengan sangat sederhana (terbuat dari daun pisang yang sudah kering/klaras dan N
lembaran plastik). Selain digunakan untuk kegiatan MCK aliran sungai juga dimanfaatkan oleh T
warga untuk menggembala bebek. Sarana air bersih sebenarnya sudah dimiliki oleh sebagian U
M
warga yaitu berupa sumur galian namun belum dimanfaatkan secara optimal. Untuk sarana
jalan dusun, tergolong masih buruk. Sebenarnya akses jalan menuju Dusun Pandansari sudah
beraspal namun kurang terawat dengan baik akibatnya jalan banyak yang berlubang dan rusak
berat sehingga menyebabkan kurang nyaman untuk dilalui. Sarana penerangan/listrik sudah
masuk dusun dan pemanfaatannya sudah berjalan namun untuk penerangan jalan masih relative
kurang. Rumah warga sebagian besar juga sudah baik yaitu bangunan permanen, berdinding
semen dan beratapkan genteng namun masih ada beberapa yang memiliki rumah semi
permanen yaitu berdinding anyaman bambu dan beratapkan genteng.
Selain di Pandansari WRSE juga banyak di jumpai di dusun Cempokosari. Dusun
Cempokosari ini memiliki wilayah yang cukup luas, sebagian wilayahnya dilintasi oleh jalan
provinsi, dan sebagian lagi berada lebih kedalam jauh dari akses jalan raya. Jika dilihat lebih
dalam, di dusun Cempokosari ini masih terlihat adanya kesenjangan kesejahteraan
penduduknya. Bagi penduduk yang tinggal di tepi jalan raya pada umumnya memiliki tingkat
kesejahteraan yang lebih baik, karena mereka dapat memanfaatkan tanah PJKA untuk tempat
berbisnis seperti membuka warnet, pertokoan, mini market, jasa travel, salon dan sekolah.
Meskipun demikian dibalik rumah dan gedung-gedung megah tersebut juga masih terdapat
WRSE.
Pada tahap I penelitian dilakukan identifikasi kebutuhan program melalui FGD dengan
para WRSE. Penentuan WRSE sebagai subyek penelitian dilakukan atas dasar rekomendasi
dari kepala dusun dan atas kemauannya sendiri. Peneliti melakukan FGD di dua tempat yaitu di
Dusun Cempokosari bagi warga Cempokosari dan di Dusun Pandansari bagi warga Pandansari.
Alasan untuk melakukan FGD di dua tempat didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu:
tempat kedua dusun tersebut relative berjauhan dan dipisahkan oleh sawah, warga masing-
masing dusun juga sama-sama tidak mau untuk di jadikan satu pekumpulan. FGD bagi warga
Pandansari dilaksanakan di rumah Bapak Kepala Dusun Pandansari yaitu Bapak Agus Salim
dan FGD bagi WRSE warga Cempokosari dilaksanakan di rumah Bapak Kepala Dusun
Cempokosari. Hasil observasi pada saat FGD 1 terlihat bahwa proses diskusi berjalan dengan
baik meskipun para WRSE pada awalnya masih malu-malu dalam mengutarakan permasalahan
yang dimilikinya khususnya yang berhubungan dengan masalah ekonomi sehingga harus
senantiasa dipancing oleh fasilitator. Setiap peserta diskusi mendapat kesempatan yang sama
untuk menyampaikan uneg-unegnya meskipun banyak diantaranya yang terkesan masih malu
dalam berbicara.
Kepala dusun memberikan undangan kepada 30 orang WRSE untuk mengikuti acara
FGD, akan tetapi yang dapat menghadiri acara FGD hanya 16 orang WRSE. Hasil FGD 1 bagi
warga dusun Pandansari, diperoleh data bahwa dari 16 orang WRSE yang terlibat dalam
diskusi semuanya ingin meningkatkan taraf hidupnya menjadi yang lebih baik melalui
wirausaha namun belum bisa merealisasikan karena kendala modal. Meskipun di Desa
Sarimulyo terdapat unit simpan pinjam namun belum bisa menjawab permasalahan mereka, 43
Keengganan untuk memanfaatkan unit simpan pinjam, dikarenakan bunganya yang dirasa M
terlalu besar dan khawatir jika gagal usahanya tidak mampu mengembalikannya. Mereka O
menginginkan usaha yang bisa berjalan meskipun dengan modal sedikit. Beberapa usaha yang M
E
ingin dijalankan oleh WRSE ini meliputi usaha ternak ayam kampung, menjahit, usaha N
sembako, usaha jamur dan usaha kerajinan. Selain usaha, para WRSE ini juga memiliki T
keinginan untuk mendapatkan ketrampian dengan harapan mereka dapat mandiri tanpa U
M
bergantung pada orang lain dan ketrampilannya tersebut dapat digunakannya untuk menambah
penghasilan.
Berdasarkan wawancara mendalam dengan WRSE diperoleh data: Kebanyakan para
WRSE ini berlatar belakang pendidikan minimal SD/MI (Madrasah Ibtidaiyah) dan maksimal
SLTA dan kebanyakan putus sekolah. Pendapatan keluarga < 500 ribu perbulan, bahkan ada
yang minim sekali 300 ribu perbulan. Secara umum para WRSE ini menyadari kalau
sebenarnya mereka memiliki masalah terutama berkaitan dengan perekonomian hanya saja
mereka juga masih belum menemukan solusi atas permasalahan yang mereka hadapi tersebut.
Setelah wawancara lebih mendalam sebenarnya mereka memiliki potensi yang bisa digali dan
di kembangkan, mereka ada yang sudah memiliki dasar-dasar menjahit, membuat kerajinan
tangan (membuat gelang tangan), meronce monte (manik-manik), beternak ayam kampung dan
berjualan. Mereka mengerjakan pekerjaan tersebut hanya sebatas pekerjaan sampingan dan
belum menekuninya secara serius. Kemampuannya tersebut diperoleh secara autodidak
sehingga belum dikelola dengan baik. Dalam berorganisasi baik organisasi social maupun
politik, hampir keseluruhannya mengaku tidak pernah mempuyai pengalaman apalagi menjadi
pengurus.
Tahap II penelitian ini adalah menyusun rencana program pemberdayaan bersama
dengan WRSE dengan menggunakan ToP. Pesertanya merupakan WRSE terdiri atas 16 orang
warga dusun Pandansari dan 10 orang warga dusun Cempokosari. Mereka diajak untuk
mendiskusikan permasalahan yang mereka hadapi dan ketersediaan sumber daya yang
dimilikinya. Pencarian program dilaksanakan dengan cara diskusi duduk bersama, para WRSE
ini dibimbing untuk mencari sendiri program pemberdayaannya. Setelah didiskusikan bersama,
program pemberdayaan yang berhasil disetujui di kedua dusun tersebut adalah pemberdayaan
para WRSE melalui kerajinan piring lidi dengan pertimbangan: a) bahan baku pembuatan
kerajinan berupa lidi dari daun kelapa melimpah dan banyak tersedia di sekitar rumah, b)
Mudah dalam pembuatannya, waktunya relative singkat dan bisa dikerjakan dirumah, c) Bisa
dikerjakan oleh siapa saja terutama ibu-ibu, d) peluang usaha terbuka luas karena permintaan
pasar cukup tinggi, pengrajin bisa menjualnya sendiri atau melalui perantara yang siap untuk
memasarkannya, e) keuntungannya cukup lumayan, pengrajin piring lidi dalam waktu satu hari
mampu menghasilkan kerajinan piring lidi kurang lebih sebanyak 50-60 biji. Harga untuk satu
biji piring lidi bervariasi mulai harga Rp. 1.500,- hingga harga Rp. 5.000,- tergantung
ukurannya. Jika dihitung pendapatan yang mereka peroleh dalam sehari bisa mencapai Rp.
75.000,- Alasan lain mengapa WRSE tertarik dengan kerajinan piring lidi ini karena
sebenarnya di desa mereka (Sarimulyo) terdapat pengrajin pembuat piring dari lidi, namun
pengrajin tersebut masih tertutup dan enggan bertukar ilmu dengan warga yang lain.
Kesamaan program yang diinginkan oleh kedua warga dusun itu adalah karena pada
dasarnya mereka mempunyai latar belakang pengalaman yang sama yaitu pada saat-saat
tertentu, pada saat ada order (pesanan) mereka bekerja membuat kerajinan gelang tangan dari 44
benang hanya saja menurut pengakuan mereka hasilnya masih relative kecil. Para WRSE ini M
dalam membuat kerajinan gelang dalam satu harinya mampu menghasilkan 20 biji sampai 25 O
biji, untuk satu biji kerajinan gelang dihargai oleh pengepul Rp. 200,- sampai Rp. 300,-, jika M
E
ditotal pendapatan mereka perhari mencapai Rp. 4.000,- sampai Rp. 7.500,-. Kelemahannya N
mereka tidak bisa menjual sendiri gelang yang mereka hasilkan, mereka harus menjualnya ke T
perantara tentunya dengan harga yang lebih rendah karena para WRSE ini tidak punya jaringan U
M
pemasaran. Para WRSE berharap dengan adanya pemberdayaan melalui kerajinan piring lidi,
mereka dapat lebih berdaya memperoleh penghasilan sendiri dan yang paling penting dapat
meningkatkan kesejahteraannya. Di akhir pertemuan FGD, WRSE memutuskan untuk mencari
orang yang tepat yang dapat melatih membuat kerajinan piring lidi. Dari hasil diskusi bersama,
WRSE menemukan seorang trainer bernama Srianah yang berasal dari Desa Parijatah yang
juga merupakan pengrajin piring lidi professional.
Hasil ToP disepakati program yang akan dijalankan adalah pemberdayaan melalui
pelatihan ketrampilan anyaman piring dari lidi. Program ini bertujuan untuk memberikan
ketrampilan bagi para WRSE yang ada di Desa Sarimulyo agar mereka lebih berdaya guna.
Sasaran program ini adalah para WRSE baik yang belum atau sudah menikah atau janda yang
memiliki pendapatan namun belum mencukupi kebutuhannya.
Tahap III penelitian ini merupakan pelaksanaan program yang dihasilkan pada saat ToP.
Telah disepakati bersama bahwa program pemberdayaan yang mereka kehendaki yaitu
pelatihan keterampilan membuat kerajinan piring dari lidi. Pelatih berjumlah dua orang, satu
laki-laki dan satu perempuan berasal dari Desa Parijatah. Dalam proses pelatihan ini pelatih
mengawali dengan menjelaskan kepada para WRSE bahwa membuat kerajinan piring dari lidi
ini sangat mudah hanya membutuhkan bahan dari lidi daun kelapa, tali raffia dengan alat
berupa pemukul kayu, parang, pisau, dan gunting.
Adapun tahapan pembuatan kerajinan piring lidi adalah sebagai berikut: pertama-tama
lidi dipilah berdasarkan ukurannya (Gambar 1). Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam
menganyam agar menghasilkan produk kerajinan yang rapi. Selanjutnya lidi yang sudah
dipilah kemudian dipotong bagian pangkalnya (Gambar 2). Bagian pangkal lidi yang tidak
digunakan tersebut dapat dimanfaatkan/dijual sebagai tusuk sate. Selanjutnya diambil enam lidi
sebanyak tujuh pasang sehingga semuanya berjumlah 42 lidi. Enam pasang lidi ditata secara
melingkar dengan formasi saling bertumpukan dan satu pasang lidi digunakan untuk
mengayam, jadilah anyaman dasar piring (Gambar 3 dan 4), anyaman dasar diikat dengan tali
rafia agar tidak terberai sedangkan pangkal lidi diratakan dengan pemukul kayu. Arah anyaman
dilakukan dengan cara melingkar dari kiri ke kanan (Gambar 5). Ujung lidi ditarik disesuaikan
dengan besar kecilnya ukuran. Terakhir ujung lidi dipotong dengan gunting agar rapi (Gambar
6).
45
M
Gambar 1. Proses pemilahan lidi menjadi ukuran panjang dan pendek O
M
E
N
T
U
M
46
Gambar 5. Membuat anyaman dengan arah dari kiri ke kanan
M
O
M
E
N
T
U
M
Gambar 6. Proses merangkai/menganyam piring lidi, terbentuk anyaman piring lidi, proses
finishing.
Pelatihan pembuatan kerajinan piring lidi ini dilakukan selama dua hari dan hasilnya para
WRSE mampu dan terampil membuat kerajinan piring dengan baik.
Tahap IV dari penelitian ini adalah FGD 2 untuk mengevaluasi program yang telah
dijalankan. Dari hasil diskusi bersama, para WRSE ini sebagian menginginkan bahwa hasil
kerajinannya itu dapat dipasarkan dan mereka ,mengharapkan ada perantara yang dapat
menampung hasil kerajinannya tersebut. Sebagian lagi menginginkan hasil kerajinannya itu di
jual sendiri dengan alasan untungnya bisa lebih besar. Bagi mereka yang menginginkan hasil
kerajinannya ada yang memasarkan karena mereka belum memiliki jaringan untuk
memasarkannya, sementara bagi mereka yang menginginkan hasil kerajinannya dijual sendiri,
ternyata mereka sudah mampu memasarkannya sendiri dan mereka sudah mulai banyak
orderan. Dalam waktu tiga hari setelah pelatihan mereka mendapat tawaran order sebanyak 200
biji dengan harga Rp. 2.500 perbiji. Untuk itu para WRSE ini merasa senang dan tertolong
dengan adanya pelatihan ini.
Pada tahap V penelitian ini dilakukan refleksi. Setelah dievaluasi atas terlaksananya
program ToP dan keterlaksanaan pemberdayaan bahwa sebagian besar WRSE masih belum
terbiasa dengan kemandirian untuk maju, mereka masih harus senantiasa didampingi dan
didorong dalam pengambilan keputusan.
demikian jika dibiarkan secara terus menerus akan berdampak pada kehidupan anak yang M
diasuhnya. Oleh karena itu mereka patut mendapatkan tambahan keterampilan agar dapat O
memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan keluarga. M
E
Masyarakat Desa Sarimulyo sebagian besar adalah petani dan buruh tani. Sebagai petani N
mereka tidak bisa menggantungkan seluruh kebutuhan hidupnya dari hasil bertani (khususnya T
padi) karena hasilnya baru dapat mereka rasakan setelah waktu tiga bulan apalagi jika U
M
pekerjaannya sebagai buruh tani hasilnya jauh lebih kecil jika dibandingkan yang pekerjaannya
sebagai petani. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara mendalam secara umum
pendapatan keluarga WRSE kurang dari Rp. 500.000,- rupiah. Jika dihitung pendapatan sehari-
hari kurang dari Rp. 20.000. Pendapatan ini harus dibagi untuk kebutuhan makan, biaya
sekolah anak, kesehatan dan biaya lainnya. Menurut Zastrow (1982) masalah kemiskinan
berhubungan erat dengan masalah-masalah sosial seperti tingkat pengangguran yang tinggi,
tingkat kesehatan yang buruk, dan tingkat pendidikan yang rendah. Jika dilihat secara fisik di
Dusun Pandansari, masalah kesehatan nampaknya belum secara maksimal diperhatikan. Hal ini
terlihat dari aliran-aliran sungai irigasi banyak dimanfaatkan sebagai tempat untuk MCK.
Padahal fungsi awal dari sungai ini adalah untuk mengairi sawah. Kondisi seperti ini tentunya
selain dapat mengganggu kesehatan penggunanya juga dapat mencemari lingkungan serta
mengurangi nilai estetika karena dilakukan didepan rumah. Selain kesehatan, masalah
kemiskinan juga berkaitan dengan tingkat pendidikan yang rendah. Wanita Rawan Sosial
Ekonomi di dusun Pandansari dan dusun Cempokosari umumnya pendidikannya tergolong
rendah yaitu lulusan SD/sederajat bahkan ada pula yang tidak lulus sekolah. Hal ini
menyebabkan WRSE kurang bisa diterima di dunia kerja karena pendidikannya yang rendah
tersebut. Akibatnya mereka menjadi pengangguran atau menjadi buruh musiman terutama pada
saat panen di sawah. Berdasarkan data desa bahwa sebagian besar (42,5%) penduduk Desa
Sarimulyo adalah buruh tani dan terbanyak terdapat di dusun Cempokosari dan Pandansari.
Menurut Zastrow7 bahwa kemiskinan merupakan sebuah siklus, dimana orang yang
sudah masuk didalamnya sulit untuk keluar. Keluarga miskin dengan anak yang masih kecil
menyebabkan kehidupan mereka dibawah standar, sehingga menyebabkan orang tua tidak
tertarik untuk menyekolahkan anaknya. Anak menjadi drop out atau bekerja dengan upah yang
rendah dan atau menikah dini. Dengan menikah dini menyebabkan keterbatasan kesempatan
mereka untuk meningkatkan pendidikan/ketrampilannya. Jika mereka memiliki anak dengan
keuangan yang terbatas maka mereka akan mengalami kesulitan dan terjebak dalam
kemiskinan. Lingkaran kemiskinan menjadi lengkap dan berlanjut ke generasi berikutnya.
Permasalahan yang dihadapi oleh WRSE ini utamanya berkaitan dengan ekonomi.
Permasalahan mulai mereka sadari ketika sudah berkeluarga dan memiliki anak. Kebutuhan
akan sandang, pangan dan papan dan kehidupan yang layak. Untuk mengatasi masalah tersebut
mereka bekerja srabutan misalnya menjadi pelayan toko, buruh tani musiman, membuat
kerajinan tangan (gelang) dari benang, dan bekerja di pabrik pengolahan ikan namun hasil yang
diperoleh dari pekerjaanya tersebut masih belum mencukupi. Untuk itu masalah yang dihadapi
oleh WRSE ini membutuhkan penanganan yang terpadu dari hanya memberikan bantuan sosial
kearah pemberdayaan.
Sebenarnya WRSE bisa lebih diberdayakan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada
di sekeliling mereka. Sumber daya yang ada di sekeliling WRSE tersebut berupa sumber daya
manusia yaitu adanya tokoh masyarakat (kepala dusun, ketua RT, ketua RW) yang memiliki 48
banyak koneksi dengan orang lain. Sumber daya alam berupa sawah:280 ha/m 2 , perkebunan: M
1,5 ha/m2 , pekarangan: 15,5 ha/m2, hasil panen pohon kelapa: 4 kw/ha, hasil panen padi: 1 O
ton/ha, hasil panen jagung: 5 ton/ha, hasil panen kedelai: 0,5 ton/ha, hasil panen kacang tanah: M
E
0,3 ton/ha, hasil panen Cabe: 0,5 ton/ha. Sumber daya sosial berupa kelompok masyarakat dan N
sumber daya ekonomi yaitu adanya unit simpan pinjam dan dana social.8 Prinsip dari T
U
pemberdayaan adalah mengoptimalkan potensi yang ada pada individu, lingkungan individu,
M
memperkuat potensi tersebut serta melindungi individu supaya tidak bertambah lemah.9
Sumber daya yang ada dalam diri WRSE dan lingkungannya tersebut merupakan suatu potensi
yang dapat dioptimalkan, diperkuat dan dilindungi sehingga WRSE menjadi lebih berdaya.
keinginan dan potensi yang mereka miliki. Pada awal penelitian ada beberapa kendala yang
dihadapi berkaitan dengan WRSE. Hal ini terlihat ketika peneliti pertama kali mengundang
WRSE lewat kepala dusun untuk melakukan FGD. Hampir sebagian besar WRSE memberi
tafsir yang hampir sama mengenai undangan peneliti yaitu peneliti akan membagi-bagikan
uang atau barang. Pola pikir semacam ini merupakan dampak dari program pemerintah yang
selama ini senantiasa memberikan bantuan berupa bantuan langsung tunai (BLT) yang
diberikan kepada keluarga miskin setiap 3 bulan sekali. Akhirnya secara tidak sadar mental dan
pola pikir mereka menjadi manja. Pemberian tidak selamanya baik, terkadang pemberian dalam
bentuk langsung akan membunuh kreatifitas si penerima kalau pemberian itu dilakukan secara
terus menerus. Oleh karena itu ketika mereka diajak untuk merencanakan program
pemberdayaan mereka juga kurang begitu antusias.
Faktor lain yang mempengaruhi WRSE adalah geografis wilayah. Letak dan kondisi
alam yang berbeda ternyata memberi pengaruh terhadap pola pikir masyarakat. Di Dusun
Pandansari yang secara geografis letaknya berjauhan dengan jalan raya, akses untuk
memperoleh informasi sedikit terhambat ditambah lagi kondisi sarana jalan dusun yang rusak
berat. Dusun tersebut juga sedikit terisolir karena untuk mencapainya harus melewati
persawahan yang luas. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap karakter WRSEnya,
kebanyakan WRSE di dusun itu memiliki karakter kurang siap untuk menerima perubahan. Hal
ini jika dibandingkan dengan WRSE yang ada di dusun Cempokosari pada saat dilakukan
program ToP dan pemberdayaan. Di dusun Cempokosari mereka lebih antusias. Dari hasil 49
pengamatan ketika pelaksanaan ToP di Dusun Pandansari pertama terlihat bahwa WRSE lebih M
pasif dalam menyampaikan ide dan kurang bersemangat sehingga fasilitator harus kerja keras O
mencari jalan untuk membimbing mereka menemukan program pemberdayaan yang tepat dan M
E
sesuai bagi merekaa. Hal ini memang tidak terlepas dari latar belakang mereka yang berlatar N
pendidikan minim, dan pengalaman dalam berorganisasi kurang. Pada akhirnya mereka dapat T
mengikuti ToP dengan cukup baik. Dari hasil ToP, para WRSE membutuhkan suatu pelatihan U
M
untuk mengasah ketrampilan yang dimilikinya dengan memanfaatkan SDA yang ada di
sekeliling mereka yaitu pohon kelapa yang banyak terdapat dipekarangan rumah. Pelatihan
yang mereka harapkan adalah pelatihan membuat piring dari lidi karena mudah, waktunya
cepat dan ibu-ibu bisa membuatnya sendiri dirumah. Untuk pemasaran sudah ada pedagang
yang siap untuk menampung hasil kerajinannya tersebut atau mereka bisa menjualnya sendiri.
Meski mereka terlihat lambat dalam mengikuti program ToP akan tetapi perubahan tetap ada,
para WRSE berhasil membuat sebuah program melalui ToP yaitu pelatihan kerajinan piring
lidi.
Awal pemberdayaan melalui pelatihan pembuatan piring lidi di Dusun Pandansari
dihadiri tujuh belas orang WRSE, akan tetapi yang aktif mengikuti pelatihan sekitar lima
orang, peserta WRSE yang lainya terlihat pasif. Alasan mereka tidak terlalu aktif karena ingin
melihat terlebih dahulu cara pembuatannya. Hari berikutnya pelatihan dihadiri empat orang
WRSE, akan tetapi yang mengikuti dengan antusias pelatihan hanya dua orang, dua orang
WRSE yang lain meninggalkan tempat pelatihan dengan alasan yang tidak jelas. Dua orang
WRSE yang mengikuti pelatihan sampai selesai pada akhirnya bisa membuat kerajinan dengan
sangat baik. Dari hasil pengamatan dan wawancara secara mendalam ini ditemukan bahwa
kebanyakan warga Pandansari mempunyai karakter pasif, akan tetapi mereka akan mengikuti
warganya yang lain jika warga tersebut dapat membuktikan bisa. Begitu juga mengenai
pelatihan kerajinan piring lidi ini, mereka pasrah kepada seseorang yang dianggap bisa
mengikuti pelatihan, kalau sudah bisa yang lain mereka akan belajar kepada temannya yang
sudah bisa. Proses pemberdayaan WRSE yang berada di dusun Pandansari ini dapat
dikategorikan dalam jenis kelompok penganut lambat (late majority), yaitu orang-orang yang
baru bersedia menerima suatu inovasi apabila menurut penilaiannya semua orang di
sekelilingnya sudah menerimanya.
Berbeda halnya dengan yang terjadi di dusun Cempokosari, yang letaknya lebih dekat
dengan jalan raya dan tidak terisolir WRSEnya, meski WRSE yang hadir lebih sedikit akan
tetapi mereka lebih antusias dalam mengikuti kegiatan dan program yang mereka buat sendiri.
Karena tingkat antusias yang berbeda, maka hasil yang dicapaipun juga berbeda, semua yang
ikut pelatihan mampu membuat kerajinan. Dari sini terlihat bahwa WRSE yang berada di
dusun Cempokosari perubahannya lebih cepat jika dibandingkan dengan dusun Pandansari.
Dalam hal ini, WRSE yang berada di Cempokosari dapat dikategorikan kepada jenis kelompok
penganut dini (early majority),yaitu orang-orang yang menerima suatu inovasi selangkah lebih
dahulu dari orang lain.
Walau demikian, tidak dipungkiri bahwa setiap masyarakat mempunyai respon sendiri
terhadap suatu inovasi. Inovasi merupakan awal terjadinya perubahan sosial, dan perubahan
sosial pada dasarnya merupakan inti dari pembangunan masyarakat. Rogers dan Shoemaker10
menjelaskan bahwa proses difusi merupakan bagian dari proses perubahan sosial. Adopsi
sering kali diartikan sebagai suatu proses mentalitas pada diri seseorang atau individu, dari 50
mulai seseorang tersebut menerima ide-ide baru sampai memutuskan menerima atau menolak M
ide-ide tersebut. Proses adopsi, menurut Samsudin (1984) adalah proses dimulai dari keluarnya O
ide-ide dari satu pihak kemudian disampaikan pada pihak lain sampai ide tersebut diterima pihak M
E
masyarakat sebagai pihak yang kedua. Menurut Suriatna,11 proses adopsi merupakan proses N
mentalitas yang bertahap mulai dari kesadaran (awareness), minat (interest), menilai T
U
(evaluation), mencoba (trial), dan akhirnya menerapkan (adoption) maka perlu memahami setiap
M
tahapan yang berlangsung pada diri seseorang tersebut agar berbagai faktor penghambat dapat
diketahui dan dipelajari. Dalam proses pemberdayaan, dimana salah satu tujuannya adalah
agar terjadi perubahan sikap perilaku yang mengarah pada tindakan maka proses terjadinya
adopsi inovasi yang bertahap sering kali tidak sama pada setiap individu. Kecepatan dalam
mengadopsi suatu inovasi kadang antara satu individu dengan individu yang lain berbeda, ini
sangat tergantung bagaimana karakter individu yang bersangkutan. Berdasarkan tingkat
kecepatan dalam mengadopsi inovasi, maka masyarakat dapat dikelompokkan menjadi:
kelompok Perintis (innovator), yaitu mereka yang pada dasarnya sudah menyenangi hal-hal
yang baru dan sering melakukan percobaan. Kelompok Pelopor (early adopter), yaitu orang-
orang yang berpengaruh di sekelilingnya dan merupakan orang yang lebih maju dibandingkan
dengan orang-orang di sekitarnya. Kelompok Penganut Dini (early majority),yaitu orang-orang
yang menerima suatu inovasi selangkah lebih dahulu dari orang lain. Kelompok Penganut
Lambat (late majority), yaitu orang-orang yang baru bersedia menerima suatu inovasi apabila
menurut penilaiannya semua orang di sekelilingnya sudah menerimanya
10 Rogers, Everett M & Shoemaker, Floyd F., Communication of innovations: A Cross-Culture Approach
2nd ed. (New York: The Free Press, 1993).
11 Suriatna, Metode Penyuluhan Pertanian (Jakarta: Melton Putra, 1987).
Jika dilihat secara umum WRSE di kedua dusun tersebut telah mampu melaksanakan
program pemberdayaan dengan cukup baik, walaupun keduanya melalui tahapan yang berbeda,
WRSE di Pandansari lebih lambat jika dibandingkan dengan WRSE yang berada di
Cempokosari. Indikator yang bisa terlihat adalah mereka telah memiliki ketrampilan membuat
piring dari lidi dan mereka juga langsung bisa memasarkannya dan memperoleh keuntungan.
Pemberdayaan masyarakat dilakukan dalam rangka membangun ekonomi yang
merangkum nilai-nilai sosial. Pem be rda yaa n i ni bersifat “people centred, participatory,
empowering, and sustainable”. Jangkauan dari pemberdayaan ini lebih luas dari hanya
semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme
untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net).12 Dengan tujuan utama
pemberdayaan adalah untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia bagi para WRSE dan
untuk mengurangi/mengentaskan kemiskinan. Melalui pelatihan kerajinan ini para WRSE
digiring untuk mengeksplorasi potensi yang ada dalam dirinya (people centred) dengan cara
mereka sendiri yang aktif berpartisipasi (participatory) dalam merencanakan dan
melaksanakan program pemberdayaan dalam hal ini berupa pelatihan pembuatan kerajinan dari
lidi (ToP) sehingga mereka menjadi berdaya dan memiliki kemampuan serta kekuatan untuk
memperbaiki hidupnya (empowering) namun juga tetap berkelanjutan (sustainable). Program
ini tentunya sejalan dengan program pemerintah khususnya dalam hal pengentasan kemiskinan
dan membuka lapangan pekerjaan baru bagi para penyandang masalah kesejahteraan sosial
(PMKS) dalam hal ini adalah WRSE. 51
M
Penutup O
M
Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa: Technology of Parsipatory (ToP) E
N
dapat digunakan untuk menyusun program pemberdayaan bagi WRSE di Desa Sarimulyo.
T
Program yang dihasilkan dari ToP ini adalah program pelatihan pembuatan kerajinan piring U
yang bahan dasarnya dari lidi kelapa. Keberdayaan WRSE ini dapat dilihat dari hasil pelatihan M
yaitu mereka telah memiliki kemampuan untuk membuat dan memasarkan hasil kerajinannya.
Daftar Pustaka
12 Hadi, PA., Konsep Pemberdayaan, Partisipasi dan Kelembagaan dalam Pembangunan. Diakses dari
http://suniscome.50webs.com.
52
M
O
M
E
N
T
U
M
Oleh
Ashabul Fadhli⃰
fadhli_bull@yahoo.co.id
Abstrak
Kajian sosiologi keluarga merupakan sebuah studi yang memandang bahwa keluarga
terbentuk dari sistem sosial yang mempengaruhi setiap elemen yang berada di dalamnya.
Potret keluarga yang disajikan dari hasil studi ini akan menghasilkan fenomena sosial
secara faktual dan aktual. Salah satunya mengenai ketahanan keluarga di era globalisasi.
Sejatinya, keluarga yang akan mampu bertahan adalah keluarga yang telah sejak dini
menanamkan nilai-nilai sosial berupa norma-norma yang berlaku, termasuk agama. Hal ini
dikarenakan agama memegang kendali yang kuat sekaligus sebagai petunjuk yang bersifat
absolout bagi manusia.
Pendahuluan
Keluarga diyakini sebagai awal terbentuknya dinamika sosial di tengah masyarakat. 53
Kehadiran keluarga sebagai satu kesatuan dari suami, istri dan anak merupakan sistem terkecil
yang menghadirkan pola hubungan interpersonal. Maka, tidak salah ketika diasumsikan bahwa M
O
keluarga secara sosial memiliki peranan penting dalam hierarki vertikal organisasi sosial, M
melalui peran dan hubungannya sesama manusia (hablum minan nas). E
N
Gerak dan ruang keluarga perlu dipahami secara dinamis. Ini terkait dengan bentuk dan
T
ragam keluarga yang saling berbeda satu sama lain. Setiap keluarga tentu mempunyai standar U
kehidupan sendiri dalam menjalani perannya. Katakanlah itu dalam hal pembagian peran dan M
pemahamannya tentang hakikat keluarga. Selain itu, pengaruh perkembangan budaya juga
mempengaruhi terhadap kehidupan keluarga. Ini terjadi karena institusi keluarga tidak bergerak
secara statis, namun senantiasa terus berkembang mengikuti arus zaman.
Menurut pandangan Islam, relasi yang diterapkan dalam keluarga sangat berpotensi
untuk membimbing terwujudnya hubungan yang baik (mu’asyirah bil ma’ruf). Ikatan tersebut
berawal melalui lembaga perkawinan yang bersifat mitsaqan ghalizhan yaitu perjanjian/ikatan
yang kuat yang terbentuk melaui lembaga perkawinan. Perjanjian inilah (akad) yang kemudian
bermanifestasi menjadi cikal bakal lahirnya konsep kesesuaian, keseimbangan dan ketahanan
dalam keluarga. Kesesuaian tersebut menghasilkan out put yang bersifat mitra antara suami
dengan istri, bukan lagi sebagai pemimpin dan yang dipimpin. Begitu juga dengan kehadiran
anak. Seyogyanya, anak diposisikan sebagai anugrah yang maha kuasa agar senantiasa
bersyukur dan bertanggung jawab atas kepercayaan yang disandang.
Artikel ini disamping mengeksplorasi asumsi dasar mengenai institusi keluarga, juga
akan mengkaji lebih jauh tentang konsep ketahanan keluarga dengan menggunakan kacamata
sosial dan agama.
Ketahanan Keluarga
Keluarga dapat dipahami sebagai sebuah sistem. Sistem ini terjadi akibat adanya
komunikasi dua arah (suami-istri) dan komunikasi segala arah bagi semua anggota keluarga
(ayah, ibu dan anak). Maka, setiap komponen keluarga berfungsi untuk saling mengarahkan,
membina, memberikan perhatian dan kasih sayang kepada setiap anggota keluarga. 1
Dalam rangka membangun dan mensejahterakan institusi keluarga, Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga
Sejahtera, disebutkan bahwa keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang mempunyai
peran penting dalam pembangunan nasional, oleh karena itu perlu dibina dan dikembangkan
kualitasnya agar senantiasa dapat menjadi keluarga sejahtera serta menjadi sumber daya
manusia yang efektif bagi pembangunan nasional.2
Berdasarkan amanat Undang-Undang di atas, maka sudah menjadi suatu keharusan bagi
setiap anggota keluarga untuk mengembangkan kualitas diri dan fungsi keluarga, tegasnya
sumber daya manusia dalam keluarga. Pengembangan sumber daya manusia (SDM) berpotensi
dalam membentuk kemandirian dan dalam pengembangan kualitas keluarga. Peningkatan SDM
tersebut dapat berupa peningkatan pada sisi pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, mental-
spritual serta nilai-nilai keagamaan yang sangat penting untuk membentuk pola pikir dalam
menyikapi ragam persoalan. Hal ini dikarenakan manusia merupakan makhluk sosial, dan tak
akan pernah bisa lepas dari pergulatan sosial.
54
Manusia sebagai makhluk sosial atau yang menurut Aristoteles disebut dengan Zoon
Politikon, dikodratkan hidup dalam kebersamaan dalam masyarakat. Kehidupan dalam M
O
kebersamaan berarti adanya hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya.
M
Dalam hubungan sosial itu, pastinya selalu terjadi interaksi sosial yang mewujudkan E
jaringan/relasi sosial (a web of sosial relationship) yang disebut sebagai masyarakat. Relasi N
T
tersebut menuntut cara berperilaku antara satu individu dengan individu lainnya untuk U
mencapai suatu ketertiban. M
Agar tercapainya pola hubungan yang bersifat timbal balik sebagaimana di atas, dapat
dilakukan dengan membangun mental dan jiwa yang mapan, salah satunya dengan pendidikan.
Pendidikan dapat dilakukan secara internal dan non-formal berbasis keluarga. Jadi tidak hanya
pendidikan yang diterapkan di sekolah formal. Alasannya adalah keluarga menjadi tempat
paling strategis dalam membangun karakter manusia. Melalui pranata inilah anak manusia
untuk pertama kalinya mengalami proses pendidikan yang sesungguhnya. Anak-anak mengenal
cara berkomunikasi, berbahasa, berinteraksi dengan sesama. Hingga pada akhirnya, setiap
anggota keluarga siap secara intelektual, pribadi, sosial, spiritual dan fisik. 3
Penanaman nilai-nilai atau yang lebih familiar dengan sebutan norma-norma4 tak ayal
menjadi suatu keharusan. Penanaman ini, tidak hanya yang bersifat duniawi semata,
pendidikan agama yang diterapkan dalam keluarga tetap menjadi pondasi utama. Bahkan harus
dimulai sejak usia dini, terlebih jika edukasi tersebut diaplikasikan sejak bayi masih di dalam
kandungan. Sejumlah masyarakat modern misalnya, telah memulainya dengan menggunakan
berbagai metode seperti yang marak dilansir oleh media belakangan. Seluruh anggota keluarga
ditanamkan suatu kesadaran untuk melakukan pilihan antara nilai-nilai yang dikategorikan
salah atau benar, baik atau buruk, pantas atau tidak pantas. Kebiasan-kebiasaan itu dapat
dimulai dengan mempraktekkannya dalam kegiatan sehar-hari. Kemudian berlanjut dengan
internalisasi nilai-nilai sebagaimana di atas, hingga mendarah daging dalam kehidupan seluruh
anggota keluarga.
Mengutip pendapat Immanuel Kant (1724-1804), bahwa norma moral itu mengikat
secara mutlak dan tidak tergantung dari apakah ketaatan atas norma itu membawa hasil yang
menguntungkan atau tidak. Misalnya norma moral "jangan bohong" atau "bertindaklah secara
adil" tidak perlu dipertimbangkan terlebih dulu apakah menguntungkan atau tidak, disenangi
atau tidak, melainkan selalu dan di mana saja harus ditaati, entah apa pun akibatnya. Hukum
moral mengikat mutlak semua manusia sebagai makhluk rasional.5
Pendapat yang dilontarkan Kant di atas mengasumsikan, bahwa moral menjadi bagian
terpenting dalam pertumbuhan karakter manusia. Moral sejatinya dapat menjadi garda terdepan
dalam menyikapi segelumit persoalan. Institusi keluarga pun ditantang untuk siap menggempur
setiap perubuhan yang datang. Tak jarang, dalam menjalani proses tersebut, ketika keluarga 55
tidak lagi memiliki ketahanan yang baik, tentu akan mengalami disorientasi nilai, yakni M
kehilangan arah dalam menentukan pilihan-pilihan hidup. Mobilitas yang berlebihan membuat O
beban dan fungsi keluarga menjadi lebih berat. Indikasinya akan melahirkan keluarga-keluarga M
E
yang keluar jalur (out-reach) atau berantakan. Jika sudah begini, sejumlah perilaku yang N
bersifat devian atau menyimpang akan lahir sebagai wujud ketidakmapanan. T
U
Menurut riset yang pernah dilakukan, ketidakmapanan peran seorang ayah atau ibu tanpa
M
disadarai akan berimbas lansung terhadap anak. 6 Faktor penelantaran dan kekerasan adalah
resiko yang cendrung dialami anak. Konflik suami istri menghadirkan problem baru bagi
perkembangan anak. Anak akan cendrung mengalami masalah kesehatan mental yang berarti,
serta berbagai kesulitan penyesuaian lainnya. Masalah kesehatan mental itu meliputi trauma,
kecemasan, depresi, perilaku menantang, agresif, nakal dan sebagainya. 7
sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Berdasarkan klasifikasinya, norma
dikelompokkan menjadi (1) Norma agama, yaitu peraturan hidup manusia yang berisi perintah dan larangan yang
berasal dari Tuhan, (2) Norma moral/kesusilaan, yaitu peraturan atau kaidah hidup yang bersumber dari hati
nurani dan merupakan nilai-nilai moral yang mengikat manusia, (3) Norma kesopanan, yaitu peraturan atau kaidah
yang bersumber dari pergaulan hidup antar manusia, (4) Norma hukum, yaitu peraturan atau kaidah yang
diciptakan oleh kekuasaan resmi atau negara yang sifatnya mengikat atau memaksa. Herimanto dan winarmo,
Ilmu sosial & budaya dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010),132.
5 Kant, Fundamental Principles of the Metaphysics of Morals, Translated by Thomas K. Abbott (New
York: The Bobbs-Merill Company, Inc., 1949), 57.
6 Robert I. Watson dan Henry Cly Lindgren, Psychology of the Child (New York: Jon Wiley and Sons,
1974), 187.
7 Gejala yang ditunjukkan di atas tarafnya bermacam-macam. Mulai dari yang paling ringan hingga yang
paling berat. Umumnya, gejala psikologis tersebut dilandasi karena faktor lingkungan. Lingkungan merupakan
jaringan yang berkaitan dengan faktor eksternal dan kondisi yang melingkupinya. Kondisi itulah yang kemudian
membentuk kepribadian individu dan cara merespon berbagai problematika disekitarnya, seperti masalah keluarga
Perilaku negatif yang dilakukan anak, akan terus berlanjut hingga ke bangku pendidikan
di sekolah formal. Anak akan terjebak pada ketidakmampuannya dalam mengikuti jam
pelajaran dengan baik, menyelesaikan tugas dan mendapatkan nilai yang buruk. Dengan
demikian, keluhan somatik8 seperti sakit kepala, sakit perut, asma, dan masalah eliminasi
sering dialami oleh seorang anak. Apalagi pemberitaan di sejumlah media cetak maupun
elektronik secara lugas menginformasikan, bahwa dunia pendidikan secara tidak lansung turut
menerapkan beban ganda kepada peserta ajar.
Seperti yang dilansir oleh Dirjen Pendidikan Dasar Kemendikbud, Suyanto, beberapa
waktu lalu, bahwa jumlah pelajaran yang berlaku saat ini membebani siswa.9 Kurikulum
pendidikan yang di luar batas kemampuan dan kebutuhan siswa, penambahan waktu belajar
dengan mendorong anak mengikuti jam pelajaran tambahan, penerapan sanksi-sanksi yang
kurang menunjang tercapainya tujuan pendidikan, disertai disiplin yang terlalu ketat,
ketidakharmonisan antara peserta didik dan pendidik, kurangnya kesibukan belajar di rumah
adalah sekelumit persoalan yang dihadapi anak. Proses pendidikan seperti ini jelas sangat tidak
menguntungkan bagi perkembangan anak. Konflik keluarga dan pembiaran yang terus-menerus
akan berujung pada kenakalan remaja.
Meskipun demikian, jika meminjam konsep yang ditawarkan Aristoteles di atas, institusi
keluarga pada dasarnya tidak berdiri sendiri. Sejumlah paguyuban yang langgeng di tengah
masyarakat turut menopang pertahanan dari institusi keluarga. Keluarga tumbuh dan
berkembang dalam institusi sosial sebagai bagian dari sistem sosial keseluruhan. Lembaga- 56
dan kekerasan. Dadang Hawari, Al-Qur’an, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan JIwa (Yogyakarta: PT. Dhana
Bhakti Prima Yasa, 1995), 43-45.
8 Gejala dan keluhan somatik (psikomatis) adalah penyakit fisik dengan keluhan fisik yang disertai gejala-
gejala fisik yang nyata. Gejala ini cukup serius untuk menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada
pasien atau gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan.
Penyebabnya adalah tekanan psikologis atau stress. Menurut Bath, gejala pada anak tidak sepenuhnya sama
dengan gejala yang dialami orang dewasa. Lihat, Bath, ”The Three Pillars of Trauma Informed-Care.” dalam
Journal Reclaiming Childreen and Youth, Vol.17, No.3, 2008, 17-21. Lihat Juga Tjipto Susana, ”Pendekatan Tiga
Pilar Terhadap Anak Yang Mengalami Trauma Kekerasan” dalam Jurnal Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan
Humaniora UIN Sunan Kalijaga, Vol. II, No. 3, 2009, 24-25.
9 Harian Republika, 19 Oktober 2012,1
10 Kehadiran lembaga sosial sangat berpengaruh besar terhadap implementasi norma-norma dari segala
tingkatan yang berkisar pada kebutuhan pokok manusia, dalam arti bahwa norma kemasyarakatan itu dikenal,
diakui, dihargai, dan kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut lihat, Soejono Soekanto,
Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007).
lain, tentu akan mendatangkan warna baru yang dapat mengilhami seluruh lapisan masyarakat,
terutama keluarga.
peranperan yang telah disusun oleh masyarakat, yang mengatur apa dan bagaimana peran
setiap orang dalam pergaulannya. Jika seorang mematuhi skenario, maka hidupnya akan
harmonis, tetapi jika menyalahi skenario, maka ia akan dicemooh oleh ”penonton” dan ditegur
oleh ”sutradara”. Sebagai contoh, seorang individu yang dinobatkan oleh masyarakat untuk
menjadi seorang pemimpin, sebut saja RT atau RW, yang mengatur proses interaksi sosial.
Demikian juga dengan peran suami, isteri, ayah, ibu, anak, dan seterusnya. Hal ini dikarenakan
keluarga merupakan suatu sistem peranan, dimana setiap anggotanya nempunyai peranan yang
berbeda namun saling melengkapi.
Dalam masyarakat tradisional struktur peran terlihat kontras satu sama lain. Berbeda
dengan masyarakat teknologi maju (modern), tampaknya ditandai dengan keharusan dan
luasnya berbagi peran. Dalam kehidupan rumah tangga misalnya, untuk memenuhi segala
kebutuhan hidup yang bersifat primer maupun skunder, tentunya suami, istri dan anak harus
11 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia.1997. (Jakarta: Balai
Pustaka), 751.
12 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo, 1987), 221.
13 F. Ivan Nye, “Role Constructs: Measurement,” dalam F. Ivan Nye, Role Structure and Analysis of The
Familiy (Beverly Hills - London: Sage Publications, 1976), 15.
melakukan pembagian peran. Ketika suami berperan sebagai pencari nafkah, sementara istri
tidak bekerja menghasilkan pundi-pundi ekonomi, maka sudah selayaknya istri mengambil
peran pada wilayah domestik. Begitu juga sebaliknya. Namun, ketika suami dan istri sama-
sama bekerja untuk mencari nafkah, pembagian peran tentu harus dibagi secara bijak. Tanpa
mengenyampingkan kewajiban lain seperti pengasuhan anak. Oleh karena itu, harus
diasumsikan bahwa tidak semua pasangan akan memberlakukan peran serupa. Dalam kerangka
peran ini, dua ukuran peran yang penting ditetapkan:
1. Pembagian kerja antara suami-isteri, dan
2. Pembagian antara mereka dan pelaku peran lain, baik dalam keluarga maupun dalam
organisasi sosial lainnya. Ini memungkinkan berlakunya gambaran peran oleh anggota
keluarga lain atau menyewa pembantu.
Sebagai contoh, sejumlah istri berperan sebagai ibu rumah tangga yang bertugas
memenuhi kebutuhan keluarganya seperti memasak, mencuci dan sebagainya. Pekerjaan
tersebut tidak berarti bahwa mereka memiliki kewajiban untuk melakukannya secara terus-
menerus dan akan mendapatkan sanksi jika mereka tidak melakukannya pada konteks tertentu.
Hal yang sama dapat dilihat dari sisi suami. Ketika suami bekerja sebagai buruh atau kantoran,
tidak menutup kemungkinan akan menerima resiko seperti habis kontrak, dipecat bahkan
pensiun. Pada masa transisi itu, istri dapat menyikapi posisi suaminya dengan membantu peran
suaminya pada wilayah ekonomi, hingga ekonomi keluarga pulih dan stabil kembali. 58
Frank Fincham, profesor di State University of New York di Buffalo dan Thomas
M
Bradbury, Profesor di universitas UCLA, lebih dari satu dekade menelusuri efek emosi bagi O
pasangan suami istri. Menurut hasil penelitian yang dilakukan, sikap optimis (saling percaya M
E
dalam berbagi peran) masing-masing pasangan membantu dalam hubungan perkawinan. Dalam
N
tulisannya, dinarasikan bahwa pasangan yang baik adalah pasangan yang selalu membicarakan T
setiap permasalahan yang datang kepadanya. Ketika seorang istri merasa tidak senang/nyaman, U
M
suami sehendaknya segera berusaha untuk menemukan penjelasan temporer atas
ketidaknyamanan istrinya.
Sebaliknya, hubungan yang tidak baik adalah ketika hubungan itu dimulai dengan emosi
yang pesimis. Hubungan pesimis disini dimaksudkan sebagai hubungan yang tertutup dan tidak
terbuka satu sama lain. Suami atau istri tidak mau meluangkan waktunya untuk bercerita dan
sharing ketika terjadi miskomunikasi atau perpecahan diantara mereka. Akibatnya, pasangan
tersebut akan saling menyalahkan dan merasa sama-sama berada di pihak yang benar.14
Perbedaan pandangan dan sikap di atas dapat mengarah pada konflik peran (role
conflict), dimana pelaksanaan kegiatan atau kerja dengan satu tekanan dapat menyulitkan hal
yang lain dengan tekanan yang menyertainya. Role conflict memiliki beberapa tipe:
1. Konflik antara individu dengan perannya, yaitu konflik yang terjadi antara kepribadian
individu dan harapan akan perannya. Tegasnya, konflik akan muncul dalam diri
individu pemegang peran, jika peran yang diterima oleh individu tersebut
bertentangan atau tidak konsisten dengan harapan.
2. Konflik intrarole (intrarole conflict), yaitu konflik yang dihasilkan oleh harapan yang
kontradiktif terhadap bagaimana peran tertentu harus dijalankan, atau konflik yang
14 Martin E.P Seligman, Authentic Happiness, terj. Jalaluddin Rakhmat (Bandung: Mizan, 2005), 257-259.
terjadi ketika individu-individu pemegang peran dengan harapan yang berbeda saling
berinterkasi.
3. Konflik interrole (interrole conflict), konflik ini dihasilkan dari persyaratan yang
berbeda dari dua atau lebih peran yang harus dijalankan pada saat bersamaan.
4. Konflik overrole (overrole conflict) merupakan tipe konflik peran yang lebih
kompleks. Konflik ini terjadi ketika harapan yang dikirimkan pada pemegang peran
dapat digabungkan, akan tetapi kinerja mereka melampaui jumlah waktu yang tersedia
bagi orang yang melaksanakan aktivitas yang diharapkan.
Sebagai solusi atas permasalahan pasangan yang cenderung pesimis (tidak percaya akan
peran masing-masing pasangan), terdapat teknik-teknik yang dapat berguna untuk melakukan
percakapan sehari-hari. Salah satunya adalah teknik yang disebut ”ritual pembicara-
pendengar”. Dalam menjaga hubungan agar tetap selalu baik, teknik ini penting untuk
digunakan. Karena bagi pasangan yang sedang bermasalah, hampir setiap diskusi adalah
sensitif dan gampang memuncak hingga menyebabkan pertengkaran.
Ketika suami atau istri merasa bahwa perbincangan tentang uang, seks, mertua
merupakan hal yang sensitif, maka, teknik ritual di atas penting untuk dilakukan. Saat ritual ini
dijalankan, sekiranya butuh selembar tikar atau tempat nyaman yang hanya bisa diduduki oleh
pihak pembicara. Artinya, pada tahap ini yang berhak berbicara hanyalah pihak yang
memegang tikar. Sementara yang tidak memiliki tikar saat itu hanyalah sebagai pendengar.
59
Pada saat tertentu, si pembicara akan menyerahkan tikarnya kepada pihak pendengar. Artinya
saat itu si pendengar telah menjadi pembicara, begitu juga sebaliknya. Ritual ini berisi tentang M
O
menyimak dan menanggapi, tetapi tidak menafsirkan, serta upaya dalam menemukan solusi M
bagi permasalahan yang sensitif.15 E
Oleh karena itu, ketahanan sebuah keluarga haruslah dimulai dari metode pembagian N
T
peran yang baik dan benar. Pembagian tersebut harus terlepas dari bayang-bayang pesimis, U
ketidakpercayaan, menguasai dan kekerasan. Dengan adanya perhatian dan perasaan bahwa M
pasangannya tidak akan tergantikan, seyogyanya keharmonisan dalam keluarga akan tetap
terjaga. Kemampuan menyimak dan berbicara sebagaimana ritual di atas adalah jalan keluar
terbaik saat menghadapi masalah.
15 Ibid., 264.
16 Meskipun Anderson berangkat sebagai peneliti yang diklaim sebagai outsider, namun hasil temuannya
memiliki sudut pandang tersendiri dan relevan dengan studi keluarga dalam Islam. Lihat, J. N. D. Anderson.
Source, “Reforms in Family Law in Morocco”, Journal of African Law: Cambridge University Press on Behalf of
the School of Oriental and African Studies, Vol. 2, No. 3, 1958, 148.
penghalang dan ketimpangan peran dan hak antara suami, istri dan anak.
Berbeda dengan ketentuan yang bersumber dari Al Qur’an, gejala dan interaksi sosial
yang ditunjukkan oleh manusia terikat oleh aturan Tuhan yang disebut Taqdir (Q.S Al Furqan:
2; Yasin: 38). Gejala kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, yang memiliki karakteristik
individual dankolektif, terikat oleh hukum Allah yang disebut Sunnatullah (Q.S Al-Ahzab: 38,
62: Fathir: 43; Al-Mu’min: 85; Al-Fath: 23), yang secara empiris dikenal sebagai gejala
perilaku manusia (human behaviour). Sementara itu, gejala kehidupan manusia sebagai
makhluk yang berbudaya dan berperadaban, yang memiliki keyakinan dan norma-norma
kehidupan, terikat oleh hukum Allah yang disebut Syari’ah (Q.S Al-Syura: 13, Al-Jatsiyah:
18). Suatu “jalan kehidupan menuju mata air kebahagiaan”, sebagaimana tertuang dalam
berbagai perintah (al-awamir) dan larangan (al-nawahi) Allah, yang secara empiris dikenal
sebagai gejala budaya. Kandungan Q.S Al-Hujurat: 13, misalnya, menunjukkan bahwa
manusia yang diciptakan Allah dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan dapat dipandang
sebagai makhluk biologis. Ketika manusia dijadikan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa,
dapat dipandang sebagai makhluk sosial. Sedangkan ketika menusia diperintahkan untuk saling
mengenal dan penilaian terhadap derajat mereka dengan menggunakan tolak ukur ketakwaan,
dapat dipandang sebagai makhluk budaya, yang memiliki keyakinan dan terikat oleh norma-
norma kehidupan.17
Uraian di atas semakin menegaskan bahwa kehidupan manusia dalam berperilaku (taklif)
terikat oleh hukum Tuhan. Ketentuan hal ini tidak terlepas dari norma atau kaidah yang 60
ditetapkan. Namun, kebutuhan sosial masyarakat tidak selamanya termaktub di dalam titah M
Tuhan ataupun rasul-Nya secara eksplisit.18 Oleh karena itu, diperlukan suatu usaha untuk O
memahami Al Qur’an dan Sunnah yang kemudian disebut ijtihad; dan produk ijtihadnya M
E
disebut fikih.19 N
Fikih keluarga secara etimologi disebut juga dengan Al Ahwal Asy Syakshiyyah. Fikih ini T
U
merupakan grand design dari konsep keluarga ideal untuk mewujudkan ketahanan keluarga
M
menurut pandangan Islam. Al Qur’an telah menegaskan bahwa, pembentukan jalinan keluarga
dimaksudkan sebagai upaya (1) memelihara kehormatan diri (hifzh al-nafs) agar mereka tidak
terjerumus ke dalam perbuatan terlarang, (2) memelihara kelangsungan kehidupan
manusia/keturunan (hifz al-nasl) yang sehat, (3) mendirikan kehidupan rumah tangga yang
dipenuhi kasih sayang antara suami dan istri dan saling membantu antara keduanya untuk
kemaslahatan bersama.20
Secara istilah/terminologi fikih keluarga Islam adalah fikih yang mengatur kehidupan
keluarga yang dimulai dari awal pembentukan keluarga (peminangan), sampai dengan
berakhirnya keluarga (wafat atau perceraian) yang berisi pembahasan seputar munakahat
(perkawinan), mawaris (pewarisan) dan juga wakaf.21
17 Cik Hasan Bisri, Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2004), 8.
18 Dalam hal ini para ulama’ merumuskan suatu kaidah, sebagaimana yang dikutip oleh T.M Hasbie Ash-
Shiddieqy, “ ت ا عما ص ” ا قائع ت ا. T.M Hasbie Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1975), 45.
19 Jaih Mubarok, Ijtihad Kemanusiaan, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), 9.
20 QS. Al-Rum (33): 21.
21 Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, (Yogyakarta:
Namun secara umum pengertian keluarga dapat dilihat dari dua sisi, pengertian sempit
dan pengertian luas. Keluarga dalam pengertian sempit adalah kesatuan masyarakat terkecil
yang terdiri dari suami, isteri, dan anak yang berdiam dalam satu tempat tinggal. 22 Tujuannya
adalah untuk mengatur hubungan antara suami, istri, dan anak dalam keluarga.23
Mengingat sangat pentingnya peran keluarga dalam kehidupan ini, maka Islam juga telah
menawarkan konsep tentang keluarga, yang disebut oleh Al-Qur’an dengan istilah keluarga
sakinah, mawaddah dan rahmah.24 Hubungan suami istri dalam keluarga diibaratkan seperti
pakaian/libas. Suami adalah pelindung bagi istri, dan istri adalah pelindung bagi suami.
Sebagaimana dinyatakan dalam surat QS. Al-Baqarah (2): 187
artinya keluarga adalah persekutuan atau perkumpulan hidup yang dimulai dengan pernikahan. M
Sehingga mengandung makna, keluarga sakinah adalah hidup berekelompok atara dua insan O
yang berbeda jenis kelamin untuk membentuk intraksi antara pasangan dan anggota keluarga M
E
yang didahului dengan upacan akad nikah. N
Atas dasar itu, terpenuhinya konsep sakinah, mawaddah dan rahmah dalam keluarga T
berarti telah mencerminkan ajaran Al Qur’an yang disebut mu’asyarah bi al-ma’ruf (pergaulan U
M
suami istri yang baik),26 serta keseimbangan antara hak dan kewajiban. Ayat-ayat ini
memberikan pengertian bahwa Tuhan menghendaki perkawinan dan relasi suami istri berjalan
dalam pola interaksi yang harmonis, suasana hati yang damai serta keseimbangan hak dan
kewajiban. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa mu’asyarah bi al-ma’ruf merupakan
landasan moral yang harus dijadikan acuan dalam semua hal yang menyangkut hubungan
suami-istri.27
Prinsip keseimbangan dalam keluarga, mengandung pengertian bahwa baik suami
maupun istri memilki kewajiban yang sama, yakni melaksanakan perintah-perintah agama.
ACAdeMIA+TAZAFFA,2007), 5-6.
22 Dalam hal ini disebut juga dengan nuclear family atau keluarga inti (al usrah). Selain itu juga dikenal Al
‘Ailah,yang merupakan pengertian luas atau bisaa dikenal dengan extended family. Lebih lanjut lihat, Abdul Kadir
Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), 63.
23 Abd al-Wahhab Khallaf, “Ilmu Ushul al-Fiqh, cet ke-8, (ttp: Maktabah al-Da’wah, 1989), 32.
24 QS: Ar-Rum (30): 21
25 Said Agil Husin al-Munawwar, Agenda Generasi Intelektual: Ikhtiar Membangun Masyarakat Madani
(Jakarta: Pena Madani, 2003), 62-63.
26 QS. An-Nisa’ (4):19 dan QS. Al-Baqarah (2):228
27 Badriyah Fayumi, Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan Bunga Rampai Pemikiran Ulama
Muda (Yogyakarta : LKiS, 2002), 106-107.
Dalam tatanan relasi antar manusia, setiap laki-laki maupun perempuan memiliki peluang yang
sama untuk memperoleh pahala bila mampu menjalankan perintah agama. Dan memiliki
peluang yang sama untuk di azab bila masing-masing dari keduanya melanggar perintah-
perintah tersebut. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Surat An-Nahl (16):97 yang berbunyi:
Dalam hadis yang diriwayatkan Sunan Ibn Majah di atas, merupakan peringatan bagi
para suami akan hak dan kewajibannya terhadap istrinya. Perintah berbuat baik dan larangan 62
bertindak kekerasan, pada dasarnya sejalan dengan prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh
M
Al Qur’an. Sehubungan dengan itu, dapat diambil benang merah bahwa hubungan suami dan O
istri yang ideal sebagaimana yang telah dituntun oleh Rasulullah adalah sebagai berikut: M
E
Suami ideal adalah: N
T
1. Suami yang dapat berperan sebagai qawwam, bertanggung jawab, serta dapat U
M
melindungi dan mengayomi istri.
2. Suami yang mampu memberikan nafaqah secara hasanah.
3. Menjadi mitra istri dalam mengokohkan budi pekerti dan akhlak mulia
4. Mendukung, mengembangkan potensi dan aktualisasi diri istri sebagai khalifatullah
5. Memberi perhatian dan selalu menjaga nama baik istri dan keluarganya.
6. Menciptakan hubungan yang demokratis dan seimbang dalam pengambilan keputusan
dalam keluarga.
7. Mendialogkan dengan cara ma’ruf setiap masalah yang dapat menimbulkan konflik.
8. Menghindari berbagai bentuk kekerasan, baik melalui ucapan, tindakan yang dapat
menyebabkan penderitaan fisik maupun psikis.
28 Khalil Abdul Karim, al-Sahabah wa al-sahabah (Kairo: Sina Li Nasyr, 1997), 410-411.
29 CD Room Mausu’ah al-Hadis asy-Syarif al-Kutubu at-Tis’ah,
4908 با م ك م ض ا ساء, كتا ا كا, ا خار ص
Kesimpulan
Terwujudnya ketahanan keluarga seyogyanya tidak lepas dari beberapa faktor yang
mempengaruhinya. Diantara faktor-faktor tersebut adalah upaya membentuk kepribadian
anggota keluarga yang syarat dengan nilai atau norma. Hal itu penting disegerakan mengingat
nilai atau norma adalah stimulan dalam pembentukan konsep diri. Dengan demikian, upaya
tersebut harus berangkat melalui proses pembudayaan serta pemberdayaan mulai dari tingkat
keluarga hingga masyarakat.
Faktor lain yang mempengaruhi ketahanan keluarga adalah keluwesan dalam berbagi
peran. Ibarat pementasan teater, alur cerita tidak akan berjalan lancar ketika setiap aktor tidak
menjalani perannya dengan baik dan benar. Semuanya tentu harus dilakukan secara berimbang.
Pemenuhan hak dan kewajiban ditopang atas dasar amanah dan tanggung jawab. Ketika
tawaran di atas dapat diterapkan secara optimal, pewacanaan kehidupan konsep keluarga
sakinah, mawaddah dan rahmah tentu akan mudah terealisasikan. Serupa dengan apa yang
pernah diajarkan Rasulullah dalam sunahnya, bahwa Rasulullah meletakkan standard indikasi 63
kesuksesan dunia dan akhirat dengan raihan trust, competence dan responsibility.
M
O
M
Daftar Pustaka
E
N
Agil, Husin al-Munawwar, Said, Agenda Generasi Intelektual: Ikhtiar Membangun T
Masyarakat Madani. Jakarta: Pena Madani, 2003. U
M
Ash-Shiddieqy, Hasbie, Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Bath, ”The Three Pillars of Trauma Informed-Care”, Journal Reclaiming Childreen and Youth,
Vol.17, No.3, 2008.
CD Room Mausu’ah al-Hadis asy-Syarif al-Kutubu at-Tis’ah,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1997).
Djihantini, Noordjannah, ed., Memecah Kebisuan, Agama Mendengar Suara Perempuan
Korban Kekerasan Demi Keadilan, Respon Muhammadiyah. Jakarta: KOMNAS
Perempuan, 2009.
E.P Seligman, Martin, Authentic Happiness. Terj. Jalaluddin Rakhmat. Bandung: Mizan, 2005.
Fayumi, Badriyah, Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan Bunga Rampai Pemikiran
Ulama Muda. Yogyakarta : LKiS, 2002.
Hawari, Dadang, Al-Qur’an, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta: PT.
Dhana Bhakti Prima Yasa, 1995.
Herimanto dan winarmo, Ilmu sosial & budaya dasar. Jakarta: Bumi Aksara, 2010.
30 Noordjannah Djihantini (ed.), Memecah Kebisuan, Agama Mendengar Suara Perempuan Korban
Kekerasan Demi Keadilan, Respon Muhammadiyah (Jakarta: KOMNAS Perempuan, 2009), 147-149.
I. Watson, Robert dan Henry Cly Lindgren, Psychology of the Child. New York: Jon Wiley and
Sons, 1974.
J. N. D. Anderson. Source, “Reforms in Family Law in Morocco”, Journal of African Law:
Cambridge University Press on Behalf of the School of Oriental and African Studies, Vol. 2,
No. 3, 1958
Kadir Muhammad, Abdul, Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993.
Kant, Fundamental Principles of the Metaphysics of Morals, Translated by Thomas K. Abbott.
New York: The Bobbs-Merill Company, Inc., 1949.
Khallaf, Abd al Wahhab Ilmu Ushul al-Fiqh, cet ke-8, ttp. Maktabah al-Da’wah, 1989.
Mubarok, Jaih, Ijtihad Kemanusiaan. Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005.
Nasution, Khoiruddin, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia. Yogyakarta:
ACAdeMIA+TAZAFFA, 2007.
Nye, F. Ivan, “Role Constrcts: Measurement,” dalam F. Ivan Nye, Role Structure and Analysis
of The Familiy. Beverly Hills - London: Sage Publications, 1976.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1994 tentang Penyelenggaraan
Pembangunan Keluarga Sejahtera.
S. Willis, Sofyan, Konseling Keluarga. Bandung: ALFABETA, 2011.
64
M
O
M
E
N
T
U
M
Oleh
Ashabul Fadhli⃰
fadhli_bull@yahoo.co.id
Abstrak
Kajian sosiologi keluarga merupakan sebuah studi yang memandang bahwa keluarga
terbentuk dari sistem sosial yang mempengaruhi setiap elemen yang berada di dalamnya.
Potret keluarga yang disajikan dari hasil studi ini akan menghasilkan fenomena sosial
secara faktual dan aktual. Salah satunya mengenai ketahanan keluarga di era globalisasi.
Sejatinya, keluarga yang akan mampu bertahan adalah keluarga yang telah sejak dini
menanamkan nilai-nilai sosial berupa norma-norma yang berlaku, termasuk agama. Hal ini
dikarenakan agama memegang kendali yang kuat sekaligus sebagai petunjuk yang bersifat
absolout bagi manusia.
Pendahuluan
Keluarga diyakini sebagai awal terbentuknya dinamika sosial di tengah masyarakat. 65
Kehadiran keluarga sebagai satu kesatuan dari suami, istri dan anak merupakan sistem terkecil
yang menghadirkan pola hubungan interpersonal. Maka, tidak salah ketika diasumsikan bahwa M
O
keluarga secara sosial memiliki peranan penting dalam hierarki vertikal organisasi sosial, M
melalui peran dan hubungannya sesama manusia (hablum minan nas). E
N
Gerak dan ruang keluarga perlu dipahami secara dinamis. Ini terkait dengan bentuk dan
T
ragam keluarga yang saling berbeda satu sama lain. Setiap keluarga tentu mempunyai standar U
kehidupan sendiri dalam menjalani perannya. Katakanlah itu dalam hal pembagian peran dan M
pemahamannya tentang hakikat keluarga. Selain itu, pengaruh perkembangan budaya juga
mempengaruhi terhadap kehidupan keluarga. Ini terjadi karena institusi keluarga tidak bergerak
secara statis, namun senantiasa terus berkembang mengikuti arus zaman.
Menurut pandangan Islam, relasi yang diterapkan dalam keluarga sangat berpotensi
untuk membimbing terwujudnya hubungan yang baik (mu’asyirah bil ma’ruf). Ikatan tersebut
berawal melalui lembaga perkawinan yang bersifat mitsaqan ghalizhan yaitu perjanjian/ikatan
yang kuat yang terbentuk melaui lembaga perkawinan. Perjanjian inilah (akad) yang kemudian
bermanifestasi menjadi cikal bakal lahirnya konsep kesesuaian, keseimbangan dan ketahanan
dalam keluarga. Kesesuaian tersebut menghasilkan out put yang bersifat mitra antara suami
dengan istri, bukan lagi sebagai pemimpin dan yang dipimpin. Begitu juga dengan kehadiran
anak. Seyogyanya, anak diposisikan sebagai anugrah yang maha kuasa agar senantiasa
bersyukur dan bertanggung jawab atas kepercayaan yang disandang.
Artikel ini disamping mengeksplorasi asumsi dasar mengenai institusi keluarga, juga
akan mengkaji lebih jauh tentang konsep ketahanan keluarga dengan menggunakan kacamata
sosial dan agama.
Ketahanan Keluarga
Keluarga dapat dipahami sebagai sebuah sistem. Sistem ini terjadi akibat adanya
komunikasi dua arah (suami-istri) dan komunikasi segala arah bagi semua anggota keluarga
(ayah, ibu dan anak). Maka, setiap komponen keluarga berfungsi untuk saling mengarahkan,
membina, memberikan perhatian dan kasih sayang kepada setiap anggota keluarga. 1
Dalam rangka membangun dan mensejahterakan institusi keluarga, Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga
Sejahtera, disebutkan bahwa keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang mempunyai
peran penting dalam pembangunan nasional, oleh karena itu perlu dibina dan dikembangkan
kualitasnya agar senantiasa dapat menjadi keluarga sejahtera serta menjadi sumber daya
manusia yang efektif bagi pembangunan nasional.2
Berdasarkan amanat Undang-Undang di atas, maka sudah menjadi suatu keharusan bagi
setiap anggota keluarga untuk mengembangkan kualitas diri dan fungsi keluarga, tegasnya
sumber daya manusia dalam keluarga. Pengembangan sumber daya manusia (SDM) berpotensi
dalam membentuk kemandirian dan dalam pengembangan kualitas keluarga. Peningkatan SDM
tersebut dapat berupa peningkatan pada sisi pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, mental-
spritual serta nilai-nilai keagamaan yang sangat penting untuk membentuk pola pikir dalam
menyikapi ragam persoalan. Hal ini dikarenakan manusia merupakan makhluk sosial, dan tak
akan pernah bisa lepas dari pergulatan sosial.
66
Manusia sebagai makhluk sosial atau yang menurut Aristoteles disebut dengan Zoon
Politikon, dikodratkan hidup dalam kebersamaan dalam masyarakat. Kehidupan dalam M
O
kebersamaan berarti adanya hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya.
M
Dalam hubungan sosial itu, pastinya selalu terjadi interaksi sosial yang mewujudkan E
jaringan/relasi sosial (a web of sosial relationship) yang disebut sebagai masyarakat. Relasi N
T
tersebut menuntut cara berperilaku antara satu individu dengan individu lainnya untuk U
mencapai suatu ketertiban. M
Agar tercapainya pola hubungan yang bersifat timbal balik sebagaimana di atas, dapat
dilakukan dengan membangun mental dan jiwa yang mapan, salah satunya dengan pendidikan.
Pendidikan dapat dilakukan secara internal dan non-formal berbasis keluarga. Jadi tidak hanya
pendidikan yang diterapkan di sekolah formal. Alasannya adalah keluarga menjadi tempat
paling strategis dalam membangun karakter manusia. Melalui pranata inilah anak manusia
untuk pertama kalinya mengalami proses pendidikan yang sesungguhnya. Anak-anak mengenal
cara berkomunikasi, berbahasa, berinteraksi dengan sesama. Hingga pada akhirnya, setiap
anggota keluarga siap secara intelektual, pribadi, sosial, spiritual dan fisik. 3
Penanaman nilai-nilai atau yang lebih familiar dengan sebutan norma-norma4 tak ayal
menjadi suatu keharusan. Penanaman ini, tidak hanya yang bersifat duniawi semata,
pendidikan agama yang diterapkan dalam keluarga tetap menjadi pondasi utama. Bahkan harus
dimulai sejak usia dini, terlebih jika edukasi tersebut diaplikasikan sejak bayi masih di dalam
kandungan. Sejumlah masyarakat modern misalnya, telah memulainya dengan menggunakan
berbagai metode seperti yang marak dilansir oleh media belakangan. Seluruh anggota keluarga
ditanamkan suatu kesadaran untuk melakukan pilihan antara nilai-nilai yang dikategorikan
salah atau benar, baik atau buruk, pantas atau tidak pantas. Kebiasan-kebiasaan itu dapat
dimulai dengan mempraktekkannya dalam kegiatan sehar-hari. Kemudian berlanjut dengan
internalisasi nilai-nilai sebagaimana di atas, hingga mendarah daging dalam kehidupan seluruh
anggota keluarga.
Mengutip pendapat Immanuel Kant (1724-1804), bahwa norma moral itu mengikat
secara mutlak dan tidak tergantung dari apakah ketaatan atas norma itu membawa hasil yang
menguntungkan atau tidak. Misalnya norma moral "jangan bohong" atau "bertindaklah secara
adil" tidak perlu dipertimbangkan terlebih dulu apakah menguntungkan atau tidak, disenangi
atau tidak, melainkan selalu dan di mana saja harus ditaati, entah apa pun akibatnya. Hukum
moral mengikat mutlak semua manusia sebagai makhluk rasional.5
Pendapat yang dilontarkan Kant di atas mengasumsikan, bahwa moral menjadi bagian
terpenting dalam pertumbuhan karakter manusia. Moral sejatinya dapat menjadi garda terdepan
dalam menyikapi segelumit persoalan. Institusi keluarga pun ditantang untuk siap menggempur
setiap perubuhan yang datang. Tak jarang, dalam menjalani proses tersebut, ketika keluarga 67
tidak lagi memiliki ketahanan yang baik, tentu akan mengalami disorientasi nilai, yakni M
kehilangan arah dalam menentukan pilihan-pilihan hidup. Mobilitas yang berlebihan membuat O
beban dan fungsi keluarga menjadi lebih berat. Indikasinya akan melahirkan keluarga-keluarga M
E
yang keluar jalur (out-reach) atau berantakan. Jika sudah begini, sejumlah perilaku yang N
bersifat devian atau menyimpang akan lahir sebagai wujud ketidakmapanan. T
U
Menurut riset yang pernah dilakukan, ketidakmapanan peran seorang ayah atau ibu tanpa
M
disadarai akan berimbas lansung terhadap anak. 6 Faktor penelantaran dan kekerasan adalah
resiko yang cendrung dialami anak. Konflik suami istri menghadirkan problem baru bagi
perkembangan anak. Anak akan cendrung mengalami masalah kesehatan mental yang berarti,
serta berbagai kesulitan penyesuaian lainnya. Masalah kesehatan mental itu meliputi trauma,
kecemasan, depresi, perilaku menantang, agresif, nakal dan sebagainya. 7
sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Berdasarkan klasifikasinya, norma
dikelompokkan menjadi (1) Norma agama, yaitu peraturan hidup manusia yang berisi perintah dan larangan yang
berasal dari Tuhan, (2) Norma moral/kesusilaan, yaitu peraturan atau kaidah hidup yang bersumber dari hati
nurani dan merupakan nilai-nilai moral yang mengikat manusia, (3) Norma kesopanan, yaitu peraturan atau kaidah
yang bersumber dari pergaulan hidup antar manusia, (4) Norma hukum, yaitu peraturan atau kaidah yang
diciptakan oleh kekuasaan resmi atau negara yang sifatnya mengikat atau memaksa. Herimanto dan winarmo,
Ilmu sosial & budaya dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010),132.
5 Kant, Fundamental Principles of the Metaphysics of Morals, Translated by Thomas K. Abbott (New
York: The Bobbs-Merill Company, Inc., 1949), 57.
6 Robert I. Watson dan Henry Cly Lindgren, Psychology of the Child (New York: Jon Wiley and Sons,
1974), 187.
7 Gejala yang ditunjukkan di atas tarafnya bermacam-macam. Mulai dari yang paling ringan hingga yang
paling berat. Umumnya, gejala psikologis tersebut dilandasi karena faktor lingkungan. Lingkungan merupakan
jaringan yang berkaitan dengan faktor eksternal dan kondisi yang melingkupinya. Kondisi itulah yang kemudian
membentuk kepribadian individu dan cara merespon berbagai problematika disekitarnya, seperti masalah keluarga
Perilaku negatif yang dilakukan anak, akan terus berlanjut hingga ke bangku pendidikan
di sekolah formal. Anak akan terjebak pada ketidakmampuannya dalam mengikuti jam
pelajaran dengan baik, menyelesaikan tugas dan mendapatkan nilai yang buruk. Dengan
demikian, keluhan somatik8 seperti sakit kepala, sakit perut, asma, dan masalah eliminasi
sering dialami oleh seorang anak. Apalagi pemberitaan di sejumlah media cetak maupun
elektronik secara lugas menginformasikan, bahwa dunia pendidikan secara tidak lansung turut
menerapkan beban ganda kepada peserta ajar.
Seperti yang dilansir oleh Dirjen Pendidikan Dasar Kemendikbud, Suyanto, beberapa
waktu lalu, bahwa jumlah pelajaran yang berlaku saat ini membebani siswa.9 Kurikulum
pendidikan yang di luar batas kemampuan dan kebutuhan siswa, penambahan waktu belajar
dengan mendorong anak mengikuti jam pelajaran tambahan, penerapan sanksi-sanksi yang
kurang menunjang tercapainya tujuan pendidikan, disertai disiplin yang terlalu ketat,
ketidakharmonisan antara peserta didik dan pendidik, kurangnya kesibukan belajar di rumah
adalah sekelumit persoalan yang dihadapi anak. Proses pendidikan seperti ini jelas sangat tidak
menguntungkan bagi perkembangan anak. Konflik keluarga dan pembiaran yang terus-menerus
akan berujung pada kenakalan remaja.
Meskipun demikian, jika meminjam konsep yang ditawarkan Aristoteles di atas, institusi
keluarga pada dasarnya tidak berdiri sendiri. Sejumlah paguyuban yang langgeng di tengah
masyarakat turut menopang pertahanan dari institusi keluarga. Keluarga tumbuh dan
berkembang dalam institusi sosial sebagai bagian dari sistem sosial keseluruhan. Lembaga- 68
dan kekerasan. Dadang Hawari, Al-Qur’an, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan JIwa (Yogyakarta: PT. Dhana
Bhakti Prima Yasa, 1995), 43-45.
8 Gejala dan keluhan somatik (psikomatis) adalah penyakit fisik dengan keluhan fisik yang disertai gejala-
gejala fisik yang nyata. Gejala ini cukup serius untuk menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada
pasien atau gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan.
Penyebabnya adalah tekanan psikologis atau stress. Menurut Bath, gejala pada anak tidak sepenuhnya sama
dengan gejala yang dialami orang dewasa. Lihat, Bath, ”The Three Pillars of Trauma Informed-Care.” dalam
Journal Reclaiming Childreen and Youth, Vol.17, No.3, 2008, 17-21. Lihat Juga Tjipto Susana, ”Pendekatan Tiga
Pilar Terhadap Anak Yang Mengalami Trauma Kekerasan” dalam Jurnal Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan
Humaniora UIN Sunan Kalijaga, Vol. II, No. 3, 2009, 24-25.
9 Harian Republika, 19 Oktober 2012,1
10 Kehadiran lembaga sosial sangat berpengaruh besar terhadap implementasi norma-norma dari segala
tingkatan yang berkisar pada kebutuhan pokok manusia, dalam arti bahwa norma kemasyarakatan itu dikenal,
diakui, dihargai, dan kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut lihat, Soejono Soekanto,
Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007).
lain, tentu akan mendatangkan warna baru yang dapat mengilhami seluruh lapisan masyarakat,
terutama keluarga.
peranperan yang telah disusun oleh masyarakat, yang mengatur apa dan bagaimana peran
setiap orang dalam pergaulannya. Jika seorang mematuhi skenario, maka hidupnya akan
harmonis, tetapi jika menyalahi skenario, maka ia akan dicemooh oleh ”penonton” dan ditegur
oleh ”sutradara”. Sebagai contoh, seorang individu yang dinobatkan oleh masyarakat untuk
menjadi seorang pemimpin, sebut saja RT atau RW, yang mengatur proses interaksi sosial.
Demikian juga dengan peran suami, isteri, ayah, ibu, anak, dan seterusnya. Hal ini dikarenakan
keluarga merupakan suatu sistem peranan, dimana setiap anggotanya nempunyai peranan yang
berbeda namun saling melengkapi.
Dalam masyarakat tradisional struktur peran terlihat kontras satu sama lain. Berbeda
dengan masyarakat teknologi maju (modern), tampaknya ditandai dengan keharusan dan
luasnya berbagi peran. Dalam kehidupan rumah tangga misalnya, untuk memenuhi segala
kebutuhan hidup yang bersifat primer maupun skunder, tentunya suami, istri dan anak harus
11 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia.1997. (Jakarta: Balai
Pustaka), 751.
12 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo, 1987), 221.
13 F. Ivan Nye, “Role Constructs: Measurement,” dalam F. Ivan Nye, Role Structure and Analysis of The
Familiy (Beverly Hills - London: Sage Publications, 1976), 15.
melakukan pembagian peran. Ketika suami berperan sebagai pencari nafkah, sementara istri
tidak bekerja menghasilkan pundi-pundi ekonomi, maka sudah selayaknya istri mengambil
peran pada wilayah domestik. Begitu juga sebaliknya. Namun, ketika suami dan istri sama-
sama bekerja untuk mencari nafkah, pembagian peran tentu harus dibagi secara bijak. Tanpa
mengenyampingkan kewajiban lain seperti pengasuhan anak. Oleh karena itu, harus
diasumsikan bahwa tidak semua pasangan akan memberlakukan peran serupa. Dalam kerangka
peran ini, dua ukuran peran yang penting ditetapkan:
1. Pembagian kerja antara suami-isteri, dan
2. Pembagian antara mereka dan pelaku peran lain, baik dalam keluarga maupun dalam
organisasi sosial lainnya. Ini memungkinkan berlakunya gambaran peran oleh anggota
keluarga lain atau menyewa pembantu.
Sebagai contoh, sejumlah istri berperan sebagai ibu rumah tangga yang bertugas
memenuhi kebutuhan keluarganya seperti memasak, mencuci dan sebagainya. Pekerjaan
tersebut tidak berarti bahwa mereka memiliki kewajiban untuk melakukannya secara terus-
menerus dan akan mendapatkan sanksi jika mereka tidak melakukannya pada konteks tertentu.
Hal yang sama dapat dilihat dari sisi suami. Ketika suami bekerja sebagai buruh atau kantoran,
tidak menutup kemungkinan akan menerima resiko seperti habis kontrak, dipecat bahkan
pensiun. Pada masa transisi itu, istri dapat menyikapi posisi suaminya dengan membantu peran
suaminya pada wilayah ekonomi, hingga ekonomi keluarga pulih dan stabil kembali. 70
Frank Fincham, profesor di State University of New York di Buffalo dan Thomas
M
Bradbury, Profesor di universitas UCLA, lebih dari satu dekade menelusuri efek emosi bagi O
pasangan suami istri. Menurut hasil penelitian yang dilakukan, sikap optimis (saling percaya M
E
dalam berbagi peran) masing-masing pasangan membantu dalam hubungan perkawinan. Dalam
N
tulisannya, dinarasikan bahwa pasangan yang baik adalah pasangan yang selalu membicarakan T
setiap permasalahan yang datang kepadanya. Ketika seorang istri merasa tidak senang/nyaman, U
M
suami sehendaknya segera berusaha untuk menemukan penjelasan temporer atas
ketidaknyamanan istrinya.
Sebaliknya, hubungan yang tidak baik adalah ketika hubungan itu dimulai dengan emosi
yang pesimis. Hubungan pesimis disini dimaksudkan sebagai hubungan yang tertutup dan tidak
terbuka satu sama lain. Suami atau istri tidak mau meluangkan waktunya untuk bercerita dan
sharing ketika terjadi miskomunikasi atau perpecahan diantara mereka. Akibatnya, pasangan
tersebut akan saling menyalahkan dan merasa sama-sama berada di pihak yang benar.14
Perbedaan pandangan dan sikap di atas dapat mengarah pada konflik peran (role
conflict), dimana pelaksanaan kegiatan atau kerja dengan satu tekanan dapat menyulitkan hal
yang lain dengan tekanan yang menyertainya. Role conflict memiliki beberapa tipe:
1. Konflik antara individu dengan perannya, yaitu konflik yang terjadi antara kepribadian
individu dan harapan akan perannya. Tegasnya, konflik akan muncul dalam diri
individu pemegang peran, jika peran yang diterima oleh individu tersebut
bertentangan atau tidak konsisten dengan harapan.
2. Konflik intrarole (intrarole conflict), yaitu konflik yang dihasilkan oleh harapan yang
kontradiktif terhadap bagaimana peran tertentu harus dijalankan, atau konflik yang
14 Martin E.P Seligman, Authentic Happiness, terj. Jalaluddin Rakhmat (Bandung: Mizan, 2005), 257-259.
terjadi ketika individu-individu pemegang peran dengan harapan yang berbeda saling
berinterkasi.
3. Konflik interrole (interrole conflict), konflik ini dihasilkan dari persyaratan yang
berbeda dari dua atau lebih peran yang harus dijalankan pada saat bersamaan.
4. Konflik overrole (overrole conflict) merupakan tipe konflik peran yang lebih
kompleks. Konflik ini terjadi ketika harapan yang dikirimkan pada pemegang peran
dapat digabungkan, akan tetapi kinerja mereka melampaui jumlah waktu yang tersedia
bagi orang yang melaksanakan aktivitas yang diharapkan.
Sebagai solusi atas permasalahan pasangan yang cenderung pesimis (tidak percaya akan
peran masing-masing pasangan), terdapat teknik-teknik yang dapat berguna untuk melakukan
percakapan sehari-hari. Salah satunya adalah teknik yang disebut ”ritual pembicara-
pendengar”. Dalam menjaga hubungan agar tetap selalu baik, teknik ini penting untuk
digunakan. Karena bagi pasangan yang sedang bermasalah, hampir setiap diskusi adalah
sensitif dan gampang memuncak hingga menyebabkan pertengkaran.
Ketika suami atau istri merasa bahwa perbincangan tentang uang, seks, mertua
merupakan hal yang sensitif, maka, teknik ritual di atas penting untuk dilakukan. Saat ritual ini
dijalankan, sekiranya butuh selembar tikar atau tempat nyaman yang hanya bisa diduduki oleh
pihak pembicara. Artinya, pada tahap ini yang berhak berbicara hanyalah pihak yang
memegang tikar. Sementara yang tidak memiliki tikar saat itu hanyalah sebagai pendengar.
71
Pada saat tertentu, si pembicara akan menyerahkan tikarnya kepada pihak pendengar. Artinya
saat itu si pendengar telah menjadi pembicara, begitu juga sebaliknya. Ritual ini berisi tentang M
O
menyimak dan menanggapi, tetapi tidak menafsirkan, serta upaya dalam menemukan solusi M
bagi permasalahan yang sensitif.15 E
Oleh karena itu, ketahanan sebuah keluarga haruslah dimulai dari metode pembagian N
T
peran yang baik dan benar. Pembagian tersebut harus terlepas dari bayang-bayang pesimis, U
ketidakpercayaan, menguasai dan kekerasan. Dengan adanya perhatian dan perasaan bahwa M
pasangannya tidak akan tergantikan, seyogyanya keharmonisan dalam keluarga akan tetap
terjaga. Kemampuan menyimak dan berbicara sebagaimana ritual di atas adalah jalan keluar
terbaik saat menghadapi masalah.
15 Ibid., 264.
16 Meskipun Anderson berangkat sebagai peneliti yang diklaim sebagai outsider, namun hasil temuannya
memiliki sudut pandang tersendiri dan relevan dengan studi keluarga dalam Islam. Lihat, J. N. D. Anderson.
Source, “Reforms in Family Law in Morocco”, Journal of African Law: Cambridge University Press on Behalf of
the School of Oriental and African Studies, Vol. 2, No. 3, 1958, 148.
penghalang dan ketimpangan peran dan hak antara suami, istri dan anak.
Berbeda dengan ketentuan yang bersumber dari Al Qur’an, gejala dan interaksi sosial
yang ditunjukkan oleh manusia terikat oleh aturan Tuhan yang disebut Taqdir (Q.S Al Furqan:
2; Yasin: 38). Gejala kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, yang memiliki karakteristik
individual dankolektif, terikat oleh hukum Allah yang disebut Sunnatullah (Q.S Al-Ahzab: 38,
62: Fathir: 43; Al-Mu’min: 85; Al-Fath: 23), yang secara empiris dikenal sebagai gejala
perilaku manusia (human behaviour). Sementara itu, gejala kehidupan manusia sebagai
makhluk yang berbudaya dan berperadaban, yang memiliki keyakinan dan norma-norma
kehidupan, terikat oleh hukum Allah yang disebut Syari’ah (Q.S Al-Syura: 13, Al-Jatsiyah:
18). Suatu “jalan kehidupan menuju mata air kebahagiaan”, sebagaimana tertuang dalam
berbagai perintah (al-awamir) dan larangan (al-nawahi) Allah, yang secara empiris dikenal
sebagai gejala budaya. Kandungan Q.S Al-Hujurat: 13, misalnya, menunjukkan bahwa
manusia yang diciptakan Allah dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan dapat dipandang
sebagai makhluk biologis. Ketika manusia dijadikan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa,
dapat dipandang sebagai makhluk sosial. Sedangkan ketika menusia diperintahkan untuk saling
mengenal dan penilaian terhadap derajat mereka dengan menggunakan tolak ukur ketakwaan,
dapat dipandang sebagai makhluk budaya, yang memiliki keyakinan dan terikat oleh norma-
norma kehidupan.17
Uraian di atas semakin menegaskan bahwa kehidupan manusia dalam berperilaku (taklif)
terikat oleh hukum Tuhan. Ketentuan hal ini tidak terlepas dari norma atau kaidah yang 72
ditetapkan. Namun, kebutuhan sosial masyarakat tidak selamanya termaktub di dalam titah M
Tuhan ataupun rasul-Nya secara eksplisit.18 Oleh karena itu, diperlukan suatu usaha untuk O
memahami Al Qur’an dan Sunnah yang kemudian disebut ijtihad; dan produk ijtihadnya M
E
disebut fikih.19 N
Fikih keluarga secara etimologi disebut juga dengan Al Ahwal Asy Syakshiyyah. Fikih ini T
U
merupakan grand design dari konsep keluarga ideal untuk mewujudkan ketahanan keluarga
M
menurut pandangan Islam. Al Qur’an telah menegaskan bahwa, pembentukan jalinan keluarga
dimaksudkan sebagai upaya (1) memelihara kehormatan diri (hifzh al-nafs) agar mereka tidak
terjerumus ke dalam perbuatan terlarang, (2) memelihara kelangsungan kehidupan
manusia/keturunan (hifz al-nasl) yang sehat, (3) mendirikan kehidupan rumah tangga yang
dipenuhi kasih sayang antara suami dan istri dan saling membantu antara keduanya untuk
kemaslahatan bersama.20
Secara istilah/terminologi fikih keluarga Islam adalah fikih yang mengatur kehidupan
keluarga yang dimulai dari awal pembentukan keluarga (peminangan), sampai dengan
berakhirnya keluarga (wafat atau perceraian) yang berisi pembahasan seputar munakahat
(perkawinan), mawaris (pewarisan) dan juga wakaf.21
17 Cik Hasan Bisri, Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2004), 8.
18 Dalam hal ini para ulama’ merumuskan suatu kaidah, sebagaimana yang dikutip oleh T.M Hasbie Ash-
Shiddieqy, “ ت ا عما ص ” ا قائع ت ا. T.M Hasbie Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1975), 45.
19 Jaih Mubarok, Ijtihad Kemanusiaan, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), 9.
20 QS. Al-Rum (33): 21.
21 Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, (Yogyakarta:
Namun secara umum pengertian keluarga dapat dilihat dari dua sisi, pengertian sempit
dan pengertian luas. Keluarga dalam pengertian sempit adalah kesatuan masyarakat terkecil
yang terdiri dari suami, isteri, dan anak yang berdiam dalam satu tempat tinggal. 22 Tujuannya
adalah untuk mengatur hubungan antara suami, istri, dan anak dalam keluarga.23
Mengingat sangat pentingnya peran keluarga dalam kehidupan ini, maka Islam juga telah
menawarkan konsep tentang keluarga, yang disebut oleh Al-Qur’an dengan istilah keluarga
sakinah, mawaddah dan rahmah.24 Hubungan suami istri dalam keluarga diibaratkan seperti
pakaian/libas. Suami adalah pelindung bagi istri, dan istri adalah pelindung bagi suami.
Sebagaimana dinyatakan dalam surat QS. Al-Baqarah (2): 187
artinya keluarga adalah persekutuan atau perkumpulan hidup yang dimulai dengan pernikahan. M
Sehingga mengandung makna, keluarga sakinah adalah hidup berekelompok atara dua insan O
yang berbeda jenis kelamin untuk membentuk intraksi antara pasangan dan anggota keluarga M
E
yang didahului dengan upacan akad nikah. N
Atas dasar itu, terpenuhinya konsep sakinah, mawaddah dan rahmah dalam keluarga T
berarti telah mencerminkan ajaran Al Qur’an yang disebut mu’asyarah bi al-ma’ruf (pergaulan U
M
suami istri yang baik),26 serta keseimbangan antara hak dan kewajiban. Ayat-ayat ini
memberikan pengertian bahwa Tuhan menghendaki perkawinan dan relasi suami istri berjalan
dalam pola interaksi yang harmonis, suasana hati yang damai serta keseimbangan hak dan
kewajiban. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa mu’asyarah bi al-ma’ruf merupakan
landasan moral yang harus dijadikan acuan dalam semua hal yang menyangkut hubungan
suami-istri.27
Prinsip keseimbangan dalam keluarga, mengandung pengertian bahwa baik suami
maupun istri memilki kewajiban yang sama, yakni melaksanakan perintah-perintah agama.
ACAdeMIA+TAZAFFA,2007), 5-6.
22 Dalam hal ini disebut juga dengan nuclear family atau keluarga inti (al usrah). Selain itu juga dikenal Al
‘Ailah,yang merupakan pengertian luas atau bisaa dikenal dengan extended family. Lebih lanjut lihat, Abdul Kadir
Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), 63.
23 Abd al-Wahhab Khallaf, “Ilmu Ushul al-Fiqh, cet ke-8, (ttp: Maktabah al-Da’wah, 1989), 32.
24 QS: Ar-Rum (30): 21
25 Said Agil Husin al-Munawwar, Agenda Generasi Intelektual: Ikhtiar Membangun Masyarakat Madani
(Jakarta: Pena Madani, 2003), 62-63.
26 QS. An-Nisa’ (4):19 dan QS. Al-Baqarah (2):228
27 Badriyah Fayumi, Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan Bunga Rampai Pemikiran Ulama
Muda (Yogyakarta : LKiS, 2002), 106-107.
Dalam tatanan relasi antar manusia, setiap laki-laki maupun perempuan memiliki peluang yang
sama untuk memperoleh pahala bila mampu menjalankan perintah agama. Dan memiliki
peluang yang sama untuk di azab bila masing-masing dari keduanya melanggar perintah-
perintah tersebut. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Surat An-Nahl (16):97 yang berbunyi:
Dalam hadis yang diriwayatkan Sunan Ibn Majah di atas, merupakan peringatan bagi
para suami akan hak dan kewajibannya terhadap istrinya. Perintah berbuat baik dan larangan 74
bertindak kekerasan, pada dasarnya sejalan dengan prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh
M
Al Qur’an. Sehubungan dengan itu, dapat diambil benang merah bahwa hubungan suami dan O
istri yang ideal sebagaimana yang telah dituntun oleh Rasulullah adalah sebagai berikut: M
E
Suami ideal adalah: N
T
1. Suami yang dapat berperan sebagai qawwam, bertanggung jawab, serta dapat U
M
melindungi dan mengayomi istri.
2. Suami yang mampu memberikan nafaqah secara hasanah.
3. Menjadi mitra istri dalam mengokohkan budi pekerti dan akhlak mulia
4. Mendukung, mengembangkan potensi dan aktualisasi diri istri sebagai khalifatullah
5. Memberi perhatian dan selalu menjaga nama baik istri dan keluarganya.
6. Menciptakan hubungan yang demokratis dan seimbang dalam pengambilan keputusan
dalam keluarga.
7. Mendialogkan dengan cara ma’ruf setiap masalah yang dapat menimbulkan konflik.
8. Menghindari berbagai bentuk kekerasan, baik melalui ucapan, tindakan yang dapat
menyebabkan penderitaan fisik maupun psikis.
28 Khalil Abdul Karim, al-Sahabah wa al-sahabah (Kairo: Sina Li Nasyr, 1997), 410-411.
29 CD Room Mausu’ah al-Hadis asy-Syarif al-Kutubu at-Tis’ah,
4908 با م ك م ض ا ساء, كتا ا كا, ا خار ص
Kesimpulan
Terwujudnya ketahanan keluarga seyogyanya tidak lepas dari beberapa faktor yang
mempengaruhinya. Diantara faktor-faktor tersebut adalah upaya membentuk kepribadian
anggota keluarga yang syarat dengan nilai atau norma. Hal itu penting disegerakan mengingat
nilai atau norma adalah stimulan dalam pembentukan konsep diri. Dengan demikian, upaya
tersebut harus berangkat melalui proses pembudayaan serta pemberdayaan mulai dari tingkat
keluarga hingga masyarakat.
Faktor lain yang mempengaruhi ketahanan keluarga adalah keluwesan dalam berbagi
peran. Ibarat pementasan teater, alur cerita tidak akan berjalan lancar ketika setiap aktor tidak
menjalani perannya dengan baik dan benar. Semuanya tentu harus dilakukan secara berimbang.
Pemenuhan hak dan kewajiban ditopang atas dasar amanah dan tanggung jawab. Ketika
tawaran di atas dapat diterapkan secara optimal, pewacanaan kehidupan konsep keluarga
sakinah, mawaddah dan rahmah tentu akan mudah terealisasikan. Serupa dengan apa yang
pernah diajarkan Rasulullah dalam sunahnya, bahwa Rasulullah meletakkan standard indikasi 75
kesuksesan dunia dan akhirat dengan raihan trust, competence dan responsibility.
M
O
M
Daftar Pustaka
E
N
Agil, Husin al-Munawwar, Said, Agenda Generasi Intelektual: Ikhtiar Membangun T
Masyarakat Madani. Jakarta: Pena Madani, 2003. U
M
Ash-Shiddieqy, Hasbie, Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Bath, ”The Three Pillars of Trauma Informed-Care”, Journal Reclaiming Childreen and Youth,
Vol.17, No.3, 2008.
CD Room Mausu’ah al-Hadis asy-Syarif al-Kutubu at-Tis’ah,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1997).
Djihantini, Noordjannah, ed., Memecah Kebisuan, Agama Mendengar Suara Perempuan
Korban Kekerasan Demi Keadilan, Respon Muhammadiyah. Jakarta: KOMNAS
Perempuan, 2009.
E.P Seligman, Martin, Authentic Happiness. Terj. Jalaluddin Rakhmat. Bandung: Mizan, 2005.
Fayumi, Badriyah, Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan Bunga Rampai Pemikiran
Ulama Muda. Yogyakarta : LKiS, 2002.
Hawari, Dadang, Al-Qur’an, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta: PT.
Dhana Bhakti Prima Yasa, 1995.
Herimanto dan winarmo, Ilmu sosial & budaya dasar. Jakarta: Bumi Aksara, 2010.
30 Noordjannah Djihantini (ed.), Memecah Kebisuan, Agama Mendengar Suara Perempuan Korban
Kekerasan Demi Keadilan, Respon Muhammadiyah (Jakarta: KOMNAS Perempuan, 2009), 147-149.
I. Watson, Robert dan Henry Cly Lindgren, Psychology of the Child. New York: Jon Wiley and
Sons, 1974.
J. N. D. Anderson. Source, “Reforms in Family Law in Morocco”, Journal of African Law:
Cambridge University Press on Behalf of the School of Oriental and African Studies, Vol. 2,
No. 3, 1958
Kadir Muhammad, Abdul, Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993.
Kant, Fundamental Principles of the Metaphysics of Morals, Translated by Thomas K. Abbott.
New York: The Bobbs-Merill Company, Inc., 1949.
Khallaf, Abd al Wahhab Ilmu Ushul al-Fiqh, cet ke-8, ttp. Maktabah al-Da’wah, 1989.
Mubarok, Jaih, Ijtihad Kemanusiaan. Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005.
Nasution, Khoiruddin, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia. Yogyakarta:
ACAdeMIA+TAZAFFA, 2007.
Nye, F. Ivan, “Role Constrcts: Measurement,” dalam F. Ivan Nye, Role Structure and Analysis
of The Familiy. Beverly Hills - London: Sage Publications, 1976.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1994 tentang Penyelenggaraan
Pembangunan Keluarga Sejahtera.
S. Willis, Sofyan, Konseling Keluarga. Bandung: ALFABETA, 2011.
76
M
O
M
E
N
T
U
M
Oleh
Fina ‘Ulya⃰
fina.ulya@roketmail.com
Abstrak
Segala yang ada di dunia tidak ada yang tunggal, semuanya beragam dan memiliki
keunikan masing-masing. Dalam dunia feminisme yang merupakan salah satu warna dalam
ragam prespektif manusia dalam melihat relasi laki-laki dan perempuan juga memiliki
keragaman dalam dirinya. Keragaman tersebut niscaya melahirkan konflik walau dengan
tingkatan yang beragam, ada yang kecil bahkan juga ada yang besar. Keragaman dalam
tubuh feminisme bukan lahir dari dunia yang hampa, semua berkait kelindan dengan
problem, kultur, budaya dimana feminisme itu lahir. Satu model feminisme tidak serta
merta dapat diaplikasikan dalam lingkungan lain yang berbeda dari konteks dan budaya
dimana feminisme tersebut lahir. Sehingga setiap negara ataupun suku bangsa memiliki
model-model feminisme sendiri yang pastinya sesuai dengan masalah yang dihadapi,
kultur, tradisi dari suku bangsa tersebut. Dan bagaimana keragaman dalam tubuh
feminisme tersebut bukan menjadi bom yang setiap saat bisa meledak tetapi merupakan
wajah-wajah yang saling menguatkan satu sama lain sehingga cita-cita awal untuk
mengeluarkan perempuan dari ketertindasan dan kekerasan bisa tercapai, dan pastinya
menciptakan dunia yang aman, damai dan sejahtera. 77
Perjuangan perempuan lambat laun membuahkan hasil, walaupun demikian hal itu belum
dapat menggeser budaya patriarkhi yang sudah mengakar kuat dalam diri manusia. Pada tahun
1960-an, pergerakan perempuan dengan cepat menjadi kekuatan politik yang menyebar di
Eropa dan Amerika. Landasan teoritis yang dipakai dalam gelombang ini adalah feminisme
liberal, feminisme radikal, dan feminisme Marxis/Sosialis. Semakin berkembangnya teori-teori
dan aliran-aliran dalam tubuh feminisme semakin menambah kekayaan keragaman dalam
tubuh feminisme. Akan tetapi, hal itu tidak berarti sepi dari konflik antar aliran. Setiap aliran
memiliki sudut pandang, metode dan isu yang berbeda, sekalipun isu sentralnya tetap
perempuan. Hal ini terkadang melahirkan konflik yang sebenarnya semakin mendewasakan
feminisme akan tetapi juga dapat membuat tujuan utama untuk membebaskan perempuan dari
berbagai praktik kekerasan menjadi terbengkalai. Oleh karena itu tulisan ini melihat adanya
keragaman dalam tubuh feminisme dan bagaimana membuat keragaman bukan sepi dari
konflik tetapi menggeser dan bahkan mengubah perbedaan dan konflik menjadi sesuatu yang
harmoni dan mewujudkan cita-cita utamanya untuk membebaskan perempuan dari berbagai
model kekerasan.
Keragamaan identitas dan juga perbedaan yang ada di dunia ini seringkali dikaitkan
dengan istilah multikulturalisme. Bikhu Parekh menjelaskan apa yang disebut dengan
multikulturalisme:
“…multikulturalisme tidak melulu mengenai perbedaan dan identitas itu sendiri;
yakni suatu kumpulan tentang keyakinan dan praktek-praktek yang dijalankan oleh
satu kelompok masyarakat untuk memahami diri sendiri dan dunianya, serta
mengorganisasikan kehidupan individual dan kolektif mereka. Tidak seperti
perbedaan yang muncul dari pilihan individu, perbedaan yang diperoleh secara
kultural membawa satu tolok ukur autoritas dan diberi bentuk serta distrukturkan
karena dilekatkan dalam satu sistem arti dan makna yang diwariskan dan dimiliki
bersama secara historitas”.3
Keragaman, perbedaan atau heterogenitas adalah sebuah keniscayaan, bahkan sangat sulit
untuk menemukan sebuah tatanan sosial yang seragam, homogen, dan setara dalam tiap sisi
kehidupan. Heterogenitas tersebut memasuki ruang-ruang kehidupan manusia dengan berbagai
2 Bikhu Parekh, “Pengantar” dalam Rethinking Multiculturalism: Keberagamaan Budaya dan teori Politik
(Yogyakarta: Kanisius, 2008), 13-14.
3 Ibid., 15.
bentuk variasi, pola, dan karakternya masing-masing, sehingga mampu menampilkan berbagai
wujud berbeda sesuai dengan konteks situasi perbedaan tersebut. Kebudayaan yang dihasilkan
manusia adalah salah satu tema perbedaan yang dapat dilihat dan dicermati variasi bentuknya.
Keyakinan atau pemahaman bahwa dalam setiap kehidupan masyarakat memiliki berbagai
macam kebudayaan disebut dengan multikulturalisme.4 Lebih lanjut Nur Syam menjelaskan
penerimaan homogenisasi kultural menghasilkan bentuk adaptasi terhadap nilai budaya yang
lebih determinan. Penolakan menghasilkan bentuk defensif dan resistensi terhadap determinasi
tersebut. Sedangkan distorsi menghasilkan ambiguitas, asimilasi, dan dissimilasi budaya. 5
Bikhu Parekh menjelaskan ragam keanekaragama dalam masyarakat multikultural, yaitu
keanekaragaman subkultural, keanekaragaman prespektif, keanekaragaman komunal. 6
1) Keanekaragaman Subkultural
Orang-orang yang ada dalam kelompok ini memiliki sistem arti dan nilai yang juga
dimiliki masyarakat dominan, beberapa di antara mereka menjalankan keyakinan dan
praktek yang berbeda berkenaan dengan wilayah kehidupan tertentu untuk atau
menempuh cara hidup yang relatif sangat berbeda.
2) Keanekaragaman Prepektif
Beberapa anggota masyarakat yang masuk dalam kategori ini sangat kritis terhadap
beberapa prinsip atau nilai-nilai sentral kebudayaan yang berlaku dan berusaha untuk
menyatakannya kembali di sepanjang garis kelompok yang sesuai. 79
3) Keanekaragaman Komunal M
O
Sebagian masyarakat modern juga mencakup beberapa komunitas yang sadar diri dan M
lebih terorganisir dalam menjalankan dan hidup di dalam sistem keyakinan dan praktek E
mereka yang berlainan. N
T
Berbicara tentang multikultural (keragamaan) tidak bisa serta merta menafikan U
pembahasan tentang siapa manusia. Manusia adalah makhluk kodrati dan sekaligus kultural, M
semua mempunyai identitas kemanusiaan umum tetapi berada dalam tingkah polah yang
dimediasikan secara kultural. Setiap manusia memiliki keunikan dan perbedaan antara satu
dengan yang lain, sehingga melahirkan beragam budaya yang terkadang satu dengan yang lain
melahirkan konflik. Hidup di tengah-tengah masyarakat multikultultual perlu adanya kesadaran
dan penghargaan terhadap liyan yang akhirnya melahirkan apa yang disebut dengan kesetaraan.
Bikhu Parekh menjelaskan tingkatan-tingkatan dalam kesetaraan. Menurutnya, pada level
yang paling dasar, kesetaraan melibatkan penghargaan dan hak, pada level sedikit lebih tinggi
melibatkan kesempatan, kepercayaan diri, harga diri, dan lainnya, dan pada level yang lebih
tinggi lagi, kesetaraan melibatkan kekuasaan, kesejahteraan dan kemampuan dasar yang
diperlukan untuk pengembangan manusia.7
Dalam bukunya, Bikhu Parekh menjelaskan multikulturalisme sebagai sebuah prespektif
tentang kehidupan manusia. Prespektif multikultural terdiri dari satu keadaan saling
4 Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia: dari Radikalisme menuju Kebangsaan (Yogyakarta:
Kanisius, 2009), 68.
5 Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia, 71.
6 Bikhu Parekh, “Pengantar”, 16.
7 Bikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism, 319.
mempengaruhi yang kreatif dari ketiga wawasan yang bersifat komplemeter, yaitu keterlekatan
kultural manusia, keharusan dan keinginan akan keanekaragaman budaya dan dialog antar
kebudayaan, dan kemajemukan internal masing-masing kebudayaan.8
seseorang yang belum tentu memiliki prespektif feminis. Dia menegaskan, feminisme
merupakan wacana politis yang mempunyai praktik politis maupun teori yang komit terhadap
perjuangan yang menentang patriarkhi dan seksisme.11 Menurut penulis, seorang feminis
tidaklah terpaku ada jenis kelamin tertentu, yang terpenting memiliki kesadaran feminis, atau
lebih tepatnya kesadaran anti kekerasan terhadap perempuan dan berusaha untuk
memperjuangkan hak-hak, kebebasan dan keadilan bagi perempuan dengan menggunakan
media yang beragam.
Penerimaan laki-laki dalam perjuangan feminisme bukan hal yang mudah. Banyak
feminis yang curiga atas keterlibatan laki-laki dalam perjuangan perempuan. Gadis Arivia
menggambarkan kegundahan para feminis sebagai berikut:12
8 Ibid., 443.
9 Maggie Humm, Ensiklopedi Feminisme. Diterterjemahkan oleh Mundi Rahayu (Yogyakarta: Pustaka
Baru, 2002), 158.
10 Ibid., 160-161.
11 Gadis Arivia, Feminisme: Sebuah Kata Hati (Jakarta: Kompas, 2006), 149-150.
12 Ibid., 149.
“…menerima laki-laki sebagai bagian dari perjuangan layaknya bagai sleeping with
enemy, bisakah lai-laki menjadi mitra perempuan dan mau tulus menjadi mitra
seperjuangan? Sebagian menyatakan bahwa laki-laki telah begitu mendominasi dan
ikut campur tangan dalam segala bidang kehidupan termasuk kehidupan
perempuan. Tidak ada satu kebijakan yang tidak dicampuri oleh “tangan” laki-
laki…” .
Perjuangan untuk menyuarakan dan membela perempuan dari berbagai bentuk kekerasan
tidak bisa hanya dilakukan oleh perempuan saja tanpa menyertakan laki-laki. Laki-laki
harusnya juga memiliki kesadaran feminis dan juga berjuang untuk meminimalisir dan bahkan
menghilangkan kekerasan terhadap perempuaan. Jika tidak maka perjuangan yang diharapkan
dan dicita-citakan para feminis hanya khayalan belaka. Mengapa begitu? Para feminis berjuang
dengan sungguh-sungguh dalam membela perempuan, tetapi laki-laki ditempatkan sebagai
musuh yang harus diberantas maka sulit sekali tercipta dunia tanpa kekerasan, yang pada
akhirnya kekerasan lain yang akan muncul, perempuan menindas laki-laki.
Dalam dunia feminis terdapat beberapa corak yang beragam, Rosemarie Putnam Tong
seperti yang dikutip oleh Gadis Arivia menyatakan bahwa ada tiga gelombang feminis antara
satu dengan yang lain memiliki keunikan masing-masing, hal ini juga tidak lepas dari konteks
sosial masa itu.13
1) Feminis awal dimulai sejak 1800-an dan merupakan representasi dari feminisme
81
gelombang pertama. Ini merupakan landasan awal dari pergerakan-pergerakan
perempuan yang kelihatannya mereka lebih menyibukkan diri sebagai aktivis M
pergerakan. O
M
2) Gelombang kedua muncul sekitar awal tahun 1960-an, ada kegairahan dari mereka E
untuk mempertanyakan representasi gambaran perempuan dan segala sesuatu yang N
feminin. Pada gelombang ini muncul refleksi tentang persoalan-persoalan T
U
perempuan, dan sebagai turunannya lahir teori-teori yang menyusun kesetaraan M
perempuan.
3) Gelombang yang ketiga, teori-teori yang muncul ini mengikuti atau bersinggungan
dengan pemikiran-pemikiran kontemporer, dan dari situlah muncul teori-teori
feminis yang lebih plural, seperti feminisme postmodernisme, multikultural dan
global.
Perkembangan feminis dengan dibuat dalam model gelombang feminis mendapat kritik
dari Alka Kuria. Menurutnya, pembentukan periodesasi sejarah feminisme ke dalam
gelombang-gelombang dibentuk secara konvensional seputar kejadian-kejadian dan tokoh-
tokoh Amerika dan Eropa. Hal itu walaupun tidak sengaja menunjukkan “narasi hebat”
kekuatan dan perjuangan Barat dan mendegradasikan pengalaman perempuan non-Barat ke
pinggir wacana dalam feminis.14 Jika ditilik dalam sejarah, kemunculan feminisme memang
dari Barat, akan tetapi nilai-nilai yang didengungkan oleh feminisme misal, kesetaraan dan
keadilan sudah ada dalam setiap suku bangsa yang ada di dunia. Sehingga tidak bisa dipungkiri
13 Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis (Jakarta: Jurnal Perempuan, 2003), 84.
14 Alka Kuria, “Feminisme dan Negara-negara Berkembang” dalam Sarah Gamble (ed.) Pengantar
Memahami Feminisme dan Postfeminisme. Diterjemahkan oleh Siti Jamilah dan Umi Nurun Ni’mah (Yogyakarta:
Jalasutra, 2010), 83.
bahwa bangunan feminisme yang kokoh merupakan kontribusi besar dari Barat, yang
kemudian ide-ide tersebut dibawa ke negara-negara di luar Barat. Walaupun seringkali makna
kesetaraan dan keadilan setiap orang, kelompok atau pun suku bangsa berbeda dan pada
akhirnya menimbulkan perdebatan yang sangat panjang. Apa yang diungkapan oleh Alka Kuria
merupakan perbincangan dalam feminisme global, dimana aliran ini menekankan penindasan
dalam konteks feminisme di dunia pertama dan feminisme di dunia ketiga, yaitu antara dunia
(yang dikatakan) maju dengan dunia yang pernah mengalami penjajahan.
Beberapa aliran besar yang ada di tubuh feminisme ide-idenya telah menyebar ke seluruh
dunia dan melahirkan bentuk-bentuk feminisme baru sesuai dengan kultur yang ada di wilayah
tersebut. Sebagai contoh, ketika ide-ide feminisme bertemu dengan aktivis muslimah, muncul
model feminisme baru yang jauh berbeda dengan feminisme yang ada di Barat, begitu pula
ketika feminisme bertemu dengan aktivis wanita dengan setting budaya dan tradisi Indonesia.
Gadis Arifia dalam bukunya Filsafat Berprespektif Feminis menjelaskan aliran-aliran yang ada
dalam dunia feminis, sebagai berikut:15
Dari penjelasan terkait dengan aliran-aliran dalam feminisme, terdapat ragam fokus
perjuangan para feminis jika ditempatkan dalam posisi setara maka akan tercipta sebuah
prespektif yang komprehensif dalam mengatasi beragam persoalan manusia terutama tentang
perempuan. Akan tetapi keragaman tersebut bisa menjadi petaka jika dihadap-hadapkan atau
dilawankan antara satu dengan yang lain, yang akhirnya bukan terfokus pada perjuangan untuk
membela perempuan akan tetapi lebih fokus pada perbedaan-perbedaan tersebut. 86
M
O
Keragaman Feminisme: Analisis Terhadap Problem Perempuan M
E
Diskusi tentang ide-ide feminisme seringkali terbatas pada hal yang abstrak, sehingga N
sangat sulit untuk melihat keragamaan yang terjadi dalam tubuh feminisme. Untuk T
memudahkan melihat perbedaan sudut pandang dan implikasinya dalam pengambilan U
M
kebijakan dalam setiap aliran feminisme, dalam bagian ini membahas beberapa kasus terkait
dengan problem perempuan (sebenarnya problem yang dialami perempuan merupakan problem
semua umat manusia) dan keragaman solusi yang ditawarkan oleh para feminis.
Feminisme bukanlah pandangan yang seragam dan bukan tanpa pergulatan. Dalam
booklate yang dikeluarkan oleh Rifka Annisa dengan judul “Kalau Feminis Emangnya
Kenapa?” dijelaskan tentang keragaman yang ada dalam tubuh feminisme, dan hal itu tidak
lepas dari keadaan dan problem yang melatarbelakangi lahirnya aliran-aliran tersebut.
Pandangan ini secara tidak langsung menyatakan bahwa ide-ide feminisme sangat kontekstual,
dia lahir dari problem yang dihadapi oleh perempuan dan mencari solusi yang untuk mengatasi
problem-problem tersebut, dan pastinya sesuai dengan kultur dimana kasus-kasus tersebut
terjadi.
Sebuah aliran feminisme tidak dapat mengakomodir keadaan dan problem perempuan di
seluruh dunia. Feminisme sebagian mencerminkan pengalaman, kebutuhan dan persepsi
perempuan yang bervariasi dalam masyarakat dan situasi yang berbeda. Sebagai sebuah
gerakan feminisme mencerminkan situasi perempuan di wilayah tertentu dimana situasi
perempuan begitu buruk. perbedaan-perbedaan ini melahirkan konsep gerakan yang berbeda-
Feminis radikal sangat concern terhadap isu-isu kesehatan dan juga seksualitas perempuan. M
Kathleen Barry menolak pembenaran adanya prostitusi semata-mata karena berkaitan dengan O
ekonomi. Dia lebih tegas mengatakan perdagangan internasional perempuan yang ada selama M
E
ini, dan alasan ekonomi yang ditampilkan sebagai dasarnya adalah upaya untuk menutupi N
praktek perdagangan perempuan itu sendiri. Tapi yang lebih penting adalah ada basis T
U
kekuasaan serta dominasi laki-laki yang terlibat di dalamnya. 19
M
Manneke Budiman, ketika diwawancarai oleh Jurnal Perempuan, mengatakan bahwa
keragaman (multikultural) merupakan sesuatu yang harus disadari oleh para feminis, bahwa
tidak semua feminis memiliki prespektif yang sama ketika melihat kekerasan yang dihadapi
oleh perempuan bahkan perempuan sendiri memiliki sudut pandang yang beragam terkait
dengan persoalan yang dihadapi olehnya yang orang lain menganggapnya sebuah
ketertindasan.
keragaman kini semakin menjadi isu penting bagi gerakan perempuan, khususnya
yang berorientasi pada dunia ketiga. Sebelumnya, ada feminisme liberal, yang
dimotori oleh banyak pemikir feminis Barat dari kelas menengah dan berkulit putih.
Mereka mengasumsikan bahwa penindasan yang mereka alami pastilah bersifat
universal dan sama kondisinya di seluruh dunia. Para pemikir feminis dari
kelompok marginal dan dunia ketiga justru kritis menyoroti pemerataan ini.
Perempuan dari kelompok marginal, seperti perempuan kulit hitam, atau dari dunia
16 Anis Hamim, ed., Kalau Feminis emangnya kenapa?(Yogyakarta: Rifka Annisa kerjasama dengan The
Asia Foundation, tt), 5-6.
17 Gadis Arivia, Feminisme: Sebuah Kata, 288.
18 Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, 96.
19 Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, 104.
ketiga punya persoalan sendiri. Kadang gender bukan soal yang paling urgen buat
mereka. Ada soal pendidikan, anak, mencari nafkah, merawat orang tua yang tak
kalah pentingnya dibanding dengan keterpinggiran mereka sebagai perempuan. Dan
ini jelas berbeda dengan persoalan yang dihadapi oleh orang Barat. 20
Dalam wawancara tersebut Mannake juga menjelaskan problem yang selalu muncul
antara feminisme dan multikulturalisme, bahkan keduanya selalu dipertentangkan.
Baik multikuturalisme maupun feminisme perlu ditujukan pada penciptaan keadilan
bagi semua, dan tampaknya prinsip inilah yang pada mulanya melandasi
bangkitnya kedua gerakan ini. Perempuan yang bersedia dipoligami atau
menerjunkan dirinya ke api pembakaran jenasah suaminya tak serta merta dianggap
bodoh, tertindas dan tak punya kesadaran atau dikategorikan gegabah sebagai
perempuan multikultural. Baik multikulturalisme maupun feminisme harus bisa
melakukan analisis yang mendalam dan komprehensif tentang setiap fenomena
kultural dalam kaitan dengan perempuan. feminisme harus siap menghadapi
kenyataan bahwa ada perempuan yang rela dan ikhlas dipoligami. Di lain pihak
multikulturalisme juga harus siap menerima fakta-fakta bahwa budaya-budaya
minoritas mampu berpikir kritis, yang memungkinkan perempuan maupun
kelompok-kelompok minoritas mampu berpikir kritis tentang kondisinya sendiri
maupun dunia di sekitar mereka.21
Perbedaan pandangan antara feminis dunia Barat dengan Feminis Timur juga terjadi
88
ketika melihat masalah penyunatan terhadap perempuan. Nawel Saadawi, feminis Mesir,
sangat vokal mengkritik feminis dunia pertama yang menurutnya hanya beberapa kali ke M
negara Sudan tetapi sudah bisa membuat persoalan besar tentang penyunatan perempuan O
M
(clitoridectomy). Dia menambahkan feminis dunia pertama seakan acuh terhadap persoalan E
terkait dengan peranan perusahaan multinasional yang mengeksploitasi buruh perempuan, N
artinya feminis dunia pertama gagal melihat hubungan ekonomi dan politik sebagai bagian dari T
U
penindasan terhadap perempuan di dunia ketiga.22 M
Dari penjelasan di atas terlihat dengan jelas bahwa tidak ada yang bersifat homogen
tetapi semuanya bersifat heterogen, dan semuanya menunjukkan bahwa perbedaan merupakan
sebuah keniscayaan. Dari keragaman dan perbedaan tersebut dapat dikelola dengan baik dan
akan melahirkan sebuah bangunan feminisme yang semakin kokoh dengan beragam wajah.
Keragaman tersebut pastinya memiliki perbedaan, dan bagaimana perbedaan tersebut dikelola
dengan baik meskipun ada konflik setidaknya konflik tersebut tidak membuat tujuan awal
untuk membebaskan perempuan sedunia tergadaikan karena mementingkan egonya masing-
masing.
Penutup
Di dunia ini tidak ada yang homogen, semuanya berbau heterogen. Dan semua itu adalah
sebuah keniscayaan yang tidak mungkin diubah dan dipaksa untuk sama, karena setiap
perbedaan memiliki alasan fundamental mengapa berbeda. Bikhu Parekh menjelaskan ragam
keanekaragama dalam masyarakat multikultural, yaitu keanekaragaman subkultural,
keanekaragaman prespektif, keanekaragaman komunal. Dan feminisme masuk dalam kategori
keanekaragaman prespektif. Model keanekaragaman ini mewakili sebuah visi kehidupan yang
ditolak seluruhnya oleh kebudayaan dominan dan diterima dalam teori tetapi diabaikan dalam
prakteknya. Keaneragaman ini lebih radikal dan komprehensif dibanding dengan
keanekaragamn subkultur dan tidak mudah untuk diterima.
Setiap budaya atau suku bangsa dapat membentuk feminisme sendiri-sendiri sesuai
dengan tradisi dan budaya dalam suku bangsa tersebut. Hal ini dikarenakan jika mengadopsi
langsung dari feminisme di luar suku bangsanya maka akan melahirkan jurang yang sangat
dalam antara budaya dan tradisi dari suku bangsa tersebut dengan produk (pemikiran feminis)
baru yang digunakan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh suku bangsa tersebut.
Feminisme dengan ide-idenya untuk mengeluarkan perempuan dari masalah yang dihadapinya
tidak akan bisa diterima oleh komunitas atau suku bangsa jika tidak diramu sesuai dengan
kondisi suku bangsa tersebut.
89
Daftar Pustaka
M
O
Arivia, Gadis, Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta: Kompas, 2006. M
----------------- Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Jurnal Perempuan, 2003. E
N
Gamble, Sarah, ed., Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, terj. Siti Jamilah
T
dan Umi Nurun Ni’mah. Yogyakarta: Jalasutra, 2010. U
Hamim, Anis, ed., Kalau Feminis emangnya kenapa?. Yogyakarta: Rifka Annisa kerjasama M
Oleh
Aufa Safrijal Putra ⃰
AbuAmru82@yahoo.com
Abstrak
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memerdekakan anak-anak didiknya dari
berhala-berhala penghambaan material dan gagasan. Pendidikan yang orientasi utamanya
mencetak insan beriman. Dan suatu lembaga pendidikan dianggap berhasil jika ia mampu
membentuk moral dan karakter anak-anak-didiknya yang shaleh secara ritual, shaleh
secara sosial, saleh secara intelektual, dan respek terhadap perubahan dan dinamika
kehidupan sosial. Untuk meraih itu semua Islam mengajarkan bahwa model pendidikan
yang diaplikasikan untuk mendidik anak harus memuat empat prinsip dasar, yaitu „Aqidah,
bakti kepada orang tua berbasis „aqidah, kepekaan sosial, serta pendidikan moral dan
karakter. Prinsip dasar pendidikan ini termaktub dalam surat Luqman ayat 13-19. Prinsip
dasar yang menjadi kajian utama dalam tulisan ini.
Pendahuluan 90
Dalam al-Quran surat Luqman merupakan surat ke-31, terdiri dari 34 ayat dan termasuk M
O
golongan surat Makkiyah. Surat ini diturunkan setelah surat al-Saffat. Surat Luqman adalah M
surat yang turun sebelum Nabi Muhammad SWT hijrah ke Madinah. Nama Luqman E
diabadikan sebagai nama salah satu surat dalam Al Quran karena kepribadian luhur Luqman N
T
dan kearifannya dalam mendidik anak-anak bisa dijadikan sebagai suri teladan umat dalam U
menerapkan metode dan model pendidikan. Berkenaan dengan itu secara khusus di ungkapkan M
seharusnya menjadi bagian dari proses pendidikan. Dan yang lebih parah, orang tua enggan
atau tidak mampu menjadi suri teladan yang baik bagi anak-anak anaknya. Padahal
pembentukan moral dan karakter anak sejatinya dimulai dari pendidikan keluarga.
Anak adalah aset atau investasi masa depan, bukan hanya untuk orang tua tetapi juga
bagi bangsa. Nilai investasinya pun dunia dan akhirat. Karena itu anak harus didik dengan baik
supaya nilai investasinya berlipat ganda. Dalam konteks pendidikan yang baik doktrin Islam –
sebagaimana inti sari ajarannya- mengajarkan bahwa arah pendidikan harus terfokus pada dua
hal, ketauhidan (keimanan) dan humanisme (memanusiakan manusia). Dalam surat Luqman
ayat 13-19 ketauhidan dan humanisme itu dipetakan ke dalam empat prinsip dasar pendidikan
Islam, yaitu „Aqidah, bakti kepada orang tua berbasis „aqidah, kepekaan sosial, serta
pendidikan moral dan karakter. Apa dan bagaimana modus operandi keempat prinsip tersebut.
Titik poin inilah yang menjadi fokus kajian dalam tulisan singkat ini.
orang tua serta metode dan model pendidikan orang tua terhadap anak mereka agar menjadi
M
anak-anak shaleh. Dalam konteks ini, mereka terus mendesak Rasulullah SAW untuk O
memberikan petunjuk bagaimana seharusnya orang tua mendidik anak-anaknya. Jawaban atas M
E
permintaan mereka adalah diturunkannya wahyu, yaitu surat Luqman yang mengisahkan N
keteladanan, model dan metode orang tua (Luqman) dalam mendidik anak-anak mereka. T
Tentunya rasa penasaran kaum bani Quraish sangat wajar karena mereka sendiri U
M
mengidamkan untuk menjadi seperti, atau paling tidak mendekati kepribadian Luqman sang
abdi ilahi. Apa yang sebenarnya diajarkan oleh Luqman kepada anaknya sehingga ia
diabadikan dalam al-quran sebagai orang tua yang sukses dalam mendidik anak. Inilah poin
penting yang akan kita bahas dalam tulisan ini.
Sekalipun al-quran tidak menjelaskan kepribadian dan keistimewaan Luqman secara
mendetail, dan hanya menerangkannya dalam beberapa ayat yang berbentuk cerita atau kisah,
namun, bila kita tinjau lebih jauh dalam surat Luqman ayat 13-19 kita akan menemukan poin-
poin dasar yang menjadi petunjuk bagi para pendidik (orang tua atau guru) dalam mendidik
anak-anaknya atau peserta didik. Poin-poin dasar itu bisa dipetakan ke dalam tujuh bagian
sesuai dengan intisari kandungan ayat, yaitu:
a. Pada ayat ke-13 diceritakan bagaimana cara Luqman menanamkan prinsip dasar
pendidikan yang harus ditamankan kepada anak-anak di atas segalanya, yaitu
penanaman nilai-nilai ketauhidan dan bahaya syirik.
b. Pada ayat ke-14 dikisahkan tentang pentingnya pembelajaran kepada peserta didik
tentang peran dan fungsi orang tua dalam kehidupan anaknya agar mereka secara
sadar termotivasi untuk berbhakti kepada orang tua. Dalam konteks ini orang tua
harus memberikan pemahaman tentang perjuangan kedua orang tua dalam mengurus
anak-anaknya semenjak pranatal (dalam kandungan), masa susuan, puberitas hingga
dewasa.
“Hai anakku, sesungguhnya jika ada seberat biji sawi, dan berada dalam batu
atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui”.
e. Pada ayat ke-17 dikisahkan bahwa Luqman mengajarkan anaknya untuk mendirikan
sholat sebagai fondasi keimanan. Shalat yang memiliki nilai pragmatis di dalam
realitas kehidupan masyarakat. Nilai pragmatis shalat terletak pada pada kata “salam”,
yang berarti bahwa tugas setelah mendirikan shalat adalah memberi keselamatan
kepada orang lain dengan cara menegakan amr ma’ruf nahi mungkar. Itulah perintah
Allah setelah shalat. Allah juga mewanti-wanti agar proses menegakan amr ma`ruf
nahi mungkar dilakukan dengan penuh kesabaran. Karena kunci kesuksesan orang
beriman terletak dalam konsistensi dan kesabaran.
Hai anakku, dirikanlah shalat, tegakanlah amr ma’ruf, dan hindari perbuatan
mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya
yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan.
2 Bisri Afandi, Pembaharuan dan Pemurnian Islam di Indonesia, (Jakarta : Pustaka Alkautsar, 1999), 2
realitas pragmatis- derajat, kewibawaan, harga diri dan bahkan kemapanan ekonomi bisa
diraih, tak terkecuali dengan peningkatan kualitas keimanan seseorang.
Karena pendidikan menjadi barang yang esensial, maka tidak heran jika dalam kitab suci
al-quran banyak ayat-ayat mengulas tentang proses, model dan metode pendidikan, baik yang
dinyatakan secara langsung ataupun tidak langsung. Diantara sekian ayat-ayat al-quran yang
mengulas tentang pendidikan, diantaranya dinyatakan dalam ayat-ayat yang termaktub dalam
surat Luqman, tepatnya ayat ke 13-19. Surat Luqman menjadi kajian menarik para praktisi
pendidikan ditengah hiruk-pikuk pendidikan kontemporer yang sudah diorientasikan ke dalam
jeruji pasar kapitalis (market oriented)
Secara tekstual ayat 13-19 hanya tampak mengisahkan tentang nasihat-nasihat Luqman
kepada anaknya, namun bila kita kaji lebih mendalam, pada dasarnya ayat tersebut
mengandung pesan teologis dan edukatif yang disampaikan oleh Allah, utamanya berkenaan
dengan pola pendidikan orang tua atau guru kepada anak didiknya. Melalui ayat-ayat itu Allah
mengisyaratkan bahwa model pendidikan yang harus diaplikasikan dalam pendidikan harus
melingkupi empat prinsip dasar, yaitu pemahaman akan „Aqidah, bakti kepada orang tua
berbasis „aqidah, kepekaan sosial, pendidikan moral dan karakter.
a. Aqidah
94
dalam konteks agama Islam, aqidah bermakna keyakinan teguh akan adanya eksistensi
keesaan Allah SWT. Dalam doktrin Islam Aqidah erat kaitannya dengan fondasi agama,
yaitu Rukun Islam dan Rukun Iman, terkhusus dengan syahadah kemanunggalan Allah dan
syahadah akan risalah kenabian Muhammad SAW. Saking pentingnya, tidak heran jika
aqidah menjadi fondasi utama dalam pendidikan Islam dan merupakan akar ilmu
pengetahuan yang harus ditanamkan atau diajarkan pertama kali kepada peserta didik dalam
proses pembelajaran. Menurut Syamsul Ma’arif Aqidah berkaitan pula dengan pencegahan
tindakan syirik dan cara bersyukur manusia kepada Allah sebagaimana yang dinyatakan
pada ayat di atas.3
Menurut Bisri Afandi,4 sudah menjadi kewajiban para pendidik muslim (orang tua
atau guru) untuk meluruskan aqidah para peserta didik, jangan sampai dikotori oleh
keyakinan atau pendewaan kepada sesuatu selain Allah SWT, yang dalam bahasa agama
disebut dengan “syirik”. Dalam kaitannya dengan pendidikan, aktifitas ilmiah harus
ditunjang dengan pemahaman aqidah yang kuat, karena tujuan utama pendidikan dalam
doktrin Islam adalah untuk meningkatkan kualitas keimanan yang garis finishnya untuk
mencari keridhoan Allah. Sejatinya aktifitas ilmiah tidak diorientasikan untuk raihan
material, apalagi pendewaan pangkat dan jabatan.
Bagaimana cara menanamkan pendidikan aqidah kepada anak-anak (peserta
didik)?, Berdasarkan ayat al-quran seperti yang dikisahkan dalam pribadi seorang
Luqman, “ Jangan engkau menyekutukan Allah”, seyogyanya pendidikan aqidah diawali
oleh orang tua di dalam keluarga. Dalam konteks ini, keluargalah yang menjadi ujung
tombak pendidikan aqidah si anak. Kendati demikian, bukan berarti lepas dari tanggung
jawab lembaga pendidikan formal. Dalam doktrin Islam semua cabang ilmu harus
dilandasi aqidah, karena itu lembaga pendidikan formal juga harus mengajarkan aqidah
yang benar sebagai fondasi yang menaungi berbagai cabang ilmu.
Bila kita cermati lebih jauh, sebenarnya pendidikan aqidah bertujuan untuk
membebaskan manusia dari ketergantungan dan penghambaan kepada selain Allah SWT.
Sebagai contoh, sebut saja ketergantungan kepada meteri, birahi ataupun ilmu-ilmu
perdukunan. Dengan pemahaman aqidah semua manusia diarahkan agar tidak takut dan
tunduk kepada siapapun, karena kebesaran, keagungan dan kemulyaan hanya milik
Allah. Pun dalam proses pencarian ilmu, bukan untuk meraih populeritas (riya),5 materi
ataupun gengsi, tetapi semata-mata untuk meningkatkan kualitas keimanan dan meraih
keridhoan Allah. Jika seluruh tujuan aktifitas ilmiah kita tertuju kepada selain Allah,
maka kita akan terjebak pada perbuatan “Syirik”. 6 Dan untuk hal ini Allah telah 95
mewanti-wantinya dengan ancaman yang besar, karena syirik tergolong dalam dosa M
besar.7 Inilah pemahaman yang harus pertama kali ditanamkan kepada anak didik kita. O
M
b. Bakti kepada Orang Tua Berbasis Aqidah E
N
T
U
M
Dan kami perintahkan manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya
yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kedua orang tuamu,
hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk
5 Dalam konteks “Riya”, Ibnu Rajab berkata: “Riya’ hampir tidak terjadi pada seorang mukmin dalam
shalat dan puasa. Akan tetapi riya’ terkadang terjadi pada shadaqah wajib, haji, dan perbuatan-perbuatan yang
tampak. Keikhlasan dalam aneka perbuatan sangat berat. Perbuatan riya’ akan menghancurkan pahala amal dan
pelakunya berhak mendapat murka dan siksa Allah SWT. Samsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, 49.
6 Abdullah Al Ghamidi, Namanya Luqman Al Hakim (Yogyakarta, Diva Press 2008), 24.
7 Mohsen Qaraati, Seri Tafsir untuk Anak Muda Surat Luqman, 51.
hamil, melahirkan, mengasuh, dan menyapihnya pada usia dua tahun, yang semua itu
M
dilakukannya dengan penuh rasa kasih sayang. Pun dengan penderitaan sang ayah yang O
harus bersusah payah mencari nafkah. M
E
Hal lain yang perlu dipahamkan kepada anak didik adalah bahwa anak bagi orang N
tua adalah aset atau tabungan untuk masa depan. Harga diri, wibawa dan kehormatan T
orang tua juga ada dalam genggaman anak-anaknya. Keburukan anak akan menjadi U
M
petaka bagi orang tua dan kebaikan anak akan menjadi berkah bagi orang tua. Bahkan
dalam suatu hadist diungkapkan bahwa salah satu amal yang tidak akan putus adalah doa
anak shaleh untuk orang tuanya. Oleh karena itu penting bagi para pendidik untuk
menanamkan jiwa keberbaktian kepada anak-anak didiknya. Karena tidak akan pernah
bermanfaat ilmu, gelar dan jabatan seseorang selama ia masih durhaka kepada orang tua.
Sejauhmana kita harus berbakti kepada orang tua? Untuk hal ini kita harus kembali
kepada prinsip pertama. Bakti kepada orang tua harus diikuti dengan pemahaman akan
ketauhidan atau aqidah. Kita wajib melaksanakan perintah kedua orang tua kita selama
yang diperintahkan itu sesuai dengan aqidah. Jika diluar jalur „aqidah kita wajib
menolaknya. Meskipun demikian penolakan itu harus dibarengi dengan tindakan yang
santun dan penuh dengan kecintaan dan ke„arifan. Tidak dibenarkan melukai hati orang
tua sekalipun mereka dalam rel yang salah. Segala upaya kita untuk membetulkan
keganjilan tindakan orang tua kita harus dibarengi dengan niat yang tulus, tutur kata
santun dan tindakan yang halus. Di atas semua itu kita harus mengajarkan anak-anak
didik kita untuk berbakti kepada orang tua dengan berpijak pada aqidah Islam.
Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari
perbuatan yang mungkar (Luqman: 17).
Prinsip dasar pendidikan Islam yang ketiga adalah pendidikan kemasyarakatan
yang dibentengi dengan shalat. Jika kita melihat kepada ayat di atas, mungkin kita
bertanya kenapa shalat mendahului amr ma’ruf nahi mungkar?, Kenapa doktrin Islam
mengajarkan bahwa shalat adalah tiang agama, bahkan amal perbuatan manusia yang
akan diperhitungkan pertama kali di akhirat adalah shalat. Lantas apa kaitannya dengan
amr ma’ruf nahi mungkar yang jelas-jelas berkaitan erat dengan interaksi dan dimensi
sosial?. Seperti diungkapkan di atas shalat sejatinya memiliki nilai pragmatis untuk
perubahan kondisi sosial yang lebih baik. Sebelum kita melangkah lebih jauh jauh mari
kita pahami terlebih dahulu makna shalat.
Ulama fiqh dulu mendefinisikan shalat dengan bahasa doktrinal yang simpel, yaitu
aktivitas penghambaaan yang diawali dengan Takbiratul Ihram dan diakhiri dengan
“Salam”. Definisi ini seakan-akan memaknai shalat sebagai proses penghambaan yang 97
dilakukan oleh hamba untuk tuhannya, hubungannya hanya semata-mata antara hamba M
dan Allah. Sebenarnya, dari definisi ini ada makna yang jauh lebih besar dan memiliki O
implikasi sosial. Makna itu terkandung dalam “Takbiratul Ihram” (dimensi ketauhidan)
M
E
dan “Salam” (dimensi sosial atau humanisme). N
Secara keseluruhan bacaan-bacaan sholat yang diajarkan nabi Muhammad SAW, T
U
pada dasarnya memiliki nilai filosofis tinggi. Nilai tersebut bisa dipetakan menjadi empat M
bagian, yaitu:
1. Pengagungan dan Penyucian Allah SWT.
Ketika kita sholat dan mengawalinya dengan takbir (Allahu Akbar), artinya kita
mengawali proses penghambaan kepada Allah dengan kesadaran dan keikhlasan
bahwa hanya Allah-lah Tuhan yang maha besar, tempat bernaung dan meminta
segalanya, tidak ada tuhan-tuhan lain selain Dia, dan kita terhindar dari
pemberhalaan kepada apapun (syirik). Selain itu, keagungan dan kebesaran
Allah pun disucikan sebagaimana tertera pada bacaan ketika i’tidal dan sujud.
“Rabbigfirli warhamni …..” bacaan ketika duduk di antara dua sujud tersebut
tiada lain merupakan curhatan atas segala kegundahan kita dalam mengarungi
bahtera kehidupan dunia. Kita melaporkan semua kegelisahan kita, harapan, dan
semua yang kita butuhkan dalam menjalani kehidupan. Karena itu sholat juga
sering dikatakan doa. Harapan yang kita gantungkan kepada Sang Empu
Kekuasaan.
4. Restu dan perintah Tuhan untuk keselamatan umat manusia.
Setelah kita melakukan pengagungan dan penyucian Allah, pemulyaan nabi
Muhammad, memohon atau curhatan kepada Allah. Kemudian kita mengakhiri
shalat dengan “Assalamu ‘alaiku warahmatulllahi wa barokatuh”. Secara tidak
langsung kalimat tersebut mengisyaratkan bahwa Allah telah menerima semua
proses shalat yang telah dilakukan hambanya, kendati demikian penerimaan itu
ditambah dengan catatan baru bahwa si hamba harus melaksanakan tugas lain
setelah shalat, yaitu memberi keselamatan kepada sesamanya, karena “Assalamu
‘alaiku warahmatulllahi wa barokatuh” mengandung makna “Beri keselamatan
sesama kalian, keselamatan yang dirahmati Allah dan mengandung barokah”.
Dari penjelasan empat hal di atas, kita bisa memahami bahwa shalat memiliki dua
nilai, ketauhidan dan humanisme. Ketahuidan berarti syahadah kemanunggalan Allah dan
syahadah kenabian Muhammad SAW, seperti yang telah di jelaskan pada poin 1 dan 2. 98
8 Abdullah Nashih Ulwan, terj., Pendidikan Anak dalam Islam (Jakarta: Pustaka Amani, 2002).
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah
SWT tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan
sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya
seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (Luqman 18-19)
Prinsip dasar pendidikan Islam yang keempat adalah pendidikan moral (akhlaq)
dan karakter. Dalam pidato–pidato formal, menteri pendidikan Indonesia saat ini,
Muhammad Nuh, sering mengulas dan menekankan akan pentingnya pendidikan moral
dan karakter bagi anak-anak didik yang akan menjadi generasi penerus bangsa Indonesia.
Ia khawatir dengan degradasi moral anak bangsa saat ini. Maraknya tawuran antar
pelajar, mahasiswa dan desa, free sex, nge-drug, melambungnya tingkat kriminalitas
yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur, dan korupsi adalah sekian indikator yang
bisa digunakan untuk mengukur tingkat degradasi moral anak bangsa.
Moral secara etimologi berasal dari bahasa yunani, dari kata “Mos” (jamak:
Mores), yang berarti adat istiadat atau kebiasaan. Kata moral memiliki arti yang sama
dengan kata “etika“ (Ethos, jamak: ta etha).9 Dalam bahasa arab kedua kata tersebut
sepadan dengan kata “akhlak” (jamak: Khuluq) yang berarti seperangkat nilai, tata cara,
budi pekerti, aturan hidup atau kebiasaan baik yang berlaku di suatu masyarakat. Dalam
kaitannya dengan pendidikan, moral atau akhlaq juga bisa dimaknai sebagai refleksi
kritis atas nilai dan norma moral yang dikaitkan dengan berbagai aspek permasalahan
hidup manusia.
Pendidikan moral menjadi salah satu basis pendidikan Islam karena ia terkait erat
dengan norma-norma sosial dan aturan hidup yang mesti ditaati seseorang ketika
melakukan interaksi sosial. Nabi Muhammad sendiri diutus ketengah kaumnya demi
menyempurnakan akhlaq, sebagaimana yang ditegaskan dalam hadist yang diriwayatkan 100
9 Dogobert D. Runes, ed., Dictionary of Philosophy (New Jersey: Littlefield, Adams & CO, 1976), 98-100,
dan A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya (Yogyakarta: Kanisius, 2010), 14-15.
yang tertanam pada diri seseorang akan membentuk karakter yang sopan, legowo,
toleransi, dan sifat-sifat lain yang memberi efek positif bagi orang-orang disekitarnya.
Begitu pula dengan kesederhanaan yang tertanam pada diri seseorang, ia akan
membentuk karakter yang jujur, tidak tamak, dan punya jiwa sosial yang tinggi.
Satu karakter yang paling diagungkan dalam kaitannya dengan pendidikan anak
adalah sabar. Kesabaran bisa dikatakan sebagai puncak kepribadian seorang hamba yang
beriman. Allah sendiri mematri kata sabar dalam surat Luqman ayat 17 sebagai karakter
unggul yang harus dimiliki dan diajarkan kepada seluruh peserta didik. Karena dengan
kesabaranlah kualitas keimanan kita akan meningkat dan teruji.
....
Sabar pada titik ini adalah kerelaan dan ketulusan untuk menerima segala
macam bentuk cobaan dan musibah, karena ia merupakan bagian dari ujian
Allah untuk memperoleh keridhoanNya
3. Sabar menghadapi bahtera kehidupan dunia (al-Shobru ‘an al-Dunya)
Sabar dalam hal ini adalah keberanian untuk menghadapi semua gonjang-
ganjing kehidupan dunia dengan didasari keimanan kepada Allah.
4. Sabar terhadap ma’siat (al-Shobru ‘an al-Ma’shiah)
Sabar di sini berarti konsisten untuk tidak keluar dari jalur kebenaran dan berani
menolak kemaksiatan.
5. Sabar dalam perjuangan (al-Shobru fi al-Jihad)
Sabar pada tarap ini adalah keteguhan hati untuk senantiasa berjalan dan
berjuang di jalan Allah dan rasulnya. Sabar dalam konteks ini didasari oleh
keyakinan bahwa hanya Allah-lah yang bener-benar Benar.
10 Mohsen Qaraati, Seri Tafsir untuk Anak Muda Surat Luqman, 41.
Pendidikan moral dan karakter adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama
lain. Keduanya harus ditanamkan kepada anak-anak didik kita sedini mungkin. Moral
berkaitan dengan tingkah laku, dan tingkah laku seseorang akan baik jika karakternya
sudah terbentuk dengan baik. Begitu juga sebaliknya, perilaku seseorang akan buruk jika
karakternya lepas dari dimensi pendidikan moral. Bagaimanapun juga kerendahan hati,
kejujuran, kesederhanaan dan kesabaran anak-anak didik adalah hasil dari proses
pendidikan moral dan karakter.
Di Indonesia, pendidikan moral dan karakter secara formal sudah masuk dalam
kurikulum pendidikan, namun minim aplikatif dan hasilnya nihil. Masalah utamanya terletak
pada dua hal, yaitu (a) pendidikan moral yang diajarkan di sekolah-sekolah formal tidak
memiliki pijakan teologis, yaitu tidak dilandasi oleh nilai-nilai ketauhidan dan penguatan
karakter. Moralitas yang diajarkan umumnya berbasis etika bisnis, yang dasarnya untung rugi.
Hal ini terjadi karena dunia pendidikan di Indonesia sudah berubah fungsi menjadi ladang
bisnis, dan kurikulumnya sudah diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan pangsa pasar
tenaga kerja. Inilah permasalahan utama dan menjadi poin penting yang harus kita waspadai
dalam mendidik anak didik kita.
Wal hasil, keempat prinsip dasar pendidikan Islam yang termaktub dalam surat Luqman
ayat 13-19 di atas pada dasarnya adalah model pendidikan Islam yang tujuannya membentuk
anak-anak didik kita supaya memiliki empat hal, yaitu, kesalehan ritual, kesalehan sosial, 102
kesalehan intelektual, dan tanggap terhadap permasalahan umat.
M
O
Penutup M
E
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memerdekakan anak-anak didiknya dari N
berhala-berhala penghambaan material. Pendidikan yang orientasi utamanya mencetak insan T
U
beriman. Dan suatu lembaga pendidikan dianggap berhasil jika ia mampu membentuk moral M
dan karakter anak-anak-didiknya yang shaleh secara ritual, shaleh secara sosial, saleh secara
intelektual, dan respek terhadap perubahan dan dinamika kehidupan sosial. Untuk mencapai itu
semuanya tentunya selain membutuhkan waktu dan proses yang panjang, juga perlu model
pendidikan yang paripurna. Dalam kaitannya dengan model pendidikan, Islam mengajarkan
kita bahwa model pendidkan yang harus diaplikasikan dalam proses pembelajaran anak-anak
didik kita adalah model pendidikan yang memuat empat prinsip dasar, yaitu: tauhid („aqidah),
bakti kepada orang tua berbasis „aqidah, kepekaan sosial, pendidikan moral dan karakter.
Daftar Pustaka
Abdullah, Nashih, Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam. Jakarta : Pustaka Amani, 2002.
Afandi, Bisri, Pembaharuan dan Pemurnian Islam di Indonesia. Jakarta : Pustaka Alkautsar,
1999.
Al Ghamidi, Abdullah, Namanya Luqman Al Haki. Yogyakarta: Diva Press, 2008.
Al Jazairi, Jabir, AB., Ensiklopedi Muslim Minhajul Muslim. Jakarta : Darul Falah, 2000.
Iskandar, Psikologi Pendidikan. Jakarta: Gaung Persada Press, 2005.
Ma’arif, Samsul, Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta : PT Graham Ilmu, 2000.
Qaraati, Mohsen, Seri Tafsir untuk Anak Muda Surat Luqman. Jakarta: Al Huda, 2005.
Ulwan, Nashih, Abdullah, Pendidikan Anak dalam Islam. Jakarta : Pustaka Amani, 2002.
Zuhairini, Metodik Khusus Penidikan Agama. Malang: IAIN Sunan Ampel, 1983.
103
M
O
M
E
N
T
U
M
MOMENTUM
Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial dan Keagamaan
Volume 02 No. 02, November 2012
ISSN: 2089-3019
PEDOMAN PENULISAN
JURNAL MOMENTUM
Untuk teknik pengutipan yang digunakan dalam jurnal MOMENTUM adalah pengutipan M
dalam bentuk footnote (catatan kaki). Rujukan yang digunakan dalam penulisan footnote O
M
adalah aturan-aturan yang dimuat dalam karya L. Turabian, A Manual Writers of Term
E
Papers, Theses, and Dissertation (diterbitkan oleh The Chicago University Press). Secara N
garis besar aturan-aturan tersebut bisa dilihat pada contoh di bawah ini: T
U
a. Buku M
1
Henry Seidel Canby, Walt Whitman an American (Boston: Houghton Nifflin,
1943), 110.
b. Buku Terjemahan
2
David Chaney, Lifestyles: Sebuah Pengantar Komprehensif, terj. Nuraeni
(Yogyakarta: Jalasutra, 2008), 26.
c. Artikel dalam Sebuah Buku atau Ensiklopedia
3
Wadi Z. Haddad, “A Tenth-Century Speculative Teologist’s Refutation of
The Basic Doctrines of Christianity: al-Baqillani (d. A.D. 1013), dalam Yvonne
Yazbeck Haddad dan Wadi Haddad (eds.), Christian-Muslim Encounters
(Gainesville: University Press of Florida, 1995), 80.
d. Makalah
4
Robin Knight, “Poland’s Feud in the Family.”, U.S News and World Report,
10 September 1990, 55-57.
e. Artikel dalam Sebuah Jurnal
5
Carl F. Strauch, “The Structures of Walt Whitman’s Song of Myself,”
English Journal 27 (September 1938, College Edition), 597-607.
106
Artikel bisa dikirim ke alamat redaksi sebagaimana tertera di bawah, dan dengan disertai M
biodata penulis. O
M
E
N
T
U
M
LEMBAGA PENELITIAN
DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
SEKOLAH TINGGI ISLAM BLAMBANGAN